Anda di halaman 1dari 3

BATAVIA DI TANGAN VOC

Setelah Jayakarta dikuasai VOC dan kemudian berganti nama menjadi Batavia,
mulailah VOC membangun sebuah pemukiman baru di atas reruntuhan kata yang
ditinggalkan penghuninya. Selain membangun kota, VOC di bawah JP Coen mulai
membangun benteng untuk mengganti benteng lama (Fort Jacatra) yang sudah tidak mampu
lagi menampung semua aktivitas dan kegiatan dagang VOC. Benteng ini diberi nama Kastil
Batavia, luasnya sekitar 9 kali benteng lama, meski bentuknya tidak jauh berbeda. Pada
keempat sudut kastil itu dibangun bastion yang diberi nama Diamont, Robijin, Saphier dan
Parel.
Realisasi pembangunan benteng itu dipercepat setelah Sultan Agung dari Kerajaan
Mataram (1613-1645) menyerang pos Belanda pada tahun 1627. Serangan berikutnya terjadi
pada tahun 1628 dan gagal menghalau Belanda dari Benteng Batavia.  Berbeda dengan
serangan pertama, serangan kedua juga dilancarkan dari laut. Dengan serangan-serangan
senjata api inilah prajurit-prajurit Sultan Agung menguji konstruksi dan rancangan Benteng
Batavia. Dengan berdirinya Kastil Baravia ini, misi perdagangan Timur Jauh dari Eropa
terjamin keamanannya. Perluasan armada perdagangan yang kemudian dibentuk dengan
nama VOC pada tahun 1602 akhirnya mendominasi perdagangan rempah-rempah di
Indonesia Timur. Sejak saat itu, markas besar perdagangan Timur Jauh VOC berada di
Batavia hingga 1799. Para serdadu VOC di Batavia tinggal di pemukiman yang berada di
daerah mulut Sungai Ciliwung. Dan dari peta Jayakarta sekitar tahun 1619 diperoleh
informasi, bahwa VOC berusaha membangun jaringan jalan-jalan berparit dengan pores
utama utara-selatan yang dikenal sebagai Tijgersgracht (sekarang Jalan Pos Jakarta Barat).
Perkembangan fisik kota benteng Batavia diteruskan ke selatan dengan membangun
tembok pertahanan yang memanjang dan menghadap ke timur. Struktur yang terbentuk
banyak memanfaatkan parit-parit pertahanan dan tembok. Sebagai antisipasi serangan
Mataram selanjutnya, VOC membangun dinding Kota Batavia dengan 15 sudut tembak
meriam yang dilengkapi oleh fasilitas perbekalan amunisi dan markas tentara.
Kompleks Kastil Batavia rancangan Gubernur Jenderal van der Parra (1761-1775)
tidak seluruhnya dapat dibangun. Penyebab utamanya adalah buruknya keuangan VOC pada
waktu itu. Meski beberapa rancangan tersebut akhirnya dapat direalisasi untuk mendukung
pemantapan komando perdagangan Timur Jauh, dengan mendirikan rumah sakit militer dan
beberapa gudang. Sementara itu, ancaman dari penguasa lokal melemah. Dan untuk
menghemat anggaran VOC berusaha menggunakan politik adu domba di antara penguasa
lokal. Selanjutnya, pertahanan VOC sendiri hanya dipusatkan dengan membangun suatu
benteng yang dikenal dengan Benteng Culemborg (sekarang Museum Bahari). Dengan
benteng ini, VOC secara strategis sudah cukup aman sebab pengaruh politiknya di Jawa
maupun Indonesia telah mantap. Sejak itu, Benteng Culemborg hanya menjadi pas
pengamatan pantai, selain juga menjadi gudang barang-barang yang akan dijual di pasaran
Eropa, khususnya rempah-rempah dan basil perkebunan seperti teh, kopi, gula, karet,
tembakau dan sebagainya. 
Perkembangan dan pertumbuhan penting kota Batavia sejak 1645 tidak bias
melupakan jasa Phoa Big Am, seorang kapten Cina yang membangun kanal. Kanal-kanal ini
dibangun atas inisiatif dan pimpinan Big Am pada tahun 1648 untuk memperlancar jalur
kayu ke daerah pembuatan kapal dan ke arah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan adanya kanal
ini, daerah sepanjang alirannya berkembang menjadi pemukiman yang didominasi oleh
imigran Cina dan Eropa. Kota Batavia termasuk daerah yang sangat disukai imigran Cina
sejak awal abad ke-19. Imigran-imigran tersebut berperan sebagai pedagang dan melayani
jasa sebagai pialang antara pedagang pribumi dari pedalaman ke pasar internasional Asia
Tenggara. 
Namun demikian, tumbuhnya populasi Cina di Batavia dan kota-kota di pesisir Jawa
lainnya antara tahun 1740-1755 menimbulkan banyak kekerasan. Belanda berusaha
membatasi tumbuhnya penduduk Cina dengan membuat peraturan imigrasi di kota-kota
pesisir. Pemberontakan orang-orang Cina meletus, berakibat pembunuhan 500 orang Cina
pada tahun 1740 atas perintah Gubemur Jenderal Adrian Valckenier (1695-1751). Sejak
pembunuhan massal di halaman belakang Balai Kota Batavia itu, wajah VOC semakin buruk.
Situasi ini diperburuk dengan buruknya kondisi kesehatan kota dengan meluasnya wabah
kolera dan pes di kawasan muara Sungai Ciliwung dan sekitarnya. Kondisi ini menjadi
penyebab pindahnya orang-orang kaya Eropa ke daerah yang lebih tinggi di sekitar kanal.
Dan sejak tahun 1731, banyak orang-orang Eropa mulai keluar dari kawasan sekitar Sunda
Kelapa ke daerah pedalaman yang lebih tinggi sepanjang Sungai Ciliwung. 
Pemekaran fisik kota Batavia dimulai dengan pembangunan beberapa tempat tinggal
petinggi VOC, sepertui Stadhuis (sekarang Museum Sejarah) dan rumah kediaman Gubernur
Jenderal Reiner de Klerk. Didirikan pada tahun 1712,Stadhuis menjadi pusat pemerintahan
VOC sekaligus markas besar pasukan. Segala keputusan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak diambil oleh para penguasa kota dari balik gedung ini Dilengkapi dengan ruang
penjara bawah tanah, pelataran Stadhuis juga berfungsi sebagai pengadilan terbuka untuk
menghukum para pelanggar aturan yang dibuat VOC. 
Sedangkan kediaman Reiner de Klerk (sekarang Gedung Arsip Nasianal) yang
dibangun pada tahun 1760 sebelum ia menjabat sebagai gubemur jenderal (1777-1780).
Bangunan ini merupakan sumber sejarah yang penting bagi perkembangan seni bangunan
sejak zaman kolonial. Denah rumah de Klerk ini dapat menceritakan kegiatan seorang
perwira tinggi VOC. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa banyak perwira VOC terlibat
dalam kegiatan perdagangan. Secara formal, kegiatan seperti iru memang dilarang, namun
tanpa kegiatan sepertinya sangat sulit dibayangkan de KJerk mampu membeli tanah dan
membangun rumah tinggal sendiri yang pada waktu itu termasuk sangat mewah. Sekitar
tahun 1799 perubahan bangunan yang penting adalah dipindahkannya pusat kekuasaan dari
kawasan kota ke kawasan Parade Plaats(sekarang Lapangan Banteng).

Sumber:
Widiyatmoko, Bayu. 2014. Kronik Peralihan Nusantara Liga Raja-Raja Hingga Kolonial.
Yogyakarta: Mata Padi Presindo
Soebacman, Agustina. 2014. Sejarah Nusantara Berdasarkan Urutan Tahun.
Yogyakarta:Syura Media Utama

Anda mungkin juga menyukai