Abstrak
1
Luh Nila Winarni
kepada pihak ketiga, baik melalui gadai, atau liki kendaraan bermotor, sehingga persyaratan
disewakan. Mengingat obyek perjanjian dalam apapun dan resiko apapun tidak dipertim-
pembiayaan kendaraan bermotor merupakan bangkan; kedua, konsumen banyak yang tidak
benda bergerak, dan bagi lembaga gadai atau mampu memahami arti/makna klausul-klausul
penyewa yang penting ada Surat Tanda perjanjian, karena rata-konsumen tidak mema-
Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) sudah hami hukum kontrak; ketiga, pasal-pasal
cukup bagi terjadinya transaksi gadai atau dalam perjanjian terlalu banyak; keempat, font
sewa menyewa kendaraan bermotor. Resiko huruf yang digunakan terlalu kecil, sehingga
lain adalah kerusakan kendaraan bermotor menyulitkan siapapun untuk membacanya.
yang menjadi obyek perjannjian, seperti akibat Keseimbangan hak dan kewajiban memang
tabrakan, atau sengaja dilakukan penggantian merupakan prinsip yang terdapat dalam
spare part (onderdil) kendaraan bermotor oleh sebuah perjanjian, termasuk perjanjian pem-
konsumen. Semua risiko tersebut tentunya biayaan kendaraan bermotor. Namun demikian
dapat menyebabkan menurunya dan bahkan banyak pihak yang mulai mengkritis per-
hilangnya nilai ekonomis kendaraan, yang janjian pembiayaan kendaraan bermotor ini,
dapat merugikan perusahaan pembiayaan diantaranya perjanjnian pembiayaan kendara-
manakala konsumen melakukan wanprestasi. an bermotor sebenarnya sangat merugikan
Resiko memang merupakan konsekuensi konsumen. Bahkan dikatakan perjanjian pem-
setiap usaha, untuk itu siapapun yang menja- biayaan kendaraan bermotor tersebut tidak
lankan usaha selalu berusaha meminimalisir seimbang, dan cenderung hanya merupakan
terjadinya resiko. Untuk menekan terjadinya sarana hukum bagi terlindunginya kepen-
resiko, perusahaan pembiayaan menggunakan tingan perusahaan konsumen dari resiko yang
instrumen hukum untuk melindungi kepen- mungkin timbul dari kegiatan pembiayaan
tingannya. Instrumen hukum tersebut dikemas kendaraan bermotor yang dijalankanya.
ke dalam klausul-klausul perjanjian antara Upaya perlindungan terhadap kepentingan
konsemen sebagai debitor dengan perusahaan perusahaan pembiayaan ini terlihat dari
pembiayaan sebagai kreditor. Instrumen hu- klausul-klausul perjanjian pembiayaan konsu-
kum dalam bentuk perjanjian ini pada prin- men yang ditanda tangani oleh perusahaan
sipnya hampir sama dengan perjanjian yang pembiayaan selaku kreditor dengan konsumen
biasa digunakan oleh lembaga perbankan selaku debitor. Salah satu klausul perjanjian
dalam menyalurkan kreditnya. Secara normatif yang berfungsi untuk melindungi kepentingan
setiap perjanjian pada umumnya harus men- perusahaan pembiayaan adalah diperjanji-
cerminkan kehendak para pihak yang mem- kanya oleh kedua pihak terkait dengan hak
buatnya secara adil dan seimbang, tidak perusahaan pembiayaan untuk menarik ken-
terkecuali dalam pembuatan perjanjian pem- daraan bermotor secara paksa pada saat
biayaan kendaraan bermotor. konsumen melakukan wanprestasi. Penarikan
Perjanjian pembiayaan-perjanjian dimaksud paksa ini memang
pada umumnya sudah dibuat terlebih dahulu Perjanjian pembiayaan konsumen ini apa-
oleh kreditur, baik lembaga perbankan mau- bila dicermati secara sungguh-sungguh hanya
pun perusahaan pembiayaan, baik bentuk dipergunakan sebagai upaya melindungi
maupun klausul-klausul yang tertuang di kepentingan perusahaan pembiayaan. Perjan-
dalam perjanjian sudah ditentukan sebelum- jian pembiayaan lebih merupakan upaya
nya. Konsumen sebagai kreditur pada umum- sistematis pengalihan risiko usaha dari peru-
nya hanya menerima klausul-klausul yang sahaan konsumen terhadap konsumen, dari
tertera dalam perjanjian tanpa terlebih dahulu pada mengatur hak dan kewajiban para pihak
melakukan penelitian terhadap isi perjanjian secara seimbang sebagaimana perjanjian pada
tersebut. Tidak dilakukanya penelitian ter- umumnya.
hadap isi perjanjian ini disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya: pertama, adanya
keinginan kuat konsumen untuk segera memi-
2
Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan
3
Luh Nila Winarni
8
7 Ridwan Khairandy, Op. Cit., hlm., 11.
Arif Gosita, Op. Cit, hlm 15
4
Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan
10
Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Kanisiun,
Yogyakarta, 2000, hlm.,86-87.
9 11
Jack Beatson dan Daniele Friedmann, Introduc- Agus Yudha Hernoko, Asas Proporsionalitas Dalam
tion:From Classsical to Modern Contact Law, dalam Konrak Komersiil, Laksbang Mediatama, Yogyakarta,
Ridwan Chairandy, Ibid. 2008, hlm. 36.
5
Luh Nila Winarni
terpelihara masyarakat, dalam bentuk norma- Dune dapat disebabkan oleh adanya keunggu-
norma yang tidak tertulis, dipatuhi, dan di- lan ekonomis maupun kejiwaan, yang menurut
tegakan masyarakat. Robert W Clark, penyalahgunaan keadaan
tersebut dari pihak yang kuat terhadap yang
b. Penyalahgunaan Keadaan lemah tersebut tanpa dilakukan dengan
paksaan maupun penipuan14.
Di muka telah diuraikan mengenai asas
Ajaran penyalahgunaan keadaan ini dalam
kepatutan dan keadilan sebagai salah satu asas
perkembanganya, baik dalam sistem hukum
yang dapat digunakan sebagai tolok ukur
kontinental, maupun dalam sistem common
itikad baik dalam perjanjian. Namun demikian
law menjadi pembatas bagi kebebasan ber-
kepatutan dan keadilan tersebut pada akhirnya
kontrak15. Penyalahgunaan keadaan dirasakan
juga masih memerlukan penafsiran lebih jauh
tepat apabila digunakan sebagai pembatas
dalam praktek oleh hakim-hakim yang ber-
penggunaan asas kebebasan berkontrak, sebab
wenang mengambil keputusan, sebab kepa-
pada umumnya sering terjadi dalam perjanjian
tutan sangat relatif penilaianya sangat ter-
kredit, pihak yang posisi ekonominya lebih
gantung pada perspektif masyarakat, dan
kuat memanfaatkan situasi demikian, misalnya
keadilan pun juga demikian, dari teorinya
dalam penentuan besarnya tingkat suku bunga
Aristoteles, Plato sampai dengan teori kea-
pinjaman, lama pinjaman, serta kemungkinan
dilan modern dari John Rawls, dan Bentham
jaminan kalau pemilik modal menginginkan.
juga belum mampu memberikan kejelasan
Debitor pada umumnya tidak dapat menolak
yang memuaskan terhadap konsep adil dan
keinginan atau kehendak kreditor, sebab
keadilan tersebut.
debitor menginginkan pinjaman tersebut,
Penyalahgunaan keadaan merupakan salah
meskipun terpaksa harus menerima persya-
satu indikasi tidak adanya itikad baik dalam
ratan yang memberatkan.
sebuah kontrak, penyalagunaan keadaan dalam
Bedasarkan uraian di atas dapat disimpul-
sistem common law merupakan doktrin yang
kan bahwa, penyalahgunaan keadaan dalam
menentukan pembatalan perjanjian yang di-
kontrak merupakan kondisi di mana seseorang
buat berdasarkan tekanan yang tidak patut,
telah memanfaatkan posisi ekonominya yang
tetapi tidak termasuk dalam kategori paksaan
lebih kuat untuk mengambil keuntungan dari
(duress)12. Penyalahgunaan keadaan merupa-
pihak lain yang memiliki posisi ekonomi lebih
kan perbuatan yang dilatarbelakangi oleh
lemah. Asumsi dari perbuatan penyalahgunaan
keadaan tidak seimbang antara para pihak
keadaan ini didasarkan pada kondisi psyco-
dalam sebuah perjanjian, dan dalam kondisi
logis pihak yang secara ekonomi kedudukanya
yang demikian pihak yang kuat memanfaatkan
lebih lemah akan menerima persyaratan yang
kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang
ditentukan oleh pihak yang secara ekonomis
lemah tidak memiliki kesempatan untuk
memiliki kedudukan lebih kuat. Perma-
mendiskusikan segala sesuatu yang menjadi
salahanya kemudian apakah penyalahgunaan
hak dan kewajibanya dalam sebuah perjanjian.
keadaan merupakan sikap atau perbuatan yang
Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala
dapat dikategorikan sebagai karakter itikad
seseorang di dalam suatu perjanjian dipenga-
tidak baik, memang pendapat dan praktek
ruhi oleh suatu hal yang menghalanginya
pengadilan berbeda-beda.
untuk melakukan penilaian (judgment) yang
Pengadilan melalui hakim yang memiliki
bebas dari pihak lainya, sehingga tidak dapat
kewenangan menafsirkan terhadap makna
mengambil keputusan yang independent13.
penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu
Penyalahgunaan keadaan ini menurut Van
unsur atau indikasi adanya itikad baik,
tentunya sangat diharapkan. Bahkan dengan
12
T. Antony Downes dalam Ridwan Khairandy, Op. putusan pengadilan atau putusan hakim akan
Cit.,hlm., 19.
14
13 Op.Cit.
Chaterine Tay Swee Kian, dalam Ridwan Khairandy,
15
Ibid.,hlm. 20. Ibid, hlm. 21.
6
Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan
dapat diketahui kearah mana itikad baik telah bedrog of door misbruik van omstandigheiden
berkembang dan berfungsi sebagai pembatas is tot stand gekomen (suatu perbuatan hukum
kebebasan berkontrak dalam perjanjian. dapat dibatalkan jika terjadi adanya ancaman,
Sistem peradilan di Indonesia memang penipuan, atau penyalahgunaan keadaan)17. Di
menganut precedent, tidak seperti halnya pada Indonesia mengenain hal ini diatur di dalam
sistem peradilan common law, hakim tidak ketentuan Pasal 1323 KUHPdt, yang dirumus-
wajib mengikuti putusan hakim sebelumnya 16. kan: ”Paksaan yang dilakukan tehadap orang
Indonesia menganut sistem peradilan konti- yang membuat suat perjanjian merupakan
nental yang mengenal precedent, sehingga alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila
putusan hakim terdahulu dapat dijadikan paksaan itu dilkakukan oleh seorang pihak
pedoman atau bahan pertimbangan bagi ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian
hakim-hakim berikutnya. Terlepas dari belum tersebut telah tidak dibuat”.
adanya kejelasan tentang penyalahgunaan Dalam pembentukan perjanjian pembiaya-
keadaan sebagai unsur dalam prinsip itikad an kendaraan bermotor, paksaan yang mena-
baik dalam berkontrak dan fungsinya sebagai kutkan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal
pembatas perjanjian, namun yang pasti ajaran 1324 KUHPdt, yang dirumuskan dengan
penyalahgunaan keadaan ini dapat dijadikan kalimat : “paksaan itu terjadi apabila perbu-
rujukan untuk melakukan penilaian terhadap atan itu sedemikian rupa hingga dapat me-
ada dan tidaknya indikasi itikad baik dalam nakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan
berkontrak. apabila perbuatan itu dapat menimbulkan
ketakutan ...”, menurut Wiryono Prodjodikoro,
c. Paksaan, Kesesatan, dan Penipuan paksaan itu harus sepantasnya menakutkan
suatu pihak terhadap suatu ancaman, bahwa
Sebagaiman diketahui bahwa sahnya per-
apabila ia tidak menyetujui perjanjian yang
janjian diperlukan syarat sebagaimana ditentu-
bersangkutan, maka ia akan menderita suatu
kan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPdt.,
kerugian yang nyata”18. Ketakutan sebagai-
dan salah satu diantaranya adalah syarat
mana dimaksud dalam ketentuan pasal ini
“adanya kesepakatan para pihak”. Namun
memang tidak terjadi, akan tetapi paksaan
kemudian muncul pertanyaan pakah yang
dalam pembuatan perjanjian pembiayaan
dimaksud kesepakatan tersebut dalam perjan-
konsumen dimaksudkan sebagai paksaan
jian hanya sebatas dengan bukti adanya
psikologis, artinya konsumen terpaksa meneri-
persetujuan para pihak yang ditandai dengan
adanya tanda tangan kedua pihak sebagai ma syarat-syarat yang ditetapkan secara
sepihak oleh perusahaan pembiayaan konsu-
bukti telah adanya kesepakatan.
men. Persoalan sampai dimanakah dalam
Pertanyaan ini terkait dengan kemungkinan
pembentukan kesepakatan mengandung unsur
dalam pembentukan kehendak untuk membuat
kesepakatan dapat dilihat di dalam ketentuan
kesepakatan antara para pihak tidak didasari
Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327
oleh kondisi psikologis secara wajar. Secara
KUHPdt.
asumtif dapat dimungkinkan bahwa pemben-
Dalam hubunganya dengan kemungkinan
tukan kehendak dalam sebuah perjanjian telah
penggunaan unsur paksaan, kesesatan, mau-
terjadi atau megandung unsur paksaan, kese-
pun penipuan, Ridwan Khairandy juga menya-
satan, maupun penipuan. Di Belanda unsur
takan, bahwa para pihak tidak boleh meng-
penipuan dan paksaan dapat dijadikan alasan
ambil keuntungan dengan tindakan yang
pembatalan perjanjian, hal ini tercantum di
dalam Pasal 3.44 BW (Bekanda), yang menyesatkan terhadap salah satu pihak 19.
dirumuskan: ”een rechtshandeling is verni-
etigbaar, wanneer zij door bedreiging, door 17
Ridwan Khairandy, Op. Cit., hlm. 21.
18
16 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian,
Pulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi
Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm., 33.
Dalam Sistem Civil Law:Jurnal Hukum Bisnis, Vol.8,
19
1999, hlm. 55. Op. Cid, hlm.136
7
Luh Nila Winarni
Selanjutnya mengenai unsur penipuan dapat undang, kebiasaan, dan adat istadat21. Hal ini
dilihat di dalam ketentuan Pasal 1328 ayat (1) dipertegas di dalam ketentuan Pasal 1347 yang
KUHPdt, yang dirumuskan: “Penipuan meru- dirumuskan: “apabila sebuah persetujuan
pakan suatu alasan untuk pembatalan perjan- tersangkut janji-janji yang memang lazim
jian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh dipakai dalam masyarakat (bestending gebrui-
salah satu pihak, adalah sedemikian rupa kelijke, yaitu menurut adat kebiasaan), maka
hingga terang dan nyata bahwa pihak yang janji-janji itu dianggap termuat dalam isi per-
lain tidak telah membuat perikatan itu jika setujuan, meskipun kedua belah pihak dalam
tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. persetujuan sama sekali tidak menyebutkan.
Unsur penipuan sebagai dasar pembatalan Menurut ketentuan Pasal 1339 KUHPdt.,
perjanjian tidak cukup hanya disangkakan, disebutkan: “suatu perjanjian tidak hanya
tetapi harus dibuktikan, demikian rumusan mengikat hal-hal yang secara tegas dinyatakan
ketentuan ayat (2), yang selengkapnya di- didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
rumuskan: “penipuan tidak dipersangkakan, yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
tetapi harus dibuktikan”. Untuk pembuktian kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 1347
benar, dalam hal ini harus dilakukan melalui disebutkan: “ janji-janji yang menurut adat
pemeriksaan perkara di Pengadilan, dengan kebiasaan melekat pada persetujuan semacam
demikian yang menyatakan ada dan tidaknya yang bersangkutan, dianggap termuat di dalam
unsur penipuan dalam perjanjian adalah hakim isi persetujuan”.
melalui sidang di Pengadilan. Kejujuran bersifat subyektif, karena terleta
di dalam hati nurani setiap manusia, kejujuran
d. Kejujuran dan Kepatuhan besifat dinamis selalu bergerak dan dituntun
Kejujuran menurut Wirjono Prodjodikoro oleh berbagai faktor termasuk keinginan
merupakan unsur penting dalam perjanjian, manusia. Dalam pelaksanaan perjanjian, keju-
seperti dikatakanya bahwa kejujuran dan kepa- juran terletak pada jiwa manusia, kejujuran
tuhan adalah dua hal yang amat penting dalam terletak pada tindakan atau perbuatan yang
soal pelaksanaan persetujuan20. Selanjunya dilakukan oleh kedua belah pihak22, dan
dalam melaksanakan tindakan atau perbuatan
menurutnya kejujuran merupakan persoalan
inilah kejujran harus berjalan dalam hati
yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian,
sanubari seseorang dengan selalu mengingat
bahwa dalam pelaksanaan perjanjian dimung-
kinkan terjadi hal-hal yang tidak diperkirakan bahwa sebagai manusia harus sedapat mung-
kin tidak melakukan tipu muslihat kepada
pada saat melakukan persetujuan oleh kadua
pihak lainya dengan menghalalkan segala cara
belah pihak. Kejujuran merupakan situasi atau
yang merugikan orang lain.
kondisi yang lahir karena pengaruh-pengaruh
Kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian
yang ada pada saat pelaksanaan perjanjian, hal
tidak sekedar jujur saja tetapi harus diwujud-
inilah yang harus diperjuangkan oleh masing-
kan dalam kepatuhanya terhadap pentaatan
masing pihak terhadap pihak yang lainya.
dalam melaksanakan isi perjanjian, walaupun
Mengenai kejujuran ini dapat dilihat di
dalam perjanjian tersebut adakalanya terjadi
dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt.,
kelemahan, maka harus dikembalikan kepada
bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
maksud dan tujuan para pihak dalam membuat
itikad baik. Pasal ini mengandung pengertian
perjanjian tersebut. Salah satu pihak tidak
bahwa kedua belah pihak tidak hanya terikat
diperbolehkan memanfaatkan kelemahan per-
terhadap apa dirumuskan di dalam perjanjan,
setujuan tersebut, artinya kelemahan tersebut
dalam pengertian tidak hanya melaksanakan
tidak boleh dipergunakan sebagai alat untuk
apa yang telah disepakati di dalam perjanjian,
merugikan pihak lain.
tetapi harus pula memperhatikan undang-
21
Ibid.
20 22
Wirjono Prodjodioro, Op. Cit. Ibid, hlm. 104-105
8
Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan
Subekti juga menyatakan bahwa kejujuran itikad baik ini berasal dari sistem hukum
(jujur) adalah merupakan bentuk lain dari kontrak dalam civil law, yang bersumber dari
itikad baik, dikatakan bahwa pembeli yang huku Romawi25. Prinsip itikad baik dianggap
penuh dengan kepercayaan terhadap orang tidak sesuai dengan kepastian hukum, sebab
yang menjual barang bahwa si penjual adalah tidak memiliki landasan bagi penggunaanya,
orang yang benar-benar pemilik sendiri atas serta maknanya juga sangat interpretatif,
barang yang dibelinya. Ia tidak mengetahui sehingga dikawatirkan dapat mengganggu
bahwa ia membeli dari seorang yang bukan kepastian hukum. Amerika sebagai salah satu
pemilik. Ia adalah seorang pembeli yang negara penganut sistem common law, yang
jujur23. Selanjutnya dikatakan bahwa seorang telah menerima prinsip itikad baik, yang
pembeli yang baik adalah pembeli yang jujur, direpresentasikan di dalam The American Law
dalam hukumm benda istilah itikad baik ini Institute’s Restatement (Scond) Contract.
selanjutnya disebut dengan istilah kejujuran Sebagai gambaran terkait dengan penger-
atau bersih24. tian prinsip itikad baik, dikemukakan pendapat
Sepaham dengan pendapat sebelumya, hakim di Belanda dalam putusan Hoge Raad,
Subekti menyatakan bahwa itikad baik meru- yang pada dasarnya menyatakan, bahwa
pakan unsur subyektif di dalam perjanjian prinsip itikad baik merujuk pada kerasionalan
sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan dan kepatutan (redelijkeheid en billijkeheid)
Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt., bahwa perjan- yang hidup di dalam masyarakat26. Dengan
jian harus dilaksanakan sesuai dengan itikad pengertian yang demikian menurut J. Satrio,
baik, dalam pengertian bahwa perjanjian itu bahwa dalam pandangan Hoge Raad telah
harus dilaksanakan sesuai dengan atau meng- menyamakan antara pengertian prinsip itikad
indahkan norma-norma kepatutan dan kesu- baik dengan kerasionalan dan kepatutan27.
silaan. Jadi, ukuran-ukuran obyektif untuk Namun demikian permasalahanya tidak ber-
menila pelaksanaan tadi, bahwa pelaksanaan henti di sini, sebab pengertian kerasional dan
perjanjian harus di atas rel yang benar, dan kepatutan juga merupakan konsep yang
relnya adalah norma-norma yang hidup dan kurang jelas yang tentunya masih memerlukan
terpelihara di dalam masyarakat. penjelasan lebih lanjut.
Kriteria atau batasan rasional dan irrasional
e. Prinsip Itikad Baik Di Beberapa Negara atau patut tidak patut, tentunya memerlukan
penjelasan lebih lanjut. Permasalahanya akan
Mendasarkan uraian terdahulu, terkait
dengan pengertian itikad baik, maka dapat kembali pada penafsiran hakim, dalam hal ini
penafsiran untuk memberikan arti atau
dikatakan bahwa penggunaan prinsip itikad
pengertian kepatutan dan rasionalitas sebagai
baik dalam pejanjian masih menyisakan per-
tolok ukur atau parameter keadilan dan atau
masalahan, terutama belum adanya rumusan
keseimbangan dalam perjanjian. Hal ini
atau batasan yang pasti. Oleh karena itu
menyangkut nilai atau persepsi tentang nilai
putusan hakim dari kasus ke kasus yang
yang pada alkhirnya akan memunculkan
menjadi yurisprudensi sangat dibutuhkan oleh
perbedaan pandangan atau perbedaan penaf-
masyarakat sebagai petunjuk ke arah mana
siran di dalam masyarakat.
pengertian prinsip itikad baik tersebut sudah
berkembang sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat. 25
E. Allen Farnsworth, Good Faith in Contract
Negara-negara penganut common law Performence”, dalam Ridwan Khairandy, Op. Cit.,
system, seperti Inggris pada umumnya meno- hlm. 11.
lak penggunaan asas itikad baik dalam 26
P.L. Wery, Perkembangan Tentang Hukum Itikad
perjanjian, memang dalam sejarahnya prinsip Baik di Nederland, Percetakan Negara, Jakarta, l990,
hlm. 9.
27
23 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir
Subekti, Op Cit., hlm. 41
Dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bhakti,
24
Ibid. Bandung, l995, hlm. 166.
9
Luh Nila Winarni
28
Ridwan Khairandy, Op. Cit.,hlm. 9.
29 30
Ibid. Ibid., hlm.10
10
Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan
11
Luh Nila Winarni
12