Anda di halaman 1dari 14

BAB I

KONSEP DASAR PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSI

A. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan


Ada dua istilah yang sering digunakan dalam Psikologi, yaitu “Pertumbuhan”
(Growth) dan “Perkembangan” (Development). Dalam penggunaan bahasa Indonesia atau
percakapan sehari-hari, pengertian kedua istilah tersebut sering dihiraukan perbedaannya,
namun dalam Psikologi bahwa kedua istilah tersebut mengandung perbedaan, persamaan
dan keterkaitan, atau dengan kata lain kedua istilah tersebut dapat dibedakan meskipun
hampir tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam satu kesatuan diri individu manusia.
Istilah “pertumbuhan” mengacu kepada perubahan yang terjadi pada seseorang
dalam segi fisik (jasmaniah), komposisi hormonal, cells, dan disposisi biologis, baik yang
tampak dari luar maupun organ-organ tubuh yang tidak tampak, yang hanya dapat
dideteksi oleh alat khusus. Contohnya: postur tubuh, raut wajah, bentuk hidung, pipi, dan
mata, komposisi hormon, jenis darah, struktur otak dan sejumlah cells yang berada di
dalamnya, dan organ-organ dalam, yang bekerja dan tumbuh sesuai dengan usia
kronologis seseorang. Perubahan pertumbuhan terjadi pada bentuk dan struktur fisiknya.
Dalam pengertian ini, pertumbuhan merupakan perubahan yang bersifat kuantitas dalam
struktur fisik seseorang, seperti tinggi badan yang makin bertambah. Perubahan yang
bersifat kuantitas ini lebih konkrit.
Dalam kehidupannya, manusia akan mengalami pertumbuhan fisik mengikuti pola-
pola umum dan pola-pola unik sebagai pembawaan individual. Sejak dalam kandungan,
janin telah mengalami pertumbuhan fisik yang sangat cepat, bahkan tercepat bila
dibandingkan dengan masa sesudah kelahirannya, karena hanya dalam waktu kira-kira 9
bulan lebih, janin yang berasal dari setetes air mani itu tumbuh secara berangsur dan
menjelma menjadi janin manusia. Pada permulaan masa bayi, akan mengalami
pertumbuhan yang agak lambat namun pasti, kemudian makin cepat, dan mencapai puncak
pertumbuhan tercepat pada masa remaja, setelah itu berlangsung moderat, bahkan hampir
tidak ada pertumbuhan lagi, dan akhirnya berangsur-angsur menurun. Dengan kata lain,
pertumbuhan mengalami keterbatasan.
Pertumbuhan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor heriditas dan pembawaan
individu itu sendiri daripada faktor lingkungan. Setiap anak secara fisik lebih mirip kepada
ayah, ibu, dan keturunannya karena mewarisi heriditas dari keturunannya.
Pertumbuhan sebenarnya merupakan sebuah istilah yang lazim digunakan dalam
biologi, sehingga pengertiannya bersifat biologis. C.P. Chaplin (2002), mengartikan
pertumbuhan sebagai satu pertambahan atau kenaikan dalam ukuran dari bagian-bagian
tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan. Menurut Sinolungan (1997),
pertumbuhan menunjukan pada perubahan kuantitatif, yaitu yang dapat dihitung atau
diukur, seperti panjang atau berat tubuh. Sedangkan Thonthowi (1993) mengartikan,
pertumbuhan sebagai perubahan jasad yang meningkat dalam ukuran (size) sebagai akibat
dari adanya perbanyakan (multiplication) sel-sel.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa istilah pertumbuhan
merujuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu peningkatan dalam ukuran dan
struktur, seperti: pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, kepala, jantung, paru-paru, dan
sebagainnya. Dengan demikian, istilah pertumbuhan tidak dapat digunakan untuk aspek
psikologsis, misalnya: pertumbuhan ingatan, pertumbuhan berpikir, pertumbuhan menulis,
pertumbuhan penginderaan, dan sebagainya (Mar’at, 2013: 5).
Menurut Desmita (2012), pertumbuhan fisik bersifat meningkat, menetap, dan
kemudian mengalami kemunduran sejalan dengan bertambahnya usia. Hal itu berarti
pertumbuhan fisik ada puncaknya. Sesudah suatu masa tertentu, fisik mulai mengalami
kemunduran dan berakhir pada keruntuhan di hari tua, di mana kekuatan dan kesehatan
manusia berkurang, panca indera menjadi lemah atau lumpuh sama sekali. Hal itu seperti
yang difirmankan oleh Allah SWT:

‫ُﻮ اﻟْ َﻌﻠِﻴ ُﻢ اﻟْ َﻘﺪِﻳ ُﺮ‬


َ ‫ﺸﺎءُ َوﻫ‬
َ َ‫ْﻒ ﻗـ ﱠُﻮةً ﰒُﱠ َﺟ َﻌ َﻞ ِﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌ ِﺪ ﻗـ ﱠُﻮةٍ َﺿ ْﻌﻔًﺎ َو َﺷ ْﻴـﺒَﺔً ﳜَْﻠُ ُﻖ ﻣَﺎ ﻳ‬
ٍ ‫ﺿﻌ‬
َ ‫ْﻒ ﰒُﱠ َﺟ َﻌ َﻞ ِﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌ ِﺪ‬
ٍ ‫ﺿﻌ‬
َ ‫ا ﱠُ اﻟﱠﺬِي َﺧﻠَ َﻘ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ‬

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan
(kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah kuat itu lemah (kembali) dan berubah. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-
Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa (QS Al-Rum [30]: 54).

Firman Allah tersebut menunjukkan empat kondisi fisik pada manusia, yaitu :
a. Tahap lemah yang ditafsirkan terjadi pada bayi dan kanak-kanak.
b. Tahap menjadi kuat, uang terjadi pada masa dewasa.
c. Masa menjadi lemah kembali, di mana terjadi penurunan dari masa penuh kekuatan.
d. Masa ketika orang sudah beruban atau masa tua (Novan, 2014: 16).

Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa istilah “pertumbuhan” dalam


psikologi digunakan untuk menyatakan berbagai perubahan ukuran fisik yang secara
kuantitatif, di mana semakin lama semakin membesar atau memanjang.
Istilah “perkembagan” (development) dalam psikologi merupakan sebuah konsep
yang rumit dalam kompleks. Di dalamnya terkandung banyak dimensi. Oleh karena itu,
untuk memahami konsep perkembangan, terlebih dahulu perlu memahami beberapa
konsep lain yang terkandung pada pertumbuhan. Menurut Reni Akbar Hawadi (2001),
“perkembangan secara luas menunjukkan pada keseluruhan proses perubahan dari potensi
yang dimiliki oleh individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat, dan ciri-ciri yang
baru. Dalam istilah perkembangan juga tercakup konsep usia, yang di awali pembuahan
dan berakhir dengan kematian.
Istilah “perkembangan” lebih menunjuk pada kemajuan mental atau perkembangan
rohani (gejala-gejala kejiwaan) yang melaju terus sampai akhir hayat. Menurut Oding
(2010: 2), “perkembangan rohani tidak terhambat walaupun keadaan jasmani sudah
mencapai puncak pertumbuhannya”.
Tidak seperti istilah pertumbuhan yang hanya digunakan untuk menunjukkan
perubahan fisik biologis semata, istilah perkembangan dapat digunakan untuk
menunjukkan perubahan fisik dan/atau psikis seseorang. Berdasarkan batasan ini, maka
istilah perkembangan dapat digunakan lebih representative dan lebih fleksibel untuk
menunjukkan perubahan fisik maupun psikis, daripada sering mengalami kekeliruan dan
tertukar dalam penggunaan kedua istilah tersebut. Oleh karena itu, hampir semua literatur
menggunakan istilah perkembangan daripada pertumbuhan dan ilmu perkembangan
manusia dalam psikologi disebut Psikologi perkembangan, bukan Psikologi Pertumbuhan.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa perubahan pertumbuhan bersifat
kuantitas, namun perubahan perkembangan bersifat kualitas. Kalau perubahan kuantitas
lebih konkrit, kalau perubahan kualitas menunjukkan lebih abstrak. Contoh perubahan
kuantitas: tinggi badan, ukuran kaki/tangan, perubahan perbandingan bagian tubuh dengan
kepala, pertumbuhan gigi. Contoh perubahan kualitas: perubahan fungsi mata untuk
melihat yang pada awalnya bayi usia 1-2 bulan belum dapat melihat jelas meskipun mata
terbuka dan bergerak. Pada usia 3-4 bulan bayi dapat melihat secara global ketika melihat
benda bergerak atau bersuara akan diikuti oleh pandangannya dengan mencoba memutar
kepala, melirik kiri dan kanan, dan mengarah kepada objek pandangan. Pada usia 7 bulan
lebih bayi mulai dapat melihat secara terdifferensiasi, terperinci, terfokus, dan terbagi.
Pada usia 10-11 bulan bayi sudah mulai merespon apa yang dilihat dengan gerakan tangan,
kaki, tubuh, maupun dengan bahasa sederhana. Perubahan yang berangsur-angsur terjadi
secara kualitas pada fungsi mata menunjukkan peristiwa perkembangan. Perkembangan
juga menunjukkan perubahannya pada fungsi-fungsi organ tubuh, bukan perubahan
bentuk/struktur tubuhnya. Oleh karena yang mengalami perubahan itu fungsinya, maka
perkembangan lebih abstrak.
Perkembangan non fisik manusia akan terus mengalami peningkatan dan
perubahan, bahkan sepanjang hayatnya, seperti: kemampuan berpikir, kedewasaan,
tanggung jawab, kematangan beragama akan terus meningkat seiring dengan usia,
pengalaman, dan pendidikan, dan lingkungan yang makin baik yang mempengaruhinya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perkembangan tidak terbatas sepanjang rentang
hidup manusia.
Perkembangan dalam berbagai aspek kejiwaan manusia yang terus berkembang
dan akan optimal jika lingkungannya kondusif, dan jika lingkungan banyak menghambat,
akan mengalami keterlambatan dalam perkembangan. Dengan demikan, perkembangan
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (nurture), tidak seperti pertumbuhan
lebih banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor heriditas dan pembawaan (nature).
Menururt Monks, dkk. (2001), perkembangan menunjukan pada “suatu proses ke
arah yang lebih sempurna dan tidak dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada
perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat di putar kembali”. Perkembangan juga dapat
diartikan sebagai “proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada
tinggal integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, kematangan, dan belajar”.
Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk dan ciri-ciri kemampuan baru yang
berlangsung dari tahap aktivitas yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi. Perkembangan
itu bergerak secara berangsur-rangsung tetapi pasti, secara bertahap dari suatu bentuk ke
bentuk berikutnya, yang kian hari kian bertambah maju, mulai dari masa pembuahan dan
berakhir dengan kematian (Mar’at, 2013: 4).
Oleh karena perkembangan adalah proses menuju kedewasaan yang bersifat
kualitatif -- tidak dapat digambarkan dengan angka, lebih dilihat dari segi fungsionalnya --
untuk menjadi makhluk yang sempurna seutuhnya, perkembangan tidak sebatas pada usia,
artinya makhluk hidup akan terus berkembang seiring bertambahnya usia. Contoh:
perkembangan seseorang dari lahir hingga mampu berbicara, berdiri, dan berjalan, dan
seterusnya.
Kesimpulan umum yang dapat diambil dari beberapa definisi di atas adalah bahwa
perkembangan tidak terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin membesar,
melainkan di dalamnya juga terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara
terus-menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki
individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pematangan, dan belajar.
Pertumbuhan maupun perkembangan menunjukkan perubahan menuju ke arah
yang lebih maju atau dewasa (pregresif). Ahli-ahli psikologi perkembangan pada
umumnya menggunakan istilah “pertumbuhan” dan “perkembangan” secara bergantian.
Alasannya, kedua proses tersebut berlangsung secara saling bergantung (interdependency),
saling berhubungan (interconnection), dan saling melengkapi (intercomplementary) satu
sama lain. Dalam konteks manusia, kedua proses tersebut tidak dapat dipisahkan dalam
bentuk-bentuk yang secara pilah berdiri sendiri, meskipun dapat dibedakan maksud atau
tujuannya untuk lebih memperjelas penggunaannya.
Pertumbuhan mencakup dimensi fisik manusia, sedangkan perkembangan
mencakup berbagai dimensi psikis manusia. Dimensi fisik itu yang sering diistilahkan
dengan jasmani, dan dimensi psikis yang sering diistilahkan dengan rohani. Kedua dimensi
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, begitu juga dengan pertumbuhan dan
perkembangan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Kuantitas pertumbuhan individu
berimplikasi terhadap kualitas perkembangan individu, dan sebaliknya. Misalnya:
pertumbuhan badan pada seorang anak akan memengaruhi sikapnya dalam bersosial.
Integrasi dimensi jasmani dan rohani disebut dengan monodualist. Ilmu psikologi
mempelajari manusia dalam integrasi dua dimensi tersebut. Artinya, ilmu psikologi tidak
mempelajari rohani manusia tanpa jasad fisik (makhluk halus), juga tidak mempelajari
fisik manusia yang tanpa roh (makhluk mati).
Oleh karena itu istilah perkembangan selalu disandingkan dan dikaitkan dengan
pertumbuhan. Istilah pertumbuhan digunakan untuk menunjukan kemajuan (dari lemah
menjadi kuat) dan kemunduran fisik (dari kuat menjadi lemah) individu, sedangkan
perkembangan digunakan untuk menyatakan berbagai perubahan dalam aspek psikologis
atau kejiwaan, seperti: aspek kognitif, bahasa, sosial, emosi, dan agama.
Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa pertumbuhan menunjukkan pada
perubahan kuantitatif, yaitu yang dapat dihitung atau diukur, seperti panjang atau berat
tubuh, dan dapat dipahami bahwa istilah pertumbuhan dalam konteks perkembangan
merujuk pada perubahan-perubahan, yaitu peningkatan dalam ukuran dan struktur, seperti
pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, kepala, jantung, paru-paru, dan sebagainnya.
Perkembangan adalah proses menuju kedewasaan yang bersifat kualitatif (tidak
dapat digambarkan dengan angka, lebih dilihat dari segi fungsionalnya) untuk menjadi
makhluk yang sempurna seutuhnya, perkembangan tidak sebatas pada usia, artinya
makhluk hidup akan terus berkembang seiring bertambahnya usianya rangkaian perubahan
sepanjang rentang kehidupan manusia yang bersifat progesif, teratur, perkembangan tidak
terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin membesar, melainkan di dalamnya
juga terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus-menerus dan
bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke
tahap kematangan melalui pertumbuhan, pematangan, dan belajar.
Secara ringkas perbedaan, persamaan, dan hubungan antara pertumbuhan dan
perkembangan dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 1.1
Perbedaan, Persamaan, Hubungan Pertumbuhan & Perkembangan

Pertumbuhan Perkembangan
Perbedaan  Fisik, fisiologis, biologis Fisiologis dan/atau psikologis
Kuantitas Kualitas
Lebih konkrit Lebih abstrak
Terbatas usia Tidak terbatas usia
Irreversible Reversible
Lebih faktor heriditas (nature) Lebih faktor lingkungan (nurture)
Struktur Fungsi
Persamaan  Adanya perubahan  Adanya perubahan
 Perubahan bersifat progresif  Perubahan bersifat progresif
 Ada faktor pengaruh  Adanya faktor pengaruh
 Ada pengaruh positif/negatif  Ada pengaruh positif/negatif
 Mengarah pd pertumbuh lbh baik  Mengarah pd perkembang lbh baik
 Dari pola umum ke khusus  Dari pola umum ke khusus
 Dari sederhana, makin kompleks  Dari sederhana, makin kompleks
 Butuh kondisi & stimulant positif  Butuh kondisi & stimulant positif
 Strukturnya makin sempurna  Fungsinya makin matang
Hubungan o Perubahan fisiologis dpt pengaruhi o Perubahan psikologis dpt
perubahan psikologis pengaruhi perubahan fisiologis
o Perubahan fisiologis terjadi pd o Perubahan psikologis terjadi pd
psikologis yg hidup fisiologis yg hidup
o Kuantitas pertumbuhan o Kualitas perkembangan
berimplikasi pd kualitas berimplikasi pd kuantitas
perkembangan pertumbuhan.
o Fisiologis dan psikologis sbg o Fisiologis dan psikologis sbg satu
kesatuan yang tdk terpisahkan, kesatuan yg tdk terpisahkan,
dibutuhkan, saling melengkapi utk dibutuhkan, saling melengkapi utk
kesempurnaan kehidupan manusia kesempurnaan kehidupan manusia.

B. Pengertian Perkembangan Sosial Emosi


Secara etimologis, “sosial” berarti sesuatu yang berkenaan dengan orang lain atau
masyarakat. Sosial juga bisa berarti suka memperhatikan kepentingan umum, seperti suka
menolong, menderma, dan sebagainya. Kata “sosial” berkenaan dengan hubungan antara
seorang individu dan individu lainnya, yang disebut dengan istilah hubungan interpersonal.
Menurut Wiyani (2014:18), “hubungan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari manusia
tidak dapat dihindarkan. Bahkan, tanpa adanya hubungan tersebut manusia sudah
dipastikan tidak akan dapat bertahan hidup”.
Secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai mahkluk sosial (zoon
politicori). Syamsuddin (1995:105) mengungkapkan, “sosialisasi adalah proses belajar
untuk menjadi makhluk sosial”. Menurut Loree (1970: 86), “sosialisasi merupakan suatu
proses di mana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-
rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta
belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya”.
Muhibin Syah (1999: 35) mengatakan, “perkembangan sosial merupakan proses
pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalan keluarga, budaya,
bangsa, dan seterusnya”. Adapun menurut Hurlock (1978: 250), “perkembangan sosial
merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial.
Sosialisasi adalah kemampuan berlingkah laku sesuai norma, nilai, atau harapan sosial”.
Mengacu kepada pengertian sosial yang telah dipaparkan di atas, maka pengertian
perkembangan sosial adalah perubahan yang terkait dengan kemampuan menjalin relasi
dengan diri sendiri maupun orang lain yang merupakan kebutuhan penting bagi manusia,
termasuk anak usia dini.
Anak yang lahir ke dunia dapat bertahan dan mempertahankan kehidupannya
karena ada pertolongan dari lingkungan sosial yang pertama dan utama, yakni ibunya. Ibu
yang telah melahirkan anaknya, secara naluriah memiliki rasa memiliki dan memberi kasih
sayang sepenuhnya untuk buah hatinya, apalagi jika disempurnakan dengan kasih sayang
dari yang lain selain ibunya, seperti ayahnya, nenek dan kakeknya, bibi dan pamannya,
kakak-kaka, dan anggota keluarga. Anak tidak berkehendak sendiri lahir ke dunia, dan
tidak dapat memilih orangtua dan lingkungan seperti apa yang dikehendakinya, kecuali dia
menerima saja (given) perlakuan dari orangtua dan lingkungannya. Jika orangtua dan
lingkungan cukup memberi perhatian dan kasih sayang, ia akan tumbuh dan berkembang
dengan baik, fisik maupun psikisnya. Demikian pula, kemampuan sosialnya anak akan
berkembang dengan baik dalam mempersepsi siapa dirinya, dan dalam berhubungan
dengan orang lain.
Meskipun perlakuan sosial, kasih sayang, rasa aman dan nyaman, merupakan hak
anak dari orangtua dan orang dewasa di sekitarnya, namun pada awalnya anak belum
memahami hak-haknya, apalagi menuntut haknya, kecuali karena naluri/instink dan
kemurahan lingkungan sosial memberi kasih sayang terhadap anak tersebut. Dalam hal ini
berlaku hubungan yang saling menguntukngan (simbiosis mutualisma), yaitu anak berhak
memperoleh kasih sayang dan pemeliharaan dari orangtua dan lingkungan sekitarnya, dan
orangtuanya ingin memberi kasih sayang dan pemeliharaan berdasarkan naluriahnya
kepada buah hatinya. Di sini berlaku hukum hak dan kewajiban. Anak berhak memperoleh
kasih sayang dan perawatan dari orangtua, dan orangtua berkewajiban merawat anaknya.
Meskipun perlakukan sosial tidak disadari pada awalnya oleh anak-anak (bayi
khusunya), namun mereka sudah mampu merespon. Perlakuan sosial yang positif akan
direspon oleh anak secara positif pula. Bayi yang disayang oleh orangtuanya, akan merasa
aman dan nyaman, yang biasanya ditunjukkan oleh respon tenang, ceria, tidak rewel, sehat,
pertumbuhan fisiknya cepat, dan kemampuan sosialnya semakin baik. Apalagi jika anak
tersebut makin besar, sudah mampu berbahasa, ia akan memperlihatkan rasa aman dan
nyaman melalui bahasanya.
Sedangkan istilah “emosi” secara bahasa berarti luapan perasaan yang berkembang
atau keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis, seperti: kegembiraan, kesedihan,
keharuan, kecintaan yang bersifat subjektif. Dalam Psikologi, emosi diartikan sebagai
gejala psiko fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap, perilaku, bentuk
ekspresi tertentu. Emosi pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat
yang menjadikan emosi berbeda dengan mood. Mood merupakan suasana hati yang
umumnya berlangsung lebih lama daripada emosi. Misalnya, jika seseorang mengalami
kebencian (emosi), kebencian tersebut tidak segera hilang begitu saja, tetapi masih terus
berlangsung dalam jiwa seseorang. Hal inilah yang dimaksud dengan mood, bahkan kata
mood ini juga sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Wiyani (2014:21),
“emosi adalah keadaan dan reaksi psikologis serta fisiologis seperti kegembiraan,
kesedihan, keharuan, kecintaan, dan termasuk kemarahan”.
Emosi dapat di artikan sebagai perasaan individu, baik berupa perasaan positis
maupun perasaan negatif sebagai respons terhadap suatu keadaan yang melingkupinya
akibat dari adanya hubungan antara dirinya dengan individu lainnya dan dengan suatu
kelompok. Jadi, perkembangan emosi anak usia dini dapat didefinisikan sebagai perubahan
perasaan positif maupun negatif pada anak usia 0-6 tahun sebagai akibat adanya hubungan
antara dirinya dan orang lain.
Berdasarkan berbagai pengertian di atas, maka sosial-emosi dapat diartikan sebagai
perbuatan yang disertai dengan perasaan-perasaan tertentu yang melingkupi individu di
saat berhubungan dengan orang lain. Jadi perkembangan sosial-emosi pada anak usia dini
adalah perubahan perilaku yang disertai dengan perasaan-perasaan tertentu yang
melingkupi anak usia dini saat berhubungan dengan orang lain.
Perkembangan emosi merupakan perubahan kemajuan dalam mengekspresikan
luapan perasaan yang dimiliki. Menurut Purwakania (2006:163-164), ada dua jenis emosi,
yaitu emosi primer dan sekunder. Emosi primer adalah emosi dasar manusia yang terberi
secara biologis dan telah terbentuk sejak lahir, seperti: rasa gembira, sedih, marah, dan
takut. Emosi sekunder adalah emosi yang lebih kompleks yang lebih disadari berdasarkan
evaluasi diri dan dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan intelektual seseorang.
Contoh emosi sekunder: rasa malu, rugi/untung, iri hati, sombong, bangga, kagum, setia,
benci, bingung, menyesal, terhina, mandiri, toleran, patuh, simpati, empati, tanggung
jawab, takjub, heran, cinta, cemburu, dendam, mengalah, berani, tangguh, sabar, cemberut,
sakit hati, tersinggung, semangat, dan lain-lain. Dengan demikian, semakin bertambah
umur, pengalaman, dan pendidikan, semakin berkembang, beragam, dan kompleks apa
yang dirasakan oleh seseorang, baik perasaan positif maupun negatif.
Jika mengacu kepada teori kebutuhan dari Maslow, emosi manusia itu berkembang
dari kebutuhan yang paling dasar sampai yang paling tinggi secara hirarkhis, yaitu: (1)
kebutuhan fisiologis/biologis (fisiological need), (2) kebutuhan cinta dan dicintai (love and
belongingness need), (3) kebutuhan rasa aman dan nyaman (savety and security need), (4)
kebutuhan rasa harga diri (self esteem need), (5) kebutuhan rasa aktualisasi diri (self
actualization need). Pemenuhan rasa kebutuhan tersebut dapat menjadikan anak merasa
aman dan nyaman dan akan menampilkan emosi positif. Sebaliknya jika rasa kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi, anak akan menjadi sosok yang gelisah, penakut, murung, agresif,
dan selalu merasa terancam, yang dapat berlangsung hingga dewasa.
Perkembangan sosial dan emosi merupakan dua aspek yang berlainan tetapi dalam
kenyataannya satu sama lain saling mempengaruhi. Pada kesehariannya, saat berinteraksi
dengan orang lain, perilaku anak usia dini selalu dilingkupi dengan perasaannya dan
perasaan yang melingkupi anak usia dini juga akan berpengaruh terhadap perilaku yang
dimunculkannya. Sebagai contoh misalnya saat anak bisa bermain dengan teman-
temannya, ia akan merasa senang, di saat anak sedang marah dengan temannya ia akan
enggan bermain dengan temannya.
Menurut Yuliani Nurani Sujiono dan Bambang Sujiono (Wiyani, 2014:124), ada
tiga hal yang harus dikembangkan pada sosial-emosi anak usia dini, antara lain :
1. Rasa percaya terhadap lingkungan (to trusts others outside their families)
2. Kemandirian dan pengendalian diri (to gain independence and self control)
3. Mengambil inisiatif serta belajar berperilaku yang dapat diterima oleh kelompok sosial
(to take initiative and assert themselves in social accepptable weys).

Menurut Yuliani Nuraini dan Bambang Sujiono, bahwa rasa percaya, kemandirian,
dan inisiatif merupakan hal yang penting dibelajarkan untuk mengembangkan sosial emosi
anak usia dini, sedangkan Rini Hidayani lebih menekankan kepada empat aspek dalam
mengembangkan sosial emosi anak usia dini yaitu :
1. Perkembangan Pemahaman Diri
Ada dua aspek penting tentang diri yang dipelajarai pada masa bayi, yaitu
kesadaran diri (self-awareness) dan pengenalan diri (self-recognition). Pada awalnya
bayi belum dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Kemampuan membedakan
antara dirinya dengan orang lain baru di dapat beberapa bulan kemudian, yaitu
sepanjang 3-4 bulan pertama kehidupan.
Pada usia sekitar 18 bulan, bayi mengembangkan pengertian yang kasar tentang
pengenalan diri untuk pertama kalinya. Pengenalan diri itu dapat diamati dengan
memberikan bayi gambar diri mereka sendiri, misalnya melalui cermin atau media
visual lainnya seperti rekaman video.
Pada akhir masa bayi, anak mulai membuat gambaran tentang dirinya dengan
mengelaborasi berbagai sifat unik yang dimilkinya. Pada saat itu anak memerlukan
bantuan orang lain untuk membantunya dalam mendefinisikan sifat-sifat yang
dimilikinya. Pada tahun ke tiga anak mulai menggambarkan karakteristik dirinya pada
saat membuat gambaran tentang diri, karakteristik tersebut mencangkup perasaan dan
persepsi yang dimiliki, penampilan, pendapat, dan keinginan dirinya.
Pada masa kanak-kanak awal (4-6 tahun) gambaran tentang diri yang dibuat
oleh anak menjadi semakin konkrit. Mereka memandang dirinya dalam cara yang
positif dan juga menilai dirinya secara berlebihan karena mereka lebih mendasari
penilaian dirinya pada kemajuan yang mereka buat dalam berbagai kegiatan yang
dilakukan dari pada membandingkan kemampuan mereka dengan teman-teman
sebayannya.
Itulah sebabnya jika dalam menilai hasil anak dalam kemampuan menggambar
atau menggunting itu jelek, anak akan merasa sedih dan marah. Anak juga tidak
senang jika kemampuannya dibandingkan dengan anak yang lainnya. Sebaliknya, jika
memberikan apresiasi positif terhadap hasil karya anak, anak akan menjadi senang dan
merasa dirinya dihargai, dan akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak.
Penilain diri yang berlebihan ini dapat memunculkan rasa percaya diri yang
berlebihan pula. Rasa percaya diri yang berlebihan tersebut dapat bermanfaat bagi
perkembangan anak karena rasa percaya diri tersebut akan memotivasi anak untuk
berupaya menyelesaikan berbagai tugasnya.
2. Perkembangan Hubungan Sosial anak
Area utama dari perkembangan hubungan sosial adalah pertemanan. Dalam
pertemanan anak ingin bisa bermain sebanyak mungkin dengan teman-temannya. Anak
juga mulai memahami bahwa fungsi pertemanan adalah untuk berbagi, memberi
dukungan, dan bergantian. Pengalaman sosial yang dimilki oleh anak dapat dilihat
respons yang dimilki dalam pertemanan. Sejak awal kehidupan seorang bayi, respons
terhadap perilaku dan kehadiran bayi lain yang sebaya sudah muncul. Pada usia 2
bulan bayi sudah mengamati bayi lain seusianya. Pada usia 3-4 tahun dia akan
menyentuh bayi laninnya sebagai upaya mencari dan mengharapkan respons sosial dari
bayi yang lain.
Pada usia 6 bulan, hubungan sosial baru benar-benar muncul di mana bayi
mulai mengenali bayi lain sebagai rekan sosialnya. Bayi akan tersenyum dan
mengeluarkan suara-suara (celotehan) ke arah bayi lain. Interaksi pada bayi yang
meningkat pada usia 6 bulan sejalan dengan perkembangan kemampuan kognitif dan
bahasa yang dimilikinya.
Pada usia 1 tahun, berbagai macam perilaku sosial terjadi dalam interaksi bayi
dengan bayi lainnya, seperti tertawa, penggunaan bahasa tubuh, dan imitasi/peniruan
perilaku. Pada usia 2 tahun hubungan sosial antara bayi menjadi labih kompleks
dengan dicapainya kemampuan bahasa dan sejumlah gerakan pada bayi. Terdapat
aspek kerj sama dan konflik dalam hubungannya dengan bayi lain.
Pada usia 2 dan 3 tahun anak lebih suka berinteraksi dengan teman sebaya dari
pada dengan orang dewasa. Hal utama dan penting yang dicapai pada masa ini adalah
kemampuan berbagi makna dengan anak lain. Dengan saling berkomunikasi, berbagai
perasaan yang muncul dalam pertemanan akan muncul, sepeti cinta, benci,
permusuhan, simpati dan lain sebagainnya. Perasaan tersebut dikenal dengan perasaan
sosia, dimana perasaan itu timbul dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Pada
usia 4-6 tahun anak mulai menyadari bahwa kepercayaan seseorang sangat
mempengaruhi perilakunya sesuai dimensi psikologi yang sangat konkrit, terutama
mengenai gambaran fisik, kepemilikan, dan berbagai hal kegiatan yang dilakukan
khususnya kegiatan bermain. Oleh karenanya anak usia dini akan mengalami kemajuan
hubungan sosial melalui urtan kegiatan bermain.
3. Perkembangan Kemampuan Mengatur Diri Sendiri
Kemampuan individu untuk mengatur diri sendiri berkembang seiring dengan
perkembangan sosial individu. Perkembangan sosial individu tidak terlepas dari
kognisi sosial atau bgaimana individu memahami pikiran, perasaan, dan perilaku orang
lain. Ada beberapa fase yang dilalui oleh seorang anak untuk sampai pada kemampuan
mengatur dirinya sendiri seperti berikut ini:
a. Fase kontrol (1-1,5)
Pada fase ini anak menunjukkan kesadarannya terhadap tuntutan tugas dan tuntutan
sosial yang diberikan oleh orang dewasadisekitarnya dan ia akan memulai,
memperhatikan, menyesuaikan diri atau menghentikan erilakunya sesuai dengan
tuntutan yang diberikan.
b. Fase kontrol (1,5-3 tahun)
Pada fase ini anak memiliki kepatuhan sesuai dengan ekspektasi orang dewasa di
sekitarnya tanpa adanya pengawasan secara langsung (pengawasan eksternal).
Perkembangan berfikir dan ingatan anak menjadikan mereka dapat mengingat
berbagai aturan keluarga dan rutinitas yang ada dalam kegiatan yang bersifat umu,
seperti makan, bermain, dan berpakain.
c. Fase kemampuan mengatur diri (4-6 tahun)
Pada fase ini anak mampu menggunakan berbagai strategi dan rencana yang
dimilikinya untuk mengarahkan perikaunya serta membantunya untuk menunda
keinginan dan bertahan godaan. Pada saat anak mulai belajar di Sekolah Dasar,
anak mulai mengalami peningkatan dalam mematuhi aturan yang ada di
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
4. Perkembangan Perilaku Sosial
Perilaku sosial merupakan kegiatan yang berhubungan dengan orang lain,
kegiatan yang berkaitan dengan pihak lain yang memerlukan sosialisasi dalam hal
berperilaku yang dapat diterima oleh orang lain, serta upaya mengembangkan sikap
sosial yang layak diterima oleh orang lain.perilaku sosial pada anak usia dini diarahkan
untuk pengembangan sosial yang baik, seperti kerja sama, tolong-menolong, berbagi,
simpati, dan empati.
Pada dasarnya kebutuhan akan rasa percaya diri dapat terpenuhi manakala
orang tua atau pendidik dapat menghargai dan menghormati anak. Kepercayaan diri
pada anak tersebut merupakan modal bagi anak untuk dapat memenuhi kebutuhan
aktualisasi dirinya. Dalam aktualisasi diri anak akan melakukan apa yang anak kuasai.

DAFTAR PUSTAKA

Mar’at, Samsunuwiyati. (2013). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya


Offset.

Oding, Supriadi. (2010). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.

Wiyani, Novan Ardy. (2014). Mengelola & Mengembangkan Kecerdasan Sosial & Emosi
Anak Usia Dini. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Wiyani, Novan Ardy. (2014). Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Gava
Media

Adriene, Rizal. (2013). “Perkembangan Sosial Emosi”. Tersedia: rizaladriene.blogspot.co.id/


2013/05/makalah-perkembangan-sosial-dan-emosi. Online. Diakses 11 September 2016.

Anda mungkin juga menyukai