Anda di halaman 1dari 5

Menuntut Nafkah Batin, Mungkinkah?

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi


(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Apabila kita mendengar kata “nafkah” biasanya selalu dikonotasikan dengan


salah satu kewajiban suami yang paling utama, yaitu memberi nafkah istri yang biasanya
juga terbatas pada kebutuhan istri untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti makan
minum atau uang. Padahal, jika kita telusuri cakupan nafkah lebih dari itu. Kata nafkah
mempunyai cakupan yang lebih luas dari sekedar kewajiban suami. Sebagai tambahan
bahan informasi, berikut mari kita telusuri asal muasal istilah nafkah.
Penulis sengaja mengutip ulang sebuah wacana mengenai nafkah yang ditulis
oleh Dzulkifli Hadi Imawan, yang mengutip dari berbagai sumber mengenai definisi
nafkah ini dalam salah satu tulisan yang berjudul Fikih Nafkah. Dengan mengutip dari
berbagai referensi, secara bahasa, kata nafkah berasal dari bahasa arab ( ‫ ) نفقة‬yang berasal
dari kata nafaqa dan berimbuhan hamzah menjadi: anfaqa-yunfiqu-infak atau nafaqah.
Dalam Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, sebagaimana dikutip oleh Murtadla al-Zabidi
mendifinisikan nafkah adalah harta yang diberikan kepada diri sendiri atau keluarga. Kata
nafkah juga sering dilafalkan dengan infak yang diambil dari akar kata yang sama
“nafaqa”.
Dan dalam Lisanu al-‘Arab, Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa kata nafkah atau infak
merupakan sinonim kata shadaqah dan ith’am (memberi makan). Infak dinamakan juga
sadaqah jika seseorang mengeluarkan hartanya dengan kejujuran (keikhlasan) dari
hatinya. Syaikh Muhammad Ali Ibnu Allan dalam kitab Dalil al-Falihin li Thuruqi
Riyadi al-Shahilin (penjelasan syarah kitab riyadu al-Shalihin karya Imam Nawawi dalam
bab al-Nafaqah), menjelaskan nafkah sebagai segala pemberian baik berupa pakaian,
harta, dan tempat tinggal kepada keluarga yang menjadi tanggungannya baik istri, anak,
dan juga pembantu.
Dengan mengacu kepada wacana di atas, dapat disimpulkan bahwa pembicaraan
mengenai nafkah ini pasti selalu terdapat 3 unsur, yaitu: 1. Yang mengeluarkan nafkah
(seperti suami, orang tua, atau anak), 2. Yang menerima nafkah (istri, orang tua, anak,
atau pembantu), dan 3. Benda yang dijadikan nafkah (barang, uang, makanan, dan setiap
yang diperlukan manusia dalam hal ini setidaknya yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia).
Nafkah bathin
Sejauh hasil penulusuran kepustakaan yang sempat terjangkau, selama ini belum
ditemukan satu literatur (fikih) pun yang menyebut istilah “nafkah bathin” sebagai salah
satu lembaga hukum. Apalagi menjadi salah item kewajiban suami kepada istrinya. Akan
tetapi, istilah demikian memang sering kita dengar pada masyarakat Indonesia.
Penyebutannya sering dikaitkan dengan salah satu kewajiban suami kepada istri, yaitu
“kewajiban memberikan nafkah lahir dan nafkah batin”. Nafkah lahir dimaksudkan untuk
menyebut pemberian suami berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal serta
keperluan lain yang dibutuhkan oleh istri. Sedangkan nafkah batin lazim digunakan
menyebut kewajiban suami yang bisanya dikonotasikan dengan “hubungan seksual”.
Meskipun tidak secara spesifik disebut dalam kitab-kitab fikih akan tetapi tampaknya hal
tersebut memang dimungkinkan.
Sebagaimana kita ketahui, hubungan suami istri ialah ikatan suci yang di
dalamnya terdapat berbagai macam tuntunan dari syari’at. Aneka tuntutan syariat ini
bisanya terformulasi dalam bentuk “hak dan kewajiban”. Suami punya hak kepada
istrinya tetapi pada saat yang sama, istri pun punya hak dari suaminya. Hak dan
kewajiban suami istri ini oleh syariat sengaja dipatok secara seimbang. Apa yang
menjadi hak suami pada saat yang sama menjadi kewajiban istri dan sebaliknya. Apa
yang menjadi kewajiban istri, oleh karena menjadi hak suami , suami boleh menuntutnya.
Dan, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban suami, karena menjadi hak istri, istri pun
boleh menuntutnya.
Dalam konteks pembicaraan menganai hak istri, lantas meliputi apa saja hak istri
tersebut?
Seorang pakar fikih kontemporer dari Syiria, Syeikh Wahbah al-Zuhaily dalam
kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz IX, halaman 6832 menulis sebagai berikut:
‫ والعدل‬،‫ وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة‬:‫ وحقوق غير مالية‬،‫للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة‬
Artinya: “Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan
nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan
hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Menurut pendapat tersebut jelas, bahwa secara garis besar istri memupunyai 2
macam hak dari suaminya, yaitu hak yang bersifat materi dan hak yang bersifat immateri.
Hak yang bersifat materi sebagaimana telah disinggung di atas, berupa benda-benda yang
berwujud fisik untuk menunjang kelangsungan hidup berkeluarga. Sedangkan hak
bersifat immateri pada pokoknya berupa perbuatan suami apa pun yang harus dilakukan
yang muaranya tertuju kepada perasaan-perasaan positif, seperti bahagia, ketenangan, dan
ketentaraman jiwa. Dalam fikih munakahat biasanya sikap demikian sering disebut
dengan istilah “al-mu’asyarah bi al-ma’ruf” yang penjabarannya dalam dunia nyata di
samping bisa bervariasi dan sesuai dengan perkembangan zaman juga bisa bersifat
sangat personal (individual).
Dengan pendekatan hak dan kewajiban ini, jelas hubungan seksual jika istri
memerlukan memang dapat menjadi salah satu hak istri yang juga harus ditunaikan oleh
suami. Pemikiran demikian jelas mendapatkan legitimasinya, ketika ada wacana fikih
mengenai kebolehan istri mengajukan fasakh dengan alasan suaminya tidak mampu lagi
memberikan kebutuhan seks kepada istrinya. Dalam konteks suami beristri lebih seorang
(poligini), kewajiban menggauli istri dengan porsi tertentu, menjadi salah satu item suami
dapat dikualifikasikan sebagai suami yang adil. Para pakar psikologi pada umumnya juga
berpendapat bahwa keharmonisan menjadi kunci utama keberhasilan hubungan rumah
tangga. Untuk mencapai itu, setiap pasangan hendaknya menjalin kemesraan satu sama
lain yang salah satunya dengan melakukan hubungan intim (seks).
Dalam literatur juga terdapat wacana tentang berapa lama seorang suami boleh tidak
menggauli istrinya. Ada yang berpendapat 1 bulan, ada yang berpendapat maksimal 4
bulan. Dalam sebuah riwayat, bahkan Khalifah Umar bin Khattab juga pernah melakukan
(semacam) ’riset’ mengenai hal ini.
Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hafsh dari Zaid bin Aslam, bahwa suatu
malam ketika Khalifah Umar sedang ronda, ia lewat di depan rumah seseorang. Dari
rumah itu terdengar suara seorang perempuan terdengar lirih sedang bersenandung pilu
dengan untaian syair:
Malam ini terasa panjang
Sunyi senyap hitam kelam
Lama aku tiada kekasih
Yang kucumbu dan kurayu
Khalifah Umar pun lalu menanyakan kepada orang yang kebetulan berpapasan, siapa
gerangan perempuan itu. Darinya memperoleh informasi, bahwa perempuan tersebut
adalah “Fulanah”, istri seorang prajurit yang sedang berjuang di medan jihad. Keesokan
harinya, Khalifah Umar bersurat kepada komandan di lapangan agar suami “Fulanah”
segera pulang ke rumah.
Untuk meyakinkan dirinya, beliau pun mencari tahu tentang berapa lama sebenarnya
seorang perempuan (istri) dapat ‘menahan rindu’ kepada suaminya. Khalifah yang juga
bergelar al-Faruq itu pun lantas mengunjungi rumah putri kandungnya, Hafshah.
"Wahai, putriku, berapa lama seorang perempuan mampu menahan (sabar) ditinggal
pergi suaminya?", tanya sang khalifah setelah berbasa-basi. Awalnya, Hafshah terkejut
dan tersipu malu mendengar pertanyaan yang tak disangka itu. "Subhanallah. Orang
seperti Ayah bertanya kepada saya tentang soal-soal ini?" "Kalau misalnya bukan karena
kepentingan umat, tentu saya tidak akan menanyakan hal ini kepadamu," kata Umar,
melanjutkan. Setelah mendapatkan pengertian, sang putri pun menjawab, bahwa ada
rentang waktu sekitar lima atau enam bulan kesabaran seorang istri untuk menunggu
suaminya pulang. Sejak saat itu, Khalifah Umar menetapkan waktu tugas bagi seluruh
prajurit Muslim di medan perang tidak lebih dari enam bulan.
Dari peristiwa yang biasanya menjadi salah satu dalil hukum ila’ itu tampaknya
kehadiran suami di ranjang, menjadi salah satu kebetuhuhan (primer) istri. Oleh karena
menjadi kebutuhan, dalam konteks suami istri tampaknya hubungan seksual, juga dapat
dikategorikan sebagai “nafkah batin” yang dalam konteks pendapat al-Zuhaily tersebut
merupakan salah satu hak istri yang berkaitan dengan dengan “hak immateri”.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa sebagai hak, dalam konteks
peradilan (qadha’iy) jika tidak ditunaikan, memperoleh ‘jatah’ hubungan intim tentu bisa
saja dituntut istri kalau istri mau. Tetapi dalam kasus perceraian istri yang sudah dalam
pusaran perselisihan itu, jelas tidak mungkin menuntut hak tersebut dalam bentuk
perbuatan. Istri biasanya menuntut hak tersebut dalam bentuk “ganti rugi”. Dalam
konteks peradilan, sebagai orang yang terusik rasa keadilannya, sikap istri yang demikian
tentu tidak dilarang. Akan tetapi, yang jelas, mudahnya istri menulis tuntutan ‘ganti rugi’
nafkah batin itu, tentu tidak semudah hakim memberikan jawaban hukum dalam bentuk
putusan. Sebab, di dalamnya mengandung persoalan hukum materiil (kekinian) yang
pemecahannya tentu akan melibatkan pergulatan pemikiran hukum yang tidak ringan.
Selamat berijtihad.

BIO DATA PENULIS


Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : - Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
- Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
- Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
- Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
- Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
- Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi


Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai