MODEL-MODEL PEMBELARAN
TUGAS
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
a. Menurut Duch, Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang
menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk
mencari solusi dari permasalahan dunia nyata . Masalah ini digunakan untuk mengikat siswa
pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.
b. Menurut Arends, Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran di
mana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan mereka dapat
menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan tingkat tinggi dan
inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya.
c. Menurut Glazer, mengemukakan Problem Based Learning merupakan suatu strategi
pengajaran dimana siswa secara aktif dihadapkan pada masalah kompleks dalam situasi yang
nyata.
Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning dapat disimpulkan
bahwa Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada
masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model
pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa.
pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki
strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya
menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau tantangan yang
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ciri yang paling utama dari model pembelajaran Problem Based Learning yaitu
dimunculkannya masalah pada awal pembelajarannya. Menurut Arends, berbagai pengembangan
pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik
sebagai berikut :
Adapun beberapa karakteristik proses Problem based learning menurut Tan diantaranya :
Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik proses Problem Based Learning dapat
disimpulkan bahwa tiga unsur yang esensial dalam proses Problem Based Learning yaitu adanya
suatu permasalahan, pembelajaran berpusat pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil.
Pelaksanaan kegiatan model Problem Based Learning terdiri dari 5 tahap proses, yaitu :
Tahap pertama, adalah proses orientasi peserta didik pada masalah. Pada tahap ini guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi peserta
didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah.
Tahap kedua, mengorganisasi peserta didik. Pada tahap ini guru membagi peserta didik
kedalam kelompok, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah.
Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini guru
mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan
eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil. Pada tahap ini guru membantu
peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan
membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.
Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. Pada
tahap ini guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses
dan hasil penyelidikan yang mereka lakukan.
Project based learning merupakan sebuah metode pembelajaran yang sudah banyak
dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jika diterjemahkan dalam bahasa
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Indonesia, project based learning bermakna sebagai pembelajaran berbasis proyek. Project based
learning adalah sebuah metode pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual
melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks.
Munculnya model pembelajaran Project Based Learning tidak terlepas dari prinsipprinsip teori
yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diantaranya adalah:
c. Kilpatrick Inti pemikiran Dewey tentang “learning by doing” yang dikemas dan dikembnagkan
oleh Kilpatrick menjadi konsep pembelajaran proyek (Sudjiono,103:2009). Bentuk
pembelajaran proyek (project based learning) adalah suatu model pembelajaran yang
dilakukan guru dengan jalan menyajikan suatu bahan pembelajaran yang memungkinkn anak
mengolah sendiri untuk menguasai bahan pembelajaran tersebut (Sudjiono,103:2009). Jadi
dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran proyek terdapat kolaborasi antara guru dan anak,
sehingga pembelajaran tidak berpusat pada guru. Pendapat tersebut juga sejalan dengan
Katz (2:1994) They key featute of project is that it is a research effort deliberately focused on
finding answer to questions about a topic posed either by the children, the teacher, or the
teacher working with the children.
Pendekatan project based learning merupakan salah satu strategi yang dapat dipilih untuk
mengembangkan prinsip bermain sambil belajar dan menjadikan anak sebagai pusat dalam
pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini. Literature review suggests that project-based
teaching method can be applied to all levels of education, from early childhood to tertiary level
(Katz, 2000; Rinaldi, 2006).
Kelebihan
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Suatu model pembelajaran dikatakan valid apabila memiliki tokoh pendukung terhadap
model yang digunakan sebagai tanda bahwa model yang digunakan benar memiliki landasan
dasar. Dalam hal ini, langkah dalam menerapkan model Problem Solving.
Syaiful Bahri Djamarah (2014: 137) menguraikan langkah-langkah model Problem Solving
sebagai berikut: Langkah-langkah model pembelajaran Problem Solving:
MODEL-MODEL PEMBELARAN
MODEL-MODEL PEMBELARAN
efektif. Peluang untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dalam hal pemecahan masalah
tersebut dimungkinkan karena Pemilihan dan penerapan metode pembelajaran problem posing ini
akan mempengaruhi cara belajar siswa yang semula cenderung untuk pasif kearah yang lebih
aktif. Model pembelajaran ini Bertujuan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa karena dalam metode problem posing soal dan penyelesaiaannya dirancang
sendiri oleh siswa.
Membuat pembelajaran yang efektif dalam hal pemecahan masalah menggunakan model
pembelajaran problem posing tidak terbatas pada pembentukan soal yang betul-betul baru, tetapi
dapat berarti mereformulasi soal-soal yang diberikan. Terdapat beberapa cara pembentukan soal
baru dari soal yang diberikan, misalnya dengan mengubah atau menambah data atau informasi
pada soal itu, misalnya mengubah bilangan, operasi, objek, syarat, atau konteksnya. Hal itu sesuai
dengan pengertian problem posing yang dikemukakan Silver (Mahmudi: 2008). Ia mendefinisikan
problem posing sebagai pembuatan soal baru oleh siswa berdasarkan soal yang telah
diselesaikan. Siswono (Mahmudi:2008) berpendapat bahwa dalam pembelajaran matematika,
sebenarnya problem posing (pengajuan soal) merupakan suatu wadah pembelajaran yang efektif,
karena kegiatan dalam problem posing tersebut sesuai dengan pola pikir matematis. Para pendidik
tidak menyadari bahwa problem posing (pengajuan soal) menempati posisi yang strategis dalam
upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika.
Dalam hal ini, siswa perlu menguasai urutan penyelesaian soal secara mendetail. Hal
tersebut dapat dicapai jika siswa memperkaya khasanah pengetahuannya tak hanya dari guru
melainkan perlu belajar mandiri Menurut Silver (Mahmudi:2008), problem posing meliputi beberapa
pengertian, yaitu (1) perumusan soal atau perumusan ulang soal yang telah diberikan dengan
beberapa perubahan agar lebih mudah dipahami siswa, (2) perumusan soal yang berkaitan
dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka penemuan alternatif
penyelesaian, dan (3) pembuatan soal dari suatu situasi yang diberikan.
Pembelajaran dianggap efektif jika tujuan pembelajaran dikuasai siswa secara tuntas.
Bentuk perubahan dari hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu :
Dalam pembelajaran problem posing ketiga aspek tersebut dapat mungkin menunjukan
hal positif karena Siswa dituntut secara aktif untuk menggunakan pola pikir matematika, sehingga
siswa dapat merumuskan kembali masalah matematika tersebut.Terlibatnya siswa secara aktif
dalam merumuskan masalah matematika dapat meningkatkan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik menjadi lebih baik.
a. pengertian pembelajaran
inkuiri learning
Dalam bahasa
Indonesia, inquiry berarti
penyelidikan. Lebih jelasnya
inquiry merupakan proses yang
terus menerus atau merupakan
berputar berkesinambungan,
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Model inkuiri didefinisikan oleh Piaget (Sund dan Trowbridge, 1973) sebagai:
Pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri; dalam
arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbul-
simbul dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu
dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan yang ditemukan orang
lain.
Kuslan Stone (Dahar,1991) mendefinisikan model inkuiri sebagai pengajaran di mana guru
dan anak mempelajari peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala ilmiah dengan pendekatan dan jiwa
para ilmuwan. Pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di
MODEL-MODEL PEMBELARAN
mana kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang digariskan
secara jelas (Hamalik, 1991).
Wilson (Trowbridge, 1990) menyatakan bahwa model inkuiri adalah sebuah model proses
pengajaran yang berdasarkan atas teori belajar dan perilaku. Inkuiri merupakan suatu cara
mengajar murid-murid bagaimana belajar dengan menggunakan keterampilan, proses, sikap, dan
pengetahuan berpikir rasional (Bruce & Bruce, 1992). Senada dengan pendapat Bruce & Bruce ,
Cleaf (1991) menyatakan bahwa inkuiri adalah salah satu strategi yang digunakan dalam kelas
yang berorientasi proses. Inkuiri merupakan sebuah strategi pengajaran yang berpusat pada
siswa, yang mendorong siswa untuk menyelidiki masalah dan menemukan informasi. Proses
tersebut sama dengan prosedur yang digunakan oleh ilmuwan sosial yang menyelidiki masalah-
masalah dan menemukan informasi.
Sementara itu, Trowbridge (1990) menjelaskan model inkuiri sebagai proses
mendefinisikan dan menyelidiki masalah-masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
menemukan data, dan menggambarkan kesimpulan masalah-masalah tersebut. Lebih lanjut,
Trowbridge mengatakan bahwa esensi dari pengajaran inkuiri adalah menata lingkungan/suasana
belajar yang berfokus pada siswa dengan memberikan bimbingan secukupnya dalam menemukan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmiah.
Senada dengan pendapat Trowbridge, Amien (1987) dan Roestiyah (1998) mengatakan
bahwa inkuiri adalah suatu perluasan proses discovery yang digunakan dalam cara yang lebih
dewasa. Sebagai tambahan pada proses discovery, inkuiri mengandung proses mental yang lebih
tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan masalah, merancang eksperimen, melakukan
eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, menumbuhkan sikap
objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka dan sebagainya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa inkuiri merupakan suatu
proses yang ditempuh mahasiswa untuk memecahkan masalah, merencanakan eksperimen,
melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Jadi,
dalam model inkuiri ini mahasiswa terlibat secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu
permasalahan yang diberikan dosen. Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para
ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat orang lain
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Tahap Deskripsi
Tahap 1 Guru mengondisikan agar peserta didik siap melaksanakan proses
Orientasi pembelajaran, menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang
diharapkan dapat tercapai oleh peserta didik, menjelaskan pokok-
pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik untuk
mencapai tujuan, menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan
belajar, hal ini dapat dila-kukan dalam rangka memberikan motivasi
belajar peserta didik.
Tahap 2 Guru membimbing dan memfasilitasi peserta didik untuk
Merumuskan merumuskan dan memahami masalah nyata yang telah disajikan.
masalah
Tahap 3 Guru membimbing peserta didik dengan cara mengajukan
Merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong peserta didik untuk
hipotesis berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
Tahap 4 Guru membimbing peserta didik dalam proses menentukan jawaban
Menguji hipotesis yang dianggap diterima sesuai dengan data dan informasi yang
diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Yang terpenting dalam
menguji hipotesis adalah mencari tingkat keyakinan peserta didik
MODEL-MODEL PEMBELARAN
1) Dapat membentuk dan mengembangkan (self-concept) pada diri siswa, sehingga siswa dapat
mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide pokok dengan lebih baik.
2) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru.
3) Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersikap objektif, jujur
dan terbuka.
4) Mendorong siswa untuk berpikir inisiatif dan merumuskan hipotesanya sendiri.
5) Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik.
6) Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.
7) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu.
8) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri.
9) Dapat menghindari siswa dari cara-cara belajar yang tradisional.
10) Dapat memberikan waktu pada siswa secukupnya sehingga mereka dapat mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi.
2) Model pembelajaran inkuiri sulit dilaksanakan karena terbentur dengan kebiasaan peserta
didik dalam belajar
3) Terkadang dalam implementasinya memerlukan waktu yang panjang sehingga sering
pendidik sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan
4) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan peserta menguasai
materi pelajaran, maka model pembelajaran ini akan sulit diimplementasikan oleh setiap
pendidik.
(pemberian rangsangan) yaitu siswa diberikan pertanyaan oleh guru dengan tujuan merangsang
siswa untuk berfikir kritis. Problem Statement (mengidentifikasi masalah) yaitu siswa diberikan
kesempatan mengidentifikasi masalah yang relevan dengan bahan pembelajaran kemudian
memilih dan merumuskan dalam bentuk hipotesa atau jawaban sementara. Data collection
(pengumpulan data) yaitu siswa diberikan kesempatan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya yang relevan dengan masalah untuk membuktikan benar tidaknya hipotesa yang sudah
dibuat. Data Processing (pengolahan data) yaitu siswa mengolah data yang sudah diperoleh
kemudian data tersebut ditafsirkan dengan bimbingan guru.
Verification (pembuktian) yaitu siswa diberikan kesempatan membuktikan benar tidaknya
hipotesis awal dengan pemeriksaan secara cermat, menemukan konsep, dan dihubungkan
dengan hasil pengolahan data. Generalization (generalisasi) yaitu siswa menarik kesimpulan untuk
dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua masalah yang sama atau kejadian dengan
memperhatikan hasil verifikasi Proses pembelajaran akan berhasil dengan baik dan kreatif jika
didukung manipulasi bahan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif
siswa, sehingga dapat memfasilitasi kemampuan siswa untuk berfikir atau mempresentasikan apa
yang mereka pahami sesuai dengan tingkat perkembangannya. Buto (2010) menurut Bruner
perkembangan kognitif siswa terjadi melalui tiga tahapan yang ditentukan dengan caranya
memahami lingkungan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Teori belajar penemuan atau
discovery learning dengan tiga tahap perkembangan kognitif (enaktif, ikonik, dan simbolik) yang
dikembangkan oleh Bruner dapat memberikan masukan yang sangat besar bagi perkembangan
pendidikan di Indonesia terutama pada model pembelajaran yang diterapkan pada kurikulum 2013
di Indonesia. Ariyana et al., (2019) menurut Permendikbud Nomor 12 tahun 2016 tentang Standar
Proses, implementasi kurikulum 2013 di Indonesia menggunakan tiga model pembelajaran dengan
metode ilmiah yaitu: model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), model
pembelajaran penemuan (Inquiry atau Discovery Learning), dan model pembelajaran berbasis
proyek (Project Based Learning ).
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Namun, ada juga beberapa ahli yang memaparkan langkah-langkah yang berbeda,
yakni 1) Siswa melakukan kegiatan ekplorasi, pencarian, penelusuran untuk mendapatkan
informasi dilakukan dengan kategori baik, 2) Siswa mencatat seluruh kegiatan yang dilakukan,
3) Siswa berkelompok mendiskusikan hasil temuan dan memaknai data hasil temuan, 4) Siswa
secara kolaboratif menyusun laporan kegiatan, 5) Perwakilan kelompok menyajikan hasil
temuan dan ditanggapi kelompok lain, 6) Siswa mendengarkan penguatan materi dari guru.
Selain itu, juga ada yang berpendapat bahwa langkah-langkah model dicovery learning ialah 1)
Stimulasi. 2) Identifikasi masalah. 3) Merumuskan masalah: 4) Pengumpulan data 5)
Pengolahan data 6) Pembuktian 7) Membuat kesimpulan.
Dalam beberapa jurnal, para ahli juga ada yang tidak menjabarkan langkah-langkah yang
ia gunakan dalam penelitiannya. Berdasarkan hasil analisis tersebut kesimpulannya bahwa
langkahlangkah model pembelajaran discovery learning adalah sebagai berikut 1) Stimulation
(Pemberian Rangsangan/stimulus), tahap ini merupakan tahap dimana guru menghadapkan
siswa pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, agar timbul motivasi siswa untuk
menyelidiki. Kemudian guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa berkaitan
dengan materi yang akan dipelajari. Pada tahap ini guru dapat mengondisikan siswa untuk
membaca sejumlah sumber buku rujukan atau bisa juga dengan menampilkan beberapa
gambar di papan tulis. Selanjutnya arahkan mereka untuk menentukan keterkaitan fokus
masalah dengan sejumlah sumber yang sesuai.
pembelajaran matematika realistik diperlukan dunia nyata untuk awal permulaan pengenalan
pembelajaran matematika pada usia anak SD. Siswa akan memperoleh informasi dari pengalaman
yang telah didapat di kehidupan nyata anak dan akan mampu memecahkan permasalahan.
Menurut Suryanto (2000) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) mempunyai beberapa
kekhususan yaitu: pengenalan konsep-konsep matematis baru dilakukan dengan memberikan
kepada murid-murid realistic contextual problem (masalah kontekstual yang realistik); dengan
bantuan guru atau bantuan temannya, murid-murid dipersilakan memecahkan masalah kontekstual
yang realistik itu. Dengan demikian, diharapkan murid-murid re-invent (menemukan) konsep atau
prinsip-prinsip matematis atau menemukan model. Setelah menemukan penyelesaian, murid-
murid diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian mereka (yang biasanya ada yang berbeda,
baik jalannya maupun hasilnya). Murid-murid dipersilakan untuk merefleksi (memikirkan kembali)
apa yang telah dikerjakan dan apayang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil
diskusi. Murid juga dibantu agar mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada
hubungannya. Murid-murid diajak mengembangkan, atau memperluas, atau meningkatkan, hasil-
hasil dari pekerjajannya, agar menemukan konsep atau prinsipmatematis yang lebih rumit.
Menekankan matematika sebagai kegiatan.
Berdasarkan pengertian yang diuraikan oleh para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan RME adalah pembelajaran matematika di suatu tingkat pendidikan, yang dipakai untuk
menghubungkan konsep kehidupan nyata agar siswa dapat menemukan konsep pembelajaran
yang konkret.
abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa
dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep- konsep matematika dengan
pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari
(mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan
bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model
situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut
akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan
bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhinya, akan menjadi model matematika
formal.
Dengan pembuatan "produksi bebas" siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada
bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang
berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam
pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika
formal.
a. Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tertang ide-ide matematika yang mempengaruhi
belajar selanjutnya.
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri;
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat
ragam pengalaman.
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.
Menurut Suwarsono (dalam Hadi, 2003) kelebihan pembelajaran tidak usah harus sama
antara orang yang satu dengan yang lainnya.
b) Matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri
oleh siswa dan oleh orang lain tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar matematika
MODEL-MODEL PEMBELARAN
c) Cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan
d) Mempelajari matematika proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk
mempelajari metematika orang harus menjalani sendiri proses itu dan menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dengan bantuan guru.
e) Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga
dianggap unggul yaitu antara pendekatan pemecahan masalah, pendekatan konstruktivisme
dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan.
a. Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap topik matematika yang
perlu dipelajari siswa.
b. Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada pembelajaran
konvensional.
c. Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu proses berfikir siswa .
dalam karakteristik-3 dan karakteristik-4 dari PMR, yaitu menggunakan kontribusi siswa
dan adanya interaksi antar siswa.
e. Menyimpulkan Setelah selesai diskusi kelas, guru membimbing siswa untuk mengambil
kesimpulan suatu konsep atau prinsip. Langkah ini tergolong dalam karakteristik-4 dari
PMR, yaitu interaksi antara siswa dan guru.
Pembelajaran kooperatif
pertama kali diteliti pada tahun 1898,
hampir 600 eksperimen dan lebih 100
penelitian yang relevan dengan
pembelajaran kooperatif telah dilakukan
Roger dan Jonson. Penekanan dalam
pembelajaran kooperatif adalah aspek
sosial, yaitu terciptanya aktivitas interaksi
antar anggota kelompok, dan guru
berupaya mengkondisikannya dengan
selalu memotivasi siswa agar selalu tumbuh rasa kebersamaan dan saling membutuhkan antar
siswa dapat meningkatkan sikap saling tolong menolong dalam perilaku sosial dan dirancang
khusus untuk menolong peserta didik agar bekerja sama selama berlangsungnya proses
pembelajaran. Slavin (2008) mengemukakan bahwa belajar kooperatif adalah suatu model
pembelajaran yang di dalamnya siswa belajar dan bekerja melalui kelompok-kelompok kecil
secara kolaboratif yang anggotanya terdiri atas empat sampai enam orang, dengan struktur
kelempok heterogen. Dalam belajar kooperatif siswa dimungkinkan terlibat secara aktif pada
proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan
komunikasi yang berkualitas.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh
Elliot Aronson dan kawan-kawan di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin di
Universitas John Hopkins (Arends, 1997). Tipe mengajar jigsaw dikembangkan, sebagai metode
cooperatif learning. Tipe ini bisa digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, bahasa dan lain-lain. Tipe ini
cocok untuk semua kelas. Jigsaw adalah suatu struktur multifungsi struktur kerjasama belajar.
Jigsaw dapat digunakan dalam beberapa hal untuk mencapai berbagai tujuan tetapi terutama
digunakan untuk persentasi dan mendapatkan materi baru, struktur ini menciptakan saling
ketergantungan.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu metode pembelajaran yang didasarkan
pada bentuk struktur multi fungsi kelompok belajar yang dapat digunakan pada semua pokok
bahasan dan semua tingkatan untuk mengembangkan keahlian dan keterampilan setiap kelompok.
Menurut Isjoni (2009:77) pembelajaran kooperatif tipe jigsaw salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran
untuk mencapai prestasi yang maksimal. Lie (2004:41) menyatakan jigsaw didesain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga
pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga
harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain.
Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara
kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Para anggota dari tim yang berbeda dengan
topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik
pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswasiswa itu kembali pada
tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah
mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok
ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan,
jenis kelamin dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok ahli, yaitu kelompok siswa
yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda ditugaskan untuk mempelajari dan
mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugastugas yang berhubungan dengan topiknya
untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Kelompok ahli merupakan gabungan
dari beberapa ahli yang berasal dari kelompok asal. Kunci keberhasilan jigsaw adalah saling
MODEL-MODEL PEMBELARAN
ketergantungan, yaitu setiap siswa bergantung kepada anggota timnya untuk dapat memberikan
informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat penilaian (Slavin, 2008:237).
Dengan teknik jigsaw ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman
siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih
bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai
banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan komunikasi.
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut
saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Kunci
tipe jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan
infomasi yang diperlukan dengan tujuan agardapat mengerjakan tugas dengan baik. Menurut Elliot
Aronson pelaksanaan kelas jigsaw, meliputi 10 tahap yaitu:
i) pada akhir bagian beri ujian atas materi sehingga siswa tahu bahwa pada bagian ini bukan
hanya game tapi benar-benar menghitung.
Adapun langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw sebagai berikut:
FASE KEGIATAN
Fase 1 : Menyampaikan tujuan dan motivasi Guru memberikan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan
memotivasi siswa.
Fase 2 : Menyajikan informasi Guru menyampaikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau dengan bahan
bacaan
Fase 3 : Mengorganisasikan ke dalam Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
kelompok-kelompok belajar membentuk kelompok belajar dan membantu
setiap kelompok agar melakukan komunikasi
secara efisien, menentukan kelompok asal dan
membentuk kelompok ahli
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Fase 4 : Membimbing kelompok bekerja dan Guru membimbing kelompok ahli dan memberi
belajar tanggung jawab mengajarkannya kepada
kelompok asal
Fase 5 : Mengevaluasi Masing-masing kelompok mempersentasikan
hasil kerjanya dan guru mengevaluasi hasil
belajar, tentang materi yang telah dipelajari
Fase 6 : Memberikan penghargaan Guru memberi pujian kepada kelompok yang
terbaik dan memberi arahan kepada kelompok
yang lain, mencari cara untuk menghargai baik
ujian maupun hasil individu/ kelompok.
Dalam aplikasinya pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tidak hanya menginginkan siswa
untuk belajar keterampilan dan isi akademik, tetapi juga melatih siswa dalam mencapai tujuan-tujuan
hubungan sosial dan manusia, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dicirikan oleh struktur tugas, tujuan dan penghargaan
kooperatif, yang melahirkan sikap ketergantungan yang positif diantara sesama siswa, penerimaan
terhadap perbedaan individu dan mengembangkan keterampilan bekerjasama dan kolaborasi.
Kondisi seperti ini akan memberikan konstribusi yang cukup berarti untuk membantu siswa yang
kurang pintar dalam mempelajari konsep-konsep yang dirasa sulit dalam matematika. Pada
perkembangan selanjutnya pembelajaran kooperatif tipe jigsaw selalu mengadakan diskusi
kelompok ahli tiap awal sebelum diskusi kelompok asal mengingat banyak materi ajar tertentu
merupakan materi prasarat.
Pada akhirnya setiap siswa dalam kelas dapat mencapai hasil belajar yang maksimal dan
sejajar. Pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, aktivitas belajar lebih banyak berpusat pada
siswa. Dalam proses diskusi dan kerja kelompok guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, konsultan
dan manager yang mengkoordinir proses pembelajaran. Suasana belajar dan interaksi yang santai
antara siswa dengan guru maupun antar siswa membuat proses berpikir siswa lebih optimal dan
siswa mengkontruksi sendiri ilmu yang dipelajarinya menjadi pengetahuan yang akan bermakna dan
tersimpan dalam ingatannya untuk periode waktu yang lama. Hal ini bisa memupuk minat dan
perhatian siswa dalam mempelajari matematika, yang dapat berpengaruh baik terhadap prestasi
belajar siswa.
MODEL-MODEL PEMBELARAN
DAFTAR PUSTAKA
Yofamella, D., & Taufik, T. (2020). Penerapan Model Inquiry learning Dalam Pembelajaran Tematik
Terpadu di Kelas III Sekolah Dasar (Study Literatur). E-Jurnal Inovasi Pembelajaran SD, 8(8), 159–
172.
Wahyudi. (2018). Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal Matematika Secara
Nyata. ResearchGate, January 2012, 1–10. https://www.researchgate.net/publication/326647579
Sukarmini, N. N., Suharsono, N., & Sudarma, I. K. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw Dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Ekonomi Kelas X Sma Negeri 1 Manggis. E-
Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Teknologi
Pembelajaran, 6(2), 1–8.
Lubis, N. A., & Harahap, H. (2016). Santoso, Slamet. 2010. Teori-teori Psikologi Sosial.Bandung: Refika
Aditama, hal. 111. 1(1), 96–102.
Marisya, A., & Sukma, E. (2020). Konsep Model Discovery Learning pada Pembelajaran Tematik Terpadu
di Sekolah Dasar Menurut Pandangan Para Ahli. Jurnal Pendidikan Tambusa, 4(3), 2191.
Sundari, S., & Fauziati, E. (2021). Implikasi Teori Belajar Bruner dalam Model Pembelajaran Kurikulum
2013. Jurnal Papeda: Jurnal Publikasi Pendidikan Dasar , 3(2), 128–136.
https://doi.org/10.36232/jurnalpendidikandasar.v3i2.1206
Gunardi. (2020). Inquiry Based Learning dapat Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pelajaran
Matematika. SHEs: Conference Series 3, 4(1), 2288–2294.
Ryan, Cooper, & Tauer. (2013). 済無 No Title No Title No Title. Paper Knowledge . Toward a Media
History of Documents, 12–26.
Fenn-Berrabaß, C. (2001). Öffnen - Verwendung von PEEL-Folien. VDI Berichte, 1589, 105–112.
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Berkah, J. (2018). Pengaruh Metode Pembelajaran Jigsaw Terhadap Minat Belajar Sejarah Peserta Didik
Di Smk Kharismawita Jakarta Selatan. Jurnal Candrasangkala Pendidikan Sejarah , 4(1), 21.
https://doi.org/10.30870/candrasangkala.v4i1.3431
FAJRI, Z. (2019). Model Pembelajaran Discovery Learning Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa
Sd. Jurnal IKA PGSD (Ikatan Alumni PGSD) UNARS , 7(2), 1.
https://doi.org/10.36841/pgsdunars.v7i2.478
Khasinah, S. (2021). Discovery Learning: Defnisi, Sintaksis, Keunggulan, dan Kelemahan. MUDARISUNA:
Media Kajian Pendidikan Agama Islam, 11(3), 402–413.
Herawaty, D. (2018). Model pembelajaran matematika realistik yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan matematika siswa SMP. Jurnal Pendidikan Matematika Raflesia , 3(2), 107–125.
Kristanti, M., & Mukti, T. S. (2022). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dalam
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika. Riemann: Research of Mathematics and Mathematics
Education, 4(2), 18–26. https://doi.org/10.38114/riemann.v4i2.200
Kemdikbud. (2012). Model pembelajaran penemuan (discovery Learning). Jurnal Model Pembelajaran
Discovery Learning, 1(1), 1–17.
Evi, S. (2011). Pendekatan Matematika Realistik (PMR) untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Siswa di
Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan, Edisi Khus(2), 154–163.
Ii, B. A. B., & Pustaka, K. (2009). Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik pada Pembelajaran
Matematika. 6–23. https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/926/3/T1_292008199_BAB II.pdf
Irawati Kartika, R. (2014). Pengaruh Model Problem Solving dan Problem Posing serta Kemampuan Awal
terhadap Hasil Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Sains, 2(4), 184–192.
Pusfita, D., & Fitriyani, H. (n.d.). Seminar Nasional Pendidikan, Sains dan Teknologi PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN PROBLEM POSING UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS . 71–77.
Sejarah, J., Sosial, F. I., & Semarang, U. N. (2014). Peran Pembelajaran Sejarah Menggunakan Model
Inquiry Social Terhadap Pembinaan Sikap Nasionalisme. Indonesian Journal of History Education ,
MODEL-MODEL PEMBELARAN
Marlowe, C. (2017). 2 (1.2). The New Oxford Shakespeare: Critical Reference Edition, Vol. 2 , 6(2), 2490–
2492. https://doi.org/10.1093/oseo/instance.00191376
Puspitasari, D. R., Mustaji, & Rusmawati, R. D. (2019). Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Berpengaruh Terhadap Pemahaman dan Penemuan Konsep dalam Pembelajaran PPKn. Jipp, 3(1),
96–107.
Jauhar, S., Nurdin, M., & Solving, M. P. (2017). JIKAP PGSD : Jurnal Ilmiah Ilmu Kependidikan Penerapan
Model Pembelajaran Problem Solving Dalam Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa SD . 2.
Hotimah, H. (2020). Penerapan Metode Pembelajaran Problem Based Learning Dalam Meningkatkan
Kemampuan Bercerita Pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Edukasi, 7(3), 5.
https://doi.org/10.19184/jukasi.v7i3.21599
Fitriani, L. (2016). PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI PERISTIWA PENTING MENJELANG
KEMERDEKAAN (Penelitian Tindakan Kelas Pada Sis wa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Cimuncang
02 Bandung). 18–57.
Effendi, E., Sugiarti, M., & Gunarto, W. (2019). Penerapan Model Problem Based Learning dan Model
Project Based Learning terhadap Hasil Belajar Siswa. Science and Physics Education Journal
(SPEJ), 2(2), 42–51. https://doi.org/10.31539/spej.v2i2.643
Sari, A. Y. (2018). Implementasi Pembelajaran Project Based Learning Untuk Anak Usia Dini. Motoric, 1(1),
10. https://doi.org/10.31090/paudmotoric.v1i1.547
Murniarti, E. (2017). Penerapan Metode Project Based Learning. Journal of Education, 3(2), 369–380.
Wena, M. (2013). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Suatu Tinjauan Konseptual Operasional ,
April, 262.
Nurasiah. (2020). Efektifitas Model Problem Solving dalam Pembelajaran Sejarah Sebagai Upaya untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa. Riwayat: Educational Journal of History and … , 30(2).
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/riwayat/article/viewFile/20820/13841
MODEL-MODEL PEMBELARAN