Anda di halaman 1dari 24

Kelalaian dan kesalahan dalam

pelayanan kesehatan
Pendahuluan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”),


kelalaian biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-
hati, atau kealpaan.

Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 359
KUHP, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, yang
mengatakan bahwa “karena salahnya” sama dengan kurang hati-hati, lalai
lupa, amat kurang perhatian.
Pasal 359 KUHP:
• “Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun.”
Dalam hukum pidana, kelalaian,
kesalahan, kurang hati-hati, atau
kealpaan disebut dengan culpa.

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang


berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 72)
mengatakan bahwa arti culpa adalah “kesalahan pada umumnya”,
tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu
suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat
seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang
tidak disengaja terjadi.
Sedangkan, Jan Remmelink dalam bukunya yang
berjudul Hukum Pidana (hal. 177) mengatakan bahwa
pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat)
berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang
terarah.

Menurut Jan Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk


pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat
dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga
secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat
fatal dari tindakan orang tersebut – padahal itu mudah
dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.
Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink (Ibid,
hal. 179) mengatakan bahwa menurut MvA (memori jawaban) dari
pemerintah, yang menjadi tolak ukur bagi pembuat undang-undang
bukanlah diligentissimus pater familias (kehati-hatian tertinggi kepala
keluarga), melainkan warga pada umumnya.

Syarat untuk penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan


serius yang cukup, ketidakhati-hatian besar yang cukup; bukan
culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa lata (kelalaian
yang kentara/besar).
Hal serupa juga dikatakan oleh Wirjono Prodjodikoro (Ibid,
hal. 73), yaitu bahwa menurut para penulis Belanda, yang
dimaksudkan dengan culpa dalam pasal-pasal KUHP adalah
kesalahan yang agak berat. Istilah yang mereka pergunakan
adalah grove schuld (kesalahan besar).

Meskipun ukuran grove schuld ini belum tegas seperti


kesengajaan, namun dengan istilah grove schuld ini sudah
ada sekedar ancar-ancar bahwa tidak masuk culpa apabila
seorang pelaku tidak perlu sangat berhati-hati untuk bebas
dari hukuman.
Lebih lanjut, dikatakan bahwa untuk
culpa ini harus diambil sebagai ukuran
bagaimana kebanyakan orang dalam
masyarakat bertindak dalam keadaan
yang in concreto terjadi.

Jadi, tidaklah dipergunakan sebagai


ukuran seorang yang selalu sangat
berhati-hati, dan juga tidak seorang
yang selalu serampangan dalam tindak
tanduknya.
Pada akhirnya, Wirjono Prodjodikoro mengatakan
bahwa dengan demikian seorang hakim juga tidak boleh
mempergunakan sifatnya sendiri sebagai ukuran,
melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat.
Akan tetapi, praktis tentunya ada peranan penting
yang bersifat pribadi sang hakim sendiri. Hal ini
tidak dapat dielakkan.

Jadi, pada dasarnya yang dijadikan tolak ukur adalah


ukuran kehati-hatian yang ada di masyarakat, akan
tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hakim juga
berperan serta dalam menentukan hal tersebut
Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh
pasien yang merasa tidak puas terhadap pengobatan atau
pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter yang
merawatnya.

Ketidakpuasan tersebut terjadi karena hasil yang dicapai


dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan harapan pasien
dan keluarganya.

Hasil upaya pengobatan yang mengecewakan pasien, seringkali


dianggap sebagai kelalaian atau kesalahan dokter dalam
melaksanakan profesinya.
Hariyani (2005) mengemukakan
bahwa dalam kaitan hubungan antara
Perselisihan atau sengketa yang
pasien dan dokter, penyebab dari
terjadi antara dokter dan pasien
ketidakpuasan tersebut pada umumnya
oleh Hariyani disebut dengan istilah
karena kurangnya komunikasi antara
"sengketa medik".
dokter dengan pasiennya, terutama
terkait masalah "informed consent".
• 1. Isi informasi (tentang penyakit yang
Beberapa unsur
diderita pasien) dan alternatif yang
dari persetujuan bisa dipilih pasien tidak disampaikan
tindakan medik secara jelas dan lengkap.
yang sering • 2. Saat memberikan informasi
dikemukakan seyogyanya sebelum terapi mulai
pasien sebagai dilakukan, terutama dalam hal
alasan penyebab tindakan medis yang beresiko tinggi
dengan kemungkinan adanya
sengketa medik perluasan dalam terapi atau tindakan
ini adalah : medik.
3. Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien,
karena pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan
informasi yang jujur, lengkap dan benar yang ingin
didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya.

4. Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan


pilihan atau alternatif pengobatan yang telah dilakukan
terhadap dirinya, sehingga hak pasien untuk menentukan
dirinya sendiri (self determination) diabaikan oleh dokter.

5. Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari


perawat (paramedis), padahal menurut hukum yang berhak
memberikan informasi adalah dokter yang menangani pasien
tersebut.
Apakah tidak diberikannya informasi ini
termasuk dalam kategori kelalaian dokter?
• Menurut Fuady (2005) untuk dapat diajukannya gugatan atas
dasar ketiadaan informed consent harus dipenuhi beberapa
unsur yuridis sebagai berikut :
• 1. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan
(consent) dari pasien.
• 2. Kewajiban tersebut tidak dilaksanakan tanpa justifikasi
yuridis.
• 3. Adanya kerugian dipihak pasien.
• 4. Adanya hubungan sebab akibat antara ketiadaan informed
consent dan kerugian tersebut.
Dalam buku hukum medik (medical law), Guwandi (2004)
menyatakan bahwa "kelalaian" sebagai terjemahan dari
'negligence", yang dalam arti umum bukanlah merupakan suatu
pelanggaran hukum maupun kejahatan.

Seseorang dapat dikatan lalai kalau orang tersebut


bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli, dan tidak
memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana
kepatutan yang berlaku dalam pergaulan dimasyarakat.

Selama akibat dari kelalaian ini tidak membawa kerugian atau


mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan
kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele (de minimus not curat lex, the law does not concern
itself with trifles).
Kelalaian yang terkena sanksi sebagai akibat
hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh
pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan
terjadinya kerugian baik kerugian harta benda
maupun hilangnya nyawa atau cacat pada
anggota tubuh seseorang.
Untuk
menentukan • a. Adanya duty (kewajiban) yang
adanya harus dilaksanakan.
kelalaian • b. Adanya derelection of that duty
dokter, (penyimpangan kewajiban)
Hariyani (2005) • c. Terjadinya damaged
menyebutkan 4 (kerusakan / kerugian)
unsur yang • d. Terbuktinya direct causal
disingkat relationship (berkaitan langsung)
dengan "4D" antara pelanggaran kewajiban
yaitu sebagai dengan kerugian.
berikut :
• a. Perbuatan tersebut
Bila kesalahan bertentangan dengan
hukum
atau kelalaian (wederrechtelijkheid)
tersebut • b. Akibat dari perbuatan
bisa dibayangkan
dihubungkan (voorzeinbaarheid)
dengan hukum • c. Akibat perbuatan
sebenarnya bisa dihindari
pidana, maka (vermijdbaarheid)
Jonkers • d. Perbuatan tersebut
dapat dipersalahkan
(Guwandi, 2004) kepadanya
mengemukakan (verwijtbaarheid), karena
sebenarnya pelaku sudah
4 unsur sebagai dapat membayangkan
berikut : dan dapat
menghindarinya.
Menurut hukum pidana (Nasution, 2005), kelalaian
terbagi menjadi 2 :
• a. "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah
merupakan suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya
pelaku tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan
tersebut (lihat pasal 205 KUHP)
• b. "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu
peristiwa pidana bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan
akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat
atau kematian sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan
(lihat pasal 359, 360, dan 361 KUHP)
Nasution (2005) mengemukakan pendapat Picard (1984) tentang 3
katergori yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah
dokter telah berbuat dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai
berikut :

1. Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-


kualifikasi lain yang berlaku untuk tenaga
kesehatan

2. Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan /


perawatan

3. Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-


sumber lain yang tersedia bagi tenaga kesehatan.
Berkhouwer dan L.D. Vorstman
(Nasution, 2005) mengemukakan 3 faktor
yang menjadi penyebab kesalahan
dokter dalam melakukan profesi, yaitu :
• 1. Kurangnya pengetahuan
• 2. Kurangnya pengalaman
• 3. kurangnya pengertian
Dari semua pendapat diatas, ada 2 pakar hukum
yang memberikan kesimpulan sebagai berikut :
• * Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan
bahwa seorang dokter telah melakukan kelalaian, maka
harus dapat dibuktikan hal-hal sebagai berikut :
• a. Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin
• b. Bertentangan dengan hukum
• c. Bertentangan dengan standar profesi medis
• d. Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam
profesinya yang sudah berlaku umum dikalangan tersebut.
• e. Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian,
kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan
pasien, kesalahan menyolok dan sebagainya.
Nasution
(2005) • a. Pelaku berbuat lain dari apa yang
menyimpulkan seharusnya diperbuat menurut hukum
untuk tertulis maupun tidak tertulis, sehingga ia
sebenarnya telah melakukan suatu
menentukan perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang
adanya melawan hukum.
• b. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati,
kealpaan harus ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
terpenuhi • c. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh
adanya 3 karenanya pelaku harus bertanggungjawab
atas akibat perbuatan tersebut.
unsur sebagai
berikut :
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai