Anda di halaman 1dari 3

Kerjakan soal di bawah ini dengan singkat dan jelas.

Jawaban yang hanya mengambil


dari internet (plagiat) tidak akan mendapatkan nilai maksimal. Sertakan referensi
dalam mengutip.

Submit (unggah) pada tempat yang sudah disediakan dan tidak melebihi waktu yang
telah ditentukan.

Menteri keuangan RI Sri Muluani Indrawati (SMI) dalam Dalam pembukaan 2nd Annual
Islamic Finance Conference (AIFC) 2017 di Yogyakarta, Rabu (23/8), mengatakan bahwa
beliau menginginkan agar zakat dapat dikelola seperti pajak yang sama-sama adanya
pembayaran dan tidak mengharapkan itu kembali dalam rangka pembangunan nasional.
Pernyataan tersebut sehubungan dengan dikeluarkannya peraturan Direktorat Jendral
(Dirjen) pajak RI nomor  Per-11/PJ/2017. Yang mana peraturan tersebut terkait dengan
zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak selama zakat tersebut dibayarkan ke
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah ditetapkan oleh pemerintah, hal ini tentu bertujuan
agar warga muslim Indonesia tetap menyalurkan harta mereka untuk kepentingan Negara
dan dapat dikelola demi  mensejahterakan seluruh lapisan warga Negara.

http://www.ibec-febui.com/zakat-sebagai-pengganti-pajak-bolehkah/

1. Berikan pendapat anda terkait dengan pernyataan dari menteri keuangan bahwa
zakat dapat dikelola seperti pajak oleh negara.
2. Berikan argumen anda terkait tumpang tindih kewajiban pajak dan zakat dari
perspektif hukum.

Jawaban :

1. Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan
berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada kewajiban
mengeluarkan zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada kewajiban
pembayaran persepuluhan sebesar 10%.

Kewajiban mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah:


267 yang menentukan bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan
penghasilan, setelah dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85
gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil
Zakat Nasional).

Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak
penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat
yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”).
 Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3)
UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak
adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban
membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni
dalam Pasal 22 UU 23/2011:
 
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari
penghasilan kena pajak.”

Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun
2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan,  yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:

 “Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat
yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
 
Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak
termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban
pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang
berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia.

Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/a/zakat-dapat-mengurangi-pph-
cl666

2. SALAH satu contoh adanya tumpang tindih peraturan adalah terkait pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) yang diatur dalam Pasal 8
ayat (4) Undang-Undang No.16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.74/2011
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP
74/2011).

Menurut UU KUP, wajib pajak dapat mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT


walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat belum
terbitnya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Namun, PP 74/2011 menyatakan bahwa
pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dapat dilakukan sepanjang pemeriksa
pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Dengan demikian, antara kedua pasal tersebut terdapat perbedaan pengaturan atas
waktu pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT. Aturan jangka waktu
pengungkapan ketidakbenaran dalam PP 74/2011 lebih pendek dibandingkan
dengan aturan yang tercantum dalam UU KUP

Sumber : https://news.ddtc.co.id/mencegah-tumpang-tindih-peraturan-perpajakan-
16445

Anda mungkin juga menyukai