Anda di halaman 1dari 4

Njila Ntasi

Penulis cerita : Moh. Harianto

Editor : Ito Law Putra

Alkisah pada tahun 1938, di sebuah wilayah yang bernama Tanjung Ruru, di sebelah Utara
Teluk Palu, dalam wilayah Kampung Mamboro, hiduplah seorang wanita keturunan Tionghoa yang
bernama Ban Ho. Ia adalah seorang pedagang campuran yang menyewa kolong rumah bangsawan
Mamboro yang bernama Hali Borisa.

Suami Ban Ho adalah seorang pedagang yang kerap membeli hasil bumi di Teluk Palu berupa
Damar, Kopra, Kopi dan sebagainya untuk kemudian dijual ke Borneo1, Jawa, bahkan sampai ke
Tamasik2. Saat itu, di Tanjung Ruru terdapat Pelabuhan kecil, yang kerap disinggahi oleh kapal-kapal
milik saudagar dari berbagai wilayah, kesemuanya terkumpul di Teluk Palu.

Ban Ho sangat disayangi oleh penduduk setempat, bahkan mereka menganggapnya seperti
saudara mereka, karena BanHo seringkali memberi hutang kepada penduduk setempat, khususnya
untuk kebutuhan sehari hari, yang
bisa dilunasi jika telah kembali dari melaut ataupun saat panen tiba.

Masyarakat di Tanjung Ruru sebagian adalah nelayan, dan sisanya bekerja sebagai petani
ladang dan buruh pelabuhan. Kepala Kampung Mamboro, yang bernama Mangge Ojo, sering
membeli kebutuhan sehari- harinya di toko kelontong milik Ban Ho. Kebetulan, Hali Borisa yang
kolong rumahnya disewa oleh Ban Ho, masih kerabat dari Mangge3 Ojo.

Di Tanjung Ruru terdapat pasar Mamboro yang digelar dua kali dalam seminggu, setiap hari
Kamis dan hari Minggu. Pada suatu pekan, di hari Kamis, setelah rutinitas pasar Mamboro, orang-
orang kembali melanjutkan aktifitas, demikian pula dengan Ban Ho yang sibuk melayani pembeli di
tokonya.

“Ban Ho, apakah suamimu sudah kembali dari Tamasik?” tanya Mangge Ojo.
1
“Belum, Mangge Ojo. Katanya dia akan singgah dulu ke Borneo, mengantarkan Damar
pesanan langganannya di sana.Nanti setelah dari sana ia baru kembali ke Tanjung Ruru,” jawab Ban
Ho.

“Oh, baiklah, soalnya saya ada keperluan dengannya. Istri Tuan Raja Tawaeli memerlukan
beberapa zak semen untuk memperbaiki kolong rumahnya,” kata Mangge Ojo.

“Baiklah, Mangge, kalau Tuan Raja berkenan, saya masih punya beberapa zak yang boleh
dipakainya,” jawab Ban Ho.

“Bagus kalau begitu, nanti saya beritakan kepada


beliau.”

Seharian Ban Ho menunggu, orang suruhan Raja Tawaeli belum juga tiba, bahkan hingga
adzan Maghrib terdengar. Akhirnya ia memutuskan untuk menutup toko kelontongnya.

Pada saat yang sama, seperti ada yang tak biasa, yang dirasakan penduduk Tanjung Ruru.
Hawa terasa panas, angin seakan tak berhembus, hewan-hewan ternak yang dilepas pergi menjauhi
pesisir pantai.

“Ada apa gerangan, aroma air laut terasa sangat menyengat, dan udara terasa panas,
padahal sudah larut malam,” tanya Ban Ho kepada orang-orang yang lewat di depan tokonya.

“Iya, Ban Ho, kami juga merasakan hal sama,”


jawab mereka sambil berlalu.

Makin larut, cuaca di Tanjung Ruru tak berubah. Dilihatnya waktu hampir menunjukan pukul
23.30, Ban Ho pun kemudian terlelap dalam tidurnya.
Tiba-tiba saja gemuruh hebat terdengar, ia segera terbangun, didengarnya orang-orang
berteriak;“Lingu4!! Lingu!!”

Sesaat kemudian Ban Ho bangkit dari pembaringan, dan keluar dari tokonya. Di halaman
rumah, ia melihat keluarga Hali Borisa telah berkumpul di sana.

“Awas, Ban Ho,cepat keluar! Lingu besar sekali!”


teriak keluarga Hali Borisa.

Ban Ho sempat memperhatikan sekelilingnya yang gelap gulita, tampak samar olehnya
rumah-rumah yang telah berdiri miring akibat gempa. Waktu telah menunjukan sekitar jam satu dini
hari.

Orang-orang di Tanjung Ruru teringat peristiwa yang sama beberapa tahunyang lampau,
saat itu gempa bumi terjadi, lalu disertai naiknya permukaan air laut. Bentuk gelombang air laut saat
itu, menurut masyarakat Tanjung Ruru, laksana lidah yang siap menelan apa saja yang ada di
depannya; oleh karenanya mereka memberi nama air laut naik itu dengan istilah ‘dilantasi5’.

Mengingat peristiwa tersebut, secara spontan orang-orang Tanjung Ruru berteriak; “Lari!
Lari menjauh pantai! Sebentar lagi akan ada dilantasi!”

Mendengar teriakan itu, Ban Ho seketika berlari menjauhi pesisir pantai. Bersama orang-
orang Tanjung Ruru lainnya mereka kemudian bahu membahu menyelamatkan diri.

Ban Ho sempat melihat ke arah belakang, disaksikannya gelombang laut setinggi empat
meter yang

bernamadilantasi itu telah menelan pasar dan rumah Tuan Raja Tawaeli.

“Awas, dilantasi di belakang kita!” teriak Ban Ho

sekencang-kencangnya.

Situasi semakin riuh, suara anak kecil menangis bersahut-sahutan.


“Oh, Pue Ala Tala6, lindungilah kami dari dilantasi!”
2
seru orang-orang Tanjung Ruru.

Ban Ho merasa sedih, karena di saat seperti ini suaminya tercinta tak berada di sisinya, ia
merasa berjuang sendiri.

“Oh, Suamiku jika saja engkau berada di sampingku, aku tak akan sekhawatir ini,” ungkap
Ban Ho.

Belum juga ia sempat berseru, tak dinyana, kakinya terasa basah. Ternyata mereka saat itu
menyelamatkan diri melalui semak-semak yang berair serta berlumpur.

Dari rombongan belakang terdengar teriakan;


“Kita telah selamat! Dilantasi telah kembali lagi ke pantai!”

“Syukurlah, kita semua selamat!” seru salah


seorang kerabat Hali Borisa.

Mendengar berita itu, Ban Ho segera menghentikan langkahnya, ia sempat berpikir bahwa,
ada yang lupa diambilnya saat ia menyelamatkan diri
“Ya Tuhan, saya lupa mengambil buku catatan hutang piutang!”

Ban Ho berbalik arah lalu melangkah menuju ke tokonya, ia berharap bisa menemukan
catatan hutang piutang yang ditinggalnya di meja di dalam toko.

“Hendak kemana kau, Ban Ho?” tanya keluarga


Hali Borisa.

“Duduklah dulu, tenangkan dirimu, kita masih belum tahu apa yang terjadi dengan rumah
kita,” sambungnya kembali.
“Saya akan kembali ke toko sebentar saja, saya
lupa mengambil buku catatan utang,” jawab Ban Ho.

“Saat seperti ini, tak usah dulu, memikirkan harta, tunggulah beberapa saat kemudian, nanti
kita turun bersama-sama,” ucap Keluarga Hali Borisa.

“Dilantasi telah kembali ke laut, saya rasa ini waktu yang tepat untuk kembali melihat
keadaan tokoku,” jawab Ban Ho berkeras.

“Terserah engkaulah, yang penting, kami telah mengingatkanmu,” jawab keluarga Hali
Borisa dengan pasrah.

Ban Ho tetap pada keinginannya untuk pergi ke tokonya, ia telah melangkah dengan cepat
meninggalkan keluarga Hali Borisa. Beberapa menit berselang, terdengar gemuruh yang sangat keras
dari arah laut.

Ya Tuhan, itu pasti dilantasi yang mengamuk

kembali!” seru salah seorang keluarga Hali Borisa.

Cepat susul Ban Ho!Aku lupa bahwa dilantasi itu biasanya menyapu daratan sebanyak tiga kali!”
lanjutnya.

Salah seorang dari mereka sontak berdiri dan mengejar Ban Ho. Ia masih melihat samar-
samar bayangan Ban Ho, akan tetapi dari arah yang berlawanan dilhatnya pula dilantasi semakin
mendekat disertai suara gemuruh.

“Ban Ho! Cepat balik! Dilantasi datang lagi!”

teriaknya.

Akan tetapi usaha itu sia-sia, Ban Ho tak sempat lagi menghindari dilantasi yang datang
sangat cepat. Tubuh Ban Ho terhempas, lalu menghilang terseret gelombang dilantasi.

Sejak Peristiwa kelam malam itu, Ban Ho tak3 lagi kembali dan dinyatakan hilang terseret
dilantasi.

Peristiwa tahun 1938 itu menghancurkan pasar Mamboro serta Rumah Raja Tawaeli di
Mamboro. Orang- orang kemudian mengosongkan wilayah Tanjung Ruru dan membuat
perkampungan baru tak jauh dari Tanjung Ruru. Pada setiap daerah yang dilalui gelombang besar
tersebut, mereka beri nama dilantasi.

Konon, inisiatif untuk memindahkan rumah para warga, awalnya datang dari Hali Borisa, lalu
kemudian diikuti keluarga dan penduduk di sekitar Tanjung Ruru, termasuk Mahanila7.
Pemindahannya dengan cara dipikul secara bergotong royong, karena rumah-rumah saat itu
masih berbentuk rumah panggung.Puluhan tahun berselang, kawasan Tanjung Ruru atau dalam
penyebutan lokal disebut Tanju Ruru8, kembali beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, yang
rata-rata dibuka oleh warga pendatang yang berprofesi sebagai nelayan dan pengrajin ikan asin. Di
kawasan tersebut juga dibangun kantor Balai Benih Perikanan dan tambak udang Vaname milik
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulteng.

Warga yang dulunya pendatang ini, yang tidak mengetahui cerita tentang bencana tsunami
tahun 1938, banyak yang menjadi korban gelombang tsunami pada bencana 28 September 2018.

Kini sebagian warga ini memilih mendirikan kembali pemukiman di atas lahan bekas
rumahnya masing- masing, mengais rejeki di tempat yang bagi mereka telah menjadi rumah tercinta,
daripada menghuni tenda pengungsian maupun sekedar mengharap bantuan, dan sekalipun peta
Zona Rawan Bencana menegaskan bahwa kawasan pantai yang terdampak tsunami, tidak dianjurkan
untuk dihuni kembali.
4

Anda mungkin juga menyukai