Anda di halaman 1dari 2

Renungan

PERLANSIA
GPI Papua Elim Kali Sukun

Tema : Menjadi Kaum Lanjut Usia yang Berpikir Positif


Pembacaan Alkitab : Filipi 4 : 8 - 9
8 Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil,
semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan
dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. 9 Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang
telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku,
lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu. (Flp. 4:8-9)

 Problem Kerapuhan Hidup di Usia Senja

Dikatakan lansia berarti sudah memasuki usia di atas 60 tahun mengalami perubahan
dalam segi fisik (pelemahan tubuh dan penyakit), ekonomi (kehilangan pendapatan), psikologi
(kesepian dan kematian pasangan), atau sosial budaya (bergantung pada orang lain). Itu bisa
menjadi masalah tersendiri. Tidak heran, sering dikatakan bahwa lansia adalah beban, baik bagi
keluarga maupun negara. Apakah Anda setuju? Tetapi kalau kita memperhatikan di masyarakat,
menjadi lansia sering disamakan seperti menjadi bayi lagi: apa-apa harus diladeni dan
perasaannya sensitif. Akibatnya, tidak saja dianggap menyusahkan keluarga dan orang-orang di
sekitar kita, tetapi juga pada diri lansia sendiri. Para lansia bisa kehilangan sukacita, merasa
hampa, terasing dan tidak dihargai. Menurut laporan WHO, Badan Kesehatan Dunia, sekitar
20% kaum lansia (berusia 60 tahun ke atas), menderita penyakit mental dan syaraf. Itu berarti, 1
dari 5 orang.

Sebenarnya, apa sih yang menyebabkan para lansia bisa kehilangan sukacita, sensitif,
kehilangan semangat hidup? Beberapa bulan lalu saya membeli buku Filosofi Teras. Menurut
filsafat Yunani yang dibahas dalam buku ini, sebenarnya emosi negatif seseorang itu bukan
ditentukan oleh apa yang terjadi di sekitarnya, tetapi ditentukan oleh pikiran. Keadaan negatif,
tetapi kalau kita tidak memaknainya secara negatif, maka tidak akan berarti apa-apa. Misalnya,
sama-sama di-PHK, satunya tidak semangat hidup lagi, satunya malah menjadi pengusaha sukses
dengan modal uang pesangon (banyak, bukan, cerita semacam ini?). Emosi kita baru terganggu
ketika ada keadaan buruk di sekitar kita, lalu kita memaknainya secara negatif juga. Tetapi kalau
dalam keadaan buruk kita masih bisa berpikir sisi positifnya, maka emosi kita tidak akan
terganggu.

 Dalam batas tertentu, ini sesuai dengan apa yang firman Tuhan katakan. Dalam Mrk. 7:20-
23 Tuhan Yesus berkata: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya,
sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian,
pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat,
kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan
orang.” Hati (Yun. kardia) berarti pusat kehidupan batiniah, meliputi: pikiran, perasaan dan
kemauan. Jadi kalau dalam pikiran kita terbentuk hal yang buruk, maka yang keluar dari diri kita
pun akan buruk. Kita akan menyusahkan orang lain.

Dunia Mengajak untuk Berpikir Positif

Kalau begitu, untuk menjaga kebahagiaan hidup kita, maka pertama-tama kita harus
menjaga pikiran kita. Saya pun mendapati bahwa hampir semua ahli sepakat bahwa berpikir
positif adalah kunci untuk hidup bahagia. Maka dari itu, banyak pemahaman populer dan buku-
buku yang laris tentang berpikir positif. Pokoknya, kalau Anda percaya sesuatu, maka itu akan
terwujud. Sampai-sampai, ajaran ini masuk juga ke dalam gereja.

Bahayanya apa? Ajaran-ajaran seperti ini berpusat pada diri sendiri. Padahal kita tahu bahwa diri
kita ini sebenarnya banyak kelemahan dan dosa. Sementara itu, tantangan di luar semakin berat.
Apalagi, kalau kita sudah melewati masa kejayaan. Ibaratnya, bergantung pada ranting pohon
yang lapuk. Bagaimana mungkin dapat bertahan?
Berpikir Positif Secara Alkitab

Sementara itu, Paulus mengajarkan bahwa kita harus memikirkan hal-hal yang benar,
mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, kebajikan, dan patut dipuji. Apa maksudnya? Bukannya
sama saja dengan apa yang diajarkan orang-orang itu? Di dunia ini memang banyak hal yang
kelihatannya mulia. Hal-hal yang tampaknya membuat manusia bahagia. Tetapi, maksud Paulus
di sini justru jangan berpikir pada apa yang mulia menurut dunia. Paulus mengajar kita bukan
untuk menyamai apa yang orang-orang dunia bisa lakukan, tetapi justru melakukan hal yang
lebih baik lagi. Apakah itu?

Dalam ayat ke-9, Paulus mengajak para pembaca untuk memikirkan dan melakukan apa
yang dia ajarkan dalam surat ini, yaitu: Ajaran dan teladan Kristus. Jika itu yang kita pikirkan
dan lakukan, maka yakinlah, damai sejahtera Allah akan kita terima. Damai sejahtera yang
sifatnya permanen. Damai sejahtera yang tidak bergantung pada keadaan. Walaupun kita
mengalami masalah dalam segi fisik, ekonomi, psikologi, atau sosial budaya, tetapi kalau damai
sejahtera ada dalam diri kita, maka pikiran kita akan tetap dijaga Tuhan. Di luar, kita akan terus
memancarkan berkat tersebut.

Mengapa Berpikir Positif Secara Alkitab Berhasil

Mengapa harus mengarah pada Kristus? Dia adalah puncak penyataan Allah
sendiri. Yoh. 1:18: “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal
Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Benar, mulia, adil, suci,
manis, sedap didengar, kebajikan, dan patut dipuji, itu semua hanya ada dalam diri Allah, yang
kita kenal di dalam kehidupan Kristus. Dunia boleh mengajarkan kasih, tetapi siapa yang bisa
melebihi kasih Kristus, yang meninggalkan kemuliaan di surga untuk melayani orang-orang yang
memusuhi-Nya. Dunia boleh menjanjikan jaminan hari tua, tetapi kalau kita merenungkan apa
yang Kristus janjikan kepada para pengikut-Nya, mana yang lebih menguatkan kita?

Menjaga Makanan bagi Pikiran Kita

Makanya, kalau selama ini kita sudah menjaga makanan jasmani supaya tidak kolesterol,
asam urat, diabetes, harus ditambah lagi menjaga makanan pikiran. Perhatikan bagaimana kita
menghabiskan waktu: untuk hal-hal yang membantu memusatkan pikiran kita pada Kritus, atau
malah menambah beban? Kadang kita sudah membatasi pola makan dan menjaga pola hidup kita
seperti berolahraga. Kita juga bisa membuka rumah untuk kelompok kecil, menyetel lagu-lagu
rohani di mobil, setia berdoa dan beribadah. Kemudian, supaya tidak pikun, cobalah mengingat
nama anak cucu dan mendoakannya tiap pagi. Itulah contoh menjaga makanan bagi pikiran kita.

Hasil dari Berpikir Positif

Kalau terus diisi firman Tuhan, nantinya keadaan apapun di sekitar kita, kita akan mampu
memaknainya sesuai dengan apa yang Tuhan mau. Memang ada perubahan secara fisik ketika
seseorang menjadi tua. Tetapi itu jangan dijadikan alasan, “Wajar, orang tua sering marah-
marah.” Ingat, dalam menghadapi masalah-masalah di usia lanjut, kita tidak berjuang sendirian.
Kita memiliki Roh Kudus. Ketika itu, Paulus sedang berada dalam penjara. Tetapi atas tuntunan
Roh Kudus, dia justru menulis surat Filipi, yang karena isinya penuh nuansa sukacita maka
sering disebut sebagai The Epistle of Joy, Surat Sukacita. Datangnya dari mana? Dari Allah,
sumber damai sejahtera.

Penutup

Billy Graham, seorang penginjil yang terkenal, terus semangat melayani hingga akhir usianya
yang mendekati 100 tahun. Hidup dan pemikirannya dipenuhi dengan firman Tuhan. Banyak
orang bilang, usia hanyalah angka, itu benar. Oliver W. Holmes, seorang dokter dari Amerika
abad ke-19, mengatakan: “Merasa BARU 70 TAHUN jauh lebih menyenangkan dan
berpengharapan dibanding merasa SUDAH 40 TAHUN,” Kalau ditanya, usia berapa? Jangan
malu-malu. Jawab dengan tegas, “Baru 70 tahun!”. Itu menunjukkan pikiran positif karena kita
memiliki Kristus di dalam hati.

Kiranya firman Tuhan dapat memotivasi kita dalam menjalani hari-hari hidup di masa tua. Tuhan
Yesus memberkati. Amin.

Anda mungkin juga menyukai