Anda di halaman 1dari 32

PENANGANAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA MELALUI PENDEKATAN


RESTORATIVE JUSTICE DI ACEH

PROPOSAL DISERTASI
WAHYU IBRAHIM
(2103301010010)

Untuk Memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum


pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU


HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH

2021
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................... ..........1

B. Perumusan Masalah. .............................................................. 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 9

D. Kegunaan Penelitian .............................................................. 9

E. Keaslian Penelitian................................................................. 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi .............................................. 10

a. Kerangka Teori ............................................................. 10

b. Kerangka Konsepsi ....................................................... 20

G. Metode Penelitian. ............................................................... 22

1. Spesifikasi Penelitian .................................................... 22

2. Metode Pendekatan. ...................................................... 22

3. Alat Pengumpulan Data ................................................ 23

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ............ 24

5. Analis Data.................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kejahatan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan


yang sangat tajam, hasil analisis Kepolisian Negara Republik Indonesia atas
tingginya angka kejahatan tersebut salah satu disebabkan oleh krisis ekonomi yang
melanda hampir seluruh daerah di Indonesia, dengan kejadian ini, para produsen,
distributor dan konsumen memanfaatkan situasi ini untuk memperbesar dan mencari
keuntungan dalam peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Aceh.1
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang ibu kotanya berada di Banda
Aceh. Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai
daerah istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus. Aceh terletak di ujung
utara pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Pasal 1 Angka
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam menyebutkan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam adalah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Otonomi khusus diberikan agar Pemerintahan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh memiliki kewenangan yang luas dalam hal menjalankan pemerintahan
sendiri terutama dalam hal penanganan penyalahgunaan narkotika di Aceh.
Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Aceh menyatakan peredaran dan
penyalahgunaan narkoba di provinsi ini tetap marak meski dalam kondisi pandemi
COVID-19. Oleh sebab itu, semua pihak tak boleh lengah dalam memberantas

1
Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Jakarta: Genta
Publishing, 2014, halaman 1.
peredaran barang haram tersebut.2 Kejahatan narkotika dan psikotrapika merupakan
kejahatan kemanusiaan yang berat, yang mempunyai dampak luar biasa, khususnya
generasi muda suatu bangsa. Kejahatan narkotika merupakan kejahatan lintas negara,
karena penyebaran dan perdagangan gelapnya, dilakukan dalam lintas batas negara.
Kaitannya dengan negara Indonesia, sebagai negara hukum bahwa perlu ada
penanganan khusus penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan Restorative Justice
di Aceh.
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi
hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap
negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu
supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before
the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum
(due process of law).3
Sebagai negara hukum, Pemerintah harus konsisten dan professional
melakukan penanganan terhadap penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan
restorative justice di Aceh. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara
4
Republik Indonesia berdasarkan hukum (rechtstaat ) tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtstaat). Hal ini berarti Indonesia adalah Negara Hukum yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjungjung tinggi Hak
2
https://news.detik.com/berita/d-5729087/bnn-peredaran-narkoba-di-aceh-tak-kunjung-surut-
meski-pandemi-covid-19, terakhir diakses Selasa tanggal 14-12-2021.
3
Akhmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam
Bidang Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, halaman 12.
4
Rechtstaat yang merupakan sebuah konsep Negara hukum yang berasal dari pemikiran
Eropa continental awalnya dipinjam dari hukum Jerman, yang dapat diterjemahkan sebagai "legal
state", "state of law", "state of justice", or "state of rights" dimana pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan yang dibatasi oleh hukum, lihat Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty,
Chicago, USA: University of Chicago Press, 1960, halaman 199. Seperti pendapatnya, Frederich
Stahlmengungkapkan setidaknya terdapat 4 unsur dari Rechtstaat, yaitu: Jaminan terhadap Hak Asasi
Manusia, Adanya pembagian kekuasaan, Pemerintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan,
Adanya Peradilan Administrasi Negara yang berdiri sendiri (independent), lihat Adi Sulistiyono,
Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, Surakarta : UPT Penerbitan dan
Percetakan UNS (UNS Press) , 2008, halaman 32.

4
Asasi Manusia (HAM) dan menjamin semua warganegara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
hukum dengan tidak ada kecualinya.5
Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang krusial bagi sebuah
bangsa. Persoalan yang muncul memiliki dampak yang sangat masif bagi segala
aspek kehidupan manusia. Masalah kesehatan bukan satu-satunya menjadi perhatian
bagi kita terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, namun
juga dampak sosial terhadap penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu aspek
yang tidak bisa disepelekan. Menurut data yang terhimpun oleh BNN sepanjang tahun
2020.Bahaya narkotika menjadi suatu ancaman global yang serius, sehingga perlu ada
penanganan dalam pencegahannya. Pecandu Narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan pada
narkotika, baik secara fisik maupun nonfisik.
Perkembangan yang ada saat ini menunjukkan terjadinya kecenderungan
perubahan yang kuat dalam memandang para pecandu narkotika yang tidak lagi
dilihat sebagai pelaku tindak kriminal, namun sebagai korban yang harus diberi
empati dengan cara penaganan melalui rehabilitasi melalui pendekatan Restorative
Justice di Aceh. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaaan di bidang
penuntutan, maka Jaksa sebagai aparat penegak hukum melakukan penanganan
terhadap perkara pidana penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan keadilan
Restorative Justice. Kejaksaan memiliki kewenangan menyelesaikan perkara tindak
pidana penyalahgunaan narkotika dalam hal penuntutan dengan cara rehabilitasi.
Jaksa penuntut umum yang memeriksa pecandu narkotika menjalani pengobatan
dan/atau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak
pidana dapat menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba
sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana. Penyalahguna narkotika
yang telah terbukti bersalah dan diputuskan oleh hakim untuk menjalani pidana di

5
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 1.

5
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, dalam undang-undang narkotika bahwa
terhadap narapidana narkotika dilakukan perawatan maka di Lembaga
Pemasyarakatan melaksanakan hal tersebut sebagai bagian dari pembinaan di Aceh.
Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar
sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan melibatkan korban, pelaku,
keluarga korban dan pelaku, masyarakat, serta pihak-pihak yang berkepentingan
dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan
penyelesaian. Restorative justice dianggap cara berpikir baru dalam memandang
sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang manusia. Konsep restorative
justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan
melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai suatu
pengrusakan norma hukum.6
Berkaitan erat dengan restorative justice, Muladi mengungkapkan secara rinci
tentang ciri-ciri restorative justice sebagai berikut:7
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap
orang laindan dipandang sebagai konflik;
2. Fokus perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban
dankewajiban untuk masa mendatang;
3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
4. Restitusi sebagai saran para pihak, rekonsialisasi, dan
restorasimerupakan tujuan utama;
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan antara hak dinilai atas
dasarhasil;
6. Fokus perhatian terarah pada perbaikan luka sosial akibat kejahatan;
7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative
justice;
8. Peran korban dan pelaku diakui baik dalam penentuan masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Perlu
didorong untuk bertanggungjawab;
9. Pertanggungjawaban pelaku dirumuskan sebagai dampak

6
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009, halaman 23.
7
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Anak, Semarang: Universitas
Diponegoro, 1995, halaman 129.

6
pemahaman atas perbuatannya dan diarahkan untuk ikut
memutuskan yang terbaik;
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral,
sosial, dan ekonomis; dan
11. Stigma dapat dihapus melalui restorative justice.

Berdasarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian


Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi
dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis
dilakukan oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum melakukan penyelesaian penanganan
perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan
pendekatan restorative dalam rangka melaksanakan asas dominus litis Jaksa sebagai
pengendali perkara.
Setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan
yang lengkap dari Penyidik dan menerima penyerahan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti (tahap 2), Penuntut Umum segera menentukan apakah berkas
perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan berdasarkan asas dominus litis.
Jenis dan Persyaratan Rehabilitasi Melalui Proses Hukum
1. Rehabilitasi melalui proses hukum terdiri dari:
a. Rehabilitasi medis; dan
b. Rehabilitasi social
2. Terhadap tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 127 ayat (1)
UU Narkotika, dapat dilakukan rehabilitasi melalui proses hukum
sebagaimana dimaksud pada angka 1.
3. Tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 127 ayat (1) UU
Narkotika sebagaimana dimaksud pada angka 2, dikualifikasikan
sebagai penyalah guna terdiri atas:
a. Penyalahguna narkotika (vide Pasal 1 angka 15 UU Narkotika);
b. Korban penyalahgunaan narkotika (vide Penjelasan Pasal 54
UU Narkotika); atau
c. Pecandu Narkotika (vide Pasal 1 angka 13 UU Narkotika)
4. Persyaratan rehabilitasi melalui proses hukum bagi penyalah guna
sebagaimana dimaksud pada angka 3 yaitu:
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensic,
tersangka positif menggunakan narkotika;

7
b. Berdasarkan hasil penyidikan dengan menggunakan metode
know your suspect, tersangka tidak terlibat jaringan peredaran
gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir (end user);
c. Tersangka ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti
narkotika yang tidak melebihi jumlah pemakaian 1 (satu) hari;
d. Berdasarkan hasil asesmen terpadu, tersangka dikualifikasikan
sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika,
atau penyalahguna narkotika,
e. Tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah
menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali, yang didukung
dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau
lembaga yang berwenang; dan
f. Ada surat jaminan tersangka menjalani rehabilitasi melalui
proses hukum hukum dari keluarga atau walinya.
5. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf e dikecualikan
untuk korban, penyalahgunaan narkotika dan pecandu narkotika. 8

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang


diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan pengaturan yang
bertujuan untuk memberantas tindak pidana narkotika. Pemaknaan pemberantasan
tindak pidana narkotika di dalam undang-undang tersebut tidak hanya mengacu pada
aspek penghukuman akan tetapi juga termasuk pengobatan dan pencegahan. Hal
tersebut dapat dilihat dalam uraian dibawah ini, yaitu:
1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam aspek
penghukuman dimana hal tersebut tercermin dengan pasal-pasal tindak
pidana narkotika yang memuat hukuman pidana. Hal tersebut tercantum
mulai Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.9

8
BAB IV Penuntutan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan
Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan
Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis.
9
Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, halaman
45. Pengaturan dalam undang-undang tersebut membagi pelaku tindak pidana narkotika kedalam 3
(tiga) jenis, yaitu:
a. Pelaku utama,
b. Pelaku peserta,
c. Pelaku pembantu.

8
2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam aspek
pencegahan dimana hal tersebut tercermin dalam peran masyarakat dalam
pemberantasan dan penyalahgunaan narkotika. Peran serta masyarakat
yang dikehendaki undang- undang narkotika, yaitu:4
a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum
atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e. Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan
melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

3. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam aspek


pengobatan dimana hal tersebut tercermin dalam bahwa dokter dapat
melakukan pengobatan menggunakan narkotika untuk pasien sesuai
dengan undang-undang berlaku dan pasien yang mana narkotika
merupakan obat baginya diperkenankan untuk memiliki dan menyimpan.
Proses tersebut disebut rehabilitasi.Rehabilitasi medis hanya dapat
dilakukan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh
menteri dan rehabilitasi sosial dilakukan oleh instansi pemerintah maupun
masyarakat.10
4. Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di atas
menjadi petunjuk jelas terkait sikap yang harus diambil terhadap
penyalahguna narkotika. Artinya, seorang pecandu atau penyalahguna
narkotika kecenderungannya ialah dilakukan rehabilitasi terhadap dirinya.
Rehabilitasi yang dimaksud didalam SEMA maupun Pasal 127 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan hasil dari
putusan majelis hakim. Artinya, majelis hakim yang memimpin
persidangan harus memberikan pertimbangan yang cukup sesuai dengan
fakta persidangan dan alat bukti sehingga dapat diberikan atau dijatuhi
putusan rehabilitasi. Merujuk hal tersebut jika dilihat dalam putusan ini

10
Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, Bandung: Pustaka Setia, 2012. halaman 188-189.

9
maka sudah seharusnya majelis hakim seharusnya menjatuhkan putusan
rehabilitasi terhadap terdakwa.

Dengan demikian, dalam rangka upaya menuntaskan persoalan tindakan


kejahatan penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika perlu untuk dilakukan
perbaikan kembali perangkat hukum yang ada demi tercapainya cita-cita hukum itu
sendiri sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh masyarakat, bangsa dan negara
khususnya di Aceh. Perlu adanya realisasi dalam penanganan terhadap
penyalahgunaan narkotika di Aceh. Jaksa selaku pengendali perkara berdasarkan asas
dominus litis dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan
narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan. Penyelesaian penanganan
perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi merupakan
mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan restorative justice, dengan
semangat memulihkan keadaan semula yang dilakukan dengan memulihkan pelaku
tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime.
Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika
melalui rehabilitasi dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan
kemanfaatan (doelmatigeheid), serta mempertimbangkan asas peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan, asas pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium),
cost and benefit analysis, dan pemulihan pelaku.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun
penelitian dalam bentuk disertasi dengan judul “Penanganan terhadap
Penyalahgunaan Narkotika Melalui Pendekatan Restorative Juctice di Aceh”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk penanganan terhadap penyalahgunaan narkotika melalui
pendekatan Restorative Juctice di Aceh.

10
2. Bagaimana pengawasan terhadap penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan
Restorative Juctice di Aceh.
3. Bagaimana mekanisme yang dilakukan penuntut umum melakukan penyelesaian
penanganan terhadap penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan Restorative
Juctice di Aceh.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam disertasi ini sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menemukan bentuk penanganan terhadap penyalahgunaan
narkotika melalui pendekatan Restorative Juctice di Aceh.
2. Untuk mengkaji dan menemukan pengawasan terhadap penyalahgunaan narkotika
melalui pendekatan Restorative Juctice di Aceh.
3. Untuk mengkaji dan menemukan mekanisme yang dilakukan penuntut umum
melakukan penyelesaian penanganan terhadap penyalahgunaan narkotika melalui
pendekatan Restorative Juctice di Aceh.
D. Kegunaan Penelitian
Ada dua kegunaan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini yaitu bersifat
teoritis dan bersifat praktis.
1. Secara Teoritis
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbang pemikiran di
bidang hukum yang berkaitan dengan penanganan terhadap penyalahgunaan
narkotika melalui pendekatan Restorative Juctice serta aplikasinya sesuai
dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang dan disamping itu juga
dapat memberikan masukan akademisi dan praktisi mengenai penanganan
terhadap penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan Restorative Juctice di
Aceh.
2. Secara Praktis

11
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara praktis sebagai
bahan acuan untuk mengetahui bentuk penanganan, pengawasan serta
mekanisme yang dilakukan penuntut umum dalam penyelesaian penanganan
terhadap penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan Restorative Juctice di
Aceh.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan judul dari disertasi yang ada di perpustakaan
Universitas Syah Kuala khususnya di Program Doktor Ilmu Hukum dan dilakukan
penelusuran di situs-situs resmi Perguruan Negeri lainya, penelitian tentang
“Penanganan terhadap penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan Restorative
Juctice di Aceh” ini memiliki keaslian dan tidak dilakukan plagiat dari penelitian lain.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep


1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
disertasi mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.11 Kerangka Teori dalam penelitian hukum sangat
diperlukan untuk membuat jelas oleh postulat-postulat hukum sampai kepada
landasan filosofi yang tertinggi. 12 Karena teori hukum berbicara bagaimana hukum
ada bukan bagaimana hukum semestinya ada.13
Kerangka teoritis dalam penelitian mempunyai beberapa kegunaan, dimana
mencakup hal-hal, sebagai berikut:14
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

11
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, halaman 27.
12
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, halaman, 254.
13
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Nusa
Media, 2011, halaman. 1.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, halaman 121.

12
2. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti.
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor
tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian. Artinya, teori hukum
harus dijadikan dasar dalam memberikan deskripsi atau penilaian apa yang
seharusnya memuat hukum. Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan
peristiwa hukum yang terjadi. Teori hukum dalam penelitian berguna sebagai pisau
analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam
masalah penelitian.15 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada
metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.16
Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional
penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya
memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.17
Kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan

sebagai berikut :18

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih


mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji

15
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, halaman 146.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005,
halaman 6.
17
Kaelan MS, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Paradigma Bagi Pengembangan
Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum Dan Seni),
Yogyakarta: Paradigma, 2005, halaman 239.
18
Soerjono Soekanto, Op.Cit, halaman 121.

13
kebenarannya.
b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi
fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan
definisi-definisi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang
diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang,
oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan
mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa
mendatang.

Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di

dalam penelitian ini ialah teori tujuan hukum dan teori pemidanaan. Uraian

teori-teori tersebut, sebagai berikut:

a. Tujuan hukum

Van Apeldoorn mengemukakan, tujuan hukum adalah untuk


mengatur tata tertib masyarakat secara adil dan damai. Rodolf von Ihering
berpendapat, tujuan hukum adalah alat untuk menjaga keseimbangan
antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat (balance of
interst).19 Gustav Radbruch mengutarakan 3 (tiga) ide dasar tujuan hukum,
sebagai berikut:20

1) Keadilan merupakan adalah nilai kebajikan yang paling legal (the


most legal of virtues).21 Artinya, keadilan berisi sebuah tuntutan
agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan
kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih
kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan

19
Saiful Anwar Dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Medan:
Gema, 2004, halaman 6.
20
Ibid, halaman 7.
21
Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Digadaikan, Medan: Usu
Press, 2008, halaman 13.

14
hak dan kewajibannya.
2) Kemanfaatan dapat pula disamakan dengan kata kebahagiaan
(happiness).
Artinya, keberadaan hukum bertujuan untuk menjamin adanya
kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada orang sebanyak-
banyaknya.22
3) Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu: pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
atau dilakukan oleh negara terhadap individu.23 Artinya, kepastian
hukum keberadaannya ingin mencapai keadilan dan kebahagiaan.24
Keberadaan ketiga tujuan hukum di atas dapat digunakan untuk
membangun pola hukum yang sehat didalam masyarakat. Tujuan
hukum, berhasil atau tidak maka tidak akan sama penilaiannya antara
sesama manusia didalam masyarakat namun yang layak jadi patokan
keberhasilan tujuan hukum ialah porsi penempatan dari tujuan hukum
tersebut.

b. Teori Pemidanaan
Teori kedua yang digunakan ialah pemidanaan yang merupakan
hasil yang hendak dicapai hakim dalam menjatuhkan putusan

22
Amiruddin & Zainuddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, halaman 24.
23
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
halaman 23.
24
Achmad Ali (I), Menguak Teori Hukum (Legal Teory) Dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legalprudence), Jakarta: Kencana,
2009, halaman 82-83.

15
pengadilan. Hukum pidana mengenal setidak-tidaknya ada 5 (lima)
teori tentang pemidanaan, yakni teori pembalasan, teori tujuan dan teori
gabungan. Ketiga teori yang dimaksud ialah sebagai berikut :

1) Teori pembalasan atau absolut

Teori pembalasan atau absolut dikenal juga dengan teori


retributif. Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana
pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Tujuan
pemidanaan dilepaskan

Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan


atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan
dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya
mempunyai sebuah tujuan,yakni pembalasan.

Menurut Remmelink, teori retributif atau teori pembalasan


dapat dikatan sama tuanya dengan awal pemikiran tentang pidana.25
Ciri khas dari ajaran absolut atau retributif, terutama menurut Kant
dan Hegel ialah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana
sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun
membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk.26

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori


retributif, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran
pembenaran sebagai berikut:27

25
Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP
Belanda Dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993),
halaman 600.
26
Abul Khair Dan Muhammad Eka Putra, Pemidanaan, Medan: Usu Press, 2011, halaman 31.
27
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi, Bandung: Mandar
Maju, 1994, halaman 83-84.

16
a) Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas
dendam si korban, baikperasaan adil bagi dirinya, temannya,
maupun keluarganya.Perasaan ini tidak dapatdihindari dan
tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai
hukum. Tipe aliranretributif ini disebut vindicative;

b) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada


pelaku kejahatan dananggota masyarakat yang lainnya bahwa
setiap perbuatan yang merugikan orang lainatau
memperoleh keuntungan

dari orang lain secara tidak wajar, maka akan


menerimaganjarannya.Tipe aliran retributif ini disebut fairness;

c) Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya


kesebandingan antara beratnyasuatu pelanggaran dengan
pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini
disebutproportionality.

Teori pembalasan atau retributif dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu


:28

1) Teori pembalasan subjektif adalah pembalasan terhadap


kesalahan pelaku
2) Teori pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap apa yang
telah diciptakan pelaku di dunia luar.
Berdasarkan uraian di atas maka teori pembalasan atau
absolut atau retributif dalam hukum pidana merupakan tuntutan

28
Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita,
1993, halaman 26.

17
mutlak harus ada disebabkan dilakukannya tindak pidana karena
pada hakikatnya pidanamerupakan pembalasan.

2) Teori relatif atau teori tujuan

Teori relatif menyebutkan, dasar suatu pemidanaan ialah


pertahanan tata tertib masyarakat, oleh sebab itu maka yang menjadi
tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah (prevensi)
agar kejahatan tidak terulang lagi sehingga pidana dijatuhkan bukan
semata- mata karena telah dilakukannya kejahatan, melainkan
harus dipersoalkan

pula manfaat suatu pidana dimasa depan baik bagi penjahat maupun
masyarakat.29 Teori relatif, bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi
agar orang jangan melakukan kejahatan.

Teori relatif dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :30


1) Prevensi umum (generale preventie) bertujuan untuk
menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar.
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah
untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan
penjahat, dengan demikian pelaku kejahatan tidak akan
melakukan tindak pidana.
2) Prevensi khusus (speciale preventie) bertujuan menghindarkan
agar pembuat (dader) tidak melanggar. Prevensi khusus

29
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1987, halaman 34.
30
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958, halaman 157.

18
menekankan bahwa tujuan pidana dimaksudkan agar
narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi dengan
demikian narapidana dididik dan diperbaiki agar menjadi
anggota masyarakat yang baik dan berguna.

Teori relatif memiliki ciri-ciri atau karakteristik sebagai


berikut :31
1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi)
2) Pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana
mencapaitujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan
masyarakat.
3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat
dipersalahkankepada si pelaku saja yang memenuhi syarat
untuk adanya pidana.
4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat
untukpencegahan kejahatan.

5) Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur


pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.

3) Teori gabungan

Tokoh teori gabungan ini adalahPallegrino Rossi (1787-


1848), dalam bukunya yang berjudul “Traite de Droit
Penal”menyatakan bahwa pembenaran pidana terletak pada

31
Ibid.

19
pembalasan dan hanya orang yangbersalah yang boleh dipidana.
Pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan kejahatanyang
dilakukan, sehingga beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya
kejahatan yangdilakukan.32

Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori


absolut dan teori relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain
pembalasan kepada pelaku juga dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.33 Teori gabungan
diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut maupun teori
relatif dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak.34

Keberatan teori gabungan terhadap teori absolut dan teori


relatif karena kedua teori memiliki kelemahan-kelemahan.
Kelemahan-kelemahan kedua teori,yakni :35
a) Kelemahan teori absolut ialah menimbulkan ketidakadilan
karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan
bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak
harus negara yang melaksanakan.
b) Kelemahan teori relatif ialah dapat menimbulkan
ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat
dijatuhi hukuman berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika
tujuannya untuk memperbaiki masyarakat dan mencegah

32
Mahmud Mulyadi (I), Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakan
Hukum Pidana Indonesia, Medan: Karya Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006,
halaman 7-8.
33
Mahmud Mulyadi Dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010, halaman 98.
34
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lekture Mahasiswa, 1998. halaman 64.
35
Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum
Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, halaman 11-12.

20
kejahatan dengan menakut-nakuti sulitdilaksanakan.

4) Treatment
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh
aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas
diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya.
Namun, pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk
memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari
penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan
bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga
membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan(rehabilitation).36
Aliran positifmelihat kejahatan secara empiris dengan
menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di
lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini
beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang
melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena
manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh
berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun
faktor lingkungan. Oleh karena itu, pelaku kejahatan tidak dapat
dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan
(treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikansipelaku.37
5) Perlindungan sosial (social defence)
Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang
setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica,
yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan
36
Mahmud Mulyadi (I), Op.Cit, halaman 8.
37
Ibid, halaman 9.

21
Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social
defenceini (Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi
dua aliran, yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang
moderat (reformis).38

Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh


F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against
punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatika berpendapat
bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum
pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan
sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”.39
Pandangan Moderatdipertahankan oleh Marc Ancel
(Perancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale
Nouvelle” atau “New Social Defence” atau “Perlindungan Sosial
Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya
tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak
hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi
sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada
umumnya.Olehkarena itu, perananyang besar darihukum pidana
merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem
hukum.40
Merujuk dari uraian teori tujuan pemidanaan di atas maka
yang tepat digunakan pada penelitian ini ialah treatment. Hal itu
disebabkan karena pada hakikatnya penerapan hukuman bagi
pecandu narkotika atau

38
Ibid.
39
Ibid, halaman 10-11.
40
Ibid, halaman 9.

22
penyalahguna narkotika bukanlah berupa penjara atau denda akan
tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)
kepada pelakukejahatan sebagai pengganti dari hukuman.

2. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan konsep yang digunakan peneliti. Konsep diartikan sebagai
kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang
khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.41 Pentingnya definisi
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian penafsiran
mendua dari suatu istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan untuk
memberikan arah pada proses penelitian ini. Adapun kerangka konsepsi dalam
penelitian ini sebagai berikut :
a. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, penggarapan.42
b. Narkotika adalah adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
43
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
c. Restorative Justice adalah Restorative justice merupakan proses
penyelesaian yang dilakukan di luar Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, pendukung korban,

41
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, halaman 3.
42
KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/penanganan, terakhir diakses Selasa tanggal
14-12-2021.
43
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor: 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

23
pendukung pelaku dan masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan
dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan
penyelesaian. Restorative justice dianggap cara berfikir/paradigma baru
dalam memandang sebuah tindakan kejahatan yang dilakukan oleh
seorang manusia. Konsep restorative justice mempunyai pengertian dasar
bahwa kejahatan mereupakan sebuah tindakan melawan orang atau
masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai suatu
44
pengrusakan norma hukum. Restorative justice (keadilan restoratif)
adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan
masyarakat dan korban yang dirasa tersisih dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.45
d. Aceh/Provinsi Nangroe Aceh Darussalam adalah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.46 Aceh adalah daerah provinsi yang
merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,yang dipimpin oleh seorang Gubernur.47

G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian

44
Allison Morris dan C. Birelle Maxwell dalam Ibid., halaman 45.
45
Eva Achjani Zulfa, Op. Cit.
46
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
47
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.

24
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
hukum yang mempergunakan sumber data sekunder yang penekanannya pada teoritis
dan analisis kualitatif yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi
dokumen.48 Pada penelitian sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat
merupakan bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tertier.
Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum
dan penelitian terhadap perbandingan hukum. Tetapi dalam hal ini penulis hanya
melakukan penelitian normatif yang menitikberatkan kajian pada asas-asas hukum
dan sinkronisasi hukum dari jenis-jenis penelitian hukum normative.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya
menggambarkan dengan menganalisis suatu keadaan atau gejala, baik pada tataran
hukum positif tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen)
dan memecahkan permasalahan hukum berkaitan dengan Penanganan terhadap
Penyalahgunaan Narkotika melalui pendekatan Restorative Justice di Aceh.

2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
49
a. Pendekatan Perundang-undangan, dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang terkait penyalahgunaan narkotika dan relugasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang diketengahkan.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach), 50 dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan penanganan terhadap penyalahgunaan
narkotika melalui pendekatan Restorative Justice di Aceh.

48
Lihat Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil law & Socialist Law,
diterjemahkan Narulita Yusron, Nusa Bangsa Jakarta, 2010, halaman 28.
49
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2008, halaman 93.

25
c. Pendekatan Konseptual (Copceptual Approach), 51 dilakukan dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,
yang akan menemukan ide-ide yang dapat melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan
perlindungan hukum terhadap korban tindak langsung atas putusan tindak
pidana korupsi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan mengambil

beberapa data/putusan di Direktorat Mahkamah Agung terkait dengan

Penanganan Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Melalui Pendekatan

Restorative Justice Di Aceh.

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dan dikumpulkan

berdasarkan data yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan peneliti

menyangkut. Penanganan Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Melalui Pendekatan

Restorative Justice Di Aceh. Untuk memperoleh data yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti, dilaksanakan tahap penelitian dengan cara studi

kepustakaan. Studi kepustakaan ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep, teori-

50
Ibid, halaman 94.
51
Ibid, halaman 95.

26
teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan

pokok permasalahan.52 Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-

undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini lebih menitikberatkan kepada analisis

metode kualitatif123 karena dengan memakai metode ini dapat mengambarkan

fenomena-fenomena yang terdapat didalam proses penegakan hukum pidana

serta aplikasinya di tengah-tengah masyarakat.

Metode pendekatan kualitatif ini prosedur pemecahannya menggunakan

metode deskriptif, karena menitikberatkan pada permasalahan yang diselidiki

dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (orang, lembaga,

masyarakat, dll) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.

Pendekatan kualitatif landasan penekanannya pada pola tingkah laku

manusia yang dilihat dari frame of reference si pelaku itu sendiri, jadi individu

sebagai aktor sentral perlu dipahami dan merupakan satuan analisis serta

menempatkannya sebagian dari suatu keseluruhan (holistik), sehingga

penelitian kualitatif ini lebih menekankan deduktif, dan induktif serta

analisisnya terhadap dinamika hubungan antara fenomena yang diamati dengan

52
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Panduan Penulisan Skripsi, Tesis
dan Disertasi, Medan: Sofmedia, 2015, halaman 126.

27
menggunakan metode ilmiah.

28
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan

dalam Bidang Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

________Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002

Amiruddin & Zainuddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.


Raja Grafindo Persada, 2004.

Anwar, Saiful Dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara,


Medan: Gema, 2004.

Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi, Bandung:


Mandar Maju, 1994.

Cruz, Peter de, Perbandingan Sistem Hukum : Common Law, Civil law &

Socialist Law, diterjemahkan Narulita Yusron, Nusa Bangsa Jakarta,

2010.

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi,

Yogyakarta: Genta Publishing, 2014.

, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Panduan Penulisan

Skripsi,Tesis dan Disertasi, Medan: Sofmedia, 2015

Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.


Hamzah, Andi, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993.

Hartanty, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lekture Mahasiswa, 1998.

Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka


PembangunanHukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.

Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,

Bandung: Nusa Media, 2011.

Khair, Abul Dan Muhammad Eka Putra, Pemidanaan, Medan: Usu Press, 2011.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Makaro, Moh. Taufik, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi


dan Restorative Justice, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta,2005.

Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Digadaikan,


Medan: Usu Press, 2008.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Anak, Semarang:


Universitas Diponegoro, 1995.

Mulyadi, Mahmud Dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap
Kejahatan Korporasi, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010.
,

30
MS, Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Paradigma Bagi
Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya,
Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum Dan Seni), Yogyakarta: Paradigma,
2005.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari KUHP Belanda Dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Di Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1987.


,,,

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Raja Graafindo Persada, Jakarta,


1998.

Syahrani, Riduan,Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti,1999.

Utrecht, E., Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958.

Yamin, Muhammad, Tindak Pidana Khusus, Bandung: Pustaka Setia, 2012.

B. Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana .

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

AcaraPidana.

31
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 11 tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh.

C. Internet

https://news.detik.com/berita/d-5729087/bnn-peredaran-narkoba-di-aceh-tak-
kunjung-surut-meski-pandemi-covid-19, terakhir diakses Selasa tanggal 14-12-
2021.

KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/penanganan, terakhir diakses Selasa

tanggal 14-12-2021

32

Anda mungkin juga menyukai