Anda di halaman 1dari 10

HAMBATAN DALAM MENANGANI COVID-19

a. Lambannya Respons Pemerintah

Menurut Profesor Lipsitch, Pemerintah Indonesia telah gagal untuk mendeteksi


kehadiran COVID19 di Indonesia (Aida, 2020b: 1). Penjelasannya tersebut didasarkan
atas penelitiannya terkait jumlah rerata penumpang dari China seluruh dunia yang tidak
sedikit, termasuk ke Indonesia. Namun, pernyataan Profesor Lipsitch ditentang oleh
Menteri Kesehatan, bahkan ia menantang asumsi Profesor Lipsitch untuk membuktikan
langsung hasil riset yang memprediksi virus korona semestinya sudah masuk ke
Indonesia. Narasi-narasi negatif juga disampaikan oleh Menteri Koordinator
Perekonomian (Menko Perekonomian) meski dalam konteks berkelakar yang
menyatakan, “Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit, maka virus korona pun tak
bisa masuk (Penulis: ke Indonesia)” (Garjito & Aditya, 2020). Menteri Perhubungan
menyampaikan kelakarnya yang lain di tempat berbeda, dengan menyatakan bahwa
bangsa Indonesia kebal virus korona karena doyan nasi kucing (Saubani, 2020). Ini
semua menunjukkan perilaku elite pemerintah yang antisains, padahal beberapa waktu
sebelumnya World Health Organization (WHO) telah mendeklarasikan COVID-19
sebagai epidemi dunia. Untuk mengantisipasi hal tersebut World Health Organization
(2020) menerbitkan panduan strategis dalam menghadapi infeksi virus tersebut dengan
tajuk “2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV): Strategic Preparedness and Reponse Plan”.
Atas kesadaran inilah banyak negara menyikapi secara serius untuk meminimalkan dan
sedapat mungkin menghentikan penyebaran virus yang mematikan tersebut. Malangnya,
tidak dengan Indonesia, terutama di awal-awalnya. Perilaku antisains tersebut
menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia belum memahami context COVID-19 sebagai
epidemi yang mematikan. Impaknya, narasi dan komunikasi antisains lebih sering
muncul berbanding narasi yang mengarah pada formulasi kebijakan yang sesuai untuk
menyelesaikan masalah virus korona. Hal ini juga tampak pada pernyataan Wakil
Presiden Indonesia yang menyatakan salah satu penyebab kenapa virus korona tidak
masuk ke Indonesia adalah berkat doa ulama yang selalu membaca doa Qunut (Maranda,
2020). Narasi wakil presiden dan narasi-narasi “wakil pemerintah” menunjukkan nihilnya
sense of crisis dari para pimpinan bangsa sehingga memperlambat perumusan kebijakan
yang bersifat strategis. Ketidaktanggapan Pemerintah Indonesia juga ditunjukkan dengan
rencana mengucurkan dana untuk media dan influencer dalam rangka promosi wisata.
Insentif untuk wisatawan mancanegara yang dianggarkan oleh Pemerintah Indonesia
sebesar Rp298,5 Miliar, dengan perincian: subsidi diskon tiket pesawat Rp98,5 Miliar,
anggaran promosi Rp103 Miliar, kegiatan kepariwisataan sebesar Rp25 Miliar, dan jasa
influencer sebesar Rp72 Miliar (Sani, 2020: 1). Anggaran sebesar Rp72 Miliar ini
diarahkan untuk menangkal ketakutan masyarakat terhadap COVID-19 dalam dunia
maya. Di sisi lain, insentif pemerintah tersebut ditujukan untuk menarik wisatawan
mancanegara yang tidak dapat berwisata ke negara-negara yang telah melakukan
lockdown sehingga Pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai peluang dalam
meningkatkan kunjungan wisata ke Indonesia. Langkah ini tentu menjadi bumerang bagi
pemerintah karena bukan hanya mendapat kritik luas, tetapi juga menunjukkan ketiadaan
prioritas pemerintah dalam menangkal penyebaran COVID-19.

b. Lemahnya Koordinasi Antar-Stakeholders

Selain masalah lambatnya pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang


berimplikasi pada terlambatnya implementasi penanganan COVID-19, lemahnya
koordinasi antar pemangku kepentingan pun menjadi problem dalam mengendalikan
penyebaran virus korona di Indonesia. Hal ini terjadi karena sistem negara kesatuan
menempatkan pemerintah pusat sebagai pemangku kepentingan utama dalam hal
kebencanaan, baik bencana alam maupun bencana non-alam termasuk kesehatan. Selain
bentuk negara kesatuan, dalam sistem politik Indonesia, Indonesia juga mengenal konsep
otonomi daerah yang mengamanatkan semua urusan dapat dijalankan oleh pemerintah
daerah kecuali, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal,
serta agama. Dan bagi pemerintah daerah, urusan kesehatan adalah urusan yang dapat
ditangani oleh mereka; meskipun secara konseptual urusan kesehatan merupakan urusan
yang bersifat concurrent yang dapat diurus bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Namun, ketika beberapa pemerintah daerah melakukan langkah proaktif
untuk menyampaikan informasi dan sosialisasi mengenai COVID-19 (di awal-awal
penyebaran virus Korona), pemerintah pusat mengkritik langkah-langkah proaktif
pemerintah daerah tersebut. Pada 3 Maret 2020, sehari setelah pengumuman “masuknya”
kasus COVID-19 di Indonesia, juru bicara pemerintah untuk penanganan virus korona
menyatakan kepada semua pihak (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk menahan diri
menyampaikan informasi mengenai status penularan virus Korona (Nugraheny, 2020:1).
Mengapa informasi tersebut harus desentralisasi oleh pemerintah pusat (Kementerian
Kesehatan) Sebab pemerintah daerah dianggap terlalu mendramatisasi kasus penyebaran
COVID-19 di Indonesia. Di samping adanya asumsi pernyataan kepala daerah (yang
merepresentasikan pemerintah daerah) tersebut diarahkan untuk meningkatkan
popularitas kepala-kepala daerah semata berbanding didasarkan pada argumen dan alasan
medis. Ini karena pada tahun 2020 adalah tahun pemilihan kepala daerah (Pilkada) di
beberapa provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Dalam
Negeri pun unjuk bicara dan meminta para kepala daerah untuk tidak menyampaikan
pernyataan yang berpotensi menimbulkan polemik, keresahan, serta kepanikan di
masyarakat terkait COVID-19.

Bukan hanya itu, lemahnya komunikasi (meminjam istilah Edward III) dan
ketidaksinkronan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (network yang tidak
terkelola secara baik) terjadi juga dalam pelaksanaan kebijakan isolasi wilayah
(lockdown) di beberapa daerah. Pada pertengahan Maret 2020, pemerintah pusat sudah
memutuskan untuk tidak mengadopsi isolasi wilayah karena akan mengganggu migrasi
manusia dan menghambat perekonomian warga. Karena itu, keputusannya adalah
menerapkan social atau physical distancing di seluruh wilayah Indonesia. Namun lima
daerah (Bali, Papua, Solo, Maluku, dan Tegal) menentang kebijakan pusat dengan
menerapkan lockdown dengan skala berbeda-beda.

Dalam konteks komunikasi yang lemah dan koordinasi yang tidak optimal
tersebut membuat daya serap anggaran program penanganan COVID-19 menjadi sangat
minim. Padahal pemerintah pusat telah menyediakan dana sebesar Rp. 75 Triliun, tapi
baru terserap 1,53%-nya saja (sekitar Rp. 1,14 Triliun). Ini pulalah yang menjadi sebab
marahnya Presiden pada Sidang Kabinet Paripurna Perdana di pertengahan Juni 2020
lalu, sekaligus menjadi faktor pendorong menguatnya kembali isu pergantian (reshuffle)
kabinet di awal Juli 2020. Di samping itu, minimnya penyediaan alat pelindung diri
(APD) menjadi indikasi begitu lemahnya komunikasi dan koordinasi (networking) antar-
lembaga di Indonesia khususnya lembaga yang terkait erat dengan persoalan penanganan
COVID-19. Impact paling menyakitkan dari minimnya penyediaan APD oleh pemerintah
adalah gugurnya para pahlawan bangsa (baca: dokter dan perawat) di banyak daerah.
Hingga 19 April 2020 saja, sudah 29 tenaga kesehatan yang meninggal dunia; angka ini
belum termasuk tenaga kesehatan dan perawat yang terinfeksi COVID-19 (Pusparisa,
2020). Menurut keterangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), salah satu penyebab dari
banyaknya tenaga kesehatan yang meninggal adalah karena kurangnya APD. Semestinya
pemerintah dapat dengan sigap menyediakan APD, khususnya, di rumah-rumah sakit
rujukan pasien COVID-19. Atau dalam situasi lain APD justru ditemukan digunakan oleh
polisi lalu lintas (Polantas) pada saat tenaga kesehatan, peneliti yang bekerja di dalam
biosafety cabinet Level 2, dan perawat membutuhkannya. Sebagai ganti APD yang susah
diperoleh, beberapa tenaga kesehatan dan perawat menggunakan jas hujan plastik untuk
melindungi dirinya. Kondisi ini direkam oleh Dr. Lee Morgenbesser dari Griffith
University yang menyatakan bahwa penanganan virus Korona di Indonesia merupakan
penanganan COVID-19 terburuk sehingga memungkinkan penyebarannya menjadi
sangat masif dan tak terkendali (Gedoan, 2020). Jika saja komunikasi dan koordinasi
antara pelbagai pihak berjalan lancar, maka tenaga kesehatan yang menggunakan “jas
hujan plastik” (sebagai pengganti hamzat) tidak akan pernah terjadi.

c. Ketidakacuhan Warga Atas Imbauan Pemerintah

Satu masalah lain yang menyebabkan Indonesia kurang berhasil mengendalikan


penyebaran virus korona adalah ketidakacuhan (untuk tidak mengatakan ketidakpedulian)
warga terhadap imbauan atau instruksi pemerintah. Masalah ini tampak dari masih
ramainya orang-orang berkumpul di kedai-kedai kopi, cafe, mall, bioskop, ataupun
tempat-tempat yang telah dilarang oleh pemerintah. Padahal sejak awal pemerintah telah
memberikan arahan kepada warga untuk melakukan physical atau social distancing
menjaga jarak dengan orang lain. Ini karena penyebaran virus korona, salah satunya
adalah, melalui percikan ludah. Jika orang tidak menjaga jarak, dan diketahui bahwa
orang yang sedang diajak berbicara terinfeksi atau carrier (“pembawa”) virus, maka hal
ini sangat berpotensi untuk menularkan kepada orang lain dan menyebarkan lagi pada
pihak ketiga, keempat, dan seterusnya. Oleh karena itu, physical atau social distancing
adalah salah satu jalan keluar untuk menghambat penyebaran COVID-19. Arahan
pemerintah hanya tinggal arahan ketika sebagian besar masyarakat masih juga berimpitan
di terminal, stasiun, shelter, pasar, dan lainnya. Warga seolah tidak khawatir dengan virus
tersebut karena lebih mementingkan aktivitas harian mereka.
Sama halnya dengan physical atau social distancing, imbauan pemerintah akan
penggunaan masker pun tak jarang dilanggar oleh masyarakat luas. Ajakan mencuci
tangan setelah keluar rumah juga tidak banyak dituruti oleh warga. Mengapa hal ini bisa
terjadi? Melihat pada kondisi di lapangan setidaknya ada tiga kemungkinan mengapa
rakyat tidak acuh atas arahan pemerintah. Pertama, ketidaktahuan warga akan bahaya
yang sangat mematikan dari COVID-19. Ketidaktahuan ini disebabkan lemahnya
sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah dan jajarannya.
Pemerintah Indonesia tidak optimal mensosialisasikan perlunya hidup bersih dan sehat di
antaranya dengan menggunakan masker dan kerap mencuci tangan karena beberapa
medium dapat menjadi penghantar penyebaran virus korona. Sebagai contoh, kajian van
Doremalem et al. (2020) menjelaskan bahwa virus korona dapat bertahan dalam hitungan
jam hingga hari pada medium yang berbeda. Virus korona dapat bertahan beberapa jam
di udara, bertahan 4 hingga 8 jam di medium tembaga, bertahan 24 jam di medium
kardus, dan juga dapat bertahan hingga 3 hari di medium plastik maupun stainless-steel
(van Doremalem et al., 2020: 1). Ketahanan virus inilah yang harus diantisipasi dengan
cara hidup bersih dan sehat. Bagi kelas menengah, yang mendapat informasi dari media-
konvensional maupun media-sosial, informasi mudah diperoleh. Dan, mereka memahami
bahwa virus ini bisa dinonaktifkan dalam hitungan menit dengan cara menyemprotkan
permukaan yang terpapar dengan alkohol atau pemutih rumah tangga. Hal ini sebenarnya
sejalan dengan kajian van Doremalem et al. (2020: 1), yang menjelaskan bahwa alkohol
dengan kandungan 62-71%, pemutih yang mengandung hidrogen peroksida 0,5%,
ataupun pemutih yang mengandung 0,1% natrium hipoklorit dapat menonaktifkan virus
korona. Informasi yang didapat warga ini tidak berasal dari sosialisasi pemerintah, tapi
upaya mandiri masyarakat untuk mencari tahu. Akibat ketidaktahuan inilah yang
membuat warga masyarakat acuh tak acuh atas imbauan pemerintah karena mereka tidak
paham secara mendalam mengenai bahaya mematikan COVID-19. Kedua, adanya
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengakibatkan sebagian warga tidak
menghiraukan perintah physical atau social distancing. Bahkan ketidakhirauan ini terlihat
juga pada saat pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa
daerah. PSBB adalah kebijakan pemerintah pusat (bekerja sama dengan pemerintah
daerah) dalam rangka mengatasi pandemi COVID-19 dengan cara membatasi Jurnal
Borneo Administrator, Vol. 16 No. 2, 253-270, Agustus 2020 265 kegiatan tertentu
dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi. Larangan itu meliputi kegiatan belajar-
mengajar (baik di sekolah maupun kampus), kegiatan keagamaan, resepsi pernikahan,
konser, wisata, hingga penggunaan transportasi umum dan pribadi. Awal-awal
implementasi PSBB di Jakarta, Tangerang Raya, Bogor, Depok, dan Bandung Raya
menunjukkan penurunan angka migrasi manusia yang cukup signifikan, tetapi beberapa
hari kemudian kondisi menjadi relatif sama dengan sebelum awal PSBB. Kajian
Aswicahyono (2020) memperkuat hal ini. Satu hal kuat yang menyebabkan warga tidak
acuh dengan arahan pemerintah untuk tinggal di dalam rumah (melalui PSBB)
disebabkan oleh kebutuhan warga untuk memenuhi kepentingan ekonomi mereka
seharihari. Dapat diasumsikan bahwa mereka yang melakukan migrasi adalah para
pekerja informal dan mereka yang hidup dari pekerjaan harian. Implikasinya, PSBB
hanya menekan migrasi kelas menengah-atas dan atas, sedangkan mereka yang berstatus
sosial ekonomi di bawah itu tetap “berjuang” untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari. Ketiga, tiadanya sanksi yang tegas, membuat migrasi manusia tetap tinggi; dan
kebijakan physical atau social distancing menjadi kurang berdampak. Misalnya acara
Ijtima Jemaah Tabligh Zona Asia 2020 di Kompleks Darul Ulum, Kabupaten Gowa,
Provinsi Sulawesi Selatan yang sedianya akan berlangsung empat hari mulai 19 hingga
22 Maret 2020 menjadi salah satu contoh bagaimana sanksi tidak tegas. Ribuan jemaah
tabligh dari mancanegara berkumpul di satu lokasi pada saat virus korona mewabah.
Meski akhirnya kegiatan itu urung dilaksanakan, tetapi impak dari berkumpulnya ribuan
orang mengakibatkan sebaran virus menjadi tidak terkendali. Para jamaah yang pulang
dari Gowa didapati terinfeksi dan menularkan virus korona di lingkungan mereka
masing-masing (Kurniati, 2020: 1-3). Hal yang sama terjadi juga di Lembang, Kabupaten
Bandung Barat, ketika ratusan Jemaah Gereja Bethel Indonesia (GBI) melakukan
kegiatan keagamaan di saat COVID-19 mewabah. Dampaknya, ratusan orang terinfeksi
dan sebagian di antaranya menjadi pembawa virus ke wilayah lain (Iqbal, 2020). Pada
kasus yang lebih mikro pihak berwenang pun tak kuasa untuk memberikan sanksi tegas
terhadap para pelanggar physical atau social distancing dan PSBB sehingga orang tidak
jera dengan berkumpul serta bermigrasi dalam wilayah ataupun antar-wilayah.
Ketidakpatuhan yang didiskusikan pada subbagian ini sebenarnya mempertegas survei
yang dilakukan oleh Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Airlangga (Hadi et al., 2020). Survei mereka mendapati bahwa 92,6% responden aktif
berinteraksi di pasar tradisional; 84,1% di antaranya tidak menggunakan masker serta
89,3% tidak menerapkan physical atau social distancing. Sementara di supermarket
ataupun minimarket tidak jauh berbeda. Dari 97,6% warga yang aktif ke supermarket
ataupun minimarket, 49% di antaranya tidak menggunakan masker dan 61,7% tidak
mengindahkan instruksi pemerintah untuk melakukan physical atau social distancing.
Selain itu, survei ini juga mendapati bahwa sebanyak 81,7% responden tetap pergi ke
masjid, gereja, dan pura; serta 72,5% responden masih aktif nongkrong atau berkumpul
di kafe dan warung kopi.

Selain itu, Hal


lain yang juga menjadi hambatan yaitu, tingginya beban
kerja tenaga medis rumah sakit (RS) rujukan Covid-19. Hal itu tidak
lepas dari semakin banyaknya pasien yang tertular Covid-19
berdatangan ke rumah sakit.

Serta adanya kesulitan dalam melakukan mobilisasi kesehatan


antarfasilitas kesehatan. Hambatan selanjutnya yaitu diperlukannya
tempat khusus untuk karantina tenaga kesehatan yang menangani
Covid-19.

Bibliography
Agustino, L. (2020). ANALISIS KEBIJAKAN PENANGANAN WABAH COVID-19:PENGALAMAN INDONESIA.
Jurnal Borneo Administrator, 258-265.

Dampak pandemi Covid-19

Dalam hitungan beberapa bulan saja, ancaman dari virus corona telah banyak mengubah
cara hidup dan kondisi masyarakat di hampir seluruh belahan dunia. Virus yang bermula
ditemukan di Wuhan, China tersebut telah menjadi ancaman yang menakutkan karena telah
menelan jutaan korban jiwa dan membuat ratusan ribu lainnya jatuh sakit dengan sangat cepat
dan masih serta mengancam kehidupan siapa saja yang terjangkit oleh virus tersebut. Situasi ini
semakin mengancam karena proses penularannya yang sangat mudah antar manusia yang satu
dengan yang lainnya sementara antivirus atau vaksin untuk virus ini masih dalam masa uji coba.
Sejak pihak pemerintah Indonesia mengumumkan dan mengonfirmasi kasus pertama dari pasien
yang terinfeksi virus corona pada awal Maret 2020 hingga saat ini jumlah pasien masih terus
bertambah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan jajarannya sebagai langkah
pencegahan dan penanggulangan dampak dari pandemi Covid-19 di berbagai sektor kehidupan
masyarakat.

Hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat telah mengalami dampak yang semakin
meluas, tidak hanya di sektor kesehatan saja. Sektor ekonomi juga mengalami dampak serius
akibat pandemi virus corona. Sektor bisnis yang sudah semakin maju kemudian terhenti seketika
secara massal. Sektor sosial budaya juga mengalami hambatan karena kebijakan pembatasan
sosial. Pembatasan aktivitas masyarakat yang dilakukan sebagai kebijakan pemerintah untuk
memutus mata rantai penyerabaran virus ini sangat berpengaruh pada hampir semua aktivitas
kehidupan seharihari secara drastis. Penerapan kebijakan menjaga jarak dan ketatnya protokol
kesehatan mengharuskan seseorang untuk lebih baik berdiam diri dan melakukan seluruh
aktivitasnya dari rumah.

DAMPAK POSIITIF COVID-19

Kenyataan ini banyak berpengaruh terhadap kondisi lingkungan alam. Aktivitas ekonomi
dan transportasi yang dibatasi bahkan dikurangi jumlahnya turut berdampak pada lingkungan.
Tercatat bahwa kegiatan di rumah dan berkurangnya lalu lalang kendaraan telah menyebabkan
penurunan emisi karbon secara merata di kota-kota besasr di seluruh dunia. Dibandingkan
dengan tahun lalu, tingkat polusi di New York telah berkurang hampir 50% karena langkah-
langkah yang dilakukan untuk menekan penyebaran virus. Di China, emisi turun 25% pada awal
tahun karena orang diperintahkan untuk tinggal di rumah dan penutupan pabrik secara besar-
besaran. Penggunaan batu bara juga turun 40% pada enam pembangkit listrik terbesar China
sejak kuartal terakhir di 2019. Bahkan menurut Kementerian Ekologi dan Lingkungan China,
kualitas udara di negaranya telah naik sebesar 11,4% dibandingkan dengan waktu yang sama di
tahun lalu. Di Eropa, gambar satelit menunjukkan emisi nitrogen dioksida (NO2) memudar di
Italia utara. Hal ini juga terjadi di Spanyol dan Inggris. Penuruan gas emisi karbon ini adalah
turut dipengaruhi oleh menurunnya laju transportasi. Citra satelit menunjukkan adanya
penurunan signifikan terhadap tingkat global nitrogen dioksida (NO2), yaitu gas yang dihasilkan
dari mesin mobil dan pabrik manufaktur komersil yang biasanya terdapat di kota-kota besar.
Emisi CO2 pun menunjukkan penurunan selama terjadinya pandemi COVID-19. Sementara itu,
menurut Barcelona Institute for Global Health, hampit setiap kota di seluruh dunia mencatat
rekor terendah perihal polusi udara. Selain perubahan tersebut pandemi global COVID-19 juga
telah mengubah lingkungan sosial masyarakat. Adanya wabah virus corona ini membuat semua
elemen masyarakat bekerja sama saling bahu membahu menghadapi pandemi virus corona
tersebut. Di Indonesia telah ada bergerak badan-badan sosial yang mempelopori bantuan atau
donasi yang banyak digalakkan mulai dari kalangan selebriti, pengusaha, hingga masyarakat
umum. Dukungan dan gerakan menjaga jarak turut mengubah kebiasaan hidup masyarakat.
Dengan menjaga jarak antar individu, terbentuk dengan kebiasaan untuk lebih menjaga
kebersihan dan kesehatan diri sendiri serta orang lain. Orang semakin rajin untuk cuci tangan dan
menjaga kebersihan lingkungannya. Kebiasaan memakai masker terlihat dimana-mana. Bukan
barang aneh lagi jika orang memakai masker di manapun dia berada. Kemudian orang tidak lagi
saling bersalaman seperti biasanya ketika saling bertemu namun cukup dengan tangan dikatup
dan saling menundukkan kepala. Wabah covid-19 juga telah mengubah tingkah laku masyarakat
untuk hidup yang lebih sehat. Demi menjaga jarak sosial pemeritah menutup tempat-tempat dan
sarana-sarana publik yang menjadi tempat aktivitas sehari-hari masyarakat seperti sekolah dan
universitas, perkantoran, pasar, mall, bioskop tempat-tempat olah raga, lapangan dan lain
sebagainya. Hal ini tentu membuat aktivitas sosial menjadi semakin berkurang dan hanya
dilakukan di dalam rumah saja.

DAMPAK NEGATIF

Di sisi lain International Monetary Fund (IMF) menyatakan ekonomi dan keuangan
global saat ini tengah mengalami krisis akibat pandemi virus corona. Hal tersebut dikarenakan
pendorong utama pergerakan perekonomian yaitu konsumsi rumah tangga belakangan terus
melambat. Orang lebih cenderung memenuhi kebutuhannya dari rumah. Jika pun ada keperluan
lain masyarakat cenderung menggunakan cara belanja online yang mungkin sangat terbatas.
Namun kenyataannya bukan hanya pada sektor konsumsi rumah tangga, virus corona juga turut
menyerang pasar saham. Investor di berbagai dunia khawatir penyebaran virus corona akan
menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan tindakan pemerintah bahkan tidak sanggup
menghentikan penuruan tersebut. Demikian sekelumit dari dampak pandemi virus corona yang
telah melanda hampir seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Secara drastis kehidupan
sosial, budaya, ekonomi bahkan juga politik dan keamanan mengalami perubahan.

Ada dampak positif yang terjadi dari pandemi ini namun tidak jarang juga banyak
dampak negatif yang ditimbulkannya. Namun inilah kenyataan yang dihadapi dunia dan juga
Indonesia. Dampaknya sangat besar terhadap kehidupan namun harus dapat dihadapi dan
disiasati dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian yang sangat besar namun dari kejadian
tersebut dapat diperoleh pelajaran berharga yang akan menguntungkan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Herlina Maman, H. S. (2020). Potensi pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (PJOK)
di tengah pandemi corona virus disease (covid)-19 di sekolah dasar. Tadulako Journal Sport Sciences And
Physical Education, Vol 8, No 1, 1–7.

Nurkholis. (2020). Dampak pandemi novel-corona virus disease (covid-19) terhadap psikologi dan
pendidikan serta kebijakan pemerintah. Jurnal PGSD, Vol. 6 No.1. 39–49.

Abadi Nafik, M. M. (2020). Metode cultural responsive teaching dalam pendidikan agama Islam: studi
kasus tindak xenophobia dan rasisme di tengah bencana covid-19. Jurnal Pemikiran dan Pendidikan
Islam, Vol 9, No 1, 34–48.

Anda mungkin juga menyukai