Anda di halaman 1dari 16

KONTAK BAHASA (ARAB PIDGIN) PADA KOMUNIKASI SANTRI

PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR PONOROGO

Miftah Wangsadanureja, miftahwangsa@pelitabangsa.ac.id

Abstrak

Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah menjadi santri di pondok


modern Daarussalam Gontor selama 5 tahun, dimana dalam berkomunikasi sehari-
hari para santri wajib berbahasa Arab dan Inggris. Akan tetapi ada sebuah
fenomena kebahasaan yang akhirnya menjadi bahan penelitian penulis dalam artikel
ini, salah satu fenomena kebahasaan yang dimaksud tersebut adalah adanya kontak
bahasa pada komunikasi santri yang pada akhirnya terjadi perkembangan dan
perubahan bahasa asing tersebut. Jika ditinjau dari segi struktur atau gramatikal
kebahasaan tidak sesuai dengan kaidah kaidah bahasa yang ada.
Disinilah timbul sebuah pertanyaan, salahkan perkembangan dan perubahan
bahasa yang terjadi pada saat kontak bahasa para santri tersebut? Ataukah hal ini
sesuatu yang lumrah dan alamiah terjadi sebagai bentuk dari keadaan sosial budaya
diantara para santri ? Almuhim mafhum salah satu contoh kalimat komunikasi
sesama santri yang memiliki makna : yang penting paham, kalimat itupun pada
akhirnya menjadi sebuah kunci komunikasi sesama para santri di pondok modern
daarussalam Gontor, bagaimana mereka berbahasa asing dengan gaya mereka
yang penting bisa dipahami.
Hasil penelitian ini menghasilkan beberapa penemuan bahwa kontak bahasa
yang terjadi secara alamiah dan dilestarikan oleh para santri gontor dan alumninya
menjadi sebuah bahasa pidgin tersendiri. Yang kedua, santri yang terbiasa
berbahasa pidgin ini lebih mampu berkomunikasi bahasa Arab fasohah dengan baik
dan juga dapat mempengaruhi kemampuan membaca dan menerjemahkan teks-
teks Arab.
Oleh karena itulah atas dasar fenomena di atas penulis sangat tertarik untuk
membuat sebuah artikel yang bertemakan bahasa pidgin pada komunikasi santri
pondok modern Daarussalam Gontor Ponorogo. Melalui pendekatan metodologi
kualitatif semoga kajian ini memberikan pencerahan bagi kita semuanya, terutama
dalam perkembangan dan perubahan bahasa pidgin.

1
Kata Kunci : Pidgin, Komunikasi Berbahasa, Santri Gontor.

A. Pendahuluan
Pondok Modern Daarussalam Gontor Ponorogo merupakan salah satu
lembaga pendidikan keagamaan dengan sistem asrama. Salah satu ciri khas
dari pondok ini adalah seluruh santrinya wajib berbahasa asing, yaitu bahasa
Arab dan bahasa Inggris. Mungkin karena hal itu lah membuat Pondok
pesantren Gontor terkenal dengan sebutan pondok modern.
Pada akhirnya komunikasi bahasa Arab dan Inggris pun sudah
menjadi kewajiban bagi para santri baik digunakan sebagai bahasa
pengantar di dalam kelas dan kegiatan-kegiatan formal lainnya yang terjadi
diluar kelas. Akan tetapi ada suatu fenomena yang menarik untuk dijadikan
bahan penelitan kecil ini, yaitu adanya sebuah fenomena kebahasaan yang
unik yang terjadi di dalam komunikasi kebahasaan di lingkungan santri
Gontor.
Fenomena kebahasaan itu adalah adanya kontak bahasa sesama
santri yang akhirnya terjadi sebuah perubahan bahasa Arab dan Inggris yang
terjadi diluar kegiatan formal tersebut, yaitu komunikasi harian sesama para
santri yang jika diteliti maka komunikasi bahasa tersebut tidak sesuai dengan
struktur grametikalnya ditambah lagi dikarenakan santri Gontor ini berasal
dari berbagai daerah di Indonesa, maka timbul lah variasi bahasa dalam
komunikasi tersebut. Pada akhirnya dalam berbahasa asing baik arab
ataupun inggris tercampuri dengan bahasa indonesia ataupun bahasa
daerah.
Banyak ahli memberikan pendapat mengenai bahasa Pidgin, Holmes
menyebutkan bahwa:
A pidgin is a language which has no native speakers. Pidgins develop as
a means of communication between people who do not have a common

2
language. So a pidgin is no one’s native language. Pidgins seem
particularly likely to arise when two groups with different languages are
communicating in a situation where there is also a third dominant language
(Holmes,2013)

Pidgin menurut Holmes adalah sebuah bahasa yang tidak memiliki


penutur asli, ia berkembang sebagai sarana komunikasi antara orang-orang
yang tidak memiliki bahasa ibu yang sama. Bahasa pidgin sangat mungkin
muncul ketika ada dua kelompok dengan bahasa yang berbeda ingin
berkomunikasi di sebuah situasi dimana bahasa ketiga menjadi bahasa yang
dominan digunakan.

Bahasa pidgin dihasilkan dari kombinasi antara orang-orang yang


bertutur dengan bahasa yang berbeda. Kelompok orang pertama berbicara
dengan bahasa superstrate yaitu bahasa yang berhubungan dengan faktor
sosial, ekonomi yang dominan secara politis, sedangkan kelompok kedua
menggunakan bahasa substrate. Bahasa superstrate menyumbangkan lebih
banyak kosa kata, sedang bahasa substrate mempengaruhi tata bahasanya.

Wardhaugh memiliki pendapat yang sedikit berbeda dari dua pendapat


sebelumnya, ia mendefinisikan: A pidgin is a language with no native
speakers: it is no one’s first language but is a contact language. That is, it is
the product of a multilingual situation in which those who wish to
communicate must find or improvise a simple laguage system that will enable
them to do so (Wardaugh, 2006,h.61).

Pidgin adalah sebuah bahasa yang tidak memiliki penutur asli: bahasa
ini bukan bahasa pertama seseorang, melainkan bahasa pergaulan (contact
language), dan merupakan hasil dari situasi multibahasa, dimana seseorang

3
yang hendak berkomunikasi dengan orang lain harus menemukan cara atau
mengembangkan kode-kode sederhana.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan pidgin adalah variasi


bahasa yang tidak memiliki pentur asli, yang bercirikan penyederhanaan
(simplification), dan lazimnya mengalami penyederhanaan dalam tata bahasa
dan kosakata. Pidgin merupakan sebuah bahasa yang muncul sebagai hasil
interaksi antara dua kelompok yang berbicara dengan bahasa yang berbeda
dan tidak mengerti apa yang dibicarakan satu sama lain, sehingga mereka
menggunakan apa yang dinamakan dengan pidgin ini untuk berkomunikasi.
Salah satu contohnya adalah seorang santri bertutur dengan santri lainya
dalam bahasa Arab pidgin. Bahasa Arab digunakan sebagai dasar dan
lafalnya disesuaikan dengan lidah Indonesia, berikut ini salah satu contoh
kontak bahasa dalam percakapan santri Gontor:
Santri A : Kaifa, Tafham la ad-darsa anifan...? (Bagaimana kamu paham
gak pelajaran tadi)
Santri B : Na’am lah, fahimtu jiddan dzalik.. (ya lah, saya sudah paham
sekali itu)
Jika diteliti dari segi nahwu dan shorof atau grametikal dalam bahasa
Arab maka tentu saja percakapan tersebut tidak sesuai dengan kaidah yang
benar, seharusnya percakapan yang tepat adalah sebagai berikut
Santri A : A fahimta addarsa...?
Santri B : Na’am Fahimtu addarsa..
Bahasa pidgin tercipta agar masing-masing pihak dapat saling
berkomunikasi. Biasanya, bahasa pidgin terjadi dari bahasa penduduk asli
yang bercampur dengan bahasa kaum pendatang. Sumbangan dari bahasa
penduduk asli lebih banyak daripada sumbangan dari bahasa kaum
pendatang, tetapi hal itu tidak bersifat mutlak. Dengan kata lain, bagaimana

4
agar bahasa menjadi lebih mudah diterima/dimengerti oleh kedua belah
pihak.

Kontak bahasa yang terjadi pada komunikasi para santri Gontor


tersebut yang akhirnya menarik untuk diteliti dari ranah sosiolinguistik, sebab
sosiolinguistik mengkaji bahasa yang dikaitkan dengan kondisi
kemasyarakatan. Pride dan Holmes (1972) merumuskan sosiolinguistik
secara sederhana : “ The study of language as part of culture and society”,
yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat. Di sini
ada penegasan bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, bahasa bukan
merupakan suatu yang berdiri sendiri. Bahasa hidup dan berkembang di
tengah kehidupan manusia sesungguhnya, meskipun terkadang tidak
disadari oleh manusia itu sendiri. Suatu bahasa akan tetap lestari jika
masyarakat selalu mempergunakannya dalam peristiwa tutur, sebaliknya
bahasa akan mati bahkan punah jika tidak dipertahankan dan dipergunakan
dalam berbagai peristiwa tutur sehari-hari (Anis Solihatun, 2008)

1. Penelitian Terdahulu
Diantara beberapa penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian
ini adalah sebagaimana yang telah diteliti oleh Laode Abdul Wahab dalam
jurnal Al-Izzah Vol. 9 No.1 tahun 2014 dengan judul penelitan : “Perilaku
Berbahasa Santri Pondok Modern Gontor Pudahoa”. Akan tetapi dalam
penelitian ini ada satu hal yang tidak terdeteksi oleh penliti, yaitu kontak
bahasa para santri dalam berkomunikasi diluar pendidikan formal. Hal ini bisa
dipahami sebab si peneliti ada kemungkinan bukan alumni dari pondok
modern Gontor. Sedangkan saya sebagai peneliti tema Kontak Bahasa pada
komunikasi santri pondok modern Gontor adalah alumni Gontor yang selama

5
lima tahun sudah berada dalam lingkungan pesantren Gontor. Disamping itu
kontak bahasa ini pun terus berlangsung sampai kami sudah menjadi alumni
pondok Gontor. Artinya berbahasa arab pidgin sudah menjadi bahasa
komunikasi yang terus dilestarikan oleh para santri Gontor baik ketika
semasa menjadi santri atau sudah menjadi alumni.
Berdasarkan hasil penelusuran di atas, penulis fokus untuk meneliti
kontak bahasa Arab yang terjadi pada komunikasi santri gontor tersebut,
serta apa kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada kontak bahasa
tersebut.

2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif, yaitu bertujuan untuk
memahami perilaku manusia dengan membangun gambaran yang utuh
tentang setting budaya dan sosial tempat terjadinya perilaku tersebut.
Penelitian ini melibatkan data yang berupa kata kata yang menggambarkan
pandangan orang yang diteliti. Penelitian ini dilakukan melalui interaksi
dalam berkomunikasi pada sebuah komunitas alumni Gontor. Penelitian ini
mencoba memahami apa, bagaimana, kapan, dan di mana peristiwa terjadi
sehingga menghasilkan pemahaman tentang makna, konsep definisi, ciri,
metafora, simbol, atau deskripsi tentang orang yang diteliti (Angrosino, M.V.
2007:1).
Masalah penelitian dirumuskan secara umum pada tahap awal
penelitian dan kemudian difokuskan rumusannya pada saat pengambilan
data. Rumusan awal tersebut berkembang pada saat peneliti sudah memulai
mengumpulkan data atau di tengah seting sumber data. (Bogdan dan Biklen,
1998:2).

6
Perumusan masalah secara umum di awal kegiatan penelitian
kualitatif ini bukan berarti bahwa peneliti tidak memahami variabel masalah
yang akan diteliti. Seperti pada penelitian dengan metode kuantitatif, peneliti
dengan metode kualitatif juga harus mengetahui secara pasti construct dari
variabel atau yang menjadi fokus penelitiannya, walaupun fokus itu boleh
(bisa jadi) akan berkembang (menjadi lebih pasti) pada saat pengumpulan
data sudah dimulai. Peneliti yang akan mengkaji perilaku suatu masyarakat,
misalnya (atau tentang bahasa, moralitas, budaya, sikap, dsb), harus
mengetahui secara pasti apa yang dimaksud dengan perilaku (atau
moralitas, budaya, sikap, bahasa) masyarakat yang akan ditelitinya dan bisa
mengidentifikasi apa yang akan menjadi indikator dari perilaku tersebut.
Pengumpulan data membutuhkan teknik yang merupakan langkah
yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian
adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data,
maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data
yang ditetapkan. Creswell mengatakan bahwa pengumpulan data adalah
rangkaian aktivitas yang saling terkait yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan riset yang muncul.

Mengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai


sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya data dapat
dikumpulkan pada seting alamaiah (natural setting), bila dilihat dari sumber
datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan
sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya dilihat dari segi

7
cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat
dilakukan dengan observasi, interviw, dan dokumentasi.

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Data yang didapatkan pada penelitian ini adalah berupa chat
whastapp grop alumni dari berbagai angkatan, yang dimana hal ini menjadi
salah satu instrumen dalam penelitian ini. Kemudian data observasi diperoleh
secara pribadi penulis mengadakan kontak langsung (melalui chat via
whastaap) baik yang dilakukan dalam grop ataupun melalui jaringan pribadi.
Salah satu kontak bahasa yang terjadi di kalangan para santri Gontor
dapat dilihat dari gambar berikut ini.

Gambar 1: Data percakapan dalam grop Alumni

8
Jika kita amati pada percakapan tersebut, terdapat percakapan chat
diantara alumni santri yang menggunakan bahasa daerah kemudian
dicampur dengan bahasa Arab.
Di sana tertulis kalimat Salatoh matbah aam Ghoiru Jiddan... bahasa
arab seperti ini saya yakin orang Arab asli pun tidak dapat memahaminya.
Kalimat yang ingin diutarakannya adalah sambel dapur umum sangat tidak
enak sekali. Contoh kalimat seperti ini tentu saja sangat bertentangan
dengan kaidah nahwa atau shorof (kaidah bahasa Arab), akan tetapi seperti
yang disebutkan di atas bahwa bahasa Pidgin merupakan sebuah bahasa
yang muncul sebagai hasil interaksi antara dua kelompok yang berbicara

9
dengan bahasa yang berbeda. Contoh lainnya dapat dilihat pada gambar
berikut ini
Gambar 2: Data percakapan dalam grop Alumni

Pada gambar 2, peneliti bertindak langsung menjadi partisipan dalam


komunikasi grop WA tersebut. Ketika penulis menanyakan kepada salah satu
rekan alumni “ente fi aina al’an” kamu dimana sekarang, maka jawabanya
adalah ane fi limbangan sul sama Kiyai Irham.
Pada kalimat yang digaris bawahi bagi orang lain (bukan alumni gontor
baik yang paham bahsa arab dan tidak) belum memamahi apa makna sul
itu..? kalimat sul itu diambil dari kata konsulat. Di Gontor santri yang datang
dari satu daerah atau provinsi biasanya dibuatkan grop konsulat. Agar para
santri yang memiliki permasalah pribadi atau keluarga dapat diselesaikan
dengan orang yang berasal dari daerahnya.

10
Kalimat sul ini pun akhirnya menjadi sebuh bahasa baru bagi santri
gontor, tak jarang kalimat konsul pun dijadikan menjadi bahasa borowing
dalam percakapan mereka, seperti kalimat yang ingin diujarkannya adalah : “
dia adalah santri satu daerah dengan saya”, maka santri Gontor membuat
penyederhanaan bahasa dengan cukup mengatakan : “Huwa Konsuly..”

Gambar 3 : Data percakapan dalam grop Alumni

Pada gambar yang ke 3, terdapat data percakapan yang


mengungkapkan bahwa si partisipan tidak bermaksud untuk membedakan
perbedaan angkatan (marhalah) akhirnya dia pun menulis kalimat : “ana mah
tara ningali warna atanapi marhalah almuhim jamian usroh mafi farqun
bainana illaa taqwa....
Dwi bahasa dalam percakapan tersebut sebenarnya tidaklah
mengapa, asalkan bisa dipahami oleh kedua belah pihak, yang unik disini
adalah kontak bahasa yang digunakan santri gontor dalam berkomunikasi
yaitu dengan mencampurkan atara bahasa pertama sebagai bahasa resmi
keseharian mereka dan bahasa Arab sebagai bahasa kedua atau bahasa

11
asing dalam pergaulan mereka. Pada gambar selanjutnya sepertinya akan
sangat terasa jika anak-anak gontor mampu membuat kebahasaan sendiri
dikalangan mereka dengan mengambil salah satu bahasa indonesia
disematkan atau disisipkan dalam komunikasi bebrhasa arab.
Gambar 4 : Data percakapan chat pribadi

Pada gambar 4, peneliti melakukan percakapan langsung via chat


whastaap secara pribadi kesalah satu alumni angkatan tiga tahun dibawah
penulis. Jika kita baca percakapan diatas ada yang menggunakan dua
bahasa, antara indonesia dan Arab. Bahkan seakan-akan kalimat tersebut
bagian dari bahasa Arab.
Lamma tadz, lam atakalam wa lam ursil sms kazaka. Kalimat yang
digaris bawahi sekiranya sudah dapat dipahami bersama, bahwa kalimat
SMS itu bukan dari bahasa Arab. Akan tetapi dikarenakan keperluan sebuah
percakapan kaimat SMS pun digunakan dalam bahasa Arab, padahal jika

12
mau diteliti SMS atau pesan singkat dalam bahasa Arab bisa disebut juga
dengan ar-risalah.

1. Pendekatan sosiolinguistik terhadap komunikasi Bahasa Arab santri


Gontor.
Terjadinya fenomena kebahasan yang terjadi pada komunikai santri
gontor pada kehidupan sehari-hari mereka memang sangat menarik untuk
diteliti dengan pendekatan sosiolinguistik. Jika dilihat dari segi tata bahasa
maka semua bahasa yang digunakan tersebut hampir menyelisihi tata bahsa
Arab yang benar.
Namun jika ditelaah dengan ilmu sosiolingusitik yang lainnya, maka
kita tidak bisa serta merta menyalahkan fenomena kebahasaan tersebut.
Justru hal itu akan menjadi bahasa tersediri dikalangan santri gontor dan
alumninya, yaitu bahasa Arab Pidgin ala Gontor.

2. Santri yang terbiasa berbahasa Arab Pidgin memiliki kepercayaan


diri dalam berkomunikasi dan dapat menerjemahkan teks berbahasa
Arab.
Selain instrumen dengan menggunakan chat wahtsaap, penulis pun
mengadakan tes tulis kepada 23 mahasiswa S1 STAI al-Hidayah Bogor
semseter 3 dimana salah satu diantara mereka ada yang berasal dari pondok
cabang Gontor, yaitu pondok Modern As-Salam Sukabumi.
Soal ujian dibuat menjadi 4 bagian. Bagian A percakapan, Bagian B
Tasrifan (nahwu shorof), bagian C memberi syakal (harkakat) pada teks Arab
gundul serta menterjemahkannya. Sebagaimana ciri khas penelitian kualitatif
maka sampel diambil dari beberpa kelompok saja. Dari 23 mahasiwa yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 5 orang dengan dua kelompok.

13
Yang satu mahasiswa berasal dari pondok Gontor dan kelompok yang kedua
mahasiswa dari pondok tradisional (salafy) dan mahasiswa yang tidak pernah
mondok (lulusan SMA atau SMK)
Setelah dilakukan tes tulis tersebut didapatkan data nila mahasiswa
sebagai berikut :

Tabel 1 : Data Nilai Bahasa Arab


1 Abdul Aziz 76
2 Ancha Surya Ramadhan 51
3 Cep Badru Jaman 56
4 Cipto Pambudi 66
5 Fauzi Rahman 59

Sengaja penulis menebalkan salah satu nilai mahasiswa. Yaitu nilai


Abdul Aziz yang mendapatkan 76. Abdul Aziz adalah mahasiswa yang
berasal dari pesantren Gontor, sedangkan sisanya adalah mahasiswa yang
berasal dari pondok tradisional dan lulusan SMA/SMK.
Deskripsi analisis dari data nila ini adalah, Abdul Aziz mendapatkan
nilai tertinggi dari kelompoknya. Nilai percakapan mempengaruhi kepada nilai
yang ada poin B yaitu pentasrifan (nahwu shorof) kemudian hal ini akan
mempermudah dia dalam pemberian harakat serta penerjemahan.
Sedangkan yang lain, hampir rata rata semua mendapatkan nilai A
pada soal percakapan, akan tetapi pada poin B yang berkaitan tentang
tasrifan atau perubahan kata ganti banyak yang salah, otomatis di dalam
mensyakal (peberian harakat) dan menerjemhakannya akan mengalami
kesulitan.
Abdul Aziz dikarenakan terbiasa berbicara bahasa Arab walau pun
salah secara grametikal tetapi pada susunan kata ganti dia sangat

14
mengetahuinya, dia bisa membedakan mana kalimat untuk mudzakar (laki-
laki) dan mana kalimat untuk muanats (perempuan).
Dari data ini dapat diambil hipotesis bahwa santri yang terbiasa
dengan bahasa pidgin memiliki keprcayaan diri dalam berkomunikasi bahasa
Arab yang fushah serta dapat membaca dan menerjemahkan teks-teks
berbahasa Arab.

C. Simpulan dan saran


Dalam sebuah komunikasi tentunya kita tidak bisa menghindar dari
sebuah kontak bahasa. Kontak bahasa yang terjadi sesama kita terpengaruhi
oleh lingkungan yang ada.
Begitupula yang terjadi pada kontak bahasa para santri Gontor dan
alumninya, sehingga timbulah fenomena kebahasaan ciri khas anak-anak
Gontor, yaitu bahasa Arab pidgin alias bahasa arab turunan yang hanya bisa
dipahami oleh komunitas santri gontor dan alumninya.
Bahasa pidgin ini ada kelebihan dan kekurangan, kelebihannya akan
menimbulkan kepercayaan diri untuk terus berkomunikasi dengan orang
asing, mempermudah membaca dan memahami teks-teks yang berbahasa
Arab.

Daftar Pustaka
Janet Holmes, An Introduction to Sociolinguistics, Fourth Edition, (London:
Routledge, 2013), h. 85.
Wardaugh, Ronald An Introduction to Sociolinguistic, Fifth Edition, (USA:
Blackwell Publishing, 2006), h. 61.
Arikunto, S. P. (2010). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.

15
Ainin, M. P. (2007). Metodologi Penelitian Bahasa Arab. Pasuruan: Hilal
Pustaka.

Sholihatin, Anis. (2008). Pemilihan Kode Pada Masyarakat Keturunan


Arab di Noyontaan, Kota Pekalongan: Kajian Sosiolinguistik. Tesis.

Emzir, P. D. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif &


Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pres

IAIN Sunan Gunung Djati. (2013) Panduan Akademik, Penulisan Tesis


& Disertasi, Kartu Rencana Studi. Bandung.

16

Anda mungkin juga menyukai