A. Kajian teori
Tindak pidana yakni istilah yang mencakup pengertian dasar ilmu hukum, istilah
yang dibentuk dalam pemahaman yang memberi ciri tertentu pada kejadian hukum pidana.
Tindak pidana memiliki pengertian yang abstrak tentang peristiwa-peristiwa tertentu dalam
bidang hukum pidana, sehingga harus diberi makna ilmiah dan definisi yang jelas untuk
membedakannya dengan istilah-istilah dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Berikut merupakan perbedaan mendasar menurut aliran Monistis dan Dualistis :
Tindak pidana seorang dokter atau dokter gigi mempunyai unsur-unsur, yaitu :
- Unsur objektif, berupa perbuatan yang melawan hukum.
Contohnya : Dokter atau dokter gigi dengan sengaja menjual organ tubuh manusia.
- Unsur subjektif, berupa kesalahan.
Contohnya : Dokter atau dokter gigi salah menegakkan diagnose pasien sehingga
perawatan yang tidak sesuai dapat memperburuk kondisi paisen.
Seorang dokter atau dokter gigi sangat rentan tersandung tuntutan hukum. Semakin
berkembangan jaman, pasien atau keluarga pasien dapat dengan sengaja mencari
kesalahan seorang dokter atau dokter gigi. Tuntutan yang diajukan pasien atau keluarga
terhadap fasilitas kesehatan dan/atau dokter menjadi semakin umum. Tindakan yang
dituntut tersebut dapat berupa tindakan pidana atau perdata dan hampir selalu didasarkan
pada teori hukum tentang kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang diperlukan
adalah malpraktik, sebutan "umum" untuk sekelompok perilaku profesional medis yang
"menyimpang" dan mengakibatkan cedera, kematian, atau kerugian pasien.
Pada tahun 1928 di Belanda disebut dengan “Medische Tuchtwe” yang kemudian
direvisi pada tahun 1972, yang mengatur tentang profesi dokter, dokter gigi, bidan, dan
apoteker. Undang-undang tersebut menyebutkan 5 (lima) jenis sanksi bagi mereka yang
melanggar peraturan tersebut, yaitu : (1) peringatan; (2) dimarahi (berisping); (3) denda
paling tinggi sepulih gulden; (4) dipecat dari jabatan/praktik/izin dari praktiknya paling lama
untuk satu tahun; dan (5) dibebaskan/dipecat untuk menjalankan praktek.
Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “Professional misconduct
or unreasonable lack of skill, when a person performing a professional service fails to
exercise the skill and level of study employed by a generally prudent and respected
professional member of the community in all circumstances, resulting in injury, loss or
damage to recipients of these services or to persons entitled to rely on these services.”
Definisi malpraktik di atas bukan monopoli profesi kedokteran, tetapi juga berlaku untuk
profesi hukum (misal mafia peradilan), akuntan, perbankan (misal kasus BLBI), dll.
Di Amerika pada tahun 1973 disebut sebagai “Report of the Secretary’s Commission
on Medical Malpractice”, yaitu sebuah panitia yang diadakan oleh pemerintah untyuk dapat
memberikan advis mengenai problematic tanggungjawab medik dan memberikan saran dan
sugesti untuk mengadakan perbaikan-perbaikan. Sedangkan di Belanda pada tahun 1978
dibentuk sebuah komisi penasihat mengenai hak pasien dengan sebutan “Medische Etiek
en Gedragsleer” yang diketuai oleg Prof. Dr. H.J.J. Leenen.
Malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) yakni: "medical
malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment
of the patient's condition, or lack of skill or negligence in caring for the patient which was a
direct cause of the patient's injury."
Dari segi hukum, definisi di atas dapat dipahami bahwa painting practice dapat
terjadi karena tindakan yang disengaja (willful) seperti pada misconduct tertentu, tindakan
kelalaian (negligence), ataupun suatu ketidak-mampuan/ ketidak-kompetenan yang tidak
wajar.
Professional misconduct yang disengaja dapat dilakukan sebagai pelanggaran
terhadap kode etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, pidana dan perdata,
seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, menyebarkan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, kekerasan seksual, misrepresentasi atau fraud, membuat
pernyataan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang belum teruji, praktik
tanpa SIP, praktik di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak selalu dalam
bentuk sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, tetapi mengarah ke deliberate
violation (berkaitan dengan motivasi) daripada hanya berupa error (berkaitan dengan
informasi).
Dalam hal pengaduan diajukan dalam proses pidana, pasien cukup memberitahukan
kepada penyidik dengan disertai bukti atau alasan permulaan. Selain itu,penyidik melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan kepolisian seperti pemeriksaan para saksi dan
tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis dan informed consent), serta pemeriksaan
saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan
penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Jika
penyidik tidak menemukan bukti yang cukup, SP3 akan dipertimbangkan atau penyelidikan
dihentikan.
Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga
harus diselesaikan secara profesional, sehingga dapat dijadikan pelajaran untuk mencegah
terulangnya kembali di kemudian hari, baik oleh pelaku yang sama maupun pelaku lainnya.
Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk
tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas
faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian
secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi
kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi
kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di
tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK,
Makersi, MDTK, dll). Apabila putusan MKEK menunjukkan bahwa pihak medis telah
melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka
putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan.
Secara teoritis-konseptual, tercipta kesepakatan antara kelompok profesi dengan
masyarakat umum (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi kelompok
profesi hak untuk mengatur diri sendiri (otonomi profesi) dan kewajiban memberikan jaminan
bahwa profesional yang berpraktik hanya profesional kompeten dan melaksanakan praktik
profesinya sesuai dengan standar.
Sebagai tenaga profesional, dokter atau dokter gigi bertanggung jawab atas semua
tindakan kedokteran yang dilakukan kepada pasiennya. Dalam melaksanakan tugas
profesinya, dokter atau dokter gigi harus didasarkan pada niat baik yaitu berusaha
menyembuhkan pasien atau menolong pasien dengan sungguh-sungguh berdasarkan ilmu
pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar
profesi.
Dokter atau dokter gigi membaktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan
selalu lebih mengutamakan kewajiban diatas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya.
Dalam menjalankan tugas nya, bagi dokter berlaku “Aegroti Salus Lex Suprema”, yang
berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (yang utama). Kewajiban dokter
yang terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap penderita, kewajiban terhadap teman
sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Dalam melaksanakan tindakan kedokteran, dokter atau dokter gigi selalu
berpedoman pada standar profesi dan Standar Prosedur Operasional (SPO). Selain itu
seorang dokter atau dokter gigi harus memenuhi persetujuan tindakan kedokteran (Informed
Consent) terhadap pasien atau keluarga pasien dan Rekam Medik sebagai alat bukti yang
dapat membebaskan dokter dari segala tuntutan hukum.
Hukum nasional di Indonesia harus merupakan unifikasi, satu hukum untuk seluruh
bangsa Indonesia, kodifikasi, ditulistetapkan demi kepeastian hukum, dan di samping itu
membuka kemungkinan bagi hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai kesadaran
hukum masyarakat yang bersangkutan.
Dari pernyataan politik hukum nasional tersebut jelas bahwa negara hukum Republik
Indonesia di samping menganut system kodifikasi juga menganut system hukum kebiasaan.
Sistem hukum mana dengan demikian merupakan modifikasi antara sistem hukum kodifikasi
yang dianut oleh Belanda dengan sistem hukum kebiasaan yang dianut oleh Amerika.
Berikut merupakan unsur terjadinya tindak pidana yang diatur pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran beserta sanksinya :
1. Jika seseorang bukan dokter atau dokter gigi yang menggunakan identitas dan
seolah-olah sebagai dokter atau dokter gigi. Beberapa pasal yang menyinggung
unsur tersebut adalah :
Pasal 28 (1) “Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh
organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka
penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran
gigi.”
(2) “Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.”
Pasal 73 (1) “Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”
(2) “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin
praktik.”
Sedangkan sanksi terdapat pada pasal berikut :
Pasal 77 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat
tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
Pasal 78 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
2. Seseorang dokter atau dokter gigi wajib memiliki surat tanda register (STR). Setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkan
oleh KKI. Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi
dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau
dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki sertifikat kompetensi; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Berikut merupakan pasal-pasal yang menegaskan hal tersebut antara lain :
Pasal 29 (1) “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.”
(4) “Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5
(lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.”
Demikian juga sama bagi dokter atau lulusan dokter gigi harus mempunyai STR jika
berpraktik di Indonesia dan harus melakukan penyetaraan yang didukung oleh pasal
berikut.
Pasal 30 (1) “Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik
kedokteran di Indonesia harus dilakukan evaluasi.”
Sanksi untuk unsur tersebut sebagai berikut :
Pasal 75 (1) “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
3. Bagi dokter dan dokter gigi berwarga negara asing, pasal-pasal yang mengatur
sebagai berikut :
Pasal 31 (1) “Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter
gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan,
penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat
sementara di Indonesia.
(2) “Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
untuk 1 (satu) tahun berikutnya.”
Pasal 32 (1) “Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan
dokter spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan
dan pelatihan di Indonesia.”
(2) “Dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu tertentu, tidak
memerlukan surat tanda registrasi bersyarat.”
Adapun sanksi jika pasal-pasal tersebut dilanggar :
Pasal 75 (2) “Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
(3) “Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). “
4. Seorang dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mempunyai Surat Izin Praktik
(SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota
tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan. Surat izin praktik
dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada hanya diberikan untuk paling
banyak 3 (tiga) tempat. Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat
praktik. Berikut pasal-pasal yang mengatur unsur tersebut :
Pasal 36 “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat izin praktik.”
Pasal 40 (2) “Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.”
Pasal 42 “Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter
gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana
pelayanan kesehatan tersebut.”
Adapun sanksi bila tidak sesuai dengan pasal-pasal diatas :
Pasal 76 “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Pasal 80 (1) “Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
5. Papan nama dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib dipasang pada tempat
praktik. Papan nama tersebut agar mempermudah pasien dalam mengetahui nama
dan nomor SIP dokter atau dokter gigi. Unsur tersebut sudah diatur pada pasal-pasal
berikut :
Pasal 41 (1) “Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib
memasang papan nama praktik kedokteran.”
(2) “Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan
sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran.”
Berikut ancaman jika pasal-pasal tersebut dilanggar :
Pasal 76 “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (1);
b. ..
c. ..
Pasal 80 (1) “Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
6. Setelah terjadi komunikasi antara dokter atau dokter gigi terhadap pasien, dokter
atau dokter gigi wajib membuat Rekam Medis (RM). RM harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan RM harus
dibubuhi nama, waktu, dan tanda dokter atau dokter gigi yang memberikan
pelayanan atau tindakan. Unsur ini sudah diatur oleh pasal berikut :
Pasal 46 (1) “Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.”
Berikut pasal yang mengatur sanksi jika terdpaat pelanggaran :
Pasal 76 “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. ..
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1); atau
c. ..
7. Kewajiban seorang dokter atau dokter gigi sudah diatur pada pasal berikut :
Pasal 51 “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.”
Jika terjadi pelanggaran ancaman pada pasal berikut :
Pasal 76 “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. ..
b. ..
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.”
C. Pendapat ahli
Menurut Leenen dalam (bunga Rampai Medical Malpractice), berikut merupakan
syarat-syarat suatu tindakan dalam profesi kedokteran (medik) tidak bertentangan dengan
hukum, yaitu :
a) Tindakan itu mempunyai indikasi atau petunjuk medik yang berdasarkan pada
tujuan tindakan medik atau perawatan yang konkrit;
b) Tindakan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan terapi pengobatan (seni
pengobatan); dan
c) Tindakan itu dilakukan dengan persetujuan atau izin yang bersangkutan (pasien).
Sedangkan Prof. Mr. W.B. Van der Mijn berpendapat, bahwa dalam
melaksanakan profesinya, seorang dokter perlu berpegangan kepada tiga ukuran
umum yaitu:
1. Kewenangan
Yang dimaksud dengan kewenangan ialah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid)
yang dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Atas
dasar kewenangan inilah, seorang tenaga kesehatan berhak melakukan pengobatan sesuai
dengan bidangnya.