Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Biopsi Sumsum Tulang

Biopsi sumsum tulang sering dilakukan baik di rawat inap maupun rawat jalan
untuk mendiagnosis berbagai gangguan hematologi. Tindakan biopsi memiliki
akurasi diagnostik yang tinggi. Krista iliaka superior posterior adalah lokasi
pengambilan sampel yang biasanya dipilih karena alasan kenyamanan dan
keamanan pasien. Krista iliaka anterior superior juga dapat digunakan pada
pasien yang memiliki jaringan adiposa dalam jumlah besar atau kontraindikasi
lain seperti luka di atas krista iliaka posterior. Sternum proksimal dapat
menjadi target untuk pasien berusia di atas 12 tahun 1. Biopsi sumsum tulang
dapat membantu menentukan stadium, manajemen, dan pemantauan dari
penyakit hematologi. Namun biopsi sumsum tulang bersifat invasif,
membutuhkan praktisi spesialis dan dapat menyebabkan rasa sakit dan
komplikasi lain pada pasien. Analisis harus dilakukan tepat waktu oleh
spesialis bersama dengan pengujian yang sangat kompleks2.

1. Rindy J.L & Chambers A.R. 2022. Bone Marrow Aspiration And Biopsy.
National Center for Biotechnology Information.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559232/

2. Mahbub M & Chauhan N. 2022. Pb2342: A Review Of Bone Marrow Biopsies


Performed At A London Teaching Hospital: Do Bone Marrows Aid Diagnosis
And At What Cost?. National Center for Biotechnology Information. 6(Suppl ):
2211-2212. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9429856/
3.

1
Mahbub M & Chauhan N. 2022. Pb2342: A Review Of Bone Marrow Biopsies
Performed At A London Teaching Hospital: Do Bone Marrows Aid Diagnosis
And At What Cost?. National Center for Biotechnology Information.
6(Suppl ): 2211-2212. 10.1097/01.HS9.0000852192.69260.a2

Staphylococcus adalah bakteri yang paling sering menghasilkan pus.


Bakteri ini dapat tumbuh pada media agar darah dan membentuk koloni
berwarna opak atau krem dengan diameter 1-2 mm. Staphylococcus dapat
dibagi menjadi dua yaitu Staphylococcus yang menghasilkan koagulase dan
yang tidak menghasilkan koagulase. Staphylococcus yang menghasilkan
koagulase meliputi Staphylococcus aureus, sedangkan yang tidak
menghasilkan koagulase meliputi Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus saprophyticus (CDC, 2019).

Gambar 1. Pertumbuhan Staphylococcus aureus pada media agar darah


setelah inkubasi aerob selama 24 jam pada suhu 37°C (CDC, 2019)

Staphylococcus aureus merupakan bakteri kokus gram positif yang


merupakan bagian dari flora normal pada hidung, kulit dan saluran cerna.
Bakteri ini tidak motil, tidak berspora, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.

2
Bakteri ini akan membentuk gerombolan tak teratur yang mirip seperti
anggur. Spesies ini dapat menimbulkan berbagai kelainan seperti impetigo,
bisul, abses dan lain-lain. Salah satu ciri khas dari Staphylococcus aureus
yang dapat membedakannya dengan spesies Staphylococcus lainnya adalah
kemampuannya dalam memproduksi koagulase (CDC, 2019).

Gambar 2. Gambaran Staphylococcus aures pada pewarnaan gram menggunakan


pembesaran 1000x (CDC, 2019)

B. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus


Staphylococcus aures dapat mengalami mutasi menjadi bakteri yang
berbahaya yaitu Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Munculnya MRSA disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak
rasional sehingga menyebabkan resistensi berbagai kelompok antibiotik.
MRSA tidak hanya resisten terhadap methicillin, namun juga resisten
terhadap semua golongan β-laktam termasuk sefalosporin (CDC, 2019).
MRSA terdiri dari 3 jenis, yaitu HA-MRSA (Health Care associated MRSA),
CA-MRSA (Community associated MRSA dan LA-MRSA ( livestock
associated MRSA) (Garoy, 2019; Pristianingrum, 2021; Samanta,2020;
Siddiqui, 2022).

3
C. Epidemiologi
MRSA ditemukan pertama kali pada tahun 1961 di US, dan semakin
tahun terus mengalami peningkatan. Insidensi infeksi MRSA di US berkisar
7%-60%, sedangkan infeksi oleh MRSA di Asia ± 70%. Hal ini disebabkan
rendahnya pengawasan penggunaan antibiotik terutama di negara
berkembang (Suyasa, 2020; Siddiqui, 2022).
Faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi MRSA antara lain,
rawat inap yang terlalu lama, perawata intensif care, tindakan invasif, infeksi
HIV/imunosupresan lainnya, luka terbuka, hemodialisis, malperfusi perifer,
akses vena seentral atau pemakaian kateter urin jangka panjang. Pasien rawat
inap dengan usia lebih dari 65 tahun memiliki faktor risiko terkena MRSA
lebih tinggi dibandingkan usia dibawahnya. Insidensi infeksi MRSA yang
tinggi juga ditemukan pada tenaga kesehatan yang berkontak langsung
dengan pasien terinfeksi (Siddiqui, 2022).

D. Karakteristik dan Virulensi MRSA


CA-MRSA secara genetik berbeda dari HA-MRSA. CA-MRSA
memiliki jenis SCCmec yang kecil, dan banyak menghasilkan Panton-
Valentine leukocidin dan sitotoksin (Algammal, 2020).

Media Agar Karakteristik koloni


Nutrient agar Bulat, halus, konvek, tepinya
berkilau
Blood agar Hemolitik
Mannitol salt agar Koloni dikelilingi oleh zona
kekuningan.
Lipovitellin salt mannitol agar Koloni bewarna opak diatas dasar
yang bewarna kuning
Vogel Johnson agar Hitam, conkek dan berkilau
dikelilingi oleh zona kekuningan
Baird Parker agar Hitan, berkilau, konvek dengan tepi
outih dikelilingi zona yang jernih

4
Pottasium thiocynate-actidione Koloni bewarna kuning keemasan
sodium azide egg yolk pyruvate
agar (KRANEP)
Oxacillin resistant screening agar MRSA menghasilkan koloni
base (ORSAB) bewarna biru yang intens
CHROM agar MRSA menghasilkan koloni
bewarna merah mawar-mauve
MRSA ID Koloni bewarna kehijauan
Tabel 1 Karakteristik koloni Staphyolcoccus aureus berdasarkan media agar

Faktor yang mempengaruhi virulensi MRSA antara lain

1. Kapsul polisakarida
Merupakan polimer polisakarida yang mengelilingi sel MRSA
yang dapat meningkatkan virulensi dengan cara merusak komplemen dan
osonisasi yang dimediasi oleh antibody dan menghambat fagositosis.
(Algammal, 2020)
2. Protein pada permukaan bakteri
a. Staphylococcus protein A merupakan struktur dinding sel yang
menemperl pada IgG di sirkulasi darah, protein ini mencegah
opsonisasi sistem komplemen dan melindungi bakteri proses
fagositosis. (Algammal, 2020)
b. Faktor pembekuan (Cclumping Factors (Clf))
Fibrinogen merupakan komponen penting dari protein matriks
ekstraselular dalam tubuh, dimulai dari penggumpalan molekul
faktor yang ada di permukaan sel MRSA. terdapat 2 protein berbeda
yaitu Clf A dipermukaan sel yang dapat dijumpai di semua fase
pertumbuhan, serta Clf B yang ditemukan pada fase pertumbuhan
eksponensial awal. (Algammal, 2020)
3. Toksin ekstraseluler
a. Staphylococcal Hemolysin

5
Toksin yang di ekspresikan antara lain alfa, beta, gamma dan
delta. Toksin alfa merupakan yang paling sering di produksi dari
semua strain MRSA dan dianggap sebagai faktor virulensi yang
utama. (Algammal, 2020)

b. Enterotoksin staphylococcus
Merupakan eksotoksin pirogenik dengan tipe A,B,C,D dan E
yang juga termasuk virulensi utama. Enterotoksin ini bertindak
sebagai superantigen (Sags) yang merangsang ekspresi IL-4 dan IL-
10 melalui aktivasi sel TH2. (Algammal, 2020)
c. Panton Valentine Leukocidin (PVL)
Merupakan eksotoksin yang kuat yang aktivasinya dimediasi
oleh 2 oatogen tipe F dan S. PVL dapat menghancurkan membran
plasma sel polimorfonuklear (PMN), selain itu, PVL juga
merangsang pelepasan metabolit oksigen dari sel PMN, pelepasan
IL-8, produksi lisozim, dan pelepasan histamine dari sel basophil.
(Algammal, 2020)
d. Toksin toksik syok syndrome
Merupakan salah satu superantigen (Sags) yang paling kuat.
Toksin ini mengaktifkan TNF alfa, IL-1, dan IL-2. Toksik syok
syndrome merupakan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Sering menyerang pada wanita terutama saat masa
menstruasi sekitar hari ker 2 dan ke 3, selama periode ini bakteri
tumbuh baik dalam vagina dan menghasilkan toksin. (Algammal,
2020)
e. Toksin eksfoliatif staphylococcuss
Merupakan salah satu toksin yang terdapat dalam infeksi
Staphylococcal scalded skin syndrome (S4) terutama pada neonatus
dan bayi. Pada dewasa yang mengalami immunodefisiensi atau
disfungsi ginjal juga dapat terkena. Toksin yang dihasilkan

6
menghancurkan protein desmoglein-1 sehingga menyebabkan
lepasnya lapisan epidermis. (Algammal, 2020)
4. Enzim ekstraselular
a. Staphylococcal coagulase
Enzim ini dapat menyebabkan koagulasi dikarenakan pelepasan
enzim koagulase (Coa) yang dikode secara kromosom , sampai saat
ini terdapat 12 isoform koagulase yang dikenali. Selain itu enzim ini
memiliki domain D1D2 yang mana spesifik untuk berikatan dengan
protrombin(Algammal, 2020).
b. Staphylokinase
Merupakan enzim yang merangsang plasminogen untuk melisiskan
bekuan fibrin. Enzim ini dilepaskan oleh strain lisogenik
MRSA(Algammal, 2020).
c. Staphylococcal nuclease
Terdapat 2 jenis yaitu endo dan ekso nuclease yang dapat
menghancurkan DNA dan RNA(Algammal, 2020).
d. Staphylococcal protease
Terdapat 3 jenis yaitu protease 1-serin, 2-metalloprotease dan
protease 3 –sistein. Memiliki fungsi untuk menghindari pertahanan
inang dan pneyebaran bakteri (Algammal, 2020).
e. Staphylococcal hyaluronase
Asam hyaluronat merupakan penyusun utama matriks ekstraselular
yang berperan dalam integritas sel dan jaringan serta regulasi imun.
Staphylococcal hyaluronase berperan dalam pemecahan asam
hyaluronat menjadi disakarida sehingga menganggu fungsi utama
asam hyaluronat (Algammal, 2020).

7
D. Patofisiologi
Penyebab resistensi MRSA secara umum disebabkan pemberian antibiotik
yang tidak rasional. Evolusi yang cepat dari genetik/ kompleks klonal dan
subtype bakteri menyebabkan resistensi terhadap antibiotik linezolid
(oxazolidindion), yang mana merupakan antibiotik terbaru dalam 20 tahun
terakhir sehingga memperparah krisis kesehatan masyarakat. Terjadinya
resistensi pada antibiotik golongan methicilin disebabkan adanya akuisisi gen
mecA yang mana dapat menghasilkan transpeptidase PB2a yang dapat
menurunkan afinitas organisme untuk berikatan dengan antibiotic golongan
betalaktam. Gen mecA merupakan bagian dari elemen genetik seluler yang
disebut “staphylococcal casstte chromosome (SCC) mec”.
Terdapat tujuh tipe SCC mec (I-VII). Selain itu terjadinya resistensi
terhadap antibiotik golongan penicillin disebabkan karena S.aureus
menghasilkan enzim β-lactamase dan sintesis PBP2a. Ketika β-lactam
berikatan dengan PBP2a akan menyebabkan penurunan sintesis peptidoglikan
(Siddiqui, 2022).

Gambar 3. Patogenesis MRSA (Nordmann et al.,2012)

Perubahan yang terjadi pada MRSA berupa sintesis PBP2a dan enzim
betalaktamase disebabkan oleh pengaruh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang berperan dalam pembentukan PBP2a adalah adanya
substrat yang sesuai untuk pembentukannya. Substrat yang mendukung
terbentuknay PBP2a adalah rantai glikan dengan panjang tertentu, stem
peptide untuk membentuk konfigurasi peptida yang normal, dan
membutuhkan pentaglycine cross-bridge untuk membuatnya intak. Terdapat

8
pula faktor internal yang berperan untuk menurunkan resisten meticillin yaitu
fosfomycin, β-chloro-D-alanine, dan D-cycloserine.

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi resistensi methicilin antara lain


konsentrasi gram, pH, komposisi media, osmolaritas, dan suhu. Beberapa dari
pengaruh eksternal ini diteliti lebih lanjut pada laboratorium klinis untuk
meningkatkan deteksi strain yang menunjukkan resistensi methicilin
heterogen. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa isolat tumbuh
pada konsentrasi NaCl yang tinggi (2%) dan pada suhu yang lebih rendah
(30-35°C). Namun, mengapa konsentrasi NaCl dan suhu memiliki pengaruh
belum diketahui.

MRSA memiliki beberapa faktor virulensi yang menyebabkan infeksinya


sulit untuk disembuhkan. Faktor virulensi yang pertama berupa pembentukan
kapsul polisakarida yang melingkupi dinding MRSA yang selanjutkan akan
menginhibisi komplemen dan fagositosis. Selain itu, MRSA memiliki protein
yang terdapat pada dinding selnya yaitu staphylococcal protein A yang dapat
mencgah opsonisasi dari komplemen dan melindung MRSA dari proses
fagositosis. MRSA juga memiliki clumping factors pada dinding selnya yaitu
CIfA dan CIf B (Algammal, 2020). MRSA juga menghasilkan toksin
ekstraseluler. Toksin ekstraseluler tersebut yang pertama berupa
staphylokokal hemolisin. MRSA menghasilkan toksin alfa, beta, gamma, dan
delta dalam berbagai level. Toksin alfa merupakan toksin yang paling
patogenik yang dapat menyebabkan nekrosis pada tubuh yang terkena infeksi.
Toksin ekstraseluler selanjutnya adalah stapilokokus enterotoksin tipe
A,B,C,D, dan E. Enterotoksin tersebut dapat menghambat aktivasi sel TH2
sehingga dapat menurunkan bersihan patogen. Toksin ekstraseluler lain
berupa toxic shock syndrome toxin dan staphylococcal exfoliative toxins
(Algammal, 2020).

Selain menghasilkan toksin ekstraseluler, MRSA juga menghasilkan enzim


ekstraseluler. Enzim ekstraseluler yang dihasilkan berupa staphylococcal
coagulase, stapilokinase, staphylococcal nucleases, protease, dan

9
hialuronidase. Enzim koagulase yang dihasilkan oleh MRSA mampu
menyebabkan koagulase dari plasma manusia. Stapilokinase yang dihasilkan
MRSA akan menstimulasi plasminogen untuk melisiskan jendalan fibrin
0dengan bakterinya (Algammal, 2020).

Gambar 4. Perjalanan Munculnya MRSA(Kumar et al.,2020)

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien yang terinfeksi MRSA secara
umum adalah pasien tersebut tidak berespon pada sebagian besar antibiotik
(b-lactams). Infeksi yang sering muncul akibat MRSA adalah infeksi luka
operasi, bakteremia primer ataupun sekunder, abses intrabdominal atau
pelvis, osteomielitis, infeksi sendi prostetik, dan pneumonia nosokomial.

MRSA dapat menyebabkan infeksi pada berbagai organ, paling sering


dijumpai pada infeksi kulit dan subkutan, osteomyelitis, meningitis,
pneumonia, abses paru, dan empyema. Endocarditis yang disebabkan oleh
MRSA berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas jika
dibandingkan dengan infeksi oleh organisme lain dan berhubungan dengan
penyalahgunaan obat injeksi intravena (Siddiqui, 2022).

Pada infeksi MRSA di kulit dapat menembus lapisan dermis baik lapisan
atas maupun bawah. Infeksi MRSA di kulit menimbulkan tanda klinis seperti
bula dan tidak terdapat gejala sistemik. Pada infeski MRSA di tulang dan
sendi dapat menyebabkan terjadinya artritis septik dan osteomielitis.

10
F. Penegakan Diagnosis

Sampel yang dapat digunakan untuk pemeriksaan antara lain darah,


sputum, urin atau kikisan/cairan luka yang diambil dan diperiksa dalam
kurunwaktu <3 jam. Jika saat dilakukan pewarnaan gram diperoleh gambaran
bakteri gram positif dan berbentuk kokus bergerombol maka dicurigai
S.aureus. Kultur sputum tidak spesifik dan kurang sensitif untuk diagnosis
pneumonia oleh mikroorganisme MRSA, namun aspirasi cairan
bronkoalveolar atau trakhea pada pasien yang di intubasi dapat diperiksa jenis
mikroorganisme penyebab HAP atau VAP (Hassoun, 2017; Siddiqui, 2022).

11
BAB II

PEMERIKSAAN MRSA

A. Pemeriksaan MRSA dari sampel pus


1. Langkah kerja pemeriksaan mrsa dari sampel pus
Pus diambil dari pasien yang mengalami luka infeksi dengan cara di
swab menggunakan swab setril, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
yang berisi media Amies.
2. Isolasi dan identifikasi mikroorganisme dari sampel pus
Sampel pus diinokulasikan pada media Nutrient Agar dan diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37℃. Diambil 1-2 koloni terpisah yang tumbuh
pada media Nutrient Agar dan diinokulasikan pada media differential,
seperti MacConkey Agar, Eosin Methylen Blue Agar, Blood Agar Plate,
Manitol Salt Agar, media Uji Biokimia Reaksi, dan uji-uji pendukung,
seperti uji katalase dan koagulase (Hassoun, 2017).
3. Identifikasi S.aureus menggunakan pengecatan gram, uji katalase dan uji
koagulase
Pengecatan gram dilakukan dengan menggoreskan bakteri yang telah
diisolasi pada gelas objek. Kemudian gelas objek dikeringkan dan
dilewarkan pada panas api untuk memfiksasi. Kemudian dilakukan
pengecatan dengan kristal violet selama 60 detik kemudian dibilas.
Selanjutnya digenangi dengan lugol iodine selama 30 detik kemudian
dibilas. Selanjutnya dibilas menggunakan aceton lalu dibilas. Terkahir
digenangi dengan karbol fusin selama 30 detik dan kemudian dibilas lalu
dikeringkan. Pada pemeriksaan pewarnaan gram ditemukan karakteristik
bakteri bewarna ungu, berbentuk bulat, dan bergerombol menyerupai
anggur serta memiliki sifat gram positif (Hassoun, 2017).
Tes Katalase dilakukan dengan cara mengambil sejumlah biakan
bakteri kemudian dimaksukkan ke dalam tabung bersih yang mengandung
hidrogen peroksida 3%. Ketika terdapat produksi gelembung gas
menunjukkan hasil positif (Hassoun, 2017).

12
Tes koagulase digunakan untuk mengidentifikasi S.aureus yang mana
menghasilkan enzim koagulase. Uji koagulase dapat dilakukan dengan
metode uji slide. Dengan cara meneteskan setetes aquadest atau NaCl
fisiologis steril diletakkan pada gelas objek, kemudia diambil satu usap
baiakn yang diuji dan disuspensikan. Kemudian diteteskan plasma
diletakkan di dekat suspensi biakan kemudian dicampun dan
digoyangkan. Reaksi posistif terjadi apabila dalam waktu 2-3 menit
terbentuk presipitat granular (Garoy et al., 2019).
4. Uji Biokimia
Karakteristik biokimiawi MRSA adalah dibuktikan dengan berbagai uji
biokimiawi. Pada MRSA akan dijumpai uji katalase positif, uji koagulase
positif, dan uji oksidase negatif. Selain itu, MRSA akan menghasilkan
urease, glukosa, laktosa, dan sukrosa. MRSA juga akan menghasilkan
enzim gelatinase, protease, hemolysin, dan lipase. Uji aktivitas protease
dapat dilakukan pada medium agar susu sedangkan uji produksi lipase
dapat dilakukan pada medium agar kuning telur. Pada uji aktivitas
hemolitik yang dilakukan pada agar darah didapatkan area yang jernih di
sekitar bakteri, menunjukkan bahwa MRSA merupakan jeni bakteri beta
hemotilik (Garoy et al., 2019)
5. Uji Sensitivitas Antibiotik dengan metode Kirby-Bauer
Mengambil bakteri yang telah diidentifikasi sebagai S.aureus
menggunakan kapas lidi steril dan dicampurkan dengan normal salin.
Kemudian suspensi bakteri disesuaikan dengan standar 0,5 McFarland.
Kemudian koloni S.aureus diinokulasi pada media agar Mueller-Hinton.
Kemudian diletakkan antibiotik disk imipenum dan tobramycin 10 μg
serta linezolid disk 30 μg selama 15 menit. Kemudian zona inhibisi
diukur menggunakan satuan milimeter. Ketika ukuran zona inhibisi
terhadap imipenum dan tobramycin <15 mm maka disebut resisten.
Sedangkan, ketika zona inhibisi berukuran >15 mm maka disebut dengan
sensitif (Tenorio, et.al. 2020).

13
Pada penggunaan agar muller hilton terdapat quality control berupa :
Positif kontrol Hasil yang diharapkan
Eschericia coli ATCC Pertumbuhan baik, koloni bewarna pucat
Pseudomonas aeruginosa Pertumbuhan baik, koloni kuning
Staphylococcus aureus Pertumbuhan baik, koloni bewarna krem
Negatif kontrol Tidak ada perubahan
Un-Inoculated medium

Tabel 1. Quality control pada Agar Muller Hilton (Tenorio, et.al. 2020)

Pemeriksaan MRSA dengan kultur ORSAB


ORSAB digunakan agar yang digunakan untuk isolasi, media pertumbuhan,
spesifik untuk microrganisme methicillin/oxacillin-resistant staphylococcus
aureus (MRSA,ORSA). Sehingga jika Staphylococcus aureus tidak mengalami
resisten, maka tidak dapat tumbuh dalam media tersebut, termasuk juga bakteri
lain tidak dapat tumbuh (Ramandianto, 2020)

Kandungan gr/L
Beef extract 2
Acid Hydrolysate of Casein 17.5
Tepung 1.5
Agar 17
Sodium Chloride 40
Oxacillin 0.006
Tabel 2. Komposisi Oxacillin Resistant Screening Agar Base (ORSAB) (Ramandianto,
2020)
Langkah kerja pemeriksaan kultur ORSAB adalah :
a. Ambil koloni S.aureus yang telah di isolate selama 18-24 jam dan letakan
dalam medium broth (seperti Trypticase soy broth) dan atur kekuran sesuai
dengan standar 0.5 McFarland
b. Ambil 10 μL dengan micropipette
c. Ambil sebagian suspensi dan swab di atas media dalam area 1 inci (2.54 cm)
d. Gabungkan Trypticase soy agar dengan 5% darah domba (TSAII) sebagai ko
ntrol
e. Inkubasi pada suhu ruangan 30-35 C selama 24 jam.

14
Hasil kultur ORSAB jika ditemukan koloni meskipun hanya 1 dan kecil, maka
dipastikan merupakan MRSA, karena agar ini hanya dapat ditumbuhi oleh
MRSA. koloni bewarna biru yang intens (Ramandianto,2020).

Gambar 5. Hasil kultur MRSA pada Media ORSAB (Ramandianto,2020)

15
BAB III

SIMPULAN

Staphylococcus aureus sebenarnya merupakan flora normal di kulit dan


membrane mukosa manusia, namun dapat brevolusi/bermutasi dan menimbulkan
penuakit yang mematikan. Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional terutama pada daerah
berkembang, hal ini menyebabkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas.
MRSA dapat menginfeksi berbagai organ tubuh, seperti infeksi kulit dan
subkutan, osteomyelitis, meningitis, pneumonia, abses paru, empyema dan
endocarditis. Terapi yang digunakkan harus sesuai hasil kultur untuk menentukan
jenis antibiotik yang sensitive. Vancomycin merupakan salah satu pilihan
antibiotik yang disarankan karean tingka resistensi yang rendah, namun jika
terdapat alergi atau hambatan lain maka dapat diberikan Daptomycin. Pencegahan
penularan infeksi MRSA dapat dilakukan dengan cara penerapan hand hygine dan
penggunaan bagi tenaga kesehatan, dan orang yang kontak langsung dengan
pasien. Pemeriksaan MRSA perlu memperhatikan praanalitik, analitik dan paska
analitik agar mendapatkan hasil yang akurat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Rifqi Aulia. Pewarnaan gram-prinsip dan prosedur pewarnaan.2020. https://www.


microbeholic.com/2020/08/pewarnaan-gram-prinsip-dan-prosedur-pewarnaan.html?
m=1 diakses pada 20 Januari 2023
Algammal, M Abdelazeem, et al. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA):
One Health Perspective Approach to the Bacterium Epidemiology, Virulence
Factors, Antibiotik-Resistance, and Zoonotic Impact. Infection and drug resistance
dove press.2020. Vol 13
Garoy, Eyob Yohanes., et.al. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA):
Prevalence and Antimicrobial Sensitivity Pattern among Patients—A Multicenter
Study in Asmara, Eritrea. Canadian Journal of Infectious disease and medical
microbiology. 2019.
Hassoun, Ali., Linden Perter K dan Bruce Friedman. Incidence, prevalence, and
management of MRSA bacteremia across patient populations—a review of recent
developments in MRSA management and treatment. BMC Journal. 2017. No.211
Kemalaputri, Dian Wahyu. Siti Nur Jannah., Anto Budiharjo. Deteksi MRSA (Methicillin
Resistant Staphylococcus aureus) pada pasien Rumah Sakit dengan metode MALD
I-TOF MS dan multiplex PCR. Jurnal Biologi Undip. 2017. Vol.6 No.4
Pristianingrum, Santy., et.al. Deteksi Metichilin resistance Staphylococcus aureus (MRS
A) pada perlatan medis yang digunakkan di ruang rawat inap RSUD NTB.Jurnal an
alis medika biosains. 2021. Vol 8 no 1
Ramandinianto, Sancaka Chasyer., et al. Profile of Multidrug Resistance (MDR) and
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) on Dairy Farms in East Java
Province, Indonesia.2020. Indian Journal of Forensic Medicine and Toxicology. Vol.
14. No 4
Samanta, Indranil & Samiran Bandyopadhay. Antimicrobal Resistance in Algicultur. Cha
pter 16 : Staphylococcus Sp. 2020. Page 195-215.
Siddiqui, Abdul H & Janak Koirala. 2022. Methicillin Resistant Staphylococcuis
Auereus. Update July, 2022.
Suyasa, ida bagus oka & Nyoman Mastra. Meditory Journal. 2020. Vol 8 No.1
Tenorio, et.al. 2020. Clinical and prognostic differences between methicillin-resistant and
methicillinsusceptible Staphylococcus aureus infective endocarditis. BMC Infectious
Disease. 2020. Vol 20 :!60

17

Anda mungkin juga menyukai