Anda di halaman 1dari 9

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Nama : Aisyah Safitri Hari/Tanggal : Rabu, 10 Mei 2023


NIM : 1211030017 Jenis Tugas : Review Buku
Sem/Kelas : 4/A Mata Kuliah : Semantik Al-Qur’an
Jurusan : Ilmu Al-Qur'an dan Dosen Pengampu : Irma Ruyani, M.Ag. Ph.D
Tafsir

BAB II

SEJARAH ISTILAH-ISTILAH KUNCI AL-QUR’AN

I. Sinkronik dan Diakronik

"kosakata' dapa dilihat dari dua sudut pendirian metodologis yang pada dasarnya
sangat berbeda. Menurut ilmu linguistik modern kedua sudut pandang ini ma- sing-
masing disebut 'diakronik' dan 'sinkronik'. Diakronik, menurut pe ngertian etimologi
adalah pandangan terhadap bahasa, yang pada prin- sipnya menitik beratkan pada
unsur waktu. Dengan demikian, secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata
yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri
yang khas. Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti tumbuh dalam pe-
ngertian berhenti penggunaannya oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu (As),
sedangkan kata-kata lainnya dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama (Bs),
sekali lagi kata-kata baru dapat melakukan debutnya di gelanggang pada titik waktu
tertentu dan memulai seja- rahnya pada periode itu (Cs).

Bila kita memotong secara horizontal arus sejarah pada suatu periode tertentu, maka
akan diperoleh sebuah lintas- bagian cross-section, yang dapat digambarkan sebagai
permu kaan datar yang dibentuk oleh sejumlah kata yang telah mam- pu bertahan hidup
sampai ke ti- tik waktu tertentu. Pada kaan ini, sebagaimana yang kita permu lihat, As,
Bs, dan Cs, semuanya muncul bersama-sama, terlepas dari apakah di belakang kata-ka-
ta itu terdapat sejarah yang pan- jang atau tidak (A dan B) atau sejarah yang pendek (A
dan B), atau bahkan tidak ada sama sekali (C), sedangkan kata-kata yang tidak
digunakan lagi sampai titik ini (Ds) pada dasarnya tidak ikut serta dalam membentuk
permukaan tersebut, terlepas dari apakah kata- kata tersebut baru saja mati (D¹) atau
sudah lama (D2). Permukaan seperti itu sesungguhnya merupakan apa yang kita
maksudkan pada halaman-halaman yang lalu sebagai 'kosakata', yakni suatu sistem
kata dan konsep yang diorganisasikan. Karena, pada permukaan seperti itulah dan
hanya pada permukaan itu sajalah, kata-kata tersebut muncul di hadapan kita dalam
bentuk jaringan konsep yang rumit. Sehingga sudut pandang yang melintasi garis-garis
historis kata-kata tersebut memung- kinkan kita dengan cara tersebut untuk
memperoleh suatu sistem kata yang statis, yang kita sebut 'sinkronik".

Semantik historis bukanlah pelacakan sejarah terhadap kata-kata individual belaka


untuk melihat bagaimana kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalanan
sejarah. Cara pendekatan seperti itu merupakan ciri pendekatan abad ke-19. Semantik
historis yang sesungguhnya, sebagaimana yang kita pahami pada saat ini, hanya
dimulai bila kita melakukan pengkajian terhadap sejarah kata-kata ber- dasarkan
seluruh sistem statis, dengan kata lain, bila kita memban- dingkan dua 'permukaan' atau
lebih dari satu bahasa yang sama, kata- kanlah bahasa Arab, maka akan memunculkan
tahap-tahap sejarah yang berbeda, yang satu sama lain dipisahkan oleh interval waktu.

Yang ditimbulkan oleh semantik historis berkenaan dengan perubahan yang terjadi
pada beberapa kunci dalam Al Qur’an karena tiga Alasan: Pertama pada umumnya yang
terhadap persoalan terhadap berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda atau lebih,
namun sangat berkaitan erat. Dan biasanya berakhir dengan pandangan yang lebih
dalam.

Yang kedua, dengan mengikuti perkembangan Semantik beberapa istilah kunci dalam Al
-Qur’an melalui Sistem non Al-Qur’an yang muncul karena perkembangan zaman, maka
dapat melihat keistimewaan makna kata-kata dalam Al-Qur’an dengan sudut pandang
yang baru. Dan yang terakhir. Telaah yang cermat terhadap persoalan kemungkinan
semantik Historis, sebaliknya memperjelas keuntungan dan keterbatasan metode dan
Prinsip sehingga memungkinkan untuk menggabungkan kedua sistematika tsb

Sekarang untuk menuju ke tengah-tengah medias res ‘kosakata’ dapat di lihat dari dua
sudut pendirian metodelogis yang dasarnya sangat berbeda. Diakronik menurut
pengertian etimologi adalah pandangan terhadap bahasa, yang pada prinsipnya menitik
beratkan pada unsur waktu secara diakronik menurut pengertian etimologi adalah
pandangan terhadap bahasa yang pada prinsipnya menitik beratkan pada unsur waktu
secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh
dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas.

Sebaiknya perlu kita perhatikan bahwa kosakata dalam pengertian khusus ini, yakni
permukaan kata yang statis, sesungguhnya merupakan sesuatu yang artifisial. Lintas-
bagian yang dihasilkan memberikan kesan kepada kita sebagai sesuatu yang statis,
namun sebenarnya hanya tampaknya seperti itu. Secara mikroskopik, permukaan
tersebut menggelegakkan kehidupan dan gerakan.

Unsur-unsur lama terlepas, unsur -unsur baru muncul;

 Beberapa pendatang baru menemukan tempatnya yang baik dalam sistem


tersebut, tetapi beberapa di antaranya segera menghilang untuk digantikan oleh
unsur-unsur lainnya.

 Seluruh kosakata mengubah aspek-aspeknya bahkan dalam tenggang waktu


yang sangat singkat. Sehingga bila bahasa berada dalam tahap transisi dalam
transformasi seperti itu, maka teramat sulit untuk memperoleh permukaan yang
relatif stabil dan statis

Interval tersebut dapat panjang atau pendek tergantung pada tujuan analisis kita.
Misalnya, bahkan bahasa Al-Qur’an itu sendiri dapat dianggap sebagai proses historis
yang berlangsung selama lebih dari duapuluh tahun dengan dua periode yang khas,
periode Mekah dan Madinah. Dalam kasus tersebut, sudah pada tempatnya bila kita
membuat dua potongan horizontal yang melintasi perkembangan sejarah bahasa
tersebut pada titik-titik yang penting, kemudian membandingkan dua crosssection
antara yang satu dengan yang lain, bila tujuan kita melakukan studi semantik terhadap
perkembangan pemikiran Islam di dalam batas-batas Al-Qur’an.

Secara linguistik, kosakata Al-Qur’an merupakan campuran dari tiga sistem yang
berbeda tersebut. Namun, ini tidak berarti kata-kata yang diambil dari tiga sumber yang
berbeda itu ada di dalam Al-Qur’an sebagai unsur-unsur heterogen yang saling
berdampingan. Contoh, sekali lagi kata yang paling penting. Yakni Allah. Nama Allah,
sebagaimana sudah kita lihat dan akan kita lihat lebih mendetail lagi nanti, bukannya
tidak dikenal pada masa Arab pra-Islam; kata tersebut dikenal secara luas tidak saja di
dalam batas- batas lingkungan Yahudi-Kristen yang monoteistik, tapi juga dikenal luas
di kalangan orang-orang nomaden murni. Kata Allah, di dalam Al-Qur’an memperoleh
makna relasional yang sangat khas karena posisinya dalam keseluruhan yang
teroterorganis

Di dalam sistem Al-Qur’an juga ada konsep alihah. Kita jangan sampai dibingungkan
oleh aturan ontologis dari hal-hal yang berkaitan dengan semantik. Sebaliknya ada
konsep «tuhan-tuhan» dan «berhala- berhala» dalam sistem Al-Qur’an.

Contoh lagi, kata taqwa yang akan kita analisis secara rinci dalam konteks yang akan
datang. Sebagaimana kita ketahui, di dalam Al-Qur’an kata tersebut merupakan kata
yang sangat penting sebagai salah satu istilah kunci Al-Qur’an yang paling khas, salah
satu landasan di mana seluruh bangunan kesalehan dalam Al-Qur’an berpijak.

Kata yang dimaksudkan tersebut adalah kata karim: Kata ini merupakan istilah kunci
yang sangat penting di masa jahiliyyah, yang berarti kemuliaan karena garis keturunan,
yakni seseorang yang mulia semenjak lahir, yang berasal dari nenek moyang yang
termasyhur karena silsilahnya yang tak bercela.

«Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah adalah
orang yang memiliki sifat paling taqwa».
Di masa pra-Islam, tak seorang pun pernah membayangkan kombinasi seperti itu.
Karena tak seorang pun pada masa Arab kuno, yang pernah berpikir untuk memberikan
sebuah definisi formal terhadap karam «kemuliaan» dipandang dari segi taqwa «takut
kepada Tuhan».

II. Sistem Al-Qur’an dan Sistem Pasca Al-Qur’an

Islam menghasilkan berbagai sistem pemikiran, seperti teologi, hukum, teori politik,
filsafat tasawuf, pada periode pasca Al-Qur'an. Kosakata bahasa Arab pada masa Islam
klasik berhubungan dengan Al-Qur'an dan memiliki ketergantungan dalam sistem pasca
Al-Qur'an. Al-Qur'an sangat berpengaruh pada setiap sistem, baik langsung maupun
tidak langsung. Namun, tidak perlu memikirkan struktur semantik sistem pasca Al-
Qur'an secara detail, karena masing-masing memiliki perlakuan yang berbeda.

Teologi (kalam) adalah sistem konseptual yang setia pada kosakata Al-Qur'an.
Pemikiran teologis berkembang di kalangan umat Islam karena kondisi sejarah yang
berubah dan bukan hanya karena pengaruh Yunani. Teologi Islam mengambil materinya
dari Al-Qur'an. Kosakata teologis adalah pengembangan dari kosakata Al-Qur'an, tetapi
juga memiliki sistem konseptualnya sendiri. Perbedaan antara keduanya terletak pada
relasional istilah kunci.

Kata Allah digunakan untuk merubah konsep jika keluar dari Al-Qur'an dan tetap menjadi
fokus sentral dalam teologi. Semua kunci masih berada di bawah konsep tertinggi
tanpa perbedaan, sehingga tak ada perubahan. Di sini terjadi transformasi struktur
konsep Alláh ditransformasikan dalam sistem baru dengan hubungan langsung pada
Sembilan Puluh Sembilan Nama yang Paling Indah. Nama 'sembilan puluh sembilan'
sering muncul di Al-Qur'an, yang isinya penuh dengan kata-kata dan frasa yang
menggambarkan sifat Allah yang wahid, ghafur, rahim, dan sebagainya. Teks tersebut
dapat dipersingkat menjadi: deskripsi sederhana dalam Al Qur'an seperti 'Dia berbicara',
'Dia mencipta', dll harus diartikan secara asli tanpa direkayasa.

Dalam teologi, prinsip pemahaman sederhana tidak dipertahankan, karena konsep


Tuhan diartikan dengan istilah 'esensi' (dzat) dan 'atribut' (sifat) oleh para teolog yang
terpengaruh pemahaman Yunani mengenai “esensi” dan “atribut”. Al-Qur'an tidak
membicarakan sifat Allah seperti teologi “firman” (kalam) yang dianggap penting. Hal
ini merupakan konsep yang berbeda dengan Al-Qur'an dan tidak ada petunjuk bagi
interpretasi semacam itu.

Para sufi menggunakan kata-kata Al-Qur'an sebagai istilah kunci mereka, namun
penggunaannya lebih bebas dibanding teolog. Mereka mengartikan Kata-kata Al-Qur'an
secara simbolik, terlepas dari konteks aktualnya. Makna simbolik dalam kata-kata bisa
berubah dan berbeda dari arti kata yang sama digunakan oleh para teolog. Allah hanya
bisa menjadi objek ilm dalam semua sistem non-mistik dan dalam Al-Qur'an. Tuhan
hanya sebagai objek tidak langsung, manusia tidak diperkenankan mendekatinya terlalu
dekat. Kita tak bisa melihat Tuhan tanpa hijab, keakraban langsung tak terjadi. Tuhan
menampakkan diri hanya melalui tanda-tanda. Dari manusia, dapat mengetahui Tuhan
melalui tanda-tanda alamiah yang menunjukkan kebaikan, keagungan, dan kekuasaan
Ilahi. Bahkan, Musa boleh dekat dengan Tuhan, tapi tak bisa melihat wajah-Nya. Ilmu
dari 'balik tirai' itu adalah ‘ilm menurut ungkapan Al-Qur'an. Para mistikus Islam dan
agama lain mempunyai pengetahuan tentang Tuhan yang berbeda dengan 'gnosis', yaitu
bentuk hubungan personal yang sangat dekat dan akrab. Dalam beberapa bentuk,
hubungan ini memuncak dalam persatuan personal antara yang mengetahui dan yang
diketahui, seperti orang yang mencintai dan yang dicintai menjadi satu dalam
pengalaman cinta pada satu orang. Ini mengubah segala sesuatunya. Selain manusia
dan psikologi mengalami transformasi, konsep Tuhan juga harus berubah dalam
struktur semantiknya karena dijadikan objek ma'rifah. Dalam sistem non-mistik, ia
hanya objek ‘ilm.

Membentuk konsep Tuhan melalui ‘ilm dan ma'rifah. Konsep yang dihasilkan berbeda,
namun denotatumnya sama yaitu Tuhan. Perbedaan esensial dan fundamental adalah
perbedaan antara dua konsep yang membuat Islam ortodoks sering menganggap
konsep A dan B tentang Tuhan tidak merujuk pada satu Tuhan yang sama, sehingga
menimbulkan tuduhan sengit terhadap para mistikus. Jika denotatumnya berbeda,
mistikus hanya menyembah Tuhan yang berbeda dari Islam dan dianggap bid'ah oleh
kaum ortodoks. Penafsiran mistik Al-Qur'an penting bagi ahli semantik.

Teologi tetap setia pada kata dan konsep asli Al-Qur'an, sedangkan filsafat Islam berani
meng-arabisasi sistem asing dalam penggunaan istilah kunci seperti Allah, nably, wahy,
dan aql. Meskipun rumit, persoalan ini tidak langsung berasal dari penggunaan kata-
kata dalam Al-Qur'an. Filsuf Arab dan non-Arab menggunakan bahasa Arab untuk
berpikir dan menulis. Mereka membangun kosakata baru dalam bahasa Arab untuk
mengungkapkan gagasan Yunani dan juga memegang tradisi Al-Qur'an. Sifat khusus
makna relasional Istilah Al-Qur'an tumbuh dari citra Tuhan yang tidak terlalu
dititikberatkan Al-Qur'an di kalangan para filsuf. Citra tersebut mirip dengan konsep
Aristotelian tentang ‘‘Mover‘‘ kosmis ditambah dengan konsep ‘‘Yang Satunya Plotinian.
Para filsuf berupaya menjelaskan makna filosofis Al-Qur'an, namun Ibnu Taimiyah
menyebut mereka sebagai "sekelompok kecil para filsuf bodoh (junhal al-falafah)".
Menurutnya, pandangan Ibnu Sinna tentang penciptaan adalah pseudo-konsep yang
tidak berhubungan dengan konsep Al-Qur'an dan dapat dianggap sebagai pengingkaran
terhadap Penciptaan Ilahi. Konsep tersebut dianggap sebagai bentuk neo-Platonik
tentang Emanasi.

Bahasa filsafat Islam menyajikan persoalan penting untuk ahli semantik. Beberapa
kasus menarik mengilustrasikan kandungan semanti historis. Dalam contoh ini, kita
akan mengambil pasangan konseptual muslim dan kafir, yang sebelumnya tidak
terhubung secara hakiki sebelum masa pra-islam awal. Tidak ada kata dengan konotasi
religius dalam frasa ini. Muslim berarti seseorang yang memberi sesuatu yang berharga
kepada orang lain yang memintanya, sementara kafir berarti seseorang yang tidak
berterima kasih kepada orang yang telah berbuat dermawan kepadanya. Tahap kedua
perkembangan adalah sistem Al-Qur'an dimana dua kata ditempatkan secara
berlawanan. Al-Qur'an menggabungkan muslim dan iman, serta memisahkan kafir dari
sisi positif. Al-Qur'an menekankan perlawanan antara iman-islam dengan kufr.

Orang-orang Badwi berkata: “Kami telah beriman”, katakanlah (kepada mereka): "Kamu
belum beriman”, tetapi katakanlah “kami telah tunduk" (Islam), karena iman (dalam arti
yang sesungguhnya) belum masuk hatimu”. Ini adalah definisi Islam yang penting dan
jelas sebagai langkah pertama menuju iman. Orang Badwi padang pasir yang masih
tidak stabil dalam urusan agama diberikan definisi ini secara eksplisit. Keadaan ini
sering disebut dalam Al-Qur'an dan Hadits, dan Al-Qur'an tidak membuat perbedaan
antara orang-orang Muslim awam. Islam sebagai tindakan spiritual, pemasrahan diri
kepada Kehendak Ilahi yang dianggap nilai religius tertinggi.

Pada dasarnya, dalam konteks normal, dua kata Muslim, seseorang yang beragama
Islam, dan mu'min, seseorang yang beriman, digunakan secara bergantian, keduanya
digunakan. Sebutkan seseorang yang mengambil keputusan berdasarkan jalan yang
lurus

Petunjuk Ilahi agar terbebas dari azab neraka di akhirat nanti. Secara teknis, kita dapat
mengatakan bahwa dua kata sebenarnya memiliki denotasi yang sama, meskipun
masing-masing menyebutkan denominasi yang sama dengan implikasi yang berbeda.
Seperti yang ditunjukkan diagram kita, orang konkret yang sama, kata Hasan, dapat
diekspresikan dengan cara yang berbeda sebagai orang yang beriman kepada Tuhan
atau sebagai "orang yang saleh". Ini berarti bahwa kedua kata tersebut mengungkapkan
dua aspek konseptual yang berbeda dari orang yang sama. Namun, sulit untuk
menghindari kesimpulan bahwa perbedaan antara iman dan Islam pada tingkat Al-
Qur'an jauh lebih penting daripada perbedaan ekstrim antara kedua konsep tersebut
secara keseluruhan sebelum kekufuran. Konflik antara orang Islam (mu'min) dan orang
kafir merupakan salah satu masalah yang membara yang dihadapi masyarakat Islam
yang sedang berkembang.

Kontras konseptual dasar ini kemudian berlanjut dalam sistem teologis yang muncul
pada periode pasca-Qur'an. Saat ini, dari sudut pandang semantik, teologi Islam adalah
sistem konseptual yang pada dasarnya didasarkan pada kosa kata Al-Qur'an, mewarisi
semua kata dan konsep Al-Qur'an. Kontradiksi yang kita diskusikan hari ini adalah
bagian dari warisan konseptual ini. Jadi pasangan dasar Muslim-Kafir sepertinya tidak
berubah. Namun, jika kita melihat lebih dekat topik ini, kita akan menemukan bahwa
sebenarnya telah terjadi perubahan yang sangat kecil namun nyata dalam penekanan,
perubahan pandangan mendasar dari topik yang sama. Dengan kata lain, perbedaan
antara seorang Muslim dan seorang kafir. Meski secara lahiriah sama, namun tidak lagi
memiliki arti yang sama. Hal ini terjadi karena adanya perubahan situasi budaya yang
dialami oleh masyarakat muslim itu sendiri. Islam sebagai agama muncul sejak lama.
Dunia Arab secara keseluruhan menerima agama ini; Segera setelah peristiwa ini,
Islamisasi sebagian besar peradaban kuno dunia mengubah peta budaya dunia. Dalam
sistem Islam yang mapan ini, pada hakekatnya tidak perlu ditekankan adanya konflik
antara kaum muslim sebagai monoteis dan kaum kafir sebagai musyrik. Alih-alih konflik
lama ini, muncul konsep kontradiktif baru yang menarik perhatian para pemikir.
Munculnya sekte Kharijiyyah, sekte Khawarij, secara otomatis membawa perbedaan
fundamental antara Muslim dan kafir ke pusat dunia Muslim. Adapun bentuk luarnya,
kontras ini tetap sama, tetapi struktur dalamnya berbeda. Pada dasarnya bukan lagi
tentang perbedaan antara muslim monoteis dan musyrik atau musyrik, tetapi tentang
perbedaan batasan tauhid islam, antara muslim itu sendiri, karena menurut Khawarij,
seorang muslim yang telah melakukan dosa berat bukan lagi seorang muslim. Dia harus
dianggap sebagai orang tidak beriman yang akan masuk neraka untuk dihukum mati
secara adil. Ini merupakan unsur yang berbahaya masuk ke dalam Islam karena konsep
“pendosa besar” itu sendiri sangat fleksibel dan dapat berubah sedemikian rupa
sehingga sangat mudah untuk diarahkan ke segala arah sehingga dapat mencakup apa
saja yang tidak dilakukan seseorang. Ambil contoh kumpulan Hadits terkenal yang
disusun oleh al-Tirmidzi dalam Hadits Sahih 26 tentang tafsir Al-Qur'an yang berbunyi:

“Seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, bukan


berdasarkan ilmunya, maka ia adalah orang yang kafir.” Dari sini bisa dibayangkan
keseriusan situasinya, jika kita mengingat bahwa tuduhan-tuduhan keras tersebut
dilakukan secara sukarela, dan atas nama Nabi, dapat dipahami bahwa situasi umum
seperti itu tercermin dalam struktur semantik kata kafir. 

Dalam keadaan intelektual, kata ‘ilm’ memiliki arti pengetahuan yang berbeda. Nabi
Muhammad SAW memberikan pendapat tentang pertanyaan ini dalam situasi tersebut.

Jenis pengetahuan absolut dari Nabi, disebut Imam al-Syafi’i. Ada pengikut ‘roh’ Ahwa di
sebelahnya. Pernyataan berdasarkan keyakinan disebut “pendapat pribadi” dan tidak
relevan. Bab ini diakhiri dengan penjelasan kosa kata filsafat Islam untuk melihat isu-isu
dari perspektif yang berbeda. Tujuan saya bukan membahas filsafat Islam semata mata,
melainkan menggunakan sudut pandang semantik ‘diakronis’. contoh konkret dan studi
komparatif dari beberapa sistem kontekstual dalam satu bahasa yang sama.

Bahasa Arab berkembang secara alami, tetapi dalam teologi dengan pengaruh filsafat
Yunani, ada perubahan penting. Dalam filsafat, konsep alien dianggap ideal dan tidak
terpengaruh oleh bahasa Arab atau pandangan dunia. Diperlukan penetapan istilah-
istilah bahasa Arab baru dan model Yunani untuk memenuhi persyaratan istilah asing.
Para cendekiawan Muslim mempelajari dan mencari kata-kata yang tepat dalam bahasa
Arab. Konflik pemikiran dan bahasa terjadi karena konsep asing, seperti filosofi Yunani
yang tidak sesuai dengan bahasa Arab. Cicero kesulitan menerapkan konsep Yunani ke
bahasa Latin yang belum matang. Jarak antara budaya dan bahasa Yunani-Latin lebih
kecil dibandingkan dengan Yunani-Arab yang dipengaruhi oleh banyak budaya asing dan
ditulis dalam bahasa yang berbeda. Bahasa Arab diuji sebagai bahasa budaya yang
bertahan dengan kosakata khusus dan sistem istilah yang komprehensif berdasarkan
prinsip transparansi. Bahasa Arab efisien dalam menciptakan kata baru dan filsuf
mudah menemukan yang berhubungan dengan istilah Yunani.

Al-Qur`an menyatakan tanda-tanda dapat diidentifikasi melalui penyebab dan


meninggalkan tanda yang jelas di kota kuno yang dikutuk Allah. Reruntuhan kota di sini
dianggap sebagai hukuman ilahi dan peringatan bagi yang tidak percaya kepada Tuhan.
“Aql kembali sebagai kata kunci dalam filsafat Islam, namun konsep semantiknya
belum dipertimbangkan. Struktur konsepnya berbeda karena pandangan dunia yang
berbeda dari pandangan dunia Arab tradisional.” Kata ini memiliki arti baru dalam
filsafat Islam dan konsep akal Yunani yang digunakan oleh Alquran. “Selesai, dari
makna asli zaman Arab pra-Islam.” Alquran menggunakan konsep akal Yunani bukan
Arab Aql. Selesai. Berasal dari Arab pra-Islam, Al-Qur’an menggunakan konsep
kecerdasan Yunani alih-alih perkembangan alami dari konsep Arab tentang Aql. Harap
buat teks ini lebih pendek.

Kata aql tetap digunakan tapi transparan, Yunani nous dan Arab shuyuyah adalah
seperti `komunisme` dan `nasionalisme` di zaman modern. Makna kata `aql` Arab
dipengaruhi oleh kata Yunani `nous` yang artinya kecerdasan kosmis hingga manusia,
terkait dengan intelejen.

Kata-kata Barat mudah dipahami, sementara kata-kata seperti qaumiyyah dan wad
iyyah memerlukan kata-kata Arab untuk arti yang tepat. Setiap kata punya makna dan
sejarah tertentu. Kata Arab wad yah berarti “positivisme” dan berhubungan dengan
konsep positivisme Barat. Tantangan: mengerti konsep Barat dengan cepat sambil
melewati jembatan ini. kata baru dari Barat sulit dipadankan. Ini ideal untuk semi-
transparansi, tapi tidak selalu mudah.” Kata aql sama dengan kata Yunani nous dan
mudah dipahami. Penerjemah kesulitan kadang mencari padanan kata yang cocok,
seperti dalam kasus keberadaan yang penting. “Kurangi teks ini, terkadang sulit mencari
padanan kata yang sesuai bagi penerjemah pertama.” Penting, jadi contoh saja. Mohon
singkatkan. Penerjemah kesulitan kadang menemukan padanan kata yang tepat, seperti
masalah keberadaan yang sulit dijelaskan.

Mereka merasa terasing dari `aqlnya dan hanya fokus pada aspek-aspek tertentu dalam
melihat objek, seperti keindahan pola bunga atau tumbuhan tertentu. Digunakan dalam
ontologi Aristoteles. Ini bukan berbicara tentang makhluk statis. Mohon berikan
ringkasan kualifikasi dan relevansinya dengan persyaratan posisi. Ini tentang
pengalaman dan tidak sepenuhnya abstrak sepertigagasan tentang makhluk Yunani.
Ada unsur penting dalam struktur kata yang berkaitan dengan mengembangkan
makhluk, dan kata ini merupakan terjemahan dari kata genesis Yunani yang digunakan
dalam filsafat Islam. “Peristiwa” merujuk pada proses “menjadi” yang dinamis, bukan
tentang makhluk statis. Mohon ringkasan kualifikasi dan relevansinya dengan posisi
yang dibutuhkan.

ringkasan kualifikasi dan relevansinya dengan posisi yang dibutuhkan. Filsafat Islam =
terjemahan Kejadian Yunani yang dipakai Aristoteles dalam ontologi. ‘Peristiwa’
Merujuk pada dinamika ‘menjadi’ dan tidak terkait dengan entitas statis. Berikan
kualifikasi sederhana dan diselesaikan dengan persyaratan posisi. Filsafat
Islam=terjemahan kata Yunani Aristoteles. “Peristiwa” Merujuk pada proses “menjadi”,
bukan pada makhluk yang statis. “Berikan ringkasan kualifikasi dan relevansinya
dengan persyaratan posisi.” Filsafat Islam = terjemahan Kejadian Yunani yang dipakai
Aristoteles dalam ontologi. ‘Peristiwa’ Merujuk pada dinamika ‘menjadi’ dan tidak terkait
dengan entitas statis. Berikan kualifikasi sederhana dan diselesaikan dengan
persyaratan posisi. Filsafat Islam=terjemahan kata Yunani Aristoteles. “Peristiwa”
Merujuk pada proses “menjadi”, bukan pada makhluk yang statis. “Berikan ringkasan
kualifikasi dan relevansinya dengan persyaratan posisi.” Filsafat Islam = terjemahan
Kejadian Yunani yang dipakai Aristoteles dalam ontologi. ‘Peristiwa’ Merujuk pada
dinamika ‘menjadi’ dan tidak terkait dengan entitas statis. Berikan kualifikasi sederhana
dan diselesaikan dengan persyaratan posisi. Filsafat Islam terjemahan kata Yunani
Aristoteles. “Peristiwa” Merujuk pada proses “menjadi”, bukan pada makhluk yang statis.
“Berikan ringkasan kualifikasi dan relevansinya dengan persyaratan posisi.”

Peninjauan sistematik sejarah filsafat filsafat Islam perlu dan membantu menjelaskan
perubahan semantik istilah dan perkembangan semantik sebagai ilmu budaya. Ini hanya
bisa dilakukan dengan dukungan penelitian ilmiah di masa depan. ; sulit masuk.
Semantik diakronis berbeda tapi terkait erat dengan sinkronis. Filsafat Islam dalam
kosa kata Arab dan bermasalah struktural. “

Anda mungkin juga menyukai