Anda di halaman 1dari 5

DAMPAK FENOMENA FEAR OF MISSING OUT (FOMO) TERHADAP

FAST FASHION PADA PENGGUNA APLIKASI TIKTOK

Kamila Alfiana Rahme (210710115)


Serafine Angelina Yudianto (210710221)

Fear of Missing Out, atau FoMO, adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi khawatir karena tidak mengetahui apa yang sedang
terjadi. Seseorang yang memiliki sindrom FoMO merasa perlu untuk selalu online
dan terhubung ke media sosial. Sensasi ini ditimbulkan oleh kegelisahan dan
ketakutan orang ketika mereka tidak menyadari keberhasilan dan pengalaman
orang lain, yang merupakan salah satu fenomena komunikasi intrapersonal. Cara
seseorang menggunakan teknologi, khususnya media sosial, berubah akibat
ketergantungan mereka padanya. Karena media sosial memudahkan orang untuk
selalu mengikuti semua berita terbaru, apa yang mereka lewatkan, dan
memastikan bahwa mereka tidak ketinggalan, generasi milenial saat ini tidak
hanya menghabiskan waktu untuk mencari berita yang mereka butuhkan tetapi
juga secara tidak sadar menggunakannya untuk mengikuti kehidupan dan aktivitas
orang lain. Mereka merasa seolah-olah harus mengetahui segala sesuatu yang
dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka.

Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi dapat menimbulkan perasaan takut,


khawatir, dan cemas yang dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FoMO).
Remaja yang tidak memiliki kebutuhan dasar pemenuhan media sosial mengalami
rendah diri, kesulitan berinteraksi dengan orang lain, dan kecemasan saat
menggunakan platform ini. Dua ciri kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
membedakan FoMO pada remaja adalah kebutuhan akan keterkaitan (kedekatan
dengan orang lain) dan kebutuhan psikologis akan diri sendiri, keduanya terkait
dengan tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih rendah sebagai akibat
dari kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi (Przybylski et al., 2013). Jumlah waktu
yang dihabiskan seseorang di media sosial adalah elemen lain yang berkontribusi
pada FoMO. Seperti yang ditunjukkan pada hasil survei Gambar 1.1 untuk
halaman Hootsuite We Are Social.

Gambar 1.1 Social Media Behaviours

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa tipikal individu di Indonesia menghabiskan


waktu 3 jam 26 menit per hari untuk mengakses media sosial, menurut data survei
di laman Hootsuite We Are Social. Hal ini membuat platform media sosial
menjadi bagian penting dalam fenomena FoMO yang telah menjadi gaya hidup
Milenial. Generasi milenial—kelompok terbesar dalam usia kerja—ditandai
dengan peningkatan penggunaan media sosial dan keakraban dengan komunikasi,
media, dan teknologi digital. Mayoritas pengguna media sosial di Indonesia
berada pada rentang usia 18–34 tahun; mereka adalah generasi milenial yang tidak
bisa hidup tanpa media sosial.

Tidak bisa meletakkan ponselnya, merasa was-was dan cemas jika belum
mengecek akun media sosialnya, lebih mementingkan berhubungan dengan rekan
kerja di media sosial, terobsesi dengan update status dan postingan orang lain,
selalu ingin eksis dengan berbagi setiap aktivitas, dan perasaan tertekan jika
sedikit orang yang melihat akunnya adalah ciri atau tanda seseorang mulai
mengalami gejala FoMO. Hal ini konsisten dengan semua pernyataan yang dibuat
oleh orang-orang yang kami selidiki, yang merasa tidak bisa hidup tanpa
smartphone, selalu mengecek media sosial, dan terus-menerus menulis tentang
segala sesuatu yang mereka lakukan, sukai, rasakan, atau momen yang mereka
anggap penting dan tidak untuk dilewatkan.
Dalam dunia fashion, sebelum masa revolusi industri pakaian merupakan barang
yang termasuk mahal dan hanya dikenakan oleh kalangan tertentu saja. Hal ini
dikarenakan pembuatannya yang rumit yaitu dijahit dengan tangan secara manual.
Pada saat masa revolusi industri yang terjadi di tahun 1980, perkembangan
teknologi yang terjadi sangat cepat salah satunya pada bidang fashion. Muncul
teknologi yang disebut dengan mesin jahit yang mana digunakan untuk
memproduksi pakaian dengan cepat. Adanya mesin jahit yang memproduksi
pakaian dengan lebih cepat dibanding memproduksi secara manual ini menjadi
bibit dari industri fast fashion.

Produksi fast fashion dilakukan secara cepat dengan menggunakan bahan baku
yang berkualitas rendah serta dijual dengan harga yang murah, maka dari itu dapat
dibeli oleh semua kalangan. fast fashion akhirnya mengikuti sebuah trend dengan
cepat, dikarenakan bisa di produksi secara massal. Awalnya sebelum terjadi istilah
“fast fashion” para produksi meluncurkan 4 tren/style dalam setahun, namun
semenjak istilah “fast fashion ada para produksi atau retail meluncurkan kurang
lebih 52 koleksi tren/style (Munthu, 2019). Merek – merek yang mempengaruhi
perkembangan fast fashion antara lain seperti Zara, Uniqlo, Mango, dan lain
sebagainya.

Pada awal tahun 2020, Pandemi covid-19 terjadi di dunia dan indonesia terkena
dampak dari pandemi itu sendiri. Pada saat itu, retail store yang memproduksi fast
fashion menuai kerugian besar besaran diakibatkan para pelanggannya yang lebih
memilih menghabiskan aktivitasnya dirumah dengan berpakaian seadanya saja.
Pola hidup masyarakat global yang menggunakan masker sesuai dengan protokol
pada saat pandemi memberikan inspirasi bagi para retail fast fashion untuk
mengeluarkan style new normal (Kadek, 2021). Trend new normal ini menjadi
hype sehingga menjadi cikal bakal FOMO.
Tren New Normal pada awal tahun 2021 membuat para retail fast fashion
berlomba-lomba mengait pelanggan setelah mengalami keterpurukan global.
Terlihat di media sosial beberapa video masyarakat yang tidak sengaja memakai
pakaian yang sama dari bentuk, warna, dan model. Fenomena ini terjadi karena
adanya pengaruh perkembangan trend media sosial serta internet, informasi dari
sebuah trend dapat menyebar secara cepat dan luas. Aplikasi tiktok menjadi salah
satu wadah dalam perkembangan trend yang terjadi di indonesia. Pengguna
aplikasi ini biasanya mengikuti trend yang terjadi di TikTok salah satunya adalah
tren fashion yang ada didalamnya ditambah adanya fasilitas yang diberikan tiktok
untuk berbelanja sebuah produk.

Aplikasi tiktok berpengaruh besar terhadap fast fashion di bidang industri karena
penyebaran informasi yang cepat dan juga fasilitas TikTok shop dengan imbalan
ongkos kirim yang lebih murah dibanding aplikasi e-commerce lainnya. Beberapa
pengguna tiktok yang bergelut dalam bidang fashion juga menggunakan aplikasi
TikTok sebagai ladang pencaharian sehari-harinya, mulai dari mereview barang
barang murah namun tetap terlihat stylist, cara memadupadankan style berpakaian
pada masa new normal, hingga menjadi affiliate dari sebuah produk yang mereka
review.
Aisafitri, L., & Yusrifah, K. (2020). Sindrom Fear Of Missing Out Sebagai Gaya Hidup
Milenial Di Kota Depok. Jurnal Riset Mahasiswa Dakwah dan Komunikasi, 2(04), 166-
177.

PUTRI, L. S., Purnama, D. H., & Idi, A. (2019). Gaya Hidup Mahasiswa Pengguna
Media Sosial di Kota Palembang (Studi Pada Mahasiswa FoMO di Universitas Sriwijaya
dan Universitas Muhammadiyah Palembang). Jurnal Masyarakat dan Budaya, 129-148.

Aisafitri, L., & Yusriyah, K. (2021). Kecanduan Media Sosial (FoMO) Pada Generasi
Milenial. Jurnal Audience: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(01), 86-106.

Muthu, S. S. (Ed.). (2019). Fast Fashion, Fashion Brands and Sustainable Consumption.
Singapore: Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-13-1268-7

Kadek, Ni Yuni Diantari. (2021). Tren New Normal Pada Industri Fashion di Indonesia :
Adaptasi Fast Fashion di Masa Pandemi. Journal Of Fashion Design. 1(01), (69-75)

Anda mungkin juga menyukai