Oleh :
Tri Eka Julianto Amrullah
Moderator :
dr. Rahmi Ardhini, Sp.S(K)
1.2. Epidemiologi
Di Indonesia jumlah penderita tumor medula spinalis belum diketahui secara pasti.
Jumah kasus tumor medula spinalis di Amerika Serikat mencapai 15% dari total jumlah tumor
yang terjadi pada susunan saraf pusat dengan perkiraan insidensi sekitar 2 – 10 kasus per
100.000 penduduk per tahun. Tumor intradural intramedular yang tersering adalah
ependimoma, astrositoma, dan hemangioblastoma. Tumor intradural ekstramedular yang
tersering adalah schwanoma dan meningioma. Schwanoma merupakan jenis yang tersering
53,7% dengan insidensi laki – laki lebih sering daripada perempan, pada usia 40 – 60 tahun
dan tersering pada daerah lumbal. Meningioma merupakan tumor kedua tersering pada
kelompok intradural – ekstramedular tumor. Meningioma spinal menempati kira – kira 25%
dari semua tumor spinal. Sekitar 80% dari spinal meningioma terlokasi pada segmen torakal,
25% pada daerah servikal, 3% pada daerah lumbal, dan 2% pada foramen magnum.
2
Schwannoma (juga dikenal sebagai neurinoma atau neurilemoma) adalah jenis tumor
selubung saraf yang dibentuk oleh sel Schwann. Sel-sel ini membentuk lapisan isolasi di sekitar
saraf perifer. Schwannoma dapat tumbuh pada saraf perifer atau akar saraf. Saraf perifer
menyampaikan sinyal listrik dari otak dan sumsum tulang belakang ke otot dan organ di seluruh
tubuh. Akar saraf adalah tempat saraf perifer bergabung dengan sumsum tulang belakang.
Spinal schwannoma intradura adalah tumor jinak yang merupakan 30% dari tumor
primer spinal. Umumnya schwannoma merupakan tumor solid ataupun solid heterogen dan
jarang sekali berbentuk kistik, hanya ada sekitar 10 kasus yang telah dilaporkan dalam
literatur.1,2 Daerah lumbal merupakan tempat tersering terjadinya schwannoma spinal, menurut
Conti dkk., yang meneliti distribusi dari spinal schwannoma sekitar 48% spinal schwannoma
terdapat di daerah lumbal, pertumbuhan tumor lambat sehingga timbulnya gejala klinis
biasanya jika ukuran tumor sudah besar dan menyebabkan penekanan pada saraf. Gambaran
struktur kistik schwannoma yang jarang ditemukan menjadi tantangan dalam penegakkan
diagnosis.
Schwannoma adalah tumor intradural-ekstramedula yang terdiri dari sel schwann dan
jaringan fibrosa. Schwannoma umumnya merupakan tumor jinak meskipun terdapat juga
subtipe ganas. Schwannoma memiliki bentuk yang kaku dan berkapsul. 6 Menurut studi
Western, kejadian schwannomas tulang belakang bervariasi antara 0,3-0,4 kasus / 100.000
orang per tahun. Sekitar 70-80% schwannoma berlokasi di intradural, sisanya adalah
schwannoma ekstradural atau schwannoma intradural yang membentuk massa dumbbell ke arah
luar dura. 7 Gejala awal schwannoma spinal adalah nyeri terlokalisir di satu tempat, kadang-
kadang tersebar di kedua sisi, beberapa bersifat sementara dan hilang timbul, tetapi beberapa
bersifat terus-menerus di tempat yang sama dan terasa seperti tersayat pisau. Saat kompresi
meningkat pada korda spinalis, traktus spinalis akan mengalami kerusakan dan myelopati serta
gangguan fungsi motoris muncul sebagai gejala lanjutan.
3
1.3. Anatomi
Medula spinalis memanjang dari foramen magnum hingga vertebrae lumbalis pertama
atau kedua. Panjang medula spinalis sekitar 40 – 50 cm dan diameternya 1 – 1,5 cm. Dua baris
berturut – turet arak saraf muncul di masing – masing sisinya. Akar – akar saraf bergabung di
distal untuk membentuk 31 pasang saraf tulang belakang. Medulla spinalis dibagi menjadi emat
wilayah : servikal ( C ), torakal, (T), lumbal (L), dan sakral (S), yang masing – masing terdiri
dari beebrapa segmen. Saraf tulang belakang mengandung serabut saraf sensorik dan motorik
ke dan dari seluruh bagian tubuh. Setiap segmen sumsum tulang belakang mempersarafi suatu
regio dermatom.
Hingga bulan ke-3 dari fetus, korda spinalis memenuhi kanalis vertebrae. Kemudian
vertebrae berkembang lebih cepat dibandingkan korda spinalis sehingga saat lah ir, korda
spinalis hanya mencapai vertebrae L3.
Pada potongan transversal korda spinalis dapat terlihat kanalis sentralis dikelilingi oleh
substansia grisea berwarna abu berbentuk huruf H, yang dikelilingi lagi oleh substansia alba
berwarna keputihan yang didalamnya terdapat traktus asenden dan desenden dari sistem saraf
pusat. Pada posterior horns dari substansia grisea, serabut sensoris masuk dari akar saraf
posterior. Sedangkan pada anterior horns tedapat sel – sel motorik yang merupakan lanjutan
dari serabut saraf motorik akar saraf anterior. Pada korda spinalis torakal dan lumbal bagian
atas dapat ditemukan lateral horn pada sisi sampingnya, mengandung sel – sel saraf simpatis.
Pembuluh darah utama yang menyuplai darah ke korda spinalis adalah arteri sp inalis
anteriordan posterior yang berjalan turun dalam pia dari bagian intrakranial dari arteri
vertebralis. Pembuluh darah tambahan lain seperti arteri intercostal, arteri lumbal serta
pembuluh – pembuluh darah dari daerah servikal.
4
Gambar 2. Selaput meningens pada korda spinalis
Piamater menebal pada sisi diantara akar saraf membentuk ligamen dentikulata yang
berfungsi untuk melekatkan dura. Ada bagain inferior, pia berlanjut sebagai filum terminal
yang memecah bagain distal dari dura dan melekatkan nya pada coccygeal. Arachnoid mater
berada sepanjang duramater dan diantaranta terdapat ruang subarachnoid yang mengandung
cairan serebrospinal. Dura membentuk lapisan yang kuat pada korda spinalis. Dura juga
melapisi tiap akar saraf dan bergabung dengan selaput pelapis pada saraf perifer. Duramater
berakhir pada vertebrae S2.
5
1.4. Klasifikasi
Pada tumor intradural – ekstramedular terdapat beberapa jenis tumor yang dapat terjadi.
Schwanoma , neurofibroma dan meningioma adalah jenis yang paling sering ditemukan pada
tumor intradural – ekstramedular. Beberapa jenis tumor lain yang jarang ditemukan antara lain
paraganglioma, metastase, lipoma, spinal nerve sheath, myxomas, sarkoma, dan tumor
vaskular.
Gambar 4. (a,b) tumor ekstradural; a sebelah dorsal dari korda spinalis, b sebelah ventral dari
korda spinalis. C tumor intradural eksramedular ( tumor dumbell dengan bagian pada
intraforaminal dan ekstraforaminal; d tumor intradural intramedula.
6
100.000 orang pertahun. Sekitar 70-80% schwanoma berlokasi di intradural, sisanya
adalah schwanoma ekstradural atau schwanoma intradural yang membentuk massa
dumbell ke arah duar dura.
Gejala awal schwanoma spinal adalah nyeri terlokalisir di satu tempat, kadang
– kadang tersebar dikedua sisi, beberapa bersifat sementara dan hilang timbul, tetapi
beberapa bersifat terus menerus di satu tempat sama dan terasa seperti tersayat pisau.
Saat kompresi meningkat pada korda spinalis, traktus spinalis akan mengalami
kerusakan dan myelopati seta gangguan fungsi motorik muncul sebagai gejala lanjutan.
2. Neurofibroma
Tumor ini bersifat jinak yang berkembang dari saraf sensoris perifer. Terdapat
dua tipe yang dikenal : soliter dan pleksiform. Neurofibroma soliter bisa tampak
terlokalisasi, globular atau nodul fusiform. Neurofibroma pleksiform dikenal dengan
bundel serabut saraf yang berlebihan dan jaringan tumor dengan pola ya ng tidak
terorganisir pada beberapa akar saraf sekaligus. Bertolak belakang dengan schwanoma,
neurofibroma akan menyelubungi serabut saraf, bukan menggeser serabut saraf
tersebut. Nyeri spontan ( nyeri tanpa induksi palpasi ) dan diestesia adalah gejala
neurofibroma yang paling umum.
Dari gambaran MRI, neurofiboma tampak berbentuk bulat fusiform. Gambaran
lebih jelas didapatkan melalui penggunaan kontras. Pasien dengan neurofibroma soliter
harus menjalani reseksi tumor. Reseksi total dengan gambaran manifestasi klinis yang
masih riingan memiliki prognosis baik. Berbeda dengan neurofibroma soliter, reseksi
total biasanya tidak dapat dilakukan pada neurofibroma pleksiform. Neurofibroma
pleksiform juga lebih cenderung bertransformasi menjadi ganas. Pada neurofibroma
ganas ( malignant pheripheral Nerve Sheath Tumor ) dilakukan kemoterapi.
3. Meningioma
Meningioma adalah tumor yang tumbuh dari cap cell arachnoid pada dura dan
dapat tumbuh pada berbagai lokasi dimana terdapat dura, baik di spinal, ataupun otak.
Mayoritas meningioma pada spinal berlokasi di intradural, hanya sekitar 10% yang
berlokasi di ekstradural. Meningioma juga dapat tumbuh dari fibroblas pada dura atau
pia. Lebih dari 80% pasien meningioma adalah perempuan dan 80% kasus meningioma
pada perempuan terjadi di regio torakal. Pada pria, kasus meningioma korda spinalis
terdistribusi merata antara regio servikal dan torakal. Secara keseluruhan , 15 % dari
meningioma korda spinalis terjadi di regio servikal, 81% di regio torakal, dan 4% pada
regio lumbal.
7
Meningioma spinal lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut, dengan
demikian, terjadinya pada pasien yang lebih muda harus meningkatkan kecurigaan
terhadap gangguan genetik dan kemungkinan terjadinya tumor lain seperti
neurofibromatosis. Meningioma spinal tumbuh secara lambat dan karena itu,
meningioma menyebabkan gejala hanya setelah mencapai ukuran yang menyebabkan
kompresi sumsum tulang belakang yang signfikan. Nyeri lokal adalah salah satu gejala
utama. Dalam sejumlah besar pasien, diagnosis dapat ditegakkan sebelum defisit
neurologis atau gangguan gaya berjalan muncul.
Klaifikasi derajat meningioma menurut WHO tahun 2016 :
a. WHO grade I
80% dari seluruh meningioma mempunyai pertumbuhan yang lambat.
Kriteria:
- Tidak termasuk dalam kriteria meningioma atipikal dan anaplastik
- Gambaran histologi selain clear cell, chordoid, papillary dan rhabdoid.
b. WHO grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih
cepat dibandingkan dengan grade 1 dan juga mempunyai angka kekambuhan
yang lebih tinggi. Meliputi 15-20% dari seluruh meningioma.
Memenuhi 3 kriteria dari 5 parameter berikut:
- Indeks mitosis >4/10 HPF
- Paling sedikit 3 dari 5 parameter berikut:
• Peningkatan selularitas
• Rasio inti/sitoplasma meningkat
• Nukleoli prominen
• Selnya tidak berpola atau sheet like growth
• Terdapat fokus nekrosis spontan
- Invasi ke otak
c. WHO grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma
malignan atau meningioma anaplastik. Meliputi 1-3% dari seluruh meningioma.
Kriteria :
- Indeks mitosis >20 mitosis/10HPF
- Anaplasia (sarkoma, karsinoma, atau melanoma-like histology)
8
1.5. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Beberapa penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih dalam tahap penelitian adalah
virus, kelainan genetik, dan bahan – bahan kimia yang bersifat karsinogenik. Adapun tumor
sekunder ( metastasis ) disebabkan oleh sel – sel kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain
emlalui aliran darah yang kemudian menembus dinding pembuluh darah, melekat pada
jaringan medula spinalis yang normal dan membentuk jaringan utumor baru di d aerah tersebut.
Patogenesis dari neoplasma medula spinalis juag belum diketahui secara pasti, ettapi
kebanyakan muncul dari pertumbuhan sel normal pada lokasi tersebut. Riwayat genetik
kemungkinan besar sangat berperan dalam peningkatan insiden pada anggota keluarga (
syndromic group ) misal pada neurofibromatosis tipe 1.
Hanahan dan Weinberg mengemukakan teori “Hallmarks of Cancer” tentang konsep
fundamental ang menjelaskan ahap – tahap transformasi dari maligansi, yang terdiri atas :
9
telomeraseyang mampu memerpanjang ujung telomer sehinga dapat memperpanjang
waktu hidup sel.
e. Kemampuan menimbulkan inflamasi (tumor–promoting inflamation)
Selama ini respon imun dianggap sebagai suatu mekanisme untuk menghacurkan sel
tumor, tetapi studi terbaru menunjukkan respon imun dapat meningkatkan
tumorigenesis. Mekanismenya dapat dengan menghasilkan GF, survival factor yang
dapat membatasi kematian sel, faktor prangiogenik, enzim yang memodfikasi matriks
yan memfasilitasi roses agiogenesis, invasi dan metastasis, serta sinyal induksi yag
mengakibatkan ativasi ransisi menjadi sel mesenkimal. Selain itu, sel inflamasi dapat
menghasilkan ROS (reactive oxygen species) yang merupakan mutangenik.
f. Kemampuan untuk menginvasi jaringan lain dan berpindah ke lokasi lain (activating
invation & metastasis)
Sel normal tidak dapat berpindah ke jaringan lain karena adanya adesi antar sel yang
menghalangi perpindahan sel. Sel tumor dapat berubah dari sel epiteial menjadi
mesenkimal sehingga dapat berpindah ke pembuluh darah dan masuk kedalam jaringan
lain (metastasis).
g. Kemampuan angiogesis (incuding angiogenesis)
Sel tumor daat meningkatkan produksi vascular endothelial growth factor (VEG)
dengan stimulasi onkogen dan sel – sel inflamatori sehinga sel tumor dapat
memperahankan nutrsi dan suplai oksigen sel tumor.
h. Instabilitas (genome instability& mutation)
i. Sel tumor dapat merusak sistem pegendalian mutasi sel (seperti TP53) dan
meningkakan sensitivitas sel terhadap agen mutagenik sehingga genom dari sel tumor
mengaami instablitas.
j. Tidak merespon terhadap sinyal apotosis (resisting cell death)
Sel tumor memiiki cara menghindari kemaian sel degan mekanisme otofagi serta
stimulasi dari agen proinflamatorik dari sel yag mengalami nekrosis.
k. Kemampuan mendapakan energi sel ( deregulaing celluar energetic )
Sel tumor membutuhkan enegi yang banyak , sehinga dapat memodifikasi produksi
sendiri dengan membatasi metaolisme glukosa melalui gikolisi anaerob.
10
Gambar 5. Hallmark of Cell Cancer
11
- Foramen magnum
Gejala awal dan tersering adalah nyeri servikalis posterior yang disertai dengan
hiperestesia dalam dermatom vertebrae servikalis kedua (C2). Gejala lainnya adalah
pusing, disartria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah,serta atrofi
otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
- Servikal
Menimbulkan tanda – tanda sendorik dan motorik mirip lesi radikuler yang
melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga menyerang tangan. Keterlibatan tangan
pada lesi servikais bagian atas diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu
anterior memalui arteri spinalis anterior. Pada umumnya terdapat keelmahan dan atrofi
bahu dan lengan. Tumor servikal yang lebih rendah dapat menyebabkan hilangnya
refleks tendon ektremitas atas. Defisit sensorik membentang sepanjang tepi radial
lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan jari telunjuk
pada lesi C7, dan lesi C7 menyebabkan hilagnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah.
- Torakal
Seringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada ektremitas
bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia. Pasien dapat mengeluh nyeri dan
perasaan terjepit dan tertekan pada abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyei
akibat intratrakal dan intraabndomen. Pada lesi totakal bagian bawah, refleks perut
bagian bawah dapat menghilag.
- Lumbosakral
Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang melibatkan
daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen lumbal bagian bawah, segmen
sakral, dan radiks saraf desenden dari tingkat medula spinalis yang lebih tinggi.
Kompresi medula spinalis lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun
menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi
panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga kehilangan refleks lutut, dan refleks
pergelangan kaki dan tanda babinski bilateral. Nyeri pada umumnya dialihkan ke
selangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen – segen sakral
bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot- otot perineum, betis, dan kaki,
serta kehilangan refleks pergelangan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan
genitalia yang disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda
khas lesi yang mengenai daerah sakral bagian bawah.
12
- Kauda ekuina
Menyebabkan gejala – gejala sfingter dini dan impotensi. Tanda – tanda khas
lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau perineum, yang kadang – kadang
menjalar ke tungaki. Paraliss flaksid terjadi seusai dengan radiks saraf yang terkena dan
terkadang asimetris.
1.7. Diagnosis
Diagnosis pada semua jenis tumur spinal dapat diketahui melalui anamnesis,
peemriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tetapi untuk menegakkan diagnosis kerja
dalam kasus tumor sinal digunakan beberapa pemeriksaan penunjang.
3. X – Ray Vertebrae
Pada pencitraan ini kemungkinan dapat dtemukan pelebaran pada kanalis neuralis, erosi
pedikel ( defek menyerupai mata burung hantu pada tulang belakang ) atau pelebaran, fraktur
kompresi patologis, scalloping badan vertebrae atau sklerosis.
4. CT scan
Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi mengenai lokasi tumor, bahkan terkadang dapat
memberikan informasi mengenai tipe tumor. Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk
mendeteksi adanya edema, perdarahan dan keadaan lain yang berhubungan.
13
1.8. Tatalaksana
Tatalaksana tumor spinal bervariasi tergantung dari stabilitas tulang belakang, status
neurologis dan tingkat nyeri pasien. Pilihan terapi untuk tumor spinal adalah termasuk
intervensi oepratif, radioterapi dan kemoterapi. Tatalaksana utama pada tumor spinal adalah
pembedahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tumor secara total dengan
menyelamatkan fungsi neurologis secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural
ekstramedular dapat direseksi secara total dengan ganggan neurologis yang minimal atau
bahkan tidak ada post operatif. Tumor – tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat
dan agresif secara histologis dan tidak secara total dihilangkan melalui operasi dapat di terapi
denga terapi radiasi post operasi. Pada kasus keganasan ditambahkan kemoterapi pada rencana
pengobaan pasien.
Pada beberapa kasus, tumor intradural ekstramedular dapat tumbuh menonjol keluar ke
arah ekstraforaminal sehingga menyerupai bentukan dumbell. Nyeri merupakan gejala tumor
spinal intradural ekstramedular. Untuk mengatasi inyerinya, dapat digunakan beberapa pilihan
golongan obat seperti NSAID, ati konvulsan, antidepresan trisiklik, steroidm dan opioid. Untuk
nyeri neuropatik, penggunaan gabapentin dan pregabalin menunjukkan pengurangan gejala
pada pasien.
- Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak dipakai
untuk terapi. External beam irradiation dengan 4500-6000cGy dilaporkan efektif untuk
melanjutkan terapi operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik
yang didahului dengan operasi sebelumnya ataupun tidak. Pada kasus meningioma
yang tidak dapat dioperasi karena lokasi yang sulit, keadaan pasien yang buruk atau
pada pasien yang menolak dilakukan operasi, external beam irradiation masih belum
menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir menyatakan terapi external beam
irradiation tampaknya akan efektif pada kasus meningioma yang agresif (atipikal,
magnan), tetapi informasi yang mendukung teori belum banyak dikemukakan.
- Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1960an menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik
radioterapi ini semakin banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang
digunakan didapat melalui teknik yang bervariasi, yang paling sering digunakan adalah
14
sinar foton yang berasal dari Co gamma (gamma knife) atau linear accelerators
(LINAC) dan partikel berat (proton, ion helium) dari cyclotrons. Semua teknik
radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi komplikasi.
- Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak diketahui
efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi
ajuvan untuk meningioma atipikal rekuren atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan
pada pasien, tetapi terapi menggunakan regimen kemoterapi ( baik intravena atau
intraarterial cisplatinum, decarbazine (DTIC) dan adriamycin menunjukkan hasil yang
kurang memuaskan (DeMonte dan Yung), walaupun regimen tersebut ef ektifitasnya
sangat baik pada tumor jaringan lunak. pertumbuhan sel pada meningioma dihambat
pada fase S dari siklus sel dan menginduksi apoptosis dari beberapa sel dengan
pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus pemberian hydroxea ini
memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan menigioma yang tidak dapat
direseksi. Pemberian a-interferon dapat memperpanjang waktu terjadinya rekurensi
pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang menimbulkan
toksisitas dibanding pemberian dengan kemoterapi.
1.9. Prognosis
Prognosis untuk proses penyembuhan dari defisit neruologis akibat kompresi korda
spinalis bergantung pada durasi dan keparahan dari kondisi pasien saat tatalaksana dimulai.
Pada kasus disfungsi sfingter dan disf ungsi kandung kemih memiliki prognosis yang buruk.
Tumor spinal primer biasanya tidak bersifat metastasis dan umumnya memiliki prognosis
hidup jangka panjang yang lebih baik daripada tumor metastasis.
15
2.1 HIV-AIDS
HIV-AIDS HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus golongan
retrovirus dalam subfamily Lentivirus, memiliki periode latensi yang panjang antara infeksi
primer dan berkurangnya jumlah sel sel T CD4 yang merupakan karakteristik AIDS. Selama
masa laten, system imun menjadi tidak beraturan dan berkembang ke tahap kronik pro-
inflamatorik, bermanifestasi dengan adanya hipergammaglobulinenmia dan peningkatan
sekresi beberapa sitokin. Beragam komplikasi neurologi, khususnya terjadi sebelum onset
AIDS, yang disebut proses mediasi imun. Tanpa adanya kontrol terhadap virus, bahkan semua
komponen sistem imun (khususnya respon seluler) menjadi berkurang, menyebabkan
timbulnya infeksi oportunistik dan keganasan.4 Sedangkan Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala, infeksi dan kondisi yang diakibatkan infeksi HIV
pada tubuh. Muncul akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga infeksi dan
penyakit mudah menyerang tubuh dan dapat menyebabkan kematian. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.5 Mediator penting dari HIV-related CNS disease ialah mediator yang
larut mikroglia, seperti asam quinolinic, TNF-alpha, IL-1 beta. Asam quinolinic terikat pada
reseptor NMDA, dan menyebabkan meningkatnya uptake kalsium, sehingga mengaktifkan
mekanisme apoptosis. TNF-alpha merusak mielin, sedang IL-1 beta menstimulasi astrosit
untuk memproduksi nitrit oksida dan Colony Stimulating Factors yang menimbulkan
mekanisme feed back pada mikroglia. Hasil akhir dari “kaskade inflamasi” ini disebut sebagai
encephalitis, yang secara patologi ditandai dengan memucatnya substansia alba, hilangnya
neuron, dan reaksi astroglia. Proses ini menjadi dasar dari kerusakan HIV primer pada system
saraf, disamping proses immunocompromised yang menyebabkan rentannya terjadi infeksi
oportunistik
2.2 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat
intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan
asimtomatis berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda dari
HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap.4 Pertama merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini
muncul gejala tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV
dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan dan pembesaran kelenjar getah
bening. Dapat juga disertai meningitis aseptik yang ditandai demam, nyeri kepala hebat,
kejang-kejang dan kelumpuhan saraf otak.4 Kedua merupakan tahap asimtomatis, pada tahap
ini dimana pasien baru saja terinfeksi HIV biasanya mengalami suatu tahun periode “clinically
16
latent” antara infeksi HIV dan tanda klinis dan gejala dari AIDS. Pada fase ini sistem imun
memproduksi antibodi untuk melindungi dirinya dari HIV. Saat inilah ketika “viral set point”
menjadi mapan. Viral load set poin dapat digunakan untuk memprediksi seberapa cepat
progresi akan muncul. Orang dengan viral load yang lebih tinggi akan mengalami progresivitas
yang cepat dibandingkan orang dengan viral load rendah. Saat laten, pasien yang terinfeksi
HIV bisa mempunyai atau tidak gejala dan tanda infeksi HIV pada persisten limfadenopati.
Pada orang dewasa yang terinfeksi HIV fase ini dapat berlangsung 8-10 tahun. Pemeriksaan
HIV enzyme-linked immunosorbent assay dan western blot atau immunofluoresence assay
akan positif. CD4+ lebih besar dari 500 sel/mm3 pada anak usia lebih dari 5 tahun. Ketiga
merupakan tahap simtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik dengan gradasi
sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi
sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri
pada saluran napas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktivitas meskipun
terganggu. Penderita lebih banyak berada ditempat tidur meskipun kurang 12 jam perhari
dalam bulan terakhir.4 Keempat merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada
tahap ini terjadi penurunan berat badan lebih 10%, diare yang lebih dari 1 bulan, panas 22 yang
tidak diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia,
tuberkulosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring ditempat tidur lebih dari 12 jam
sehari selama sebulan terakhir. Penderita rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder,
misalnya pneumonia pneumonia kistik karinii, toxoplasmosis otak, diare akibat
kriptosporidiosis, penyakit sitomegalo virus, infeksi virus herpes, kandidiasis pada esofagus,
trakea, bronkus atau paru serta infeksi jamur yang lain misalnya histoplasmosis,
koksidiodomikosis. Dapat juga ditemukan beberapa jenis malignansi, termasuk keganasan
kelenjar getah bening dan sarkoma kaposi. Hiperaktivitas komplemen menginduksi sekresi
histamin. Histamin menimbulkan keluhan gatal pada kulit dengan diiringi mikroorganisme
dikulit memicu terjadinya dermatitis HIV.4 Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam
tahapan sebagai berikut: Infeksi virus (2-3minggu) → sindrome retroviral akut (2-3minggu) →
gejala menghilang + serokonversi → infeksi kronis HIV asimptomatik. Encephalitis pada
Infeksi HIV di negara berkembang lebih pendek) → infeksi HIV/AIDS simptomatik (rata-rata
1,3 tahun) → kematian. Gejala dan tanda neurologi terjadi pada 30-70% kasus infeksi HIV.
Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum d apat dikelompokkan
menjadi: (a) Primer/ komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIVyaitu
apabila perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri, dan (b)
Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immu nosupresi konkomitan
17
berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. 2,3 Kelainan neurologi dapat muncul pada setiap
stadium dari infeksi pertama dan terjadinya serokonversi pada AIDS. Sebagian besar kelainan
neurologi terbatas pada stadium simptomatik dari infeksi HIV (AIDS dementia complex).
Kelainan neurologi dapat muncul dalam waktu 10 minggu dari infeksi HIV. Pendapat lain
menyatakan dalam waktu 6 minggu dari infeksi. Di samping pengaruh langsung kelainan
neurologi pada infeksi HIV, bermacam kelainan opportunistik, baik fokal maupun non fokal,
dapat muncul pada beberapa penderita. Kelainan neurologi yang timbul dari infeksi
opportunistik akibat HIV bergantung pada lokalisasi 23 neuroanatomi yang terlibat. Infeksi
opportunistik dan neoplasma pada SSP yang berhubungan dengan infeksi HIV, umumnya
muncul jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3
).16 Manifestasi klinis pasien dengan encephalitis virus dapat heterogen, mengharuskan indeks
kecurigaan yang tinggi pada setiap pasien datang dengan tanda-tanda infeksi dan disfungsi
SSP. Sindrom encephalitis virus akut ditandai oleh demam, sakit kepala, dan perubahan status
mental. Hal ini dapat dikombinasikan dengan ditemukannya defisit neurologis fokal yang
terkait dengan area SSP yang terinfeksi dan mengalami lesi, yang berbeda dengan patogen
tertentu. Serangkaian tanda dan gejala tidak unik untuk Encephalitis dan dapat terjadi pada
berbagai penyakit lainnya, termasuk meningitis virus dan bakteri, abses otak, serebritis,
empiema subdural dan epidural dan vena serebral septik atau trombosis sinus. Frekuensi dari
tanda dan gejala yang spesifik bervariasi di antara berbagai jenis Encephalitis. Adanya
serangkaian tanda dan gejala neurologis yang spesifik tidak menjamin diagnosis tegas dari
penyebab spesifik encephalitis.5 Tanda-tanda neurologis fokal paling umum yang terkait
dengan encephalitis termasuk hemiparesis, afasia, ataksia, kelumpuhan saraf kranial,
mioklonus, dan kejang. Temuan neurologis penting lainnya termasuk hilangnya kon trol suhu
dan vasomotor karena disfungsi otonom dan diabetes insipidus atau sindrom sekresi hormon
antidiuretik (SIADH) yang tidak sesuai dihasilkan dari disfungsi hipotalamus. Tanda -tanda
parkinsonisme (bradikinesia, kekakuan, tremor istirahat) mungkin terkait infeksi dengan
flavivirus (dan tanda-tanda frontotemporal seperti afasia, gangguan memori, dan perubahan
kepribadian) mungkin mengarah pada encephalitislimbik dari HSV, infeksi HHV-6, etiologi
neoplastik, atau encephalitis autoimun non-neoplastik. Kejang terjadi pada encephalitis yang
melibatkan korteks (mis, HSV Encephalitis) dan lebih sedikit umumnya dengan infeksi
flavivirus (mis., WNV, St Louis Encephalitis virus, virus Japanese Encephalitis) yang
melibatkan sebagian besar dalam struktur materi abu-abu seperti ganglia basal dan thalamus.
Keterlibatan batang otak dapat terjadi dengan HSV, infeksi enterovirus 71, dan flavivirus
(mis.,WNV).
18
2.3 Pemeriksaan Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam dua
kelompok yaitu:
1). Uji Imunologi Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1
dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme – linked
immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau
indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari
skrining.
2). Uji Virologi Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan
asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji
untuk protein kapsid virus (antigen p24).
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan
edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat
antiretroviral), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan
suportif.4 Obat-obat antiretroviral dapat memperbaiki morbiditas pada HIV dan dapat
memperpanjang survival. Sesuai perkembangan pada terapi HIV terdapat tiga kelas obat
antiretroviral yang telah diakui penggunaannya yaitu: nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTIs), nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), dan protease
inhibitors(PIs). Agar tercapainya penggunaan obat secara potensial maka digunakan paling
sedikit tiga jenis obat dari paling sedikit dua kelas obat antiretroviral. Secara khusus meliputi
dua obat NRTIs dan lainnya satu NNRTIs atau PIs.4 Pengobatan untuk infeksi opportunsitik
bergantung pada penyakit infeksi apa yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh
dengan menggunakan imun restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel
limfosit, dan menambah jumlah limfosit. HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat
disembuhkan secara total, namun data menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS
menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui
19
pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi
opurtunistik.
Terapi Antiretroviral Obat ARV terdiri berbagai golongan seperti :
a). nucleoside reverse transcriptase inhibitor,nucleoside reverse yaitu: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
b). non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan
nevirapin,
c) protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan
diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah
menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala
yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+, obat ini juga direkomendasikan pada
pasien asimtomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimtomatik
dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien
asimtomatik dengan limfosit lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml
terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai
pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000
kopi/ml. Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khu sus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post
exposure prohylaksis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
ARV lini pertama diberikan dalam kombinasi tiga obat sebagai berikut.
- d4T - 3TC - NVP (stavudin – lamifudin - nevirapin)
- d4T - 3TC - EFV (stavudin – lamifudin - efavirens)
- AZT - 3TC - NVP (zidovudin – Iamifudin - nevirapin)
- AZT - 3TC - EFV (zidovudin – lamifudin -efavirens)
20
PRESENTASI KASUS BANGSAL
SCHWANOMA SPINAL
Oleh : Tri Eka Julianto Amrullah
Moderator : dr. Rahmi Ardhini, Sp.S(K)
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. A
Usia : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Alamat : Semarang
Agama : Islam
Perkerjaan : Ibu rumah tangga
No RM : C827839
Tanggal masuk RS : 19 November 2021
III. SUBYEKTIF
ANAMNESIS
1. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan Utama : Nyeri punggung bawah
Onset : ± 6 bulan SMRS
Lokasi : Punggung bawah
Kualitas : Nyeri punggung seperti ditusuk-tusuk, tidak menjalar
21
Kuantitas : Nyeri terus menerus, ADL sebagian dibantu keluarga
Kronologis :
± 6 bulan SMRS pasien mengeluh nyeri punggung bawah. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan
dirasakan hilang timbul. Nyeri tidak menjalar, memberat jika pasien beraktivitas dan
berkurang dengan istirahat atau minum obat dari warung. Kelemahan anggota gerak
disangkal, kesemutan dan terasa tebal disangkal. Penurunan berat badan (+), keluhan diare
(-) sariawan (-) batuk lama (-), benjolan di tulang belakang disangkal, pasien tidak berobat
kemanapun. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
± 2 bulan SMRS, pasien mengeluhkan nyeri punggung bawah dirasakan semakin
bertambah, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan hampir dirasakan setiap hari. Nyeri tidak
menjalar, nyeri memberat dengan berjalan atau aktivitas dan berdiri lama, berkurang jika
pasien duduk dan minum obat penghilang nyeri dari warung. Keluhkan rasa tebal seperti
diikat sabuk di sekitar pusar (-) terasa tebal dari perut sekitar pusar hingga ke kedua ujung
jari kaki disangkal. Kelemahan anggota gerak disangkal. BAB dan BAK dbn. Batuk lama
disangkal (-), demam malam hari disangkal.
± 2 minggu SMRS pasien mengeluhkan nyeri punggung bawah dirasakan semakin hebat.
Tidak berkurang dengan minum obat pereda nyeri dan istirahat. Nyeri hampir dirasakan
sepanjang hari. Rasa melingkar seperti diikat sabuk, rasa tebal dan kesemutan disangkal.
Kelemahan anggota gerak disangkal, namun pasien merasa kedua tungkai agak berat jika
dipakai berjalan, kesemutan dan baal disangkal. BAB dan BAK dbn. Pasien kemudian
berobat ke RS Pantiwilasa dan disarankan MRI tulang belakang. 1 minggu setelah hasil
MRI keluar, pasien kontrol kembali dan untuk dirujuk ke RSDK untuk penanganan lebih
lanjut, dikatakan benjolan didalam saraf belakang.
Faktor yang memperberat : berjalan, berdiri lama, aktvitas
Faktor yang memperingan : minum obat pereda nyeri, istirahat
Gejala penyerta : terasa kesemutan
22
• Riwayat DM (-)
• Riwayat trauma (-)
• Riwayat stroke (-)
• Riwayat TB paru (-)
• Riwayat penggunaan KB (-)
• Riwayat angkat beban berat (-)
V. OBYEKTIF
1. Status praesens
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15
Tanda Vital : TD : 126/91 mmHg
Nadi : 92x/ menit
Pernafasan : 20x/ menit
Suhu : 36.4 o C
NPRS : 4-5
Tinggi badan : 154 cm
Berat badan : 40 kg
BMI : 16.9/m² (kesan : Underweight)
2. Status Internus
Kepala : mesosefal
Mata : kongjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), JVP tidak meningkat
23
Dada
- Jantung : bunyi jantung I, II normal; bising (-), gallop (-)
- Paru : sonor, suara dasar : vesikuler, suara tambahan : ronkhi -/-, wheezing -
Abdomen : supel, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : edema (-), turgor cukup
3. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4 M6 V5 = 15
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Nervi kraniales : dalam batas normal
Leher : sikap lurus, pergerakan bebas, kaku kuduk (-), nyeri tekan (-)
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/+ +/+
Kekuatan : 555/555 333/333
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : ++/++ ++/+++
R.Patologis : -/- -/-
Klonus : -/-
Sensibilitas : hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi dermatom L1-L2
Vegetatif : BAK dbn, BAB dbn
Pemeriksaan tambahan :
Laseque : lebih dari 70/ lebih dari 70
Kernique : Lebih dari 135/lebih dari 135
Bragard : -/-
Sicard : -/-
Patrick : -/-
Kontrapatrick : -/-
24
Hasil laboratorium 20 November 2021 :
Hb 10,7g/dL 11.8 - 15.0 Mg 0.82 mmol/L 0.74 - 0.99
Ht 27.9% 32 – 62 Ca 2.36 mmol/L 2.12 - 2.52
Eritrosit 3.71 10^6/uL 3.1 - 5.4
MCH 23.2 pg 24 - 30 Na 136 mmol/L 136 - 145
MCV 75.2 fL 77 - 95 K 4.2 mmol/L 3.5 - 5.0
MCHC 30.8 g/dL 29 – 36 Cl 104 mmol/L 95 - 105
Leukosit 3.5 10^3/uL 5 - 13.5
Trombosit 444 10^3/uL 150 – 400 Osm 296.6 mOsm
RDW 15.7 % 11.6 - 14.8 FD 0.2L
MPV 8.3 fL 4.00 - 11.00
Kesan :
Normosinus rhythm
HR : 76x/menit
25
X Thorax AP (RSUP Dr. Kariadi 19 November 2021) :
Kesan :
Cor dalam batas normal
Thorax tah tampak kelainan
26
Hasil MRI Lumbosakral Polos 05/11/2021
• Degenerasi diskus L5-S1
• Scoliosis ringan vertebra Lumbal konveksitas ke kiri
• Bulging diskus L5-S1 disertai stenosis ringan foramen neuralis L5-S1 bilateral
• Massa intradural ekstramedulla dengan intensitas signal campuran padat dan cairan
bentuk bulat batas tegas pada setinggi L1-L2 yang menyebabkan indentasi berat
thecal sac dari kanan setinggi Lesi tersebut, ukuran 3.5 x 2.5 cm
V. RINGKASAN :
Subyektif : Seorang wanita 61 tahun datang dengan keluhan nyeri punggung bawah ± 2
tahun SMRS. Nyeri semakin hari semakin dirasakan terus menerus. Pasien mengeluh rasa
seperti terikat sabuk hingga ke daerah pusar. Pasien juga mengeluhkan rasa tebal yang
dirasakan dari ujung jari kaki hingga setinggi pusar. Kelemahan anggota gerak disangkal.
BAB dan BAK dbn, penurunan berat badan (-)
Obyektif :
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran : GCS : E4M6V5 = 15;
Tanda vital : TD : 120/80 mmHg, Nadi : 72x/ menit, RR : 20x/ menit, Suhu : 36.6 oC
NPRS : 4-5
27
Nn.Kraniales : dalam batas normal
Motorik : dalam batas normal
Sensorik : hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi Th9-10
Vegetatif : BAB dan BAK dalam batas normal
Laboratorium : dalam batas normal
X foto thorax : dalam batas normal
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Low back pain
Hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi dermatom
L1-L2
Diagnosis Topis : Medulla spinalis segmen lumbal
Diagnosis Etiologis : Lesi transversal parsial medulla spinalis segmen thoracal ec.
tumor medula spinalis intradural ekstramedular
VII. RENCANA AWAL
Lesi transversal parsial medulla spinalis segmen lumbal ec. tumor medula spinalis
intradural ekstramedular dd schwanoma spinal
IP Dx : Konsul TS Bedah Saraf, TS Rehab Medik, TS Interna KPTI
IP Tx :
IVFD RL 20tpm
Inj. Metilprednisolon 125mg/8jam iv
Inj. Ketorolak 30mg/8jam iv
Inj. Ranitidin 50mg/12jam iv
Gabapentin 100mg/12jam po
Vitamin B1B6B12 1tab/8jam po
IP Mx : tanda vital, defisit neurologis, nyeri
IP Ex :
Menjelaskan kepada penderita tentang penyakit yang diderita, pemeriksaan lanjutan
yang akan dilakukan dan penatalaksanaan selanjutnya.
28
CATATAN PERKEMBANGAN
Kelemahan anggota gerak bawah disangkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan
29
PO Cotrimoksasol 960 mg / 24 jam
IP Tx :
- IVFD RL 20tpm
- Inj. Metilprednisolon 125mg/8jam iv (H2)
- Inj. Ketorolak 30mg iv/8jam
- Inj. Ranitidin 50mg/12jam iv
- Gabapentin 100mg/12jam po
- Vitamin B1B6B12 1tab/8jam po
IP Mx : tanda vital, defisit neurologis, nyeri
IP Ex :
- Menjelaskan kepada penderita tentang penyakit yang diderita, program tindakan
lanjutan yang akan dilakukan dan penatalaksanaan selanjutnya.
30
Vegetatif : BAB dan BAK dbn
A : Lesi transversal parsial medula spinalis segmen lumbal ec. tumor medula spinalis intradural
ekstramedular dd schwanoma spinal
P: IP Dx :
- Raber TS Bedah Saraf – Pro hemilaminektomi L1-2 eksisi tumor + IOM,
menunggu jadwal operasi
- Raber TS Rehab Medik – breathing exercis tanpa tapotase, general ROM
exercise AGA dan AGB bilateral, latihan mobilisasi bertahap
- Raber TS Interna KPTI – Lamivudin Tenovofir Efavirens 1 tab / 24 jam
PO Cotrimoksasol 960 mg / 24 jam
IP Tx :
- IVFD RL 20tpm
- Inj. Metilprednisolon 125mg/12 jam iv (H3)
- Inj. Ketorolak 30mg/8jam iv
- Inj. Ranitidin 50mg/12jam iv
- Gabapentin 100mg/12jam po
- Vitamin B1B6B12 1tab/8jam po
IP Mx : tanda vital, defisit neurologis, nyeri
IP Ex :
- Menjelaskan kepada penderita tentang program tindakan selanjutnya
31
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/+ +/+
Kekuatan : 555/555 333/333
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : ++/++ +++/+++
R.Patologis : -/- -/-
Klonus : -/-
Sensibilitas : hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi dermatom L1-2
Vegetatif : BAB dan BAK dbn
A : Lesi transversal parsial medula spinalis segmen Lumbal ec. tumor medula spinalis
intradural ekstramedular dd schwanoma spinal
P: IP Dx :
- Raber TS Bedah Saraf -- Pro hemilaminektomi L1-2 eksisi tumor – tanggal 26
November 2022 + IOM
- Raber TS Rehab Medik – TENS, Stretching
- Raber TS Interna KPTI – Lamivudin Tenovofir Efavirens 1 tab / 24 jam
PO Cotrimoksasol 960 mg / 24 jam
IP Tx :
- IVFD RL 20tpm
- Inj. Metilprednisolon 125mg/12 jam iv (H6)
- Inj. Ketorolak 30mg/8jam iv
- Inj. Ranitidin 50mg/12jam iv
- Parasetamol 500 mg/8 jam po
- Gabapentin 300mg/12jam po
- Vitamin B1B6B12 1tab/8jam po
IP Mx : tanda vital, nyeri, defisit neurologis
IP Ex :
- Menjelaskan kepada penderita tentang penyakit yang diderita dan penatalaksanaan
selanjutnya tentang tindakan operasi
32
Tgl 26 November 2021 / Perawatan hari - 6
S : Pro operasi hari ini, Nyeri punggung berkurang , kelemahan kedua anggota gerak bawah,
BAB dan BAK dbn.
O : KU : Tampak nyeri ringan , GCS E4M6V5
TD : 130/80 mmHg, N : 88x/menit, RR : 20x/menit, t : 36.4°C, NPRS : 2-3
Status Neurologis :
Kesadaran : GCS E4 M6 V5 = 15
Kepala : mesosefal, nyeri tekan (-), simetris (+)
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Nervi kraniales : dalam batas normal
Leher : sikap lurus, pergerakan bebas, kaku kuduk (-), nyeri tekan (-)
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/+ +/+
Kekuatan : 555/555 333/333
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : ++/++ ++/++
R.Patologis : -/- +/+
Klonus : -/-
Sensibilitas : hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi dermatom L1-2
Vegetatif : BAB dan BAK dbn
A : Lesi transversal parsial medulla spinalis segmen lumbal ec. tumor medula spinalis
intradural ekstramedular dd schwanoma spinal
P: IP Dx :
- Raber TS Bedah Saraf – rencana laminektomi evakuasi tumor, 5 November 2020
pukul 08.00 WIB
- konsul TS Rehab Medik – breathing exercis tanpa tapotase, general ROM
exercise AGA dan AGB bilateral, latihan mobilisasi bertahap
IP Tx :
- IVFD RL 20tpm
- Inj. Metilprednisolon 125mg/24 jam iv (H6)
- Inj. Ketorolak 30mg iv K/P jika NPRS >5
- Inj. Ranitidin 50mg/12jam iv
33
- Parasetamol 500 mg/8 jam po
- Gabapentin 300mg/12jam po
- Vitamin B1B6B12 1tab/8jam po
IP Mx : tanda vital, defisit neurologis, nyeri
IP Ex :
- Menjelaskan kepada penderita program selanjutnya setelah operasi
34
Pemerikaan Post Op Lab 26/11/22 HASIL NILAI NORMAL
HCt 38.1 % 32 – 62
MCH 29.3 pg 27 – 32
MCV 24.9 fL 76 – 96
35
Tgl 27 November 2021 / Perawatan hari – 7
Post Op H1
S : Nyeri punggung masih dirasakan, nyeri pada area operasi, kelemahan kedua anggota
gerak bawah, keukuatan anggota gerak bawah kanan perbaikan, BAB dan BAK dbn.
O : KU : Tampak nyeri ringan, GCS E4M6V5
TD : 100/60 mmHg, N : 77x/menit, RR : 22x/menit, t : 36.5°C, NPRS : 3-4
Status Neurologis :
Kesadaran : GCS E4 M6 V5 = 15
Kepala : mesosefal, nyeri tekan (-), simetris (+)
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Nervi kraniales : dalam batas normal
Leher : sikap lurus, pergerakan bebas, kaku kuduk (-), nyeri tekan (-)
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/+ +/+
Kekuatan : 555/555 444/333
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : ++/++ ++/+++
R.Patologis : -/- -/-
Klonus : -/-
Sensibilitas : hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi dermatom L1-2
Vegetatif : BAB dan BAK dbn
P: IP Dx :
- Raber TS Bedah Saraf
Pemulihan paska op, Ganti balut bila rembes, mobilisasi bertahap, Fisioterapi
Terapi analgetik sesuai TS Anestesi
- Raber TS Rehab Medik – FT:
TENS regio paralumbal bilateral
Breathing exercise
AROM exercise ekstremitas superior
PROM exercise ekstremitas inferior
36
Alih baring tiap 2 jam
mobilisasi bertahap (miring kanan-kiri, duduk dengan sandaran)
OP: LSO Semirigid (lingkar perut = 74,5 cm)
- Raber TS Interna KPTI – Lamivudin Tenovofir Efavirens 1 tab / 24 jam
PO Cotrimoksasol 960 mg / 24 jam
TS Anestesi:
- inj. Ketorolac 30mg/8jam iv selama 2 hari (H1)
- Inj. Metoclopramide 10mg/12jam iv selama 2 hari (H1)
IP Tx :
Neuro:
- IVFD RL 20tpm
- Inj. Metilprednisolon 125mg/24 jam iv (H7)
- Inj. Ketorolak 30mg K/P iv jika NPRS >5
- Inj. Ranitidin 50mg/12jam iv
- Gabapentin 100mg/12jam po
- Vitamin B1B6B12 1tab/8jam po
IP Mx : tanda vital, nyeri
IP Ex :
- Menjelaskan kepada penderita terkait program post operasi, fisioterapi
37
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/+ +/+
Kekuatan : 555/555 444/333
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : ++/++ ++/+++
R.Patologis : -/- -/-
Klonus : -/-
Sensibilitas : hipestesi dari kedua ujung jari kaki sampai setinggi dermatom L1-2
Vegetatif : BAK dan BAB (+)
Status Lokalis :
- Luka tertutup kassa (+), rembes (-)
P:
IP Dx :
- Raber TS Bedah Saraf – mobilisasi miring kiri kanan setiap 2 jam, posisi kepala
lebih tinggi, boleh tidur dengan bantal di kepala, kaki boleh ditekuk -tekuk, diit
bebas, pasang TLSO semirigid, ganti balut tiap 2 hari. menunggu hasil PA
- Raber TS Rehab Medik
FT: TENS regio paralumbal bilateral
Breathing exercise
AROM exercise ekstremitas superior
PROM exercise ekstremitas inferior
Alih baring tiap 2 jam mobilisasi bertahap (miring kanan-kiri, duduk dengan
sandaran)
OP: LSO Semirigid (lingkar perut = 74,5 cm)
- Raber TS Interna KPTI
Lamivudin Tenovofir Efavirens 1 tab / 24 jam
PO Cotrimoksasol 960 mg / 24 jam
IP Tx :
Neuro:
- IVFD RL 20tpm -- aff
- Inj. Ranitidin 50mg/12jam iv – ganti po
38
- Parasetamol 500 mg/8 jam po
- Gabapentin 100mg/12jam po
- Vitamin B1B6B12 1tab/8jam po
IP Mx : tanda vital, nyeri, defisit neurologis
IP Ex :
Menjelaskan kepada penderita tentang perawatan paska operasi, fisioterapu dan
kontrol selanjutnya
39
DECISION MAKING
40
DAFTAR PUSTAKA
41
42