Anda di halaman 1dari 41

MODEL-MODEL PEMBELARAN

MODEL-MODEL PEMBELARAN

TUGAS

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya


belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai
dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam
prakteknya, guru harus ingat bahwa tidak ada model
pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan
kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran
yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat
materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi
guru itu sendiri. Berikut ini disajikan beberapa model
pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga
cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

1. MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)


Problem Based Learning (PBL)
merupakan salah satu model
pembelajaran yang dapat menolong
siswa untuk meningkatkan keterampilan
yang dibutuhkan pada pada era
globalisasi saat ini. Problem Based
Learning (PBL) dikembangkan untuk
pertama kali oleh Prof. Howard Barrows sekitar tahun 1970-an dalam pembelajaran ilmu medis di
McMaster University Canada [3]. Model pembelajaran ini menyajikan suatu masalah yang nyata
bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan
dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Beberapa definisi tentang Problem
Based Learning (PBL) :

a. Menurut Duch, Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang
menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk
mencari solusi dari permasalahan dunia nyata . Masalah ini digunakan untuk mengikat siswa
pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.
b. Menurut Arends, Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran di
mana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan mereka dapat
menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan tingkat tinggi dan
inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya.
c. Menurut Glazer, mengemukakan Problem Based Learning merupakan suatu strategi
pengajaran dimana siswa secara aktif dihadapkan pada masalah kompleks dalam situasi yang
nyata.

Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning dapat disimpulkan
bahwa Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada
masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model
pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa.

Problem Based Learning adalah pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran.


Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan
MODEL-MODEL PEMBELARAN

pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki
strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya
menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau tantangan yang
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

a. Ciri-ciri model pembelajaran problem based learning

Ciri yang paling utama dari model pembelajaran Problem Based Learning yaitu
dimunculkannya masalah pada awal pembelajarannya. Menurut Arends, berbagai pengembangan
pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik
sebagai berikut :

 Pengajuan pertanyaan atau masalah


1) Autentik, yaitu masalah harus berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar
pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
2) Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru
bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
3) Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan harusnya mudah dipahami siswa dan
disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
4) Luas dan sesuai tujuan pembelajaran. Luas artinya masalah tersebut harus mencakup
seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang
tersedia.
5) Bermanfaat, yaitu masalah tersebut bermanfaat bagi siswa sebagai pemecah masalah dan
guru sebagai pembuat masalah.
6) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu Masalah yang diajukan hendaknya melibatkan
berbagai disiplin ilmu.

b. Karakteristik model pembelajaran problem based learning (PBL)

Adapun beberapa karakteristik proses Problem based learning menurut Tan diantaranya :

1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran.


2) Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara
mengambang.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

3) Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk. Solusinya menuntut siswa menggunakan


dan mendapatkan konsep dari beberapa ilmu yang sebelumnya telah diajarkan atau lintas
ilmu ke bidang lainnya.
4) Masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran
yang baru.
5) Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning).
6) Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja.
7) Pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Siswa bekerja dalam kelompok,
berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi.

Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik proses Problem Based Learning dapat
disimpulkan bahwa tiga unsur yang esensial dalam proses Problem Based Learning yaitu adanya
suatu permasalahan, pembelajaran berpusat pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil.

c. Sintaks model pembelajaran problem based learning (PBL)


MODEL-MODEL PEMBELARAN
MODEL-MODEL PEMBELARAN

Pelaksanaan kegiatan model Problem Based Learning terdiri dari 5 tahap proses, yaitu :
 Tahap pertama, adalah proses orientasi peserta didik pada masalah. Pada tahap ini guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi peserta
didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah.
 Tahap kedua, mengorganisasi peserta didik. Pada tahap ini guru membagi peserta didik
kedalam kelompok, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah.
 Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini guru
mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan
eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
 Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil. Pada tahap ini guru membantu
peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan
membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.
 Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. Pada
tahap ini guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses
dan hasil penyelidikan yang mereka lakukan.

1. MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING

Project based learning merupakan sebuah metode pembelajaran yang sudah banyak
dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jika diterjemahkan dalam bahasa
MODEL-MODEL PEMBELARAN

Indonesia, project based learning bermakna sebagai pembelajaran berbasis proyek. Project based
learning adalah sebuah metode pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual
melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks.
Munculnya model pembelajaran Project Based Learning tidak terlepas dari prinsipprinsip teori
yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diantaranya adalah:

a. Piaget dan Vygotsky dengan kontruktivisme Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan


siswa akan berkembang saat siswa menghadapi pengalaman baru yang akan membangun
dan memodifikasi pengetahuan awal, Sedangkan Vygotsky terkenal dengan kontruktivisme
sosial dimana dalam mengkontruksi pemikiran seorang individu juga dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya dengan teori scaffolding dan ZPD.Vygotsky dalam Berk dan
Winsler(1995:26) mengidentifikasikan ZPD sebagai jarak/kesenjangan anatara level
perkembangan yang aktual yang ditunjukkan dengan pmecahan masalah secara mendiri dan
level perkembanagn potensial yang ditunjukkan oleh pemecahan masalah dengan bimbingan
orang dewasa ataupun kerjasama dengan para teman sebaya yang lebih mampu (the
distance between theactual developmental level as determined by independent problem
solving and the level of potential development as determined throught problem solving under
adult guidance on in collaboration with more capable peers)
b. John Dewey Pembelajaran berbasis proyek berasal dari gagasan John Dewey tentang
konsep “Learning by doing”. Bentuk pembelajaran seperti ini merupakan penolakan Dewey
pada lembaga prasekolah selama ini yang sering kali pasif, malas bekerja, dan tidak produktif.
Pembelajaran dengan prinsip “learning by doing” sangat banyak memberikan kesempatan
kepada anak untuk aktif, bekerja dan produktif untuk menemukan berbagai pengetahuan.
Implementasi dari pembelajaran berbasis proyek adalah bidang studi/pengembangan
disajikan secara terpisah (parsial) antara satu bidang studi dengan bidang studi lainya. Setiap
bidang studi mempunyai urutan pembelajaran sendiri-sendiri, seolah-olah tidak menunjukkan
keterkaitan antara satu dan lainya. Tidak halnya demikian dengan pembelajaran yang
dikemukakan oleh Dewey, jadi semua saling terkait. Selain itu juga ada pemikiran dari Dewey
yaitu, kelas demokratis mengandung arti bahwa siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil
untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan siswa sendiri.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

c. Kilpatrick Inti pemikiran Dewey tentang “learning by doing” yang dikemas dan dikembnagkan
oleh Kilpatrick menjadi konsep pembelajaran proyek (Sudjiono,103:2009). Bentuk
pembelajaran proyek (project based learning) adalah suatu model pembelajaran yang
dilakukan guru dengan jalan menyajikan suatu bahan pembelajaran yang memungkinkn anak
mengolah sendiri untuk menguasai bahan pembelajaran tersebut (Sudjiono,103:2009). Jadi
dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran proyek terdapat kolaborasi antara guru dan anak,
sehingga pembelajaran tidak berpusat pada guru. Pendapat tersebut juga sejalan dengan
Katz (2:1994) They key featute of project is that it is a research effort deliberately focused on
finding answer to questions about a topic posed either by the children, the teacher, or the
teacher working with the children.

Pendekatan project based learning merupakan salah satu strategi yang dapat dipilih untuk
mengembangkan prinsip bermain sambil belajar dan menjadikan anak sebagai pusat dalam
pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini. Literature review suggests that project-based
teaching method can be applied to all levels of education, from early childhood to tertiary level
(Katz, 2000; Rinaldi, 2006).

a. Langkah-langkah Project Based Learning


 Langkah-Langkah dalam Pembelajaran Project Based Learning
Langkah-langkah Project Based Learning seperti yang telah dikembangkan oleh
The Lucas George Fundation (2005), sebagai berikut:
MODEL-MODEL PEMBELARAN

b. Kelebihan dan Kekurangan Project Based Learning


Adapun menurut kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran berbasis proyek
adalah sebagai berikut :

 Kelebihan
MODEL-MODEL PEMBELARAN

a. Meningkatkan motivasi, karena dalam pembelajaranya melewati beberapa proses yang


mendorong siswa untuk lebih berfikir kreatif.
b. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan
kemampuan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat
didalam tugas-tugas pemecahan masalah. Banyak sumber yang mendeskripsikan
lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil
memecahkan masalah-masalah yang kompleks.
c. Meningkatkan kolaborasi. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa
mengembangkan dan mempraktekkan keterampilan komunikasi. Teori kognitif
konstuktivistik sosial menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa
siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif.
d. Meningkatkan keterampilan mengolah sumber. Bagian dari menjadi siswa yang
independen adalah bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks.
Pembelajaran berbasis proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada
siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi
waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
 Kekurangan
Adapun kekurangan dari pembelajaran berbasis proyek adalah sebagai berikut:
a) setiap mata pelajaran mempunyai kesulitan tersendiri, yang tidak dapat selalu dipenuhi di
dalam proyek. (misalnya dalam pembelajaran keagamaan) karena Kegiatan siswa
difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya (adanya proses
mengamati secara langsung).
b) Sulit untuk memilih proyek yang tepat.
c) Menyiapkan tugas bukan suatu hal yang mudah.
d) Sulitnya mencari sumber-sumber referensi yang sesuai.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

2. MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING


a) Pengertian Problem Solving
Menurut (Shoimin, 2014) Problem
Solving adalah suatu tipe pembelajaran
yang melakukan pemusatan pada
pengajaran dan keterampilan pemecahan
masalah yang diikuti dengan penguatan
keterampilan. Dalam hal ini pembelajaran
Problem Solving sangat potensial untuk melatih peserta didik berfikir kreatif dalam menghadapi
berbagai masalah baik itu masalah pribadi maupun masalah kelompok. Peserta didik belajar
sendiri untuk mengidentifikasi penyebab dan alternatif untuk memcahkan masalahnya.
Menurut Alipandie (Lestari 2013) Problem Solving adalahcara mengajar yang dilakukan
dengan cara melatih siswa menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan sendiri atau secara
bersama-sama. Menurut Hamalik (Ardha 2013) Problem Solving adalah suatu proses mental dan
intelektual dalam menemukan masalah dan memecahkan berdasarkan data dan informasi yang
akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa Problem Solving
merupakan suatu keterampilan yang meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisis
situasi, dan mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif sehingga dapat
mengambil suatu tindakan keputusan untuk mencapai sasaran.

b. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Problem Solving

Suatu model pembelajaran dikatakan valid apabila memiliki tokoh pendukung terhadap
model yang digunakan sebagai tanda bahwa model yang digunakan benar memiliki landasan
dasar. Dalam hal ini, langkah dalam menerapkan model Problem Solving.
Syaiful Bahri Djamarah (2014: 137) menguraikan langkah-langkah model Problem Solving
sebagai berikut: Langkah-langkah model pembelajaran Problem Solving:
MODEL-MODEL PEMBELARAN
MODEL-MODEL PEMBELARAN

c. Kelebihan dan Kekurangan Model pembelajaran Problem Solving


 Kelebihan Model pembelajaran Problem Solving
Model pembelajaranProblem Solving memiliki beberapa kelebihan sebagaimana yang
dikemukakan oleh (Shoimin,2014: 137): Kelebihan model Problem Solving :
(1). Dapat membuat pesertadidik lebih menghyati kehidupan sehari-hari,
(2). Dapat melatih danmembiasakan para peserta didik untuk menghadapi dan memecahkan
masalah secara terampil,
(3). Mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik secara kreatif,
(4). Peserta didik sudah mulai dilatih untuk memecahkan masalahnya,
(5). Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan,
(6). Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.

Model pembelajaranProblem Solving merupakan pembelajaran yang dikemas dalam


bentuk kerja kelompok dan diskusi yang memacau siswa agar lebih giat belajar, serta dapat
mendorong siswa untuk berani mengungkapkan pendapatnya.

 Kekurangan Model pembelajaran Problem Solving


Selain memiliki kelebihan, model ini juga memiliki kekurangan dalam penerapannya.
Kekurangan model pembelajaran Problem Solving menurut Shoimin,(2014 :138) yakni “(1)
memerlukan cukup banyak waktu; (2) melibatkan lebih banyak orang; dan (3) dapat
mengubah kebiasaan peserta didik belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi
dari guru.”

3. MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING (PENGAJUAN SOAL)

Salah satu model pembelajaran kooperatif


dalam pembelajaran matematika adalah
problem posing yang jika dilakukan secara
sadar dan terencana melalui pembiasaan
yang konsisten dan kontinu dinyakini akan
dapat menciptakan pembelajaran yang
MODEL-MODEL PEMBELARAN

efektif. Peluang untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dalam hal pemecahan masalah
tersebut dimungkinkan karena Pemilihan dan penerapan metode pembelajaran problem posing ini
akan mempengaruhi cara belajar siswa yang semula cenderung untuk pasif kearah yang lebih
aktif. Model pembelajaran ini Bertujuan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa karena dalam metode problem posing soal dan penyelesaiaannya dirancang
sendiri oleh siswa.
Membuat pembelajaran yang efektif dalam hal pemecahan masalah menggunakan model
pembelajaran problem posing tidak terbatas pada pembentukan soal yang betul-betul baru, tetapi
dapat berarti mereformulasi soal-soal yang diberikan. Terdapat beberapa cara pembentukan soal
baru dari soal yang diberikan, misalnya dengan mengubah atau menambah data atau informasi
pada soal itu, misalnya mengubah bilangan, operasi, objek, syarat, atau konteksnya. Hal itu sesuai
dengan pengertian problem posing yang dikemukakan Silver (Mahmudi: 2008). Ia mendefinisikan
problem posing sebagai pembuatan soal baru oleh siswa berdasarkan soal yang telah
diselesaikan. Siswono (Mahmudi:2008) berpendapat bahwa dalam pembelajaran matematika,
sebenarnya problem posing (pengajuan soal) merupakan suatu wadah pembelajaran yang efektif,
karena kegiatan dalam problem posing tersebut sesuai dengan pola pikir matematis. Para pendidik
tidak menyadari bahwa problem posing (pengajuan soal) menempati posisi yang strategis dalam
upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika.
Dalam hal ini, siswa perlu menguasai urutan penyelesaian soal secara mendetail. Hal
tersebut dapat dicapai jika siswa memperkaya khasanah pengetahuannya tak hanya dari guru
melainkan perlu belajar mandiri Menurut Silver (Mahmudi:2008), problem posing meliputi beberapa
pengertian, yaitu (1) perumusan soal atau perumusan ulang soal yang telah diberikan dengan
beberapa perubahan agar lebih mudah dipahami siswa, (2) perumusan soal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka penemuan alternatif
penyelesaian, dan (3) pembuatan soal dari suatu situasi yang diberikan.

a. Langkah-langkah model pembelajaran problem posing


Langkah-langkah model pembelajaran problem posing adalah:
MODEL-MODEL PEMBELARAN
MODEL-MODEL PEMBELARAN

Pembelajaran dianggap efektif jika tujuan pembelajaran dikuasai siswa secara tuntas.
Bentuk perubahan dari hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu :

1. Aspek kognitif meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan dan


perkembangan keterampilan atau kemampuan yang diperlukan untuk menggunakan
pengetahuan tersebut.
2. Aspek efektif meliputi perubahan-perubahan dalam segi sikap mental, perasaan dan
kesadaran.
3. Aspek psikomotor meliputi perubahan-perubahan dalam segi bentuk-bentuk tindakan motorik.
Prestasi belajar siswa yang diperoleh dalam proses belajar-mengajar disekolah dapat dilihat
dan diketahui dari nilai hasil ujian semester, yang kemudian dituangkan dalam daftar nilai
raport

Dalam pembelajaran problem posing ketiga aspek tersebut dapat mungkin menunjukan
hal positif karena Siswa dituntut secara aktif untuk menggunakan pola pikir matematika, sehingga
siswa dapat merumuskan kembali masalah matematika tersebut.Terlibatnya siswa secara aktif
dalam merumuskan masalah matematika dapat meningkatkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik menjadi lebih baik.

5. MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI LEARNING

a. pengertian pembelajaran
inkuiri learning
Dalam bahasa
Indonesia, inquiry berarti
penyelidikan. Lebih jelasnya
inquiry merupakan proses yang
terus menerus atau merupakan
berputar berkesinambungan,
MODEL-MODEL PEMBELARAN

mulai dari menanyakan pertanyaan, meneliti jawaban, menerjemahkan informasi,


mempresentasikan temuan dan melakukan refleksi. Di mana peserta didik dituntut untuk berpikir
kritis dan tingkat tinggi atau HOts. Secara pengertian model pembelajaran inquiry atau inkuiri
merupakan aktivitas sistematis dalam pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk berpikir
dengan cara analitik, kritis, dan kreatif sehingga mampu mendapatkan solusi dari permasalahan
yang diberikan, secara mandiri oleh siswa tersebut. Pembelajaran berbasis inkuiri ini adalah
pendekatan yang menitik beratkan pada keaktifan siswa dalam melakukan kegiatan proses
pembelajaran. Peran guru dalam model pembelajaran inquiry ini hanya sebagai fasilitator,
sedangkan siswa sebagai subjek belajar atau memiliki peran utama untuk mengajukan pertanyaan
atau mengeksplorasi gagasan mereka dari berbagai sudut pandang peserta didik mengenai materi
pelajaran.
Model Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, dan analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri
penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri
(inquiry training) pertama kali dikembangkan oleh Richard Suchman yang menginginkan agar
siswa bertanya mengapa suatu peristiwa terjadi kemudian siswa melakukan kegiatan
mengumpulkan dan menganalisis data sampai akhirnya siswa menemukan jawaban dari
pertanyaan tersebut. Pembelajaran inkuiri ini merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang
menekankan pada saat proses pembelajaran sehingga bisa membimbing siswa berpikir secara
kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan (Sudrajat, 2011).

Model inkuiri didefinisikan oleh Piaget (Sund dan Trowbridge, 1973) sebagai:
Pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri; dalam
arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbul-
simbul dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu
dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan yang ditemukan orang
lain.
Kuslan Stone (Dahar,1991) mendefinisikan model inkuiri sebagai pengajaran di mana guru
dan anak mempelajari peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala ilmiah dengan pendekatan dan jiwa
para ilmuwan. Pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di
MODEL-MODEL PEMBELARAN

mana kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang digariskan
secara jelas (Hamalik, 1991).
Wilson (Trowbridge, 1990) menyatakan bahwa model inkuiri adalah sebuah model proses
pengajaran yang berdasarkan atas teori belajar dan perilaku. Inkuiri merupakan suatu cara
mengajar murid-murid bagaimana belajar dengan menggunakan keterampilan, proses, sikap, dan
pengetahuan berpikir rasional (Bruce & Bruce, 1992). Senada dengan pendapat Bruce & Bruce ,
Cleaf (1991) menyatakan bahwa inkuiri adalah salah satu strategi yang digunakan dalam kelas
yang berorientasi proses. Inkuiri merupakan sebuah strategi pengajaran yang berpusat pada
siswa, yang mendorong siswa untuk menyelidiki masalah dan menemukan informasi. Proses
tersebut sama dengan prosedur yang digunakan oleh ilmuwan sosial yang menyelidiki masalah-
masalah dan menemukan informasi.
Sementara itu, Trowbridge (1990) menjelaskan model inkuiri sebagai proses
mendefinisikan dan menyelidiki masalah-masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
menemukan data, dan menggambarkan kesimpulan masalah-masalah tersebut. Lebih lanjut,
Trowbridge mengatakan bahwa esensi dari pengajaran inkuiri adalah menata lingkungan/suasana
belajar yang berfokus pada siswa dengan memberikan bimbingan secukupnya dalam menemukan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmiah.
Senada dengan pendapat Trowbridge, Amien (1987) dan Roestiyah (1998) mengatakan
bahwa inkuiri adalah suatu perluasan proses discovery yang digunakan dalam cara yang lebih
dewasa. Sebagai tambahan pada proses discovery, inkuiri mengandung proses mental yang lebih
tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan masalah, merancang eksperimen, melakukan
eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, menumbuhkan sikap
objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka dan sebagainya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa inkuiri merupakan suatu
proses yang ditempuh mahasiswa untuk memecahkan masalah, merencanakan eksperimen,
melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Jadi,
dalam model inkuiri ini mahasiswa terlibat secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu
permasalahan yang diberikan dosen. Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para
ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat orang lain
MODEL-MODEL PEMBELARAN

b. Ciri-ciri model pembelajaran inkuiri learning


Ciri-ciri dari pembelajaran inkuiri yaitu menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal
untuk mencari dan menemukan. Ciri-ciri lain dari pembelajaran inkuiri ini yaitu untuk
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Pembelajaran inkuiri
ini dapat dibedakan menjadi inkuiri terbimbing (guided inquiry), inkuiri yang dimodifikasi (modified
inquiry), inkuiri bebas (free inquiry), mengundang ke dalam inkuiri (invitation into inquiry), inkuiri
pendekatan peranan (inquiry role approach), teka-teki bergambar (pictorial riddle), pembelajaran
sinektik (synectics lesson) dan kejelasan nilai-nilai (value clarification) (Herdian, 2010).

c. Sintak Inquiry Learning (Langkah)


langkah-langkah model pembelajaran inkuiri secara umum, yaitu:
MODEL-MODEL PEMBELARAN

Tabe1.Langkah-langkah kegiatannya sebagai berikut:

Tahap Deskripsi
Tahap 1 Guru mengondisikan agar peserta didik siap melaksanakan proses
Orientasi pembelajaran, menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang
diharapkan dapat tercapai oleh peserta didik, menjelaskan pokok-
pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik untuk
mencapai tujuan, menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan
belajar, hal ini dapat dila-kukan dalam rangka memberikan motivasi
belajar peserta didik.
Tahap 2 Guru membimbing dan memfasilitasi peserta didik untuk
Merumuskan merumuskan dan memahami masalah nyata yang telah disajikan.
masalah
Tahap 3 Guru membimbing peserta didik dengan cara mengajukan
Merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong peserta didik untuk
hipotesis berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
Tahap 4 Guru membimbing peserta didik dalam proses menentukan jawaban
Menguji hipotesis yang dianggap diterima sesuai dengan data dan informasi yang
diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Yang terpenting dalam
menguji hipotesis adalah mencari tingkat keyakinan peserta didik
MODEL-MODEL PEMBELARAN

atas jawaban yang diberikan.


Tahap 5 Guru membimbing peserta didik dalam proses mendeskripsikan
Merumuskan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk
kesimpulan mencapai kesimpulan yang akurat sebiknya guru mempu
menunjukkan pada peserta didik data mana yang relevan.

d. Kelebihan dan Kekurangan Inquiry Learning


Tentunya, sebagai salah satu model pembelajaran yang merupakan alternatif dari model
lain, inquiry learning memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri pula.
 Keunggulan strategi pembelajaran inquiry menurut Roestiyah (2012, hlm. 76) dikemukakan
sebagai berikut.

1) Dapat membentuk dan mengembangkan (self-concept) pada diri siswa, sehingga siswa dapat
mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide pokok dengan lebih baik.
2) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru.
3) Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersikap objektif, jujur
dan terbuka.
4) Mendorong siswa untuk berpikir inisiatif dan merumuskan hipotesanya sendiri.
5) Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik.
6) Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.
7) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
8) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
9) Dapat menghindari siswa dari cara-cara belajar yang tradisional.
10) Dapat memberikan waktu pada siswa secukupnya sehingga mereka dapat mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi.

Selain memiliki keunggulan model pembelajaran inquiry juga memiliki beberapa


kelemahan. Menurut Suherti dan Rohimah (2016, hlm. 53)

 kelemahan model pembelajaran inquiry adalah sebagai berikut.

1) Kesulitan pengontrolan kegiatan dan keberhasilan peserta didik


MODEL-MODEL PEMBELARAN

2) Model pembelajaran inkuiri sulit dilaksanakan karena terbentur dengan kebiasaan peserta
didik dalam belajar
3) Terkadang dalam implementasinya memerlukan waktu yang panjang sehingga sering
pendidik sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan
4) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan peserta menguasai
materi pelajaran, maka model pembelajaran ini akan sulit diimplementasikan oleh setiap
pendidik.

6.MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING

Psikolog Jerome Bruner


tahun 1961 menemukan konsep
metode pembelajaran yang
dikenal dengan model discovery
learning. Temuannya
menunjukkan bahwa
metode discovery
learning memiliki tujuan agar
siswa dalam proses belajar mampu mendapatkan pengetahuan baru secara mandiri. 
Sutarto (2017) discovery learning atau belajar penemuan adalah model pembelajaran
yang dikembangkan Bruner berdasarkan pada pandangan perkembangan kognitif tentang
pembelajaran dan prinsip konstruktivisme. Discovery learning mempunyai prinsip yang sama
dengan inquiry. Kemdikbud (2014) tidak ada perbedaan yang prinsip antara discovery learning
dengan inquiry, yang membedakan, untuk discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa
merupakan semacam masalah yang direkayasa guru, sedangkan pada inquiry masalahnya bukan
hasil rekayasa, siswa harus mengerahkan pikiran dan ketrampilannya untuk menemukan sesuatu
yang baru dari masalah melalui penelitian.
Tahapan model pembelajaran discovery learning menurut Bruner antara lain: stimulation
(pemberian rangsangan atau stimulus), problem statement (identifikasi masalah atau pernyataan),
data collection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data), verification (pembuktian),
dan generalization (menarik kesimpulan atau generalisasi) (Ariyana et al., 2019). Stimulation
MODEL-MODEL PEMBELARAN

(pemberian rangsangan) yaitu siswa diberikan pertanyaan oleh guru dengan tujuan merangsang
siswa untuk berfikir kritis. Problem Statement (mengidentifikasi masalah) yaitu siswa diberikan
kesempatan mengidentifikasi masalah yang relevan dengan bahan pembelajaran kemudian
memilih dan merumuskan dalam bentuk hipotesa atau jawaban sementara. Data collection
(pengumpulan data) yaitu siswa diberikan kesempatan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya yang relevan dengan masalah untuk membuktikan benar tidaknya hipotesa yang sudah
dibuat. Data Processing (pengolahan data) yaitu siswa mengolah data yang sudah diperoleh
kemudian data tersebut ditafsirkan dengan bimbingan guru.
Verification (pembuktian) yaitu siswa diberikan kesempatan membuktikan benar tidaknya
hipotesis awal dengan pemeriksaan secara cermat, menemukan konsep, dan dihubungkan
dengan hasil pengolahan data. Generalization (generalisasi) yaitu siswa menarik kesimpulan untuk
dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua masalah yang sama atau kejadian dengan
memperhatikan hasil verifikasi Proses pembelajaran akan berhasil dengan baik dan kreatif jika
didukung manipulasi bahan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif
siswa, sehingga dapat memfasilitasi kemampuan siswa untuk berfikir atau mempresentasikan apa
yang mereka pahami sesuai dengan tingkat perkembangannya. Buto (2010) menurut Bruner
perkembangan kognitif siswa terjadi melalui tiga tahapan yang ditentukan dengan caranya
memahami lingkungan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Teori belajar penemuan atau
discovery learning dengan tiga tahap perkembangan kognitif (enaktif, ikonik, dan simbolik) yang
dikembangkan oleh Bruner dapat memberikan masukan yang sangat besar bagi perkembangan
pendidikan di Indonesia terutama pada model pembelajaran yang diterapkan pada kurikulum 2013
di Indonesia. Ariyana et al., (2019) menurut Permendikbud Nomor 12 tahun 2016 tentang Standar
Proses, implementasi kurikulum 2013 di Indonesia menggunakan tiga model pembelajaran dengan
metode ilmiah yaitu: model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), model
pembelajaran penemuan (Inquiry atau Discovery Learning), dan model pembelajaran berbasis
proyek (Project Based Learning ).
MODEL-MODEL PEMBELARAN

 Ada pun langkah kerja model pembelajaran Discovery Learning:

Terdapat persamaan langkah-langkah model discovery menurut pandangan beberapa

ahli. Secara garis besar, langkah-langkah model discovery learning ialah :


MODEL-MODEL PEMBELARAN

Namun, ada juga beberapa ahli yang memaparkan langkah-langkah yang berbeda,
yakni 1) Siswa melakukan kegiatan ekplorasi, pencarian, penelusuran untuk mendapatkan
informasi dilakukan dengan kategori baik, 2) Siswa mencatat seluruh kegiatan yang dilakukan,
3) Siswa berkelompok mendiskusikan hasil temuan dan memaknai data hasil temuan, 4) Siswa
secara kolaboratif menyusun laporan kegiatan, 5) Perwakilan kelompok menyajikan hasil
temuan dan ditanggapi kelompok lain, 6) Siswa mendengarkan penguatan materi dari guru.
Selain itu, juga ada yang berpendapat bahwa langkah-langkah model dicovery learning ialah 1)
Stimulasi. 2) Identifikasi masalah. 3) Merumuskan masalah: 4) Pengumpulan data 5)
Pengolahan data 6) Pembuktian 7) Membuat kesimpulan.

Dalam beberapa jurnal, para ahli juga ada yang tidak menjabarkan langkah-langkah yang
ia gunakan dalam penelitiannya. Berdasarkan hasil analisis tersebut kesimpulannya bahwa
langkahlangkah model pembelajaran discovery learning adalah sebagai berikut 1) Stimulation
(Pemberian Rangsangan/stimulus), tahap ini merupakan tahap dimana guru menghadapkan
siswa pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, agar timbul motivasi siswa untuk
menyelidiki. Kemudian guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa berkaitan
dengan materi yang akan dipelajari. Pada tahap ini guru dapat mengondisikan siswa untuk
membaca sejumlah sumber buku rujukan atau bisa juga dengan menampilkan beberapa
gambar di papan tulis. Selanjutnya arahkan mereka untuk menentukan keterkaitan fokus
masalah dengan sejumlah sumber yang sesuai.

7.MODEL PEMBELAJARAN PENDEKATAN METEMATIKA REALISTIK


MODEL-MODEL PEMBELARAN

a. Pengertian RME ( Realistic


Mathematics Education)
Realistic mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan matematika
realistik (PMR), adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun
1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University d Negeri
Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (dalam Kriswandani, 2008)
bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan
tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan
kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Landasan filosofi
PMR adalah RME. RME merupakan teori pembelajaran matematika yang dikembangkan di
Belanda. Teori ini berangkat dari pendapat Fruedenthal bahwa matematika merupakan aktivitas
insane dan harus dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari
sifat matematika seseorang memecahkan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi atau
matematisasi materi pelajaran Gravemeijer (dalam Sutarto Hadi, 2003).
Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif
matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai
situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention) matematika
berdasarkan usaha mereka sendiri. Di sini matematika dilihat sebagai kegiatan manusia yang
bermula dari pemecahan masalah Dolk (dalam Suryanto, 2010). Karena itu, siswa tidak dipandang
sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika di bawah bimbingan guru Proses peneman kembali ini dikembangkan melalui
penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata (Hadi, 2005). Di sini dunia nyata diartikan sebagai
segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar,
bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan
sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting
daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu
proses mematematikakan dunia nyata. Soedjadi (dalam Suryanto 2010) mengemukakan bahwa, di
negeri Belanda telah dikembangkan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
Dalam pendekatan PMR, pembelajaran matematika lebih memusatkan kegiatan belajar
pada siswa dan lingkungan serta bahan ajar yang disusun sedemikian sehingga siswa lebih aktif
mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Dalam
MODEL-MODEL PEMBELARAN

pembelajaran matematika realistik diperlukan dunia nyata untuk awal permulaan pengenalan
pembelajaran matematika pada usia anak SD. Siswa akan memperoleh informasi dari pengalaman
yang telah didapat di kehidupan nyata anak dan akan mampu memecahkan permasalahan.
Menurut Suryanto (2000) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) mempunyai beberapa
kekhususan yaitu: pengenalan konsep-konsep matematis baru dilakukan dengan memberikan
kepada murid-murid realistic contextual problem (masalah kontekstual yang realistik); dengan
bantuan guru atau bantuan temannya, murid-murid dipersilakan memecahkan masalah kontekstual
yang realistik itu. Dengan demikian, diharapkan murid-murid re-invent (menemukan) konsep atau
prinsip-prinsip matematis atau menemukan model. Setelah menemukan penyelesaian, murid-
murid diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian mereka (yang biasanya ada yang berbeda,
baik jalannya maupun hasilnya). Murid-murid dipersilakan untuk merefleksi (memikirkan kembali)
apa yang telah dikerjakan dan apayang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil
diskusi. Murid juga dibantu agar mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada
hubungannya. Murid-murid diajak mengembangkan, atau memperluas, atau meningkatkan, hasil-
hasil dari pekerjajannya, agar menemukan konsep atau prinsipmatematis yang lebih rumit.
Menekankan matematika sebagai kegiatan.
Berdasarkan pengertian yang diuraikan oleh para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan RME adalah pembelajaran matematika di suatu tingkat pendidikan, yang dipakai untuk
menghubungkan konsep kehidupan nyata agar siswa dapat menemukan konsep pembelajaran
yang konkret.

b) Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik


Karakteristik PMR Menurut Lauge dan Gravemeijer (dalam Kriswandari, 2008), sebagai
penjabaran dari ketiga level Van Hiele, fenomena didaktik Freuderthal dan matematisasi progresif
Treffers (dalam Kriswandani, 2008) adalah menggunakan konteks "dunia nyata", model-model,
produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (interwinement) dan dijelaskan sebagai
berikut:

1. Menggunakan Konteks "Dunia Nyata"


Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang
sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Large sebagai matematisasi konseptual. Melalui
MODEL-MODEL PEMBELARAN

abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa
dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep- konsep matematika dengan
pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari
(mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.

2. Menggunakan Model-Model (Matematisasi)

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan
bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model
situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut
akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan
bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhinya, akan menjadi model matematika
formal.

3. Menggunakan Produksi dan Konstruksi HIVE

Dengan pembuatan "produksi bebas" siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada
bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang
berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam
pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika
formal.

4. Menggunakan Interaktif 1956


Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara
eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak
setuju pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk
informal siswa.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

5. Menggunakan Keterkaitan (interwinement)


Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh
pada pemecahan masalah Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan
yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain
Menurut Sutarto Hadi, berdasarkan karakteristik tersebut RME mempunyai konsepsi tentang siswa
sebagai berikut.

a. Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tertang ide-ide matematika yang mempengaruhi
belajar selanjutnya.
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri;
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat
ragam pengalaman.
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Matematika Realistik

1. Kelebihan pembelajaran matematika realistik


a) Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika
dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi
manusia.

Menurut Suwarsono (dalam Hadi, 2003) kelebihan pembelajaran tidak usah harus sama
antara orang yang satu dengan yang lainnya.

b) Matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri
oleh siswa dan oleh orang lain tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar matematika
MODEL-MODEL PEMBELARAN

c) Cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan
d) Mempelajari matematika proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk
mempelajari metematika orang harus menjalani sendiri proses itu dan menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dengan bantuan guru.
e) Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga
dianggap unggul yaitu antara pendekatan pemecahan masalah, pendekatan konstruktivisme
dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan.

2. Kelemahan pembelajaran matematika realistik


Kelemahan pembelajaran realistik menurut Suwarsono (dalam Hadi, 2003), yaitu:

a. Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap topik matematika yang
perlu dipelajari siswa.
b. Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada pembelajaran
konvensional.
c. Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu proses berfikir siswa .

Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat


mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai
siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak
yang mempelajari segala sesuatu yang sudah "jadi", tetapi sebagai pihak yang aktif
mengkonstruksi konsep konsep matematika. Guru dipandang lebih sebagai pendamping bagi
siswa Pencarian soal-soal kontekstual.

d) Langkah-langkah dalam pembelajaran matematika realistik

Langkah-langkah dalam Pembelajaran Matematika Realistik. Berdasarkan prinsip dan


karakteristik pembelajaran matematika realistik, maka langkah-langkah yang harus dilakukan
dalam kegiatan inti proses pembelajaran adalah sebagai berikut.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

a. Memahami masalah kontekstual


Pada langkah ini siswa diberi masalah kontekstual dan siswa diminta untuk
memahami masalah kontekstual yang diberikan Langkah ini tergolong dalam karakteristik-
1 pembelajaran matematika realistik.
b. Menjelaskan masalah kontekstual
Pada langkah ini guru menjelaskan situasi dan kondisi masalah dengan memberikan
petunjuk atau saran seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipahami siswa.
Langkah ini tergolong dalam karakteristik-4 pembelajaran matematika realistik.
c. Menyelesaikan masalah kontekstual
Setelah memahami masalah, siswa menyelesaikan masalah kontekstual secara
individual dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan perlengkapan yang sudah
mereka pilih sendiri. Sementara itu guru memotivasi siswa agar siswa bersemangat untuk
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Langkah ini tergolong
dalam karakteristik-2 dalam pembelajaran matematika realistik.
d. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan
jawaban soal secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan di
kelas. Di sini siswa dilatih untuk belajar mengemukakan pendapat. Langkah ini tergolong
MODEL-MODEL PEMBELARAN

dalam karakteristik-3 dan karakteristik-4 dari PMR, yaitu menggunakan kontribusi siswa
dan adanya interaksi antar siswa.
e. Menyimpulkan Setelah selesai diskusi kelas, guru membimbing siswa untuk mengambil
kesimpulan suatu konsep atau prinsip. Langkah ini tergolong dalam karakteristik-4 dari
PMR, yaitu interaksi antara siswa dan guru.

8. MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW

Pembelajaran kooperatif
pertama kali diteliti pada tahun 1898,
hampir 600 eksperimen dan lebih 100
penelitian yang relevan dengan
pembelajaran kooperatif telah dilakukan
Roger dan Jonson. Penekanan dalam
pembelajaran kooperatif adalah aspek
sosial, yaitu terciptanya aktivitas interaksi
antar anggota kelompok, dan guru
berupaya mengkondisikannya dengan
selalu memotivasi siswa agar selalu tumbuh rasa kebersamaan dan saling membutuhkan antar
siswa dapat meningkatkan sikap saling tolong menolong dalam perilaku sosial dan dirancang
khusus untuk menolong peserta didik agar bekerja sama selama berlangsungnya proses
pembelajaran. Slavin (2008) mengemukakan bahwa belajar kooperatif adalah suatu model
pembelajaran yang di dalamnya siswa belajar dan bekerja melalui kelompok-kelompok kecil
secara kolaboratif yang anggotanya terdiri atas empat sampai enam orang, dengan struktur
kelempok heterogen. Dalam belajar kooperatif siswa dimungkinkan terlibat secara aktif pada
proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan
komunikasi yang berkualitas.

a. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw


MODEL-MODEL PEMBELARAN

Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh
Elliot Aronson dan kawan-kawan di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin di
Universitas John Hopkins (Arends, 1997). Tipe mengajar jigsaw dikembangkan, sebagai metode
cooperatif learning. Tipe ini bisa digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, bahasa dan lain-lain. Tipe ini
cocok untuk semua kelas. Jigsaw adalah suatu struktur multifungsi struktur kerjasama belajar.
Jigsaw dapat digunakan dalam beberapa hal untuk mencapai berbagai tujuan tetapi terutama
digunakan untuk persentasi dan mendapatkan materi baru, struktur ini menciptakan saling
ketergantungan.

Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu metode pembelajaran yang didasarkan
pada bentuk struktur multi fungsi kelompok belajar yang dapat digunakan pada semua pokok
bahasan dan semua tingkatan untuk mengembangkan keahlian dan keterampilan setiap kelompok.
Menurut Isjoni (2009:77) pembelajaran kooperatif tipe jigsaw salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran
untuk mencapai prestasi yang maksimal. Lie (2004:41) menyatakan jigsaw didesain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga
pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga
harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain.
Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara
kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Para anggota dari tim yang berbeda dengan
topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik
pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswasiswa itu kembali pada
tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah
mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.

Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok
ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan,
jenis kelamin dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok ahli, yaitu kelompok siswa
yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda ditugaskan untuk mempelajari dan
mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugastugas yang berhubungan dengan topiknya
untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Kelompok ahli merupakan gabungan
dari beberapa ahli yang berasal dari kelompok asal. Kunci keberhasilan jigsaw adalah saling
MODEL-MODEL PEMBELARAN

ketergantungan, yaitu setiap siswa bergantung kepada anggota timnya untuk dapat memberikan
informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat penilaian (Slavin, 2008:237).

1). Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw

Dengan teknik jigsaw ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman
siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih
bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai
banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan komunikasi.
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut
saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Kunci
tipe jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan
infomasi yang diperlukan dengan tujuan agardapat mengerjakan tugas dengan baik. Menurut Elliot
Aronson pelaksanaan kelas jigsaw, meliputi 10 tahap yaitu:

a) membagi siswa kedalam kelompok Jigsaw dengan jumlah 5-6 orang;


b) menugaskan satu orang siswa dari masing-masing kelompok sebagai pemimpin, umumnya
siswa yang dewasa dalam kelompok itu;
c) membagi pelajaran yang akan dibahas ke dalam 5-6 segmen;
d) menugaskan tiap siswa untuk mempelajari satu segmen dan untuk menguasai segmen
mereka sendiri. . memberi kesempatan kepada para siswa itu untuk membaca secepatnya
segmen mereka sedikitnya dua kali agar mereka terbiasa dan tidak ada waktu untuk
menghafal,
e) membentuk kelompok ahli dengan satu orang dari masing-masing kelompok jigsaw
bergabung dengan siswa lain yang memiliki segmen yang sama untuk mendiskusikan poin-
poin yang utama dari segmen mereka dan berlatih presentasi kepada kelompok jigsaw
mereka.
f) setiap siswa dari kelompok ahli kembali kekelompok jigsaw mereka.
g) meminta masing-masing siswa untuk menyampaikan segmen yang dipelajari-nya kepada
kelompoknya, dan memberi kesempatan kepada siswa-siswa yang lain untuk bertanya.
h) guru berkeliling dari kelompok satu kekelompok yang lainnya, mengamati proses itu. Bila ada
siswa yang mengganggu segera dibuat intervensi yang sesuai oleh pemimpin
kelompokyangdi tugaskan.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

i) pada akhir bagian beri ujian atas materi sehingga siswa tahu bahwa pada bagian ini bukan
hanya game tapi benar-benar menghitung.
 Adapun langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw sebagai berikut:

Langakah-langkah kegiatannya sebagai berikut:

FASE KEGIATAN
Fase 1 : Menyampaikan tujuan dan motivasi Guru memberikan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan
memotivasi siswa.
Fase 2 : Menyajikan informasi Guru menyampaikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau dengan bahan
bacaan
Fase 3 : Mengorganisasikan ke dalam Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
kelompok-kelompok belajar membentuk kelompok belajar dan membantu
setiap kelompok agar melakukan komunikasi
secara efisien, menentukan kelompok asal dan
membentuk kelompok ahli
MODEL-MODEL PEMBELARAN

Fase 4 : Membimbing kelompok bekerja dan Guru membimbing kelompok ahli dan memberi
belajar tanggung jawab mengajarkannya kepada
kelompok asal
Fase 5 : Mengevaluasi Masing-masing kelompok mempersentasikan
hasil kerjanya dan guru mengevaluasi hasil
belajar, tentang materi yang telah dipelajari
Fase 6 : Memberikan penghargaan Guru memberi pujian kepada kelompok yang
terbaik dan memberi arahan kepada kelompok
yang lain, mencari cara untuk menghargai baik
ujian maupun hasil individu/ kelompok.

Dalam aplikasinya pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tidak hanya menginginkan siswa
untuk belajar keterampilan dan isi akademik, tetapi juga melatih siswa dalam mencapai tujuan-tujuan
hubungan sosial dan manusia, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dicirikan oleh struktur tugas, tujuan dan penghargaan
kooperatif, yang melahirkan sikap ketergantungan yang positif diantara sesama siswa, penerimaan
terhadap perbedaan individu dan mengembangkan keterampilan bekerjasama dan kolaborasi.
Kondisi seperti ini akan memberikan konstribusi yang cukup berarti untuk membantu siswa yang
kurang pintar dalam mempelajari konsep-konsep yang dirasa sulit dalam matematika. Pada
perkembangan selanjutnya pembelajaran kooperatif tipe jigsaw selalu mengadakan diskusi
kelompok ahli tiap awal sebelum diskusi kelompok asal mengingat banyak materi ajar tertentu
merupakan materi prasarat.

Pada akhirnya setiap siswa dalam kelas dapat mencapai hasil belajar yang maksimal dan
sejajar. Pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, aktivitas belajar lebih banyak berpusat pada
siswa. Dalam proses diskusi dan kerja kelompok guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, konsultan
dan manager yang mengkoordinir proses pembelajaran. Suasana belajar dan interaksi yang santai
antara siswa dengan guru maupun antar siswa membuat proses berpikir siswa lebih optimal dan
siswa mengkontruksi sendiri ilmu yang dipelajarinya menjadi pengetahuan yang akan bermakna dan
tersimpan dalam ingatannya untuk periode waktu yang lama. Hal ini bisa memupuk minat dan
perhatian siswa dalam mempelajari matematika, yang dapat berpengaruh baik terhadap prestasi
belajar siswa.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

DAFTAR PUSTAKA

Yofamella, D., & Taufik, T. (2020). Penerapan Model Inquiry learning Dalam Pembelajaran Tematik
Terpadu di Kelas III Sekolah Dasar (Study Literatur). E-Jurnal Inovasi Pembelajaran SD, 8(8), 159–
172.

Wahyudi. (2018). Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal Matematika Secara
Nyata. ResearchGate, January 2012, 1–10. https://www.researchgate.net/publication/326647579

Sukarmini, N. N., Suharsono, N., & Sudarma, I. K. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw Dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Ekonomi Kelas X Sma Negeri 1 Manggis. E-
Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Teknologi
Pembelajaran, 6(2), 1–8.

Lubis, N. A., & Harahap, H. (2016). Santoso, Slamet. 2010. Teori-teori Psikologi Sosial.Bandung: Refika
Aditama, hal. 111. 1(1), 96–102.

Shell, A. (2016). 済無 No Title No Title No Title. 1–23.

Marisya, A., & Sukma, E. (2020). Konsep Model Discovery Learning pada Pembelajaran Tematik Terpadu
di Sekolah Dasar Menurut Pandangan Para Ahli. Jurnal Pendidikan Tambusa, 4(3), 2191.

Sundari, S., & Fauziati, E. (2021). Implikasi Teori Belajar Bruner dalam Model Pembelajaran Kurikulum
2013. Jurnal Papeda: Jurnal Publikasi Pendidikan Dasar , 3(2), 128–136.
https://doi.org/10.36232/jurnalpendidikandasar.v3i2.1206

Gunardi. (2020). Inquiry Based Learning dapat Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pelajaran
Matematika. SHEs: Conference Series 3, 4(1), 2288–2294.

Ryan, Cooper, & Tauer. (2013). 済無 No Title No Title No Title. Paper Knowledge . Toward a Media
History of Documents, 12–26.

Fenn-Berrabaß, C. (2001). Öffnen - Verwendung von PEEL-Folien. VDI Berichte, 1589, 105–112.
MODEL-MODEL PEMBELARAN

Berkah, J. (2018). Pengaruh Metode Pembelajaran Jigsaw Terhadap Minat Belajar Sejarah Peserta Didik
Di Smk Kharismawita Jakarta Selatan. Jurnal Candrasangkala Pendidikan Sejarah , 4(1), 21.
https://doi.org/10.30870/candrasangkala.v4i1.3431

FAJRI, Z. (2019). Model Pembelajaran Discovery Learning Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa
Sd. Jurnal IKA PGSD (Ikatan Alumni PGSD) UNARS , 7(2), 1.
https://doi.org/10.36841/pgsdunars.v7i2.478

Khasinah, S. (2021). Discovery Learning: Defnisi, Sintaksis, Keunggulan, dan Kelemahan. MUDARISUNA:
Media Kajian Pendidikan Agama Islam, 11(3), 402–413.

Herawaty, D. (2018). Model pembelajaran matematika realistik yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan matematika siswa SMP. Jurnal Pendidikan Matematika Raflesia , 3(2), 107–125.

Kristanti, M., & Mukti, T. S. (2022). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dalam
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika. Riemann: Research of Mathematics and Mathematics
Education, 4(2), 18–26. https://doi.org/10.38114/riemann.v4i2.200

Kemdikbud. (2012). Model pembelajaran penemuan (discovery Learning). Jurnal Model Pembelajaran
Discovery Learning, 1(1), 1–17.

Ariana, R. (2016). 済無 No Title No Title No Title. 1–23.

Evi, S. (2011). Pendekatan Matematika Realistik (PMR) untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Siswa di
Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan, Edisi Khus(2), 154–163.

Ii, B. A. B., & Pustaka, K. (2009). Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik pada Pembelajaran
Matematika. 6–23. https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/926/3/T1_292008199_BAB II.pdf

Irawati Kartika, R. (2014). Pengaruh Model Problem Solving dan Problem Posing serta Kemampuan Awal
terhadap Hasil Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Sains, 2(4), 184–192.

Pusfita, D., & Fitriyani, H. (n.d.). Seminar Nasional Pendidikan, Sains dan Teknologi PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN PROBLEM POSING UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS . 71–77.

Sejarah, J., Sosial, F. I., & Semarang, U. N. (2014). Peran Pembelajaran Sejarah Menggunakan Model
Inquiry Social Terhadap Pembinaan Sikap Nasionalisme. Indonesian Journal of History Education ,
MODEL-MODEL PEMBELARAN

3(1), 32–39. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijhe/article/view/3904

Marlowe, C. (2017). 2 (1.2). The New Oxford Shakespeare: Critical Reference Edition, Vol. 2 , 6(2), 2490–
2492. https://doi.org/10.1093/oseo/instance.00191376

Puspitasari, D. R., Mustaji, & Rusmawati, R. D. (2019). Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Berpengaruh Terhadap Pemahaman dan Penemuan Konsep dalam Pembelajaran PPKn. Jipp, 3(1),
96–107.

Jauhar, S., Nurdin, M., & Solving, M. P. (2017). JIKAP PGSD : Jurnal Ilmiah Ilmu Kependidikan Penerapan
Model Pembelajaran Problem Solving Dalam Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa SD . 2.

Hotimah, H. (2020). Penerapan Metode Pembelajaran Problem Based Learning Dalam Meningkatkan
Kemampuan Bercerita Pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Edukasi, 7(3), 5.
https://doi.org/10.19184/jukasi.v7i3.21599

Fitriani, L. (2016). PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI PERISTIWA PENTING MENJELANG
KEMERDEKAAN (Penelitian Tindakan Kelas Pada Sis wa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Cimuncang
02 Bandung). 18–57.

Effendi, E., Sugiarti, M., & Gunarto, W. (2019). Penerapan Model Problem Based Learning dan Model
Project Based Learning terhadap Hasil Belajar Siswa. Science and Physics Education Journal
(SPEJ), 2(2), 42–51. https://doi.org/10.31539/spej.v2i2.643

Sari, A. Y. (2018). Implementasi Pembelajaran Project Based Learning Untuk Anak Usia Dini. Motoric, 1(1),
10. https://doi.org/10.31090/paudmotoric.v1i1.547

Murniarti, E. (2017). Penerapan Metode Project Based Learning. Journal of Education, 3(2), 369–380.

Wena, M. (2013). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Suatu Tinjauan Konseptual Operasional ,
April, 262.

Nurasiah. (2020). Efektifitas Model Problem Solving dalam Pembelajaran Sejarah Sebagai Upaya untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa. Riwayat: Educational Journal of History and … , 30(2).
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/riwayat/article/viewFile/20820/13841
MODEL-MODEL PEMBELARAN

Anda mungkin juga menyukai