Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH INOVASI PEMBELAJARAN FISIKA

“PROBLEM BASED LEARNING”

OLEH :

MUH. HASBI ASSIDIQ R

ARIANI

WA SARNIA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada proses pembelajaran di kelas hingga saat ini masih juga
ditemukan pengajar yang memposisikan peserta didik sebagai objek
belajar, bukan sebagai individu yang harus dikembangkan potensi yang
dimilikinya. Hal ini dapat mematikan potensi peserta didik. Dan dalam
keadaan tersebut peserta didik hanya mendengarkan pidato guru di depan
kelas, sehingga mudah sekali peserta didik merasa bosan dengan materi
yang diberikan. Akibatnya, peserta didik tidak paham dengan apa yang
baru saja disampaikan oleh guru.
Pada model pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan model
pembelajaran yang lainnya, dalam model pembelajaran ini, peranan guru
adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan
memfasilitasi investigasi dan dialog. Guru memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk menetapkan topik masalah yang akan dibahas,
walaupun sebenarnya guru telah menetapkan topik masalah apa yang harus
dibahas. Hal yang paling utama adalah guru menyediakan perancah atau
kerangka pendukung yang dapat meningkatkan kemampuan penyelidikan
dan intelegensi peserta didik dalam berpikir. Proses pembelajaran
diarahkan agar peserta didik mampu menyelesaikan masalah secara
sistematis dan logis. Model pembelajaran ini dapat terjadi jika guru dapat
menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan jujur, karena kelas itu
sendiri merupakan tempat pertukaran ide-ide peserta didik dalam
menanggapi berbagai masalah.
Model pembelajaran berbasis masalah mengambil psikologi
kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokus pembelajaran pada model ini
menekankan pada apa yang peserta didik pikirkan selama mereka terlibat
dalam proses pembelajaran, bukan pada apa yang mereka kerjakan dalam
proses pembelajaran. Seperti halnya model pembelajaran kooperatif,
model pembelajaran berbasis masalah ini menemukan akar intelektualnya
dalam karya John Dewey. Di dalam Democracy and Education (1916),
Dewey mendiskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah
sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi
laboratorium untuk penyelidikan dan pengentasan masalah kehidupan
nyata. Pedagogis Dewey mendorong guru untuk melibatkan peserta didik
dalam berbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka
menyelidiki berbagai masalah sosial dan intelektual penting.

B. Tujuan
Penyusunan laporan ini bertujuan untuk:
1. Untung mengetahui Problem Based Learning
2. Untuk mengetauhi tujuan Problem Based Learning
3. Untuk mengetauhi keunggulan Problem Based Learning
4. Untuk mengetauhi kelemahan Problem Based Learning
5. Untuk mengetauhi langkah-langkah Problem Based Learning
6. Untuk mengetauhi penerapan Problem Based Learning dalam
pembelajaran fisika.

C. Manfaat
1. Supaya pembaca mengetahui tentang Problem Based learning
2. Supaya dijadikan bahan referensi untuk pembaca
3. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Problem Based Learning
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Problem Based Learning

Model Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran


dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga
siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan
keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry, memandirikan siswa dan
meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Model ini bercirikan penggunaan
masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa
untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan
pemecahan masalah serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep
penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu
siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri (Hosnan, 2014).
Penerapan model pembelajaran berbasis masalah dimaksudkan
untuk meningkatkan partisipasi dan prestasi belajar siswa karena melalui
pembelajaran ini siswa belajar bagaimana menggunakan konsep dan
proses interaksi untuk menilai apa yang mereka kita ketahui,
mengidentifikasi apa yang ingin diketahui, mengumpulkan informasi dan
secara kolaborasi mengevaluasi hipotesisnya berdasarkan data yang telah
dikumpulkan (Ni, 2008).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model
pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”,
bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia
nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mencari solusi dari
permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk
mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.
Masalah diberikan kepada siswa, sebelum siswa mempelajari konsep atau
materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan (Daryanto,
2014).
1. Tujuan Problem Based Learning (PBL)

Tujuan PBL adalah membantu siswa agar memperoleh


berbagai pengalaman dan mengubah tingkah laku siswa, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Perubahan tingkah laku yang dimaksud
meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai atau norma yang berfungsi
sebgai pengendali sikap dan prilaku siswa. Tujuan utama PBL
bukanlah penyampaian sejumlah besar ilmu pengetahuan kepada
siswa, melainkan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan
kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus mengembangkan
kemampuan siswa untuk secara aktif membangun pengetahuan sendiri.
PBL juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemandirian belajar
dan keterampilan sosial siswa. Kemandirian belajar dan keterampilan
sosial itu dapat terbentuk ketika siswa berkolaborasi untuk
mengidentifikasi informasi, strategi dan sumber belajar yang relevan
untuk menyelesaikan masalah (Hosnan, 2014).

2. Ciri – ciri Problem Based Learning (PBL)

Model pembelajaran berdasarkan masalah memiliki


karakteristik sebagai berikut :
a. Pengajuan masalah atau pertanyaan.

Pengajuan pembelajaran berkisar pada masalah atau


pertanyaan yang penting bagi siswa maupun masyarakat.
Pertanyaan dan masalah yang diajukan itu harus memenuhi kriteria
autentik, jelas, mudah dipahami, luas dan bermanfaat.

b. Keterkaitan dengan berbagai masalah dengan disiplin ilmu

Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berbasis


masalah hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin
ilmu.

c. Penyelidikan yang autentik


Penyelidikan yang diperlukan dalam pembelajaran berbasis
masalah bersifat autentik. Selain itu penyelidikan diperlukan untuk
mencari penyelesaian masalah yang bersifat nyata. Siswa
menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan
meramalkan hipotesis, mengamalkan dan menganalisis informasi,
melaksanakan eksperimen, menarik kesimpulan, dan
menggambarkan hasil akhir.

d. Menghasilkan dan memamerkan hasil karya

Pada pembelajaran berbasis masalah, siswa bertugas


menyusun hasil penelitian dalam bentuk karya dan memamerkan
hasil karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa
ditampilkan atau dibuat laporannya.

e. Kolaborasi

Pada pembelajaran masalah, tugas-tugas belajar berupa


masalah harus diselesaikan bersama-sama antara siswa dengan
siswa, baik dalam kelompok kecil maupun besar, dan bersama-
sama antarsiswa dengan guru (Hosnan, 2014).

B. Langkah - langkah proses Problem Based Learning


Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki prosedur yang jelas
dalam melibatkan siswa untuk mengidentifikasi permasalahan. 6 langkah
strategi pembelajaran berdasarkan masalah yang kemudian dinamakan
metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu :
1. Merumuskan masalah, yakni langkah siswa dalam menentukan
masalah yang akan dipecahkan.
2. Menganalisis masalah, yakni langkah siswa meninjau masalah secara
kritis dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yakni langkah siswa dalam merumuskan
pemecahan masalah berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
4. Mengumpulkan data, yakni langkah siswa untuk mencari informasi
dalam upaya pemecahan masalah.
5. Pengujian hipotesis, yakni langkah siswa untuk merumuskan
kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang
diajukan.
Penerapan model pembelajaran berbasis masalah terdiri atas lima
langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan
situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja
siswa.
a. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi
siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
b. Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa
mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
c. Membimbing penyelidikan individual dan kelompok. Guru
mendorong siswa untuk menyimpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya.
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu
siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, sperti
laporan, video, dan model serta membantu berbagai tugas dengan
temanya.
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru
membantu siswa melakukan merefleksi atau evaluasi terhadap
peyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
Tabel II.1. Sintaks atau langkah-langkah PBL

Tahap Aktivitas guru dan siswa


Tahap 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
Mengorientasi siswa dan sarana atau logistik yang
terhadap masalah dibutuhkan. Guru memotivasi siswa
untuk terlibat dalam aktivitas
pemesahan masalah nyata yang dipilih
atau ditentukan.
Tahap 2 Guru membantu siswa mendefinisikan
Mengorganisasi siswa untuk dan mengorganisasi tugas belajar yang
belajar. berhubungan dengan masalah yang
sudah diorientasikan pada tahap
sebelumnya.
Tahap 3 Guru mendorong siswa untuk
Membimbing penyelidikan mengumpulkan informasi yang sesuai
individual maupun dan melaksanakan eksperimen untuk
kelompok mendapatkan kejelasan yang
diperlukan untuk menyelesaikan
masalah.
Tahap 4 Guru membantu siswa untuk berbagi
Mengembangkan dan tugas dan merencanakan atau
menyajikan hasil karya menyiapkan karya yang sesuai sebagai
hasil pemecahan masalah dalam
bentuk laporan, video, atau model.
Tahap 5 Guru membantu siswa untuk
Menganalisis dan melaksanakan refleksi atau evaluasi
mengevaluasi proses terhadap proses pemecahan masalah
pemecahan masalah. yang dilakukan.
C. Keunggulan dan Kelemahan Problem Based Learning
Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan,
sebagaimana model Problem Based Learning (PBL) juga memiliki
kelebihan dan kelemahan yang perlu di cermati untuk keberhasilan
penggunaanya.
1. Kelebihan
a. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk
menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
b. Meningkatkan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa.
c. Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuan siswa untuk
memahami masalah dunia nyata.
d. Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan
bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
e. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan
pengetahuan baru.
f. Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaplikasikan
pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
g. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar
sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. (Sanjaya,
2007).

2. Kelemahan

a. Manakala siswa tidak memiliki niat atau tidak mempunyai


kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk
dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencobanya.
b. Untuk sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman
mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang
sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang mereka
ingin pelajari (Sanjaya, 2007).
D. Penerapan Problem Based Learning dalam pembelajaran fisika

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Satuan Pendidikan : SMAN 9 Sinjai


Kelas/Semester : X Mia / Genap
Program Keahlian : IPA
Mata Pelajaran : Fisika
Tema : Suhu Dan Kalor
Alokasi Waktu : 3 x 45 menit
Pertemuan : Ketiga

Kompetensi Inti (KI)


KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari solusi atas permasalahan dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan
dunia.
KI 3 : Memahami,menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di
sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai
kaidah keilmuan

Kompetensi Dasar dan Indkator


Materi
Kompetensi Dasar Indikator
Pembelajaran
Suhu, Kalor dan 1.2 Menyadari kebesaran  Menunjukkan rasa syukur
Perpindahan Kalor Tuhan yang mengatur terhadap Tuhan
 Suhu dan pemuaian karakteristik YME mengenai ciptaan
 Hubungan kalor fenomena kalor Tuhan yang sempurna,
dengan suhu benda seperti panas yang di
dan wujudnya pancarkan Matahri sebagai
sumber energi panas Bumi
 Azas Black 2.1 Menunjukkan perilaku  Menunjukkan sikap hati-
 Peripindahan kalor ilmiah (memiliki rasa hati, kerja sama dan teliti
secara konduksi, ingin tahu; objektif; dalam melakukan percobaan
konveksi, dan jujur; teliti; cermat;  Menunjukkan sikap teliti
radiasi tekun; hati-hati; dan inovatif dalam aktivitas
bertanggung jawab; sehari-hari
terbuka; kritis; kreatif;  Menunjukkan sikap teliti,
inovatif dan peduli kerja sama, teliti serta
lingkungan) dalam tanggung jawab dalam
aktivitas sehari-hari melakukan perobaan
sebagai wujud
implementasi sikap
dalam melakukan
percobaan dan
berdiskusi
3.8 Menganalisis pengaruh  Menjelaskan kapasitas kalor
kalor dan perpindahan dan kalor jenis benda.
kalor pada kehidupan  Menghitung jumlah kalor
sehari-hari yang dibutuhkan.
 Menghitung jumlah kalor
yang dibutuhkan untuk
menaikan suhu dari titik
beku hingga titik uap.
 Menjelaskan bunyi Azas
Black.
 Menghitung suhu campuran
menggunakan persamaan
Azas Black.
 Menyebutkan penerapan
Azas Black dalam
kehidupan sehari-hari.

4.1 Menyajikan hasil  Mengukur kalor


pengukuran besaran menggunakan kalorimeter.
fisis dengan  Mengukur suhu akhir
menggunakan peralatan campuran.
dan teknik yang tepat
untuk penyelidikan
ilmiah
4.8.Merencanakan dan  Melakukan percobaan untuk
melaksanakan menentukan persamaan
percobaan untuk kalor.
menyelidiki  Melakukan percobaan Azas
karakteristik termal Black untuk menentukan
suatu bahan, terutama suhu akhir campuran.
kapasitas dan
konduktivitas kalor.

Tujuan Pembelajaran
1. Menentukan persamaan kalor, peserta didik dapat menjelaskan kapasitas kalor
dan kalor jenis benda.
2. Melalui eksperimen sederhana sebelumnya, peserta didik dapat menghitung
jumlah kalor yang dibutuhkan.
3. Melalui eksperimen sederhana tentang peleburan es hingga menguap, peserta
didik dapat menghitung jumlah kalor yang dibutuhkan untuk menaikan suhu dari
titik beku hingga titik uap.
4. Melalui percobaan sederhana mencampurkan air dingin dan air panas, peserta
didik dapat menjelaskan bunyi Azas Black.
5. Melalui percobaan sebelumnya, peserta didik dapat menghitung suhu campuran
menggunakan persamaan Azas Black.
6. Melalui kegiatan tanya jawab, peserta didik dapat menyebutkan penerapan Azas
Black dalam kehidupan sehari-hari.

Kompetensi Keterampilan
Setelah proses mengamati, mencari informasi, menanya, berdiskusi, dan
melakukan eksperimen dalam menentukan pemuaian zat cair serta perpindahan
kalor secara konveksi,siswa diharapkan dapat :
 Aktif dalam kelompok
 Memiliki keterampilan dalam penyampaian pendapat dalam berdiskusi
 Mampu melaksanakan diskusi kecil kelompok dengan baik
 Mampu menarik kesimpulan dari hasil diskusi kelompok kecil.

Materi Pembelajaran
 Suhu dan pemuaian ( Terlampir )
 Hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya ( Terlampir )
 Azas Black ( Terlampir )
 Peripindahan kalor secara konduksi, konveksi, dan radiasi ( Terlampir )
Metode/Model/Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan : Saintifik
Model pembelajaran : PBL ( Problem Basic Learning )
Metode pembelajaran : a. Demonstrasi
b. Eksperimen
c. Diskusi kelompok
d. Tanya jawab

Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran


Media : Powerpoint
Alat : Papan tulis, spidol, laptop, Infocus
Sumber Belajar :,Buku Fisika kelas X, Penerbit Grafindo
Media Pratama, internet, Buku fisika lain
yang relevan

Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran


Rincian Kegiatan Waktu
Pendahuluan 15 Menit
 Guru memberi salam dan melakukan absensi.
 Guru bertanya sekilas tentang pelaran sebelumnya.
 Guru menyampaikan judul materi yang akan dibahas
 Guru menyampaikan kepada siswa tujuan pembelajaran
hari ini

kegiatan Inti 100 menit


Guru membimbing siswa secara berkelompok untuk:
Mengamati
 Peserta didik menyimak proses pemanasan air
menggunakan heater
 Peserta didik menyimak proses pemanasan es batu hingga
menjadi uap.
 Peserta didik menyimak pencampuran air panas dengan air
dingin dan diminum.
 Guru menilai ketrampilan peserta didik mengamati.
Menanya
 Peserta didik mendiskusikan hasil percobaan sederhana
yang diberikan oleh guru di depan kelas.
Mencoba
 Peserta didik melakukan eksperimen untuk menentukan
persamaan kalor.
 Peserta didik melakukan percobaan memanaskan es hingga
menjadi uap.
 Peserta didik melakukan eksperimen untuk menentukan
suhu akhir campuran.
Mengasosiasi
 Peserta didik berdiskusi untuk menghitung jumlah kalor
yang dibutuhkan.
 peserta didik menghitung jumlah kalor yang dibutuhkan
untuk menaikan suhu dari titik beku hingga titik uap.
 Peserta didik menjelaskan bunyi Azas Black
 Peserta didik menghitung suhu campuran menggunakan
persamaan Azas Black.
 Peserta didik menyebutkan penerapan Azas Black dalam
kehidupan sehari-hari.
Mengomunikasikan
 Perwakilan dari peserta didik menyampaikan hasil
hitungan dan kesimpulan diskusi dengan teman kelompok.
 Mendiskusikan pemecahan masalah jika ada perbedaan
jawaban.
 Guru menilai kemampuan peserta didik dalam
berkomunikasi lisan.
 Guru menuntun peserta didik menyelesaikan soal-soal.
 Peserta didik menyelesaikan soal mandiri.

Penutup 20 menit
 Guru bersama peserta didik merangkum konsep persamaan
kalor dan Azas Balck.
 Guru melaksanakan postes
 Guru memberikan pekerjaan rumah tentang Azas black
 Guru memberikan tugas baca tentang Perpindahan kalor
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa
Inggris Problem based Learning adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah,
tetapi untuk menyelesaikan masalah itu siswa memerlukan
pengetahuan baru untuk dapat menyelesaikannya.
Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan peserta
didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat
kepada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang
diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan
karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini

B. Saran
1. Sebaiknya dalam menulis laporan harus meneliti di
kehidupan bermasyarakat
2. Sebaiknya menggunaan referensi yang banyak untuk
memperjelas laporan yang telah dibuat
3. Sebaiknya memeriksa kata-kata yang digunakan dalam
penulisan laporan ini
4. Selalu kompak dengan tim kelompoknya
JURNAL PENDIDIKAN MANAJEMEN PERKANTORAN
Vol. 1 No. 1, Agustus 2016, Hal. 38-48

Availabel online at:


http://ejournal.upi.edu/index.php/jpmanper/article/view/00000

Upaya meningkatkan kemampuan berfikir analitis melalui


model problem based learning (PLB)
(Improved ability to analytical thinking with
a problem based learning model)

Asrani Assegaff1, Uep Tatang Sontani2*


1,2
Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran,
Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi, No. 229 Bandung, Jawa Barat Indonesia
Email: ueptatangsontani@upi.edu

ABSTRAK
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berfikir analitis
siswa di sekolah, salah satunya dengan Model Problem Based Learning (PBL). Hal ini
sejalan dengan pendapat menurut Perez dan Uline (Schechter, 2011) bahwa PBL telah
banyak dipahami sebagai manfaat bagi mempersiapkan para pemimpin sekolah
dengan berkontribusi terhadap kemampuan berfikir analitis dan strategis mereka.
Selain itu, John Dewey (Miller, 2004) yang merupakan seorang filsuf dan pendidik,
menjelaskan bahwa "masalah adalah stimulus untuk berfikir”. Kedua pendapat
tersebut menguatkan bahwa PBL berkontribusi baik bagi para guru maupun siswa
untuk meningkatkan kemampuan berfikir analitis dan strategi dalam pembelajaran.
Kajian ini menggunakan metode kuasi eksperimen, dan bentuk kuasi eksperimen yang
dipilih adalah Nonequivqlenty Control Group Design. Teknik pengumpulan data
dengan menggunakan tes, observasi, dan studi dokumentasi sedangkan teknik analisis
data menggunakan uji-t untuk melihat perbedaan peningkatan kemampuan berfikir
analitis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Subjek penelitian ini yaitu Kelas XI
AP 4 sebagai kelas eksperimen dan Kelas XI AP 2 sebagai kelas kontrol. Hasil kajian
menunjukan bahwa terjadi peningkatan kemampuan berfikir analitis yang signifikan
antara kelas eksperimen yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL)
dengan kelas kontrol yang menggunakan model Guide Discovery Learning. Namun,
perolehan rata-rata skor kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas
kontrol. Artinya, sekolah dapat menerapkan model Problem Based Learning (PBL)
untuk meningkatkan kemampuan berfikir analitis siswa.

Kata Kunci: problem based learning, guide discovery learning, berfikir analitis.

ABSTRACT
Many efforts should be made to improve analytical thinking ability of students in the
school, one of them with a Model Problem Based Learning (PBL). This is in line with
the opinion by Perez and Uline (Schechter, 2011) that PBL has been widely
understood as the benefits to prepare school leaders to contribute to the ability to
think analytically and strategically them. In addition, John Dewey (Miller, 2004)
which is a philosopher and educator, explained that "the problem is the stimulus to
think." Second opinions reinforces that PBL contribute both for teachers and students
to improve think analytically and strategies in learning. this study using a quasi-
experimental, and form a quasi-experimental chosen is Nonequivqlenty Control
Group Design. the data collection technique using tests, observation and
documentation, while data analysis techniques using t-test to see differences increase
* Corresponding author Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx
38
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

the ability to think analytically between the experimental class and control class. this
research subject is class XI AP 4 as an experimental class and class XI AP 2 as a
control group. the results of the study showed that an increase in the ability to think
analytically significant among experimental class using the model of Problem Based
Learning (PBL) with grade control using a model of Discovery Learning Guide.
However, the acquisition of the average score of the experimental class is higher than
the control class. That is, schools can apply the model of Problem Based Learning
(PBL) to improve students' ability to think analytically.

Keywords: problem based learning, guide discovery learning, analytical thinking

PENDAHULUAN
Administrasi Humas dan Keprotokolan merupakan inovasi mata pelajaran di dalam
Kurikum 2013. Fokus dalam mata pelajaran ini adalah Kompetensi Dasar Membuat
Rencana Pertemuan atau Rapat, dimana materi di dalamnya membutuhkan kemampuan
berfikir. Materi tersebut dengan mudah akan kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari baik
di sekolah maupun di luar sekolah. Konsep dari materi tersebut membutuhkan kemampuan
berfikir tinggi untuk memahami teori-teori serta membandingkannya dengan gejala-gejala
dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan untuk berpikir dan menciptakan pengetahuan (konstruktivisme)
merupakan potensi yang dapat dikembangkan (Puangtong & Petchtone, 2014).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, masalah yang terjadi adalah kurang
terlatihnya kemampuan berfikir analitis siswa yang diduga faktor penyebabnya adalah
karena kurangnya pemberian soal berbentuk analitis. Dalam hal ini guru mayoritas
mengasah aspek pengetahuan (C1) dan pemahaman (C2) saja, sedangkan untuk
kemampuan analitis (C4) masih kurang diberikan. Padahal, aspek analisis tersebut
sangatlah bermanfaat bagi perkembangan seluruh aspek kognitif siswa khususnya
pengetahuan dan pemahamannya.
Berdasarkan data empiris yang didapatkan bahwa guru mayoritas memberikan soal
berbentuk pengetahuan (C1), pemahaman (C2), dan aplikasi (C3) pada tahun 2010-2014.
Sedangkan untuk tahun 2015 guru sudah memberikan soal berbentuk pengetahuan (C1)
sebesar 50% dan analitis (C4) sebesar 50%. Hal ini dapat melatih kemampuan berfikir
analitis siswa, namun disini guru hanya memberikan soal berbentuk analitis pada Ulangan
Harian saja, sedangkan untuk UTS dan UAS tidak berbentuk analitis.
Soal analisis merupakan soal yang menuntut uraian informatif, penemuan asumsi
pembedaan antara fakta dan pendapat, dan penemuan sebab akibat. Soal tersebut dapat
mempermudah siswa dalam memecahkan masalah, baik masalah dalam materi
pembelajaran maupun masalah yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memiliki
kemampuan berfikir analitis yang baik, siswa harus dibiasakan untuk memecahkan
persoalan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di lingkungan pendidikan. Hal ini
dapat dilatih dengan pemberian soal berbentuk analitis yang diberikan oleh guru.
Menurut (Bloom, Englehart, Furst, Hill, & Krathwohl, 1956) taksonomi Bloom
bidang pendidikan mengklasifikasikan kemampuan berfikir dari tingkat terendah sampai
dengan kemampuan berpikir tingkat tertinggi. Kemudian Anderson dan Krathwohl (2001)
merevisi taksonomi ini dengan mengklasifikasikan enam proses kognitif apakah siswa
mampu atau belajar untuk mengingat (C1), memahami (C2), mengaplikasikan (C3),
menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mengkreasi (C6). Seperti kerangka asli,
taksonomi yang baru mengasumsikan keberlanjutan yang mendasari proses kognitif
menjadi lebih kompleks (Winarti, 2015). Menganalisis dan mengevaluasi merupakan
bagian penting dalam kemampuan berfikir tingkat tinggi. Dalam penelitian ini kemampuan
berfikir tingkat tinggi dibatasi pada kemampuan menganalisis, hal ini disebabkan karena
Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

39
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

jika siswa sudah memiliki kemampuan berfikir analitis, secara otomatis siswa dapat
memenuhi semua aspek kogntif tersebut. Selain itu, seseorang yang memiliki kemampuan
berfikir analisis akan mudah untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapinya
dengan hasil yang optimal.

TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan Berfikir Analitis
Menurut (Gurol, 2011), di era modern ini cara berfikir seseorang dalam proses
pembelajaran banyak melibatkan metakognisi, berfikir kritis, analitis, dan kreatif (Mirzaei,
Phang, & Kashefi, 2014) juga proses inovasi (Roberts, Fisher, Trowbridge, & Bent, 2016).
Penerapkan sistem berfikir membutuhkan informasi yang beragam melalui penyelidikan
(Leveson, 2011). Kemampuan berfikir merupakan pendekatan dan program usaha untuk
mengembangkan kemampuan tingkat tinggi bidang kognitif dan menekankan pada
pentingnya interaksi sosial dengan orang dewasa serta teman sebaya yang berperan sebagai
mediator pengalaman. (Baumfield & Oberski, 1998).
Kemampuan berfikir merupakan pendekatan dan program usaha untuk
mengembangkan kemampuan tingkat tinggi bidang kognitif dan menekankan pada
pentingnya interaksi sosial dengan orang dewasa serta teman sebaya yang berperan sebagai
mediator pengalaman (Baumfield & Oberski, 1998). Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Vigotsky dalam teori belajarnya yang menyebutkan bahwa pengetahuan siswa dipengaruhi
oleh orang yang lebih dewasa atau teman sebayanya yang lebih berpengalaman. Sistem
berfikir membantu seseorang dalam mengetahui hubungan antar faktor (Lane, B, &
Husemann, 2016) yang meliputi kemampuan untuk mengenali, memahami, dan
mensintesis interaksi ( Behl & Ferreira, 2014).
Desain berpikir dalam diri manusia khususnya siswa mengacu pada proses kreatif
(Leverenz, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hermann yang disebut
dengan Hermannn Brain Dominance Instrument (HBDI) menyatakan bahwa gaya berfikir
seseorang terbagi menjadi 4 bagian, yaitu gaya berfikir bagian A, B, C, dan D. dalam
penelitian ini, Hermann mengungkapkan bahwa berfikir analitis termasuk ke dalam gaya
berfikir tipe A, yang mencakup logika, faktual, kritikal, teknikal, analitikal, dan kualitatif
(Razali, Jantan, & Hashim, 2007).
Menurut Bloom bahwa analisis termasuk ke dalam ranah kognitif tipe C4 (Razali,
Jantan, & Hashim, 2007). Dimana apabila siswa sudah mampu menganalitis dari suatu
materi atau permasalahan, secara otomatis siswa mampu mengetahui, memahami, dan
mengaplikasikan atas materi yang guru sampaikan. Secara otomatis, apabila kemampuan
berfikir analitis siswa terasah, maka siswa dapat meningkatkan seluruh aspek kognitif
dalam pembelajaran.
Kemampuan berfikir analitis meliputi keterampilan siswa dalam menerapkan
pemikiran logis untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi, merancang dan
menguji solusi untuk masalah, dan merumuskan rencana (Arnold & Wade, 2015). Berfikir
analitis bermanfaat untuk mengadaptasi dan memodifikasi informasi dan didalamnya
meliputi kerjasama yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari (Pennycook, Fugelsang,
& Koehler, 2015). Berfikir analitis sangatlah penting bagi keberhasilan professional siswa
di masa yang akan datang (Eckman & Frey, 2005).
Penilaian berfikir analitis dapat dijadikan tolak ukur kualitas seorang lulusan dari
pendidikan wajib. Hal ini disebabkan karena dengan kemampuan berfikir analitis
seseorang harus mampu mengungkapkan pendapat, sintesis, menyelesaikan masalah, dan
membangun ide mereka (Santhitiwanicha, Pasipholb, & Tangdhanakanondc, 2014).
Kemampuan analitis juga dapat dijadikan penilaian bagi kecerdasan dan kreativitas
seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya secara mandiri (Kao, 2014).
Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

40
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

Ada beberapa indikator untuk mengukur kemampuan berfikir analitis (Krathwohl &
Anderson, 2001) yakni sebagai berikut:
1 Menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan
informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau
hubungannya.
2 Mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah
skenario rumit.
3 Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan.
Pada dasarnya ciri kemampuan berfikir analitis adalah siswa mampu membagi atau
memisahkan suatu unsur, lalu menghubungkan dan mengorganisasikannya serta siswa
mampu mengetahui sebab akibat dari suatu fakta yang terjadi dan merumuskan pertanyaan
juga kesimpulan. Bagi pengelola pendidikan harus berkolaborasi dalam memecahkan
masalah mereka dengan melatih guru untuk mengembangkan pemikiran analitis siswa
(Art-in, 2015).

Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)


Berdasarkan pola pikir kurikulum 2013, maka pembelajaran dalam implementasi
kurikulum tersebut juga mengalami perubahan yakni dengan pendekatan saintifik atau
pendekatan ilmiah. Kriteria dalam pendekatan ini menekankan beberapa aspek antara lain
materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan
logika, penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru dan siswa, pemikiran
subjektif, mendorong dan menginspirasi siswa berfikir secara kritis, analistis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran, mendorong dan menginspirasi siswa mampu berfikir hipotetik dalam
melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran,
mendorong dan menginspirasi siswa, mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berfikir yang rasional dan objektif, berbasis pada konsep, teori, dan
fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut (Siswono, 2005), Problem Based Learning adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang dimulai dengan mengajukan masalah dan dilanjutkan dengan
menyelesaikan masalah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah itu menurut (Ha Roh,
2008), peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk menemukan solusinya
(Nugroho, Chotim, & Dwijanto, 2013, p. 50). Masalah tersebut dapat meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang di dalamnya mencakup kemampuan berfikir
analitis. Menurut filsuf dan pendidik (John Dewey, 1938) bahwa “masalah adalah stimulus
untuk berpikir” (Miller, 2004).
PBL atau biasa disebut kepentingkan pendidikan tingkat tinggi (Sherwood, 2004)
mengacu pada pendekatan pembelajaran yang berfokus pada proses pemecahan masalah
dengan yang peserta didik memperoleh pengetahuan yang diperlukan. PBL adalah metode
pembelajaran di mana siswa belajar dengan inspirasi, pemikiran kelompok, dan
menggunakan informasi terkait. Untuk mencoba untuk memecahkan masalah baik yang
nyata maupun hipotetis, siswa dilatih untuk mensintesis pengetahuan dan keterampilan
sebelum mereka menerapkannya ke masalah (Kuan-nien, Lin, & Chang, 2011).
Menurut (Erik dan Annete, 2003) bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu
pendekatan pendidikan dimana masalahnya adalah titik awal dari proses pembelajaran.
Jenis masalah tergantung pada organisasi tertentu. Biasanya, masalah didasarkan pada
masalah kehidupan nyata yang telah dipilih dan diedit untuk memenuhi tujuan pendidikan
dan kriteria. (Graaff & Kolmos, 2003). Beberapa proses yang pembelajaran yang terlibat
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan, bersama-sama dengan kemampuan

Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

41
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

setiap individu untuk kemudian diterapkan pada aplikasi kehidupan (Downing, Ning, &
Shin, 2011).
Sejalan dengan pendapat di atas, PBL mengacu pada pendekatan pembelajaran yang
berfokus pada proses pemecahan masalah dengan memperoleh pengetahuan yang
diperlukan. PBL adalah metode pembelajaran dimana siswa belajar dengan inspirasi,
pemikiran kelompok, dan menggunakan informasi terkait. Untuk mencoba memecahkan
masalah baik yang nyata maupun hipotetis, siswa dilatih untuk mensintesis pengetahuan
dan keterampilan sebelum mereka menerapkannya pada masalah (Chen, Lin, & Chang,
2011).
Menurut (Perez dan Uline, 2003)., PBL bermanfaat untuk mempersiapkan para
pemimpin sekolah dengan berkontribusi terhadap kemampuan berfikir analitis dan strategis
mereka (Schechter, 2011). Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan untuk
penataan kurikulum yang melibatkan menghadapi siswa dengan masalah dari praktek yang
memberikan stimulus untuk belajar (Gijbels, Dochy, Bossche, & Segers, 2005). Menurut
(Barrows, 2002; Cleveland, 2006) model ini mendorong siswa untuk menggunakan
pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Werth, 2009).
Model PBL mempunyai perbedaan penting dengan pembelajaran penemuan. Pada
pembelajaran penemuan didasarkan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin ilmu dan
penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru dan terbatas dalam ruang
lingkup kelas, sedangkan Problem Based Learning (PBL) dimulai dengan masalah
kehidupan nyata yang bermakna dimana siswa mempunyai kesempatan dalam memilih dan
melakukan penyelidikan apapun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu
diperlukan untuk memecahkan masalah. Tujuan PBL adalah pembelajaran jangka panjang
yang menghasilkan perubahan perilaku dan penguasaan bukan hanya konseptual (Brownell
& Jameson, 2004) untuk menghasilkan solusi (Wirkala & Kuhn, 2011). Menurut (Gallow,
2001), PBL mendorong siswa untuk aktif dalam kegiatan diskusi dan memecahkan
masalah yang diberikan (Asyari, Al Muhdhar, & Ibrohim, 2016).
Berikut ini merupakan siklus manajemen pembelajaran berbasis masalah (Cockerill,
Stewart, Hamilton, Douglas, & Gold, 1996), yakni:

Concrete Experience
(Situation Analysis)

Active Experimentatation Reflective Observation


(Implementation Analysis) (Problem Analysis)

Abstract Conceptualization
(solution analysis)

Gambar 1 Siklus Manajemen Pembelajaran Berbasis Masalah

Siswa dengan demikian menyadari proses untuk mengelola pembelajaran sebagai


masalah yang harus dipecahkan dan proses yang harus dilaluinya. Dalam hal ini guru
memfasilitasi siswa untuk bekerja mandiri maupun kelompok untuk menganalisis masalah
dan memecahkannya berdasarkan informasi yang telah mereka gali dari berbagai sumber
yang relefan.
Menurut (Creedy dan Hand, 1995), kemandirian dan pembelajaran kelompok adalah
dua karakteristik dari PBL dengan refleksi diri sebagai komponen penting dalam proses

Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

42
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

belajarnya. PBL mengharuskan pelajar mengadopsi perubahan pola pikir dari


ketergantungan guru untuk kemandirian (Yeo, 2005).

METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimental research atau
penelitian eksperimen semu dengan teknik observasi. Bentuk desain kuasi eksperimen
yang dipilih adalah Nonequivqlenty Control Group Design, maksudnya dalam pelaksanaan
penelitian, peneliti akan menggunakan dua kelompok intak. Kelompok intak adalah
kelompok-kelompok subyek yang ada yang akan ditetapkan sebagai kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut akan diberikan pre test dan post test yang
sama. Pada kelas eksperimen diberikan treatment dengan menerapkan model Problem
Based Learning (PBL), yaitu pada kelas XI AP 4, dan kelas kontrol diberikan treatment
dengan menerapkan model Guide Discovery Learning, yaitu pada kelas XI AP 2.
Dalam penelitian ini data diperoleh dalam bentuk tes. “Tes adalah serentetan
pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau
kelompok.” (Arikunto, 2010:193). Bentuk soal tes yang digunakan berbentuk soal uraian
yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan berfkir analitis siswa pada
kompetensi dasar membuat rencana pertemuan atau rapat. Instrumen tes ini digunakan
untuk melakukan pre test dan post test. Tes tersebut dilakukan di dua kelas yang berbeda
kelas eksperimen yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dan kelas
kontrol yang menggunakan model Guide Discovery Learning.
Data yang didapatkan digunakan untuk mengukur kemampuan berfikir analitis siswa.
Data tersebut didapat dari tes akhir (post test) setelah diberi perlakuan. Hasil post test
siswa dinilai dengan menggunakan kriteria penilaian yang sudah ditetapkan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Uji validitas yang menyatakan 10 butir soal valid, lalu soal tersebut diberikan kepada
kelas eksperimen dan kelas kontrol sebagai soal pre test. Rata-rata hasil pre test yang
diperoleh oleh kelompok eksperimen adalah sebesar 50,85. Sedangkan untuk kelompok
kontrol rata-rata hasil pretest sebesar 51,09. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan awal
kedua kelompok adalah homogen.
Post test diberikan kepada siswa pada akhir proses pembelajaran di pertemuan ke
enam (pertemuan terakhir). Adapun post test ini dilakukan untuk melihat adanya
peningkatan kemampuan berfikir analitis siswa setelah dilakukan treatment. Rata-rata hasil
post test yang diperoleh kelompok eksperimen adalah sebesar 82,82, sedangkan untuk
kelompok kontrol yaitu sebesar 74,60.
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah suatu distribusi data normal atau
tidak. Pengujian normalitas menggunakan uji liliefors pada setiap kelompoknya. Hasil dari
uji normalitas pre test kelompok eksperimen didapat nilai Dhitung = 0,09016, dan nilai
Dtabel pada α = 0,05 sebesar 0,15195. Dengan demikian nilai Dhitung ˂ Dtabel (0,09016
˂ 0,15195). Hasil ini menunjukkan bahwa data variabel berdistribusi normal. Sedangkan
hasil uji normalitas pre test untuk kelompok kontrol didapat nilai Dhitung = 0,06607 dan
nilai Dtabel pada α = 0,05 sebesar 0,14976. Maka nilai Dhitung ˂ Dtabel (0,06607 ˂
0,14976). Hasil ini menunjukkan bahwa data variabel berdistribusi normal.
Selanjutnya uji normalitas juga digunakan untuk hasil post test. Hasil uji normalitas
post test untuk kelas eksperimen didapat nilai Dhitung = 0,07780, dan nilai Dtabel pada α
= 0,05 sebesar 0,14009. Dengan demikian nilai Dhitung ˂ Dtabel (0,07780 ˂ 0,14009).
Hasil ini menunjukkan bahwa data variabel berdistribusi normal. Sedangkan hasil uji
normalitas post test untuk kelas kontrol didapat nilai Dhitung = 0,11373 dan nilai Dtabel
Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

43
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

pada α = 0,05 sebesar 0,14976. Maka nilai Dhitung ˂ Dtabel (0,11373 ˂ 0,14976). Hasil
ini menunjukkan bahwa data variabel berdistribusi normal.
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui akurasi serta kepercayaan terhadap
data. Pengujian homogenitas dengan menggunakan uji Liliefors test, pengujian
homogenitas dilakukan pada hasil pre test untuk membuktikan bahwa skor setiap variabel
memiliki varians yang homogen. Adapun hasil uji homogenitas didapat Fhitung = 1,009967
dan Ftabel = 1,777407. Sehingga dapat disimpulkan F hitung (Fh) < F tabel (Ft), maka
kedua kelas dinyatakan homogen.
Uji Homogenitas juga dilakukan pada data post test, adapun hasil uji homogenitas
tersebut didapat Fhitung = 1.025804309dan Ftabel = 1.777406943. Dapat disimpulkan F
hitung (Fh) < F tabel (Ft), maka kedua kelas dinyatakan homogen. Perhitungan skor Gain
diperoleh dari selisih skor tes awal (pre-test) dengan skor tes akhir (post-test). Adapun
hasil perhitungan skor gain pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat dari
gambar berikut:
Tabel 1 Skor Gain Kelas Eksperimen

NILAI N TOTAL SKOR SMI %


Pre Test 34 1729 3400 50.85
Post Test 34 2816 3400 82.82

Berdasarkan data pada tabel di atas, maka perhitungan sebagai berikut:

. . .
G= = .
= .
= 0.644557 (Sedang)
Keterangan :
G : Skor Ternormalisasi
Sf : Skor Post Test (%)
Si : Skor Pre Test (%)
100 : Skor Maksimal Ideal (SMI)

Berdasarkan hasil perhitungan di atas bahwa didapat skor gain kelompok di kelas
eksperimen sebesar 0.644557 dan termasuk ke dalam klasifikasi skor gain sedang.
Tahapan selanjutnya untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan berfikir analitis
siswa di kelas eksperimen yang telah dihitung menggunakan N-gain tersebut signifikan
atau tidak, maka dilakukan uji beda menggunakan rumus t-Test (Two Sample Equal
Variances) dalam Software Microsoft Excel 2010. Hasil perhitungan t-Test (Two Sample
Equal Variances) adalah t = 12.26691083 > t = 1.668270514.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa di kelas
eksperimen terdapat peningkatan kemampuan berfikir analitis yang signifikan. Sedangkan
perhitungan skor gain di kelas kontrol yakni sebagai berikut:

Tabel 2 Skor Gain Kelas Kontrol

NILAI N TOTAL SKOR SMI %


Pre Test 35 1788 3400 52.59
Post Test 35 2611 3400 76.79

Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

44
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

Berdasarkan data pada tabel di atas, maka perhitungan sebagai berikut:

. . .
G= = = = 0.5104408 (Sedang)
. .
Keterangan :
G : Skor Ternormalisasi
Sf : Skor Post Test (%)
Si : Skor Pre Test (%)
100 : Skor Maksimal Ideal (SMI)

Berdasarkan hasil perhitungan di atas bahwa didapat skor gain kelompok di kelas
eksperimen sebesar 0.5104408 dan termasuk ke dalam klasifikasi skor gain sedang.
Tahapan selanjutnya untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan berfikir analitis
siswa di kelas eksperimen yang telah dihitung menggunakan N-gain tersebut signifikan
atau tidak, maka dilakukan uji beda menggunakan rumus t-Test (Two Sample Equal
Variances) dalam Software Microsoft Excel 2010. Hasil perhitungan t-Test (Two Sample
Equal Variances) adalah t = 9.2325301 > t = 1.66757228. Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa di Kelas kontrol terdapat
peningkatan kemampuan berfikir analitis yang signifikan.
Pengujian hipotesis adalah langkah terakhir dalam penghitungan penelitian kali ini.
Hasil pengujian hipotesis adalah:

Tabel 3 Hasil Uji-t Data Hipotesis

No Kelas thitung ttabel Keterangan


1 Eksperimen 2.97376806 Terdapat
1,667916 perbedaan
2 Kontrol

Taraf kepercayaan pada penelitian ini sebesar 95% atau ɑ = 0,05. Dari tabel di atas
dapat diketahui bahwa hasil thitung > ttabel = 2.97376806 > 1,667916 sehingga baik kelas
eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
maupun kelas kontrol yang menggunakan model Guide Discovery Learning terdapat
perbedaan peningkatan kemampuan berfikir analitis siswa.
Erik dan Annete (2003) mengemukakan bahwa PBL merupakan salah satu model
pembelajaran dengan cara memberikan persoalan kepada peserta didik, sehingga peserta
didik mampu menggali informasi, menganalisis, dan memecahkan masalah yang disajikan.
Pengertian PBL menurut Dutch (dalam Amir, 2009:27) adalah metode intruksional yang
menuntut siswa agar belajar bekerjasama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi
masalah yang nyata. Masalah digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan,
kemampuan analisis, dan inisiatif siswa terhadap materi pelajaran. PBL mempersiapkan
siswa untuk berpikir kritis dan analitis, dan menggunakan sumber belajar yang sesuai.
Pada pertemuan pertama proses pembelajaran, guru dan peserta didik mengalami
kendala pada beberapa tahapan. Seperti kendala ketika guru membimbing siswa untuk
merefleksi proses penyelesaian masalah dan hasilnya. Tahapan tersebut terlewatkan oleh
guru dikarenakan pengaturan waktu yang kurang terorganisir sehingga beberapa tahapan
terlewatkan. Kendala selanjutnya adalah pada kegiatan penutup, guru seharusnya
Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

45
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

memberikan umpan balik terhadap hasil pembelajaran juga menginformasikan


pembelajaran selanjutnya, Faktor penyebab sebagian tahapan tidak terlaksana sesuai RPP
terjadi karena, baik guru maupun siswa masih sama-sama beradaptasi dengan model
Problem Based Learning (PBL). Selain itu faktor lain yang mendukung adalah kurangnya
manajemen waktu yang tepat sesuai scenario pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Dari kendala pada tahapan model Problem Based Learning (PBL). yang terpaparkan
di atas, pada kenyataan di lapangan guru cukup cepat dan mudah beradaptasi mengikuti
setiap tahapan. Hal ini dikarenakan model Problem Based Learning (PBL). cukup familiar
dengan model yang biasa diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran khususnya pada
Kurikulum 2013. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada peserta didik, dapat
disimpulkan bahwa model Based Learning (PBL). menarik dan tidak jauh berbeda dengan
proses pembelajaran yang biasa mereka lakukan di Kelas.
Pada kelas kontrol proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model
pembelajaran Guide Discovery Learning. Menurut Menurut Joolingen (dalam Rohim, dkk.,
2012:2), Guide Discovery Learning adalah suatu tipe pembelajaran dimana siswa
membangun pengetahuan mereka sendiri dengan mengadakan percobaan dan menemukan
prinsip dari hasil percobaan tersebut.
Hal-hal yang menjadi kendala guru dan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
menggunakan model Guide Discovery Learning ini seperti pada tahap siswa untuk
melakukan pemeriksaan terhadap hasil penyelesaian masalahnya. Pada tahapan ini siswa
tidak melaksanakannya dikarenakan guru belum menginformasikan atau memerintahkan
siswa untuk melakukan tahapan ini. Selain itu kondisi kelas yang kurang kondusif
membuat waktu terbuang sia-sia, Hal ini pula yang menyebabkan guru tidak sepenuhnya
melaksanakan tahapan pada tahap penutupan.
Hal ini terjadi pada pertemuan pertama proses pembelajaran menggunakan model
pembelajaran penemuan terbimbing dengan materi baru yaitu membuat rencana pertemuan
atau rapat. Namun pada pertemuan-pertemuan selanjutnya guru dan siswa lebih dapat
bekerja sama dalam melaksanakan setiap tahapan berdasarkan sintaks model pembelajaran
Guide Discovery Learning. Hal ini ditunjukan dari presentase keaktifan guru dan peserta
didik yang semakin meningkat.

KESIMPULAN
Model Problem Based Learning (PBL) memiliki pengaruh signifikan terhadap
peningkatan kemampuan berfikir analitis siswa pada Kompetensi Dasar Membuat Rencana
Pertemuan atau Rapat di Kelas XI SMK. Dengan demikian implikasi hasil kajian tersebut
adalah bahwa upaya meningkatkan kemampuan berfikir analitis dapat dilakukan melalui
penerapan model Problem Based Learning (PBL). Untuk itu perlu kiranya hasil kajian
tersebut dapat dipertimbangkan penerapannya dalam pembelajaran-pembelajaran yang
lebih komprehensif oleh para guru di Kelas.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta, Indonesia:
Rineka Cipta.
Arnold, R. D., & Wade, J. P. (2015). A Definition of Systems Thinking: A Systems
Approach. Procedia Computer Science, 44(1), 669 – 678.
Art-in, S. (2015). Current Situation and Need in Learning Management for Developing the
Analytical Thinking of Teachers in Basic Education of Thailand. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 197(1), 1494–1500.

Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

46
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

Asyari, M., Al Muhdhar, M. H., & Ibrohim, H. S. (2016). Improving Critical Thinking
Skills Through The Integration of Problem Based Learning And Group
Investigation. International Journal for Lesson and Learning Studies, 5(1), 36-44.
Baumfield, V., & Oberski, I. (1998). What do Teachers Think about Thinking Skills?
Quality Assurance in Education, 6(1), 44-51.
Behl, D. V., & Ferreira, S. (2014). Systems Thinking: An Analysis of Key Factors and
Relationships. Procedia Computer Science, 36(1), 104-109.
Brownell, J., & Jameson, D. A. (2004, October). Problem-Based Learning In Graduate
Management Education: An Integrative Model and Interdisciplinary Application.
Management Education, 28(5), 558-577.
Chen, K.-n., Lin, P.-c., & Chang, S.-S. (2011). Integrating Library Instruction Into A
Problem Based Learning Curriculum. Aslib Proceedings, 63(5), 517-532.
Cockerill, S., Stewart, G., Hamilton, L., Douglas, J., & Gold, J. (1996). The International
Management of Change: a Problem Based Learning/Case Study Approach.
Education and Training, 38(2), 14-17.
Downing, K., Ning, F., & Shin, K. (2011). Impact of Problem-Based Learning on Student
Experience and Metacognitive Development. Multicultural Education &
Technology Journal, 5(1), 55-69.
Eckman, M., & Frey, D. K. (2005). Using the WebCT NAFTA Program to Promote
Analytical Thinking and Global Awareness Competencies Through a Team
Approach. International Textile & Apparel Association, 23(4), 278-289.
Gijbels, D., Dochy, F., Bossche, P. V., & Segers, M. (2005). Effects of Problem-Based
Learning: A Meta-Analysis From the Angle of Assessment. 75(1), 27–61.
Graaff, E. D., & Kolmos, A. (2003). Characteristics of Problem-Based Learning. Int. J.
Engng Ed., 19(5).
Haryati, M. (2008). Model dan Teknik Penilaian Pada Tingkatan Satuan Pendidikan.
Jakarta, Indonesia: Gaung Persada Press.
Kao, C. Y. (2014). Exploring the Relationships Between Analogical, Analytical, and
Creative Thinking. Thinking Skills and Creativity, 13(1), 80–88.
Krathwohl, D. R., & Anderson, L. W. (2001). A taxonomy for learning, teaching,
andassessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New
York: Longman.
Kuan-nien, C., Lin, P.-c., & Chang, S.-S. (2011). Integrating Library Instruction Into a
Problem Based Learning Curriculum. Aslib Proceedings, 63(5), 517-532.
Lane, D. C., B, E. M., & Husemann, E. (2016). Blending Systems Thinking Approaches
for Organisational Analysis: Reviewing Child Protection in England. European
Journal of Operational Research, 251(1), 613–623.
Leverenz, C. S. (2014). Design Thinking and the Wicked Problem of Teaching Writing.
Computers and Composition, 33(1), 1–12.
Leveson, N. G. (2011). Applying systems thinking to analyze and learn from events .
Safety Science, 49(1), 55–64.
Miller, J. S. (2004). Problem-Based Learning In Organizational Behavior Class: Solving
Students’ Real Problems. Management Education , 28(5), 578-590.
Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

47
Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016

Mirzaei, F., Phang, F. A., & Kashefi, H. (2014). Measuring Teachers Reflective Thinking
Skills. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 141(1), 640–647.
Nugroho, I. A., Chotim, M., & Dwijanto. (2013). Keefektifan Pendekatan Problem Based
Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik. Unnes Journal
Mathematics of Education, 2(1), 49-54.
Pennycook, G., Fugelsang, J. A., & Koehler, D. J. (2015). Everyday Consequences of
Analytic Thinking. Current Directions in Psychological, 24(6), 425–432.
Puangtong, & Petchtone. (2014). The Development of Instructional Model Integrated with
Thinking Skills and Knowledge Constructivism for Undergraduate Students.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 116(1), 4283–4286.
Razali, M., Jantan, R., & Hashim, S. (2007). Psikologi Pendidikan. Malaysia: PTS
Professional.
Roberts, J. P., Fisher, T. R., Trowbridge, M. J., & Bent, C. (2016). A Design Thinking
Framework for Healthcare Management and Innovation. Healthcare, 4(1), 11–14.
Santhitiwanicha, A., Pasipholb, S., & Tangdhanakanondc, K. (2014). The Integration of
Indicators of Reading, Analytical Thinking and Writing Abilities with Indicators of
Subject Content. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 116(1), 4854 – 4858.
Schechter, C. (2011). Switching Cognitive Gears. Educational Administration, 49(2), 143-
165.
Sherwood, A. L. (2004). Problem-Based Learning In Management Education: A
Framework For Designing Context. Management Education, 28(5), 536-557.
Werth, E. P. (2009). Student Perception of Learning Through A Problem-Based Learning
Exercise: An Exploratory Study. Policing: An International Journal of Police
Strategies & Management, 32(1), 21-37.
Winarti. (2015, Mei). Profil Kemampuan Berpikir Analisis dan Evaluasi Mahasiswa
Dalam Mengerjakan Soal Konsep Kalor. Jurnal Inovasi dan Pembelajaran Fisika,
2(1), 19-24.
Wirkala, C., & Kuhn, D. (2011, October). Problem-Based Learning in K–12 Education: Is
it Effective and How Does it Achieve its Effects? American Educational Research
Journal, 48(5), 1157–1186.
Yeo, R. (2005). Problem-Based Learning: Lessons for Administrators, Educators and
Learners. International Journal of Educational Management, 19(7), 541-551.

Copyright © 2016, EISSN xxxx-xxxx

48
HASIL REVIEW JURNAL

1. Nama Jurnal : Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran


2. Judul Artikel : Upaya Meningkatkan Kemampuan Berfikir Analitis Melalui Model
Problem Based Learning (PLB)
3. Volume : 11 Halaman
4. Penulis : Asrani Assegaff , Uep Tatang Sontani
5. Tahun Terbit : 2016

NO ASPEK ISIAN

Upaya Meningkatkan Kemampuan Berfikir Analitis Melalui Model


1 Judul
Problem Based Learning (PLB)

Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan


berfikir analitis siswa di sekolah, salah satunya dengan Model Problem
Pokok utama
Based Learning (PBL), bahwa PBL telah banyak dipahami sebagai
2 latar belakang
manfaat bagi mempersiapkan para pemimpin sekolah dengan
permasalahan
berkontribusi terhadap kemampuan berfikir analitis dan strategis
mereka.

PBL berkontribusi baik bagi para guru maupun siswa untuk


Solusi yang
3 meningkatkan kemampuan berfikir analitis dan strategi dalam
ditawarkan
pembelajaran.

Rumusan Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan


4
masalah kemampuan berfikir analitis siswa di sekolah?

Kemampuan Berfikir Analitis Menurut (Gurol, 2011), di era modern ini


cara berfikir seseorang dalam proses pembelajaran banyak melibatkan
metakognisi, berfikir kritis, analitis, dan kreatif (Mirzaei, Phang, &
Kashefi, 2014) juga proses inovasi (Roberts, Fisher, Trowbridge, &
Bent, 2016). Penerapkan sistem berfikir membutuhkan informasi yang
beragam melalui penyelidikan (Leveson, 2011). Kemampuan berfikir
merupakan pendekatan dan program usaha untuk mengembangkan
kemampuan tingkat tinggi bidang kognitif dan menekankan pada
pentingnya interaksi sosial dengan orang dewasa serta teman sebaya
yang berperan sebagai mediator pengalaman. (Baumfield & Oberski,
5 Kajian Pustaka 1998).
Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Menurut (Siswono,
2005), Problem Based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang dimulai dengan mengajukan masalah dan dilanjutkan dengan
menyelesaikan masalah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah itu
menurut (Ha Roh, 2008), peserta didik memerlukan pengetahuan baru
untuk menemukan solusinya (Nugroho, Chotim, & Dwijanto, 2013, p.
50). Masalah tersebut dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa yang di dalamnya mencakup kemampuan berfikir analitis.
Menurut filsuf dan pendidik (John Dewey, 1938) bahwa “masalah
adalah stimulus untuk berpikir” (Miller, 2004).

1
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimental research
6 Metodologi
atau penelitian eksperimen semu dengan teknik observasi.

Hasil kajian menunjukan bahwa terjadi peningkatan kemampuan berfikir


analitis yang signifikan antara kelas eksperimen yang menggunakan
model Problem Based Learning (PBL) dengan kelas kontrol yang
7 Pembahasan menggunakan model Guide Discovery Learning. Namun, perolehan
rata-rata skor kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas
kontrol. Artinya, sekolah dapat menerapkan model Problem Based
Learning (PBL) untuk meningkatkan kemampuan berfikir analitis siswa.

Model Problem Based Learning (PBL) memiliki pengaruh signifikan


terhadap peningkatan kemampuan berfikir analitis siswa pada
Kompetensi Dasar Membuat Rencana Pertemuan atau Rapat di Kelas XI
8 Kesimpulan
SMK. Dengan demikian implikasi hasil kajian tersebut adalah bahwa
upaya meningkatkan kemampuan berfikir analitis dapat dilakukan
melalui penerapan model Problem Based Learning (PBL).

2
DAFTAR PUSTAKA

https://restudesriyanti.wordpress.com/2017/03/10/problem-based-learning
http://iqbalpgrismg.blogspot.com/2012/12/makalah-pbl-problem-based-
learning.html
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/prosidingsnf/article/view/5496

Anda mungkin juga menyukai