Anda di halaman 1dari 3

Jenis-Jenis Kelalaian Medis

Tiga bentuk kesalahan dalam kelalaian medis, yaitu1:

1. Malfeasance, yakni melakukan tindakan yang melanggar hokum atau tidak tepat/layak,
misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai.

2. Misfeasance, yakni melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat, misalnya melakukan tindakan medis yang menyalahi prosedur.

3. Nonfeasance, yakni tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban


baginya.

Kelalaian dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu1:

1. Culpa lata: sangat tidak berhati-hati, kesalahan serius, sembrono (gross fault or neglect).

2. Culpa levis: kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)

3. Culpa levissima: kesalahan ringan (slight fault or neglect)

Pada culpa lata tidak berlaku lagi hukum perdata, melainkan pidana. Pada culpa levis dan culpa
levissima yang tidak dapat dikenakan hukum pidana maka ditampung dalam hukum perdata.
Penyebab lain kegagalan medis, yaitu kesengajaan, masuk dalam kategori professional
misconduct. Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administrasi serta hukum
pidana dan perdata.

Kelalaian medis dapat dikemukakan dengan membuktikan unsur 4D-nya, yaitu2:

1. Duty yaitu adanya kewajiban yang timbul dari hubungan terapetis, merupakan kewajiban
tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan
sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.
Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara
tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari
hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban
profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan,
dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum
merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi
pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai
safety yang optimum.

2. Dereliction of duty yaitu tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan.


Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita
tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada
situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat
berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun
kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau
disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan.
Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang
“normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi
dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang
menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly
right (or wrong) for any other in an identical situation”.

3. Damage yaitu timbulnya kerugiaan atau kecideraan, yakni segala sesuatu yang dirasakan
oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan
oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur
hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian
immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan
kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost”
atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang
diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya
yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa
kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of
opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai
akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
4. Direct causatin atau hubungan sebab akibat yang nyata, adanya hubungan langsung
antara kecideraan atau kerugian itu dengan kegagalan melaksanakan kewajiban. Dalam
hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-empat unsur di
atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dapat
dinilai tidak cukup bukti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ruba’i M. Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Malang: IKIP Malang; 1997.

2. Dahlan S. Hukum Kesehatan dan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. Semarang: Badan
Penerbit UNDIP; 1999.

Anda mungkin juga menyukai