Anda di halaman 1dari 6

Hiu juga dikenal sebagai predator puncak (apex predator) di laut yang berfungsi menjaga

keseimbangan ekosistem laut. Hiu merupakan salah satu satwa tertua di bumi ini yang sudah
menjelajahi lautan sejak 450 juta tahun yang lalu dan berhasil melewati lima fenomena
kepunahan massal (Signorelli, 2020). Sebagai predator puncak, hiu berperan untuk melakukan
kontrol populasi dalam rantai makanan demi menjaga keseimbangan populasi satwa lainnya pada
suatu ekosistem. Hiu memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi ikan yang sakit, tua, dan
lemah. Hal ini juga turut mengurangi risiko penyebaran penyakit di dalam suatu ekosistem di
laut.  
Indonesia menjadi negara dengan penangkapan hiu dan pari terbesar di dunia, mencapai
12,31% atau 88.790 ton per tahun (S.P. KKP, 2021). Sebagai puncak rantai makanan, hiu rentan
akan kepunahan karena memiliki kapasitas reproduksi yang rendah, frekuensi melahirkan yang
minim, pertumbuhan lambat serta umur yang panjang. Beragam ancaman juga menjadi faktor
punahnya hiu, antara lain disebabkan penangkapan yang tidak lestari; penurunan populasi;
kerusakan habitat perubahan lingkungan, seperti sampah laut dan pariwisata yang tidak
bertanggung jawab (Sjarief, 2021).
Secara sosial ekonomi, komoditas perikanan hiu merupakan salah satu komoditas penting
bagi sebagian masyarakat yang telah memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan mereka,
namun disayangkan lambat laun telah merubah pandangan terhadap komoditas hiu yang semula
sebagai hasil tangkapan yang bersifat insidental menjadi hasil tangkapan sampingan yang
diharapkan. Walaupun kebanyakan kegiatan penangkapan ikan tidak menangkap ikan hiu
sebagai target tangkapannya, namun komoditas tersebut menjadi komponen penting bagi hasil
tangkapan mereka. Kondisi ini lambat laun telah meningkatkan tingkat eksploitasi terhadap
sumber daya hiu di perairan Indonesia (Syahruddin, 2021).
Usaha perikanan hiu telah berlangsung sejak tahun 1970. Pada periode tersebut, ikan hiu
hanya sebagai tangkapan sampingan (bycatch) dari perikanan tuna. Meskipun demikian, usaha
ini cukup menjanjikan dan nilai produksinya terus meningkat dari tahun ke tahun (Fahmi dan
Dharmadi, 2005). Ikan hiu ini memberikan nilai ekonomis dalam berbagai bentuk produk.
Produk ikan hiu terdiri dari daging, tulang, kulit, gigi dan rahang, isi perut, hati dan sirip
(Hardiningsih et al., 2017).

Hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) telah masuk dalam daftar appendiks II CITES
pada tahun 2013 dan tahun 2016. Hal ini berarti bahwa perdagangan sirip hiu dan produk jenis
ini dari Indonesia ke luar negeri harus melalui pengawasan yang ketat dari pemerintah
berdasarkan mekanisme CITES.
Daging hiu lanjaman memiliki nilai jual tetapi tidak setinggi harga siripnya. Di wilayah
Provinsi Gorontalo, pengepul membeli daging jenis ini pada nelayan kecil dengan harga Rp
7.500,- per kg (Amir, 2022). Di wilayah Kota Balikpapan, pengepul membeli daging jenis ini
pada nelayan kecil dengan harga Rp 8.111,- per kg (Dhewi et al, 2021). Di wilayah Kota
Makassar, pengepul membeli daging jenis ini pada nelayan kecil dengan harga yang dibanderol
berkisar antara Rp 10.000 –15.000,- per kg (Iffah, 2022). Adapun alur distribusi pemanfaatannya
dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Diagram alur distribusi pemanfaatan ikan hiu

Produk sirip hiu martil dan hiu lanjaman dalam setahun dapat mencapai sekitar 200 juta
rupiah dengan nilai pendapatan (bruto) hingga 2 milyar rupiah (Arafat, 2021). Perburuan hiu
terjadi karena adanya permintaan sirip di pasar nasional maupun internasional. Di wilayah
Provinsi Gorontalo, satu set sirip hiu Carcharhinus falciformis (dua sirip dada, satu sirip
punggung, dan satu sirip ekor bagian bawah dari seekor hiu) dibeli oleh pengepul dibanderol
dengan harga Rp 1.200.000,- untuk yang berukuran 40 cm dengan berat 1 kg (Amir, 2022).
Harga sirip hiu akan berbanding lurus dengan ukuran panjang dan beratnya. Harga jual dari
sirip ini sangat menggiurkan bagi nelayan khususnya nelayan kecil sehingga mereka
berbondong-bondong melakukan penangkapan hiu. Ketergantungan nelayan untuk tetap
menangkap hiu disebabkan karena hiu bernilai ekonomi tinggi dan bisa untuk dikonsumsi
sendiri,
Arafat (2021) dalam tulisannya menyatakan bahwa perdagangan dan Nilai Ekonomi
Produk sirip hiu lanjaman untuk 1 individu hiu terdiri dari 2 sirip dada, 1 sirip punggung dan 1
sirip ekor. Harga sirip bervariasi berdasarkan size/ukuran panjang sirip. Mengingat ukuran sirip
dada, sirip punggung dan sirip ekor tidak sama, maka oleh para pelaku usaha menjadikan Patoka
ukuran sirip dada sebagai dasar penentuan harga beli. Ukuran sirip dada terkecil adalah 15 cm
dan terpanjang 45 cm (khusus hiu martil maksimal ukuran 30 cm). sirip hiu martil dan hiu
lanjaman juga memiliki harga jual yang berbeda. Sirip hiu martil memiliki harga dengan kisaran
Rp 450.000 – Rp. 900.000/kg (ukuran 30 cm), sedangkan sirip hiu lanjaman memiliki harga Rp.
1.200.000/kg (ukuran 45 cm). Para pengusaha di Kota Sorong memiliki harga beli sirip yang
berbeda-beda, ini juga tergantung dari pembeli (buyer) di lokasi tujuan pengiriman.

Studi Kasus di Kota Sorong.

Hasil analisis laba/rugi untuk usaha perikanan sirip hiu


Berdasarkan hasil analisa tersebut, terlihat perkiraan keuntungan (netto) usaha perikanan
hiu (produk sirip) dalam setahun dapat mencapai dua ratusan juta rupiah dengan nilai pendapatan
(bruto) hingga 2,2 milyar rupiah. Adapun perbandingan nilai ekonomi langsung dari sirip hiu
martil dan hiu lanjaman terhadap total pendapatan penjualan sirip hiu, dimana produk sirip hiu
martil menyumbang sebesar 7,25% dan produk sirip hiu lanjaman menyumbang sekitar 37,27%
berasal dari produk sirip hiu lanjaman (Arafat, 2021).

Hal ini memperlihatkan bahwa usaha perikanan produk sirip hiu lanjaman (Carcharhinus
falciformis) memberi keuntungan bagi para pelaku usaha perikanan. Bahkan untuk jenis hiu yang
telah masuk daftar appendiks CITES seperti hiu lanjaman masih menjadi target usaha. Oleh
karena itu, pemerintah perlu merumuskan kebijakan pemanfaatan hiu khususnya pada jenis hiu
yang telah masuk daftar appendiks CITES. Mengingat sebahagian nelayan dan pelaku usaha
perikanan hiu masih bergantung pada produk hiu lanjaman maka perlu dilakukan pengaturan
pemanfaatannya dalam hal batasan jumlah atau menerapkan mekanisme kuota yang boleh
dimanfaatkan agar keberadaannya tetap lestari di perairan.

Peredaran keluar-masuk produk sirip hiu dari Kota Sorong


Pengusaha pengumpul/pengepul/penampung produk sirip hiu di Kota Sorong
menampung hasil tangkap nelayan berupa sirip kering ataupun mendapat kiriman produk dari
wilayah lain. Misalnya produk sirip hiu dari Kota Sorong berasal dari Kabupaten Sorong, Sorong
Selatan, Bintuni, Fakfak, Kaimana, Manokwari, dan Tambrauw. Tidak hanya dari wilayah
Provinsi Papua Barat, beberapa daerah penangkapan dan asal pengiriman produk dari Serui,
Jayapura, Biak (Provinsi Papua), Ambon dan Seram (Provinsi Maluku) dan Obi dan Halmahera
(Provinsi Maluku Utara). Produk sirip hiu dari Kota Sorong kemudian dikirim ke luar wilayah
dengan tujuan pengiriman ke Batam, Jakarta, Cilacap, Surabaya, Manado, Makassar dan Bau-
bau (Arafat, 2021).

Peredaran keluar-masuk produk hiu dari Wilayah Sulawesi

Produk sirip hiu dari Wilayah Sulawesi kemudian dikirim ke luar wilayah dengan tujuan
pengiriman ke Mamuju, Gorontalo, Makassar, Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya (Amir,
2022).

Peredaran keluar-masuk produk sirip dan daging hiu dari Wilayah Aceh

sebagian besar produk hiu dari Aceh di distribusikan ke provinsi Sumatera Utara (Ichsan et al,
2021).

Sumber:
Dhewi, R. T., Ardiansah, H. Prianti, & D. Listiyaningsing. 2021. Pemanfaatan Ikan Hiu dan Pari
Asap untuk Konsumsi Lokal di Kota Balikpapan. Prosiding Simposium Hiu dan Pari di
Indonesia ke-3. Hal 24-36.

Fahmi dan Dharmadi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya. Oseana, Volume
XXX, Nomor 1. (1-8).

Gulam Arafat, 2021. Produksi, Perdagangan dan Peredaran Produk Hiu Martil Dan Hiu
Lanjaman di Kota Sorong, Papua Barat. Prosiding Simposium Hiu dan Pari di Indonesia
ke-3. Hal 77-87.
Hardiningsih, W., Purwadi, H., & Latifah, E. (2017). Dampak Ketiadaan Pengaturan Kuota
Ekspor Hiu Tikus (Alopias Ssp.) di Indonesia. Padjadjaran Journal of Law, 4(3), 588-
605.

Hargiyatno, I. T., L. Sadiyah, & A. A. Widodo. 2021. Kajian Risiko Kerentanan Ecological
Reated Species (ERS) pada Perikanan Handline Tuna Berbasis di PPS Cilacap. Prosiding
Simposium Hiu dan Pari di Indonesia ke-3. Hal 157-168.

Syahruddin, A., R. A. I. Sukmoputro, U. Syaripudin, & F. Darondo. 2021. Volume Perdagangan


Hiu Hidup di Sulawesi Tengah. Prosiding Simposium Hiu dan Pari di Indonesia ke-3. Hal
331-340.

Anda mungkin juga menyukai