Anda di halaman 1dari 22

Tugas

Ringkasan Materi Kuliah (RMK)

ASPEK PERPAJAKAN KOPERASI

Disusun Oleh:
KELOMPOK 11
Anrizar Sumbaymider (F1314130)
David Nugroho

(F1314134)

Dias Panggalih

(F1314137)

Galih Prasetyo

(F1314143)

Perpajakan Sektor Publik


Universitas Sebelas Maret Surakarta

ASPEK PERPAJAKAN KOPERASI


Pengertian koperasi menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian, Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan ditegaskan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Koperasi termasuk sebagai Wajib Pajak
badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak
atau pemotong pajak tertentu.
Secara umum kewajiban perpajakan koperasi adalah :
1. Melakukan kewajiban umum (pendaftaran NPWP, PKP, dan menyelenggarakan
pembukuan)
2. Menghitung, menyetorkan dan melaporkan Pajak Penghasilan Badan
3. Melakukan kewajiban Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh 21, PPh 23, dan PPh
Final Pasal 4 ayat (2)),
4. Melakukan kewajiban Pemungutan Pajak (PPh 22, PPN)
5. Melakukan kewajiban membayar sendiri (PPh Final Pasal 4 ayat (2), PPh 25, dan
PPh 29)

1.

MELAKUKAN KEWAJIBAN UMUM

Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP


Kewajiban perpajakan paling awal yang harus dijalankan ole koperasi yang baru saja
berdiri adalah mengajukan permohonan pendaftaran NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
Hal ini merupakan kewajiban yang harus dijalankan Wajib Pajak sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c dan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Direktur Jendral Pajak
Nomor PER-20/PJ/2013 tanggal 30 Mei 2013 sebagaimana terakhir telah diubah menjadi
PER-38/PJ/2013, yaitu:
Pasal 2 ayat (3) huruf c:
Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak,
pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang
usaha hulu minyak dan gas bumi;
Pasal 2 ayat (3):
Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (3) huruf c dan d, wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lambat 1 (satu)
bulan setelah saat pendirian.
NPWP yang diberikan kepada koperasi merupakan sarana administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas koperasi dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, jika koperasi telah
memiliki NPWP, maka ia wajib menjalankan seluruh kewajiban perpajakannya tanpa
pengecualian apapun (kecuali diatur lain sebagai fasilitas atau pengecualian). Dalam hal
koperasi melewati jangka waktu 1 bulan setelah pendirian, tetapi belum mendaftarkan diri
untuk mendapatkan NPWP, maka dapat diterbitkan NPWP secara jabatan sebagaimana
telah diatur di dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE-48/PJ/2012 tentang
Kebijakan Pelaksanaan Verifikasi tanggal 1 November 2012 sebagaimana disebutkan di
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK146/PMK.03/2012 tanggal 10 September 2012.
Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir
permohonan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP:
-

Akte Pendirian dan perubahan atau surat penunjukan dari kantor pusat bagi
bentuk usaha tetap;
NPWP pimpinan/penanggung jawab badan (koperasi);
Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing
sebagai penanggung jawab;

Kewajiban Mendaftarkan Diri Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Sehubungan dengan kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena


Pajak, pengurus koperasi harus memperhatikan jenis barang dan atau jasa yang dijualnya
serta perolehan omset yang didapat dalam satu tahun pajak. Kedua hal tersebut menjadi
penentu secara substansional mengenai keharusan untuk berstatus sebagai Pengusaha
Kena Pajak. Sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor PMK-68/PMK.03/2010 sebagaimana terakhir telah diubah dengan PMK197/PMK.03/2013 tentang batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tanggal
20 Desember 2013, disebutkan bahwa:
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Kewajiban tersebut harus dipenuhi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi
Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), yang dengan tegas telah
disebutkan di dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK68/PMK.03/2010 sebagaimana terakhir telah diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013
tentang batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang berbunyi:
Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana disebutkan didaalam ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi
Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Penghindaran terhadap kewajiban tersebut akan dapat menyebabkan suatu koperasi
dikukuhkan secara jabatan oleh Direktorat Jendral Pajak yang diiringi dengan penerbitan
Surat Ketetapan Pajak / Surat Tagihan Pajak sebagai sanksi administrasinya. Kedua hal ini
telah dengan jelas disebutkan di dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor PMK-68/PMK.03/2010 sebagaimana terakhir telah diubah dengan PMK197/PMK.03/2013 tentang batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Meski demikian, kewajiban untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak ini
sangat tergantung pada jenis barang/jasa yang dijual oleh koperasi, dalam hal apabila
barang/jasa yang dijual/diserahkan oleh koperasi merupakan barang dan jasa yang tidak
dikenakan PPN, maka tidak ada keharusan untuk dikukuhkan koperasi Pengusaha Kena
Pajak. Untuk melihat secara rinci daftar barang/jasa yang tidak dikenakan PPN, pemerintah
melalui Direktorat Jendral Pajak telah mengaturnya di dalam Pasal 4A ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Dari segi jumlah omset/peredaran bruto yang diperoleh koperasi, maka apabila
jumlah tersebut dalam suatu tahun pajak belum melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah), maka tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan diri dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, walau meamng tidak dilarang apabila koperasi tersebut
berkeinginan untuk mengajukan diri dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena
keinginan sendiri.

Penulis menyarankan agarSebaiknya koperasi berpikir dengan hati-hati sebelum


memutuskan mengajukan diri dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, sebab kaitannya
sangat erat dengan pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai yang sanksi dan
dengan administrasinya cukup berat dibanding Pajak Penghasilan. Direktorat Jendral Pajak
menerbitkan dua peraturan terkait pengawasan Pengusaha Kena Pajak ini, yaitu Peraturan
Direktur Jendral Pajak Nomor PER-40/PJ/2013 tanggal 26 November 2013 tentang
Pengawasan Pengusaha Kena Pajak dan PER-12/PJ/2014 tanggal 2 April 2014 tentang
Pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara Jabatan atas Pengusaha Kecil PPN.
Ini menunjukkan bahwa memang status Pengusaha Kena Pajak membawa
kewajiban yang tidak sederhana, tetapi juga memberi privilege lebih dibanding pengusaha
biasa, di antaranya hak untuk menerbitkan Faktur Pajak serta mengkreditkan Pajak
Masukan yang dipungut pihak lain sehingga koperasi yang berstatus Pengusaha Kena
Pajak tidak harus membebankannya sebagai biaya yang berakibat penurunan Sisa Hasil
Usaha pada akhir tahun.

Menyelenggarakan Pembukuan
Setelah kewajiban pertama untuk mendapatkan NPWP, maka kewajiban berikutnya
adalah menyelenggarakan pembukuan. Sudah menjadi keharusan umum bagi siapapun
mestinya untuk melakukan pembukuan dalam bertransaksi bisnis/usaha di bidang apapun,
dengan maksud untuk memantau arus keluar dan masuknya uang. Begitu juga dengan
koperasi, untuk mengontrol pengeluaran dan penghasilan maka pembukuan harus
dilakukan. Pembukuan yang baik adalah pembukuan yang sejalan dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang umum berlaku dan dilaksanakan penuh itikad baik (transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan).
Dari sisi perpajakan, kewajiban menyelenggarakan pembukuan, diatur di dalam
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, yaitu:
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Oleh karena itu, Wajib Pajak koperasi diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan ini akan sangat erat kaitannya dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang
lainnya yaitu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan

2.

MENGHITUNG, MENYETORKAN DAN MELAPORKAN PAJAK PENGHASILAN


BADAN

Di dalam Pasal 4 ayat (1) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang PPh terdapat 19
jenis penghasilan dalam nama dan bentuk apapun yang menjadi objek Pajak Penghasilan.
Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus , gratifikasi,
uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang Pajak Penghasilan;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan.
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
6. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
7. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;

15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan;
19. surplus Bank Indonesia.
Dalam kaitannya dengan koperasi, semua jenis penghasilan yang dapat diterima
oleh koperasi, dapat penulis disederhanakan menjadi dua kelompok saja, yaitu:
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, contoh dalam hal
koperasi melakukan penjualan barang dan atau jasa kepada pihak lain, yang atas
penjualan tersebut menjadi sumber penghasilan.
Pendapatan bunga, fee, komisi dan seluruh penghasilan yang terkait dengan
pemberian kredit pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman. Ini
berlaku untuk jenis koperasi simpan pinjam.
Contoh:
1. Koperasi yang bergerak di bidang pertanian/perkebunan melakukan penjualan
Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit, adapun TBS tersebut berasal dari hasil
pengumpulan dari sejumlah anggotanya yang mayoritas merupakan petani kelapa
sawit, maka sumber penghasilan koperasi tersebut adalah berasal dari penjualan
TBS kepada pihak lain (Pabrikan).
2. Koperasi yang bergerak penyaluran BM melakukan penyediaan solar BBM bagi para
nelayan, adapun solar tersebut berasal dari SPBU Pertamina yang dibeli dengan
modal awal iuran para anggotanya, maka sumber penghasilannya bersumber dari
banyaknya jumlah solar yang disalurkan (dijual kembali) kepada para anggotanya.
3. Koperasi simpan pinjam, melakukan pemberian kredit kepada para anggotanya
dengan mendapat imbal hasil dalam persentase yang dihitung dari besarnya pokok
kredit yang dicicil setiap bulan oleh anggota, dalam hal ini, sumber penghasilannya
adalah persentase fee dan/atau komisi yang diterima atas setiap pembayaran kredit
dari para anggotanya.
Menghitung Penghasilan Kena Pajak setahun
Biaya-biaya Operasional
Rp BBBB
Penghasilan Neto
Rp CCCC
Koreksi Fiskal (positif/negatif) Rp DDDD
Penghasilan Kena Pajak
Rp XXXX
Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
a.
biaya pembelian bahan;
b.
biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji,honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang;
c.
bunga, sewa, dan royalti;

d.
e.
f.
g.

biaya perjalanan;
biaya pengolahan limbah;
premi asuransi;
biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
h.
biaya administrasi; dan
i.
pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
a.
telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c.
telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan
debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;
d.
syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf k UU Pajak Penghasilan;yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
dan
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;

2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
b. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syaratsyaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
yang bersangkutan;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
6. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan;
7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU Pajak Penghasilan serta zakat
yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
8. Pajak Penghasilan;
9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya;
10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham;
11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Tabel Tarif Pajak Penghasilan untuk
Badan Usaha
Penghasilan Kotor (Peredaran Bruto) (Rp)
Kurang dari Rp4.8 Miliar

Tarif Pajak
1% x Penghasilan Kotor

(Peredaran Bruto)
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar
Lebih dari Rp50 Miliar

{0.25 - (0.6 Miliar/Penghasilan Kotor)} x PKP


25% x PKP

3.

MELAKUKAN KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh 21,


PPh 23, DAN PPh FINAL PASAL 4 AYAT (2)),

PPh Pasal 21
Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 pada dasarnya muncul jika koperasi
membayarkan penghasilan kepada pihak lain yang berstatus sebagai Wajib Pajak Orang
Pribadi sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan atau jasa yang dilakukannya untuk
koperasi itu sendiri. Dalam hal ini, pihak tersebut dapat karyawannya atau pengurusnya
sendiri atau dari pihak lain yang di sewanya.
Pengurus koperasi harus memahami dengan baik setiap konteks pembayaran
sehubungan dengan pekerjaan kepada pihak lain (Orang Pribadi) karena ini terkait erat
dengan tata cara penghitungan dan pengenaan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh
koperasi. Rujukan peraturan yang dapat dipakai untuk menjadi panduan bagi para pengurus
koperasi adalah Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 (untuk Wajib Pajak Warga Negara Asing) sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan Orang Pribadi.
Dalam kegiatan yang koperasi selenggarakan misalnya, kehadiran pihak lain
dianggap lebih memahami materi kerap kali memang sangat diperlukan sehingga sebagai
imbal jasa, maka koperasi membayar orang-orang tersebut dan merupakan objek PPh
Pasal 21. Adapun pemotongan tersebut dihitung berdasarkan tarif PPh Pasal 17 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang dikenakan langsung dari 50% dari
nilai brutonya.

Berbeda dengan pembayaran gaji yang diberikan koperasi untuk karyawannya yang
dilakukan setiap bulan, maka pengenaan PPh Pasal 21 atas setiap pegawainya dihitungn
setelah sebelumnya penghasilan bruto yang dibayarkan dikurangi terlebih dahulu dengan
biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto atau maksimal Rp500.000/bulan) dan iuran terkait
gaji seperti iuran dana pensiun / jaminan hari tua kepada badan penyelenggara yang sah.
Tidak kalah pentingnya, hasil perhitungan tersebut masih harus dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang terakhir telah ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangn Nomor PMK-162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian PTKP. Apabila
masih terdapat selisih positif, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong dihitung berdasarkan
tarif PPh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Bagaimana bila
masih di bawah batas PTKP? Maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

Tertib administrasi perpajakan PPh Pasal 21 ini harus menjadi perhatian pengurus
koperasi, sifat kewajiban pelaporan PPh Pasal 21 ini adalah rutin dan wajib, meskipun besar
nilai penghasilan bersih pegawai tetapnya masih di bawah PTKP, sehingga PPh Pasal 21nya NIHIL. Kelalaian pemenuhan kewajiban pelaporan ini mengakibatkan terbitnya Surat

Tagihan Pajak Masa PPh Pasal 21 untuk menagih denda administrasi sebesar Rp100.000.
Jadi, jangan lupa untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 Anda paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya dan jangan lupa pula untuk membayarkan PPh Pasa 21 yang Anda potong
dari pihak lain (bila ada), paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya!
PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang
pribadi dari pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukannya.
Cara Perhitungan:
Penghasilan Bruto
Rp AAAA
Dikurangi:
a. Biaya Jabatan
Rp BBBB
(5% X Pengh.Bruto max: Rp6.000.000 pertahun)
b. Iuran lain yang terikat penghasilan tetap
Rp CCCC
Penghasilan Neto
Rp DDDD
Dikurangi PTKP *)
Rp EEEE
Penghasilan Kena Pajak
Rp FFFF
Kemudian Penghasilan Kena Pajak tersebut dikalikan Tarif Pasal 17 sbb:
Penghasilan Kena Pajak
s.d. Rp 50.000.000
diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000
diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000
diatas Rp 500.000.000
*) PTKP adalah penghasilan tidak kena pajak yang diberikan kepada
Pribadi dengan ketentuan sebagai berikut:
Keterangan
Status
WP tidak kawin dan tidak memiliki tanggungan
TK/0
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 1 orang
TK/1
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 2 orang
TK/2
WP tidak kawin dan memiliki tanggungan 3 orang
TK/3
WP kawin dan tidak memiliki tanggungan
K/0
WP Kawin dan memiliki tanggungan 1 orang
K/1
WP Kawin dan memiliki tanggungan 2 orang
K/2
WP Kawin dan memiliki tanggungan 3 orang
K/3

Tarif
5%
15%
25%
30%
Wajib Pajak Orang
PTKP
Rp.15.840.000
Rp.17.160.000
Rp.18.480.000
Rp.19.800.000
Rp.17.160.000
Rp.18.480.000
Rp.19.800.000
Rp.21.120.000

PPh Pasal 23
Kewajiban memotong PPh pasal 23 ini muncul jika koperasi melakukan pembayaran
yang atas pembayaran itu terutang PPh Pasal 23 sebagaimana diatur di dalam Pasal 23
ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 1983 sebagaimana terakhir
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
yang berbunyi:
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk
Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam

negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. Royalti; dan
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
4
ayat
(2);
dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
Adapun, jenis jasa lain yang dimaksud di dalam huruf c angka 2 diatur di dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain
sebagaimana disebut di dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU Nomor 7/1983 sttd UU
Nomor 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan
Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, dan Jasa Konsultan. Meski peraturan
perundang-undangan perpajakan menyebutkan bahwa Objek PPh Pasal 23 juga meliputi
penghasilan yang bersumber dari permodalan (Dividen, Bunga, dan Royalti), tetapi dalam
kaitannya dengan koperasi yang memberikan Bunga Simpanan dan/atau Sisa Hasil Usaha
kepada anggotanya, maka atas keduanya bukan merupakan Objek PPh Pasal 23 (diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009).
Kewajiban koperasi untuk memotong PPh Pasal 23 juga muncul dalam hal koperasi
memberikan hadiah kepada pihak lain yang berbentuk badan. Mengenai tarif, PPh Pasal 23
hanya mengenal dua jenis tarif yaitu 15% (untuk Dividen, Bunga, Royalti, dan hadiah) dan
2% (untuk sewa aset/harta kecuali tanah/bangunan) yang keduanya dihitung dari nilai bruto.
Jadi, jangan sampai tertukar!
Contoh yang dapat kita ambil misalnya, koperasi kelapa sawit yang menyewa truk
untuk mengangkut TBS menuju pabrikan pembeli, saat membayarkan nilai sewa atas truk
tersebut, wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dan membuat Bukti Pemotongan PPh
Pasal 23. Begitu pula dalam contoh apabila koperasi meminta pihak lain (Badan)
memberikan jasa pemanenan hasil perkebunan, maka saat koperasi melakukan
pembayaran maka wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari nilai kontrak yang
disepakati (tidak termasuk PPN). Terkait pelaporan, koperasi tidak wajib setiap bulan
melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23, hanya apabila dalam suatu bulan terdapat transaksi /
apabila dalam suatu bulan terdapat transaksi /pemotongan saja, maka muncul kewajiban
untuk melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan menyetorkan PPh Pasal
23 yang telah dipotong paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya untuk menghindari denda
administrasi sebesar Rp100.000,00 plus sanksi administrasi 2%/bulan apabila terdapat nilai
PPh Pasal 23 yang terlambat disetorkan.

PPh Final Pasal 4 ayat (2)


Sewa Tanah/Bangunan

Dalam menjalankan kegiatannya, pengurus koperasi tentu memerlukan tempat atau


ruangan yang digunakan sebagai lokasi usaha. Bagi sebagian koperasi, mereka memiliki
tempat sendiri, tetapi bagi sebagian yang lain mereka harus menyewa dari pihak lain.
Sebetulnya dari segi kegiatan usaha koperasi mungkin ini tidak terlalu menjadi soal. Namun,
dari sisi pajak, jelas ada perbedaannya. Untuk koperasi yang memiliki lokasi usaha sendiri,
tidak ada aspek perpajakan atas kegiatan mendiami lokasi tersebut, sedangkan untuk
koperasi yang menyewa gedung, ia wajib memotong PPh Final sebesar 10% dari nilai
sewanya.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor
227/PJ/2002 tanggal 23 April 2002 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran serta
Pelaporan PPh dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, sehingga dalam hal ini koperasi
yang menyewa tanah dan/atau bangunan wajib bertindak sebagai pemotong PPh Final
sebesar 10% dari nilai sewa yang diserahkan kepada pihak penyedia.
Disebutkan pula di dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor 227/PJ/2002 bahwa koperasi yang memotong PPh Final 10% atas sewa tanah
dan/atau bangunan wajib menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya dari tanggal terjadinya pembayaran uang sewa dan melaporkannya ke dalam
SPT PPh Masa Pasal 4 ayat (2) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Keterlambatan
pelaporan dan penyetoran dapat menimbulkan terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar
Rp100.000,00 dan sanksi administrasi sebesar 2% dari nilai yang dipotong. Koperasi juga
wajib menerbitkan bukti pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebanyak 3 rangkap (untuk
arsip, untuk dilaporkan di dalam SPT Masa PPh, dan untuk pemilik tanah dan/atau
bangunan).
Penting untuk dipahami, dalam hal koperasi menjadi pihak yang menyewakan tanah
dan/atau bangunan ke Orang Pribadi yang tidak dapat menjadi pemotong PPh Final, maka
koperasi dalam hal ini harus menjadi pemotong PPh Final sebesar 10% sebagaimana telah
ditetapkan di dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 227/PJ/2002
tanggal 23 April 2002 dan menyetorkan sendiri pemotongan tersebut paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya. Kewajiban yang muncul pada keadaan ini hanya sebatas
menyetorkannya tanpa diiringi keharusan menerbitkan bukti pemotongan PPh Final Pasal 4
ayat (2).
Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan
Lain sewa lain pula pengalihan hak. Dalam kasus di mana koperasi menjual atau
mengalihkan hak kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan, maka terdapat pengenaan
Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) Final sebesar 5% dari nilai bruto/kotor penjualan
yang lebih tinggi antara yang tertera di dalam akta penjualan dengan nilai NJOP (Nilai
Jual Objek Pajak). Dasar hukum yang mengatur aspek pengenaan pajak atas transaksi ini
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tanggal 4 November 2008 tentang
Pembayaran PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Apabila koperasi melakukan penjualan tanah dan/atau bangunan kepada pihak lain
tetapi pengikatan jual beli yang dilakukan masih berupa Perjanjian Jual Beli dan belum
dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli, maka kewajiban membayar Pph Final Pasal 4
ayat (2) sebesar 5% dari nilai bruto/kotor penjualan yang lebih tinggi antara yang tertera di
dalam akta penjualan dengan nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tersebut tetap berlaku
sebagaimana diatur di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2014
tanggal 14 Agustus 2014 tentang Pengawasan atas Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan Melalui Jual Beli. Pembayaran tersebut dilakukan paling lambat
sebelum Akta Jual Beli ditandatangani.
Bunga Simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota Orang Pribadi
Secara periodik, koperasi membayarkan Bunga atas simpanan kepada anggota
Orang Pribadi. Ini merupakan bentuk timbal balik manfaat yang diterima anggota atas
kontribusinya dalam menyimpan sejumlah dana di koperasi. Khususnya pada koperasi
simpan pinjam. Perihal ini telah diatur khusus di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota Orang Pribadi. Disebutkan di dalam Pasal 1 dan
Pasal 2, bahwa:
Pasal 1:
Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di
Indonesia kepada anggota orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 2:
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
a) 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan
Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b) 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga penghasilan berupa bunga simpanan lebih
dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban pengurus koperasi untuk memotong PPh Pasal 4
ayat (2) atas pembayaran penghasilan bunga simpanan tersebut sebelum dibayarkan ke
anggota koperasi dan disertai dengan penerbitan Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat
(2) sebagai bukti pemotongan dan sebagai arsip serta sebagai bahan lampiran dalam
pelaporan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20
bulan berikutnya dan membayarkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
Pemotongan dan penerbitan bukti pemotongan tetap dilakukan pula oleh pengurus
koperasi meskipun nilai pemotongan adalah Rp0,00 atau dikenai tarif 0% (nol persen)
karena nilai bunga simpanan yang dibayarkan di bawah Rp240.000,00/bulan sebagaimana
disebutkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-112/PMK.03/2010 tanggal 4
Juni 2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
atas Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi Orang
Pribadi. Kegiatan pelaporan dan pembayaran ini tidak rutin dilakukan setiap bulan, hanya
jika pada bulan yang bersangkutan terdapat transaksi dimaksud saja. Keterlambatan
pelaporan dan penyetoran dapat menimbulkan terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar
Rp100.000,00 dan sanksi administrasi sebesar 2% dari nilai yang dipotong.
Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi
Sudah sejak lama jadi pertanyaan banyak orang sebetulnya, apakah SHU yang
dibagikan oleh koperasi itu sama dengan dividen yang biasa dibagikan perusahaan kepada
para pemegang saham? Yang jelas, SHU itu merupakan objek pajak penghasilan
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU No 7/1983 sttd UU No
36/2008 tentang Pajak Penghasilan. Namun disebutkan lagi di dalam Pasal 23 ayat (4),
SHU yang dibagikan bukan objek PPh Pasal 23. Kalau begitu termasuk objek pajak
penghasilan pasal berapa?
Sebetulnya di dalam pasal 4 ayat (2) UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008 tentang
Pajak Penghasilan tidak ada secara khusus disebutkan bahwa SHU yang dibagikan

koperasi merupakan objek Pajak Penghasilan tetapi di huruf e di dalam pasal tersebut
disebutkan penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa SHU yang dibagikan koperasi merupakan objek pajak
penghasilan Final.
Penegasan perihal SHU yang dibagikan koperasi dijelaskan di dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-111/PMK.03/2010 tanggal 14 Juni 2010 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. Melalui Pasal 1 dan Pasal 2 telah
dengan jelas disebutkan sebagai berikut:
Pasal 1: Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah
bruto dan bersifat Final.
Pasal 2: Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dividen, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Oleh karena itu, ketika SHU yang hendak dibagikan tersedia, maka pengurus
koperasi harus melakukan pemotongan sebelum dibagikan dan menerbitkan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada para anggota yang telah
dipotong SHU-nya. Disebutkan pula dalam pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-111/PMK.03/2010 bahwa koperasi harus melaporkan transaksi pemotongan tersebut
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak dilakukan pemotongan dan
menyetorkan ke kas negara, paling lambat tanggal 10 setelah masa pajak dilakukan
pemotongan berakhir.

1.
2.
3.

4.
5.
6.

Tarif yang diberlakukan dalam pemotongan PPh pasal 4 ayat (2):


10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat
final.
5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan
bersifat final.
1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh WP yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
25% dari jumlah bruto hadiah undian (nilai uang atau nilai pasar apabila
hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura).
2% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha kecil, dan bersifat final.
3% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha menengah dan besar, dan bersifat final.
7.
4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi bagi yang tidak bersertifikasi usaha konstruksi, dan bersifat final.
8.
4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan
dan pengawasan konstruksi bagi yang bersertifikasi usaha konstruksi, dan bersifat
final.
9.
6% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan
konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi bagi yang tidak bersertifikasi usaha
konstruksi, dan bersifat final.

4. MELAKUKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh 22, PPN)


PPh Pasal 22
Kewajiban koperasi memungut PPh Pasal 22 muncul sebagai akibat dari terbitnya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-08/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut
PPh Pasal 22, Sifat, Besaran Pungutan, dan Tata Cara Pelaporan dan Penyetoran.
Mengenai hal tersebut, koperasi berkewajiban menjadi pemungut apabila melakukan
pembelian bahan atau produk dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, atau perikanan
melalui pedagang pengumpul untuk industri atau ekspor.
Besarnya tarif pungutan PPh Pasal 22 adalah sebesar 1,5% dari nilai DPP (tidak
termasuk PPN) sehingga masa pajak hanya membayar nilai bersih setelah pemungutan.
Pengurus koperasi wajib menerbitkan bukti pemungutan dan melaporkannya ke dalam SPT
Masa PPh Pasal 22 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan menyetorkan hasil
pemungutan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Kegiatan pelaporan dan pembayaran ini hanya muncul apabila terjadi transaksi tersebut
dalam suatu masa pajak. Keterlambatan pelaporan dan penyetoran dapat menimbulkan
terbitnya Surat Tagihan Pajak sebesar Rp100.000,00 dan sanksi administrasi sebesar 2%
dari nilai yang dipungut. Penegasan lebih jelas terhadap kewajiban ini diatur di dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2009 tanggal 12 Maret 2009.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Kewajiban untuk memungut PPN hanya dibebankan kepada koperasi yang berstatus
Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan/penjualan jasa/barang kena pajak. Seperti
telah disebutkan didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-68/PMK.03/2010
sebagaimana terakhir telah diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013 tentang batasan
pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai, kewajiban untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak
bagi koperasi muncul dalam hal peredaran/penerimaan bruto melebihi Rp4,8 M (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
Meski terkesan berat dan ketat, sebetulnya meski belum wajib menjadi Pengusaha Kena
Pajak, ada baiknya koperasi mengajukan diri untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak. Karena
hampir semua produk atas kegiatan usaha koperasi adalah Barang/Jasa Kena Pajak
(kecuali produk Holtikultura) yang atas penyerahannya koperasi wajib menerbitkan Faktur
Pajak untuk memungut PPN (Pajak Keluaran) dan dalam kegitan operasionalnya, koperasi
juga dipungut PPN oleh pihak lain (Pajak Masukan) sehingga dengan berstatus PKP, maka
koperasi dapat mengkreditkan Pajak Masukan sehingga menyetorkan PPN Pajak Keluaran
setelah dikurangi Pajak Masukan.
Bila koperasi belum berstatus PKP, maka tindakan yang dilakukan pengurus cenderung
untuk membiayakan PPN Pajak masukan yang dipungut pihak lain sehingga mengurangi
Sisa Hasil Usaha pada akhir tahun yang dapat dibagikan kepada anggota. Jadi, berminat
jadi Pengusaha Kena Pajak?
Pada prinsipnya seluruh Barang dan Jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa
Kena Pajak kecuali atas barang-barang dan jasa-jasa yang dikecualikan sebagai berikut:
1. Kelompok Barang yang Tidak dikenai PPN:
a.
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, yaitu : minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir
dan kerikil, batubara sebelum diproses menjadi briket batubara dan bijih besi, bijih
timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit;

b.

barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,


yaitu : beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium
maupun yang tidak beryodium;
c.
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di
tempat ataupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh
jasa boga atau catering;
d.
uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
2. Kelompok Jasa yang Tidak dikenai PPN
a.
jasa pelayanan kesehatan medis;
b.
jasa pelayanan sosial;
c.
jasa pengiriman surat dengan perangko;
d.
jasa keuangan;
e.
jasa asuransi;
f.
jasa keagamaan;
g.
jasa pendidikan;
h.
jasa kesenian dan hiburan;
i.
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j.
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar
negeri;
k.
jasa tenaga kerja;
l.
jasa perhotelan;
m.
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
n.
jasa penyediaan tempat parkir;
o.
jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p.
jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q.
jasa boga atau katering.
Perlakuan Khusus Perpajakan untuk Koperasi
1. Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
dipotong pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga berupa
bunga simpanan lebih dari Rp240.000,00 per bulan dan bersifat final.
2. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu Rp240.000,00 sebulan
yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan
Final (PP No. 15 Tahun 2009).

5. MELAKUKAN KEWAJIBAN MEMBAYAR SENDIRI (PPH FINAL PASAL 4 AYAT (2),


PPh 25, DAN PPh 29)
PPh Pasal 4 ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) untuk Koperasi dengan omset di bawah Rp4,8M. Sejak Juli 2013,
Pemerintah berupaya mengintensifkan peran serta semua pelaku kegiatan ekonomi untuk
membayar pajak, tak terkecuali koperasi. Koperasi dengan omset kurang dari Rp4,8M
dalam setahun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 13 Juni 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Ini menyebabkan setiap bulan koperasi
dikenakan kewajiban untuk membayar PPh Pasal 4 ayat (2) Final sebesar 1% (satu persen)
dari omset per bulan. Kewajiban ini melekat sepanjang omset dalam satu Tahun Pajak yang
diperoleh koperasi tidak melebih Rp4,8M. Mengenai omset yang diperoleh dalam satu tahun
pajak atau satu masa pajak dalam suatu satu tahun pajak telah melebihi batas tersebut,
maka untuk tahun pajak berikutnya, koperasi tidak lagi dikenakan kewajiban PPh Final Pasal
4 ayat (2) sebesar 1% per bulan.
Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa penyetoran
PPh Final Pasal 4 ayat (2) hanya dilakukan apabila terdapat omset/penyerahan pada bulan
tersebut dan pembayaran dapat langsung disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya melalui Bank/Kantor Pos/ATM. Sepanjang bukti penyetoran yang diperoleh telah
mendapat validasi yang sah dari kantor penerima, maka tidak perlu lagi melaporkan SPT
Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebagaimana telah dipertegas di dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014. Dalam hal pada suatu bulan tidak terdapat
penjualan/omset, maka koperasi tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat
(2) seperti yang telah disebutkan di dalam huruf F angka 5 SE-42/PJ/2013 dan huruf E
angka 8 poin e SE-32/PJ/2014.
Terhadap koperasi yang termasuk dalam kriteria omset tidak lebih dari Rp4,8M ini maka
pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang dilakukan akan menjadi pengganti pajak
terutang di akhir tahun. Sehingga status SPT tahunan PPh Badan pada tahun pajak tersebut
menjadi NIHIL (tidak ada lagi PPh Pasal 29 terutang) yang harus dihitung, koperasi hanya
cukup melampirkan catatan pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang telah dilakukan
sepanjang tahun tersebut.
PPh Masa Pasal 25
Apabila omset sebuah koperasi melebihi Rp4,8M, maka kewajiban koperasi adalah
menghitung PPh Masa Pasal 25 yang akan terutang sepanjang suatu tahun pajak sebagai
kredit pajak pada perhitungan PPh pada akhir tahun. Mungkin mudah untuk mengetahuinya
apabila suatu koperasi sudah lama berdiri kegiatan operasional usahanya berjalan. Omset
pada suatu akhir tahun dapat dengan mudah diketahui dan bisa langsung dilihat jenis
kewajiban PPh membayar sendiri yang harus ditanggung di tahun pajak berikutnya.
Bagaimana jika suatu koperasi yang telah berdiri sejak tahun 2010 lalu vakum dari
kegiatan usaha sejak akhir 2013 dan baru akan memulai kegiatan usahanya pada April
2014? Atau bagaimana bila koperasi tersebut baru berdiri Juni 2014 dan baru menjalankan
kegiatan usahanya pada Agustus 2014? Maka menurut Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 tentang Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013, tata cara perhitungan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2014
dan 2015 mengikuti ketentuan umum yang berlaku yaitu dikenai PPh Pasal 25 Masa (Kredit

Pajak) dan PPh Pasal 29 akhir tahun dan barulah jumlah pencapaian omset pada tahun
pajak 2015 menjadi penentu tata cara pengenaan kewajiban membayar sendiri Pajak
Penghasilan. Mengenai ketentuan penentuan jumlah omset/peredaran bruto bagi koperasi
yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan jumlah
omset/peredaran bruto dari usahanya dalam 1 (satu) tahun pajak setelah beroperasi secara
komersial.
Secara sederhana, PPh Masa Pasal 25 adalah jumlah PPh yang akan dibayar setiap
bulan sebagai Kredit Pajak yang besarnya ditentukan dengan menghitung jumlah PPh
terutang akhir tahun pada tahun pajak sebelumnya lalu dibagi 12. Ini berdasarkan asumsi
bahwa besaran omset pada tahun pajak berikutnya tidak akan jauh berbeda. Penyetoran
PPh Masa Pasal 25 dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan menurut Pasal
4 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tanggal 21 Mei 2008
tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan PPh Masa 25 disebutkan bahwa:
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 pada tempat pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan SSPnya telah mendapat validasi dengan NTPN,
maka SPT Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak
sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.
Jadi, penting untuk dipahami bagi para pengurus koperasi bahwa Pajak Penghasilan
Masa Pasal 25 hanya diwajibkan apabila koperasi Anda memiliki omset melebihi Rp4,8M
dan jangan terjebak pada anggapan bahwa terdapat pengenaan multi pajak penghasilan
masa pada koperasi, karena penentuan jenis pengenaannya tergantung pada batasan
omset.
PPh Pasal 29
Pada dasarnya perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah bagian tak terpisahkan
dari pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh koperasi yang paling lambat harus
dilaporkan empat bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Hasil perhitungan PPh Pasal 29 ini
tertuang di dalam SPT Tahunan PPh. Meski demikian, tata cara perhitungan PPh Pasal 29
dalam rangka pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh untuk koperasi sangat
tergantung pada jumlah omset koperasi itu sendiri.
Apabila omset suatu koperasi pada tahun pajak sebelumnya masih dibawah Rp4,8M,
maka semua isian SPT Tahunan PPh adalah NIHIL, karena pengenaan pajaknya sudah
dilakukan secara Final sebesar 1% PPh Final Pasal 4 ayat (2), sehingga koperasi hanya
perlu mencatat semua jumlah omset bulanan yang telah dijadikan dasar dalam menghitung
PPh Final Pasal 4 ayat (2) setiap bulannya. Meski demikian, pengurus koperasi tetap wajib
melampirkan Laporan Keuangan (Laporan Rugi/Laba dan Neraca) di dalam pelaporan SPT
Tahunan PPh Badan. Karena jumlah omset yang dilaporkan di dalam Laporan Rugi/Laba
akan jadi penentu tata cara pengenaan kewajiban PPh dibayar sendiri pada tahun pajak
berikutnya.
Dalam hal omset suatu koperasi pada tahun pajak sebelumnya melebihi Rp4,8M, maka
pengurus koperasi benar-benar harus memperhitungkan berapa laba bersih (biasa disebut
Sisa Hasil Usaha) yang diperoleh untuk menjadi dasar menghitung PPh Pasal 29. Adapun
tarif yang digunakan adalah tarif yang berlaku secara umum menurut Pasal 17 ayat (1) atau
Pasal 31E UU No 7/1983 sttd UU No 36/2008. Tentunya dengan tidak lupa
memperhitungkan PPh Masa Pasal 25 yang telah dibayar sendiri dan Kredit Pajak yang
diperoleh sepanjang tahun pajak tersebut. Dalam hal ini pengurus koperasi juga harus
menghitung PPh Final atas SHU setelah dikurangi PPh Pasal 29 yang masih kurang bayar,
sebelum dibagikan ke seluruh anggota.

REFERENSI
Sumber tulisan: Majalah Dwimingguan Indonesian Tax Review Volume VII/Edisi 23/2014.
http://www.pajak.go.id/content/seri-koperasi-perpajakan-bagi-koperasi

Anda mungkin juga menyukai