Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
PENDAHULUAN ........................................................................................ iii
A. Sinergi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis .................. 1
B. Aplikasi PJ dan SIG untuk Analisis Potensi Air Tanah .......................... 4
C. Aplikasi PJ dan SIG untuk Mitigasi Bencana Banjir ............................... 7
D. Aplikasi PJ dan SIG untuk Perhitungan Erosi ......................................... 9
E. Aplikasi PJ dan SIG untuk Kajian Kekeringan ........................................ 11
F. Aplikasi PJ dan SIG untuk Kajian Perencanaan Wilayah Permukiman .... 14
G. Aplikasi PJ dan SIG untuk Kajian Kesehatan .......................................... 19
RANGKUMAN ............................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 22

ii
BIDANG KAJIAN :
Perpetaan, Penginderaan Jauh, dan Sistem Informasi Geografis

MODUL 4 : PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM


INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PEMBANGUNAN

PENDAHULUAN
Penginderaan jauh dan sistem informasi geografis telah banyak
diaplikasikan dalam berbagai bidang pembangunan pada saat ini. Penginderaan
jauh dan SIG memiliki kemampuan yang dapat saling melengkapi. Kombinasi
dari kedua metode ini terbukti memiliki kemampuan yang handal dan
memberikan hasil yang baik dalam berbagai kajian. Modul ini menjelaskan
tentang sinergi metode penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, aplikasi
untuk kajian air tanah, mitigasi bencana banjir, erosi, kekeringan, perencanaan
wilayah permukiman, dan kesehatan.

PETUNJUK BELAJAR
1. Bacalah modul ini sebaik-baiknya dengan cermat
2. Jika diperlukan saudara boleh mencari informasi tambahan sesuai dengan
materi dalam modul ini
3. Setelah membaca kerjakan latihan soal pada bagian akhir modul ini. Saudara
harus mendapatkan skor minimal 70. (minimal 7 soal harus dijawab dengan
benar)
4. Jika belum tuntas dalam belajar modul ini, jangan beralih ke modul
berikutnya

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Dalam substansi keilmuan, setiap guru geografi wajib menguasai
pengetahuan geografi yang setara dengan pengetahuan geografi yang dikuasai
oleh Sarjana Geografi.

iii
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
Peserta memiliki pengetahuan tentang sinergi metode penginderaan jauh
dan sistem informasi geografis, aplikasi untuk kajian air tanah, mitigasi bencana
banjir, erosi, kekeringan, perencanaan wilayah permukiman, dan kesehatan.

iv
URAIAN MATERI : PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PEMBANGUNAN

A. Sinergi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Sejak lahir manusia memahami dan mengenal lingkungan sekitarnya dengan


pandangan mata. Manusia mengenal adanya berbagai obyek dengan melakukan
pengamatan. Berbagai kejadian alam yang terjadi teramati dalam batas-batas
pandangan visualnya. Pengenalan lingkungan melalui amatan-amatan visual ini
telah berlangsung berabad-abad.Metode pengenalan terhadap lingkungan berdasar
pada amatan visual tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan terutama terkait
dengan luas area amatannya. Kejadian-kejadian seperti perubahan luas tutupan
vegetasi, perubahan luas penggurunan, perubahan tutupan es, ataupun
penggundulan hutan tidak teramati dengan baik melalui pengamatan secara
langsung.

Pada awal kemunculannya, penginderaan jauh muncul dengan data-data


analog yang bersifat lokal seperti foto-foto udara. Data ini membuka wawasan
tentang pentingnya informasi spasial yang seakurat mungkin dengan kondisi
senyatanya. Informasi melalui udara ini berkembang dengan dukungan dari
perkembangan teknologi dirgantara seperti pesawat terbang, roket, dan satelit.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh selanjutnya melahirkan data-data citra
dalam berbagai tingkat resolusi spasial, spektral, radiometrik dan temporal.
Potensi aplikasi dari data-data citra penginderaan jauh itu tidak terbendung pada
berbagai bidang. Walaupun tentu saja bukan berarti penginderaan jauh tidak
memiliki kekurangan, namun data penginderaan jauh mampu memberikan
informasi spasial yang luas. Melalui data-data penginderaan jauh multi temporal
dapat dihasilkan pembandingan informasi spasial dari satu waktu dengan waktu
yang lain. Data penginderaan jauh seperti foto udara dan citra satelit dapat
meningkatkan akurasi dan kecepatan analisa terhadap berbagai. Penginderaan jauh
pada saat ini bukan hanya sekedar suatu fenomena teknis, tetapi telah berkembang
menjadi suatu bagian penting dalam memahami berbagai permasalahan perubahan
lingkungan (Adams, 2006).

1
Penginderaan jauh modern diawali dengan diluncurkannya satelit Landsat
Multispectral Scanner System (MSS) pada tahun 1972 (Schowengerdt, 2007).
Satelit ini memiliki empat saluran dengan lebar spektral sekitar 100 nm, dan
resolusi spasial 80 meter. Peluncuran satelit ini mengawali sistem penginderaan
jauh sistem satelit digital. Perkembangan selanjutnya terjadi peningkatan yang
signifikan terutama dalam pemotongan rentang spektral untuk setiap saluran citra.
Satelit hyperspectral seperti MODIS memiliki jumlah saluran sebanyak 36 band.
Dengan kemampuannya tersebut, satelit dapat diaplikasikan dalam banyak hal.
Kemampuan satelit ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal yang bersifat
spasial.

Sebagian besar dari aplikasi data penginderaan jauh dimanfaatkan untuk


pengelolaan sumberdaya. Perkembangan teknologi satelit berresolusi tinggi
selanjutnya memungkinkan pengenalan sifat fisik dan bentuk obyek dipermukaan
bumi secara individual juga dapat dilakukan.Satelit penginderaan jauh yang
banyak dimanfaatkan selama ini merupakan satelit yang menggunakan sistem
optis. Penginderaan jauh sistem optis ini memanfaatkan spektrum tampak hingga
infra merah (Liang, 2004). Rentang gelombang elektromagnetik yang lebih luas
dalam penginderaan jauh meliputi gelombang pendek mikro hingga spektrum
yang lebih pendek seperti gelombang infra merah, gelombang tampak, dan
gelombang ultra violet (Elachi, 2006).

Pengolahan data-data citra penginderaan jauh dalam berbagai aplikasi


tersebut memanfaatkan berbagai perangkat lunak sistem informasi geografis.
Sistem informasi geografis ini memberikan berbagai teknik pengolahan dan
analisis data spasial termasuk data-data penginderaan jauh. Teknik overlay atau
tumpang susun data spasial adalah teknik yang sangat sering diaplikasikan dalam
kajian lingkungan. Teknik overlay banyak diaplikasikan dalam analisis yang
mendasarkan pada data vektor. Teknik overlay pada data raster dilakukan dengan
menggunakan proses aritmetik matematis. Proses aritmetik matematis dalam
kajian tersebut dimanfaatkan sebagai kesamaan dengan proses overlay dalam data
vektor. Proses overlay dan aritmetik matematis ini ditujukan untuk menghasilkan

2
data spasial baru hasil paduan dari beberapa data spasial masukan. Teknik
pemilihan fitur diaplikasikan untuk tujuan klasifikasi spasial berdasar parameter
tertentu seperti dilakukan oleh Solomon dan Quiel (2008), Croskrey dan Groves
(2008). Teknik pemilihan fitur pada umumnya dilakukan sebagai klasifikasi awal
pada layer tunggal. Proses ini dilakukan untuk memberikan nilai bobot dari
masing-masing fitur. Teknik ini banyak dilakukan dalam analisis berbasis data
vektor.

Penginderaan jauh dan sistem informasi geografis pada akhirnya merupakan


satu metode yang sering digunakan secara bersama-sama. Kemampuan yang
dimiliki oleh penginderaan jauh dan sistem informasi geografis saling mengisi dan
melengkapi ketika digunakan secara bersama-sama. Sinergi dari penginderaan
jauh dan sistem informasi geografis terbukti memberikan hasil yang baik untuk
pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan data spasial. Penginderaan jauh
memiliki kelebihan dalam penyediaan data-data citra dengan berbagai resolusi.
Sementara itu sistem informasi geografis memiliki kekuatan dalam pengolahan
data-data spasial baik vektor maupun raster. Sinergi kedua metode ini melahirkan
wawasan baru dalam pengembangan metode ilmiah khususnya dalam bidang ilmu
kebumian. Perkembangan metodologi penginderaan jauh dan SIG saat ini bahkan
telah diaplikasikan dalam kajian-kajian ilmu sosial dan kesehatan.

Kemampuan yang dimiliki oleh penginderaan jauh dan sistem informasi


geografis tersebut mampu menjadi satu kekuatan yang saling bersinergi.Hingga
saat ini penginderaan jauh telah diaplikasikan untuk keperluan pengelolaan
lingkungan, ekologi, degradasi lahan, bencana alam, hingga perubahan iklim
(Horning, 2004).Xiao dkk (2009) menyatakan bahwa teknologi penginderaan jauh
dan sistem informasi geografis dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola
bentang lahan dan menganalisis proses-proses ekologis yang terjadi pada berbagai
pola bentang lahan karst tersebut. Cakupan perekaman yang luas, banyaknya
saluran dan periode ulang perekaman yang cepat memungkinkan proses
monitoring terhadap lingkungan karst secara cepat, akurat, berkesinambungan dan
relatif murah dibandingkan metode lain (Hung dkk, 2005; Newman dkk, 2011).

3
B. Aplikasi PJ dan SIG untuk Analisis Potensi Air Tanah
Aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis yang berkaitan
dengan air tanah diantaranya dilakukan oleh Leblanc dkk (2003) dan Solomon
dan Quiel (2008). Leblanc dkk (2003) membangun model spasial untuk
mengidentifikasi area masukan (recharge) dan keluaran (discharge) air tanah.
Data yang digunakan adalah peta-peta tematik dan data penginderaan jauh. Data
penginderaan jauh yang digunakan adalah data citra AVHRR/LAC dan citra
thermat Meteosat. Kedua data penginderaan jauh ini digunakan untuk merekam
pancaran termal dari lingkungan air dan tidak berair. Dasar asumsi yang
digunakan adalah terdapat perbedaan nilai termal antara tubuh air dengan perairan
basah di sekitarnya. Hasil observasi menunjukkan adanya perbedaan secara nyata
antara area yang berair dengan tidak berair.Teknik digitasi digunakan untuk
pembentukan peta digital dari peta-peta analog. Model memanfaatkan metode
perbandingan data antar waktu untuk mengetahui fluktuasi dari air permukaan.
Analisis ini menunjukkan area tutupan air seperti pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Rona gelap ditunjukkan area tubuh air dan area perairan bervegetasi
pada saluran thermal citra AVHRR/LAC dan Meteosat (sumber : Leblanc dkk, 2003)

Gambar 1. menunjukkan sebaran area bertutupan air dan perairan


bervegetasi. Area tubuh air dan area perairan bervegetasi nampak lebih gelap
dibandingkan area lahan kering. Area yang cerah adalah area lahan kering diluar
tubuh air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model ini mampu memperjelas
lokasi masukan (recharge) dan keluaran (discharge) air tanah pada basin tersebut.

4
Lokasi recharge ditunjukkan dengan area dengan yang secara temporal selalu
gelap.

Solomon dan Quiel (2008) melakukan kajian terkait air tanah karst dengan
memanfaatkan penginderaan jauh, sistem informasi geografis dan observasi
lapangan. Analisis didasarkan pada data-data raster yang berasal dari data
penginderaan jauh, DEM, dan data lapangan. Data penginderaan jauh sebagai data
dasar yang digunakan adalah citra mutispektral Landsat TM dan SPOT 5. Citra ini
digunakan untuk pemetaan litologi dan kelurusan. Prosedur PCA diaplikasikan
untuk mereduksi dimensionalitas dan meningkatkan isi informasi dari citra
Landsat TM. Perentangan kontras model Gaussian digunakan untuk
meningkatkan kontras citra. Metode ini aplikasikan untuk mempertajam
visualisasi data citra. Peta litologi diinterpretasi dari seluruh citra tersebut dengan
dibantu dengan data observasi lapangan dan dimasukkan pada sistem informasi
geografis. Kelurusan diinterpretasi secara visual dari citra-citra tersebut, dan
digitasi secara interaktif melalui layar komputer berbantuan perangkat lunak SIG.

Gambar 2. Hasil interpretasi litologi berdasar data citra Landsat TM.


(Sumber : Solomon dan Quiel, 2008)

5
Gambar 2. merupakan hasilinterpretasi terhadap data citra penginderaan
jauh yang memberikan informasi variasi jenis batuan. Interpretasi citra
penginderaan jauh tersebut berhasil mempetakan kondisi litologi di daerah
penelitian. Kondisi litologi ini dapat petakan dengan akurasi yang tinggi.
Interpretasi kelurusan menghasilkan peta kelurusan seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil interpretasi kelurusan berdasar citra PJ


(Sumber : Solomon dan Quiel, 2008)

Gambar 3 merupakan contoh hasil interpretasi kelurusan berdasar data citra


penginderaan jauh. Berdasar pada peta kelurusan tersebut dapat diketahui arah dan
panjang rata-rata kelurusan. Bentukan struktural dihasilkan dari observasi
lapangan dengan menggunakan kompas. Data-data tersebut dikelompokkan
berdasar jenis batuan yang ada dan dicatat posisi geografisnya. Analisis
dilanjutkan dengan membentuk model spasial dengan mendasarkan pada teknik
pembobotan atau harkat. Kajian ini menunjukkan bahwa keberadaan air tanah
berkaitan dengan adanya kelurusan yang besar dan fitur-fitur struktural. Hasil
analisis lokasi mata air yang dioverlay dengan peta kelurusan menunjukkan
bahwa kelurusan dengan arah utara-selatan berasosiasi dengan tingginya potensi
air tanah dan dapat digunakan sebagai target utama dalam eksplorasi air tanah di
lokasi penelitian ini. Berdasar temuan-temuan ini, disimpulkan bahwa

6
pemanfaatan data penginderaan jauh, SIG dan observasi lapangan ini merupakan
metode yang berdaya guna untuk studi eksplorasi air tanah dengan akurasi yang
dapat diterima.

C. Aplikasi PJ dan SIG untuk Mitigasi Bencana Banjir

Banjir adalah bencana yang sering terjadi dan memberikan dampak yang
dapat merusak pada kehidupan manusia ataupun lingkungan. Potensi banjir akan
terus meningkat sejalan dengan semakin sempitnya lahan penyerap air permukaan
dan memburuknya sistem drainase. Perubahan iklim yang terjadi secara global
meningkatkan potensi terhadap kejadian banjir.Sistem informasi geografis dan
data penginderaan jauh banyak dimanfaatkan dalam kajian mitigasi bencana
banjir. Ouma dan Tateishi (2014) menggunakan sistem informasi geografis
mengkaji banjir perkotaan dengan dasarkondisi topografi dan morfometri lahan
perkotaan. Kondisi tersebut diurai menjadi parameter elevasi, kemiringan lereng
(slope), tanah, curah hujan, jaringan drainase, dan penggunaan lahan.Data-data
tersebut selanjutnya oleh Ouma dan Tateishi (2014) dianalisis melalui prosedur
AHP melalui perangkat sistem informasi geografis.

elevasi

slope

tanah kriteria fisik

curah hujan

jaringan
drainase
Peta kerentanan
penggunaan kriteria sosio banjir perkotaan
lahan ekonomis

luas area pembatas


studi kasus

Gambar 4. keterkaitan parameter dalam pemetaan kerentanan banjir perkotaan


(Sumber : Ouma dan Tateishi, 2014)

7
Keterkaitan parameter dalam kajian ini terkait kriteria fisik dan sosio
ekonomis ditunjukkan seperti pada Gambar 4. Parameter tersebut dinilai sebagai
parameter yang penting dan memberikan pengaruh terhadap kejadian banjir
perkotaan. Data parameter elevasi, slope dan jaringan drainase diturunkan dari
data DEM. Perkembangan pada saat ini, model elevasi digital dapat diturunkan
dari data penginderaan jauh seperti citra satelit ASTER dan SRTM.

Elevasi dan slope memiliki peran yang penting terhadap kejadian banjir.
Ketinggian tempat tidak memungkinkan terjadinya genangan. Genangan akan
terjadi pada titik-titik yang memiliki elevasi rendah. Informasi lokasi yang
memiliki elevasi rendah dapat diidentifikasi melalui data model elevasi digital
(DEM).Beda tinggi tempat menghasilkan kekasaran permukaan lahan. Lahan
yang memiliki kekasaran tinggi lebih memungkinkan terjadinya infiltrasi
dibandingkan permukaan yang halus. Infiltrasi mengurangi potensi jumlah air
yang jatuh menjadi air larian permukaan lahan. Slope berperan terhadap kontrol
kecepatan air larian permukaan, arah larian, dan jumlah air larian permukaan dan
bawah permukaan yang sampai ke lokasi banjir. Slope yang landai merupakan
kondisi yang lebih peka terhadap banjir. Jenis tanah memiliki peran yang besar
terhadap kemampuan infiltrasi. Tanah pasir memiliki kemampuan infiltrasi yang
tinggi dibandingkan dengan tanah lempung. Seperti disebutkan di muka, bahwa
infiltrasi akan mengurangi jumlah air larian permukaan yang akan menjadi banjir.
Curah hujan merupakan faktor utama penyebab banjir. Curah hujan dengan
intensitas yang tinggi akan secara langsung memicu terjadinya banjir. Kepadatan
jaringan drainase memberikan peran terhadap tingkat erosi permukaan pada lahan.
Dengan demikian semakin tinggi tingkat kepadatan drainase akan memberikan
potensi yang lebih tinggi terhadap hilangnya tanah permukaan. Kehilangan tanah
permukaan akan mengurangi kemampuan infitrasi, terutama jika telah mencapai
lapisan batuan dasar. Penggunaan lahan dan penutup lahan juga merupakan satu
kontrol terhadap stabilitas tanah dan infiltrasi. Penutupan vegetasi memiliki
kemampuan yang lebih besar dalam menahan air permukaan dan meningkatkan
infiltrasi dibandingkan lahan dengan terbangun.

8
Hasil perhitungan dan analisis menggunakan AHP dan sistem informasi
geografis menunjukkan sebaran area kerentanan dan risiko bencana banjir dengan
akurasi yang tinggi. Perpaduan metode ini menghasilkan informasi potensi banjir
dengan cepat dan mendekati fakta yang sebenarnya. Berdasar kondisi ini,
perpaduan metode AHP dalam sistem informasi geografis sangat berpotensi untuk
kajian mitigasi bencana banjir.

D. Aplikasi PJ dan SIG untuk Perhitungan Erosi

Erosi lahan merupakan tanah merupakan ancaman lingkungan yang utama


terhadap keberlangsungan dan kemampuan produktivitas pertanian sebagai akibat
berkurangnya jumlah lahan yang produktif. Evaluasi tingkat erosi tanah
dipengaruhi oleh faktor curah hujan, tanah, tutupan lahan, dan topografi. Aplikasi
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk perhitungan erosi ini di
contohkan oleh Kefi dkk (2011) yang mengaplikasikan model RUSLE dengan
menggunakan data penginderaan jauh dan metode sistem informasi geografis.
Data penginderaan jauh yang digunakan adalah citra Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer Enhanced Vegetation Index (MODIS-EVI). Citra ini
berupa citra multi temporal yang digunakan untuk identifikasi dinamika tutupan
vegetasi. Data penginderaan jauh yang lain adalah citra ASTER GDEM. Data
citra ASTER GDEM ini dimanfaatkan untuk memperoleh data kemiringan lereng
dan panjang lereng di daerah penelitian.

Parameter yang digunakan adalah parameter dari model RUSLE, yaitu


curah hujan (R), tutupan vegetasi (C), pengelolaan (P), erodibilitas (K) dan
parameter kemiringan lereng dan panjang lereng (LS). Parameter curah hujan
diturunkan dari data curah hujan. Parameter tutupan vegetasi diturunkan dari data
citra MODIS EVI. Indeks EVI dipilih untuk meningkatkan sensibilitas data citra
pada area yang memiliki tutupan vegetasi jarang. Pemanfaatan dari indeks ini juga
ditujukan untuk meminimalisir gangguan atmosferik yang mungkin terjadi di
daerah penelitian. Parameter erodibilitas diperoleh dari peta tanah. Peta tanah
dibentuk dengan menggunakan metode digitasi peta tanah dasar melalui perangkat
lunak sistem informasi geografis. Sementara itu data kemiringan dan panjang

9
lereng diturunkan dari citra ASTER GDEM.Model perhitungan menggunakan
model RUSLE yang diformulasikan sebagai berikut.

A = R x K x C x LS x P

Keterangan :
A : Kehilangan tanah per tahun
R : erosivitas curah hujan
K : faktor erodibilitas
C : faktor pengelolaan lahan
LS : kemiringan dan panjang lereng

Perhitungan dalam kajian ini menghasilkan sebaran tingkat erosi seperti


dalam Gambar 5. berikut.

Gambar 5. Hasil perhitungan kehilangan tanah menggunakan metode RUSLE


berdasar data citra penginderaan jauh dan SIG. (Sumber: Kefi dkk,
2011)

10
Gambar 5. merupakan citra hasil perhitungan erosi menggunakan metode
RUSLE berdasar citra penginderaan jauh dan SIG yang dilakukan oleh Kefi dkk
(2011). Hasil perhitungan secara jelas menggambarkan lokasi sebaran erosi secara
spasial. Tingkat erosi disimbolkan oleh gradasi kecerahan pada peta. Erosi rendah
disimbolkan dengan warna cerah, sementara tingkat erosi tinggi disimbolkan
dengan warna gelap. Area dengan tingkat erosi yang tinggi tersebar meluas di
bagian utara wilayah penelitian. Tingkat erosi tinggi di wilayah selatan
membentuk alur-alur memanjang lembah dan gully. Sebaran erosi tersebut
menunjukkan pengaruh topografi dan faktor pengelolaan lahan terhadap tingkat
erosi tanah yang terjadi diwilayah penelitian.

E. Aplikasi PJ dan SIG untuk Kajian Kekeringan

Kekeringan merupakan satu bencana yang disebabkan oleh kurangnya curah


hujan dari keadaan normal. Curah hujan dalam keadaan ini tidak mampu
memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan. Pemanfaatan penginderaan jauh
dan SIG untuk kajian kekeringan telah banyak dilakukan dengan berbagai metode.
Data penginderaan jauh dan SIG terbukti dapat digunakan dengan baik dan
memberikan banyak kemudahan untuk kajian kekeringan ini.

Penelitian kekeringan dengan berbasis data penginderaan jauh ini


diantaranya dilakukan oleh Al-Tamimi dkk (2012). Data citra pokok yang
digunakan adalah citra AVHRR hasil perekaman selama musim penghujan. Citra
selanjutnya ini diturunkan menjadi beberapa citra NDVI . Citra-citra NDVI
kemudian dicari nilai anomali NDVI untuk menghitung penyimpangan kondisi
tutupan vegetasi. Formulasi nilai anomaly NDVI adalah sebagai berikut.

⃐ሬሬሬሬሬሬሬሬሬሬሬሬ
ܰ‫ܫܸܦ‬୫ ୟ୶(௜) − ܰ‫ܫܸܦ‬ ሬሬሬሬ
݉ ሬሬሬሬሬ
ܽ‫ݔ‬
ܰ‫= )݅(ݕ݈ܽ ݉݋݊ܽܫܸܦ‬ ‫ ݔ‬100%
ܰ‫ݔܽ ݉ܫܸܦ‬

Keterangan :

NDVIanomali : nilai NDVI selama i tahun

NDVImax : nilai NDVI terbesar

തതതതതതതത
ܰ‫ܫܸܦ‬ ݉തതതതത
ܽ‫ݔ‬ : rerata nilai NDVI terbesar selama i tahun

11
Anomali nilai indeks NDVI ini digunakan untuk mengidentifikasi area
kekeringan pertanian. Hasil analisis anomali indeks NDVI ini dipetakan
menggunakan perangkat lunak SIG. Peta indeks kekeringan pertanian hasil
analisis dari anomali nilai indeks vegetasi adalah seperti pada Gambar 6. berikut.

Gambar 6. Indeks kekeringan pertanian berdasar anomali indeks vegetasi.


(Sumber: Al-Tamimi dkk, 2012)

Gambar6. tersebut menunjukkan sebaran anomali indeks vegetatif yang


diidentifikasi sebagai area kekeringan pertanian. Secara spasial terdapat pola
persebaran tingkat kekeringan pertanian di wilayah penelitian. Area dengan
tingkat kekeringan pertanian ekstrim tersebar di bagian utara. Tingkat kekeringan

12
cenderung menurun ke arah selatan dan terjadi peningkatan di bagian ujung
tenggara wilayah penelitian ini.

Data curah hujan dari stasiun meteorologi digunakan untuk menghitung


indeks curah hujan menggunakan indek SPI (Standardized Precipitation Index).
Indeks SPI dihitung dengan menggunakan fungsi distribusi gamma. Perhitungan
indeks curah hujan SPI ini digunakan untuk mengidentifikasi indeks kekeringan
meteorologis. Peta indeks kekeringan meteorologi hasil perhitungan nilai indeks
SPI adalah seperti pada Gambar 7. berikut.

Gambar 7. Indeks kekeringan meteorologis berdasar indeks SPI.


(Sumber: Al-Tamimi dkk, 2012)

Berdasar Gambar 7. dapat dilihat sebaran tingkat kekeringan meteorologis


di wilayah penelitian. Area dengan tingkat kekeringan ekstrim terdapat di bagian

13
utara dengan jumlah yang relatif kecil dibandingkan tingkat kekeringan yang lain.
Secara spasial nampak ada kecenderungan penurunan tingkat kekeringan arah
tenggara.

F. Aplikasi PJ dan SIG untuk Kajian Perencanaan Wilayah Permukiman

Kebutuhan wilayah permukiman merupakan satu masalah yang harus


diperhatikan terutama di negara-negara sedang berkembang. Wilayah
permukiman selalu mengalami peningkatan yang pesat. Pertumbuhan wilayah
permukiman sering mengarah pada ketidakteraturan jika tidak ditata dalam
perkembangannya. Berdasar hal tersebut pemantauan dan penataan wilayah
permukiman sangat diperlukan.

Penginderaan jauh dan SIG telah diaplikasikan untuk kajian perencanaan


wilayah permukiman kota dan memberikan hasil yang baik. Kajian ini sebagian
besar menggunakan data penginderaan jauh pada resolusi spasial yang tinggi.
Data citra penginderaan jauh yang digunakan dalam hal ini sebagai contoh adalah
citra Ikonos dan QuickBird. Citra Ikonos memiliki resolusi 1 meter sementara
citra QuickBird memiliki resolusi 0,6 meter. Kedua citra tersebut dapat digunakan
untuk menginterpretasi obyek rumah penduduk secara individual. Kedetilan dari
resolusi citra ini juga dapat digunakan untuk interpretasi kualitas dari suatu
permukiman melalui ciri-ciri kepadatan dan karakteristik rumah yang ada dalam
lokasi permukiman tersebut.

Satu kajian tentang pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG untuk
aplikasi perencanaan wilayah permukiman adalah seperti dilakukan oleh Busgeeth
dkk (2008).Kajian ini memanfaatkan data citra QuickBird sebagai sebagai sumber
informasi sebaran rumah penduduk. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengkaji
karakteristik permukiman yang dapat di interpretasi melalui data citra QuickBird
dan mengkaji tipologi permukiman di wilayah penelitian. Sebaran rumah
penduduk diinterpretasi secara visual menggunakan perangkat lunak SIG.
Komplek rumah penduduk didelineasi secara langsung pada layar komputer
(onscreen).Proses ini digunakan untuk mendapatkan peta kepadatan permukiman.

14
Karakteristik permukiman dinilai berdasar beberapa variabel yaitu ukuran,
layout permukiman, struktur bangungan, jasa-jasa yang tersedia, dan infrastruktur.
Atribut permukiman yang dapat diamati dari data citra QuickBird tersebut adalah
seperti pada tabel berikut.

Tabel 1. Atribut permukiman yang diamati melalui data citra QuickBird

Atribut spasial permukiman karakteristik


Ukuran keseragaman ukuran
Layout permukiman keteraturan layout
Area terbuka
Struktur bangunan material
warna atap
kepadatan
Layanan teknis jaringan jalan
telekomunikasi
listrik
air dan sanitasi
drainase utama
pengelolaan sampah
Insfrastruktur Pendidikan
area bisnis
fasilitas sosial
fasilitas transportasi

(Sumber : Busgeeth, 2008)

Tabel 1. menunjukkan variabel-variabel yang dapat diamati dari data citra


QuickBird. Variabel ukuran bangunan yang dapat dengan mudah diamati adalah
faktor keseragaman ukuran bangunannya. Pada beberapa area nampak ukuran
bangunan tidak seragam. Kondisi ini mengindikasikan proses pertumbuhan
permukiman tersebut terjadi secara alamiah. Variabel layout permukiman nampak
pada faktor keteraturannya. Area permukiman yang dibangun secara terrencana
nampak adanya pola-pola yang teratur dengan ukuran bangunan yang relatif

15
seragam, dan bentuk yang hampir sama. Struktur bangunan dapat diperkirakan
melalui material bangunan yang digunakan seperti bangunan batu permanen,
bangunan batu semi permanen, dan rumah kayu. Material bangunan ini dapat
menggambarkan kondisi perekonomian penguni permukiman tersebut. Warna dan
kecerahan atap dapat digunakan sebagai indikasi umur bangunan. Area
permukiman dengan warna atap rata-rata cerah mengindikasikan bahwa
permukiman tersebut adalah permukiman yang masih baru. Layanan teknis
menunjukkan banyaknya sarana teknis yang tersedia pada area permukiman
tersebut. Kondisi ini dapat digunakan sebagai indikator taraf hidup sosial rata-rata
masyarakat. Kondisi jaringan jalan yang nampak beraspal mencirikan wilayah
yang lebih tersentuh pembangunan dibandingkan wilayah dengan jaringan jalan
berupa tanah atau batu. Infrastruktur pendukung juga dapat digunakan sebagai
indikasi kemajuan budaya dari lingkungan tersebut. Ketersediaan sarana
pendidikan, jasa, area bisnis, sosial dan transportasi menunjukkan kondisi yang
lebih maju dibandingkan wilayah yang tidak memiliki sarana tersebut. Bentuk
permukiman penduduk di wilayah penelitian yang teridentifikasi adalah seperti
Gambar 8.

Gambar 8. Karakteristik kepadatan permukiman berdasar citra QuickBird.


(Sumber : Busgeeth, 2008)
Gambar 8. menunjukkan pola kepadatan dari beberapa kelompok
permukiman di wilayah penelitian. Terdapat perbedaan pola yang berkaitan
dengan variabel-variabel di atas. Observasi terhadap ketiga gambar tersebut

16
menunjukkan adanya perbedaan yang paling nyata adalah pada layout tata ruang
permukiman tersebut. Kondisi ini mengindikasikan proses perkembangan wilayah
ini. Gambar 8 paling kiri mencirikan perkembangan pemukiman secara alamiah.
Rumah penduduk dibangun oleh pemilik tanah tanpa adanya perencanaan wilayah
tersebut. Gambar tengah dan paling kanan menunjukkan adanya keteraturan yang
lebih baik, namun terdapat perbedaan ukuran dan struktur bangunannya. Berdasar
interpretasi dan analisis beberapa variabel yang ada nampak kedua gambar
tersebut adalah area permukiman yang berkembang dengan satu perencanaan.
Gambar 8 paling kanan mencirikan permukiman tersebut memiliki usia yang
relatif lebih lama dibandingkan dengan usia permukiman pada Gambar 8 tengah.

Tipologi permukiman dapat diinterpretasi dari data citra QuickBird tersebut.


Tipologi permukiman dapat didasarkan pada karakteristik variabel spasial di atas.
Bentuk tipologi dari beberapa area permukiman di wilayah penelitian tergolong
seperti pada Tabel 2. berikut

Tabel 2. tipologi permukiman secara umum

Klasifikasi Tipe geografis


Perkotaan Perkotaan formal
Perkotaan informal
Perdesaan Perdesaan formal
Kesukuan / pedalaman

(Sumber : Busgeeth dkk, 2008)

Permukiman secara umum terklasifikasi sebagai wilayah perkotaan dan


wilayah perdesaan. Pada wilayah perkotaan terbagi menjadi area perkotaan formal
dan area perkotaan informal. Wilayah perdesaan terbagi menjadi area perdesaan
formal dan area pedalaman. Pada masing-masing tipe geografis tersebut terdapat
jenis-jenis bangunan dengan fungsi-fungsi tertentu seperti permukiman, area
usaha dan industri, rekreasi, dan perkantoran. Wilayah perdesaan juga ditemukan
adanya area persawahan yang menjadi penciri khas wilayah perdesaan ini.

17
Berdasarkan karakteristik tersebut Busgeeth dkk (2008) mengusulkan
prosedur terotomasi berbasis SIG untuk menentukan tipologi permukiman.
Kerangka penentuan tipologi terotomasi dapat dilihat seperti pada gambar berikut

Ukuran bangunan rumah kayu,


berbeda platik, dll

Permukiman informal
rumah < 30 m2 atap bervariasi

tidak terdapat pola kepadatan tinggi permukiman


jalan resmi informal

jalan berbatu atau tidak terdapat


jalan setapak layanan sosial
area terbangun

Tidak terdapat
infrastuktur

Ukuran bangunan bangunan beton ...........


seragam dan besi
Permukiman formal

rumah > 30 m2 atap relatif permukiman


homogen tradisional

terdapat terdapat kepadatan tinggi perkotaan


pola jalan resmi atau rendah formal

jalan beraspal terdapat layanan ...........


sosial

terdapat
infrastruktur

Gambar 9. Kerangka penentuan tipologi permukiman. (Sumber : Busgeeth dkk, 2008


dengan modifikasi)

Gambar 9. merupakan kerangka alur penentuan tipologi permukiman.


Kerangka tersebut dijadikan sebagai dasar otomasi klasifikasi menggunakan
perangkat lunak SIG. Tidak seluruh alur digambarkan dalam modul ini,
penjelasan lengkap dapat membaca pada Busgeeth dkk (2004).

18
G. Aplikasi PJ dan SIG untuk Kajian Kesehatan

Perkembangan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis telah


merambah pada bidang kesehatan. Aplikasi pada bidang ini terutama
dimanfaatkan dalam hal pengawasan dan kontrol terhadap potensi penyakit (Beck
dkk, 2000). Aplikasi penginderaan jauh dan SIG dalam bidang kesehatan ini
banyak digunakan untuk menilai faktor lingkungan sebagai pemicu pemunculan
vektor penyakit. Potensi aplikasi pengideraan jauh dan SIG ini selanjutnya adalah
untuk memahami karakteristik pola spasial dan temporal risiko penularan suatu
penyakit.

Aplikasi penginderaan jauh dan SIG untuk pengawasan penyakit kolera


dicontohkan oleh Rasam dan Noor (2012). Penyakit bawaan makanan seperti
kolera, disentri, hepatitis A dipicu oleh adanya kontaminasi mikroorganisme pada
makanan. Kontaminasi mikroorganisme ini berasal dari adanya pencemaran yang
terjadi pada lingkungan. Kondisi lingkungan inilah yang selanjutnya menjadi
variabel yang terrekam oleh penginderaan jauh dan dapat dianalisis untuk tujuan
pengawasan penyakit ini menggunakan SIG.

Contoh lain adalah aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi


geografis untuk penilaian dan pemantauan risiko penyakit malaria yang dilakukan
oleh Ceccato dkk (2005). Parameter lingkungan menjadi dasar analisis kajian ini.
Curah hujan menjadi salah satu pemicu berkembangnya nyamuk malaria.
Peningkatan curah hujan berasosiasi dengan peningkatan endemi malaria. Terkait
dengan hal ini, data penginderaan jauh dapat berperan dalam perekaman cuaca
untuk perkiraan intensitas curah hujan. Citra inframerah termal dapat digunakan
untuk mengestimasi temperatur awan bagian atas. Hujan akan terjadi pada kondisi
suhu awan berada sekitar -40 hingga - 70 oC.

Temperatur memberikan efek pada vektor dan parasite malaria. Temperatur


perkembangan vektor dan parasit malaria berada pada rentang 22 - 26 oC.
Temperatur permukaan lahan dapat diindera menggunakan data thermal NOAA-
AVHRR, Meteosat dan Terra-MODIS. Citra ini memiliki cakupan yang luas dan
memadai untuk perekaman pancaran termal permukaan bumi.Kelembaban

19
diperlukan untuk berkembangbiaknya larva nyamuk malaria ini. Beberapa citra
indeks seperti indeks vegetasi dapat digunakan sebagai penduga tingkat
kelembaban perlukaan lahan, Permukaan air adalah tempat berkembangbiaknya
nyamuk malaria, sehingga indentifikasi terhadap sebaran permukaan air sangat
diperlukan dalam identifikasi sumber vektor malaria. Identifikasi tutupan air dapat
di lakukan dengan saluran inframerah. Saluran ini akan terserap habis oleh tubuh
air, sehingga akan memberikan warna yang kontras dengan lahan kering di
sekitarnya. Kombinasi dari parameter-parameter tersebut di atas dapat dijadikan
dasar identifikasi area perkembangbiakan vektor dan parasit malaria. Gambar 9.
berikut menunjukkan area lahan basah dengan kelembaban tinggi yang
memungkinkan menjadi area perkembangbiakan nyamuk malaria

Gambar 10. multispektral komposit saluran 3-4-2 citra SPOT 4 Xi


(Sumber : Ceccato dkk, 2005)

Gambar 10. adalah citra multispektral komposit saluran 3-4-2 SPOT Xi


yang menunjukkan sebaran area lahan basah dengan kelembaban tinggi. Area
dengan warna biru gelap merupakan sebaran area lahan basah dengan kelembaban
yang tinggi. Area tersebut diperkirakan sebagai area yang berpotensi dapat
menjadi tempat perkembang biakan nyamuk malaria.

20
RANGKUMAN

Kemampuan yang dimiliki oleh penginderaan jauh dan sistem informasi


geografis dapat saling mengisi dan melengkapi. Sinergi dari penginderaan jauh
dan sistem informasi geografis terbukti memberikan hasil yang baik untuk
pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan data spasial. Aplikasi PJ dan
SIG untuk kajian air tanah dapat digunakan untuk identifikasi area recharge dan
discharge air tanah. Identifikasi didasarkan pada nilai thermal permukaan lahan.
Metode lain adalah dengan menggunakan parameter litologi dan kelurusan
permukaan lahan yang diturunkan dari data citra satelit resolusi menengah dan
diperkuat melalui observasi lapangan. Pemanfaatan PJ dan SIG untuk aplilasi
bencana banjir adalah dengan menggunakan parameter kondisi topografi dan
morfometri lahan. Parameter ini diturunkan dari data DEM dan diolah melalui
prosedur AHP dalam SIG. Aplikasi PJ dan SIG untuk perhitungan erosi tanah
sering dilakukan dengan menerapkan model perhitungan erosi seperti RUSLE.
Sebagian dari parameter model tersebut diturunkan melalui data penginderaan
jauh sumberdaya dan ASTER GDEM. Kajian kekeringan dapat dihitung dengan
menggunakan anomali NDVI yang diperoleh melalui perbandingan nilai NDVI
maksimal dan NDVI rata-rata dalam masa penelitian. Nilai NDVI diperoleh
melalui perbandingan band inframerah dan band merah. Kajian pemukiman
dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit berresolusi tinggi seperti QuickBird.
Identifikasi tipologi permukiman didasarkan pada karakteristik atribut spasial
permukiman. Berdasar parameter tersebut dapat diidentifikasi tipologi
permukiman informal permukiman tradisional hingga permukiman perkotaan
formal. Aplikasi PJ dan SIG untuk kesehatan dilakukan dengan memonitor
parameter lingkungan yang dapat menjadi pemicu perkembang biakan vektor
penyakit. Aplikasi penginderaan jauh dan SIG dapat digunakan sarana
pengawasan dan kontrol terhadap potensi dan penyebaran penyakit.

21
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.B., Gillespie A.R., 2006, Remote Sensing of Landscape with Spectral
Images – A Physical Modeling Approach, Cambridge University Press,
New York.
Al-Tamimi, Y.K., George, L.E., Al-Jiboori, M., 2012. Drought risk assessment in
Iraq using remote sensing and GIS techniques, Iraqi journal of science, Vol.
53. No. 4, hal. 1078 -1082
Croskrey, A., Groves, C., 2008, Groundwater sensitivity mapping in Kentucky
using GIS and digitally vectorized geologic quadrangles. Environ. Geol.,
Vol. 54, Hal. 913 - 920.
Beck, L.R., Lobitz, B.M., Wood, B.L., 2000, Remote sensing and human health :
new sensor and new opportunities. Perspectives., Emerging Infectious
Diseases, Vol. 6., No. 3., Hal. 217-227.
Busgeeth, M.K., Brits, A., Whisken, J., 2008, Potential application of remote
sensing inf monitoring informal settlements in developing countries where
complimentary data does not exist, Planning Africa Conference,
Johannesburg.
Ceccato, P., Connor S.J., Jeane, I., Thomson, M.C., 2005, Application of
geographical information system and remote sensing technologies for
assessing and monitor malaria risk. Parassitologia, Vol. 47, Hal. 81 - 96.
Elachi, C., Zyl J.V., 2006, Introduction to the Phisics and Techniques of Remote
Sensing, Second Edition, John Wiley & Sons, New Jersey.
Horning, N., 2004, Justification for using photo interpretation methods to interpret
satellite imagery. - Version 1.0.American Museum of Natural
History,Center for Biodiversity and Conservation.
Hung L.Q., Bateelan, O., de Smedt, F., 2005, Lineament extraction and analysis,
comparison of Landsat ETM and ASTER imagery, Case study: Suoimuoi
tropical karst catchment, Vietnam. SPIE. Vol 5983. 59830T DOI:
10.1117/12.627699
Kefi., M., Yoshino, K., Setiawan, Y., 2012. Assessment and mapping of soil
erosion risk by water in Tunisia using time series MODIS data. Paddy water
environment, Vol. 10, hal. 59-73.
Leblanc, M., Leduc, C., Razack, M., Lemoalle, J., Dagorne, D., Mofor, L., 2003,
Application of remote sensing and GIS for groundwater modelling of large
semiarid areas: example of the Lake Chad Basin, Africa. Hydrology of the
Mediterranean and Semiarid Regions, IAHS Publ. No. 278. hal 186 - 192.
Liang, S. 2004. Quantitative Remote Sensing of Land Surface. John Willey &
Sons Inc.. New Jersey.
Newman, M.E., McLaren, K.P., Wilson, B.S., 2011, Use of Object-oriented
classification and fragmentation analysis (1985-2008) to identify important

22
areas for conservation in Cockpit County Jamaica. Environ Monit
Assess.,Vol. 172, hal. 391-406.
Ouma, Y.O., dan Tateishi, R., 2014. Urban flood vulnerability and risk mapping
using integrated multi-parametric AHP and GIS: methodological overview
and case study assessment, Water, Vol. 6, halaman 1515 - 1545.
Rasam, A.R.A. dan Noor, A.M.M., 2012, Contribution of GIS and remotesensing
technologies for managing foodborne deseases in Malaysia, IEEE, hal. 258-
261.
Schowendgerdt, 2007, Remote Sensing: Models and Methods for Image
Processing, Third Edition, Elsevier, Amsterdam.
Solomon, S., dan Quiel, F., 2003, Integration of remote sensing and GIS for
groundwater assessment in Eritrea, in : Benes, 2003, Geoinformation for
european-wide integration, Millpress, Rotterdam.
Xiao, D., Xiong, K., An, Y., Zhang, W., 2009, Study on karst landscape spatial
pattern based on remote sensing and GIS. In: Maitre, H., Sun, H., Lei, B.,
Feng, J., MIPPR 2009: Remote Sensing and GIS Data Processing and Other
Applications. SPIE, Vol. 7498,74981D, DOI. 10.1117/12.832484

23

Anda mungkin juga menyukai