Anda di halaman 1dari 34

TIM PENASIHAT HUKUM

Dr. Ir. FRANS NASUTION, M.R.P.


PERKARA PIDANA NOMOR 8/PID.SUS-TPK/2021/PN
JKT.PST

Om Swastiastu

JAWABAN PENASIHAT HUKUM


ATAS
JAWABAN PENUNTUT UMUM
TERHADAP NOTA PEMBELAAN
PENASIHAT HUKUM
TANGGAL 8 MARET 2021
HALAMAN JUDUL
ATAS NAMA TERDAKWA

Dr. Ir. FRANS NASUTION, M.R.P.

JAKARTA, 15 Maret 2021

JAYANTI LAW FIRM


Jakarta, 15 Maret 2021

Nomor : 025/D/JLF/III/2021
Perihal : Jawaban Penasihat Hukum Atas Jawaban
Penuntut Umum Dalam Register Perkara
Nomor 8/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst
Lampiran : -

Yth.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pemeriksa Perkara Register Perkara Nomor 8/Pid.Sus-
TPK/2021/PN Jkt.Pst.
di –
Jakarta

Dengan Hormat,

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Claudia Kinanti Silaban, S.H., M.H., LL.M.


2. Asta Jayanti, S.H., M.H.
3. Dwiky Suwasono, S.H., M.H.
4. Tio Balakrama, S.H., M.H.
5. Imanuel Rusdiantoro, S.H., M.H
6. Arif Sitompul, S.H., M.H.
7. Hotman Mulya Lubis, S.H., M.H.
8. Bella Pangaribuan, S.H., M.H.

Para Advokat pada Kantor Advokat dan Konsultasi Hukum JAYANTI


LAW FIRM yang beralamat di Menara Taspen Lantai 3 Suite 301 & 302,
Jalan Jenderal Sudirman, Kav.2, Jakarta Pusat, DKI Jakarta (10220),
berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, serta Surat Kuasa
Khusus Nomor 130/SK-Pid/JLF/I/2021 tertanggal 7 Januari 2021,

2 34
bertindak untuk dan atas nama serta saling mewakili kepentingan
Terdakwa dengan identitas sebagai berikut.

Nama : Dr. Ir. Frans Nasution, M.R.P.

Tempat Lahir : Pematang Siantar

Umur/Tanggal : 60 Tahun /19 Maret 1960

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jalan Muhammad Yamin, No. 08, RT


001/RW 002, Kelurahan Pegangsaan,
Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat

Agama : Kristen

Pekerjaan : Direktur Utama PT Jarvis


Ferindo/Mantan Ketua Badan
Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) Periode 2002 s.d. 2004

NIK : 3171061903600001

PENAHANAN

1. Penyidik : - Penahanan oleh Penyidik KPK di


Rumah Tahanan Negara Kelas I
Jakarta Timur Cabang KPK sejak
tanggal 16 Oktober 2020 sampai
dengan tanggal 5 November 2020.
- Perpanjangan penahanan oleh
Penuntut Umum sejak tanggal 6
November 2020 sampai dengan
tanggal 16 Desember 2020.
- Perpanjangan penahanan oleh Ketua
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

3 34
sejak tanggal 17 Desember 2020
sampai dengan 16 Januari 2021.

2. Penuntut Umum : - Penahanan oleh Penuntut Umum KPK


di Rumah Tahanan Kelas I Jakarta
Timur Cabang KPK sejak tanggal 21
Desember 2020 sampai dengan 10
Januari 2021.

3. Majelis Hakim : - Penahanan di Rumah Tahanan Negara


Pengadilan Negeri Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK
Jakarta Pusat sejak tanggal 7 Januari 2021 sampai
dengan 6 Februari 2021.
- Perpanjangan penahanan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat sejak tanggal 7 Februari 2021
sampai dengan 8 April 2021.

Berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP yang


disebutkan pada pokoknya:

“Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan


pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan
ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat
giliran terakhir.”

Maka kami selaku Tim Penasihat Hukum Terdakwa Dr. Ir. Frans
Nasution, M.R.P. mengajukan JAWABAN atas Jawaban Penuntut
Umum Terhadap Pembelaan Penasihat Hukum (“Replik”) tertanggal 8
Maret 2021. Adapun materi Jawaban ini kami sampaikan dengan
sistematika sebagai berikut.

4 34
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................... 1

DAFTAR ISI ............................................................................... 5

I. PENDAHULUAN ................................................................... 6

II. MATERI JAWABAN ATAS REPLIK PENUNTUT UMUM ............ 10

1. Tentang Dasar Pemikiran Perintah Melanjutkan FDD ke Tahap


Selanjutnya ...............................................................................10

2. Tentang Penerbitan SKL Adalah Sah Dan Legal Dilandasi Oleh


Keputusan Sidang Kabinet .........................................................12

3. Tentang Keterangan Saksi Silwa Martianna Merupakan


Keterangan Testimonium De Auditu ............................................14

4. Tentang Penghadiran Saksi Agata Nanda Yang Merupakan


Saksi Mahkota Dan Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing)
Adalah Tidak Sah, Melanggar Hak Asasi Manusia dan
Bertentangan Dengan Asas Non-Self Incrimination ......................16

5. Tentang Laporan Hasil Pemeriksaan Nomor


15/LHP/XXI/05/2019 Tahun 2019 Adalah Batal Demi
Hukum Karena Bertentangan Dengan Asas Asersi ..................20

6. Tentang Tidak Terbuktinya Unsur “Memperkaya Diri Sendiri


Atau Orang Lain Atau Suatu Korporasi” Dalam Pasal 2 Ayat
(1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ..................................23

7. Tentang Kualifikasi Penyertaan Yang Terbukti Dalam Perkara


A Quo Adalah Doenplegen ..........................................................25

8. Tentang Kebijakan Penghapusbukuan Piutang Adalah Salah


Satu Bentuk Diskresi Bebas Dari Ketua BPPN.............................29

III. PENUTUP .......................................................................... 33

5 34
I. PENDAHULUAN

JUSTITIAE NON-EST NEGANDA, NON DIFFERENDA


Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda

Majelis Hakim yang mulia,


Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,

Sebelumnya izinkanlah kami memanjatkan puji syukur ke hadirat


Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan serta
keselamatan selama kami melakukan upaya untuk mencari hakikat
dari keadilan dan kebenaran dalam perkara ini. Tak lupa kami juga
mengucapkan terima kasih kepada Majelis Hakim yang mulia dalam
perkara a quo yang telah melangsungkan proses persidangan dengan
sungguh-sungguh secara objektif dan tidak memihak kepada pihak
mana pun dengan semata-mata bertujuan untuk menghadirkan
kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menjawab Replik
Penuntut Umum yang dibacakan pada persidangan sebelumnya. Turut
kami sampaikan terima kasih pula kepada saudara Penuntut Umum
yang telah bersedia menanggapi Pembelaan kami secara tertulis
walaupun kami menemukan beberapa subjektivitas saudara Penuntut
Umum dalam menggiring fakta yang sesungguhnya Terdakwa tidak
bersalah menjadi seakan-akan harus dipersalahkan.

Jawaban terhadap Replik Penuntut Umum yang kami susun ini sekadar
bertujuan untuk memperoleh kebenaran serta keadilan dalam
mengungkapkan perkara yang saat ini telah berada di ujung tombak
kebenaran dan di akhir persidangan sebagaimana yang didakwakan
dan dituntut kepada Terdakwa serta sebagai tanggung jawab kami
selaku Penasihat Hukum Terdakwa untuk memberikan tambahan
pertimbangan dan keyakinan bagi Majelis Hakim untuk mengambil
keputusan nantinya.

Majelis Hakim yang mulia, setelah kami cermati dan pahami Replik
Penuntut Umum yang telah diajukan dan dibacakan di muka

6 34
persidangan yang lalu, kami berkesimpulan Penuntut Umum telah
membantah seluruh Pembelaan kami dan tetap berpegang teguh pada
prinsipnya bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Kami memandang prinsip
yang dipegang oleh saudara Penuntut Umum tidak dapat dipersalahkan
karena sudah menjadi tugas dan kewajibannya untuk membuktikan
Terdakwa telah secara bersalah melakukan tindak pidana. Kendati pun
demikian, tidak dapat dipungkiri pula terdapat fakta-fakta penting yang
telah diabaikan oleh Penuntut Umum yang sejatinya memberi
keringanan bagi Terdakwa. Berdasarkan hal tersebut perlu dan penting
untuk kami sampaikan Jawaban atas Replik dari Penuntut Umum.

Mengingat berdasarkan Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor


01/TUT.01.04/24/01/2021 tertanggal 4 Januari 2021 yang dibacakan
di persidangan pada hari Senin, 11 Januari 2021, Terdakwa Dr. Ir.
Frans Nasution, M.R.P. telah didakwa melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana disusun dalam dakwaan sebagai berikut.

PRIMAIR

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

SUBSIDAIR

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

7 34
Berkaitan dengan keterangan para Saksi, Ahli, Surat, keterangan
Terdakwa maupun berdasarkan fakta yang diajukan oleh Penuntut
Umum dan jika dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (5) dan (6) KUHAP
yang menyatakan pada pokoknya bahwa:

(5) Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.

Sulit untuk dipercaya dengan ambisi Penuntut Umum yang menggebu-


gebu dalam menjerat orang yang tidak bersalah mengalami penderitaan
yang semakin lama. Hal mana dapat dilihat berdasarkan keputusan
Penuntut Umum menghadirkan alat bukti yang tidak cukup kuat untuk
membuktikan kesalahan Terdakwa. Kami merasa Majelis Hakim yang
mulia juga menyadari hal tersebut di dalam agenda pembuktian. Hampir
seluruh saksi yang dihadirkan oleh pihak Penuntut Umum ini adalah saksi
yang tidak mengetahui secara menyeluruh permasalahan perkara ini
namun memberi keterangan hanya untuk mendukung pemikiran Penuntut
Umum. Atas dasar ketentuan tersebut, maka keterangan saksi, ahli, dan
fakta yang diajukan Penuntut Umum tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai alat bukti karena bukan keterangan yang benar dan tidak relevan.

Terhadap Replik Penuntut Umum, pertama-tama kami berkesimpulan


yang pada pokoknya sebagai berikut.

1. Bahwa Kami TETAP PADA PEMBELAAN sebagaimana telah kami


sampaikan dalam persidangan yang lalu. Seluruh dalil, argumen, dasar
hukum, serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang telah
kami sampaikan dan termuat seutuhnya dalam Nota Pembelaan kami
sebelumnya secara mutatis mutandis dimuat dan dipergunakan serta

8 34
menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan dalil, argumen, dan dasar
hukum dalam Jawaban kami ini.

2. Bahwa kami MENOLAK segala isi dan materi Replik Penuntut Umum,
termasuk segala fakta persidangan yang diajukan oleh Penuntut Umum
sebagai dasar Surat Tuntutannya oleh karena tidak sesuai dengan fakta
yang sebenarnya terjadi bahkan terdapat fakta yang didasarkan pada
alat bukti yang tidak sah.

Selanjutnya, untuk menegaskan kepada Majelis Hakim yang mulia


bahwasanya Penuntut Umum telah melakukan kesalahan dalam
penuntutan perkara yang melibatkan Terdakwa kami akan
menguraikan dengan jelas dan terang tentang materi Jawaban kami
atas Replik Penuntut Umum pada bab berikutnya. Kami berharap agar
Majelis Hakim tidak menutup mata dalam menilai perkara ini secara
meluas, dan tidak dengan mudah percaya terhadap fakta-fakta yang
tidak berdasar dan tidak memiliki kekuatan hukum karena pada
faktanya Terdakwa tidak pernah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.

Sebagai akhir dari prakata, perkenankan kami mengutip suatu


adagium.

LEBIH BAIK MEMBEBASKAN SERIBU ORANG YANG BERSALAH


DARI PADA MENGHUKUM SATU ORANG YANG TIDAK BERSALAH

9 34
II. MATERI JAWABAN ATAS REPLIK PENUNTUT UMUM

SUMMUM IUS, SUMMA INIURIA


Kepastian hukum yang absolut adalah ketidakadilan yang tertinggi

Majelis Hakim yang mulia,


Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,

Perihal dasar argumen kami menyatakan tetap pada Pembelaan dan


menolak seluruh segala isi dan materi Replik Penuntut Umum, maka
adapun materi Jawaban kami ini sebagai berikut.

1. Tentang Dasar Pemikiran Perintah Melanjutkan FDD ke Tahap


Selanjutnya

Bahwa dalam Replik halaman 3 dan 4, pada pokoknya Penuntut


Umum menguraikan:

- “Bahwa Terdakwa mengetahui adanya misrepresentasi aset yang


dilakukan oleh Silwa Martianna sejak Terdakwa menjadi sekretaris
KKSK atau setidak-tidaknya pada saat Terdakwa hadir dalam rapat
KKSK pada tanggal 2 Maret 2000. Dalam rapat tersebut membahas
mengenai temuan perbuatan misrepresentasi yang dilakukan oleh
Silwa Martianna dalam menyerahkan aset piutang PT BMH berupa
kredit petani plasma perkebunan kelapa sawit PT DNA.”

- “Bahwa faktor dalam FDD yang dilewati atas dasar perintah


Terdakwa merupakan faktor penting dan krusial yang seharusnya
dapat menjadi sumber untuk mengetahui bahwa aset tersebut
bermasalah atau tidak, yaitu melakukan observasi, investigasi, dan
analisa. KKSK juga menerbitkan Keputusan Nomor
KEP.01/K.KKSK/10/2002 tanggal 7 Oktober 2002 yang memutuskan
salah satunya bahwa BPPN diminta untuk melaporkan rincian lebih
lanjut termasuk melaksanakan FDD dengan semestintya namun
Terdakwa melewati satu tahapan.”

10 34
Dari uraian dalil Penuntut Umum di atas, kami menolak dalil
Penuntut Umum dan berpendapat bahwa Penuntut Umum tidak
memperhatikan secara tuntas fakta-fakta persidangan yang
terungkap di persidangan dengan alasan sebagai berikut.

1. Senyatanya berdasarkan keterangan Saksi Faiz Napitupulu di


persidangan yang menerangkan pada pokoknya:

- “Saksi pernah mengikuti rapat pada awal tahun 2003 membahas


permasalahan Saksi SILWA MARTIANNA yang pada pertemuan
tersebut Saksi menjelaskan bahwa Saksi SILWA MARTIANNA
tidak melakukan misrepresentasi terhadap utang petani plasma
perkebunan kelapa sawit pada saat penyerahan kepada BPPN
karena petani plasma telah menyerahkan sertifikat tanah kepada
PT BMH sebagai jaminan atas utang tersebut sebagaimana
tercatat dalam Disclosure Schedule.”

2. Selain itu, berdasarkan saksi Michael Reynald yang menerangkan


pada pokoknya:

- “Bahwa dalam rapat BPPN Terdakwa menyatakan seperti itu


karena adanya perbedaan pandangan Divisi AMK dengan AMI
mengenai pembahasan kajian piutang petani plasma. Terdakwa
menyatakan Divisi AMK seharusnya memandang bahwa piutang
petani sebagai akibat dari pengalihan dari PT BMH yang berstatus
BBO sedangkan dari sisi AMI hanya melihat apakah
permasalahan adanya penjaminan utang petani sudah
disampaikan kepada BPPN dalam disclosure schedule atau tidak.”

- “...Oleh karena menurut KAP Pramana Hutagalung & Co hutang


Petani telah diungkapkan maka tidak ada dasar untuk melakukan
klaim oleh BPPN sehingga Terdakwa menyimpulkan pemegang
saham SILWA MARTIANNA tidak melakukan misrepresentasi.”

3. Terdakwa di persidangan juga telah menerangkan yang pada


pokoknya:

11 34
- “...SILWA MARTIANNA tidak melakukan misrepresentasi adalah
karena adanya perbedaan pandangan antara AMK dan AMI
mengenai permasalahan misrepresentasi aset piutang petani
plasma, karena hal yang sebetulnya terjadi adalah apakah agunan
atau jaminan aset tersebut telah dicantumkan dalam disclosure
agreement atau belum. Jika sudah, maka tidak ada yang namanya
misrepresentasi terhadap aset yang dimaksud. Terdakwa pun
telah memerintahkan AMI untuk melakukan cross check MSAA dan
memang benar di MSAA menyatakan segala aset harus
diungkapkan di dalam disclosure agreement, jadi sudah
bersesuaian dengan MSAA. Oleh karena telah dinyatakan tidak
misrepresentasi maka Terdakwa juga memerintahkan Kantor
Akuntan Publik (KAP) Pramana Hutagalung & Co, untuk
melanjutkan FDD ke fase berikutnya.”

4. Dari uraian di atas, kami berkesimpulan bahwa oleh karena SILWA


MARTIANNA tidak melakukan misrepresentasi, maka yang
bersangkutan tidak lagi mempunyai kewajiban terhadap porsi utang
unsustainable sehingga pelaksanaan FDD yang sementara tertunda
oleh sebab adanya dispute antara BPPN dan SILWA MARTIANNA kini
bisa dilanjutkan ke fase berikutnya melalui mekanisme
restrukturisasi di divisi AMK.

2. Tentang Penerbitan SKL Adalah Sah Dan Legal Dilandasi Oleh


Keputusan Sidang Kabinet

Dalam Replik Penuntut Umum pada halaman 5 dan 7 diuraikan pada


pokoknya bahwa:

“Bahwa dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 pada


bagian Menimbang huruf b menyatakan bahwa: “bahwa
terhadap debitur yang kooperatif dalam melaksanakan
perjanjian dimaksud perlu diberikan jaminan kepastian hukum
dan bagi yang tidak menandatangani atau tidak melaksanakan
perjanjian dimaksud perlu diberi tindakan hukum yang tegas
dan konkret.” Berdasarkan peraturan a quo, maka secara terang
harus dipahami bahwa pemberian SKL hanya dapat dilakukan

12 34
kepada debitur yang kooperatif melaksanakan perjanjian.
Namun, Terdakwa yang sudah mengetahui SILWA MARTIANNA
yang telah dengan nyata adalah obligor non kooperatif dan
belum menyelesaikan kewajibannya yaitu utang petani plasma
perkebunan kelapa sawit yang dijaminkan oleh PT DNA sebesar
Rp5.700.000.000.000,00 (lima triliun tujuh ratus miliar rupiah)
justru menerbitkan SKL kepada SILWA MARTIANNA. Penerbitan
SKL tersebut secara mutatis mutandis menghapuskan hak tagih
negara kepada SILWA MARTIANNA.”

Terhadap uraian Replik Penuntut Umum, dapat kami simpulkan


bahwa Penuntut umum menyatakan bahwa pemberian Surat
Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Silwa Martianna adalah
tidak sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Inpres Nomor 8
Tahun 2002. Kemudian terhadap uraian Replik tersebut kami
menolak dalil Penuntut Umum dengan alasan sebagai berikut:

1. Bahwa berdasarkan keterangan Saksi Agata Nanda dan Alat Bukti


Keputusan KKSK Nomor Kep.01/K.KKSK/05/2002 yang
menerangkan pada pokoknya bahwa Terdakwa menjalankan
perintah Keputusan KKSK perihal proses percepatan dan pengalihan
aset BPPN yang sebelumnya masih berada di dalam penanganan
divisi Litigasi kini ditangani oleh AMK melalui mekanisme
restrukturisasi dan dalam rangka meningkatkan tingkat
pengembalian bagi BPPN.

2. Bahwa berdasarkan keterangan Saksi Faiz Napitupulu, Saksi Ali


Gunawan Pratama, Saksi Michael Reynard, keterangan Terdakwa
dan dihubungkan dengan risalah rapat BPPN tanggal 6 Januari
2003 pada pokoknya menerangkan Terdakwa telah menyatakan
Silwa Martianna tidak melakukan misrepresentasi oleh karena
adanya perbedaan sudut pandangan melihat permasalahan
misrepresentasi dari divisi AMK dengan AMI. Maka, Terdakwa
sependapat dengan AMI, misrepresentasi hanyalah perihal adanya
penjaminan utang petani sudah disampaikan kepada BPPN dalam
disclosure schedule atau tidak. Karena pihak Silwa Martianna telah

13 34
melampirkan penjaminan utangnya, maka sudah seharusnya yang
bersangkutan tidak melakukan misrepresentasi dan hal yang
dilakukan Terdakwa sudah benar.

3. Bahwa sesuai keterangan Saksi Muhammad Anwar, Saksi Alleshia


Astradi, dan Saksi Agata Nanda serta keterangan Terdakwa yang
pada pokoknya menerangkan pernah mengikuti Rapat Kabinet
Terbatas (Ratas) pada tanggal 8 Februari 2004 membahas rencana
penerbitan SKL bagi obligor yang kooperatif. Terdakwa dalam Ratas
tersebut telah memaparkan obligor mana saja yang berhak dan
layak untuk mendapatkan SKL karena telah memenuhi seluruh
kewajibannya dan tiada lagi kewajiban yang tertunggak kepada
negara yang salah satunya ialah Silwa Martianna. Presiden dalam
Ratas tersebut menyetujui penerbitan SKL bagi obligor kooperatif
adalah karena sebagai bentuk jaminan kepastian hukum bagi
pemerintah dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Persetujuan Presiden kemudian dituangkan dalam
bentuk Keputusan Sidang Kabinet yang memerintahkan BPPN
untuk menerbitkan SKL bagi obligor yang kooperatif.

4. Bahwa penerbitan SKL juga telah disetujui oleh KKSK dan Menteri
BUMN sebagai atasan langsung BPPN melalui Keputusan KKSK
Nomor KEP.02/K.KKSK/02/2004 dan Keputusan Menteri BUMN
Nomor S-120/M.BUMN/2004 yang pada pokoknya menerangkan
bahwa KKSK dan Menteri BUMN mengeluarkan suatu keputusan
yang menyetujui BPPN untuk mengeluarkan bukti penyelesaian
sesuai dengan MSAA berupa SKL.

5. Berangkat dari uraian di atas, kami merasa bahwa tindakan


Terdakwa dalam menerbitkan SKL kepada obligor Silwa
Martianna sudah tepat dan tidak melanggar ketentuan di dalam
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 atau ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.

3. Tentang Keterangan Saksi Silwa Martianna Merupakan


Keterangan Testimonium De Auditu

14 34
Bahwa di dalam Replik Penuntut Umum halaman 7 dan 9 disebutkan
pada pokoknya:

- “Berdasarkan Keterangan Saksi FAIZ NAPITUPULU dalam Agenda


Sidang Pembuktian, menyatakan bahwa SILWA MARTIANNA dalam
alur perkara a quo tidak berada di Indonesia yaitu tepatnya pada
Singapura. Sehingga yang mewakili SILWA MARTIANNA adalah
RENITA MUTIARA dan FAIZ NAPITUPULU. Serta yang memberitahu
mengenai perkembangan PKPS SILWA MARTIANNA adalah kedua
orang tersebut.”

- “Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa


Keterangan Saksi SILWA MARTIANNA memang benar merupakan
keterangan testimonium de auditu. Testimonium de Auditu dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah. Selain itu, dihubungkan
dengan fakta yang terungkap di persidangan, maka jelas bahwa
keterangan Saksi SILWA MARTIANNA memiliki relevansi dengan
proses hukum yang sedang berjalan dan memuat kebenaran
dikarenakan Saksi tersebut memberikan keterangan yang sesuai
serta tidak bertentangan.”

Terhadap dalil Penuntut Umum tersebut, kami menolak dan tidak


sependapat atas dalil demikian dengan alasan sebagai berikut.

1. Bahwa keterangan saksi yang dapat bernilai sebagai alat bukti ialah
keterangan saksi yang dilakukan di depan sidang pengadilan
terhadap sebuah kejadian tindak pidana yang ia lihat sendiri, ia
dengar sendiri, dan ia alami sendiri. Berdasarkan pendapat Andi
Hamzah yang pada pokoknya tidak diperkenankan kesaksian
seorang saksi yang berstatus sebagai Testimonium De Auditu sebagai
alat bukti yang sah, karena selaras dengan tujuan hukum acara
pidana yaitu mencari kebenaran materiil dan pula untuk
perlindungan hak-hak asasi manusia, dimana keterangan saksi
yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya
sehingga patut tidak dipakai di Indonesia. (vide Andi Hamzah,
Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm 262).

15 34
2. Sekali pun Penuntut Umum menyatakan dalam Repliknya, pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang
memperluas mendefinisikan pengertian saksi dalam KUHAP itu
tidak dimaknai orang yang dapat memberikan keterangan dalam
rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan tidak selalu ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dilihat dari
putusan tersebut, bahwa keterangan saksi tidak hanya harus
keterangan yang dilihat, didengar dan dialami sendiri.

3. Namun demikian, bila mengacu kepada sifat hukum pidana yang


mencari kebenaran materiil, maka alat bukti yang diajukan juga
harus merupakan alat bukti yang sah dalam artian
keterangannya bersifat objektif dan memiliki nilai pembuktian
yang kuat. Jika ternyata keterangan seorang saksi adalah
keterangan yang ia dengar dari orang lain, maka bagaimana ia
akan menjelaskan suatu perkara dengan objektif? Keterangan
yang demikian pula patut diragukan kebenarannya karena belum
tentu keterangan yang ia dengar dari orang lain merupakan
keterangan yang benar. Jika demikian halnya, penggunaan saksi
De Auditu hanya akan mengurangi hak asasi manusia khususnya
hak Terdakwa melakukan pembelaan. Oleh karenanya kami
berpendapat Majelis Hakim yang mulia tidak perlu
mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh Saksi Silwa
Martianna dan menyatakan sebagai alat bukti yang tidak sah.

4. Tentang Penghadiran Saksi Agata Nanda Yang Merupakan Saksi


Mahkota Dan Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) Adalah Tidak
Sah, Melanggar Hak Asasi Manusia dan Bertentangan Dengan
Asas Non-Self Incrimination

Bahwa dalam Replik Penuntut Umum halaman 10 dan 12, pada


pokoknya dinyatakan:

- “Bahwa penghadiran Terdakwa lain (Saksi Mahkota) dalam


persidangan merupakan hal yang sah menurut perundang-undangan
dan lumrah dilakukan dalam persidangan sehingga keterangan yang

16 34
diberikan juga merupakan alat bukti yang sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 184 jo. Pasal 185 KUHAP.”

- “Bahwa pengaturan mengenai splitzing diatur dengan jelas dalam


ius constitutum pidana di Indonesia sehingga tindakan splitzing
tidak melanggar apa pun yang bertentangan dalam praktik
mencari kebenaran di Indonesia. Serta dalam melakukan splitzing,
tidak diatur bahwa splitzing dilarang dalam tindak pidana yang
menyangkut keturutsertaan karena bertentangan dengan asas
non self incrimination.”

Terhadap dalil Penuntut Umum tersebut, kami menolak dan tidak


sependapat atas dalil demikian dengan alasan sebagai berikut.

1. Bahwa kendati pun Penuntut Umum diberikan kewenangan


untuk melakukan pemecahan berkas perkara berdasarkan Pasal
142 KUHAP yang berbunyi “Dalam hal penuntut umum menerima
satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang
dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk
dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”
Akan tetapi bila dikaitkan dengan Surat Edaran Kejaksaan Agung
Nomor B-69/E/02/1997 perihal Hukum Pembuktian Dalam
Perkara Pidana disebutkan pada pokoknya dalam menggunakan
saksi mahkota (splitsing) sedapat mungkin diupayakan juga
tambahan alat bukti lain.

2. Bahwa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1174 K/Pid/1994


tanggal 3 Mei 1995 telah melarang penggunaan saksi mahkota
memberikan pertimbangan yang pada pokoknya “Bahwa, Judex
Facti telah salah menerapkan hukum pembuktian dimana para
saksi yang adalah para Terdakwa dalam perkara dengan
dakwaan yang sama yang dipecah-pecah adalah bertentangan
dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak
azazi manusia, ....” Selain itu, terdapat pula beberapa Putusan
Mahkamah Agung yang pada pokoknya melarang penggunaan
saksi mahkota dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia

17 34
yakni diantaranya: Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1952 /K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995,
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1950/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1592/K/Pid/1995 3 Mei 1995
pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan
karena hal itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

3. Bahwa berdasarkan Prof. Dr. Muhammad Ansyah Sitohang,


S.H., M.H. di persidangan yang menyatakan pada pokoknya
bahwa terhadap perkara pidana (korupsi) yang melibatkan peran
pelaku lain untuk sempurnanya suatu delik atau keturutsertaan
harus diajukan atau dilimpahkan secara serentak/tidak boleh
dipisah (splitzing) berkas perkara maupun surat dakwaannya
melainkan harus digabungkan untuk mencegah adanya
perbedaan putusan dari persidangan yang diputus oleh hakim
yang berbeda pula sehingga akan mengakibatkan ketidakadilan.

4. Bahwa kami tidak sepakat dengan dalil Replik yang demikian


karena penghadiran Saksi Mahkota belum diatur dalam perundang-
undangan Hukum Acara Pidana. Bahwa saksi mahkota, secara
esensial adalah berstatus tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu,
sebagai terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut untuk diam
atau bahkan hak absolut untuk memberikan jawaban yang bersifat
ingkar atau berbohong. Hal ini merupakan konsekuensi yang
melekat sebagai akibat dari tidak diwajibkannya terdakwa untuk
mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangan. Selain itu
menurut ketentuan Pasal 66 KUHAP dijelaskan bahwa terdakwa
tidak memiliki beban pembuktian, karena untuk membuktikan
kesalahan terdakwa terletak pada jaksa penuntut umum.

5. Bahwa menurut Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip-Prinsip


Hukum Pidana (2016: 354) yang menyatakan bahwa saksi mahkota
atau kroongetuige berarti ada dua orang atau lebih bersama-sama
melakukan suatu kejahatan dalam konteks penyertaan. Selanjutnya

18 34
dalam sidang pengadilan mereka diadili secara terpisah. Ketika yang
satu bertindak sebagai terdakwa, maka yang lain akan bertindak
sebagai saksi. Demikian pula sebaliknya. Hal yang demikian akan
mengurangi objektivitas pengadilan. Salah satu objektivitas adalah
terdakwa memiliki hak ingkar. Saat bertindak sebagai saksi, maka
keterangannya sebagai alat bukti keterangan saksi hanyalah sah
jika dilakukan di bawah sumpah. Dengan demikian hak ingkarnya
sebagai terdakwa akan hilang apabila dia diperiksa sebagai
terdakwa.

6. Bahwa sebagai pihak yang berstatus terdakwa walaupun dalam


perkara lainnya diberikan kostum sebagai saksi maka pada
prinsipnya keterangan yang diberikan oleh terdakwa (saksi
mahkota) hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri. Hal
ini sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 189 ayat (3)
KUHAP.

7. Bahwa keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi


mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan
untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri
apabila terdakwa berbohong. Hal ini bertentangan dan melanggar
asas non self incrimination. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf
g ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Convenant on Civil and Political Rights dijelaskan sebagai pada
pokoknya berikut: “Not to be compelled to testify against himself or to
confess guilty”. Pada dasarnya ketentuan tersebut bertujuan untuk
melarang paksaan dalam bentuk apa pun. Selain itu, diamnya
tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk
menyatakan kesalahannya.

8. Bahwa berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan pada pokoknya
sebagai berikut:

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan


selain daripada yang ditentukan oleh Undang-Undang;

19 34
(2) Tidak seorang pun dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan,
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya.

Pasal tersebut secara jelas menegaskan penghadiran saksi mahkota


yang tidak dikenal dalam KUHAP tidak boleh diajukan sebagai suatu
alat bukti. Praktik penghadiran saksi mahkota mencerminkan
benturan pelaksanaan ketentuan KUHAP dan mana merupakan
potret penegakan hukum yang bertentangan dengan prinsip due
process of law. Jika halnya saksi mahkota dinyatakan tidak sah
sebagai suatu alat bukti, maka sesuai bunyi Pasal 6 ayat (2) UU
Kekuasaan Kehakiman, maka Terdakwa tidak boleh sekali-kali
dijatuhi hukuman untuk itu. Penegakan hukum seharusnya tidak
boleh dilakukan dengan melanggar ketentuan hukum lainnya yang
berakibat merugikan hak hukum seorang warga negara.

9. Bahwa sebagaimana jawaban kami di atas, kami berkesimpulan


penghadiran saksi mahkota dan splitsing perkara dalam
persidangan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan hak
asasi manusia dan asas non self incrimintaion sehingga harus
dinyatakan tidak sah.

5. Tentang Laporan Hasil Pemeriksaan Nomor


15/LHP/XXI/05/2019 Tahun 2019 Adalah Batal Demi Hukum
Karena Bertentangan Dengan Asas Asersi

Bahwa dalam Replik Penuntut Umum halaman 13 dan 14,


dinyatakan pada pokoknya:

- “Bahwa pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek


yang diperiksa sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
(yang selanjutnya disebut sebagai SKPN) ditujukan pada jenis
pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan keuangan
dan pemeriksaan kinerja. Sedangkan menurut Peraturan BPK RI
Nomor 1 Tahun 2017 Lampiran IV tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN), pada pokoknya mengatur bahwa
‘khusus untuk PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif,

20 34
karena tujuan pemeriksaannya adalah untuk mengungkapkan
indikasi kerugian negara dan/atau tindak pidana maka
Pemeriksa tidak meminta tanggapan tertulis kepada pihak yang
bertanggungjawab’. Dengan kata lain khusus terhadap jenis
pemeriksaan PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu) bentuk
pemeriksaan investigatif untuk mengungkap indikasi kerugian
negara dan/atau tindak pidana berlaku SPKN sesuai Peraturan
BPK RI Nomor 1 Tahun 2017. SPKN juga mengikat bukan hanya
kepada internal BPK tapi semua pihak terkait dan juga menjadi
pegangan bagi setiap pemeriksa atau auditor, serta sampai saat
ini belum ada pihak berwenang yang menyatakan bahwa SPKN
bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku.”

Terhadap dalil Penuntut Umum tersebut, kami menolak dan tidak


sependapat atas dalil demikian dengan alasan sebagai berikut.

1. Bahwa sekali lagi kami tegaskan dalam melakukan suatu audit


keuangan negara haruslah berdasarkan pada asas asersi yang
mana telah diatur secara tegas di dalam Pasal 6 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang disebutkan
bahwa “Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan
dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan
keuangan negara.” Pada ayat (1) dinyatakan entitas yang
diperiksa yakni “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya,
Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain
yang mengelola keuangan negara.”

2. Jika dikaitkan dengan Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Nomor


15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung
Jawab Keuangan Negara yang bunyinya “Tanggapan pejabat
pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan,

21 34
dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada
laporan hasil pemeriksaan.” Bahwa hal tersebut telah diatur
dalam norma undang-undang, jadi sudah sepatutnya setiap
pemeriksaan harus ada tanggapan pejabat pemerintah yang
bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi
serta dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan tersebut.

3. Bahwa berdasarkan keterangan saksi Dr. DIAH SATYAWATI,


S.E., M.A.P., CSFA yang pada pokoknya menerangkan bahwa
“dalam melakukan suatu pemeriksaan haruslah didasarkan pada
standar pemeriksaan keuangan negara sebagai pegangan.
Dengan segala penjelasan yang ada di dalam SPKN dan harus
pula memperhatikan yang namanya asas asersi. Jadi asas asersi
ini menentukan bahwa audit mengkonfirmasi yang diperiksa,
ketika diperiksa oleh pemeriksa, wajib dikonfirmasi kepada yang
diperiksa. Tidak melihat jenis pemeriksaan. Jika halnya asas
asersi ini tidak dipatuhi, secara otomatis pemeriksaan itu
batal demi hukum karena norma undang-undang sudah
menyatakan demikian.”

4. SPKN adalah produk hukum BPK RI di bawah undang-undang dan


tunduk kepada undang-undang. Apa yang diatur dalam undang-
undang sejatinya peraturan di bawah/pelaksananya tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih
tinggi. Berdasar atas argumen kami di atas, dalam melakukan suatu
pemeriksaan investigatif oleh auditor BPK, seharusnya yang
bersangkutan tetap berpedoman pada undang-undang terkait. Jika
halnya auditor berpedoman dengan produk hukum yang dibuat oleh
BPK dan ternyata ada pertentangan norma di dalamnya, sudah
secara jelas dapat ditarik suatu asas untuk mengatasinya yakni lex
superiori derogat legi inferiori (peraturan yang tinggi
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah). Maka, dengan
begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan
Nomor 15/LHP/XXI/05/2019 adalah batal demi hukum dan
kami tetap berpegang teguh pada Pembelaan.

22 34
6. Tentang Tidak Terbuktinya Unsur “Memperkaya Diri Sendiri
Atau Orang Lain Atau Suatu Korporasi” Dalam Pasal 2 Ayat (1)
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Bahwa dalam Replik Penuntut Umum halaman 15 dan 16,


dinyatakan pada pokoknya:

- “UNCAC telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Namun ius
constitutum atau hukum positif yang berlaku untuk hukum Tindak
Pidana Korupsi materiil pada saat ini untuk Korupsi di Indonesia
adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (‘UU Tipikor’). Jika hal-hal yang
diatur dalam UNCAC ingin diejawantahkan dalam norma hukum
di Indonesia seperti dalam Tindak Pidana Korupsi wajib terdapat
elemen bribery atau penyuapan, maka harus dilakukan
perubahan terhadap UU Tipikor untuk mengatur hal tersebut.
Seperti yang kita ketahui dalam Pasal 2 UU Tipikor terhadap unsur
memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi
berlaku alternatif dengan kata hubung “atau”, sehingga untuk
memenuhi unsur memperkaya orang lain tidak diwajibkan harus
mengandung elemen bribery atau penyuapan atau memperkaya
diri sendiri untuk memenuhi rumusan delik Pasal 2.”

Terhadap dalil Penuntut Umum tersebut, kami menolak dan tidak


sependapat atas dalil demikian dengan alasan sebagai berikut.

1. Bahwa mengenai Replik Penuntut Umum yang menyatakan


bahwa dalam kasus korupsi yang didakwa dengan Pasal 2 ayat
(1) UU Tipikor khususnya unsur memperkaya orang lain tidak
harus ada bribery atau penyuapan atau memperkaya diri sendiri
merupakan hal yang diluar nalar manusia karena tidak ada

23 34
seseorang yang dengan sukarela memperkaya orang lain dengan
konsekuensi mengorbankan dirinya untuk di pidana.

2. Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. yang


menyatakan bahwa tidak ada pejabat yang mau memperkaya
orang lain hingga merugikan orang lain tanpa adanya kickback.
Hal tersebut juga telah diatur di dalam UNCAC yang telah
diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2006 yang pada pokoknya juga menyatakan bahwa dalam
kasus korupsi harus terdapat bribery. Menurut Oppenheim,
sebagaimana yang dikutip oleh Anthony Aust, di dalam asas pacta
sunt servanda tercakup asas keadilan dan itikad baik untuk
melaksanakan isi suatu perjanjian atau konvensi yang telah
diratifikasi.

3. Bahwa berdasarkan keterangan Ahli Dr. Doni Suryo, S.H., M.H.,


yang pada pokoknya

“untuk memahami keberadaan UNCAC dalam sistem hukum kita,


maka diperlukan adanya pemahaman konsep self executing
treaties dimana dalam konsep ini perjanjian internasional yang
berlakunya hanya mensyaratkan tandatangan dari negara peserta
yang terlibat. Sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 tentang
sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada Undang-
Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan
Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Peratifikasian suatu perjanjian internasional yang
telah ditandatangani pemerintah Indonesia mutatis mutandis
merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar
penerapannya di dalam praktik. Dalam kaitannya dengan asas lex
posteriori derogat legi priori, bilamana halnya terdapat dua peraturan
perundang-undangan dengan kedudukan yang sama, maka berlaku
suatu asas peraturan terbaru mengesampingkan peraturan yang
lebih lama. Kaitannya dengan penerapan UU Nomor 7 Tahun 2006
dengan UU Tipikor di sini jelas apabila UU Nomor 7 Tahun 2006 telah
dinyatakan berlaku dan mengikat, maka sudah sepatutnya UU

24 34
Nomor 7 Tahun 2006 yang dipakai sebagai dasar untuk
mempidanakan perbuatan korupsi di Indonesia.”

4. Selain itu berdasarkan pendapat Ahli Prof. Dr. Muhammad Ansyah


Sitohang, S.H., M.H., dan Ahli Dr. Doni Suryo, S.H., M.H., yang
berpendapat esensi kerugian keuangan negara dalam perkara tindak
pidana korupsi adalah suatu kerugian keuangan yang dialami
negara yang diakibatkan oleh adanya bribery/suap dalam
menjalankan tugas oleh instrumen negara atau pemerintah
tersebut.

5. Bahwa sebagaimana jawaban kami di atas, kami tetap pada


Pembelaan yang mana menyatakan Terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah memperkaya orang lain,
sebagaimana unsur “memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau
suatu korporasi”

7. Tentang Kualifikasi Penyertaan Yang Terbukti Dalam Perkara A


Quo Adalah Doenplegen

Bahwa dalam Replik Penuntut Umum halaman 17-19 dinyatakan


pada pokoknya:

- “Bahwa Terdakwa telah terbukti telah masuk dalam kategori pleger


bersama-sama dengan Faiz Napitupulu, Silwa Martianna, dan Agata
Nanda dengan tujuan menerbitkan SKL yang berakibat pada
terbebasnya kewajiban Silwa Martianna terhadap aset utang petani
plasma perkebunan sawit PT DNA.”

- “Bahwa Terdakwa dan Agata Nanda telah mengetahui mengenai


permasalahan dalam PKPS dari Silwa Martianna, namun Terdakwa
tetap ingin penanganan piutang petani plasma perkebunan sawit
dialihkan dari Divisi Litigasi kembali dilaksanakan melalui
mekanisme restrukturisasi oleh Divisi AMK. Oleh karena itu,
menyebabkan kualifikasi doenplegen menjadi gugur.”

- “Bahwa antara KKSK dengan BPPN tidak memiliki hubungan


subordinasi karena BPPN tidak dibentuk oleh KKSK serta Ketua BPPN

25 34
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BPPN adalah lembaga
eksekutif yang melaksanakan tindakan-tindakan hukum dan
melaksanakan program penyehatan perbankan secara konkret
sedangkan KKSK adalah pembuat arah kebijakan dan pedoman
penyehatan perbankan.”

Terhadap dalil Penuntut Umum tersebut, kami menolak dan tidak


sependapat atas dalil demikian dengan alasan sebagai berikut.

1. Berdasarkan fakta persidangan bahwa Terdakwa melakukan


pengalihan dari Divisi Litigasi kembali ke mekanisme
restrukturisasi karena guna mempercepat pengembalian dana
BLBI serta Terdakwa juga melihat apabila di alihkan ke Divisi
Litigasi penyelesaiannya akan terlalu berlarut-larut serta
persentase kemenangan BPPN dalam penyelesaian di pengadilan
juga rendah sehingga Terdakwa mengusulkan hal tersebut.

2. Berdasarkan keterangan Saksi Agata Nanda yang pada pokoknya


bahwa:

“Saksi menjelaskan klausul huruf a tersebut adalah untuk


meningkatkan tingkat pengembalian BPPN maka seluruh portofolio
aset AMK saat ini masih dalam penanganan litigasi tetapi belum
masuk dalam proses pengadilan dan/atau eksekusi hukum (legal
execution) wajib diserahkan kepada program penjualan aset.”

3. Dari kutipan dalil Penuntut Umum di atas, kami pun mengamini


Ketua BPPN diangkat oleh Presiden. Namun terhadap dalil Penuntut
Umum yang menyatakan bahwa hubungan antara BPPN dan KKSK
hanya sebatas hubungan fungsional kami merasa Penuntut Umum
telah menyimpang dari fakta persidangan. Sungguh pun
berdasarkan keterangan Ahli Ahmad Ekalawya, S.H., LL.M., Ph.D.
yang menyatakan pada pokoknya bahwa:

- PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN sebagai pelaksanaan


norma UU Perbankan dimana dalam Pasal 6 PP BPPN,
disebutkan bahwa “BPPN berada langsung di bawah dan

26 34
bertanggung jawab kepada Menteri.” Menteri yang dimaksud
disini ialah Menteri Keuangan yang sudah berganti menjadi
Menteri BUMN berdasarkan PP Nomor 63 Tahun 2001 tentang
Pengalihan Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Menteri
Keuangan Pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional Kepada
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Berdasarkan Pasal 3
ayat (3) PP BPPN, maka dalam rangka kelancaran pelaksanaan
tugasnya serta untuk peningkatan transparansi, dibentuk
lembaga penasihat dan pengawas, yakni Komite Penilaian
Independen sebagai lembaga penasihat dan Komite Kebijakan
Sektor Keuangan sebagai lembaga pengawas.

- Sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 3 ayat (3) PP BPPN


tadi, maka dibentuklah Keppres Nomor 89 Tahun 1999 tentang
Komite Kebijakan Sektor Keuangan yang bertujuan untuk
menjamin transparansi pelaksanaan fungsi penyehatan
perbankan dan pengelolaan aset bank yang bermasalah, dan
bertugas untuk mengarahkan dan mengawasi pelaksanaan tugas
BPPN. Keppres ini kemudian dicabut dan digantikan dengan
Keppres Nomor 177 Tahun 1999 tentang KKSK.

- Dilihat dari berbagai aturan-aturan tersebut secara kronologis


maupun secara konten-konten aturan yang membentuk,
mengatur, dan memberikan kewenangan kepada BPPN dalam
pelaksanaan tugasnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
terkait tugas BPPN, kewenangan aslinya (atribusi) berada di
tangan pemerintah dan Bank Indonesia, kemudian lewat
berbagai ketentuan kewenangan pembuatan arah kebijakan serta
pengawasan hal ini didelegasikan kepada KKSK dan sebagai
pelaksanaan dari kebijakan tersebut dimandatkan kepada BBPN.
Atas dasar uraian tersebut, artinya setiap tindakan BPPN adalah
merupakan implementasi dari kebijakan KKSK. Tanggung jawab
BPPN adalah kepada Menteri Keuangan, Menteri BUMN, KKSK,
dan selanjutnya Pemerintah (Presiden) karena dirujuk dari Pasal
5 ayat (2) PP BPPN, Ketua BPPN diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden berdasarkan usulan Menteri.

27 34
- Ketua BPPN adalah pejabat yang bertindak atas mandat yang
diperolehnya dari Presiden melalui KKSK. Hal ini berimplikasi
hukum yakni setiap tindakan Ketua BPPN (mewakili BPPN) baik
di dalam maupun di luar pengadilan pada dasarnya harus
dipertanggungjawabkan kepada atasannya Menteri
Keuangan/Menteri BUMN dan KKSK, selanjutnya kepada
Presiden.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara KKSK


dengan BPPN adalah hubungan secara masing-masing bertindak
sebagai mandator dengan mandataris.

4. Bahwa menurut Hazewinkel Zuringa sebagaimana dikutip Eddy


O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (2016:
355) pelaku atau pleger adalah setiap orang yang dengan seorang
diri telah memenuhi semua unsur delik seperti yang telah
ditentukan dalam rumusan delik tersebut.

5. Bahwa dalam melakukan penerbitan SKL, Terdakwa telah mendapat


persetujuan dari KKSK berdasarkan Keputusan KKSK Nomor
KEP.02/K.KKSK/02/2004 dan dari Menteri BUMN berdasarkan
Surat Menteri BUMN Nomor S-120/M.BUMN/2004 yang pada
pokoknya menerangkan bahwa KKSK dan Menteri BUMN
mengeluarkan suatu keputusan yang menyetujui bukti
penyelesaian sesuai dengan MSAA berupa SKL.

6. Bahwa jika dikaitkan antara teori sebagaimana telah kami paparkan


di atas dengan tindakan-tindakan Terdakwa, kami membenarkan
Terdakwa menerbitkan SKL bagi Silwa Martianna oleh karena dalam
kapasitasnya sebagai Ketua BPPN yang memiliki wewenang untuk
itu. Tetapi, jika halnya Terdakwa dikatakan sebagai pleger atau
pembuat materiil dalam kasus ini, secara maka kami menolak dalil
yang demikian karena secara jelas Terdakwa sebagai Ketua BPPN
masih mempunyai atasan yakni KKSK dan Menteri BUMN. Setiap
tindakan yang diambil BPPN haruslah kemudian mendapatkan
persetujuan dari KKSK dan Menteri BUMN, tidak bisa tidak. Maka,
secara logika, jika hubungan antara KKSK dengan BPPN adalah

28 34
hubungan mandat, Terdakwa tidak bisa dipersalahkan atas
penerbitan SKL bagi Silwa Martianna. Seharusnya yang patut
dipersalahkan dan mempertanggungjawabkan tindakan Terdakwa
adalah Ketua KKSK, yakni Agata Nanda dan/atau Menteri BUMN
yakni Muhammad Anwar. Tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa
hanya merupakan suatu pelaksanaan perintah jabatan yang oleh
Pasal 51 KUHP pada pokoknya seseorang yang melaksanakan
perintah jabatan yang sah, tidak dihukum.

7. Oleh karenanya dapat disimpulkan perihal penyertaan, Terdakwa


lebih tepat disebut sebagai manus ministra atau orang yang disuruh
melakukan perbuatan dan perbuatan untuk itu tidak bisa
dipertanggungjawabkan olehnya sebab adanya alasan penghapus
pidana. Dengan begitu, kami tetap pada Pembelaan dan menyatakan
Terdakwa TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN
BERSALAH SEBAGAI “MEREKA YANG MELAKUKAN
PERBUATAN” SEBAGAIMANA PASAL 55 AYAT (1) KE-1 KUHP.

8. Tentang Kebijakan Penghapusbukuan Piutang Adalah Salah Satu


Bentuk Diskresi Bebas Dari Ketua BPPN

Bahwa dalam Replik Penuntut Umum halaman 20, dinyatakan pada


pokoknya:

- “Bahwa sesungguhnya Kami berpendapat Tim Penasihat Hukum


Terdakwa terlalu liar dalam menafsirkan diskresi bebas yang dimiliki
BPPN sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Badan Penyehatan
Perbankan Nasional Jo. Pasal 37 A ayat (3) huruf n Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Perlu disadari bahwa
dalam melakukan penghapusbukuan piutang, BPPN harus
berpedoman pada Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang
Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua KKSK Nomor
KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tentang Kebijakan Restrukturisasi dan
Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di BPPN tanggal 20 Januari
2000.”

29 34
Terhadap dalil Penuntut Umum tersebut, kami menolak dalil
demikian dengan alasan sebagai berikut.

1. Bahwa Penuntut Umum berusaha memojokkan Terdakwa agar


dapat menggiring opini bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa merupakan suatu tindak pidana. Nyatanya berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan berdasarkan keterangan
saksi Agata Nanda yang pada pokoknya:

- “atas usulan adanya penghapusan atas porsi utang


unsustainable petani plasma perkebunan kelapa sawit sebesar
Rp3.800.000.000.000,00., itu sudah disampaikan dalam ratas,
maka usulan dari BPPN itulah yang memang seharusnya
dilaksanakan. Sehingga KKSK bisa menetapkan nilai utang
masing-masing petani plasma PT DNA ditetapkan setinggi-
tingginya Rp95.000.000,00 (sembilan puluh lima juta rupiah).”
Diperkuat dengan alat bukti berupa Keputusan KKSK Nomor
KEP.02/K.KKSK/02/2003 yang menerangkan bahwa KKSK
telah menyetujui ringkasan eksekutif tertanggal 27 Januari
2003. Oleh karena itu, keputusan ini telah mencabut seluruh
keputusan KKSK yang sebelumnya telah ditetapkan.

2. Bahwa Saksi Alleshia Astradi juga menerangkan yang pada


pokoknya bahwa

- “Dalam Sidang Kabinet Terbatas tersebut Presiden tidak


menanggapi dan memberikan persetujuan untuk melakukan
write off. Selanjutnya dilaksanakan disetujui. Itu memang satu
langkah yang benar untuk mengurangi beban petani tambak
dalam situasi yang sulit kalau ada masalah lebih luas kenapa
tidak diberi keringanan terlebih dulu, dipotong dulu dan menjadi
inti serta kesepakatan dalam sidang kabinet. Walaupun tidak
ada keputusan persetujuan, tetapi itulah yang terjadi. Ketika
Presiden mengatakan ‘baik itu dilaksanakan’ kata-kata seperti
itu sering keluar dan menjadi pola Presiden saat itu.”

30 34
3. Bahwa berkaitan dengan diskresi bebas, sebagaimana pendapat
Ahli AHMAD EKALAWYA, S.H., LL.M., Ph.D. yang berpendapat
pada pokoknya “dalam Pasal 13 huruf c PP BPPN, disana
disebutkan intinya BPPN dipersilakan mengambil keputusan apa
pun, tindakan hukum apa pun, meskipun diatur berbeda di dalam
kontrak perjanjian maupun peraturan perundang-undangan.
Manalagi dengan adanya ketentuan Pasal 37 A ayat (4) UU
Perbankan telah sangat menegaskan bahwa tindakan hukum apa
pun yang ditempuh BPPN dengan motivasinya adalah penyehatan
perbankan telah dianggap sah berdasarkan undang-undang
tersebut. Itulah diskresi bebas terhadap BPPN.”

4. Kami tidak pernah menyatakan Terdakwa dalam melakukan


penghapusbukuan piutang, Terdakwa tidak berpedoman pada
Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Industri selaku Ketua KKSK Nomor
KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tentang Kebijakan Restrukturisasi
dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di BPPN tanggal 20
Januari 2000. Melainkan sebaliknya, fakta yang terungkap di
persidangan Terdakwa telah meminta persetujuan KKSK untuk
menghapusbukukan piutang petani plasma. Selanjutnya KKSK
menyetujui penghapusan atas sebagian porsi utang
unsustainable karena dan BPPN telah langsung mendapatkan
persetujuan dari Presiden berdasarkan rapat terbatas tertanggal
24 Januari 2003.

5. Bahwa dengan demikian, Terdakwa telah menjalankan


kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf c
BPPN dengan tetap memperhatikan persetujuan dari atasannya
yakni KKSK dan Menteri BUMN.

6. Bahwa atas uraian dalil kami di atas, kami berkesimpulan


Terdakwa telah melaksanakan wewenang yang diberikan
undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur secara
spesifik tentang BPPN, sehingga merupakan suatu tindakan yang
sah dan dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku.

31 34
Majelis Hakim yang mulia,
Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,

Setelah kami menjawab baik sebagian ataupun seluruh materi


Replik Penuntut Umum, kami menyatakan sikap TETAP PADA
PEMBELAAN DAN MENOLAK SELURUH DALIL YANG
DIUTARAKAN PENUNTUT UMUM KEPADA TERDAKWA.

32 34
III. PENUTUP

SI FIERI NON POTEST NUSI QUISQUE


CONSILIUM PULCHERIMAE AEQUATO JURE
Keputusan yang seadil-adilnya hanya dapat dicapai apabila
setiap orang sama di hadapan hukum

Majelis Hakim yang mulia,


Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,

Kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa kami menaruh harapan besar


terhadap persidangan ini karena kita memiliki tujuan yang sama, yaitu
untuk mencari serta membuktikan kebenaran materiil. Akan menjadi lebih
baik apabila tujuan ini tidak hilang hanya karena salah satu pihak dengan
ambisinya yang membara mengaburkan fakta-fakta yang sejatinya lebih
kuat dari kata-kata.

Oleh karena itu, kami Penasihat Hukum Terdakwa memohon agar Majelis
Hakim dengan segala kerendahan hatinya untuk memutus sebagai berikut:

1. Menerima Jawaban Penasihat Hukum atas Replik Penuntut Umum;


2. Menyatakan menolak Replik Penuntut Umum untuk seluruhnya;
3. Memutus perkara ini sesuai dengan Pembelaan Penasihat Hukum
Terdakwa;

ATAU

Apabila Majelis Hakim yang mulia berpendapat lain, mohon putusan


yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian Jawaban ini kami sampaikan dan ditujukan kepada Majelis


Hakim yang mulia sebagai pertimbangan tambahan dalam memutus
perkara ini dengan putusan yang seadil-adilnya. Akhir kata, semoga
Tuhan senantiasa mengampuni kesalahan mereka yang bersalah dan
melindungi mereka yang berjalan di atas kebenaran.

33 34
Jakarta, 15 Maret 2021
Hormat kami,
Penasihat Hukum Terdakwa
JAYANTI LAW FIRM

CLAUDIA KINANTI SILABAN, S.H., M.H., LL.M.

ASTA JAYANTI, S.H., M.H.

DWIKY SUWASONO, S.H., M.H.

TIO BALAKRAMA, S.H., M.H.

IMANUEL RUSDIANTORO, S.H., M.H.

ARIF SITOMPUL, S.H., M.H.

HOTMAN MULYA LUBIS, S.H., M.H.

BELLA PANGARIBUAN, S.H., M.H.

34 34

Anda mungkin juga menyukai