Belanda yang memiliki model pengajaran mempengaruhi atau doktrinasi barat, pendidikan Jepang juga
memiliki model pengajaran dengan doktrinasi Asia Raya di bawah pimpinan Jepang. Model pengajaran
dengan bahasa pengantar yaitu bahasa Jepang yang di terapkan pada pendidikan di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang. Mata pelajaran yang diberikan juga mengacu pada kebudayaan Jepang. Selain model
pendidikan formal diadakan juga kursus-kursus, pendirian badan olah raga ada pula pendidikan
keprajuritan.
Penerapan pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang yang mengharuskan penguasaan dalam
bahasa Jepang, karena bahasa pengantar dalam pengajaran adalah bahasa Jepang. Hal ini secara tidak
langsung memperkenalkan budaya Jepang pada rakyat Indonesia. Akan tetapi memang inilah yang
diharapkan Jepang pada pendidikan yang diberikan pada rakyat Indonesia. Dalam pendidikan ini memang
sengaja di masukkan kebudayaan Jepang. Contoh-contoh kebudayaan yang diberikan yaitu adat istiadat
Jepang, semangat Jepang, lagu-lagu Jepang dan olahraga. Dengan pemberian kebudayaan Jepang
diharapkan dapat menghilangkan pengaruh pendidikan gaya barat yang sebelumnya ada.
Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah penerapan sistem pendidikan militer. Sistem
pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa memiliki kewajiban mengikuti
latihan dasar kemiliteran dan mampu menghapal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para
gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai pengantar di sekolah
menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan.
Dengan melihat kondisi tersebut, ada dua sisi, yaitu kelebihan dan keku rangan dari sistem pendidikan
yang diterapkan pada masa Belanda yang lebih liberal namun terbatas. Sementara pada masa Jepang
konsep diskriminasi tidak ada, tetapi terjadi penurunan kualitas secara drastis baik dari keilmuan maupun
mutu murid dan guru.
Contoh-Contoh Sekolahan yang Ada pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia Sekolah rakyat yang
ada pada masa pendudukan Jepang di Indonesia contohnya H.I.S Djagamonjet, H.I.S Oastenweg, H.I.S
Baloelweg-Djatinegara. Sekolah menengah pertama seperti Sekolah Menengah Pertama I di prapatan 10,
Sekolah Menengah Pewrtama II di Gambir Wetan 2, Sekolah Menengah Pertama III di Jalan Reynstaa
(Manggarai). Selain itu ada pula Sekolah Menengah Tinggi di Menteng 10. Ada pula sekolah Tabib
Jakarta dan sekolah Tinggi Hukum Jakarta dan bagi kaum wanita didirikan Sekolah Kepandaian Poetri
Wakaba. Mungkin hampir 90% sekolah menengah yang didirikan Belanda dihapuskan oleh Jepang.
Karena Jepang ingin menghapuskan rakyat Indonesia dari pengaruh Barat. Jepang ingin mengenalkan
Asia Raya di bawah pimpinan Jepang.[gs
Pengerahan Romusha - Romusha adalah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa
pada masa penjajahan Jepang di indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah
petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Jumlah orang-
orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.
Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat antara lain supaya dibentuk
badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi tenaga sukarela, melalui kerja sama dengan bupati,
wedana, camat dan kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja (buruh) sekarela di perusahaan-perusahaan
bala tentara Jepang. Namun dalam pelaksanaannya persyaratan yang disampaikan oleh Chuo Sangi In itu
diabaikan. Pada hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti halnya di Yogyakarta, tepatnya
di desa Timbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha dilakukan oleh perangkat desa dengan cara medatangi
keluarga-keluarga yang memiliki tenaga potensial untuk dijadikan romusha. Keluarga yang menolak,
mereka takut-takuti akan dikucilkan. Jika anak yang diminta itu tidak berada dirumah, mereka biasanya
mencari ke sawah dan kalau sudah ketemu dibawa secara paksa ketempat pengerahan.
Selama berada ditempat kerja sampai pulang ke kampong halamannya, ternyata romusha mendapat
fasilitas sangat minim dan banyak yang tidak diberi upah, tetapi tidak dapat menuntut karena memang
tidak ada perjanjian kerja tertulis. Mereka dikerahkan menjadi tenaga kerja paksa dan buruh yang diberi
upah selayaknya.Sebelum penyerahan Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942, Jepang telah
memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu menyediakan tenaga manusia dalam jumlah yang
memadai untuk memenangkan perang. Perhitungan itu didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah
penduduk di Pulau Jawa sangat banyak, ditambah lagi dengan pertumbuhannya yang begitu pesat.
Sehingga Jepang tidak bakal mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena
disamping itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara paksa, dan
tidak perlu banyak pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula untuk mencari
pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat persediaan manusia cukup banyak.
Berdasarkan pola pemikiran itulah maka Jepang denga leluasa memanfaatkan tenaga manusia yang ada
di Pulau Jawa dan dengan matinya beribu-ribu romusha seakan-akan tidak menjadi beban moral.
Mereka meninggal karena kekurangan makan, kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit. Selain itu juga
karena kerasnya pengawasan dan siksaan Jepang yang kejam dan tidak berperi kemanusiaan. Dibarak-
barak romusha tidak tersedia perawatan dan tenaga kesehatan. Seakan-akan telah menjadi rumus bahwa
siapa yang tidak lagi kuat bekerja maka akan mati. Sebagai mana alam pemikiran jepang, bahwa bukan
manusianya yang diperhitungkan melainkan tujuannya yaitu “menang perang”.
Para tenaga kerja yang disebut romusha atau jepang menyebutnya prajutit pekerja, diperlukan untuk
membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan, gudang senjata, jalan raya dan lapangan
udara. Selain itu, mereka diperkejakan di pabrik-pabrik seperti pabrik garam dan pabrik kayu di Surabaya
dan di Sumatera Selatan, mereka diperkejakan di pabrik pembuatan dinamit di Talangbetutu atau
dipertambangan batu bara serta penyulingan minyak. Mereka diperkejakan pula dipelabuhan- pelabuhan
antara lain memuat dan membongkar barang-barang dari kapal-kapal. Bahkan di desa Gendeng, dekat
Badug, Yohyakarta misalnya romusha menanam sayuran dan palawija guna memenuhi kebutuhan makan
Jepang dan romusha itu sendiri. Pada umumnya mereka diperdapat di desa-desa, terdiri dari pemuda
petani dan penganggur. Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan
tenaga tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan
pengerahan tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan, karena orang masih terpengaruh propaganda “
intik kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bahkan, dibeberapa kota terdapat barisan-barisan romusha
untuk bekerja ditempat-tempat dan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, dalam bulan September 1944
sejumlah 500 orang romusha sukarela, yang terdiri dari pegawai tinggi dan menengah serta golongan
terpelajar di bawah pimpinan Ir Soekarno berangkat dari kantor besar Jawa Hokokai dengan berjalan kaki
ke stasiun tanah abang, Jakarta diiringi orkes suling Maluku. Di antara mereka juga terdapat pula orang
Cina, Arab, dan India. Rombongan diikuti pula oleh anggota yang sudah berumur 60 tahun, sehingga
Soekarno memuji mereka sebagai masih kuat seperti orang muda. Lama-kelamaan karena kebutuhan yang
terus meningkat di seluruh Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela seperti yang telah
diteladani oleh Soekarno itu, berubah manjadi paksaan. Pemerintah Tentara Ke-16 membentuk suatu
badan kusus yang melaksanakan pengerahan romusha secara besar-besaran pada tahun 1944. Badan ini
disebut Romukyoku. Romukyoku membuat peraturan sebagai berikut : orang atau badan yang
membutuhkan tenaga romusha lebih dari 30 orang diharuskan mengajukan permohonan kepada kepala
daerah setempat. Sipemohon, baik orang maupun badan, harus memiliki perusahaan atau pabrik yang
bermanfaat untuk kepentingan perang. Bahkan, banyak di antara petugas pengerahan romusha bersikap
curang, seperti mencoret nama yang sudah terdaftar dan menggantikan dengan nama lain karena
menerima suap sejumlah uang. Sebaliknya, ada pula kepala desa yang menunjuk seorang yang menjadi
romusha sebagai tindakan balas dendam atau rasa tidak suka. Dengan uang pula, seseorang yang sudah
terdaftar sebagai romusha dapat menunjuk orang lain sebagai penggantinya. Romusha yang diperkejakan
di proyek-proyek, antara lain pembuatan jalan, jembatan, barak-barak militer, berlangsung selama satu
sampai tiga bulan. Lebih dari tiga bulan merupakan masa kerja romusha yang diperkejakan di proyek-
proyek diluar keresidenan mereka. Tidak hanya keluar Jawa, bahkan eomusha dikirim ke luar Indonesia,
seperti Birma, Muang, Tgai, Vietnam dan Malaysia.
Tidak sesuai dengan usul yang disampaikan oleh anggota Chuo Sangi In agar para romusha diperlakukan
secara layak, ternyata mereka diperlakukan sangat buruk. Sejak pagi buta sampai petang hari mereka
dipaksa melakukan pekerjaan kasar tanpa makan dan perawatan cukup, membuat kondisi fisik mereka
menjadi sangat lemah dan mereka gampir tidak punya sisa kekuatan. Jika ada diantara mereka yang
beristirahat sekalipun hanya sebentar, hal itu akan mengundang maki-makian dan pukulan-pukulan dari
pengawas mereka orang Jepang. Hanya pada malam hari mereka berkesempatan melepaskan lelah. Dalam
keadaan demikian, mereka tidak punya daya tahan lagi terhadap penyakit. Karena tidak sempat memasak
air minum, sedangkan buang air di sembarang tempat, berjangkitnya wabah disentri, karena tidak dapat
menghindari diri dari serangan nyamuk, banyak diantara mereka yang diserang malaria.[gs]
PERJUANGAN RAKYAT MELAWAN PENJAJAH BELANDA
Bangsa Belanda pernah menguasai Indonesia lebih dari 300 tahun. Dalam kurun waktu itu,
berkali-kali rakyat Indonesia mengadakan perlawanan. Pada bagian ini kita akan
membahas tentang kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia, bentuk-bentuk penindasan
Bangsa Belanda, dan perjuangan menentang penjajahan Bangsa Belanda.
1. Pada tahun 1830, Van Der Capellen diganti Van Den Bosch. Bosch
mendapat tugas mengisi kas Belanda yang kosong. Ia memberlakukan tanam paksa
atau cultuur stelsel untuk mengisi kas pemerintah yang kosong. Van Den Bosch
membuat aturanaturan untuk tanam paksa sebagai berikut.Rakyat wajib
menyediakan 1/5 dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran
Eropa.
2. Tanah yang dipakai untuk tanamam paksa bebas dari pajak.
3. Hasil tanaman diserahkan kepada Belanda.
4. Pekerjaan untuk tanam paksa tidak melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk
menanam padi.
5. Kerusakan-kerusakan yang tidak dapat dicegah oleh petani menjadi
tanggungan Belanda.
6. Rakyat Indonesia yang bukan petani harus bekerja 66 hari tiap tahun bagi
pemerintah Hindia Belanda.
Kenyataannya, ada banyak penyelewengan dari ketentuan itu. Misalnya, tanah yang harus
disediakan oleh petani melebihi luas tanah yang telah ditentukan, rakyat harus
menanggung kerusakan hasil panen, rakya harus bekerja lebih dari 66 hari, dan lain-lain.
Akhirnya ketentuanketentuan yang diatur dalam tanam paksa tidak berlaku sama sekali.
Pemerintah Belanda semakin bertindak sewenang-wenang. Tanam paksa mengakibatkan
penderitaan luar biasa bagi rakyat Indonesia. Hasil pertanian menurun. Rakyat mengalami
kelaparan. Akibat kelaparan banyak rakyat yang mati. Sebaliknya, tanam paksa ini
memberikan
keuntungan yang melimpah bagi Belanda. Namun, masih ada orang Belanda yang peduli
terhadap nasib rakyat Indonesia. Di antaranya adalah Douwes Dekker. Ia mengecam
tanam paksa melalui bukunya yang berjudul Max Havelaar, dengan nama
samaran Multatuli. Max Havelaar menceritakan penderitaan bangsa Indonesia sewaktu
dilaksanakan tanam paksa.
Max Havelaar menggegerkan seluruh warga Belanda. Timbul perdebatan hebat tentang
tanam paksa di negeri Belanda. Akhirnya, Parlemen Belanda me-mutuskan untuk
menghapus tanam paksa secepatnya.
Penyebab perang Bali adalah Belanda ingin menghapus hukum tawan karang dan
memaksa Raja-raja Bali mengakui kedaulatan Belanda di Bali. Isi hukum tawan karang
adalah kerajaan berhak merampas dan menyita barang serta kapal-kapal yang terdampar
di Pulau Bali. Raja-raja Bali menolak keinginan Belanda. Akhirnya, Belanda menyerang
Bali. Belanda melakukan tiga kali penyerangan, yaitu pada tahun 1846, 1848, dan 1849.
Rakyat Bali mempertahankan tanah air mereka. Setelah Buleleng dapat ditaklukkan, rakyat
Bali mengadakan perang puputan, yaitu berperang sampai titik darah terakhir. Di antaranya
Perang Puputan Badung (1906), Perang Puputan Kusumba (1908), dan Perang Puputan
Klungkung (1908). Salah saut pemimpin perlawanan rakyat Bali yang terkenal
adalah Raja Buleleng dibantu oleh Gusti Ketut Jelantik.
Dari beberapa perlawanan yang dilakukan oleh rakyat di berbagai daerah pada awalnya
mengalami kemenangan tetapi pada akhirnya mengalami kekalahan. Hal itu disebabkan
karena beberapa hal antara lain :
1. Rakyat tidak bersatu, tetapi berjuang secara kedaerahan.
2. Rakyat mudah diadu domba, ingat politik devide et impera (politik adu domba).
3. Kurangnya persenjataan.