ii
BIDANG KAJIAN :
Perpetaan, Penginderaan Jauh, dan Sistem Informasi Geografis
PENDAHULUAN
Penginderaan jauh dan sistem informasi geografis telah banyak
diaplikasikan dalam berbagai bidang pembangunan pada saat ini. Penginderaan
jauh dan SIG memiliki kemampuan yang dapat saling melengkapi. Kombinasi
dari kedua metode ini terbukti memiliki kemampuan yang handal dan
memberikan hasil yang baik dalam berbagai kajian. Modul ini menjelaskan
tentang sinergi metode penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, aplikasi
untuk kajian air tanah, mitigasi bencana banjir, erosi, kekeringan, perencanaan
wilayah permukiman, dan kesehatan.
PETUNJUK BELAJAR
1. Bacalah modul ini sebaik-baiknya dengan cermat
2. Jika diperlukan saudara boleh mencari informasi tambahan sesuai dengan
materi dalam modul ini
3. Setelah membaca kerjakan latihan soal pada bagian akhir modul ini. Saudara
harus mendapatkan skor minimal 70. (minimal 7 soal harus dijawab dengan
benar)
4. Jika belum tuntas dalam belajar modul ini, jangan beralih ke modul
berikutnya
CAPAIAN PEMBELAJARAN
Dalam substansi keilmuan, setiap guru geografi wajib menguasai
pengetahuan geografi yang setara dengan pengetahuan geografi yang dikuasai
oleh Sarjana Geografi.
iii
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
Peserta memiliki pengetahuan tentang sinergi metode penginderaan jauh
dan sistem informasi geografis, aplikasi untuk kajian air tanah, mitigasi bencana
banjir, erosi, kekeringan, perencanaan wilayah permukiman, dan kesehatan.
iv
URAIAN MATERI : PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PEMBANGUNAN
1
Penginderaan jauh modern diawali dengan diluncurkannya satelit Landsat
Multispectral Scanner System (MSS) pada tahun 1972 (Schowengerdt, 2007).
Satelit ini memiliki empat saluran dengan lebar spektral sekitar 100 nm, dan
resolusi spasial 80 meter. Peluncuran satelit ini mengawali sistem penginderaan
jauh sistem satelit digital. Perkembangan selanjutnya terjadi peningkatan yang
signifikan terutama dalam pemotongan rentang spektral untuk setiap saluran citra.
Satelit hyperspectral seperti MODIS memiliki jumlah saluran sebanyak 36 band.
Dengan kemampuannya tersebut, satelit dapat diaplikasikan dalam banyak hal.
Kemampuan satelit ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal yang bersifat
spasial.
2
data spasial baru hasil paduan dari beberapa data spasial masukan. Teknik
pemilihan fitur diaplikasikan untuk tujuan klasifikasi spasial berdasar parameter
tertentu seperti dilakukan oleh Solomon dan Quiel (2008), Croskrey dan Groves
(2008). Teknik pemilihan fitur pada umumnya dilakukan sebagai klasifikasi awal
pada layer tunggal. Proses ini dilakukan untuk memberikan nilai bobot dari
masing-masing fitur. Teknik ini banyak dilakukan dalam analisis berbasis data
vektor.
3
B. Aplikasi PJ dan SIG untuk Analisis Potensi Air Tanah
Aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis yang berkaitan
dengan air tanah diantaranya dilakukan oleh Leblanc dkk (2003) dan Solomon
dan Quiel (2008). Leblanc dkk (2003) membangun model spasial untuk
mengidentifikasi area masukan (recharge) dan keluaran (discharge) air tanah.
Data yang digunakan adalah peta-peta tematik dan data penginderaan jauh. Data
penginderaan jauh yang digunakan adalah data citra AVHRR/LAC dan citra
thermat Meteosat. Kedua data penginderaan jauh ini digunakan untuk merekam
pancaran termal dari lingkungan air dan tidak berair. Dasar asumsi yang
digunakan adalah terdapat perbedaan nilai termal antara tubuh air dengan perairan
basah di sekitarnya. Hasil observasi menunjukkan adanya perbedaan secara nyata
antara area yang berair dengan tidak berair.Teknik digitasi digunakan untuk
pembentukan peta digital dari peta-peta analog. Model memanfaatkan metode
perbandingan data antar waktu untuk mengetahui fluktuasi dari air permukaan.
Analisis ini menunjukkan area tutupan air seperti pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Rona gelap ditunjukkan area tubuh air dan area perairan bervegetasi
pada saluran thermal citra AVHRR/LAC dan Meteosat (sumber : Leblanc dkk, 2003)
4
Lokasi recharge ditunjukkan dengan area dengan yang secara temporal selalu
gelap.
Solomon dan Quiel (2008) melakukan kajian terkait air tanah karst dengan
memanfaatkan penginderaan jauh, sistem informasi geografis dan observasi
lapangan. Analisis didasarkan pada data-data raster yang berasal dari data
penginderaan jauh, DEM, dan data lapangan. Data penginderaan jauh sebagai data
dasar yang digunakan adalah citra mutispektral Landsat TM dan SPOT 5. Citra ini
digunakan untuk pemetaan litologi dan kelurusan. Prosedur PCA diaplikasikan
untuk mereduksi dimensionalitas dan meningkatkan isi informasi dari citra
Landsat TM. Perentangan kontras model Gaussian digunakan untuk
meningkatkan kontras citra. Metode ini aplikasikan untuk mempertajam
visualisasi data citra. Peta litologi diinterpretasi dari seluruh citra tersebut dengan
dibantu dengan data observasi lapangan dan dimasukkan pada sistem informasi
geografis. Kelurusan diinterpretasi secara visual dari citra-citra tersebut, dan
digitasi secara interaktif melalui layar komputer berbantuan perangkat lunak SIG.
5
Gambar 2. merupakan hasilinterpretasi terhadap data citra penginderaan
jauh yang memberikan informasi variasi jenis batuan. Interpretasi citra
penginderaan jauh tersebut berhasil mempetakan kondisi litologi di daerah
penelitian. Kondisi litologi ini dapat petakan dengan akurasi yang tinggi.
Interpretasi kelurusan menghasilkan peta kelurusan seperti pada Gambar 3.
6
pemanfaatan data penginderaan jauh, SIG dan observasi lapangan ini merupakan
metode yang berdaya guna untuk studi eksplorasi air tanah dengan akurasi yang
dapat diterima.
Banjir adalah bencana yang sering terjadi dan memberikan dampak yang
dapat merusak pada kehidupan manusia ataupun lingkungan. Potensi banjir akan
terus meningkat sejalan dengan semakin sempitnya lahan penyerap air permukaan
dan memburuknya sistem drainase. Perubahan iklim yang terjadi secara global
meningkatkan potensi terhadap kejadian banjir.Sistem informasi geografis dan
data penginderaan jauh banyak dimanfaatkan dalam kajian mitigasi bencana
banjir. Ouma dan Tateishi (2014) menggunakan sistem informasi geografis
mengkaji banjir perkotaan dengan dasarkondisi topografi dan morfometri lahan
perkotaan. Kondisi tersebut diurai menjadi parameter elevasi, kemiringan lereng
(slope), tanah, curah hujan, jaringan drainase, dan penggunaan lahan.Data-data
tersebut selanjutnya oleh Ouma dan Tateishi (2014) dianalisis melalui prosedur
AHP melalui perangkat sistem informasi geografis.
elevasi
slope
curah hujan
jaringan
drainase
Peta kerentanan
penggunaan kriteria sosio banjir perkotaan
lahan ekonomis
7
Keterkaitan parameter dalam kajian ini terkait kriteria fisik dan sosio
ekonomis ditunjukkan seperti pada Gambar 4. Parameter tersebut dinilai sebagai
parameter yang penting dan memberikan pengaruh terhadap kejadian banjir
perkotaan. Data parameter elevasi, slope dan jaringan drainase diturunkan dari
data DEM. Perkembangan pada saat ini, model elevasi digital dapat diturunkan
dari data penginderaan jauh seperti citra satelit ASTER dan SRTM.
Elevasi dan slope memiliki peran yang penting terhadap kejadian banjir.
Ketinggian tempat tidak memungkinkan terjadinya genangan. Genangan akan
terjadi pada titik-titik yang memiliki elevasi rendah. Informasi lokasi yang
memiliki elevasi rendah dapat diidentifikasi melalui data model elevasi digital
(DEM).Beda tinggi tempat menghasilkan kekasaran permukaan lahan. Lahan
yang memiliki kekasaran tinggi lebih memungkinkan terjadinya infiltrasi
dibandingkan permukaan yang halus. Infiltrasi mengurangi potensi jumlah air
yang jatuh menjadi air larian permukaan lahan. Slope berperan terhadap kontrol
kecepatan air larian permukaan, arah larian, dan jumlah air larian permukaan dan
bawah permukaan yang sampai ke lokasi banjir. Slope yang landai merupakan
kondisi yang lebih peka terhadap banjir. Jenis tanah memiliki peran yang besar
terhadap kemampuan infiltrasi. Tanah pasir memiliki kemampuan infiltrasi yang
tinggi dibandingkan dengan tanah lempung. Seperti disebutkan di muka, bahwa
infiltrasi akan mengurangi jumlah air larian permukaan yang akan menjadi banjir.
Curah hujan merupakan faktor utama penyebab banjir. Curah hujan dengan
intensitas yang tinggi akan secara langsung memicu terjadinya banjir. Kepadatan
jaringan drainase memberikan peran terhadap tingkat erosi permukaan pada lahan.
Dengan demikian semakin tinggi tingkat kepadatan drainase akan memberikan
potensi yang lebih tinggi terhadap hilangnya tanah permukaan. Kehilangan tanah
permukaan akan mengurangi kemampuan infitrasi, terutama jika telah mencapai
lapisan batuan dasar. Penggunaan lahan dan penutup lahan juga merupakan satu
kontrol terhadap stabilitas tanah dan infiltrasi. Penutupan vegetasi memiliki
kemampuan yang lebih besar dalam menahan air permukaan dan meningkatkan
infiltrasi dibandingkan lahan dengan terbangun.
8
Hasil perhitungan dan analisis menggunakan AHP dan sistem informasi
geografis menunjukkan sebaran area kerentanan dan risiko bencana banjir dengan
akurasi yang tinggi. Perpaduan metode ini menghasilkan informasi potensi banjir
dengan cepat dan mendekati fakta yang sebenarnya. Berdasar kondisi ini,
perpaduan metode AHP dalam sistem informasi geografis sangat berpotensi untuk
kajian mitigasi bencana banjir.
9
lereng diturunkan dari citra ASTER GDEM.Model perhitungan menggunakan
model RUSLE yang diformulasikan sebagai berikut.
A = R x K x C x LS x P
Keterangan :
A : Kehilangan tanah per tahun
R : erosivitas curah hujan
K : faktor erodibilitas
C : faktor pengelolaan lahan
LS : kemiringan dan panjang lereng
10
Gambar 5. merupakan citra hasil perhitungan erosi menggunakan metode
RUSLE berdasar citra penginderaan jauh dan SIG yang dilakukan oleh Kefi dkk
(2011). Hasil perhitungan secara jelas menggambarkan lokasi sebaran erosi secara
spasial. Tingkat erosi disimbolkan oleh gradasi kecerahan pada peta. Erosi rendah
disimbolkan dengan warna cerah, sementara tingkat erosi tinggi disimbolkan
dengan warna gelap. Area dengan tingkat erosi yang tinggi tersebar meluas di
bagian utara wilayah penelitian. Tingkat erosi tinggi di wilayah selatan
membentuk alur-alur memanjang lembah dan gully. Sebaran erosi tersebut
menunjukkan pengaruh topografi dan faktor pengelolaan lahan terhadap tingkat
erosi tanah yang terjadi diwilayah penelitian.
⃐ሬሬሬሬሬሬሬሬሬሬሬሬ
ܰܫܸܦ୫ ୟ୶() − ܰܫܸܦ ሬሬሬሬ
݉ ሬሬሬሬሬ
ܽݔ
ܰ= )݅(ݕ݈ܽ ݉݊ܽܫܸܦ ݔ100%
ܰݔܽ ݉ܫܸܦ
Keterangan :
തതതതതതതത
ܰܫܸܦ ݉തതതതത
ܽݔ : rerata nilai NDVI terbesar selama i tahun
11
Anomali nilai indeks NDVI ini digunakan untuk mengidentifikasi area
kekeringan pertanian. Hasil analisis anomali indeks NDVI ini dipetakan
menggunakan perangkat lunak SIG. Peta indeks kekeringan pertanian hasil
analisis dari anomali nilai indeks vegetasi adalah seperti pada Gambar 6. berikut.
12
cenderung menurun ke arah selatan dan terjadi peningkatan di bagian ujung
tenggara wilayah penelitian ini.
13
utara dengan jumlah yang relatif kecil dibandingkan tingkat kekeringan yang lain.
Secara spasial nampak ada kecenderungan penurunan tingkat kekeringan arah
tenggara.
Satu kajian tentang pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG untuk
aplikasi perencanaan wilayah permukiman adalah seperti dilakukan oleh Busgeeth
dkk (2008).Kajian ini memanfaatkan data citra QuickBird sebagai sebagai sumber
informasi sebaran rumah penduduk. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengkaji
karakteristik permukiman yang dapat di interpretasi melalui data citra QuickBird
dan mengkaji tipologi permukiman di wilayah penelitian. Sebaran rumah
penduduk diinterpretasi secara visual menggunakan perangkat lunak SIG.
Komplek rumah penduduk didelineasi secara langsung pada layar komputer
(onscreen).Proses ini digunakan untuk mendapatkan peta kepadatan permukiman.
14
Karakteristik permukiman dinilai berdasar beberapa variabel yaitu ukuran,
layout permukiman, struktur bangungan, jasa-jasa yang tersedia, dan infrastruktur.
Atribut permukiman yang dapat diamati dari data citra QuickBird tersebut adalah
seperti pada tabel berikut.
15
seragam, dan bentuk yang hampir sama. Struktur bangunan dapat diperkirakan
melalui material bangunan yang digunakan seperti bangunan batu permanen,
bangunan batu semi permanen, dan rumah kayu. Material bangunan ini dapat
menggambarkan kondisi perekonomian penguni permukiman tersebut. Warna dan
kecerahan atap dapat digunakan sebagai indikasi umur bangunan. Area
permukiman dengan warna atap rata-rata cerah mengindikasikan bahwa
permukiman tersebut adalah permukiman yang masih baru. Layanan teknis
menunjukkan banyaknya sarana teknis yang tersedia pada area permukiman
tersebut. Kondisi ini dapat digunakan sebagai indikator taraf hidup sosial rata-rata
masyarakat. Kondisi jaringan jalan yang nampak beraspal mencirikan wilayah
yang lebih tersentuh pembangunan dibandingkan wilayah dengan jaringan jalan
berupa tanah atau batu. Infrastruktur pendukung juga dapat digunakan sebagai
indikasi kemajuan budaya dari lingkungan tersebut. Ketersediaan sarana
pendidikan, jasa, area bisnis, sosial dan transportasi menunjukkan kondisi yang
lebih maju dibandingkan wilayah yang tidak memiliki sarana tersebut. Bentuk
permukiman penduduk di wilayah penelitian yang teridentifikasi adalah seperti
Gambar 8.
16
menunjukkan adanya perbedaan yang paling nyata adalah pada layout tata ruang
permukiman tersebut. Kondisi ini mengindikasikan proses perkembangan wilayah
ini. Gambar 8 paling kiri mencirikan perkembangan pemukiman secara alamiah.
Rumah penduduk dibangun oleh pemilik tanah tanpa adanya perencanaan wilayah
tersebut. Gambar tengah dan paling kanan menunjukkan adanya keteraturan yang
lebih baik, namun terdapat perbedaan ukuran dan struktur bangunannya. Berdasar
interpretasi dan analisis beberapa variabel yang ada nampak kedua gambar
tersebut adalah area permukiman yang berkembang dengan satu perencanaan.
Gambar 8 paling kanan mencirikan permukiman tersebut memiliki usia yang
relatif lebih lama dibandingkan dengan usia permukiman pada Gambar 8 tengah.
17
Berdasarkan karakteristik tersebut Busgeeth dkk (2008) mengusulkan
prosedur terotomasi berbasis SIG untuk menentukan tipologi permukiman.
Kerangka penentuan tipologi terotomasi dapat dilihat seperti pada gambar berikut
Permukiman informal
rumah < 30 m2 atap bervariasi
Tidak terdapat
infrastuktur
terdapat
infrastruktur
18
G. Aplikasi PJ dan SIG untuk Kajian Kesehatan
19
diperlukan untuk berkembangbiaknya larva nyamuk malaria ini. Beberapa citra
indeks seperti indeks vegetasi dapat digunakan sebagai penduga tingkat
kelembaban perlukaan lahan, Permukaan air adalah tempat berkembangbiaknya
nyamuk malaria, sehingga indentifikasi terhadap sebaran permukaan air sangat
diperlukan dalam identifikasi sumber vektor malaria. Identifikasi tutupan air dapat
di lakukan dengan saluran inframerah. Saluran ini akan terserap habis oleh tubuh
air, sehingga akan memberikan warna yang kontras dengan lahan kering di
sekitarnya. Kombinasi dari parameter-parameter tersebut di atas dapat dijadikan
dasar identifikasi area perkembangbiakan vektor dan parasit malaria. Gambar 9.
berikut menunjukkan area lahan basah dengan kelembaban tinggi yang
memungkinkan menjadi area perkembangbiakan nyamuk malaria
20
RANGKUMAN
21
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.B., Gillespie A.R., 2006, Remote Sensing of Landscape with Spectral
Images – A Physical Modeling Approach, Cambridge University Press,
New York.
Al-Tamimi, Y.K., George, L.E., Al-Jiboori, M., 2012. Drought risk assessment in
Iraq using remote sensing and GIS techniques, Iraqi journal of science, Vol.
53. No. 4, hal. 1078 -1082
Croskrey, A., Groves, C., 2008, Groundwater sensitivity mapping in Kentucky
using GIS and digitally vectorized geologic quadrangles. Environ. Geol.,
Vol. 54, Hal. 913 - 920.
Beck, L.R., Lobitz, B.M., Wood, B.L., 2000, Remote sensing and human health :
new sensor and new opportunities. Perspectives., Emerging Infectious
Diseases, Vol. 6., No. 3., Hal. 217-227.
Busgeeth, M.K., Brits, A., Whisken, J., 2008, Potential application of remote
sensing inf monitoring informal settlements in developing countries where
complimentary data does not exist, Planning Africa Conference,
Johannesburg.
Ceccato, P., Connor S.J., Jeane, I., Thomson, M.C., 2005, Application of
geographical information system and remote sensing technologies for
assessing and monitor malaria risk. Parassitologia, Vol. 47, Hal. 81 - 96.
Elachi, C., Zyl J.V., 2006, Introduction to the Phisics and Techniques of Remote
Sensing, Second Edition, John Wiley & Sons, New Jersey.
Horning, N., 2004, Justification for using photo interpretation methods to interpret
satellite imagery. - Version 1.0.American Museum of Natural
History,Center for Biodiversity and Conservation.
Hung L.Q., Bateelan, O., de Smedt, F., 2005, Lineament extraction and analysis,
comparison of Landsat ETM and ASTER imagery, Case study: Suoimuoi
tropical karst catchment, Vietnam. SPIE. Vol 5983. 59830T DOI:
10.1117/12.627699
Kefi., M., Yoshino, K., Setiawan, Y., 2012. Assessment and mapping of soil
erosion risk by water in Tunisia using time series MODIS data. Paddy water
environment, Vol. 10, hal. 59-73.
Leblanc, M., Leduc, C., Razack, M., Lemoalle, J., Dagorne, D., Mofor, L., 2003,
Application of remote sensing and GIS for groundwater modelling of large
semiarid areas: example of the Lake Chad Basin, Africa. Hydrology of the
Mediterranean and Semiarid Regions, IAHS Publ. No. 278. hal 186 - 192.
Liang, S. 2004. Quantitative Remote Sensing of Land Surface. John Willey &
Sons Inc.. New Jersey.
Newman, M.E., McLaren, K.P., Wilson, B.S., 2011, Use of Object-oriented
classification and fragmentation analysis (1985-2008) to identify important
22
areas for conservation in Cockpit County Jamaica. Environ Monit
Assess.,Vol. 172, hal. 391-406.
Ouma, Y.O., dan Tateishi, R., 2014. Urban flood vulnerability and risk mapping
using integrated multi-parametric AHP and GIS: methodological overview
and case study assessment, Water, Vol. 6, halaman 1515 - 1545.
Rasam, A.R.A. dan Noor, A.M.M., 2012, Contribution of GIS and remotesensing
technologies for managing foodborne deseases in Malaysia, IEEE, hal. 258-
261.
Schowendgerdt, 2007, Remote Sensing: Models and Methods for Image
Processing, Third Edition, Elsevier, Amsterdam.
Solomon, S., dan Quiel, F., 2003, Integration of remote sensing and GIS for
groundwater assessment in Eritrea, in : Benes, 2003, Geoinformation for
european-wide integration, Millpress, Rotterdam.
Xiao, D., Xiong, K., An, Y., Zhang, W., 2009, Study on karst landscape spatial
pattern based on remote sensing and GIS. In: Maitre, H., Sun, H., Lei, B.,
Feng, J., MIPPR 2009: Remote Sensing and GIS Data Processing and Other
Applications. SPIE, Vol. 7498,74981D, DOI. 10.1117/12.832484
23