Anda di halaman 1dari 67

TINDAKAN HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH ERDINA

YUSANI TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN INVESTASI

PERHIASAN BODONG YANG DILAKUKAN OLEH SUSAN WIJAYA

Usulan Penelitian Hukum


(Legal Memorandum)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Seminar Usulan Penelitian Hukum
Disusun Oleh :

Nama : Adlan Adikusuma Negara

NPM : 181000374

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dibawah Bimbingan :
Maman Budiman, S.H.,M.H.
NIPY : 151.105.71

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2023
LEMBAR PENGESAHAN
TINDAKAN HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH ERDINA

YUSANI TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN INVESTASI

PERHIASAN BODONG YANG DILAKUKAN OLEH SUSAN WIJAYA

Usulan Penelitian Hukum

(Legal Memorandum)

Disusun Oleh
Adlan Adikusuma Negara

Disetujui untuk diajukan Pada Seminar Usulan Penelitian Penulisan


Hukum Pada Tanggal 30 November 2022

Pembimbing

Maman Budiman, S.H.,M.H.


NIPY : 151.105.71

Mengetahui
Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Pasundan

DR. Hj Rd. Dewi Asri Yustia, A.h., M.H.


NIPY : 151.102.08

i
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Adlan Adikusuma Negara

NPM : 181000374

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Menyatakan Studi Kasus yang saya buat adalah :

a. Gagasan, rumusan, dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen

pembimbing;

b. Didalamnya tidak terdapat karya – karya atau pendapat yang telah ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau

dicantumkan dalam daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya, apabila di kemudian hari

terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Fakultas Hukum Unpas.

Bandung, 30 Novermber 2022


Pembuat Pernyataan,

Adlan Adikusuma Negara

ii
ABSTRAK

Saat ini banyak atau marak terjadinya tindak pidana penggelapan dengan
modus investasi bodong dalam bidang perhiasan, hal ini dialami untuk Erdina
Yusani yang menjadi korban penggelapan di bidang investasi perhiasan yang
dilakukan oleh Susan Wijaya sehingga perbuatan Susan Wijaya diduga telah
memenuhi unsur-unsur penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372
KUHPidana. Hal inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis
legal memorandum ini dengan beberapa permasalahan yaitu apakah tindakan
Susan Wijaya dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Penggelapan
sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHPidana ?, bagaimana tata cara pelaporan
ke Kepolisian yang dapat dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap Susan Wijaya
sehubungan adanya dugaan tindak pidana penggelapan ? dan upaya hukum apa
saja yang dapat dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap Susan Wijaya ?
Alat analisis yang digunakan dalam penyelesaian studi kasus ini adalah
dengan cara melakukan penafsiran atau interpretasi hukum dan kontruksi hukum.
Penafsiran atau interpretasi hukum merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan terhadap teks undang-undang. Penafsiran atau
interpretasi hukum yang digunakan penulis dalam studi kasus ini adalah
interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematik. Lalu kontruksi hukum adalah
proses pemberian makna melalui penalaran logis untuk mengembangkan lebih
lanjut teks undang-undang. Kontruksi hukum yang digunakan penulis dalam studi
kasus ini adalah menggunakan penghalusan hukum/pengkonkritan hukum
(rechtsvervijning).
Kesimpulan dari studi kasus ini ialah tindakan Susan Wijaya dapat
dikategorikan sebagai Tindak Pidana Penggelapan sebagaimana diatur dalam
Pasal 372 KUHPidana adalah Susan Wijaya telah dengan sengaja melawan
hukum mengaku bahwa uang sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh
juta rupiah) yang merupakan uang milik Erdina Yusani untuk keperluan investasi
perhiasan sehingga berada dalam kekuasaan Susan Wijaya, namun Susan Wijaya
menggunakan uang tersebut untuk keperluan pribadi. Tata cara pelaporan ke
Kepolisian yang dapat dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap Susan Wijaya
sehubungan adanya dugaan tindak pidana penggelapan adalah dengan datang ke
kantor Polisi terdekat dari lokasi tindak pidana sesuai dengan locus delicti yakni
Polsek Cicalengka atau Polsekta Bandung, kemudian langsung menuju ke bagian
Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”). Upaya hukum apa saja yang
dapat dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap Susan Wijaya adalah dengan
melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 372
KUHPidana yang dilakukan oleh Susan Wijaya karena berdasarkan Pasal 108
KUHAP kedudukan Erdina Yusani adalah sebagai korban.
Kata Kunci : Tindak Hukum, Penggelapan, dan Investasi.

iii
ABSTRACT

At present there are many or widespread criminal acts of embezzlement with


the mode of bulging investment in the jewelery sector. This was experienced by
Erdina Yusani who was a victim of embezzlement in the jewelery investment
sector committed by Susan Wijaya so that Susan Wijaya's actions were suspected
of fulfilling the elements of embezzlement as stipulated in the Article 372 of the
Criminal Code. This is what lies behind the author's interest in writing this legal
memorandum with several problems, namely whether Susan Wijaya's actions can
be categorized as a crime of embezzlement as stipulated in Article 372 of the
Criminal Code? suspicion of embezzlement? and what legal remedies can Erdina
Yusani take against Susan Wijaya?
The analytical tool used in completing this case study is by interpreting or
interpreting law and legal construction. Interpretation or legal interpretation is
one method of legal discovery that provides an explanation of the text of the law.
The interpretation or legal interpretation used by the author in this case study is a
grammatical interpretation and a systematic interpretation. Then legal
construction is the process of giving meaning through logical reasoning to further
develop the text of the law. The legal construction used by the author in this case
study is to use legal refinement/legal concretization (rechtsvervijning).
The conclusion from this case study is that Susan Wijaya's actions can be
categorized as a crime of embezzlement as stipulated in Article 372 of the
Criminal Code. Susan Wijaya has deliberately violated the law, admitting that Rp.
270,000,000.- (two hundred and seventy million rupiah) which was money
belonging to Erdina Yusani for the purposes of investing in jewelery so that it was
under Susan Wijaya's control, but Susan Wijaya used the money for personal
needs. The procedure for reporting to the Police that can be carried out by Erdina
Yusani against Susan Wijaya in connection with an alleged crime of
embezzlement is to come to the nearest Police office from the location of the crime
according to the locus delicti, namely the Cicalengka Police or the Bandung
Police, then go straight to the Police Service Center. Integrated (“SPKT”). What
legal remedies Erdina Yusani can take against Susan Wijaya is to report the
alleged crime of embezzlement regulated in Article 372 of the Criminal Code
which was committed by Susan Wijaya because based on Article 108 of the
Criminal Procedure Code Erdina Yusani is a victim.
Keywords: Legal Actions, Embezzlement, and Investment.

iv
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tindakan Hukum Yang Dapat

Dilakukan Oleh Erdina Yusani Terhadap Tindak Pidana Penggelapan

Investasi Perhiasan Bodong Yang Dilakukan Oleh Susan Wijaya”, sebagai

salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa

adanya dukungan, bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak selama

penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih

setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Anton F. Susanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pasundan Bandung.

2. Bapak Maman Budiman, S.H., M.H., selamu dosen pembimbing skripsi atas

segala bimbingan, arahan serta saran yang diberikan kepada penulis sehingga

penulis skripsi ini dapat menyelesaikan dengan baik.

3. Bapak Murshal Senjaya, S.H., M.H., selaku dosen wali yang telah membantu

penulis dalam mengikuti dan menyelesaikan studi di Fakultas Hukum

Universitas Pasundan Bandung.

v
4. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung yang

telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai selama penulis

menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung.

5. Kedua orang tua penulis, Hamefa Gusliany Gumilang S.Pd.I. dan Drg.Resga

Rohmat MM. Yang selalu memberikan kasih sayang, doa, nasehat, serta atas

kesabarannya yang luar biasa dalam setiap langkah hidup penulis, yang

merupakan anugrah terbesar dalam hidup. Penulis berharap dapat menjadi

anak yang dapat dibanggakan.

6. Kakek dan Nenek penulis tercinta, Drs. H. Rd. Agus Adisoma (alm) dan Dra.

Hj. Entin Suryatin, MA.

7. Paman dan tante penulis tercinta, Bey Berli Adiasoma, Gemilang Adisoma,

Fikri Fatasidqi S.Pd. Derry Gusliana Gemilang Adisoma, Iim Nuraminah, SE.,

M.Ak. Dede Rohaya, S.Pd. dan segenap keluarga.

8. Andini Yuliani kekasihku tercinta, yang telah memberikan segala

dukungannya dalam berbagai bentuk baik dalam hidup penulis maupun

selama penulisan skripsi ini berlangsung.

9. Seluruh teman-teman penulis di Fakultas Universitas Pasundan angkatan 2018

yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terimakasih atas

pertemanan selama ini.

10. Teman-teman seperjuangan, Christian Viery dan Boby Fanny Simanjuntak

yang telah berperan besar dalam hidup penulis baik suka maupun duka.

Semoga panjang umur perjuangan.

vi
11. Teman-teman Harma, Yoga P.N. Juan Axellio dan seluruh teman-teman

Harma yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

12. Sahabat-sahabat tongkrongan, Raden Sagara, S.H. Fathi Aufa, S.H. Jonathan

Suwandi, M. Najib Tuasikal, Lesmana Satria, Arrafi Putma, Rexi Alfahad,

Patrick Devara, Fahmi Fauzi Shali, Martogi Panjaitan, Rayhan Ananta, Arya

Aswari beserta kawan-kawan.

13. Guru penulis tercinta, Jainal Tampubolon, S.H., Rafael Situmorang, S.H.,

M.H., Didi Iskandar, S.H., Saut Sagala, S.H. Biola SP. S.H. beserta para

senior yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu.

14. GMNI Komisariat Universitas Pasundan, terimakasih atas ilmu, pengalaman

serta perjuangan yang telah penulis dapat sehingga menjadi lebih baik dari

sebelumnya.

15. Kepengurusan GMNI Cabang Bandung, terimakasih karena telah memberikan

pengalaman yang sangat berharga dimana tidak penulis dapatkan di tempat

lain.

16. Caretaker FH Unpas, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dalam

mengembangkan diri penulis selama menempuh perkuliahan di Universitas

Pasundan Bandung.

17. STC Sekarwangi Bersatu, semoga tetap solid dan menggapai cita-citanya

masing-masing. Ucapan spesial Keep Fighter!

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah dengan

tulus ikhlas memberikan doa dan motivasi sehingga dapat terselesaikannya

skripsi ini.

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i


LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
ABSTRACT ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM ..................... 1
BAB II FAKTA HUKUM DAN IDENTIFIKASI FAKTA HUKUM ................... 9
A. Fakta Hukum ............................................................................................ 9
B. Identifikasi Fakta Hukum....................................................................... 12
BAB III ALAT ANALISIS ................................................................................... 13
A. Penelusuran Dokumen (Legal Research dan Legal Audit) .................... 13
B. Alat Analisis ........................................................................................... 22
1. Interpretasi Hukum........................................................................... 22
2. Konstruksi Hukum ........................................................................... 24
BAB IV ULASAN HUKUM ................................................................................ 26
A. Tindakan Susan Wijaya Dapat Dikategorikan Sebagai Tindak Pidana
Penggelapan Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 372 KUHPidana ....... 26
B. Tata Cara Pelaporan Ke Kepolisian Yang Dapat Dilakukan Oleh Erdina
Yusani Terhadap Susan Wijaya Sehubungan Adanya Dugaan Tindak
Pidana Penggelapan ............................................................................... 37
C. Upaya Hukum Apa Saja Yang Dapat Dilakukan Oleh Erdina Yusani
Terhadap Susan Wijaya.......................................................................... 46
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 53
A. Simpulan ................................................................................................ 53
B. Saran ....................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55

viii
BAB I

LATAR BELAKANG PEMILIHAN MASALAH HUKUM

Hukum memberikan perlindungan dan keamanan bagi manusia sebagai

makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, hukum berlaku

bagi masyarakat secara keseluruhan, atau hukum baru berlaku bagi kehidupan

satu atau lebih atau paling sedikit dua orang, baik tertulis maupun tidak. (Satjipto

Rahardjo, 2014, hlm. 64)

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum seperti dinyatakan dalam

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Amandemen Ke-4 yang menyebutkan bahwa :

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”.

Pasal ini menegaskan bahwa negara menyediakan sarana untuk melindungi

segala bentuk warga negara Indonesia, termasuk jaminan kehidupan dan

perlindungan hak asasi manusia.

Disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 Amandemen Ke-4 alinea keempat yang menyatakan bahwa :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan SNegara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

1
2

H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, menyatakan pendapatnya

mengenai makna yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 alinea keempat tersebut, yaitu : (H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto,

2008, hlm. 158)

“Pembukaan alinea keempat ini menjelaskan tentang Pancasila yang


terdiri dari lima sila. Pancasila secara substansial merupakan konsep yang
luhur dan murni; luhur, karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang
diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi
yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomis,
ketahanan, sosial dan budaya yang memiliki corak partikular.”

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen Ke-4

menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum.

Sebagai negara hukum, Indonesia selalu berkewajiban untuk memastikan bahwa

semua warga negara berada dalam kedudukan yang sama dalam hukum dan

pemerintahan dan tunduk pada hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.

Menurut Kaelan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yang keempat (dua) meliputi tujuan umum dan tujuan

khusus, dengan penjelasan sebagai berikut : (Kaelan, 2003, hlm. 160)

1. Partisipasi dalam mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang memiliki tujuan

umum yang terkait dengan politik luar negeri Indonesia.; dan

2. Tujuan Khusus yang mana hubungannya dengan politik dalam negeri

Indonesia, yaitu :

a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia;

b. Memajukan kesejahteraan umum;


3

c. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tujuan Negara Indonesia menurut Kaelan, maka salah satu dari tujuannya

yaitu mengenai :

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.”

Sudargo Gautama mengemukakan bahwa Negara Indonesia merupakan

negara hukum (rechtstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3)

UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen Ke-4.

Amandemen keempat, teori Negara hukum apabila diterapkan secara konsekuen

dan menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum (recht

zeker heids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. (Gautama, 1983, hlm.

83)

Negara berdasarkan hukum tentunya memiliki ideologi negara sebagai

ground norm, layaknya di Indonesia yang memiliki ideologi negara yaitu

Pancasila yang terdiri dari lima sila, yakni :

1. Ketuhanan yang maha esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/perwakilan; dan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dragon Malovanovic, menyatakan bahwa : (Malovanovic, 1999, hlm. 87)

“Hukum sebagai salah satu bentuk kontrol sosial bersifat khusus,


dilaksanakan menurut pandangan lembaga yang berwenang, dalam
peradilan dan proses administratif. Kontrol sosial ini, menurut beliau,
menjadi suatu visi bagi individu yang mengejar berbagai kepentingan.
4

Ketika konflik tidak bisa dihindari sedangkan tuntutan individu mengenai


stabilitas dan ketertiban masyarakat meningkat, maka perlu adanya
pemeliharaan suatu keseimbangan, atau keadaan status quo dalam
masyarakat.”

Erdianto Effendi, menyatakan bahwa : (Effendi, 2014, hlm. 6)

“Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan
aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu
pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar langgaran tersebut,
kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan, dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang melanggar larangan tersebut.”

Musa Darwin Pane, menyatakan bahwa : (Pane, 2017, hlm. 44)

“Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk


social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan
dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) pelaku
tanpa mengurangi keseimbangan kepentngan perorangan (pelaku) dan
masyarakat.”

Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, menyatakan bahwa : (Raghib, 2016, hlm.

53)

“Menurut Immanuel Kant, kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan. Ia


mencontohkan apabila seseorang melakukan tindak pidana, maka pidana
akan merupakan tuntutan mutlak dari hukum dan kesusilaan. Oleh karena
Kant mendasarkan teorinya atas kesusilaan (zedelijkheid), maka teorinya
dinamakan Teori pembalasan berdasarkan Etis (de
ethisevergeldingsthorie).”

Menurut teori-teori Immanuel Kant sebagaimana dikemukakan oleh Rasyid

Ariman dan Fahmi Raghib dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana adalah

menahan niat buruksi pembuat. Pidana bertujuan agar si pelanggar tidak

mengulangi kejahatannya. Cara-caranya ialah :

1. Menakuti si penjahat;

2. Memperbaiki si penjahat;
5

3. Kalau perlu, menyingkirkan si penjahat dengan pidana penjara atau pidana

mati.

Adanya tujuan hukum pidana tersebut dapat dilaksanakan melalui

penegakan hukum, dimana menurut Harun M. Husen menyatakan bahwa :

(Husen, 1990, hlm. 58)

“Pengertian penegakan hukum dapat juga diartikan penyelenggaraan


hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang yang
mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing
menurut aturan hukum yang berlaku.”

Penegakan hukum pidana merupakan satu kesatuan proses diawali dengan

penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan terdakwa dan diakhiri dengan

pemasyarakatan terpidana.

Septiayu Restu Wulandari, menyatakan bahwa : (Septiayu Restu Wulandari,

2018, hlm. 180)

“Mekanisme penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di


Indonesia mengacu kepada Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981
dengan prosedur yang dimulai dari penyelidikan dan penyidikan di
tingkat kepolisian, penuntutan oleh jaksa penuntut umum di persidangan
dan putusan pengadilan atau vonis hakim pengadilan.Proses tersebut
memerlukan waktu yang tidak praktis atau memerlukan waktu yang
lama.”

Hukum pidana berfungsi untuk melindungi korban yang mengalami

kerugian akibat adanya suatu tindak pidana, yang mana dalam penulisan legal

memorándum ini penulis akan memfokuskan pada tindak pidana penggelapan.

Penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau

seluruhnya di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi

penguasaan barang itu sudah terjadi secara sah. Misalnya penguasaan barang atas

pelaku terjadi, karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan


6

barang oleh pelaku terjadi karena, tugas atau jabatannya, misalnya petugas

penitipan barang. (Arsil, 2017, hlm. 1)

Tindak pidana penggelapan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 373

KUHPidana sampai Pasal 377 KUHPidana dapat terjadi dalam segala bidang atau

kegiatan masyarakat, contohnya adalah di bidang investasi. Investasi merupakan

suatu pengeluaran sejumlah dana investor guna membiayai kegiatan produksi

untuk mendapatkan profit dimasa yang akan datang. Memahami tentang investasi

tentunya akan lebih baik, jika kita memahami makna investasi itu sendiri.

Beberapa makna investasi dikemukakan oleh para ahli yaitu. Martono

mengungkapkan bahwa investasi merupakan penanaman dana yang dilakukan

oleh suatu perusahaan kedalam suatu aset dengan harapan memperoleh

pendapatan dimasa yang akan datang.

Investasi menurut Mulyana yaitu komitmen atas sejumlah dana atau

sumberdaya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh

sejumlah keuntungan dimasa datang. Sedangkan menurut Halim memberikan

definisi investasi merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan

harapan untuk memperoleh keuntungan dimasa yang akan datang. (Pujoalwanto,

2014, hlm. 164)

Fitzgeral mengartikan investasi adalah aktivitas yang berkaitan dengan

usaha penarikan sumber-sumber dana yang dipakai untuk mengadakan barang

modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasikan aliran produk

baru dimasa yang akan dating. (Sutrisno, 2008, hlm. 31)


7

Investasi dipakai untuk alat pemerataan, baik pemerataan antar daerah, antar

sektor dan antar perorangan. Investasi sebagai alat pemerataan ini tentu saja tidak

bisa dibiarkan berjalan sendiri atau dibiarkan berjalan menuruti mekanisme pasar

tetapi harus ada intervensi pemerintah. Pesatnya penanaman modal baik lokal

maupun asing di suatu negara merupakan suatu indikator bahwa negara tersebut

memiliki sistem perekonomian yang baik, karena didukung oleh kecukupan

sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Apalagi

jaminan keamanan, serta stabilitas sosial politik yang terjaga.

Kondisi ini akan menarik minat para investor menanam investasi. Maraknya

investasi disuatu negara, tentunya akan membawa manfaat yang positif bagi

negara yang bersangkutan. Misalnya terbukanya lapangan pekerjaan, transfer ilmu

pengetahuan, menambah pendapatan daerah/pusat. Juga mampuh mempercepat

kemajuan daerah tersebut melalui perbaikan infrastruktur, dan prasarana publik

lainnya. Oleh karena itu, semakin banyaknya jumlah investor dan semakin besar

nominal investasi yang ditanamkan, hal ini pasti akan mempengaruhi terhadap

akselerasi pertumbuhan ekonomi negara kearah yang positif. (Pujoalwanto, 2014,

hlm. 166)

Sayangnya, saat ini masih banyak oknum yang menjadi penerima dana atas

nama investasi perhiasan mas. Banyak masyarakat yang menjadi korban akan

terjadinya penggelapan yang dilakukan oleh penerima dana investasi perhiasan

mas. Contohnya hal yang dialami oleh Erdina Yusani, seorang ibu rumah tangga

yang terjerumus karena mempercai seseorang yang melakukan tindakan investasi

mas bodong, hal ini terjadi pada saat pelaku yang bernama Susan Wijaya yang
8

memperkenalkan dirinya sebagai orang yang mencari investor untuk usaha mas,

Susan Wijaya mengiming imingi keuntungan sebesar 25%-50% bagi siapa saja

yang menjadi investor dalam usahanya, mendengar hal tersebut Erdina Yusani

tertarik untuk melakukan investasi, sehingga Erdina Yusani memberanikan

dirinya untuk meninvestasikan uang sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh

puluh juta rupiah). Namun sayangnya uang keuntungan dan uang pokok investasi

yang diberikan oleh Erdina kepada Susan tidak kunjung didapatkan oleh Erdina.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk membuat karya

tulis ilmiah salah satunya adalah legal memorándum yang berjudul TINDAKAN

HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH ERDINA YUSANI

TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN INVESTASI

PERHIASAN BODONG YANG DILAKUKAN OLEH SUSAN WIJAYA.


BAB II

FAKTA HUKUM DAN IDENTIFIKASI FAKTA HUKUM

A. Fakta Hukum

Sejumlah uang pembayaran di-transfer kepada Ibu Susan Wijaya,

melalui rekening Bank BRI 377301046794532 an Susan Wijaya atau rekening

Bank BCA 3760878048 an Susan Wijaya, rinciannya adalah sebagai berikut :

1. Uang sejumlah Rp. 55.100.000,- (Lima Puluh Tujuh Juta Rupiah) dengan

hasil sharing profit yang dijanjikan sebesar 40%;

Tanggal Dana atau Barang Yang

Diserahkan

Cash Transfer

2 September 2021 Perhiasan Mas Rp. 2.500.000,-

senilai Rp. (Dua Juta Lima

2.600.000,- (Dua Ratus Rupiah)

Juta Enam ratus

Rupiah)

7 September 2021 Rp. 11.000.000,-

(Sebelas Juta

Rupiah)

10-13 September 2021 Rp. 20.000.000,-

(Dua Puluh Juta

Rupiah)

9
10

14-16 September 2021 Rp. 3.000.000,-

(Tiga Juta

Rupiah)

26 September 2021 Rp. 9.000.000,-

(Sembilan Juta

Rupiah)

6 September 2021 Rp. 7.000.000,-

(tujuh Juta

Rupiah)

2. Uang sejumlah Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah) dengan hasil

sharing profit yang dijanjikan sebesar 40%;

Tanggal Dana atau Barang Yang

Diserahkan

Cash Transfer

17 Agustus 2021 Rp. 10.000.000,-

(Sepuluh Juta

Rupiah)

3. Uang sejumlah Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta rupiah) dengan hasil

sharing profit yang dijanjikan sebesar 25%;

Tanggal Dana atau Barang Yang

Diserahkan

Cash Transfer

23 Agustus 2021 Rp. 10.000.000,- Rp. 20.000.000,-


11

(Sepuluh Juta (Lima Puluh Juta

Rupiah) Rupiah)

24 Agustus 2021 Rp. 20.000.000,-

(Dua Puluh Juta

Rupiah)

4. Uang sejumlah Rp. 70.000.000,- (Tujuh Puluh Juta Rupiah) dengan hasil

sharing profit yang dijanjikan sebesar 40%;

Tanggal Dana atau Barang Yang

Diserahkan

Cash Transfer

11 Juli 2021 Rp 70.000.000,-

(Tujuh Puluh Juta

Rupiah)

5. Uang sejumlah Rp. 39.000.000,- (Tiga Puluh Sembilan Juta Rupiah)

dengan hasil sharing profit yang dijanjikan sebesar 40%;

Tanggal Dana atau Barang Yang

Diserahkan

Cash Transfer

29 September 2021 Rp. 39.000.000,-

(Tiga Puluh

Sembilan Juta

Rupiah)
12

B. Identifikasi Fakta Hukum

1. Apakah tindakan Susan Wijaya dapat dikategorikan sebagai Tindak

Pidana Penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHPidana ?

2. Bagaimana tata cara pelaporan ke Kepolisian yang dapat dilakukan oleh

Erdina Yusani terhadap Susan Wijaya sehubungan adanya dugaan tindak

pidana penggelapan ?

3. Upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap

Susan Wijaya ?
BAB III

ALAT ANALISIS

A. Penelusuran Dokumen (Legal Research dan Legal Audit)

Para ahli dalam bidang investasi memiliki pandangan yang berbeda

mengenai konsep teoritis tentang investasi. Menurut Harrod-domar, melihat

pentingnya investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, sebab investasi akan

meningkatkan stok barang modal, yang memungkinkan peningkatan output.

Sumber dana domestik untuk keperluan investasi berasal dari bagian produksi

(pendapatan nasional) yang di tabung. Dimana apabila pada suatu masa

tertentu dilakukan sejumlah pembentukan modal, maka pada masa berikutnya

stok modal akan bertambah di masa yang akan datang. (Manurung, 2001, hlm.

143)

Sedangkan menurut Keynes ia mengemukakan bahwa besarnya

tabungan yang dilakukan oleh rumah tangga bukan tergantung kepada tinggi

rendahnya tingkat bunga. Terutama tergantung kepada besar kecilnya tingkat

pendapatan rumah tangga tersebut. Makin besar jumlah pendapatan yang

diterima oleh sesuatu rumah tangga, makin besar pula jumlah tabungan yang

akan dilakukan olehnya. Dan apabila jumlah pendapatan rumah tangga itu

tidak mengalami perubahan, perubahan yang cukup besar dalam tingkat bunga

tidak akan menimbulkan pengaruh yang berarti keatas jumlah tabungan yang

akan dilakukan oleh rumah tangga tersebut. (Sukirno, 2007, hlm. 99)

Investasi merupakah salah satu faktor penggerak dalam meningkatkan

laju pertumbuhan ekonomi suatu negara. Penanaman modal yang dilakukan

13
14

untuk menyetok modal atau dana untuk masa yang akan datang. Sumber-

sumber investasi dapat berasal dari berbagai sumber. Sumber investasi dapat

berasal dari pendapatan nasional, tingkat bunga dan bukan berasal dari tingkat

bunga melainkan dari pendapatan yang didapat, karena semakin besar

pendapatan maka akan semakin besar yang ditabung. Dalam kenyataannya,

peran investasi belum sepenuhnya dianggap sebagai penyumbang untuk

meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Negara Berkembang, khususnya

dikalangan masyarakat menengah kebawah. Karena pendapatan yang mereka

hasilkan masih kecil sekali, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari belum

mencukupi.

Kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus akan

meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat. Dimana Indonesia mengalami

penekanan jumlah penduduk yang makin meningkat setiap

tahunnya.Peningkatan jumlah penduduk yang semakin meningkat karena

belum seimbangnya kegiatan ekonomi khususnya kesempatan kerja yang

tersedia sehingga menciptakan permasalahn pokok yaitu pengangguran.

Adapun jenis-jenis investasi, yakni sebagai berikut : (Sutrisno, 2008,

hlm. 37–38)

1. Investasi berdasarkan asetnya

Investasi berdasarkan asetnya merupakan penggolongan investasi

dari aspek modal atau kekayaannya. Investasi berdasarkan asetnya dibagi

menjadi dua jenis, yaitu :

14
15

a. Real asset, yaitu investasi yang berwujud seperti gedung-gedung,

kendaraan dan sebagainya; dan

b. Financial asset merupakan dokumen (surat-surat) klaim tidak

langsung pemegangnya terhadap aktivitas riil pihak yang menerbitkan

sekuritas tersebut.

2. Investasi berdasarkan pengaruhnya

Investasi menurut pengaruhnya merupakan investasi yang di

dasarkan pada faktor yang mempengaruhi atau tidak berpengaruh dari

kegiatan investasi.

3. Investasi berdasarkan sumber pembiayaannya

Investasi ini diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1967

Tentang Penanaman Modal Asing; Undang-Undang No 11 Tahun 1968

tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang mana investasi

berdasarkan sumber pembiayaannya merupakan investasi yang didasarkan

pada asal-usul investasi itu diperoleh.

4. Investasi berdasarkan bentuknya

Investasi berdasarkan bentuknya merupakan investasi yang

didasarkan pada cara menanamkan investasinya. Investasi cara ini dibagi

menjadi dua macam, yaitu : investasi portofolio dan investasi langsung.

Investasi portofolio ini dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen

surat berharga, seperti saham dan obligasi. Investasi langsung merupakan

bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli modal, atau

mengakuisi perusahaan.

15
16

Setiap investasi akan memberikan kontribusi yang besar untuk

pertumbuhan ekonomi, karena investasi akan mendorong aktivitas

perekonomian. Kegiatan investasi akan menyerap dana-dana menganggur

yang dimiliki oleh masyarakat atau perseroan, sehingga tersalur ke aktivitas

yang lebih produktif. Dengan dana yang didapatkan dari pemiliknya,

melaluiaktivitas investasi akan tercipta kegiatan produksi, industri maupun

jasa-jasa perdagangan lainnya. Kegiatan tersebut menghasilkan barang dn jasa

yang manambah produksi baik untuk dipasarkan didalam negeri maupun

untuk tujuan ekspor. Kegiatan investasi juga akan menciptakan lapangan kerja

bagi masyarakat, terutama manfaatnya sangat dirasakan untuk menyerap

tenaga kerja di sekitar lokasi proyek investasi tersebut berada. Dengan adanya

investasi akan menambah penerimaan pemerintah dari pajak maupun

penerimaan negara dalam bentuk lainnya. Keseluruhan hal-hal tersebut sangat

mendukung kegiatan ekonomi nasional. Secara singkat investasi dimaksud

akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), dan apabila pertumbuhan

investasi mengalami stagnasi, pada akhirnya akan mempengaruhi laju

pertumbuhan PDB secara keseluruhan.

Mayoritas masyarakat Indonesia melakukan investasi dengan investasi

emas, karena tidak sulit untuk didapatkan dan dapat dilakukan oleh semua

lapisan masyarakat. Investasi emas termasuk salah satu investasi yang aman

karena nilainya yang cenderung stabil dan termasuk salah satu investasi

jangka panjang. Ada beberapa jenis penjualan emas yang dilakukan di

Indonesia, yaitu : (Surya, 2016, hlm. 59)

16
17

1. Pertama, emas dalam bentuk batangan dan dalam bentuk koin emas. Emas

yang dijual dalam bentuk batangan ini sudah banyak kita temui di

beberapa perusahaan dan juga pada Industri Perbankan di Indonesia

dengan harganya relatif sama karena mengikuti harga emas dunia.

Sedangkan Emas dalam bentuk koin merupakan investasi koin emas yang

sebenarnya relatif sama dengan investasi emas batangan, hanya saja yang

membedakan adalah jika memiliki koin emas kuno maka harganya akan

lebih mahal;

2. Kedua, emas dalam bentuk perhiasan. Ini mempunyai dua fungsi yaitu

sebagai perhiasan dan sebagai investasi. Pembelian perhiasan emas

harganya lebih mahal karena ditambah biaya produksi pembuatan

perhiasannya yang tinggi oleh perusahaan penjual emas dalam bentuk

perhiasan, namun ketika dijual kembali akan mengalami penurunan harga

karena hanya dinilai melalui beratnya. Banyak masyarakat yang sudah

menggunakan investasi emas sevagai alternatif yang menjanjikan.

Investasi memang diatur dalam beberapa ketentuan peraturan

perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-Undang No 1 Tahun 1967

Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No 11 Tahun 1968

tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Namun masih banyak oknum yang

menjadi penerima dana investasi dari masyarakat, padahal usaha dalam

investasinyapun tidak jelas. Hal ini justru akan mengacu beberapa tindak

pidana, contohnya tindak pidana penggelapan.

17
18

Penggelapan terbagi kepada empat macam yaitu, salah satunya tindak

pidana penggelapan biasa dan tindak pidana penggelapan dalam jabatan.

Lebih lanjut, aturan mengenai tindak pidana penggelapan barang dengan objek

dan subjek tertentu serta masing-masing ancaman pidananya diatur

dalam Pasal 373 hingga Pasal 377 KUHP. Yang mana Pasal 373 KUHPidana

menentukan bahwa : (Marbun, 2011, hlm. 99–102)

“Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372, apabila yang


digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh
lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak
dua ratus lima puluh rupiah.”

Pasal 374 KUHPidana menentukan bahwa :

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya


terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena
pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.”

Pasal 375 KUHPidana yang menentukan bahwa :

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa


diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali
pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus
lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang
dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.”

Pasal 377 KUHPidana yang menentukan bahwa :

1. Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang dirumuskan

dalam pasal 372, 374, dan 375, hakim dapat memerintahkan supaya

putusan diumumkan dan dicabutnya hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-

4; dan

18
19

2. Jika kejahatan dilakukan dalam menjalankan pencarian maka dapat

dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.

Penggelapan merupakan penyelewengan, korupsi, proses, cara atau

perbuatan menggelapkan, hal ini diatur dalam Pasal 372 KUHP. Menurut

Cleiren inti delik penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan selalu

menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan

kepada orang yang menggelapkan itu. Barangsiapa dengan sengaja secara

tidak sah memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan

orang lain dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, ia pun telah bersalah

melakukan tindak pidana penggelapan. (Subekti, 1995, hlm. 111)

Seseorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana, apabila

memenuhi unsur-unsur ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana

tersebut. Dasar utama dalam hukum pidana adalah adanya suatu tindak pidana

yang memberikan suatu pengertian tentang suatu perbuatan yang dilarang atau

diharuskan oleh undang-undang, dimana terhadap pelanggarnya dapat dijatuhi

pidana. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana, apabila

perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang dirumuskan sebagai tindak

pidana. (Wiyanto, 2012, hlm. 163)

Unsur-unsur dalam tindak pidana adalah menilai bagaimana bunyi

rumusan yang dibuatnya. Tindak pidana terdiri dari unsurunsur yang dapat

dibedakan atas unsur yang bersifat objektif dan unsur yang bersifat subjektif.

Menurut Lamintang unsur objektif itu adalah unsur yang ada hubungannya

dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaankeadaan mana tindakan-

19
20

tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur objektif itu meliputi :

(Azisa, 2016, hlm. 100)

1. Perbuatan manusia terbagi atas perbuatan yang bersifat positf dan bersifat

negatif yang menyebabkan suatu pelanggaran pidana. Sebagai contoh

perbuatan yang bersifat positif yaitu pencurian (Pasal 362 KUHP),

penggelapan (Pasal 372 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP), dan

sebagainya. Sedangkan contoh perbuatan negatif yaitu tidak melaporkan

kepada pihak yang berwajib padahal dia mengetahui ada komplotan untuk

merobohkan negara (Pasal 165 KUHP), membiarkan orang dalam keadaan

sengsara, sedangkan ia berkewajiban memberikan pemeliharaan

kepadanya (Pasal 304 KUHP) Terkadang perbuatan positif dan negatif

terdapat dengan tegas di dalam norma hukum pidana yang dikenal dengan

delik formil. Dimana pada delik formil yang diancam hukuman adalah

perbuatannya seperti yang terdapat pada Pasal 362 KUHP dan Pasal 372

KUHP, sedangkan terkadang pada suatu pasal hukum pidana dirumuskan

hanya akibat dari suatu perbuatan saja diancam hukuman, sedangkan cara

menimbulkan akibat itu tidak diuraikan lebih lanjut, delik seperti ini

disebut sebagai delik materil yang terdapat pada Pasal 338 KUHP;

2. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusaknya atau

membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma

hukum pidana itu perlu ada supaya dapat dipidana. Akibat ini ada yang

timbul seketika bersamaan dengan perbuatannya, misalnya dalam

pencurian hilangnya barang timbul seketika dengan perbuatan mengambil,

20
21

akan tetapi ada juga bahwa akibat itu timbulnya selang beberapa waktu,

kadang-kadang berbeda tempat dan waktu dari tempat dan waktu

perbuatan itu dilakukan misalnya dalam hal pembunuhan, perbuatan

menembak orang yang dibunuh misalnya telah dilakukan pada tempat dan

waktu yang tertentu, akan tetapi matinya (akibat) orang itu terjadi baru

selang beberapa hari dan di lain tempat;

3. Keadaan-keadaannya sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini biasa

terdapat pada waktu melakukan perbuatan, misalnya dalam Pasal 362

KUHP keadaan bahwa barang yang dicuri itu kepunyaan orang lain adalah

suatu keadaan yang terdapat pada waktu perbuatan mengambil itu

dilakukan, dan bisa juga keadaan itu timbul sesudah perbuatan itu

dilakukan, misalnya dalam Pasal 345 KUHP, keadaan jika orang itu jadi

membunuh diri adalah akibat yang terjadi sesudah penghasutan bunuh diri

itu dilakukan;

4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidana. Perbuatan itu melawan

hukum, jika bertentangan dengan undang-undang. Pada beberapa norma

hukum pidana unsur “melawan hukum” ini dituliskan tersendiri dengan

tegas di dalam satu pasal, misalnya dalam Pasal 362 KUHP disebutkan:

“memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak)”. Sifat dapat

dipidana artinya bahwa perbuatan itu harus diancam dengan pidana, oleh

suatu norma pidana yang tertentu. Sifat dapat dipidana ini bisa hilang, jika

perbuatan itu, walaupun telah diancam pidana dengan undang-undang

21
22

tetapi telah dilakukan dalam keadaan- keadaan yang membebaskan

misalnya dalam Pasal-Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

B. Alat Analisis

Alat analisis yang dipergunakan dalam studi kasus ini adalah:

1. Interpretasi Hukum

Istilah lain dari penafsiran hukum yaitu interpretasi hukum.

Interpretasi hukum atau penafsiran hukum sendiri adalah suatu upaya

menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti luas maupun

sempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk

memecahkan persoalan yang sedang dihadapi.

Menurut Sudikno Mertokusumo Interpretasi atau penafsiran hukum

merupakan : (Mertokusumo, 2005, hlm. 104)

“Salah satu metode penemuan hukum yang memberi


penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang
agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan
dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi adalah sarana
atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.”

Dalam studi kasus ini, penulis menggunakan jenis interpretasi yang

berupa:

a. Interpretasi Gramatikal

Metode interprtasi yang digunakan merupakan interpretasi

gramatikal. Andi Hamzah interpretasi gramatikal adalah : (Hamzah,

2008a, hlm. 89)

“Interpretasi gramatikal adalah interpretasi yang


didasarkan kepada kata-kata dari undang-undang. Jika
kata-kata undang-undang sudah jelas, maka harus di

22
23

terapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun


seandainya maksud pembuat undang-undang itu lain”.

b. Interpretasi Sistematik

Interpretasi ini didasarkan kepada hubungan secara umum suatu

aturan pidana. Hakikatnya terbentuknya undang-undang merupakan

suatu bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta berpendapat tentang

berlakunya suatu aturan perundang-undangan yang mengatakan bahwa

: (Sidharta, 2009, hlm. 114)

“Sebagai kosekuensi logis dari berlakunya suatu aturan


perundang-undangan maka untuk menafsirkan undang-
undang tersebut tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem peraturan perundang-undangan tersebut”.

c. Interpretasi Sosiologis

Interpretasi Sosiologis adalah interpretasi sosiologis yakni cara

penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna

atau yang didasarkan pada tujuan kemasyarakatan. Metode interpretasi

undang-undang diterapkan pada suatu undang-undang yang masih

berlaku tetapi kurang berfungsi karena tidak sesuai lagi dengan

keadaan jaman. Terhadap undang-undang yang ada diupayakan

(melalui penafsiran) untuk dapat digunakan terhadap peristiwa,

hubungan, kebutuhan dan lingkungan masa kini dengan tidak

memperhatikan apakah itu pada saat diundangkannya sudah dikenal

atau tidak. Dengan lebih sederhana pengertian metode interpretasi

23
24

teleologis atau sosiologis dapat dikemukakan yaitu merupakan upaya

menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hubungan dan

situasi sosial yang baru. Keadaan undang-undang yang sebenamya

sudah tidak sesuai lagi dengan zaman dijadikan alat untuk

menyelesaikan sengketa yang terjadi pada saat sekarang. (Surinta,

2018, hlm. 124)

2. Konstruksi Hukum

Kontruksi hukum ini dapat di gunakan oleh hakim untuk metode

penemuan hukum apabila dalam mengadili suatu perkara pidana tidak ada

peraturan yang mengatur dengan khusus perihal peristiwa yang terjadi.

Menurut Bambang Sutiyoso konstruksi hukum adalah : (Sutiyoso,

2006, hlm. 115)

“Metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk


pengertian (hukum) bukan untuk menjelaskan barang.
Pengertian hukum yang di maksud adalah untuk merupakan
alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang
dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah
yang baik. Menyusun yang di maksud ialah menyatukan apa
yang termaksud dalam satu bidang yang sama dan pengaruh
oleh waktu tertentu serta keadaan tertentu.”

Dalam Studi Kasus ini, penulis mencoba melakukan kontruksi

hukum dengan menggunakan kontruksi hukum penghalusan

hukum/pengkonkritan hukum (rechtsvervijning). Tidak jarang norma yang

ada dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas dan terlalu umum

ruang lingkupnya, maka hakim perlu mempersempit makna yang

terkandung dalam ketentuan undang-undang tersebut.

24
25

Menusut Ahmad Rifaii tujuan dari metode penghalusan

hukum/pengkonkritan hukum adalah : (Rifaii, 2010, hlm. 86)

“Metode penghalusan hukum/pengkongkritan hukum,


bertujuan untuk mengkongkritkan/menyempitkan suatu
aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta umum, agar
dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu”.

25
BAB IV

ULASAN HUKUM

A. Tindakan Susan Wijaya Dapat Dikategorikan Sebagai Tindak Pidana

Penggelapan Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 372 KUHPidana

Pidana berasal dari kata Straf (Belanda), pada dasarnya dapat dikatakan

sebagai suatu penderitaan yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada

seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Menurut Moeljatno dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal

dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno

menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. (M. dan B. N. Arief,

2005, hlm. 1)

Andi Hamzah sebagai ahli hukum Indonesia membedakan istilah

hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah

straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua

jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan

pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi

yang berkaitan dengan hukum pidana. (Hamzah, 2008b, hlm. 27)

Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang

juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-

negara Anglo-Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud

yang sama. Oleh karena Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP)

Indonesia bersumber pada Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, maka

26
27

istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit. Pengertian tindak pidana telah

banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana. (Aris, 2014, hlm. 192)

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tindak

pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang

siapa yang melakukannya.

Secara teoritis terdapat beberapa jenis tindak pidana. Tindak pidana

dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran, dengan

penjelasan sebagai berikut : (Ali, 2015, hlm. 98)

1. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang

bertentangan dengan keadilan, terlepasapakah perbuatan itu diancam

pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak

dirumuskan sebagai delik dalam suatu undang-undang, perbuatan ini

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan sebagai

perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini juga

disebut mala in se yang artinya adalah perbuatan tersebut merupakan

perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat; dan

2. Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru

disadari sebagai tindak pidana, karena undang-undang merumuskannya

sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana

oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancam dengan sanksi

pidana. Tindak pidana jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita

(malum prohibitum crimes).

27
28

Hukum pidana memiliki berbagai unsur. Untuk mengetahui adanya

tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-

undanagan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai

dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat

yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas

dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Berikut ini kumpulan

unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana.

Simons berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana (Strafbaar feit)

adalah perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat

atau membiarkan). Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) melawan

hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband

stand) oleh yang orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatoaar

person). Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur-unsur

subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit). (Hukum, 2017, hlm. 1)

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu dapat

diketahui adanya 11 unsur tindak pidana yakni :

1. Unsur tingkah laku;

2. Unsur melawan hukum;

3. Unsur kesalahan;

4. Unsur akibat konstitutif;

5. Unsur keadaan yang menyertai;

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

28
29

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

9. Unsur objek hukum tindak pidana;

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana; dan

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam

penggelapan (372) yang bersifat subjektif, artinya terdapat kesadaran bahwa

memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaann yaitu merupakan

celaan masyarakat. Istilah penggelapan sebagaimana yang lazim dipergunakan

orang untuk menyebut jenis kejahatan yang di dalam buku II Bab XXIV (24)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu adalah suatu terjemahan dari

perkataan verduistering dalam bahasa Belanda. Suatu tindak pidana,

mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan.

Beberapa tindak pidana yang terjadi harus diketahui makna dan definisinya

termasuk tindak pidana penggelapan. (Effendy, 1989, hlm. 49)

Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam Pasal 372 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa :

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang,


yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada
padanya bukan karena kejahatan, dipidana penggelapan dengan pidana
penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyakbanyaknya
sembilan ratus rupiah.”

Lamintang mengemukakan penjelasannya mengenai tindak pidana

penggelapan yaitu. Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV

KUHP lebih tepat disebut sebagai tindak pidana penyalahgunaan hak atau

penyalahgunaan kepercayaan. Sebab, inti dari tindak pidana yang diatur dalam

29
30

BAB XXIV KUHP tersebut adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan

kepercayaan. Penyebutan tersebut maka akan lebih memudahkan bagi setiap

orang untuk mengetahui perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dan diancam

pidana dalam ketentuan tersebut.

Adami Chazawi menambahkan penjelasan mengenai penggelapan

berdasarkan Pasal 372 KUHP yang dikemukakan sebagai berikut. Perkataan

verduistering yang kedalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan

penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan secara arti luas, bukan

diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membuat sesuatu menjadi

tidak terang atau gelap. Lebih mendekati pengertian bahwa terdakwa

menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai suatu benda (memiliki),

hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi

kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan karena kejahatan.

(Chazawi, 2010, hlm. 89)

Unsur-unsur dari penggelapan adalah sebagai berikut :

1. Unsur-unsur objektif yang terdiri dari :

a. Mengaku sebagai milik sendiri;

b. Sesuatu barang;

c. Seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain;

d. Yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

2. Unsur Subjektif yang terdiri dari :

a. Unsur Kesengajaan; dan

b. Unsur Melawan Hukum.

30
31

Dalam legal memorandum ini, penulis hendak melakukan penlehaan

atau interpretasi hukum terhadap objek penelitian yang merupakan dapat

diduga sebagai suatu kasus penggelapan. Yakni hal yang dialami oleh Erdina

Yusani, seorang ibu rumah tangga yang terjerumus karena mempercai

seseorang yang melakukan tindakan investasi mas bodong, hal ini terjadi pada

saat pelaku yang bernama Susan Wijaya yang memperkenalkan dirinya

sebagai orang yang mencari investor untuk usaha mas, Susan Wijaya

mengiming-imingi keuntungan sebesar 25%-50% bagi siapa saja yang

menjadi investor dalam usahanya, mendengar hal tersebut Erdina Yusani

tertarik untuk melakukan investasi, sehingga Erdina Yusani memberanikan

dirinya untuk meninvestasikan uang sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus

tujuh puluh juta rupiah). Namun sayangnya uang keuntungan dan uang pokok

investasi yang diberikan oleh Erdina kepada Susan tidak kunjung didapatkan

oleh Erdina.

Dari kasus diatas, maka dapat dijabarkan unsur-unsur penggelapan yang

diatur dalam Pasal 372 KUHPidana dengan penjelasan sebagai berikut sebagai

berikut :

1. Mengaku sebagai milik sendiri

Adami Chazawi menerangkan bahwa perbuatan memiliki adalah

berupa perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah ia pemilik benda itu.

Dengan pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa pelaku dengan

melakukan perbuatan memiliki atas suatu benda yang berada dalam

31
32

kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik

melakukan perbuatan terhadap benda itu. (Chazawi, 2010, hlm. 72)

Dapat di interpretasikan bahwa Susan Wijaya merupakan subjek

yang menerima sejumlah uang dari Erdina Yusani dengan tujuan untuk

melakukan investasi di bidang perhiasan dengan nominal sebesar Rp.

270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta rupiah). Namun sayangnya

Susan Wijaya tidak menggunakan uang tersebut untuk invetasi melainkan

menggunakan uang tersebut untuk keperluan individua tau pribadi.

Hal ini sesuai dengan penjelasan yang menyatakan bahwa tindak

pidana penggelapan dipersyaratkan, bahwa perbuatan menguasai itu harus

sudah terlaksana atau selesai. Misalnya, barang tersebut telah dijual,

dipakai sendiri, ditukar, dan sebagainya.

2. Sesuatu barang

Perbuatan menguasai suatu barang yang berada dalam kekuasaannya

sebagaimana yang telah diterangkan diatas, tidak mungkin dapat dilakukan

pada barang-barang yang sifat kebendaannya tidak berwujud. Karena

objek penggelapan hanya dapat ditafsirkan sebagai barang yang sifat

kebendaannya berwujud, dan atau bergerak.

Adami Chazawi dalam penjelasannya menyatakan bahwa unsur ini

menentukan barang yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya

suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan barang itu, yang menjadi

indikatornya ialah, apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda

itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan

32
33

perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap bendabenda yang

berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi terhadap benda-

benda tidak berwujud dan tetap. (Chazawi, 2010, hlm. 77)

Barang yang berada dalam kekuasaan Susan Wijaya memiliki hsuatu

hubungan langsung dan sangat erat dengan barang itu yakni sejumlah uang

sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) karena Susan

Wijaya merupaka seseorang yang memiliki uasaha yang bergerak di

bidang investasi perhiasan, yang menjadi indikatornya ialah, apabila Susan

Wijaya hendak melakukan perbuatan terhadap uang tersebut, Susan

Wijaya dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan

perbuatan lain terlebih dahulu.

3. Seluruhnya atau sebagian milik orang lain

Unsur ini mengandung pengertian bahwa benda yang diambil

haruslah barang atau benda yang dimiliki baik seluruhnya ataupun

sebagian milik orang lain. Jadi harus ada pemiliknya sebagaimana

dijelaskan di atas, barang atau benda yang tidak bertuan atau tidak ada

pemiliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Dengan demikian

dalam tindak pidana penggelapan, tidak dipersyaratkan barang yang dicuri

itu milik orang lain secara keseluruhan. Penggelapan tetap ada meskipun

itu hanya sebagian yang dimiliki oleh orang lain.

Uang sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta rupiah)

tersebut merupaka milik dari Erdina Yusani yang diinvestasikan kepada

Susan Wijaya, jadi dapat disimpulkan bahwa uang sebesar Rp.

33
34

270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) merupaka seluruhnya

milik Erdina Yusani.

4. Berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

Hal pertama yang harus dibahas dalam ini adalah maksud dari

menguasai. Dalam tindak pidana pencurian, menguasai termasuk sebagai

unsur subjektif sedangkan dalam penggelapan, hal ini termasuk unsur

objektif. Dalam pencurian, menguasai merupakan tujuan dari pelakunya

sehingga unsur menguasai tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan yang

dilarang. Dalam hal ini, maksud pelakulah yang harus dibuktikan.

Sedangkan dalam penggelapan, menguasai bukan merupakan tujuan

pelaku sehingga perbuatan menguasai dalam penggelapan harus ada pada

pelaku.

Dalam tindak pidana penggelapan, perbuatan menguasai bukan

karena kejahatan, bukan merupakan ciri pokok. Unsur ini merupakan

pembeda dengan pidana pencurian. Sebagaimana diketahui bahwa suatu

barang dapat berada dalam kekuasaan orang, tidaklah harus terkena tindak

pidana. Penguasaan barang oleh seseorang dapat terjadi karena perjanjian

sewa-menyewa, jual beli, pinjam meminjam dan sebagainya.

Apabila suatu barang berada dalam kekuasaan orang bukan karena

kejahatan tetapi karena perbuatan yang sah, kemudian orang yang diberi

kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang

tersebut untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum, maka

orang tersebut berarti melakukan penggelapan.

34
35

Mengenai perbuatan menguasai tidak hanya terbatas pada menguasai

secara melawan hukum benda-benda tersebut secara nyata barulah dapat

dikatakan sebagai penggelapan bahkan dapat pula dikatakan sebagai

penggelapan terhadap perbuatan menguasai secara melawan hukum

terhadap benda-benda yang secara nyata tidak langsung dikuasai oleh

orang tersebut.

Jika diinterprestasikan dengan kasus yang menjadi objek penelitian,

maka dapat disimpulkan bahwa uang yang sebesar Rp. 270.000.000,- (dua

ratus tujuh puluh juta rupiah) tersebut berada dalam kekuasaan Susan

Wijaya bukan karena kejahatan, karena tujuan dari Erdina Yusani

menyimpan uang di Susan Wijaya itu adalah untuk melakukan investasi

perhiasan.

5. Unsur melawan hukum

Pada saat membicarakan penggelapan, telah cukup dibahas akan

unsur melawan hukum ini. Karenanya di sini tidak akan dibicarakan lagi.

Dalam hubungannya dengan kesengajaan, penting untuk diketahui bahwa

kesengajaan pelaku juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum ini,

yang pengertiannya sudah diterangkan diatas.

Unsur melawan hukum dalam tindak pidana penggelapan ini jika

dikaitkan dengan perbuatan Susan Wijaya adalah dimana Susan Wijaya

menggunakan uang sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta

rupiah) yang merupakan milik Erdina Yusani untuk keperluan pribadi,

karena uang tersbut disimpan di Susan Wijaya untuk keperluan investasi

35
36

perhiasan, namun Susan Wijaya malah menggunakan uang tersebut untuk

keperluan pribadi.

6. Dengan sengaja

Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu

barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya

milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada padanya

atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

Susan Wijaya menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki

sesuatu barang. Menyadari bahwa barang itu adalah uang sebesar Rp.

270.000.000,- (dua ratus juta rupiahh) yang merupakan seluruhnya milik

orang lain, demikian pula Susan Wijaya menyadari bahwa barang itu ada

padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Jadi

kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan

sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang

dilarang dari perbuatannya.

Berdasarkan uraian atau penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidana

penggalapn sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

tindakan Susan Wijaya dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana

Penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHPidana adalah Susan

Wijaya telah dengan sengaja melawan hukum mengaku bahwa uang sebesar

Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) yang merupakan uang

milik Erdina Yusani untuk keperluan investasi perhiasan sehingga verada

36
37

dalam kekuasaan Susan Wijaya, namun Susan Wijaya menggunakan uang

tersebut untuk keperluan pribadi.

B. Tata Cara Pelaporan Ke Kepolisian Yang Dapat Dilakukan Oleh Erdina

Yusani Terhadap Susan Wijaya Sehubungan Adanya Dugaan Tindak

Pidana Penggelapan

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk

mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat

menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang

melibatkan banyak hal. (Shant, 1998, hlm. 32)

Pengertian penegakan hukum pidana dapat diartikan sebagai

penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang

yang mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing

menurut aturan aturan hukum yang berlaku. Bila dikaitkan dengan penegakan

hukum penistaan terhadap agama, maka saat ini seharusnya hukum bisa

diteggakan Penegakan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan maupun

pelanggaran terhadap penistaan agama tersebut jika dihubungan dengan

37
38

pendapat Hoefnagels maka dapat diterapkan dengan beberapa cara yaitu : (N.

B. Arief, 1991, hlm. 42)

1. Penerapan hukum pidana (Criminal law apllication);

2. Pencegahan tanpa pidana (Pervention without punishment); dan

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa. Penegakan hukum pidana dengan nilai

humanistik menuntut pula diperhatikannya ide Individualisasi Pidana

dalam kebijakan hukum pidana.

Ide individualisasi pidana ini antara lain mengandung beberapa

karakteristik sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi atau perorangan (asas

Personal);

2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas

adalah tiada pidana tanpa kesalahan); dan

3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ada

fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat

ringannya saksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana

(perubahan atau penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Penegakan hukum pidana melalui beberapa tujuan tertentu. beberapa

tahap sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk

mencapai suatu tujuan tertentu. Tahap-tahap tersebut adalah :

1. Tahap Formulasi

38
39

Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat

undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan

keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian

merumuskannya dalam bentuk peraturan perundangundangan yang paling

baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini

disebut dengan tahap kebijakan legislative.

2. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana)

oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan.

Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta

menerapkan peraturan-peraturan perundangundangan pidana yang telah

dibuat oleh pembuat undangundang, dalam melaksanakan tugas ini aparat

penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan guna.

Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh

aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparataparat pelaksana

pidana bertugas menegakkan peraturan perundangundangan yang telah

dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah

diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian proses

pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-

aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus

39
40

berpedoman pada peraturan perundang- undangan pidana yang telah dibuat

oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya guna.

Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai tahap aplikasi

penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian. Salah satu unsur penegak

hukum yang ada di Indonesia adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).

Dalam pelaksanaannya sudah jelas bahwa Polri merupakan garda terdepan

dalam hal pencegahan dan pemberantasan narkotika. Bahkan Polri sendiri

telah menempatkan Narkotika sebagai kasus yang mendapat perhatian serius

atau diutamakan, namun tugas berat polisi dalam mengungkap suatu perkara

tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dan peran serta dari

semua element masyarakat.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan

Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat. POLRI tugas pokoknya memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat serta berusaha menjaga dan memelihara akan kondisi masyarakat

agar terbebas dari rasa takut atau kekhawatiran, sehingga ada rasa kepastian

dan jaminan dari segala kepentingan, serta terbebas dari adanya pelanggaran

norma-norma hukum. Usaha yang dilakukan oleh kepolisian melalui upaya

preventif maupun represif adalah salah satu bentuk tanggung jawab Polri

dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

40
41

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia. Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia

adalah :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugas pokok

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia

bertugas :

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban

dan kelancaran lalu lintas di jalan;

3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap

hukum dan peraturan perundang-undangan;

4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

41
42

6. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya;

8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian;

9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi

manusia;

10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditandatangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya

dalam lingkup tugas kepolisian; dan

12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Polisi sebagai penegak hukum merupakan penyidik dalam hukum acara

pidana, sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat

polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu

yang diberikan kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan

42
43

penyidikan. Apabila mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana ini, maka yang dapat melakukan penyidikan adalah polisi dan pegawai

negeri sipil yang diberi kewenangan khusus. Peran penyidik yang mempunyai

kewenangan untuk mengungkap kasus, salah satu kasus yang harus

diungkapkan adalah kasus tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur

dalam Pasal 372 KUHPidana, hal ini berhubungan dengan objek penelitian

yang ditelaah oleh penulis.

Banyak masyarakat yang menjadi korban akan terjadinya penggelapan

yang dilakukan oleh penerima dana investasi perhiasan mas. Contohnya hal

yang dialami oleh Erdina Yusani, seorang ibu rumah tangga yang terjerumus

karena mempercai seseorang yang melakukan tindakan investasi mas bodong,

hal ini terjadi pada saat pelaku yang bernama Susan Wijaya yang

memperkenalkan dirinya sebagai orang yang mencari investor untuk usaha

mas, Susan Wijaya mengiming imingi keuntungan sebesar 25%-50% bagi

siapa saja yang menjadi investor dalam usahanya, mendengar hal tersebut

Erdina Yusani tertarik untuk melakukan investasi, sehingga Erdina Yusani

memberanikan dirinya untuk meninvestasikan uang sebesar Rp. 270.000.000,-

(dua ratus tujuh puluh juta rupiah). Namun sayangnya uang keuntungan dan

uang pokok investasi yang diberikan oleh Erdina kepada Susan tidak kunjung

didapatkan oleh Erdina.

Sebagai seorang korban tindak pidana penggelapan, Erdina Yusani

hendak melakukan pelaporan ke kepolisian terhadap Susan Wijaya yang

43
44

diduga telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 372

KUHPidana yang menyatakan bahwa :

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang,


yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada
padanya bukan karena kejahatan, dipidana penggelapan dengan pidana
penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyakbanyaknya
sembilan ratus rupiah.”

Kepolisian menjadi tempat untuk Erdina Yusani memperjuangkan

haknya, karena sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa :

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan kewenangan khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Erdina Yusani perlu untuk melakukan tahapan pelaposan, yakni senagai

berikut : (Munir, 2022, hlm. 1)

1. Datang ke kantor Polisi terdekat dari lokasi tindak pidana. Sebelumnya,

perlu mengetahui daerah hukum dan wilayah administrasi Kepolisian

sebagai berikut :

a. Daerah hukum Kepolisian meliputi :

1) Daerah hukum kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) Daerah hukum Kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah

provinsi;

3) Daerah hukum Kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah

kabupaten/kota;

44
45

4) Daerah hukum kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah

kecamatan.

b. Wilayah administrasi Kepolisian, daerah hukumnya dibagi

berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan

pidana terpadu. Misalnya jika kamu melihat ada tindak pidana di suatu

kecamatan, maka kamu bisa lapor ke POLSEK terdekat di mana tindak

pidana terjadi. Tapi, kamu juga boleh melapor ke wilayah administrasi

yang ada di atasnya seperti POLRES, POLDA atau MABES POLRI.

2. Silakan langsung menuju ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu

(“SPKT”) yaitu unsur pelaksana tugas pokok di bidang pelayanan

kepolisian yang bertugas memberi pelayanan terhadap laporan/pengaduan

masyarakat, memberi bantuan dan pertolongan, dan pelayanan informasi;

3. Atas laporan yang diterima oleh SPKT (Penyidik/Penyidik Pembantu),

akan dilakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan

polisi;

4. Laporan polisi tersebut kemudian diberi penomoran sebagai Registrasi

Administrasi Penyidikan yaitu pencatatan kegiatan proses penyidikan

secara manual dan/atau melalui aplikasi e-manajemen penyidikan; dan

5. Setelah itu, berdasarkan Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan,

dilakukan proses penyidikan.

Maka dapat disimpulkan bahwa tata cara pelaporan ke Kepolisian yang

dapat dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap Susan Wijaya sehubungan

adanya dugaan tindak pidana penggelapan adalah dengan datang ke kantor

45
46

Polisi terdekat dari lokasi tindak pidana sesuai dengan locus delicti yakni

Polsek Cicalengka atau Polsekta Bandung, kemudian langsung menuju ke

bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) yaitu unsur pelaksana

tugas pokok di bidang pelayanan kepolisian yang bertugas memberi pelayanan

terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberi bantuan dan pertolongan,

dan pelayanan informasi, atas laporan yang diterima oleh SPKT

(Penyidik/Penyidik Pembantu), akan dilakukan kajian awal guna menilai

layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi, setelah itu berdasarkan Laporan

Polisi dan Surat Perintah Penyidikan, dilakukan proses penyidikan.

C. Upaya Hukum Apa Saja Yang Dapat Dilakukan Oleh Erdina Yusani

Terhadap Susan Wijaya

Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian korban

kejahatan adalah terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi dan kemudian

dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana.

Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di

Milan (The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders)

dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian

integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims rights should be

perceived as an integral aspect of the total criminal justice system). Kemudian

pengertian korban berdasarkan ketentuan Angka 1 Declaration of basic

principles of justice for victims of crime and abuse of power pada tanggal 6

September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor

A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan, bahwa : (Cassey, 1974, hlm. 3)

46
47

“Victims means persons who, individually or collectively, have


suffered harm, including physical or mental injury, emotional
suffering, economic loss or substantial impairment of their
fundamental right, through acts or omissions that are in violation of
criminal laws operative within member states, including those laws
proscribing criminal abuse power.”

Kemudian, lebih jauh pengertian korban ini oleh Arif Gosita diartikan

sebagai, mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat

tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau

orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita. Lebih lanjut maka dapat diklasifikasikan korban kejahatan ada

yang sifatnya individual (individual victims) dan kolektif (collective victims),

korban kejahatan bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri dan tidak

langsung (korban semu/abstrak) yaitu masyarakat, seseorang, kelompok

masyarakat maupun masyarakat luas dan selain itu kerugian korban juga dapat

bersifat materiil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateriil yakni

perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya. (Cassey, 1974,

hlm. 96)

Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana maupun dalam praktik

peradilan relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum Indonesia masih

bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied). Padahal, dari

pandangan kriminologis dan hukum pidana kejahatan adalah konflik antar

individu yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat dan

pelanggar sendiri dimana dari ketiga kelompok itu kepentingan korban

kejahatan adalah bagian utama kejahatan dimana menurut Andrew Ashworth

47
48

menyatakan bahwa primary an offence against the victim and only secondarily

an offence against the wider comunity or state. (Ashworth, 1993, hlm. 503)

Secara teoretis dan praktik pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia

kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai

bagian perlindungan masyarakat sesuai teori kontrak sosial (social contract

argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument). Secara

umum dalam teori dikenal ada dua model perlindungan, yaitu :

1. Pertama, model hakhak prosedural (the procedural rights model) atau di

Perancis disebut partie civile model (civil action system). Secara singkat

model ini menekankan dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam

proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum,

dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar

pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, dan lain sebagainya.

Selain itu, dengan turut sertanya secara aktif dalam proses peradilan

pidana, korban bisa mendapatkan kembali harga diri dan kepercayaan

dirinya. Akan tetapi, dengan adanya keterlibatan korban mempunyai segi

positif dalam penegakan hukum, dan juga mempunyai segi negatif karena

partisipasi aktif korban dalam pelaksanaan proses peradilan pidana dapat

menyebabkan kepentingan pribadi terletak di atas kepentingan umum.

Namun demikian secara historis, teori dimaksud merupakan latar belakang

terhadap terbentuknya lembaga kejaksaan, sebagaimana dikatakan oleh

Jan JM Van Dijk, The Hague, bahwa :

48
49

“Historically this has been the main justification for the estabilishment

of the office of the public prosecutor.”

Lebih jauh lagi, alasan lain dikemukakan kelompok yang menentang

diberikannya hak prosedural kepada korban adalah dengan diberikannya

peran individual kepada korban dalam proses persidangan atau penuntutan

terhadap pelaku, berarti membuatnya ikut bertanggung jawab atas jalannya

persidangan serta hasil dari proses itu sehingga beban tanggung jawab ini

akan menjadi tekanan yang cukup berat bagi korban dalam berbagai segi.

Tekanan bisa muncul dari orang dengan siapa korban melakukan kontak

dan/atau disebabkan oleh polisi atau jaksa yang akan memanfaatkan hak-

haknya untuk kepentingan umum. Pelaku dan pengacaranya akan berusaha

mempengaruhi tingkah laku korban selama proses dan kadang dengan

menggunakan intimidasi.

2. Kedua, model pelayanan (the services model) yang menekankan pada

pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya

pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan

tertekan akibat kejahatan. Apabila diperbandingkan, ternyata baik model

hak-hak prosedural maupun model pelayanan masing-masing mempunyai

kelemahan. Model hak-hak prosedural ini dapat menempatkan

kepentingan umum di bawah kepentingan individual si korban, di samping

suasana peradilan yang bebas dan dilandasi asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) dapat terganggu oleh pendapat korban tentang

pemidanaan yang dijatuhkan karena didasarkan atas pemikiran yang

49
50

emosional sebagai upaya untuk mengadakan pembalasan. Selain hal di

atas, yang menetapkan Jaksa Penuntut Umum mewakili korban maka

acapkali dalam prakteknya, aspirasi korban dalam proses peradilan pidana

kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari dan atau

keluarganya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim. Aspek ini salah

satunya dipicu karena secara prosedural korban tidak mempunyai peluang

untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap tuntutan jaksa dan putusan

hakim. Berkorelatif dengan hal tersebut maka dalam kongres PBB tanggal

26 Agustus sampai dengan tanggal 6 September 1985, di Milan, Italia

merekomendasikan tentang Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power pada angka 6 b menentukan bahwa:

“Allowing the views and concerns of victims to be presented and

considered at appropriate stages where their personal interests are

effected, without prejudice to the accused and consistent with the

relevant national criminal justice.”

Sebagai lembaga yang mewakili korban kejahatan seharusnya Jaksa

Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya lebih banyak menguraikan

penderitaan korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

sehingga pengajuan tuntutan pidana hendaknya didasarkan kepada

keadilan dari kaca mata korban sehingga cenderung menuntut hukuman

yang relatif tinggi, sedangkan terdakwa dan atau penasihat hukumnya

berhak memohon hukuman yang seringan-ringannya, atau kalau

memungkinkan mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan

50
51

Jaksa Penuntut Umum dan putusan hakim yang berupa pemidanaan

(veroordeling) haruslah pula mengandung anasir yang bersifat

kemanusiaan, edukatif dan keadilan. Tegasnya, mengandung unsur moral

justice, sosial justice dan legal justice.

Pada dasarnya ketentuan Hukum Positif di Indonesia memberikan

perlindungan terhadap korban kejahatan yang bersifat tidak langsung baik

dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun dalam

UndangUndang Nomor: 7/drt/1955, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001. Kemudian dalam kebijakan formulatif yaitu Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka untuk

pengertian korban dipergunakan terminologis yang berbeda-beda yaitu

sebagai pelapor (Pasal 108 KUHAP), pengadu (Pasal 72 KUHP), saksi korban

(Pasal 160 KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80, 81

KUHAP), dan pihak yang dirugikan (Pasal 98, 99 KUHAP).

Dalam hal ini penulis hendak menelaah upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh korban penggelapan, yakni penggelapan yang merugikan

Erdina Yusani, seorang ibu rumah tangga yang terjerumus karena mempercai

seseorang yang melakukan tindakan investasi mas bodong, hal ini terjadi pada

saat pelaku yang bernama Susan Wijaya yang memperkenalkan dirinya

51
52

sebagai orang yang mencari investor untuk usaha mas, Susan Wijaya

mengiming imingi keuntungan sebesar 25%-50% bagi siapa saja yang menjadi

investor dalam usahanya, mendengar hal tersebut Erdina Yusani tertarik untuk

melakukan investasi, sehingga Erdina Yusani memberanikan dirinya untuk

meninvestasikan uang sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta

rupiah). Namun sayangnya uang keuntungan dan uang pokok investasi yang

diberikan oleh Erdina kepada Susan tidak kunjung didapatkan oleh Erdina.

Maka dapat disimpulkan bahwa upaya hukum apa saja yang dapat

dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap Susan Wijaya adalah dengan

melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 372

KUHPidana yang dilakukan oleh Susan Wijaya karena berdasarkan Pasal 108

KUHAP kedudukan Erdina Yusani adalah sebagai korban.

52
53

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Tindakan Susan Wijaya dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana

Penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHPidana adalah

Susan Wijaya telah dengan sengaja melawan hukum mengaku bahwa uang

sebesar Rp. 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) yang

merupakan uang milik Erdina Yusani untuk keperluan investasi perhiasan

sehingga berada dalam kekuasaan Susan Wijaya, namun Susan Wijaya

menggunakan uang tersebut untuk keperluan pribadi;

2. Tata cara pelaporan ke Kepolisian yang dapat dilakukan oleh Erdina

Yusani terhadap Susan Wijaya sehubungan adanya dugaan tindak pidana

penggelapan adalah dengan datang ke kantor Polisi terdekat dari lokasi

tindak pidana sesuai dengan locus delicti yakni Polsek Cicalengka atau

Polsekta Bandung, kemudian langsung menuju ke bagian Sentra

Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) yaitu unsur pelaksana tugas

pokok di bidang pelayanan kepolisian yang bertugas memberi pelayanan

terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberi bantuan dan

pertolongan, dan pelayanan informasi, atas laporan yang diterima oleh

SPKT (Penyidik/Penyidik Pembantu), akan dilakukan kajian awal guna

menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi, setelah itu berdasarkan

Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan, dilakukan proses

penyidikan; dan

53
54

3. Upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan oleh Erdina Yusani terhadap

Susan Wijaya adalah dengan melaporkan dugaan tindak pidana

penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHPidana yang dilakukan

oleh Susan Wijaya karena berdasarkan Pasal 108 KUHAP kedudukan

Erdina Yusani adalah sebagai korban.

B. Saran

1. Disarankan kepada korban penggelapan untuk melakukan upaya prepentif

jika hendak melakukan investasi kembali dengan menelaah apakah orang

yang diinvestasikannya dapat dipercaya atau tidak, sehingga terhindar dari

kerugian;

2. Disarankan kepada pemerintah untuk membentuk suatu Lembaga yang

dapat mengawasi legalnya suatu usaha investasi di bidang apapun

sehingga masyarakat tidak akan terjerumus ke dalam investasi bodong;

dan

3. Disarnkan kepada kepolisian untuk melakukan penyidikan dengan adil

tanpa memungut biaya apapun sehingga proses penyidikan dan

penyelidikan dapat berjalan dengan lancar.


55

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Ali, M. (2015). Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika.

Arief, M. dan B. N. (2005). Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni.

Arief, N. B. (1991). Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan. Hukum UNDIP.

Aris, R. S. dan I. (2014). Merajut Hukum Di Indonesia. Mitra Wacana Media.

Azisa, A. S. dan N. (2016). Hukum Pidana. Pustaka Pena Pers.

Cassey, E. H. S. dan D. R. (1974). Principles of Criminology. Lippincott

Company.

Chazawi, A. (2010). Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Penerbit Raja

Gravindo Persada.

Effendi, E. (2014). Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. PT Refika

Aditama.

Effendy, R. dan P. A. L. (1989). Asas-asas Hukum Pidana. Leppen-UMI.

Gautama, S. (1983). Pengertian Tentang Negara Hukum. Alumni.

H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto. (2008). Beberapa Aspek Sosiologi

Hukum. PT Alumni.

Hamzah, A. (2008a). Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi 2008. PT Rineka

Cipta.

Hamzah, A. (2008b). Asas - Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.

Hukum, P. (2017). Unsur-Unsur Tindak Pidana. Blog Pusat Hukum.

Husen, H. M. (1990). Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia. Rineka


56

Cipta.

Kaelan. (2003). Pendidika Pancasila. Paradigma.

Malovanovic, D. (1999). A Primer in the Sociology of law. Harrow and

Heston Publisher.

Manurung, M. (2001). Teori Ekonomi Makro. Raharja Prathama.

Marbun, R. (2011). Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus. Visi Media.

Mertokusumo, S. (2005). Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Liberty.

Pane, M. D. (2017). Pengganti Kerugian Negara dalam Tindak Pidana

Korupsi. Logoz Publishing.

Pujoalwanto, B. (2014). Perekonomian Indonesia. Graha Ilmu.

Raghib, R. A. dan F. (2016). Hukum Pidana. Setara Press.

Rifaii, A. (2010). Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif. PT Sinar Grafika.

Satjipto Rahardjo. (2014). Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti.

Shant, D. (1998). Konsep Penegakan Hukum. Liberty.

Sidharta, M. K. & A. (2009). Pengantar Ilmu Hukum Pengenalan Pertama

Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. In Buku I (hlm. 114). PT

Alumni.

Subekti. (1995). Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti.

Sukirno, S. (2007). Pengantar Teori Makro Ekonomi. Bina Grafika.

Sutiyoso, B. (2006). Metode Penemuan Hukum. UII Press.

Sutrisno, S. dan B. (2008). Hukum Investasi di Indonesia. PT Raja Grafindo

Persada.
57

Wiyanto, R. (2012). Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Mandar Maju.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana.

C. Sumber Lain

Arsil. (2017). Menjawab Pertanyaan Penggelapan dan Penipuan. Hukum

Online.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ceb3048897ea/penggelapa

n-dan-penipuan.

Ashworth, A. (1993). Victim Impact Statements and Sentencing. The Criminal

Law Review, 5(2), 503.

Munir, M. (2022). tata Cara Membuat Laporan Polisi Di Kantor Kepolisian.

Halo Hukum.Com. https://halohukum.com/tata-cara-membuat-laporan-

polisi-di-kantor-kepolisian/.

Septiayu Restu Wulandari. (2018). Penerapan Alternatif Penyelesaian

Sengketaterhadap Tindak Pidana Pencurian Bernilai Ringan. Jurnal

Krtha Bhayangkara, 12(Vol 12 No 1 (Juni 2018)), 63.

Surinta, T. (2018). Jenis-Jenis Metode dan Kontruksi Hukum. Logika Hukum.

https://logikahukum.wordpress.com/tag/metode-interpretasi-secara-

teleologis-atau-sosiologis/#:~:text=Metode Interpretasi secara Teleologis

atau Sosiologis yaitu cara penafsiran suatu,yang didasarkan pada tujuan


58

kemasyarakatan.&text=.

Surya, A. F. dan M. E. (2016). Peluang Investasi Emas Jangka Panjang

Melalui Produk Pembiayaan BSM Cicil Emas (Studi Pada Bank Syariah

Mandiri K.C. Purwokerto). Jurnal Islamadina, XVI(1), 59.

Anda mungkin juga menyukai