Anda di halaman 1dari 43

Bayah menjadi tempat berkumpul romusha

dan pegawai pertambangan sejak Jepang


mengeksploitasi tambang batu bara pada 1
April 1943. Pada awal penambangan, sekitar
20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di kawasan pesisir selatan inilah
Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan
bekerja sebagai juru tulis.

Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare


menjadi satu-satunya tempat yang
mengandung batu bara di Pulau Jawa
sebelum Jepang datang. Belanda telah
memberikan izin membuka tambang kepada
perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum
mengeksploitasinya.

Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa


dipasok dari Sumatera dan Kalimantan.
Namun angkutan pelayaran Jepang banyak
terpakai oleh kepentingan perang. Jepang
ingin Jawa mandiri dalam memenuhi
kebutuhan batu bara.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan
Sumitomo. Mereka membuka jalur kereta api
dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah
sekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta
bersambung menuju ke lokasi penambangan
seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara.
Kini beberapa lokasi masih ditambang
penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai
begitu saja.

Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni


1943. Dia dikenal masyarakat Bayah
dengan nama samaran Ilyas Hussein.
Parino lamat-lamat mengingat nama
Hussein sebagai seorang kerani atau juru
tulis. Kalau enggak salah, orangnya
sangat pintar, kata Parino.

Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke


kantor Sosial. Dia butuh penghasilan
sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu,
perusahaan di Bayah membutuhkan 30
pekerjabukan romusha. Tan melamar
tanpa ijazah. Dia mengaku bersekolah di
MULO (setara dengan sekolah menengah
pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru
tulis di Singapura. Tan lulus dengan
menyisihkan 50 pelamar.

Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah


Abang, berakhir di Stasiun Saketi. Saat itu
kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi.
Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.

Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah


warga, sebelum menghuni gubuk kecil dari
bambu. Dia selalu memakai celana pendek,
kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang,
helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara
dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil
di depan umum.

Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk


Pulo Manuk, enam kilometer dari Bayah.
Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh
tentara Jepang, karena penyakit kudis,
disentri, dan malaria mewabah di sana.
Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi
faktor utama kematian romusha di Bayah.

Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi


data pekerja. Dia sering berhubungan
dengan romusha dan mencatat jumlah
kematian mereka. Dalam memoarnya, Tan
mencatat 400-500 romusha meninggal
setiap bulan. Hingga akhir pendudukan
Jepang, luas tempat pemakaman romusha
mencapai 38 hektare.

Keluar-masuk terowongan dan memberikan


nasihat pentingnya kesehatan, Tan dikenal
sebagai kerani yang baik hati. Dia suka
membelikan makanan buat romusha dari
upahnya sendiri. Kita dapat mempraktekkan
rasa tanggung jawab terhadap golongan
bangsa Indonesia yang menjadi korban
militerisme Jepang, kata Tan suatu ketika.

Nasib para romusha itu sedikit berubah


setelah datangnya Tan Malaka ke Bayah
yang bekerja sebagai juru tulis di kantor
sosial setempat. Tan Malaka sangat
memperhatikan nasib para romusha, ia sering
memberikan saran tentang kesehatan dan
kesejahteraan para romusha kepada pejabat
direktur di tempat ia bekerja Kolonel Tamura,
namun tidak berhasil. Tidak hanya hal itu
yang ia lakukan, tidak jarang ia juga pernah
membelikan para romusha nasi dengan
upahnya sendiri. Ia juga meminta bantuan
pemuda di sekitar Bayah untuk membangun
dapur umum bagi para romusha, membangun
rumah sakit di Bayah, dan membuka kebun
buah-buahan dan sayur-sayuran di Tegal
Lumbu dekat Bayah.

Di dalam perusahaan, dia selalu


mengusulkan peningkatan kesejahteraan
romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi
tetap bergaul dengan mereka, termasuk
penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia
mencoba berbicara mengenai kesejahteraan
pekerja, tapi upayanya sia-sia.

Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40


sen) dan 250 gram beras setiap hari. Uang
40 sen hanya cukup buat membeli satu
pisang. Dalam salah satu tulisannya,
Rencana Ekonomi Berjuang, Tan
mengatakan hitung-hitungan upah romusha
hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di
Surabaya pada November 1945.

Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di


Bayah lewat percakapan dua tokoh cerita, si
Toke dan si Godam. Seratus ton arang itu
diperoleh dengan makian bagero saja.
Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun
digedor, ucap si Godam. Ringkasnya,
Jepang sama sekali tidak mengeluarkan
bayaran romusha.

Tan mencoba menggalang pemuda untuk


memperbaiki nasib romusha. Dia menggagas
dapur umum yang menyediakan makanan
bagi seribu romusha. Mereka membangun
rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret.
Tan juga membuka kebun sayur dan buah-
buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari
Bayah.
Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk
sebagai Ketua Badan Pembantu Keluarga
Petaorganisasi sosial yang membantu
tentara bentukan Jepang, Pembela Tanah Air
(Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan
lebih leluasa mengadakan kegiatan
kemasyarakatan, seperti pertunjukan
sandiwara atau sepak bola.

Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama


Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara
banyak bercerita tentang nasib romusha.
Mereka pernah memainkan Hikayat Hang
Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam
kejuaraan di Rangkasbitung. Tan menggagas
pembangunan lapangan sepak bola di
Bayahkini menjadi terminal. Ia menjadi
pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi
wasit. Selesai bermain, dia biasanya
mentraktir para pemain.

Pada September 1944, Soekarno dan Hatta


berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota
panitia penyambutan tamu.Soekarno
berpidato bahwa Indonesia bersama Jepang
akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu,
Jepang memberikan kemerdekaan buat
Indonesia. Soekarno meminta pekerja
tambang membantu berjuang dengan
meningkatkan produksi batu bara.

Selesai pidato, moderator Sukarjo


Wiryopranoto mempersilakan hadirin
bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue
dan minuman untuk para tamu. Para
penanya rupanya sering mendapat
jawaban guyon sinis. Kepada Son-co
(Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo
mengejek supaya ikut kursus Pangreh
Praja.

Tan gerah dengan suasana penuh ejekan


itu. Dia pun menyimpan talam kue dan
minuman di belakang, lalu bertanya:
apakah tidak lebih tepat kemerdekaan
Indonesialah kelak yang lebih menjamin
kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus
menghormati jasa Jepang menyingkirkan
tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah.
Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan
semangat lebih besar membela kemerdekaan
yang ada daripada yang dijanjikan.

Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut


dia, Soekarno mungkin tidak pernah
didebat ketika berpidato di seluruh Jawa.
Apalagi bantahan itu dari Bayah, kota kecil
di pesisir yang cuma dikenal karena
urusan romusha dan nyamuk malaria. Tan
ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu
dihentikan.

Kalau Dai Nippon sekarang juga


memberikan kemerdekaan kepada saya,
maka saya tidak akan menerima. Suara
Bung Karno tegas ketika rangkaian
kalimat itu meluncur dari mulutnya. Tegas,
tak hanya karena ia ingin menguatkan
sikapnya, tetapi juga segera hendak
mengakhiri perdebatan yang menurutnya
debat kusir dengan lelaki kecil bertopi
mandor onderneming yang ngotot itu.

Pelan-pelan Bung Karno mengenali lelaki itu.


Benar, dia Tan Malaka, pejuang yang selama
ini menghilang dikejar-kejar tak hanya dinas
intelijen Hindia Belanda (PID), atau
Kempeitay Jepang, melainkan semua aparat
penjajah; Inggris, Amerika.
Bung Karno melihat lelaki yang mengaku
bernama Ilyas Hussein itu sigap hendak
merebut mikropon, hanya gagal karena Son
Co wilayah Bayah lebih dulu mengambilnya.
Perdebatan pun berakhir, hingga pertemuan
itu usai. Bahkan sampai Soekarno dan
rombongan pulang ke Jakarta, beberapa hari
kemudian.
Adegan itu terekam dalam buku Harry A
Poeze, penulis paling otoritatif tentang Tan
Malaka, Pergulatan Menuju Republik,
terbitan Grafiti Pers. Bung Karno, dalam
kampanye untuk menarik rakyat menjadi
romushasering diartikan sebagai kerja
paksa khas Jepang, sempat mengunjungi
Bayah, Banten Selatan, tempat romusha
dipekerjakan untuk membangun jaringan rel
kereta api Saketi-Bayah, sepanjang 150-an
km.
Bung Karno datang bersama Bung Hatta dan
para anggota Jawa Hokokai. Kedatangan itu
bagian dari kampanye Bung Karno untuk
bekerja sama dengan Pemerintah
Pendudukan Jepang, yang ia yakini akan
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Sebelumnya, pada 3 September 1944, Bung
Karno telah memberangkatkan 500-an
romusha ke Burma.
Para romusha itu berangkat dengan bangga,
diiringi pidato Soekarno, Tujuan usaha ini
adalah untuk menunjukkan kepada Jepang
bahwa penduduk Jawa telah siap sehidup
semati dengan Dai Nippon. Kita berjanji tidak
akan bercukur selama pengabdian sebagai
romusha, sebagai tanda bukti kepada
negara, kata Bung Karno, seperti tertuang
dalam buku yang ditulis Aiko Kurasawa.

Bung Karno sendiri datang ke Bayah sebagai


romusha. Pada lengannya tertulis pita besar
bernomor 970. Romusha bernama Soekarno
itu ditulis koran-koran zaman itu tinggal di
pondokan sederhana romusha, makan
makanan mereka. Koran juga memuat foto
saat Bung Karno mengangkat karung pasir
dalam pekerjaan sehari-hari romusha.
Bedanya, Bung Karno dan rombongan
beberapa hari kemudian pulang ke Jakarta,
dan para romusha asli tidak.
Pada saat acara penyambutan kedatangan
Bung Karno dkk itulah, terjadi perdebatan
antara Bung Karno dengan IlyasTan
Malaka. Pidato Soekarno bahwa Indonesia
bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu
dan setelah itu Jepang memberikan
kemerdekaan buat Indonesia, dibantah Tan
Malaka. Itulah perbedaan sikap kedua
pemimpin, pejuang yang sama-sama
mencita-citakan kemerdekaan Indonesia itu.
Kita tahu, soal romusha seringkali menjadi
titik hitam yang kerap dialamatkan kepada
hidup Bung Karno. Pasalnya, sebagaimana
kerja paksa yang digelar Jepang di sepanjang
Nok Pla Duk (Thailand) ke Thanbyuzayet
(Burma), yang menurut sejarahwan Aiko
Kurasawa menyebabkan kematian 30 ribu
romusha diantaranya asal Indonesia,
demikian pula di pembuatan rel Saketi-
Bayah. Ribuan romusha mati kelaparan dan
diserang penyakit. Dalam catatannya, Tan
Malaka menulis, di sarang malaria dan kolera
itu, setidaknya 300-an romusha mati setiap
bulan.
Tetapi bukankah manusia memang layak
punya cela? Bung Karno sendiri bukan
seorang berhati keras membatu. Kepada
penulis biografinya, Cindy Adam, almarhum
menyampaikan pengakuan, yang lebih laik
satu penyesalan.
Sesungguhnya akulah Sukarno yang
mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah
orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar
menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah
orangnya. Aku membuat pernyataan untuk
menyokong pengerahan romusha. Aku
bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala
dan cangkul di tangan untuk menunjukkan
betapa mudah dan enaknya menjadi seorang
romusha. Dengan para wartawan, juru potret,
Gunseikan Kepala Pemerintahan Militer-
dan para pembesar pemerintahan aku
membuat perjalanan ke Banten untuk
menyaksikan tulang-tulang-kerangka-hidup
yang menimbulkan belas, membudak di
garis-belakang, itu jauh di dalam tambang
batubara dan tambang mas. Mengerikan. Ini
membikin hati di dalam seperti diremuk-
remuk.
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan
dari Badan Pembantu Keluarga Peta
Rangkasbitung untuk membicarakan
kemerdekaan. Pertemuan itu untuk memilih
dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan
Jakarta. Tansebagai Husseindidaulat
menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.

Pertemuan di Jakarta diadakan buat


mempersatukan pemuda Jawa. Konferensi
gagal terlaksana karena larangan Jepang.
Tan hanya berbicara sebentar dengan
kelompok pemuda angkatan baru, seperti
Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh,
Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke
kantor pusat dan mencatat data mengenai
romusha. Suatu ketika, Jepang
mengumumkan rencana pemotongan
ransum. Tan lalu mengemukakan
keberatannya dengan berorasi di muka
umum. Besoknya, Jepang membatalkan
pengurangan ransum.

Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan


menjadi biang kerusuhan. Romusha
melarikan diri dan mogok di Gunung
Madur. Kempetai (polisi militer Jepang) di
Bayah mulai mencari identitas
Hussein. Tapi penyelidikan terhenti karena
posisi Jepang kian genting. Jerman sudah
menyerang dan Rusia menyerbu Jepang
pada 9 Agustus 1945.

Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai


longgar. Dia memanfaatkan situasi itu untuk
minta izin hadir dalam konferensi pemuda di
Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan
semua pegawai pertambangan dan
mendapatkan surat pengantar untuk
Soekarno dan Hatta.

Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu


sebentar dengan Sukarni. Dia tidak
mengetahui drama penculikan Soekarno dan
Hatta ke Rengasdengklok. Setelah merdeka,
Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir
Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi
pemimpin Peta, Djajaroekmantara.

Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan


lain, yakni mengambil naskah Madilog
(Materialisme, Dialektika, dan Logika).
Poeze mengatakan naskah itu tersimpan
rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur
terhenti sepeninggal Jepang. Penduduk
membumihanguskan Bayah saat agresi
militer kedua Belanda pada 1948. Pemerintah
setempat membuat tugu romusha pada 1950-
an. Rasanya dulu lebih ramai ketimbang
sekarang, kata Haji Sukaedji, 73 tahun,
warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.

Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan


kereta dari Jakarta menuju Bayah dan
Labuan. Tempobersama penulis buku Tan
Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-
1945 , Harry Albert Poezemenelusuri rute
perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini
bangunan itu telah menjadi tempat tinggal
anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58
tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi
pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar
1980. Stasiun Bayah kini menjadi tanah
kosong penuh ilalang.
Sejarah Pembangunan
Jalur Kereta Api
Pekanbaru - Kuansing -
Muaro Zaman Dulu
Kamis,05 Februari 2015 | 08:10:00
Dibaca: 7901 kali

Ket Foto : Lokomotif rongsokan di jalur Pekanbaru -


Kuansing- Muaro yang masih tersisa. ( fhoto : tv soax.com
)

Tidak banyak yang tahu, bahwa transportasi


kereta api yang digunakan membawa hasil
tambang batu bara zaman penjajahan Jepang
juga membentang sepanjang lebih 300 Km di
Riau. Bentangan rel kereta api itu dibangun pada
tahun 1943-1945, dengan memanfaatkan tenaga
pekerja paksa atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Romusha oleh Pemerintahan Militer
Jepang.

Namun kini tak ada lagi rel kereta api yang


dapat ditemui saat ini secara utuh. Kecuali bukti
besi tua yang diduga rel yang muncul
kepermukaan tanah sepanjang satu meter yang
terletak di tengah rimba kawasan Suaka Marga
Satwa di Rimbang Baling, Kuantan Singingi.

Diceritakan sebelum Perang Dunia II


pemerintah kolonial Belanda, tepatnya awal
tahun 1920an telah membuat rencana
pembangunan jaringan jalan rel kereta api yang
menghubungkan pantai timur dan pantai barat
Sumatera, yang akhirnya akan meliputi seluruh
pulau Sumatera. Jaringan rel kereta api itu
berguna untuk mengangkut hasil tambang batu
bara dari Sawah Lunto Sumatra Barat yang
direncanakan tidak diangkut melalui Samudra
Hindia mengingat banyak rintangan perang yang
akan dihadapi bila Belanda tetap melalui
Samudra Hindia. Namun karena berbagai hal
Pemerintah pusat di Belanda belum tertarik
untuk menindaklanjuti rencana ini.

Pada pertengahan tahun 1920, NIS ( Nederlands


Indische Staatsspoorwegen - Perusahaan Negara
Kereta Api Hindia Belanda ) melanjutkan
kembali penjajakan yang telah dilakukan
sebelumnya. NIS menugaskan Ir. W.J.M. Nivel
untuk mengkaji dan meneliti kemungkinan
dibangunnya jalur kereta api ke pantai timur
Sumatera. Beliau menuliskan laporan penelitian
dan pedoman teknis pembangunan jalur ini
dalam dokumen Staatsspoorwegen no.19 tahun
1927.

Tetapi rencana pembangunan jalur KA Muaro ke


Pekanbaru ini ditunda setelah
mempertimbangkan bahwa eksploitasi jalur KA
ke arah Pekanbaru yang sebagian besar hanya
mengandalkan Batubara. Maka menurut
perhitungan, biaya pembangunan tidak
sebanding dengan hasil yang diperoleh dari
eksploitasi. Selain itu medan yang dilalui cukup
berat, banyak terowongan, hutan-hutan, sungai
dan harus banyak membangun jembatan
serta banyaknya sarang nyamuk malaria yang
dapat membuat biaya pembangunan
membengkak. Karena belum dianggap layak,
rencana itu akhirnya tersimpan saja di arsip NIS.

Peta Jalur KA Muaro-Pekanbaru

Tahun 1942 Pemerintah Kolonial Belanda


menyerah kepada Jepang sedangkan rencananya
belum dilaksanakan. Ketika Penguasa Militer
Jepang mengetahui rencana pembangunan jalur
kereta api Muaro-Pekanbaru tersebut, mereka
melihatnya sebagai jalan keluar persoalan yang
mereka hadapi. Pembangunan jalan rel yang
menghubungkan Sumatera Barat dan pantai
timur Sumatera akan membuat jalur
transportasi yang menghindari Padang dan
Samudera Hindia yang dijaga ketat kapal perang
Sekutu. Jalan kereta api baru itu akan
memperluas jaringan Staatsspoorwegen de
Sumatras Weskust (SSS) sepanjang 215 km ke
pelabuhan Pekanbaru. Dari sana melalui Sungai
Siak akan mudah mencapai Selat Melaka.

Dalam pengerjaan jalur kereta api Pekanbaru-


Muaro ini menggunakan ribuan para pekerja (
romusha ) yang berasal dari berbagai negara,
selain dari Indonesia para pekerja yang
membangun jalur rel kereta api ini juga berasal
dari negara lain yang merupakan tawanan
perang, ada yang berasal dari Belanda, Inggris,
Australia, Amerika dan Selandia Baru. Jalur ini
dikerjakan antara bulan September 1943 sampai
dengan Agustus 1945.

Menurut laporan Palang Merah Internasional,


sekitar 80.000 dari 102.300 orang romusha
yang didatangkan dari Jawa meninggal dan
sekitar 700 orang tawanan perang Eropa
meninggal. Diperkirakan sekitar 10.000
romusha dikuburkan sepanjang jalan rel di
tengah belantara Sumatera, meski tidak akan
ada yang tahu jumlah pastinya. Sehingga jalur
kereta api ini dikenal juga sebagai Jalur Kereta
Api Maut Sumatera ada juga yang menyebutnya
Pekanbaru Rail Line, seorang penulis Belanda
menyebutnya "The Pekanbaru Death Railway".
Barak Pekerja Romusha Jalur KA Muaro-Pekanbaru

Agar pengerjaan dapat dilakukan dengan cepat,


dikerjakan juga jalur kereta api di Ujung
Moeara. (Muaro), kedua rel tersebut baik yang
dibangun dari Pekanbaru dan Muaro mengalami
titik pertemuan rel pada tanggal pada 15
Agustus 1945. Dalam pengerjaan jalur Kereta api
Sumatra Railway dari Pekanbaru hingga Muaro
terdapat banyak Kamp para pekerja,kam-kamp
itu terdapat di : "modder Lust" - Resort Lumpur,
Soengeitengkirang ("Death Camp" - Rumah
Sakit), Taratak Boeloeh, Loeboeksakat,
Soengaipagar, Lipat Kain (sisi sungai), Kota
Baroe, Logas, Loeboek Ambatjan, Koeantan-
rivier - 1, Koeantan-rivier - 2, Moeara, Tapoei,
Pete

Pada bulan Maret 1943, rombongan romusha


pertama tiba di Pekanbaru. Mereka bertugas
membangun emplasemen di Pakanbaru untuk
mempermudah pembangunan jalur KA menuju
pedalaman. Material rel dan bantalannya
diambil dari Deli Spoorweg Maatschappij di
Sumatera Utara. Namun ada juga pekerja yang
melihat adanya material dari Malang Stoomtram
Maatschappij. Jepang juga mengambil
kendaraan rel dan pegawai dari DSM. Ada 3
lokomotif DSM yang diambil. Dua diantaranya
adalah lokomotif 1B1 buatan Hanomag.
Pembangunan jalan rel dibangun secara asal-
asalan karena masing-masing Tentara Jepang
dan romusha tidak mengerti bagaimana cara
membangun jalan rel yang baik. Bantalan rel
dibuat dari kayu apa saja yang ada di hutan,
sehingga bantalan-bantalan tersebut pecah saat
rel ditancapkan pada kayu tersebut. Apabila
jalan rel melintasi rawa, rawa tersebut hanya
diuruk ala kadarnya tanpa dipadatkan, sehingga
tanah ini sangat rawan ambles apabila dilewati
Kereta Api. Jembatan rel yang dibangun pun
dibuat seadanya sehingga konstruksi jembatan
amat rapuh dan bisa saja ambruk sewaktu-
waktu.

Di daerah Logas, menurut para insinyur NIS


seharusnya dibangun Terowongan menembus
Bukit Barisan. Tetapi tentara Jepang tidak
mengindahkan pendapat para Insinyur NIS dan
sebaliknya membuat jalur memutar di samping
jurang dan membuat Talud yang konstruksinya
amat buruk. Beberapa saat sebelum Jepang
menyerah Kereta yang ditumpangi para romusha
anjlok di tempat ini dan jatuh ke jurang.

Daftar Kamp Romusha

Daftar Kamp Jalur KA Muaro-Pekanbaru


Kamp Muaro
Kamp Kuantan 2
Kamp Kuantan 1
Kamp Lubuk ambacang
Kamp Logas
Kamp Kotabaru
Kamp Lipat Kain
Kamp Sungai Pagar
Kamp Lubuk Sakat
Kamp Taratak Buluh
Kamp Kubang
Kamp Tengkirang/Tangkerang
Kamp Pekanbaru

Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan dalam


proyek pembangunan jalur kereta api ini tak
sebanding dengan hasilnya. Karena setelah jadi
ternyata jalur ini hanya digunakan antara Mei
1945 Agustus 1945 untuk pengangkutan batu
bara. Setelah itu jepang dipaksa angkat kaki oleh
Sekutu dengan dijatuhkannya bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki. Dan ironisnya, The
Pekanbaru Death Railway inipun terlantar.
Puluhan ribu korban yang berjatuhan tak
mendapat tempat dalam ingatan, bahkan hilang
dari sejarah.

Cerita tentang kereta api zaman Romusha ini


tenggelam, seiring hilang lenyapnya bangkai-
bangkai lokomotif, besi-besi jalur rel kereta api
dan bangunan-bangunan stasiun yang dijarah
oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab lalu
dijual sebagai barang rongsokan. Tak banyak
bukti yang tersisa tentang kereta api zaman
Romusha yang ada sekarang. Tak sepotongpun
rel kereta api tersisa dan ditemukan di sepanjang
jalur Sijunjung, Logas Tangko, Taluak Kuantan,
Lipat Kain sampai ke Pekanbaru.

Hanya dua dari sembilan unit lokomotif yang


masih tersisa sebagai bukti otentik sejarah. Satu
unit dijadikan monumen yang diletakkan di
makam pahlawan, jalan Kaharuddin Nasution,
Kota Pekanbaru. Monumen ini diresmikan
pemerintah tahun 1956. Sedangkan satu unit lagi
berada di dalam kawasan kebun karet
masyarakat, di jalan poros ganda, Desa lipat
Kain, Kampar Kiri, kabupaten Kuantan Singingi.
Sedangkan, 7 unit lainnya di Sungai Pencong, 1
unit di koto baru, semuanya sudah habis dijarah
dan dijual perkilo.

Sekitar 2 km dari jalan raya desa Lipat Kain,


terlihat sebuah lokomotif sepanjang 25 meter
ditumbuhi semak dan rumput liar di tengah
kebun karet masyarakat. Keberadaan lokomotif
ini tidak terlihat sebagai benda sejarah yang
diperhatikan. Lokomotif berbahan bakar batu
bara ini sudah tidak lengkap lagi, sejumlah besi
dindingnya bolong, diduga dicuri orang tak
bertanggungjawab. Begitupun dengan tumpukan
besi lainnya, termasuk mesin penggerak
lokomotif yang sempat beroperasi tahun 1943 ini
tidak lagi ditemui.

Lokomotif yang ditumbuhi semak ini berada di


atas landasan tembok. Namun, tidak dapat
dideteksi, kapan tembok penyangga besi tua ini
dibangun dan siapa yang membuat.

Namun, di dinding belakang lokomotif ini


tertulis " jaga/lestarikan peninggalan sejarah ".
Pt.Ganda Buanindo. Apakah perusahaan sawit
ini yang memagar keberadaan lokomotif ini
dengan tembok tersebut, tidak ada masyarakat
tempatan yang ditemui bisa memberikan
jawaban pasti.

Rongsokan Lokomotif Jalur KA Muaro-Pekanbaru


Pada tahun 1975 masyarakat sudah membongkar
rel yang membentang dari Pintu Batu sampai
Pekanbaru, lalu menjualnya kepada cukong besi
secara kiloan. Dua orang saksi mata yang ikut
bertugas membongkar rel kereta api di sekitar
desa Petai Kuantan Singingi, Badurrahmin dan
Muhammad Yulis mengaku ada perintah dari
pusat provinsi Riau. Namun, dia tidak tahu
perintah membongkar dan menjual lokomotif
apakah perintah negara atau hanya oknum
pemerintah. Yang jelas setiap kepala desa
dijadikan mandor pembongkaran rel tersebut.

" Waktu itu kami berlima sekelompok. Kelompok


saya, selain pak yulis ada Abdul Aziz
(almarhum), Baharuddin (almarhum) dan Arifin
(almarhum). Kami bekerja hanya tukar beras
sama rokok saja, " ujar Badurrahmin, penduduk
setempat.

" Tahun 1975 saya ikut mengangkat rel, per


meter diupah 300 rupiah. Ini diambil bersama-
sama, dibayar oleh Arifin, kepala Desa Sungai
Bawang waktu itu. Kereta Api tamat riwayatnya,
karena rel sudah dijual semuanya, " katanya.

" Kami sebagai masyarakat kecil mendapat


perintah, diupah beras dan rokok kamipun ikut.
Tidak tahu kalau hal itu jadi penting saat ini,"
lanjut Badurrahmin.

Diterangkannya, perintah membongkar rel


datang langsung dari Pekanbaru oleh Wan
Ghalib. Sedangkan Wan Ghalib mengaku sebagai
perintah dari wakil gubernur Riau Wan
Abdurrahman.

" Kita tak tahu apa alasannya, kami hanya


mengangkat rel saja. Setiap desa yang dilewati
rel masyarakatnya yang laki-laki ikut
membongkar, " tambahnya.

Rel sepanjang 300 KM lebih itu yang mulai


membentang sejak dari Pintu Batu perbatasan
Sumbar Riau hingga ke Pekanbaru selesai
dibongkar dalam setahun. Begitu juga dengan
lokomotif, habis terjual dalam waktu setahun.
Namun, dia tak tahu siapa yang menjadi
penadah penjualan besi tua tersebut.

Di Pekanbaru disekitar Marpoyan dapat kita


jumpai Monumen Lokomotif dan Tugu
Pahlawan Kerdja. Tugu dan monumen ini sangat
bersejarah dan sudah sangat tua. Tugu dan
monumen ini diresmikan pada tanggal 17
Agustus 1958. Monumen Lokomotif
menandakan bahwa dulunya pernah ada Kereta
Api di Kota Pekanbaru dan di dinding monumen
Lokomotif terdapat gambar kekerasan tentara
jepang terhadap romusha.
Monumen Lokomotif dan Tugu Pahlawan Kerdja

Di Pekanbaru juga terdapat sebuah jalan yang


bernama Jalan Kereta Api. Di Jalan Kereta Api
tersebut dahulunya terdapat rel Kereta Api.
Menurut masyarakat di sekitar Jalan Kereta Api,
dulunya terdapat beberapa sisa besi tua rel dan
besi-besi tersebut diambil dan dijual oleh orang
tidak dikenal.

Tidak hanya monumen lokomotif ataupun tugu


Pahlawan Kerdja saja yang menandakan bahwa
dulunya terdapat Kereta Api di Riau, tetapi juga
beberapa penelitian dari luar negeri, buku
maupun dokumentasi photo serta replika rel
kereta api dan lain-lain sebagainya juga masih
ada terdokumentasi dengan rapi diluar negeri
tepatnya di Monumen National Memorial
Arboretum di Staffordshire, Inggris.

Arbateum Railways National Monument - Staffordshire, England

Ada pula sebuah buku berjudul HET INDISCHE


SPOOR IN OORLOGSTIJD, Buku ini bercerita
tentang sejarah Kereta api di Hindia Belanda,
termasuk pembangunan Jalur Kereta Api
Muaro-Pekanbaru.

Cover buku Het Indische spoor in oorlogstijd

Tragedi kemanusiaan yang terjadi di rimba


Sumatera pada zaman pendudukan Jepang
dalam Perang Dunia II yang silam terekam
dalam buku karangan Henk Hovinga yang
berjudul : " The Sumatra Railroad: Final
destination Pakan Baroe 1943-1945 " (5th rev. ed
& 1st English ed.); Leiden: KITLV Press, 2010.

Cover buku The Sumatera Railroad

Di Monumen National Memorial Arboretum di


Staffordshire, Inggris, terdapat sebuah replika
yang menunjukkan sebuah jalur kereta api
sumatra, didalam replika tersebut terdapat
penunjuk arah ke Pekanbaru dan juga ke
Muaro. ( sumber : tv soax.com )
Replika jalur KA Muaro-Pe

Anda mungkin juga menyukai