Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN

A. Kajian teori
Tindak pidana yakni istilah yang mencakup pengertian dasar ilmu hukum, istilah
yang dibentuk dalam pemahaman yang memberi ciri tertentu pada kejadian hukum pidana.
Tindak pidana memiliki pengertian yang abstrak tentang peristiwa-peristiwa tertentu dalam
bidang hukum pidana, sehingga harus diberi makna ilmiah dan definisi yang jelas untuk
membedakannya dengan istilah-istilah dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Berikut merupakan perbedaan mendasar menurut aliran Monistis dan Dualistis :

Aliran Monistis Aliran Dualistis

Unsur-Unsur Tindak Pidana Ada Perbuatan Ada Perbuatan


Ada Sifat Melawan Hukum Sifat Melawan Hukum
Tidak Ada Alasan Pembenar Tidak Ada Alasan Pembenar
Mampu Bertanggungjawab
Kesalahan
Tidak Ada Alasan Pemaaf

Unsur Pertanggungjawaban —---- Mampu bertanggungjawab


Pidana Kesalahan
Tidak ada Alasan Pemaaf

Tindak pidana seorang dokter atau dokter gigi mempunyai unsur-unsur, yaitu :
- Unsur objektif, berupa perbuatan yang melawan hukum.
Contohnya : Dokter atau dokter gigi dengan sengaja menjual organ tubuh manusia.
- Unsur subjektif, berupa kesalahan.
Contohnya : Dokter atau dokter gigi salah menegakkan diagnose pasien sehingga
perawatan yang tidak sesuai dapat memperburuk kondisi paisen.

Seorang dokter atau dokter gigi sangat rentan tersandung tuntutan hukum. Semakin
berkembangan jaman, pasien atau keluarga pasien dapat dengan sengaja mencari
kesalahan seorang dokter atau dokter gigi. Tuntutan yang diajukan pasien atau keluarga
terhadap fasilitas kesehatan dan/atau dokter menjadi semakin umum. Tindakan yang
dituntut tersebut dapat berupa tindakan pidana atau perdata dan hampir selalu didasarkan
pada teori hukum tentang kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang diperlukan
adalah malpraktik, sebutan "umum" untuk sekelompok perilaku profesional medis yang
"menyimpang" dan mengakibatkan cedera, kematian, atau kerugian pasien.
Pada tahun 1928 di Belanda disebut dengan “Medische Tuchtwe” yang kemudian
direvisi pada tahun 1972, yang mengatur tentang profesi dokter, dokter gigi, bidan, dan
apoteker. Undang-undang tersebut menyebutkan 5 (lima) jenis sanksi bagi mereka yang
melanggar peraturan tersebut, yaitu : (1) peringatan; (2) dimarahi (berisping); (3) denda
paling tinggi sepulih gulden; (4) dipecat dari jabatan/praktik/izin dari praktiknya paling lama
untuk satu tahun; dan (5) dibebaskan/dipecat untuk menjalankan praktek.
Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “Professional misconduct
or unreasonable lack of skill, when a person performing a professional service fails to
exercise the skill and level of study employed by a generally prudent and respected
professional member of the community in all circumstances, resulting in injury, loss or
damage to recipients of these services or to persons entitled to rely on these services.”
Definisi malpraktik di atas bukan monopoli profesi kedokteran, tetapi juga berlaku untuk
profesi hukum (misal mafia peradilan), akuntan, perbankan (misal kasus BLBI), dll.
Di Amerika pada tahun 1973 disebut sebagai “Report of the Secretary’s Commission
on Medical Malpractice”, yaitu sebuah panitia yang diadakan oleh pemerintah untyuk dapat
memberikan advis mengenai problematic tanggungjawab medik dan memberikan saran dan
sugesti untuk mengadakan perbaikan-perbaikan. Sedangkan di Belanda pada tahun 1978
dibentuk sebuah komisi penasihat mengenai hak pasien dengan sebutan “Medische Etiek
en Gedragsleer” yang diketuai oleg Prof. Dr. H.J.J. Leenen.
Malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) yakni: "medical
malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment
of the patient's condition, or lack of skill or negligence in caring for the patient which was a
direct cause of the patient's injury."
Dari segi hukum, definisi di atas dapat dipahami bahwa painting practice dapat
terjadi karena tindakan yang disengaja (willful) seperti pada misconduct tertentu, tindakan
kelalaian (negligence), ataupun suatu ketidak-mampuan/ ketidak-kompetenan yang tidak
wajar.
Professional misconduct yang disengaja dapat dilakukan sebagai pelanggaran
terhadap kode etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, pidana dan perdata,
seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, menyebarkan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, kekerasan seksual, misrepresentasi atau fraud, membuat
pernyataan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang belum teruji, praktik
tanpa SIP, praktik di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak selalu dalam
bentuk sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, tetapi mengarah ke deliberate
violation (berkaitan dengan motivasi) daripada hanya berupa error (berkaitan dengan
informasi).

Kejadian kelalaian dapat berupa 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan


nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan kedokteran yang bertentangan
dengan hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan
tindakan kedokteran tanpa indikasi yang tepat (pilihan tindakan kedokteran tersebut sudah
improper). Misfeasance berarti melakukan rencana perawatan yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper action), yaitu misalnya melakukan tindakan
kedokteran dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan
kedokteran yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian yang diuraikan
sesuai dengan bentuk-bentuk kesalahan (mistakes, slips and lapses) yang telah dijelaskan
sebelumnya, tetapi kelalaian harus memenuhi empat unsur kelalaian yaitu adanya
kerusakan, sedangkan kesalahan tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula
adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.
Kelalaian medik merupakan salah satu bentuk dari malpraktik medis yang sering
terjadi. Pada hakikatnya kelalaian terjadi ketika seseorang dengan tidak sengaja, melakukan
sesuatu (perintah) yang seharusnya tidak dilakukan atau lalai melakukan sesuatu (omisi)
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain dengan kualifikasi yang sama dalam situasi dan
keadaan yang sama. Perlu dicatat bahwa kelalaian individu bukanlah merupakan perbuatan
yang dapat dihukum, kecuali jika dilakukan oleh orang yang seharusnya (secara profesional)
bertindak dengan hati-hati dan mengakibatkan kerugian atau cedera pribadi orang lain.
Pada dasarnya, penanganan kesalahan medis didasarkan pada konsep kesalahan
medis dan kejadian tidak diinginkan yang dijelaskan di atas. Dalam makalah ini tidak akan
diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran
(lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari
sisi profesi maupun dari sisi hukum.
Gugatan perdata, dalam hal ini perselisihan antara dokter dan rumah sakit
berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan dengan dua
cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses
peradilan).
Jika penyelesaiannya dipilih melalui proses pengadilan, penggugat akan mengajukan
gugatannya di pengadilan negeri setempat, baik dengan bantuan pengacara (lawyer)
maupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang
keabsahan gugatan berdasarkan bukti yang sah (right-based) dan kemudian keputusan
tentang jumlah uang ganti rugi yang harus dibayar oleh tergugat kepada penggugat “secara
wajar”. Dalam memutuskan suatu tindakan itu benar atau salah hakim akan
membandingkan perbuatan itu dengan suatu patokan bisa berupa norma tertentu, standar,
ataupun kesusilaan tertentu, sedangkan sedangkan hakim mempertimbangkan status sosial
ekonomi kedua belah pihak ketika memutuskan besarnya ganti rugi (pasal 1370-1371 KUH
Perdata).
Jika prosedur di luar pengadilan (alternative dispute resolution) dipilih, para pihak
berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat).
Kesepakatan dapat dicapai melalui negosiasi langsung antara para pihak (kesepakatan atau
negosiasi) atau melalui konsiliasi, mediasi dan arbitrase, atau kombinasi dari cara-cara
tersebut. Fasilitator dan mediator tidak mengambil keputusan, sedangkan arbitrator dapat
membuat putusan yang harus diikuti oleh kedua belah pihak. Dalam proses mufakat ini
diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman
kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim
pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan,
bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

Dalam hal pengaduan diajukan dalam proses pidana, pasien cukup memberitahukan
kepada penyidik dengan disertai bukti atau alasan permulaan. Selain itu,penyidik melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan kepolisian seperti pemeriksaan para saksi dan
tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis dan informed consent), serta pemeriksaan
saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan
penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Jika
penyidik tidak menemukan bukti yang cukup, SP3 akan dipertimbangkan atau penyelidikan
dihentikan.
Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga
harus diselesaikan secara profesional, sehingga dapat dijadikan pelajaran untuk mencegah
terulangnya kembali di kemudian hari, baik oleh pelaku yang sama maupun pelaku lainnya.
Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk
tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas
faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian
secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi
kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi
kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di
tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK,
Makersi, MDTK, dll). Apabila putusan MKEK menunjukkan bahwa pihak medis telah
melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka
putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan.
Secara teoritis-konseptual, tercipta kesepakatan antara kelompok profesi dengan
masyarakat umum (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi kelompok
profesi hak untuk mengatur diri sendiri (otonomi profesi) dan kewajiban memberikan jaminan
bahwa profesional yang berpraktik hanya profesional kompeten dan melaksanakan praktik
profesinya sesuai dengan standar.
Sebagai tenaga profesional, dokter atau dokter gigi bertanggung jawab atas semua
tindakan kedokteran yang dilakukan kepada pasiennya. Dalam melaksanakan tugas
profesinya, dokter atau dokter gigi harus didasarkan pada niat baik yaitu berusaha
menyembuhkan pasien atau menolong pasien dengan sungguh-sungguh berdasarkan ilmu
pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar
profesi.
Dokter atau dokter gigi membaktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan
selalu lebih mengutamakan kewajiban diatas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya.
Dalam menjalankan tugas nya, bagi dokter berlaku “Aegroti Salus Lex Suprema”, yang
berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (yang utama). Kewajiban dokter
yang terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap penderita, kewajiban terhadap teman
sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Dalam melaksanakan tindakan kedokteran, dokter atau dokter gigi selalu
berpedoman pada standar profesi dan Standar Prosedur Operasional (SPO). Selain itu
seorang dokter atau dokter gigi harus memenuhi persetujuan tindakan kedokteran (Informed
Consent) terhadap pasien atau keluarga pasien dan Rekam Medik sebagai alat bukti yang
dapat membebaskan dokter dari segala tuntutan hukum.
Hukum nasional di Indonesia harus merupakan unifikasi, satu hukum untuk seluruh
bangsa Indonesia, kodifikasi, ditulistetapkan demi kepeastian hukum, dan di samping itu
membuka kemungkinan bagi hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai kesadaran
hukum masyarakat yang bersangkutan.
Dari pernyataan politik hukum nasional tersebut jelas bahwa negara hukum Republik
Indonesia di samping menganut system kodifikasi juga menganut system hukum kebiasaan.
Sistem hukum mana dengan demikian merupakan modifikasi antara sistem hukum kodifikasi
yang dianut oleh Belanda dengan sistem hukum kebiasaan yang dianut oleh Amerika.

B. Peraturan perundang- undangan


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur
kegiatan praktik kedokteran dengan tujuan melindungi pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan kepastian hukum untuk umum, dokter dan
dokter gigi.
Pada bagian awal, UU Praktik Kedokteran mengatur tentang persyaratan dokter atau
dokter gigi untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki
sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijazah dokter atau
dokter gigi yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi yang
selanjutnya disebut STR dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat
izin Praktik yang selanjutnya disebut SIP dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter
tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta
menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, UU Praktik Kedokteran juga
mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran
serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.
Bagian berikutnya, UU Praktik Kedokteran mengatur tentang penyelenggaraan
praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang izin praktik kedokteran, yaitu mengatur
syarat mendapatkan SIP (dengan STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi),
batas maksimal 3 tempat praktik, dan harus memasang papan nama dokter atau dokter gigi
yang praktik atau nama tercantum dalam daftar dokter bila di rumah sakit. Aturan
pelaksanaan praktik bahwa dokter atau dokter gigi berhalangan atau memperoleh pengganti
yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang
persetujuan tindakan kedokteran, memenuhi berkas rekam medis, menjaga rahasia
kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.
Pada bagian ini UU Praktik Kedokteran juga mengatur tentang hak dan kewajiban
dokter atau dokter gigi dan pasien. Salah satu hak dokter atau dokter gigi yang penting
adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional. Hak terpenting pasien yaitu hak untuk
mendapat informasi tentang penyakit, rencana perawatan, manfaat, risiko, komplikasi dan
prognosisnya, serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan kedokteran.
Bagian berikutnya UU Praktik Kedokteran mengatur tentang disiplin profesi. Undang-
Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia selanjutnya disebut
MKDKI yang bertugas menerima pengaduan, menyelidiki dan mengadili kasus-kasus
pelanggaran disiplin kedokteran. Sanksi yang dijatuhkan oleh MKDKI berupa teguran
tertulis, anjuran pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan
pelatihan tertentu.
Pada akhirnya UU Praktik Kedokteran mengancam pidana bagi dokter atau dokter
gigi yang berpraktik tanpa STR dan/atau SIP, mereka yang bukan dokter atau dokter gigi
tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter atau dokter gigi, dokter atau dokter gigi
yang berpraktik tanpa menulis rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak
memenuhi kewajiban seorang dokter. Sanksi lebih berat kepada mereka yang
mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki STR dan/atau SIP.
UU Praktik Kedokteran berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, dan
penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun setelah Konsil Kedokteran
terbentuk. UU Praktik Kedokteran tidak sepenuhnya terlaksana jika peraturan
pelaksanaannya belum dikeluarkan. Peraturan Konsil yang harus dibuat merupakan
ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK / KKG; Pemilihan
tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara Registrasi; Kewenangan
dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI dan Tata Laksana kerja MKDKI.
Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat atau direvisi bila sudah ada adalah
peraturan tentang Surat Izin Praktik, Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan
Tindakan Medik, Rekam Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu diperlukan pembuatan
berbagai standar seperti standar profesi yang mencangkup standar kompetensi, standar
perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Melainkan juga
diperlukannya beberapa peraturan pelengkap, seperti peraturan tentang penempatan dokter
dalam rangka pemerataan pelayanan kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan
medis oleh tenaga kesehatan non medis, penataan pelayanan kesehatan non medis (salon,
pengobatan tradisional, pengobatan alternatif), perumahsakitan dan sarana kesehatan
lainnya, dan lain-lain.

Berikut merupakan unsur terjadinya tindak pidana yang diatur pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran beserta sanksinya :
1. Jika seseorang bukan dokter atau dokter gigi yang menggunakan identitas dan
seolah-olah sebagai dokter atau dokter gigi. Beberapa pasal yang menyinggung
unsur tersebut adalah :
Pasal 28 (1) “Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh
organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka
penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran
gigi.”
(2) “Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.”
Pasal 73 (1) “Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”
(2) “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin
praktik.”
Sedangkan sanksi terdapat pada pasal berikut :
Pasal 77 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat
tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
Pasal 78 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
2. Seseorang dokter atau dokter gigi wajib memiliki surat tanda register (STR). Setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkan
oleh KKI. Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi
dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau
dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki sertifikat kompetensi; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Berikut merupakan pasal-pasal yang menegaskan hal tersebut antara lain :
Pasal 29 (1) “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.”
(4) “Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5
(lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.”
Demikian juga sama bagi dokter atau lulusan dokter gigi harus mempunyai STR jika
berpraktik di Indonesia dan harus melakukan penyetaraan yang didukung oleh pasal
berikut.
Pasal 30 (1) “Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik
kedokteran di Indonesia harus dilakukan evaluasi.”
Sanksi untuk unsur tersebut sebagai berikut :
Pasal 75 (1) “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
3. Bagi dokter dan dokter gigi berwarga negara asing, pasal-pasal yang mengatur
sebagai berikut :
Pasal 31 (1) “Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter
gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan,
penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat
sementara di Indonesia.
(2) “Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
untuk 1 (satu) tahun berikutnya.”
Pasal 32 (1) “Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan
dokter spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan
dan pelatihan di Indonesia.”
(2) “Dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu tertentu, tidak
memerlukan surat tanda registrasi bersyarat.”
Adapun sanksi jika pasal-pasal tersebut dilanggar :
Pasal 75 (2) “Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
(3) “Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). “
4. Seorang dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mempunyai Surat Izin Praktik
(SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota
tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan. Surat izin praktik
dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada hanya diberikan untuk paling
banyak 3 (tiga) tempat. Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat
praktik. Berikut pasal-pasal yang mengatur unsur tersebut :
Pasal 36 “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat izin praktik.”
Pasal 40 (2) “Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.”
Pasal 42 “Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter
gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana
pelayanan kesehatan tersebut.”
Adapun sanksi bila tidak sesuai dengan pasal-pasal diatas :
Pasal 76 “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Pasal 80 (1) “Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
5. Papan nama dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib dipasang pada tempat
praktik. Papan nama tersebut agar mempermudah pasien dalam mengetahui nama
dan nomor SIP dokter atau dokter gigi. Unsur tersebut sudah diatur pada pasal-pasal
berikut :
Pasal 41 (1) “Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib
memasang papan nama praktik kedokteran.”
(2) “Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan
sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran.”
Berikut ancaman jika pasal-pasal tersebut dilanggar :
Pasal 76 “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (1);
b. ..
c. ..
Pasal 80 (1) “Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
6. Setelah terjadi komunikasi antara dokter atau dokter gigi terhadap pasien, dokter
atau dokter gigi wajib membuat Rekam Medis (RM). RM harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan RM harus
dibubuhi nama, waktu, dan tanda dokter atau dokter gigi yang memberikan
pelayanan atau tindakan. Unsur ini sudah diatur oleh pasal berikut :
Pasal 46 (1) “Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.”
Berikut pasal yang mengatur sanksi jika terdpaat pelanggaran :
Pasal 76 “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. ..
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1); atau
c. ..
7. Kewajiban seorang dokter atau dokter gigi sudah diatur pada pasal berikut :
Pasal 51 “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.”
Jika terjadi pelanggaran ancaman pada pasal berikut :
Pasal 76 “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. ..
b. ..
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.”

C. Pendapat ahli
Menurut Leenen dalam (bunga Rampai Medical Malpractice), berikut merupakan
syarat-syarat suatu tindakan dalam profesi kedokteran (medik) tidak bertentangan dengan
hukum, yaitu :
a) Tindakan itu mempunyai indikasi atau petunjuk medik yang berdasarkan pada
tujuan tindakan medik atau perawatan yang konkrit;
b) Tindakan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan terapi pengobatan (seni
pengobatan); dan
c) Tindakan itu dilakukan dengan persetujuan atau izin yang bersangkutan (pasien).
Sedangkan Prof. Mr. W.B. Van der Mijn berpendapat, bahwa dalam
melaksanakan profesinya, seorang dokter perlu berpegangan kepada tiga ukuran
umum yaitu:
1. Kewenangan
Yang dimaksud dengan kewenangan ialah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid)
yang dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Atas
dasar kewenangan inilah, seorang tenaga kesehatan berhak melakukan pengobatan sesuai
dengan bidangnya.

Di Indonesia, kewenangan menjalankan profesi tenaga kesehatan pada umumnya


diperoleh dari Departemen Kesehatan. Namun sejak berlakunya UU Praktik Kedokteran
pada tanggal 6 Oktober 2005, maka kewenangan dokter atau dokter gigi untuk menjalankan
praktik kedokteran di Indonesia diperoleh dari Konsil Kedokteran Indonesia (pasal 29 ayat
(2) UU Praktik Kedokteran). Dengan diterbitkannya Surat Tanda Registrasi Dokter oleh
Konsil Kedokteran Indonesia, maka dokter atau dokter gigi pemilik Surat Tanda Registrasi
(STR) tersebut, berhak untuk melakukan praktik kedokteran di Indonesia, karena telah
memenuhi syarat administratif untuk melaksanakan profesinya. Dari persyaratan
administratif yang telah dipenuhi ini, dokter atau dokter gigi sebagai pengemban profesi
telah memperoleh kewenangan profesional dalam menjalankan pekerjaannya. Menurut
Supriadi, seorang tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan tanpa kewenangan, dapat
dianggap melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan.
Sebagai ilustrasi tentang kewenangan profesional, dapat kita ambil tindakan
pembedahan sebagai contoh. Tindakan pembedahan yang dilakukan oleh seorang Dokter
Spesialis Bedah, tidaklah dapat digolongkan dalam tindak pidana penganiayaan. Tetapi bila
tindakan tersebut dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesioal
maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan.
2. Kemampuan Rata-rata
Dalam menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, banyak faktor
yang harus dipertimbangkan. Selain dan faktor pengalaman tenaga kesehatan yang
bersangkutan fasilitas, sarana prasarana di daerah tempat tenaga kesehatan (dokter)
tersebut bekerja juga ikut mempengaruhi sikap dokter atau dokter gigi dalam melakukan
pekerjaannya. Sehingga sangat sulit untuk. menentukan standar kemampuan rata-rata ini.
Sebagai contoh misalnya :
a. Kemampuan dokter yang baru menyelesaikan pendidikannya, tentu berbeda dengan
dokter yang sudah mempunyai pengalaman menangani pasien selama 35 (tiga puluh
lima) tahun.
b. Kemampuan dokter yang bekerja di Jayapura dengan fasilitas dan sarana prasarana
yang mungkin sangat sederhana, tentu tidak bisa disamakan dengan dokter yang
melaksanakan pekerjaan profesinya di Jakarta yang semuanya serba modern dan
canggih.
3. Keseksamaan Atau Ketelitian Yang Umum
Untuk menentukan ketelitian umum, harus berdasarkan ketelitian yang dilakukan
oleh dokter dalam melaksanakan pekerjaan dan situasi yang sama. Tolak ukur untuk
menentukan ketelitian ini sangat sulit, karena setiap bidang keahlian mempunyai aturan
main sendiri-sendiri yang seharusnya bisa dituangkan di dalam “Standar Umum”. Sebagai
contoh misalnya, standar untuk pelayanan anestesiologi dapat berpedoman kepada
Keputusan Direktorat Jenderal pelayanan Medik Depkes RI Nomor HK. 00.06.3.3.320
tentang “Standar Umum Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di Rum Sakit”. Standar ini
hanya berlaku untuk pelayanan anestesiologi dan reanimasi, sedangkan untuk pelayanan di
luar anestesiologi tentunya tidak dapat mengacu kepada peraturan tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
pengertian standar profesi disebutkan di dalam penjelasan pasal 50 sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat
melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
organisasi profesi.
Penentuan standar profesi dokter atau dokter gigi mengenai ketelitian ini pun sangat
sulit, sebab itu hakim yang akan menilai ketelitian umum seorang profesional harus objektif.
Ukuran ketelitian yang pasti tidak ada, sebab dalam setiap tindakan medik
terdapat ukuran umum tersendiri, yang akan berlainan dengan ukuran dari
tindakan medik yang lain. Jadi penilaian ketelitian umum ini pun sangat relatif.
Kesetaraan ini, menjadi ukuran apakah seorang dokter atau dokter gigi telah bekerja dengan
seksama atau telah melakukan kesalahan/kelalaian.

D. Hasil penelitian secara rasional, kritis dan komprehensif


Untuk memfasilitasi strategi peneliti, menentukan proses dan teknik yang digunakan
untuk pengumpulan data dan melakukan analisis.
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang peneliti
gunakan untuk memperoleh informasi dari berbagai sudut pandang
menjawab pertanyaan yang dicari. Metode pendekatan dalam penelitian ini
adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach).
Dalam penelitian normatif, sangat penting untuk menggunakan
pendekatan hukum, karena ada berbagai peraturan perundang-undangan
yang akan diteliti, yang menjadi fokus dan tema sentral penelitian.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian hukum normatif menggunakan studi kasus normatif berupa
produk hukum, misalnya mengkaji undang-undang. Obyek penelitian yang
utama adalah hukum, yang dikonseptualisasikan sebagai standar atau kaidah
yang berlaku dalam masyarakat, yang menjadi acuan bagi segala tingkah
laku. Oleh karena itu, penelitian hukum standar menitikberatkan pada
keseimbangan antara hukum positif, asas dan doktrin hukum, menemukan
hukum dalam kasus tertentu, sistematika hukum, derajat keselarasan,
perbandingan hukum dan sejarah hukum.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memutuskan menggunakan
metode penelitian hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan
tugas proposal tesis ini sebagai metode penelitian hukum. Penerapan metode
penelitian normatif dalam penelitian dan penulisan didasarkan pada
kesesuaian teori dengan metode penelitian yang dibutuhkan oleh penulis.
 

Anda mungkin juga menyukai