Anda di halaman 1dari 18

15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini menggunakan teori-teori sebagai

landasan untuk menyelesaikannya. Berikut tinjauan pustaka yang digunakan dalam

penelitian ini:

1. Konsep Kekuasaan

Hegemoni dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua unsur

ini saling berkaitan dan saling berpengaruh, sebab kekuasaan dipergunakan dalam

mempengaruhi seseorang atau pengendalian atas kehendak yang diinginkannya.

Dengan demikian kekuasaan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang atau

suatu kelompok untuk mempengaruhi atau memaksa orang lain agar mendapatkan

suatu yang diinginkannya. Dalam hal ini kekuasaan selain dipergunakan untuk

memaksa atau mengendalikan seseorang, kekuasaan juga dapat dipergunakan untuk

merubah suatu keadaan seseorang dengan kekuasaan pemimpin yang dimiliki. Jadi,

kekuasaan suatu hal yang dimiliki oleh pemimpin dengan berbagai ketingkatan yang

lebih tinggi dan kuat

Kekuasaan untuk mendapatkannya dalam suatu kehidupan, seseorang memiliki

tujuan tertentu untuk mencapai tujuannya. Terkadang seseorang dalam keinginan untuk

mencapai tujuannya dengan memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki

oleh seseorang itu sendiri. Kekuasaan merupakan seseorang atau suatu kelompok untuk

15
16

mempengaruhi pihak lain dengan untuk bertujuan agar keinginan-keinginan dalam

individu atau kelompok tersebut tercapai. Dalam hal ini, kekuasaan memiliki

kemampuan dan kekuatan untuk mempengaruhi perilaku seseorang, sesuai dengan

keinginan pelaku. Dengan demikian kekuasaan dapat dikatakan sebuah tindakan

seseorang atau pelaku untuk mempengaruhi seseorang dengan tuujuan-tujuan

keinginan dan kemauan pelaku itu sendiri dengan tindakan yang memiliki kemampuan

atau yang berkuasa (Budiardjo, 2007: 17).

Kekuasaan merupakan kemampuan dalam suatu hubungan sosial,

melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar

kemampuannya. Dalam hal ini, kekuasaan sebagai keinginan pada diri sendiri yang

didukung dengan kekuasaan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga lebih membantu

dalam mencapai keinginan-keinginan yang diinginkan. Dengan demikian, untuk

melaksanakan agar keinginannya tercapai maka pelaku tidak menghiraukan dari pihak

luar, selagi masih ingin mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini juga pelaku

tidak peduli dengan sekitar yang melawannya, sewaktu dia masih beranggapan bahwa

pelaku memiliki kekuasaan, sehingga dia mampu melakukan apa saja demi apa yang

pelaku tuju dan capai (Budiardjo, 2007: 60).

Menurut Sari, (2013). Hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi

atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun juga kebudayaan kelompok masyarakat

yang akhirnya berubah menjadi sebuah doktrin. Dalam hal ini, hegemoni merupakan

sebuah dominasi ataupun kekuasaan yang dalam prosesnya atas nilai suatu kelompok

kepada masyarakat atas norma maupun kebudayaan. Dengan demikian, atas dominasi
17

yang berkaitan dengan norma dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat merupakan

hegemoni kekuasaan yang berubah menjadi sebuah doktrin.

French dan Raven (dalam Basrowi, 2014: 114) berpendapat bahwa kekuasaan

dalam hidup manusia selalu berhadapan dari berbagai sumber kekuasaan yang terjadi.

Ia menemukan beberapa sumber dari kekuasaan. Berikut lima bentuk kekuasaan yang

ditemukan:

a. Kekuasaan Imbalan

Jenis kekuasaan yang diimbalkan kepada seseorang yang memiliki

kekuasaan. Pencapaian terhadap suatu tindakan kesetiaan yang dianggap sangat

berharga dalam hidup. Dalam pandangan orang lain imbalan merupakan suatu

hal berharga mengenai tindakan yang dilakukan pada konsep kinerja yang

dilakukan pada seseorang. Dengan demikian konsep imbalan diarahakan

kepada seseorang yang memiliki suatu pemikiran kinerja yang baik, serta

mengharapkan suatu keberkahan dalam hidup atas kinerja yang dilakukan.

Pekerja dalam menjalankan suatu pekerjaan yang dilakukan selalu berfikiran

yang positif dengan semata-mata karena keberkahan dari Kuasa. Dengan

demikian seseorang bisa atau mendapatkan suatu imbalan juga dengan rasa

abdinya kepada atasan dengan merasakan suatu keberkahan dalam hidup.

b. Kekuasaan Sah
Kekuasaan sah adalah yang dimiliki seorang pemimpin yang mempunyai

kemampuan tertentu untuk mempengaruhi. Kemampuan ini pada awalnya

berpengaruh terhadap kepercayaan seseorang atas kemampuan pemimpin.


18

Dengan demikian kekuasaan sah ketika pemimimpin memiliki kemampuan

untuk mengatur dan mempengaruhi seseorang atau bawahan untuk mengikuti

atau tidak mengikuti dengan sesuai keinginannya. Kekuasaan sah adalah yang

dimiliki seseorang ketika orang tersebut memiliki jabatan yang sah dengan

dimilikinya sebuah kemampuan. Dengan demikian, kemampuan dengan

jabatan yang lebih tinggi akan berpegaruh terhadap kepemimpinan. Dalam hal

ini pimpinan yang lebih besar dapat berpengaruh dari sudut cara kerja serta

aturan yang dibuat. Dalam hal ini suatu kepemimpinan berdasarkan kekuasaan

sah maka akan mempengaruhi suatu jalannya kinerja dalam atauran-aturan yang

dipimpin.

c. Kekuasaan Referen

Kekuasaan referen adalah suatu kekuasaan yang dimiliki seseorang

dengan sikap serta perilaku positif yang berkharisma dalam suatu tindakan.

Dengan demikian kekuasaan yang referen dinilai dalam tindak tutur serta sikap

santunnya yang menjadikan diri seseorang menjadi Referen. Dalam hal ini

pemimpin yag memiliki kewibawaan serta kepandaian dalam berfikir, akan

menjadikan peguasa tersebut referen. Kekuasaan referen adalah suatu

kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin yang didalamnya terdapat suatu hal

yang menarik dan berkharisma dalam setiap bertindak yang dilakukan oleh

pemimpin. Dengan demikian, sehingga menjadikan sebuah inspirasi untuk

bawahan dari hal yang positif dari seorang pemimpin.


19

d. Kekuasaan Ahli

Kekuasaan ahli adalah kekuasaan yang dianggap memiliki kemampuan

untuk memimpin. Dengan demikian kekuasaan ahli dapat dikatakan suatu

keahlian yang dimiliki dengan mempunyai kemampuan dalam hal memimpin.

Kekuasaan ahli dapat dilihat berdasarkan kemampuan berfikir ataupun

gagasan-gagasan dalam memimpin serta kecakapan yang dimiliki. Jadi,

kekuasaan ahli kekuasaan yang memperlihatkan suatu kemampuan serta

keahlian yang dimiliki dengan tindakan untuk memimpin. Kekuasaan ahli ada

karena suatu keahlian dan kemampuan yang dimiliki terhadap seseorang untuk

menjadi pemimpin yang dapat dihandalkan. Dengan demikian suatu kekuasaan

ahli ada karena suatu pemikiran dan gagasan yang luas dan mempunyai

keahlian sebagai pemimpin.

e. Kekuasaan Paksaan

Suatu kekuasaan yang dilakukan oleh pimpinan dengan memiliki

kedudukan tinggi untuk memaksa bawahan sesuai dengan kehendak atau

keinginannya. Dengan demikian, pemimpin melakukan tindakan berbagai cara

agar keinginannya terkabulkan sesuai dengan misi yang direncanakan untuk

bawahan. Dalam hal ini dapat dikatakan, sebuah paksaan terhadap pemimpin

terhadap bawahan untuk mencapai suatu kehendak yang diinginkan dengan cara

paksa dan dengan berbagai cara apapun. Kekuasaan paksaaan hanya dimiliki
20

oleh pemimpin, karena pemimpin memiliki posisi tinggi untuk memaksa

bawahan sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian, yang memilki

wewenang penuh atas paksaan dari bawahan yaitu pemimpinan yang jelas

memiliki kedudukan yang tinggi.

2. Konsep Ideologi

Ideologi merupakan suatu himpunan nilai-nilai, ide-ide, atau norma-norma,

kepercayaan atau keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok atas dasar mana

dia dalam menyikapi sikap terhadap kejadian serta problematika politik yang dihadapi

dan menentukan perilaku politik yang dihadapinya. Dasar politik sendiri merupakan

keyakinan suatu pola tata tertib sosial politik yang ideal. Dalam ideologi politik sendiri

mencakup diagnosa suatu pembahasan untuk pencapaiannya menjadi politik dengan

tujuan yang ideal. Dengan demikian, ideologi politik dalam menyikapi suatu

permasalahan problematika politik yang dihadapi dijalankan dengan norma,

keprcayaan serta keyakinan untuk menyelesaikan tujuan-tujuan dari problematika-

problematika yang dihadapi. Dalam hal ini juga idelogi politik memegang suatu tata

tertib yang tinggi untuk menjalankan ideologi politik yang sebaik-baiknya untuk

dijalankan dengan pola-pola pembahasan yang ideal (Budiardjo, 2007: 45).

a. Otoritarianisme

Otoritarianisme dalam pegangannya menganut paham kekuasaan dan

wewenang sebagai acuan hidup dan untuk sebagai dasar berfikir.

Otoritarianisme dalam pendiriannya berpegang pada otoritas, kekuasaan,

kewibawaan serta cara pandang hidup dalam menjalankan tindakannya.


21

Pemahaman pendirian otoritarianisme ini berpegang terhadap kekuasaan,

sedangkan dalam cara berfikir hanya sebuah instruksi yang kemudian berubah

menjadi perintah, pengarahan yang instruksi selanjutnya berubah menjadi

sebuah paksaan yang harus dilakukan atau dilaksanakan kepada bawahannya.

Dalam hal ini, kekuasaan yang menjadi prioritas bagi otoritarianisme, sebab

dalam scuannya berpegang kepada kekuasaan yang kemudian dilanjutkan

dengan adanya perintah yang kemudian menjadi sebuah paksaan dari seseorang

yang memiliki kekuasaan penuh (Mangunhardjana, 1997: 174-175).

b. Feodalisme

Feodalisme dalam kerja sistemnya tidak mengagung-agungkan prestasi

kerja yang di dapat dalam diri seseorang, melainkan dari kerja sistem yang

mengagung-agungkan pangkat dan jabatan bukan prestasi semata. Dalam hal

ini seseorang tertarik terhadap kinerja seseorang yang etos dengan melihat

kinerjanya dari sebuah pangkat atau jabatan semata yang dimiliki, melainkan

bukan dari melihat cara kerja berdasarkan pengalaman atau prestasi yang

dimiliki (KBBI, 2008: 408).

Masyarakat yang feodal sangat mengagung-agungkan status sosial yang

terbagi atas pangkat dan jabatan. Dalam hal ini masyarakat yang feodalisme

melihat status sosial seseorang dengan melihat dari jabatan yang dimiliki.

Dengan demikian, feodalisme dikatakan masayarakat yang mengagung-

agungkan status sosial berdasarkan pangkat dan jabatan (Ali, 1997:275).


22

c. Kapitalisme

Kapitalisme dalam sistem perekonomiannya yang bersumber dari modal

pribadi atau modal perusahaan swasta dengan penanaman modal yang ciri

persaingan dalam sistemnya pasar bebas. Dalam menjalankan suatu usaha

dalam menempatkan modal di dapat dari modal pribadi atau perusahaan untuk

menjalankan usaha yang dijalankan. Dalam hal ini, untuk menjalankan usaha

yang ingin dikembangkan, maka pengusaha mendapatkan modal dari dirinya

sendiri/pribadi atau dari perusahaan-perusahaan swasta dalam mendapatkan

modal sebagai suatu sistem perekonomiannya (Ali, 1997: 444).

d. Sosialisme

Masyarakat yang adil dan makmur merupakan suatu pandangan dari

sosialisme dalam kehendak perubahannya untuk menjadikan suatu keadilan

bagi masyarakat. Dalam keinginan mewujudakan masyarakat yang adil dan

makmur, sehingga dalam penanganannya diperlukan pemerintahan ikut turun

tangan/campur dalam bidang ekonomi. Dalam hal ini, suatu negara atau

pemerintah juga ingin mewujudkan dan menjadikan masyarakat yang sebaik-

baiknya. Dengan demikian, paham perekonomian yang bersangkutan dalam hal

harta benda, perusahaan, dan industri menjadi milik negara. (KBBI, 2008: 890).
23

e. Vandalisme

Dalam KKBI vandalisme perbuatan perusakan hasil karya dengan cara

kasar dan kejam (KBBI, 2008: 1604). Dalam hal ini vandalisme dari pengertian

melalui KBBI merupakan suatu perusakan hasil karya seseorang secara kasar

melalui sebuah perbuatan yang dilakukan.

B. Landasan Teori

Landasan teori pada penelitian ini menggunakan teori dari hegemoni Gramsci.

Berikut penjelasan mengenai teori pada penelitian ini:

1) Teori Hegemoni Gramsci

Penemuan terhadap teori hegemoni atau biasa disebut dengan teori

kultural/ideologis general, demikian dari teori tersebut ditemukan oleh Gramsi yang

kemudian diterapkan oleh sastra. Penemuan teori tersebut oleh Gramsci merupakan

sebuah teori yang bersifat formatif kepada masyarakat, tidak hanya saja mengakui

eksistensi semata yang bersifat otonom (Faruk, 1994: 61)

Teori hegemoni dari Gramsci biasa disebut juga dengan teori kultural/ideologis

yang beranggapan bahwa gagasan, kebudayaan, superstruktur merupakan suatu

kekuatan yang bersifat material. Dunia gagasan, kebudayaan dan superstruktur yang

bersifat material ini bukan saja sebagai refleksi atau ekspresi namun dari struktur kelas

ekonomi yang memiliki sifat material itu sendiri. Dalam hal ini, kultural/ideologis

dalam teorinya yang berkekuatan dengan material serta gagasan atau ideologi berfungsi

sebagai mengorganisasi masa manusia, yang dapat menciptakan suatu lapang


24

sebagaimana manusia bergerak di atasnya. Dengan demikian, teori kultural/ideologis

yang berkekuatan memiliki sifat material sebagai struktur kelas ekonomi dengan sifat

material tersebut yang dalam dunia gagasan, kebudayaan, dan superstrukturnya terpacu

pada proses sebagai fungsi mengorganisasi terhadap massa manusia (Faruk, 1994:62).

Formasi ideologis dalam persoalan kultural sangat penting bagi Gramsci karena

yang ada di dalamnya pun berlangsung pada proses sangat rumit dengan gagasan-

gagasan tertentu. Dalam gagasan-gagasan serta opini-opini yang muncul tidak begitu

saja lahir dan keluar dari pemikiran individual, melainkan memiliki pusat formasi,

irradiasi, penyebaran dan persuasi. Menguasai seluruh kemampuan gagasan atau opini

dalam suatu lapisan seluruh masyarakat merupakan puncaknya. Gramsci

mengemukakan bahwa puncaknya tersebut sebagai hegemoni. Dengan demikian,

pemikiran gagasan dan opini-opini yang memiliki berbagai pusat dengan proses yang

sangat rumit dalam gagasan dan opini yang tidak lahir dari otak individual melainkan

berkembang melalui pusat-pusat tersebut. Dalam hal ini, suatu proses dari gagasan-

gagasan dan opini yang berkembang dengan pusat formasi, irradiasi, penyebaran, dan

persuasi yang ditujukan untuk mengembangan saluran lapisan masyarakat dengan

tujuan sampai memenuhi puncaknya (Faruk, 1994:62).

Konsep dari Gramsci bahwa hegemoni berarti suatu hal yang lebih kompleks.

Dalam hal ini Gramsci menggunakan konsep tersebut untuk meneliti bentuk politis,

kultural, dan ideologis, terlebih dalam suatu masyarakat yang ada, pada kelas

fundamental dapat membangun kepemimpinan sebagai suatu yang berbeda dari

bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa. Dalam hal ini, hegemoni yang bersifat
25

komplek menurut Gramsci lebih ditekankan kepada penggunaan untuk meneliti

bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis yang dalam konsep ini lebih menekankan

untuk suatu masyarakat kelas fundamental yang dalam kepemimpinannya berbeda dan

tidak memaksa. Dengan demikian, konsep ini tercipta untuk membangun suatu

kepemimpinan yang berbeda dalam bentuk dominasi yang bersifat agar tidak memaksa

(Faruk, 1994:63).

Kerja konsep hegemoni mempunyai tiga tantangan yang dibuat oleh Gramsci.

Ketiga tantangan yang dibuat oleh Gramsci tersebut berbeda-beda kerja konsepnya.

Tantangan pertama mengenai pemahaman persoalan idealis liberal dalam kebudayaan

sebagai suatu hakikat persoalan dengan roh tanpa ada sangkut pautya dengan politik.

Tantangan kedua mengenai prosedur dalam mereduksi kebudayaan bahwa semata-

mata sebagai refleksi dari dasar ekonomik masyarakat. Dalam hal ini kebudayaan

dalam perkembangannya sebagai akibat belaka dari infra struktur dalam masyarakat.

Dengan demikian, jika terjadi perubahan terhadap infrastruktur, maka kebudayaan

dengan sendirinya akan mengalami perubahan tanpa adanya pengaruh balik dari

infrastruktur itu sendiri. Tantangan ketiga merupakan mentransformasi bahwa

hegemoni merupakan negara yang menjadi suatu kepemimpinan moral dan intelektual

yang luas dan demokratik. Dalam hal ini, negara sebagai kekuatan kultural hegemonik

dalam mendikte negara menjadi sebuah kepemimpinan moral yang peraturannya

bahwa penentuan yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah, yang pantas dan

tidak pantas. Dengan demikian, moralitas tersebut cenderung lebih mempertahankan

masyarakat secara hirarkies (Frauk, 1994: 134).


26

Raymond Williams disini dalam buku yang berjudul culture and society, di

Inggris yang juga dipahami oleh Matheuw Arnold yang menjabarkan bahwa

kebudayaan merupakan nilai-nilai luhur yang dalam puncaknya sebagai spiritualitas

manusia. Kebudayaan seperti ini diperlihatkan dan dianggap sebagai karya sastra yang

adiluhung. Dalam hal ini, kebudayaan merupakan karya sastra yang memiliki nilai

luhur dalam penilaian isi karyanya yang bersifat spiritual bagi manusai itu sendiri

(Faruk, 1994: 133).

Dengan demikian, bagi Gramsci bahwa ada suatu pertalian yang penting antara

kebudayaan dengan politik, namun pertalian tersebut jauh dari pertalian yang

sederhana dan mekanik. Dalam hal ini, bahwa kebudayaan dan politik memiliki

keterkaitan jauh yang dalam pertalian tersebut saling menghubungkan satu sama lain.

Jadi, kebudayaan dan politik merupakan suatu hal yang saling berhubungan mengingat

keduanya memiliki nilai leluhur yang jauh dan saling mengaitkan (Faruk, 1994: 135).

a. Kebudayaan

Gramsci berpendapat bahwa konsep kebudayaan merupakan sebuah

batiniah dari diri seseorang dalam kedisiplinannya yang merupakan suatu

pencapaian kesadaran yang lebih tinggi, dengan sokongannya maka seseorang

akan dapat memahami nilai historis pada dirinya, fungsi dalam hidup serta hak

dan kewajiban. Dalam hal ini konsep kebudayaan yang tepat untuk suatu

keadilan dan demokratis merupakan suatu kedisiplinan dalam seseorang itu

sendiri yang lahir dalam batin. Dengan demikian kebudayaan muncul dari

pemikiran-pemikiran yang lahir dari hati atau batiniah pada setiap seseorang itu
27

sendiri. Jadi, kebudayaan berkonsep dari seseorang yang menerima pemikiran-

pemikiran mengenai budaya itu sendiri dengan perasaan batiniah untuk

mempercayai dan menerimanya. Seseorang dalam pemikiran batiniah juga akan

memiliki kesadaran-kesadaran yang ada pada dirinya untuk lebih mengenali

suatu kehidupannya serta hak dan kewajibannya sebagai manusia. Dalam hal

ini, kebudayaan dalam konsepnya yang tertuju kepada kepemikiran batiniah

terhadap seseorang itu sendiri juga untuk mencapai suatu hal pemahaman dalam

penilaian dirinya selain untuk mengenali kehidupan dan kewajibannya (Faruk,

1994: 64).

Gagasan yang bersangkutan dengan kesadaran kebudayaan akan

berimbas pada kondisi dan sebab tertentu yang bagaimana cara membalikkan

fakta kebudayaan menjadi signal pemberontakan dan revolusi sosial.

Kesadaran-kesadaran dalam kondisi yang terjadi diperlukan untuk

mengembalikan fakta-fakta kebudayaan dari gagasan yang bersangkutan. Bagi

Gramsci, bahwa setiap revolusi wajib didahului terhadap kerja kritik yang

intens, oleh difusi kebudayaan serta penyebaran gagasan pada manusia yang

pertama kali yang mungkin melakukan penolakan atas keterikatannya terhadap

intens perekonomian langsung. Jadi dalam hal ini, revolusi sosial harus

didahului terlebih dulu oleh revolusi kebudayaan atau ideologis. Dalam revolusi

kebudayaan tidak berlangsung spontan atau ilmiah, tetapi melibatkan berbagai

faktor kultural tertentu untuk melakukannya (Faruk, 1994: 66-67).


28

b. Hegemoni

Kriteria metodologis yang menjadi dasar studi, menurut Gramsci bahwa

pada asumsi supremasi suatu kelompok sosial yang menyatakan dirinya pada

dua hal, yaitu cara sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan moral dan

intelektual. Dalam hal ini, metodologis yang diasumsikan terhadap suatu

kelompok yang dibagi dengan kedua cara sebagai moral dan intelektual yang

masing-masih berjalan sesuai asumsi caranya (Faruk, 1994: 141).

Gramsci mendefiniskan bahwa hegemoni sesuatu yang kompleks

sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politis. Hegemoni dalam

kepemimpinannya harus diperhatikan interes serta kecenderungan-

kecenderungannya terhadap hegemoni itu sendiri dijalankan. Dalam hal ini

hegemoni harus seimbang dalam melakukan perjalannya mengingat hegemoni

harus memperhatikan dari aspek interes dan juga kecenderungan yang terjadi.

Dengan demikian, keseimbangan-keseimbangan tersebut harus dibentuk atau

kata lain dalam kelompok pemimpin harus membuat pengorbanan-

pengorbanan tertentu yang bersifat ekonomis dan harus berdasarkan pada

fungsi yang menetukan yaitu inti aktivitas ekonomi. Dalam hal ini, bahwa

pengorbanan yang bersifat ekonomis dijalankan tidak dapat menyentuh esensial

atau interes ekonomi, sehingga didasarkan terhadap inti aktivitas ekonomi

(Faruk, 1994: 142).

Sejarah bagi Gramsci, merupakan suatu proses konflik dan kompromi

yang di dalamnya terdapat kelas fundamental yang akan muncul sekaligus


29

sebagai dominan dan direktif, bukan hanya saja sebagai batas ekonomik,

melainkan dalam batas-batas moral dan intelektual. Dalam hegemoni suatu

bentuk ekstensif dan efektif akan ada satu keseimbangan dan harmoni yang

relatif. Relatif karena ada periode hegemoni itu dengan berbagai alasan akan

terpecah, maka ketika kelas dominan mengmbil tindak kekerasan, Gramsci

mendefinisikan hal ini sebagai krisis otoritas (Faruk, 1994: 143).

Gramsci berpegang teguh pada dua aspek yaitu apabila marxisme

ortodoks memberikan tekanan secara berlebihan pada pentingnya masyarakat,

sedangkan untuk filsafat liberal pada peran gagasan. Dengan demikian, salah

satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan yang “dipimpin” disatukan dengan

lewat “kepercayaan-kepercayaan populer” (Faruk, 1994: 144).

c. Ideologi, Kepercayaan, dan Kebiasaan Umum.

Gramsci mengatakan bahwa kekuatan material merupakan dari

kepercayaan populer dan gagasan yang serupa. Gagasan-gagasan atau

kepercayaan itu akan dapat merubah atau mempengaruhi seseorang tentang

dunia. Dalam gagasannya ada tiga cara penyebarannya yatu melalui bahasa,

common sense, dan folkor. Tiga penyebaran gagasan menurut Gramsci ialah

pertama mengenai penyebaran melalui bahasa yaitu bahwa dari bahasa

seseorang dapat ditafsirkan kompleksitas dengan lebih besar atau lebih kurang

dari konsepsinya mengenai dunia. Peneyebaran gagasan yang kedau menurut

Gramsci melalui common sense, yaitu sebagai konsepsi tentang dunia yang

paling pervasif tetapi tidak sistematik. Dalam hal ini common sense memiliki
30

dasar dalam pengalaman populer namun tidak mempunyai konsepsi yang

terpadu mengenai dunia seperti filsafat. Penyebaran gagasan yang ketiga

menurut Gramsci ialah melalui folklor, folklor ialah yang meliputi sistem-

sistem kepercayaan menyeluruh, tahyul-tahyul, opini-opini, cara-cara melihat

tindakan tertentu dan segala sesautu (Faruk, 1994: 144-146).

d. Kaum Intelektual

Mencapai hegemoni, suatu ideologi harus disebarkan. Gramsci

mengemukakan, bahwa penyebaran tidak begistu saja terjadi dengan

sendirinya, tetapi melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi

pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran, kematangan dan

tidak kematangan yang relatif bahasa nasional, sifat-sifat dengan kelompok

sosial yang beredominan, dan sebagainya. Dalam pusat-pusat tersebut memiliki

fungsionaris yang memiliki peran penting yaitu kaum intelektual. Dalam setiap

kelompok sosial menciptakan satu atau strata dalam lapangan ekonomi dalam

memberi homogenitas secara intelektual dan melalui kesadaran menurut

fungsinya yang tidak dalam lapangan ekonomi saja, namun juga melalui

lapangan sosial dan politik (Faruk, 1994:150).


31

e. Negara

Menurut pemikiran Gramsci negara menyangkut aparat-aparat

hegemoni atau masyarakat sipil, karena tidak hanya menyangkut aparat

pemerintahan saja. Negara merupakan kompleks menyeluruh dari sebuah

aktivitas teoretis dan praktis terhadap kelas penguasa tidak mempertahankan

dan membenarkan dominasinya saja, namun berusaha memenangkan setujuan

aktif yang diperintahkan oleh mereka. Wilayah dalam negara, Gramsci

membedakan dua wilayah yaitu dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik.

Dalam wilayah masyarakat sipil sangat penting bagi bagi konsep hegemoni

karena merupakan wilayah “kesetujuan”, “kehendak bebas”. Dalam wilayah

untuk masyarakat politik merupakan wilayah dunia kekerasan, pemaksaan, dan

intervensi. Dalam hal ini, negara dengan dunia wilayah tersebut merupakan

dunia yang berbeda, namun tetap dengan konsep negara yang khusus. Dengan

demikian, negara memiliki peraturan yang berbeda sesuai dengan wilayahnya

masing-masing, namun tetap dengan konsep negara yang ada (Faruk, 1994:

153).

Negara juga merupakan organisasi yang dalam suatu wilayah dapat

memaksa kekuasaannya yang sah terhadap kekuasan golongan yang lainnya

dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan itu sendiri. Negara dalam

wilayahnya menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai kekuasaan tersebut

bisa digunakan dalam kehidupan bersama, baik individu, golongan, atau

asosiasi ataupun oleh negara sendiri. Dalam hal ini, negara dapat membimbing
32

dan mengarahkan kegiatan-kegiatan soial dengan tujuan bersama (Budiardjo,

2007: 47).

Negara cenderung menciptakan suatu level kebudayaan baru. Dalam

pengertian tersebut negara dianggap sebagai “edukator”. Penciptaannya

dilakukan dengan cara teorganisasi, dalam segala asosiasi-asosiasi poitik

sekaligus sindikatnya, melainkan bukan hanya saja berlangsung secara spontan.

Dalam hal ini, penciptaan type atau level kebudayaan baru dengan cara yang

terorganisasi dan tidak dilakukan dengan cara yang spontan, namun dengan

dilakukannya secara teratur (Faruk, 1994: 153-154).

Anda mungkin juga menyukai