Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Peran
1. Pengertian
Peran menurut Nye (1976) dalam Friedman (2010) merupakan
suatu perilakuyang bersifat homogeny yang diharapkan secara
normative oleh seseorang yang memegang suatu posisi dalam struktur
sosial dan dalam situasi sosial tertentu. peran menggambar otoritas
seseorang yang diatur dalam sebuah aturan yang jelas. Tidak menutup
kemungkinan ada dua atau lebih profesi yang memiliki peran yang
sama. Kesamaan peran bukan berarti sama dalam segala hal. Peran
boleh sama, tetapi ruang lingkup atau kewenangan masing-,masing
profesi utu berbeda (Asmadi, 2008).

2. Aspek-aspek peran
Peran digolongkan menjadi 4 (Sarwano 2015 dalam Niah. M, 2017),
yaitu:
a. Orang-orang yang mengambil bagian dari interaksi sosial.
Orang yang mengambil bagian dari interaksi sosial dibagi menjadi
dua golongan, yaitu:
1) Aktor atau Pelaku, yaitu orang yang sedang berperilaku
menuruti suatu peran tertentu.
2) Target (sasaran) atau orang lain, yaitu orang yang
mempunyai hubungan dengan aktor dan perilaku.
b. Perilaku yang muncul dalam interaksi
Terdapat 5 indikator dalam kaitanya dengan peran, yaitu:
1) Harapan tentang peran (expectastion)
Harapan tentang peran adalah harapan-harapan
orang lain tentang perilaku yang pantas, yang seharusnya
ditunjunak oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.
2) Norma (norm)
Secord dan Backman berpendapat bahwa, norma hanya
merupakan salah satu bentuk harapan. Secord dan Backman
membagi jenis- jenis harapan sebagai berikut:
a) Harapan yang bersifat meramalkan (anticipatory),
yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan
terjadi.
b) Harapan normatif (role expectation), yaitu
keharusan yang menyertai suatu peran.
3) Wujud perilaku dalam peran (performance)
Peran dilihat wujudnya dari tujuan dasarnya atau
hasil akhirnya, terlepas dari cara mencapai tujuan atau hasil
tersebut. Tidak menutup kemungkinan adanya cara-cara
tertentu dalam suatu peran yang mendapat sanksi dari
masyarakat. Suatu cara menjadi penting dalam perwujudan
peran, ketika cara itu bertentangan dengan aspek lain dari
peran.
Terkait perwujudan peran, ada 2 pendapat, yaitu:
a) Sarbin menyatakan bahwa perwujudan peran dapat
dibagi dalam tujuh golongan menurut intensitasnya
berdasarkan keterlibatan diri (self) aktor dalam
peran yang dibawakannya. Tingkat intensitas yang
terendah adalah keadaan di mana diri aktor sangat
tidak terlibat. Perilaku peran dibawakan secara
otomatis dan mekanistis saja. Sedangkat tingkat
yang tertinggi akan terjadi jika aktor melibatkan
seluruh pribadinya dalam perilaku peran yang
sedang dikerjakan
b) Goffman meninjau perwujudan peran dari sudut
yang lain. Dia memperkenalkan istilah permukaan
(front), yaitu untuk menunjukkan perilaku- perilaku
tertentu yang diekspresikan secara khusus agar
orang lain mengetahui dengan jelas peran si pelaku
(aktor).
4) Penilaian (evaluation) dan sanksi (sanction)
Penilaian (evaluation) dan sanksi (sanction) Jika
dikaitkan dengan peran, penilaian dan sanksi agak sulit
dipisahkan pengertiannya. Biddle dan Thomas mengatakan
bahwa antara penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan
masyarakat (orang lain) tentang norma.
Penilaian peran dalam teori peran adalah kesan
positif atau negatif yang diberikan oleh masyarakat
berdasarkan norma yang berlaku terhadap suatu perilaku
yang dilakukan oleh aktor. Sedangkan sanksi yang
dimaksud adalah usaha yang dilakukan seorang aktor dalam
mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan
peran diubah sedemikian rupa sehingga hal yang tadinya
dinilai negatif berubah menjadi positif.
c. Kedudukan orang dalam perilaku
Kedudukan adalah sekumpulan orang yang secara
bersamasama (kolektif) diakui perbedaannya dari kelompok-
kelompok yang lain berdasarkan sifat- sifat yang mereka miliki
bersama, perilaku yang sama- sama mereka perbuat, dan reaksi
orangorang lain terhadap mereka bersama. Ada tiga faktor yang
mendasari penempatan seseorang dalam posisi tertentu, yaitu:
1) Sifat- sifat yang dimiliki bersama seperti jenis kelamin,
suku bangsa, usia atau ketiga sifat itu sekaligus. Semakin
banyak sifat yang dijadikan dasar kategori kedudukan,
semakin sedikit orang yang dapat ditempatkan dalam
kedudukan itu.
2) Perilaku yang sama seperti penjahat (karena perilaku jahat),
olahragawan, atau pemimpin. Perilaku ini dapat diperinci
lagi sehingga kita memperoleh kedudukan yang lebih
terbatas. Selain itu, penggolongan kedudukan berdasarkan
perilaku ini dapat bersilang dengan penggolongan
berdasarkan sifat, sehingga membuat kedudukan semakin
eksklusif.
3) Reaksi orang terhadap mereka.
d. Kaitan antara orang dan perilaku
Biddle dan Thomas mengemukakan bahwa kaitan
(hubungan) yang dapat dibuktikan atau tidak adanya dan dapat
diperkirakan kekuatannya adalah kaitan antara orang dengan
perilaku dan perilaku dengan perilaku. Kaitan antara orang dengan
orang dalam teori peran ini tidak banyak dibicarakan.

3. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)


Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) pada pasien Tuberculosis
(TBC) sangat penting karena Pengawas Menelan Obat (PMO) bertugas
menjamin keteraturan pengobatan agar pasien tuntas dalam
melaksanakan pengobatan. Tuberculosis (TBC) sangat berbahaya dan
dapat menular pada orang lain, oleh karena itu pasien harus mengikuti
pengobatan secara teratur dan mendapatkan pengawasan dari tenaga
kesehatan.

B. Pengawas Menelan Obat


1. Pengertian
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah bertugas untuk menjamin
keteraturan pengobatan agar pasien lekas sembuh atau sukses berobat.
(Nizar, 2017). Depkes merekomendasikan persyaratan menjadi
Pengawas Menelan Obat (PMO) antara lain :
a. Dikenal oleh pasien
b. Disetujui penderita dan petugas kesehatan
c. Disegani oleh pasien
d. Tempat tinggal dekat dengan pasien
e. Bersedia membantu dengan suka rela
f. Pengawas Menelan Obat (PMO) harus memahami tanda dan gejala
penyakit.

2. Tugas Pengawas menelan Obat (PMO)


Nizar, 2017 mengatakan bahwa Depkes RI (2009) Menetapkan
empat tugas pokok pengawas menelan obat sebagaimana yang tertuang
dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis adalah
sebagai berikut :
a. Mengawasi penderita Tuberculosis (TBC) agar menelan obat
secara teratur sampai selesai masa pengobatan.
b. Memberikan dorongan kepada penderita agar mau berobat secara
teratur.
c. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu
waktu yang telah ditentukan.
d. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita
Tuberculosis (TBC) yang mempunyai gejala-gejala untu segera
memeriksakan ke petugas kesehatan terdekat.
e. Membantu penderita dalam pengambilan obat anti Tuberculosis
(TBC) di pelayanan kesehatan terdekat.

3. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)


Peran seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) pada pasien
Tuberculosis (TBC) adalah :
a. Mengawasi penderita tuberkulosis agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatannya.
b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien tuberkulosis
yang mempunyai gejala gejala mencurigakan tuberkulosis untuk
segera memeriksakan diri ke puskesmas atau unit pelayanan
kesehatan lainnya (Informasi Dasar PMO TB, 2014).

Dengan kinerja PMO yang baik, pasien lebih termotivasi untuk


menjalani pengobatan dengan teratur (Doanita, 2011).

C. Kepatuhan
1. Pengertian
Menurut Niel Niven (2012 : 192) perilaku kesehatan lainnya
adalah kepatuhan. Kepatuhan itu sendiri adalah upaya pasien dalam
mentaati nasihat dari petugas kesehatan. Sedangkan ketidakpatuhan
adalah tidak mentaati instruksi atas nasehat yang diberikan. Sebagai
contoh perilaku ketidakpatuhan adalah pasien lupa meminum obat
secara teratur dan terkadang meminum dosis yang salah.
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh yang berarti taat.
Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan
prilaku yang disarankan dokter atau oleh orang lain (Fuady, 2013).

2. Tingkat Ketidakpatuhan
Adapun tingkat ketidakpatuhan menurut Sacket (1976) dalam buku
Niven (2012:102) adalah :
a. Kompleksitas prosedur pengobatan
b. Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan
c. Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi nasihat tersebut
d. Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan
e. Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan menurut
Becker (1979) dalam Niven (2012 : 195 ) adalah :
a. Pemahaman tentang instruksi, yaitu jika pemahaman yang
diberikan salah, maka terjadi salah paham antara tenaga medis
dengan pasien.
b. Kualitas Interaksi, yaitu seperti ada kaitan erat antara kepuasan ibu
terdapat konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasehat
tenaga medis.
c. Isolasi Sosial dan Keluarga, yaitu keluarga menjadi faktor yang
mempengaruhi menilai status kesehatan individu dan juga
menentukan program pengobatan yang dapat diterima.
d. Keyakinan, sikap, dan kepribadian, yaitu model keyakinan
kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

4. Cara meningkatkan Kepatuhan


Kepatuhan pasien dalam pengobatan dapat ditingkatkan dengan
cara :
a. Instruksi tertulis yang harus jelas agar mudah diinterpretasikan
b. Informasi tentang pengobatan harus dijelaskan agar pasien ingat
c. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (tidak medis)

5. Faktor-faktor yang mendukung Kepatuhan pasien


Adapun kepatuhan pasien didukung oleh 5 faktor yaitu :
a. Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan
b. Akomodasi
Contohnya yaitu jika pasien yang mandiri harus sadar bahwa ia
harus mengikuti program pengobatan
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Yaitu membangun dukungan sosial dari teman-teman serta
keluarga
d. Perubahan model terapi
Yaitu merubah program-program pengobatan menjadi lebih
sederhana dan praktis.
6. Pengukuran Kepatuhan
Menurut Nursalam (2008) tingkat kepatuhan seseorang dapat
dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a. Tingkat kepatuhan tinggi jika nilai akumulasi >75%
b. Tingkat kepatuhan sedang jika nilai akumulasi 60-75%
c. Tingkat kepatuhan rendah jika nilai akumulasi<60%

D. Tuberculosis (TBC)
1. Pengertian
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobakterium Tuberculosis yang dapat menyerang parenkim paru-
paru dan dapat ditularkan ke bagian tubuh yang lain, seperti
meningens, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002:584
dalam Andreas & Puji, 2010).

2. Etiologi
Penyebab tuberculosis (TBC) paru adalah kuman Mycobacterium
Tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru tetapi dapat
pula menyerang organ tubuh lainnya. Kuman Tuberculosis ini
berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan yang sering disebut dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman dapat hidup di tempat yang gelab dan lembab selama
beberapa jam dan akan mati jika terpapar dengan sinar matahari
langsung. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat aktif kembali setelah
tertidur lama beberapa tahun atau disebut Dormant.
3. Patofisiologi
Ketika seorang pasien Tuberculosis (TBC) paru batuk, bersin, atau
berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh
ke tanah, lantai atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau
suhu udara yang panas, droplet yang tadi menguap. Menguapnya
droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan
membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuklei
terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka
orang itu berpotensi terkena bakteri tuberkulosis. Penularan melalui
udara disebut air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati
pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli.
(Pratiwi ST., 2008)
Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan
menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkulosis dan fokus ini
disebut fokus primer atau lesi primer atau fokus Ghon. Reaksi juga
terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama dengan fokus
primer disebut kompleks primer.(Pratiwi ST., 2008)
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke
seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu:(Pratiwi ST., 2008)
a. Percabangan bronkus
Penyebaran infeksi lewat percabangan bronkus dapat mengenai
area paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan
ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
b. Sistem saluran limfe dan aliran darah
Penyebaran infeksi lewat saluran limfe atau akhirnya secara tak
langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus
limfatikus. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan
mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang
dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen.
Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut
yang biasanya menyebabkan TB milier ini terjadi apabila fokus
nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
masuk ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ
tubuh. Reaktivasi infeksi primer (infeksi pasca-primer). Jika
pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak
berkembang lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tak dapat
berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur.
Ketika suatu saat kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras
atau memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu
lama, maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif kembali.
Inilah yang disebut reaktivasi infeksi primer atau infeksi pasca-
primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi
primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer dapat diakibatkan
oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi
baru), bukan bakteri dorman yang aktif kembali. Biasanya organ
paru tempat timbulnya infeksi pasca-primer terutama berada di
daerah apeks paru.

4. Klasifikasi Tuberculosis (TBC)


Untuk menentukan klasifikasi penyakit Tuberculosis (TBC), ada
tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut ( Depkes RI,
2008:18) :
a. Berdasarkanorgan tubuh yang terkena
1) Tuberculosis (TBC) Paru
Tuberculosis (TBC) paru adalah tuberculosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk
pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberculosis (TBC) ekstra paru
Tuberculosis (TBC) yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, seperti pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
b. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
Tuberculosis (TBC) Paru:
1) Tuberculosis (TBC) paru basil tahan asam (BTA) positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) hasilnya basil tahan
asam (BTA) Positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya basil tahan asam
(BTA) Positif dan foto toraks dada menunjukan
gambaran tuberculosis
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya basil tahan asam
(BTA) positif dan biakan kuman Tuberculosis
positif.
d) 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah
3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan
sebelumnya hasilnya basil tahan asam (BTA)
negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non Obat Anti Tuberculosis (OAT).
2) Tuberculosis (TBC) paru BTA negative
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberculosis
(TBC) paru BTA positif. Kriteria diagnostic Tuberculosis
paru BTA negative harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya
negative
b) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran
tuberculosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika
non OAT
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk
diberi penobatan
c. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1) Tuberculosis (TBC) paru BTA negative foto toraks positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu
bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambarna foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”, dan atau keadaan umum
pasien buruk).
2) Tuberculosis (TBC) ekstra-paru dibagi berdasarkan pada
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a) Tuberculosis (TBC) ekstra paru ringan, misalnya:
Tuberculosis (TBC) meningitis, milier, pericarditis,
peritonitis, pleuritis eksudatuva bilateral, tulang
belakang, usus, saluran kemih dan alat kelamin.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan obat anti
tuberculosis (OAT) atau sudah pernah menekan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus Kambuh (relaps)
Adalah pasien Tuberculosis (TBC) yang sebelumnya
pernah mendapatkan pengobatan dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus obat (default)
Adalah pasien yang telah berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (transfer in)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register Tuberculosis lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi criteria diatas.
Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.

5. Manisfestasi Klinis
Keluhan yang dirasaksan pasien Tuberculosis (TBC) dapat
bermacam-macam atau bahkan pasien ditemukan tanpa adanya
keluhan sama sekali dalam pemeriksanaan kesehatan. Menurut
Kemenkes RI, 2018 keluhan atau gejala yang muncul pada pasien
Tuberculosis (TBC) adalah batuk, dahak bercampur darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat pada malam hari, demam, meriang dan nyeri dada.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kultur sputum : positif untuk Mycobakterium tuberculosis
pada tahap aktif penyakit.
2) Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca
untuk asupan cairan darah) : positif untuk basil asam-cepat.
3) Tes Kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif
(area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam
setelah injeksi intradermak antigen) menunjukan infeksi
masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti
menunjukan penyakit aktif.
4) Histology atau kultur jaringan (termasuk pembersihan
gaster; urine dan cairan serebrospinal, biopsy kulit) : positif
untuk Mycobacterium Tuberculosis.
5) Biopsy jarum pada jaringan paru: positif untuk granuloma
Tuberculosis : adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
6) Elektrolit : dapat tak normal tergantung pada lokasi dan
beratnya infeksi; contohnya hiponatremia disebabkan oleh
tak normalnya retensi air, dapat ditemukan pada
Tuberculosis (TBC) paru kronis luas.
7) Pemeriksaan fungsi paru : penurunn kapasoitas vital,
peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, dan
penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi
parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit
pleural (Tuberculosis (TBC) paru kronis luar).

b. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks : dapat menunjukan infiltrasi lesi awal pada area paru
atar, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau effusi cairan.
Perubahan menunjukan lebih luas Tuberculosis dapat termasuk
rongga, area fibrosa.
c. Pemeriksaan CT Scan
Dilakukan untuk menemukan hubungan kasus Tuberculosis inaktif
atau stabil yang ditunjukan dengan adanya gambaran garis-garis
fibrotic ireguler, pita parenkimal, klasifikasi nodul dan adenopati,
perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskular, bronkhiektasis,
dan emfisema perisikatriksial.
7. Pengobatan
1. Penatalaksanaan pengobatan
Prinsip pengobatan Tuberculosis (TBC) adalah harus kombinasi,
tidak boleh terputus-putus dan jangka waktu yang lama.
Pengobatan Tuberculosis (TBC) diberikan dalam dua tahap, yaitu :
a. Tahap Intensif
Adalah tahap awal dimana pasien mendapatkan obat setiap hari
dan diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau
resistensi terhadap semua obat anti tuberculosis (OAT)
terutama rimfamicin. Bila tahap ini diberikan secara tepat
pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar Tuberculosis (TBC) Paru BTA Positif menjadi
negative pada awal pengobatan.
b. Tahap lanjutan
Pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan
jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan.
Tujuan dari pengobatan pasien Tuberculosis (TBC) adalah
penyembuhan pasien, mencegah kekambuhan, mencegah
kematian dan menurunkan resiko penularan.
Jenis obat yang digunakan dalam pengobatan pasien
Tuberculosis (TBC) antara lain :
1) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid
dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pertama pengobatan.
2) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh
kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh
oleh INH.
3) Piranizamid (Z), bersifat bakteriasid dapat membunuh
kuman yang berada dalam sel suasana asam.
4) Streptomycin (S), bersifat bakteriasid
5) Etamburol (E), bersifat bakteriotatik
2. Program obat anti tuberculosis (OAT)
Di Indonesia diterapkan panduan obat anti tuberculosis (OAT)
sesuai dengan rekomendasi Wrold Health Organization (WHO)
dan International Union Againts Tuberculisis and Lung Desease
(IUAT-LD) dengan jangka 6 Bulan yaitu :
a. Kategori I (2HRZA / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampicin (R),
Pirazanamid (Z), dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari
selama 2 bulan (2HRZE) yaitu 60 . Kemudian diteruskan tahap
lanjutan dari terdiri dari Isoniasid (H), Rimfapicin (R)
diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Panduan obat anti tuberculosis (OAT) kategori 1 diberikan
kepada:
1) Pasien baru Tuberculosis (TBC) – paru BTA positif
2) Pasien baru Tuberculosis (TBC) – paru negatif, Rontgen
positif yang sakit berat.
3) Penyakit paru ekstra berat.

b. Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap Intensif selama tiga bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE
dan suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1
bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah ini diteruskan dengan
tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3
kali dalam seminggu.

c. Kategori III (2HR2/4H3R3)


Tahap Intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari
selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri
dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.
Panduan obat anti tuberculosis (OAT) kategori 1 diberikan
kepada:
1) Pasien batuk Tuberculosis (TBC) Paru BTA negative dan
rontgen positif yang sakit ringan.
2) Pasien ekstra paru ringan, yaitu: Pasien Tuberculosis (TBC)
kelenjar limfe (Limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral,
Tuberculosis (TBC) kulit, Tuberculosis (TBC) tulang,
(kecuali tulang belakang, Tuberculosis (TBC) sendi dan
kelenjar adrenal).

Anda mungkin juga menyukai