Anda di halaman 1dari 5

TUGAS TUTORIAL KE-2

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

Nama Mata Kuliah : Teori Akuntansi


Kode Mata Kuliah : EKSI4415
Jumlah sks : 3 SKS
Nama Pengembang : Dr. Evi Maria
Nama Penelaah : Sakina Nusarifa Tantri., SE., M.Sc
Status Pengembangan : Baru/Revisi*
Tahun Pengembangan : 2022
Edisi Ke- : 2

Skor Sumber Tugas


No Tugas Tutorial
Maksimal Tutorial
1 Penggunaan pengukuran dengan biaya masukan masa 20 BMP TA Modul 4,
berjalan memiliki banyak kritik dari para penganut Kegiatan Belajar 1
pengukuran biaya historis. Metode pengukuran dengan
biaya masa berjalan dianggap memiliki banyak
kelemahan. Anda diminta melakukan analisis dan
identifikasi kelemahan biaya masa berjalan.
Lakukan analisis minimal 2 saja!
2 Salah satu cara untuk mengukur persediaan adalah 20 BMP TA Modul 4,
menggunakan metode lower of cost or market. Namun Kegiatan Belajar 2
banyak orang tidak dapat menerima konsep ini.
Mengapa demikian? Jelaskan minimal 2 alasan
kenapa orang menentang pengukuran model ini!
3 PT Kusuma memiliki kekayaan bersih awal periode (1 20 BMP TA Modul 5,
Januari 2021) sebesar Rp 700 Juta dan menjadi Rp 1 Kegiatan Belajar 1
Milyar pada akhir periode (31 Desember 2021). Dalam
rangka mempertahankan kapasitas produksi yang
sebenarnya, perusahaan mengeluarkan biaya sebesar
Rp Rp 500 Juta. Tingkat inflasi sebesar 10 persen.
Dimina: Hitunglah laba menggunakan
a. Money Maintenance
b. Productive Capacity Maintenance
4 Konsep laba bisa dipandang dari sudut pandang 20 BMP TA Modul 5,
ekonomi dan akuntansi. Lakukan evaluasi terhadap Kegiatan Belajar 1
laba dari dua sudut pandang tersebut! Jelaskan!
5 Aset perusahaan dapat mengalami kenaikan nilai, jika 20 BMP TA Modul 5,
dibandingkan dengan waktu pengakuan pendapatan. Kegiatan Belajar 2
Namun demikian, akuntan biasanya enggan
melakukan pencatatan kenaikan nilai aset tersebut
sampai ada pertukaran/penjualan dari aset tersebut.
Apa yang menjadi pertimbangan atau rasionalisasi
perilaku akuntan tersebut?
* coret yang tidak sesuai
JAWABAN TUGAS 2

1. Pengukuran dengan biaya masukan masa berjalan atau "current cost accounting" (CCA)
adalah suatu metode akuntansi yang mengukur aset dan kewajiban dengan harga pasar saat ini
atau biaya masukan yang seharusnya dibutuhkan untuk menggantikan aset tersebut dalam
kondisi yang sama. Namun, metode ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Tidak dapat memperhitungkan nilai waktu dari aset: Metode CCA tidak
memperhitungkan nilai waktu dari aset, sehingga aset yang sama diukur dengan biaya
berbeda-beda pada waktu yang berbeda. Hal ini dapat menghasilkan informasi yang tidak
konsisten dan sulit dibandingkan, serta dapat memengaruhi keputusan investasi atau
pengambilan keputusan bisnis.
2. Tidak mencerminkan nilai riil aset: Metode CCA cenderung mengukur nilai aset dengan
biaya masukan saat ini, tanpa mempertimbangkan nilai riil atau harga pasar yang
sebenarnya. Oleh karena itu, jika terjadi inflasi atau deflasi, nilai aset dapat diukur
dengan tidak akurat. Selain itu, jika harga pasar lebih tinggi daripada biaya masukan, aset
mungkin diukur dengan nilai yang lebih rendah dari nilai sebenarnya, dan sebaliknya.
3. Memerlukan estimasi yang subjektif: Untuk mengukur aset dengan CCA, dibutuhkan
estimasi biaya masukan masa berjalan. Estimasi ini seringkali bersifat subjektif dan dapat
menghasilkan perbedaan dalam pengukuran yang signifikan antara satu perusahaan
dengan perusahaan lainnya. Hal ini dapat menyulitkan perbandingan dan evaluasi antara
perusahaan.
4. Tidak mempertimbangkan faktor eksternal: Metode CCA tidak mempertimbangkan
faktor eksternal, seperti perubahan dalam kondisi pasar, perubahan dalam teknologi, atau
perubahan dalam regulasi yang dapat memengaruhi nilai aset. Hal ini dapat menghasilkan
informasi yang tidak akurat atau tidak relevan bagi pengambilan keputusan bisnis.
5. Tidak mempertimbangkan nilai manusia atau intelektual: Metode CCA tidak
mempertimbangkan nilai manusia atau intelektual, seperti keahlian karyawan atau merek
dagang, yang dapat memberikan nilai tambah pada perusahaan. Hal ini dapat
menyebabkan aset yang sebenarnya bernilai tinggi diukur dengan nilai yang lebih rendah.
Dalam keseluruhan, metode CCA memiliki kelemahan dalam pengukuran nilai aset, sehingga
perlu dicermati oleh perusahaan dan pengguna informasi keuangan dalam pengambilan
keputusan bisnis.

2. Metode pengukuran lower of cost or market (LOCOM) adalah metode akuntansi yang
digunakan untuk mengukur persediaan dengan memilih antara biaya historis atau nilai pasar,
mana yang lebih rendah. Namun, ada beberapa alasan mengapa orang menentang
pengukuran model ini, di antaranya:
1. Tidak konsisten dengan prinsip konservatisme: Prinsip konservatisme dalam akuntansi
mengharuskan perusahaan untuk lebih memilih pengakuan kerugian daripada pengakuan
keuntungan yang belum pasti. Namun, penggunaan metode LOCOM dapat menyebabkan
pengakuan kerugian sebelum rugi yang sebenarnya terjadi, karena nilai pasar dapat
fluktuatif dan dapat berubah secara dramatis dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,
beberapa orang menganggap penggunaan metode LOCOM tidak konsisten dengan
prinsip konservatisme.
2. Tidak mempertimbangkan faktor kualitas: Metode LOCOM hanya mempertimbangkan
biaya historis atau nilai pasar yang lebih rendah, tanpa mempertimbangkan faktor kualitas
dari persediaan. Misalnya, jika persediaan yang lebih mahal memiliki kualitas yang lebih
baik, namun nilai pasar dari persediaan yang lebih murah lebih rendah, maka metode
LOCOM akan memilih nilai pasar yang lebih rendah. Hal ini dapat menghasilkan
informasi yang tidak akurat atau tidak relevan bagi pengambilan keputusan bisnis.
3. Memerlukan estimasi yang subjektif: Untuk mengukur persediaan dengan metode
LOCOM, diperlukan estimasi nilai pasar. Estimasi ini seringkali bersifat subjektif dan
dapat menghasilkan perbedaan dalam pengukuran yang signifikan antara satu perusahaan
dengan perusahaan lainnya. Hal ini dapat menyulitkan perbandingan dan evaluasi antara
perusahaan.
4. Tidak mengakui keuntungan potensial: Metode LOCOM hanya mempertimbangkan nilai
pasar yang lebih rendah, tanpa mempertimbangkan keuntungan potensial dari persediaan
yang diukur dengan biaya historis. Misalnya, jika harga pasar dari suatu persediaan
meningkat dalam jangka panjang, namun persediaan diukur dengan biaya historis, maka
perusahaan tidak akan mengakui keuntungan yang mungkin terjadi. Hal ini dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan investasi atau pengambilan keputusan bisnis
secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, metode LOCOM memiliki kelemahan dalam mengukur persediaan,
sehingga perlu dicermati oleh perusahaan dan pengguna informasi keuangan dalam pengambilan
keputusan bisnis.

3. a. Money Maintenance
Laba menggunakan metode money maintenance adalah selisih antara kekayaan bersih
akhir dengan kekayaan bersih awal, setelah disesuaikan dengan inflasi:
Kekayaan bersih awal = Rp 700 Juta
Kekayaan bersih akhir = Rp 1 Milyar
Biaya yang dikeluarkan = Rp 500 Juta
Inflasi = 10%

Kekayaan bersih awal disesuaikan dengan inflasi:


Kekayaan bersih awal (disesuaikan) = Rp 700 Juta x (1 + 10%) = Rp 770 Juta

Biaya yang dikeluarkan disesuaikan dengan inflasi:


Biaya (disesuaikan) = Rp 500 Juta x (1 + 10%) = Rp 550 Juta
Kekayaan bersih akhir disesuaikan dengan inflasi:
Kekayaan bersih akhir (disesuaikan) = Rp 1 Milyar x (1 + 10%) = Rp 1.1 Milyar

Laba = Kekayaan bersih akhir (disesuaikan) - Kekayaan bersih awal (disesuaikan) - Biaya
(disesuaikan)
Laba = Rp 1.1 Milyar - Rp 770 Juta - Rp 550 Juta
Laba = Rp 1.1 Milyar - Rp 1.32 Milyar
Laba = -Rp 220 Juta (merugikan)

b. Productive Capacity Maintenance


Laba menggunakan metode productive capacity maintenance adalah selisih antara
kekayaan bersih akhir dengan kekayaan bersih awal, setelah disesuaikan dengan inflasi dan
biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan kapasitas produksi:

Kekayaan bersih awal = Rp 700 Juta


Kekayaan bersih akhir = Rp 1 Milyar
Biaya yang dikeluarkan = Rp 500 Juta
Inflasi = 10%

Kekayaan bersih awal disesuaikan dengan inflasi:


Kekayaan bersih awal (disesuaikan) = Rp 700 Juta x (1 + 10%) = Rp 770 Juta

Biaya yang dikeluarkan disesuaikan dengan inflasi:


Biaya (disesuaikan) = Rp 500 Juta x (1 + 10%) = Rp 550 Juta

Kekayaan bersih akhir disesuaikan dengan inflasi dan biaya yang dikeluarkan untuk
mempertahankan kapasitas produksi:
Kekayaan bersih akhir (disesuaikan) = (Rp 1 Milyar + Rp 500 Juta) x (1 + 10%)
Kekayaan bersih akhir (disesuaikan) = Rp 1.5 Milyar

Laba = Kekayaan bersih akhir (disesuaikan) - Kekayaan bersih awal (disesuaikan) - Biaya
(disesuaikan)
Laba = Rp 1.5 Milyar - Rp 770 Juta - Rp 550 Juta
Laba = Rp 1.5 Milyar - Rp 1.32 Milyar
Laba = Rp 180 Juta (untung)

4. Laba adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan setelah dikurangi dengan semua biaya
dan beban yang dikeluarkan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Konsep laba dapat
dipandang dari sudut pandang ekonomi dan akuntansi, dan keduanya memiliki perbedaan dalam
hal pengukuran dan interpretasi.

Dari sudut pandang ekonomi, laba diukur dengan cara mengurangi total pendapatan dengan
biaya total, termasuk biaya yang bersifat implisit seperti biaya modal dan opportunity cost.
Dalam sudut pandang ini, laba dianggap sebagai ukuran keberhasilan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Laba juga dianggap
sebagai indikator potensi pertumbuhan perusahaan dan kemampuan untuk memberikan imbal
hasil yang baik bagi para pemegang saham. Dalam sudut pandang ekonomi, laba bukan hanya
sebagai laporan keuangan, tetapi juga sebagai sumber informasi yang penting untuk pengambilan
keputusan investasi.

Sementara itu, dari sudut pandang akuntansi, laba diukur dengan mengurangi pendapatan dengan
biaya yang terkait secara langsung dengan produksi barang dan jasa. Dalam sudut pandang ini,
laba dianggap sebagai ukuran kinerja keuangan perusahaan yang terfokus pada aspek akuntansi
dan pelaporan keuangan. Laba dianggap sebagai informasi keuangan yang penting bagi para
pemangku kepentingan, termasuk investor, kreditor, pemerintah, dan publik. Dalam sudut
pandang akuntansi, laba juga digunakan sebagai dasar untuk menghitung beban pajak yang harus
dibayar oleh perusahaan.

Secara umum, meskipun kedua sudut pandang memiliki perbedaan dalam hal pengukuran dan
interpretasi laba, keduanya sama-sama penting dalam memberikan informasi yang akurat dan
berguna tentang kinerja keuangan perusahaan. Penting bagi perusahaan untuk memahami kedua
sudut pandang ini dan menggunakan informasi laba dengan bijak untuk memandu pengambilan
keputusan bisnis yang tepat.

5. Pertimbangan atau rasionalisasi perilaku akuntan untuk tidak mencatat kenaikan nilai aset
sampai ada pertukaran atau penjualan dari aset tersebut terkait dengan prinsip konservatisme
dalam akuntansi. Prinsip konservatisme adalah prinsip akuntansi yang mengatur bahwa laporan
keuangan harus disusun dengan hati-hati untuk memastikan bahwa tidak ada pengakuan
pendapatan atau aset yang terlalu optimis atau tidak realistis.

Dalam hal ini, jika akuntan mencatat kenaikan nilai aset sebelum ada pertukaran atau penjualan
dari aset tersebut, maka dapat terjadi overstatement (penyajian nilai yang terlalu tinggi) pada
laporan keuangan. Ini dapat menyebabkan perusahaan terlihat lebih sukses atau lebih likuid dari
yang sebenarnya, dan dapat menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam pengambilan
keputusan oleh para pemangku kepentingan.

Dalam rangka meminimalkan kesalahan pengakuan nilai yang terlalu optimis, akuntan biasanya
menunggu hingga ada pertukaran atau penjualan dari aset tersebut, sehingga nilai aktual dari aset
tersebut dapat ditentukan. Dalam hal ini, akuntan akan mencatat kenaikan nilai aset hanya jika
sudah terjadi pertukaran atau penjualan dari aset tersebut, dan nilai aktual dari aset tersebut dapat
ditentukan secara objektif.

Dengan cara ini, akuntan dapat memastikan bahwa laporan keuangan perusahaan akurat dan
tidak terlalu optimis, sehingga dapat memberikan informasi yang berguna bagi para pemangku
kepentingan dalam pengambilan keputusan bisnis yang tepat.

Sumber:
Sueb, H, Memed,dkk.2022.”Teori Akuntansi Edisi 3”.Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai