Anda di halaman 1dari 4

PENGARUH PEMAKAIAN BAHASA JAKSEL DI KALANGAN MAHASISWA

SAAT INI TERHADAP EKSISTENSI BAHASA INDONESIA SEBAGAI


BAHASA PERSATUAN

Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa merupakan suatu fenomena sosial yang
dimiliki oleh suatu kelompok tertentu. Terbentuk atas dasar kesepakatan bersama antar
anggota kelompok tersebut. Bahasa memiliki peranan yang vital dalam kehidupan
bermasyarakat. Tidak hanya menjadi alat untuk berkomunikasi antar manusia. Bahasa
sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Proses tersebut
menggunakan bahasa sebagai media penyampaian buah pikiran seseorang agar
diketahui dan memperoleh respon dari orang lain (Saddhono, 2012). Bahasa juga
memengaruhi budaya. Bahasa menjadi sarana pengembangan kebudayaan, jalur
pelestari budaya, dengan bahasa memungkinkan untuk mengembangkan suatu
kebudayaan. Selain sebagai sarana komunikasi bahasa juga merupakan sarana manusia
untuk menyampaikan pemikiran atau penalaran, sikap dan perasaannya (Ningsih, 2014).
Dalam pemakaiannya bahasa menjadi sangat beragam, karena bergantung pada
kebutuhan dan tujuan komunikasi. Dengan adanya keberagaman penggunaan bahasa
tersebut, kemudian memunculkan konsep penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Dalam hal ini bahasa yang dimaksudkan adalaha bahasa Indonesia. Berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan faktor-faktor
penentu komunikasi dan benar dalam penerapan aturan kebahasaannya (Setyawati,
2013). Namun dengan seiring pesatnya kemajuan teknologi, ada banyak cara yang
dipilih pemakai bahasa dalam berkomunikasi.
Dalam era globalisasi saat ini, jati diri bahasa Indonesia yang merupakan ciri
dari Bangsa Indonesia harus terus dipertahankan eksistensinya. Hal tersebut harus
dilaksanakan, karena menurut pernyataan (Syarfina, 2015) bahwa era digital yang
menuntut penguasaan teknologi dan bahasa asing pada berbagai bidang kehidupan saat
ini makin meminggirkan posisi bahasa Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari
bagaimana pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar sudah jarang di kalangan
mahasiswa. Dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya baik di media sosial
ataupun di kehidupan nyata mereka kerap menggunakan bahasa gaul atau yang dikenal
semacam bahasa Jaksel.
Penggunaan bahasa gaul seperti bahasa jaksel di kalangan mahasiswa, menurut
saya di pengaruhi dengan adanya teknologi canggih saat ini seperti smartphone. Melalui
gadget yang bisa digunakan dan diakses kapan saja, masyarakat secara luas mempelajari
berbagai jenis dan bentuk tatanan bahasa. Salah satu bahasa yang sedang tren di
kalangan remaja adalah bahasa yang memiliki plesetan atau campuran dari bahasa
inggris dan bahasa indonesia. Mereka menggunakan bahasa blasteran tersebut
dikarenakan melihat dari seperti apa kehidupan anak, remaja, orang tua di daerah jakarta
selatan yang terlihat keren dengan keglamourannya dalam penggunaan bahasa blasteran.
Meninjau dari penyalahgunaan bahasa di kalangan remaja tersebut, penulis ingin
memberikan kajian bagaimana pentingnya menjaga tatanan bahasa sebagai millenial
atau gen perubahan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kemudian memberikan penjelasan mengenai pengaruh yang diberikan terhadap
penggunaan bahasa gaul atau bahasa Jaksel terhadap eksistensi bahasa indonesia
sebagai bahasa persatuan.

Pembahasan
Setiap orang mungkin tidak diwajibkan untuk mempelajari aturan - aturan tata
bahasa dengan seksama. Namun dalam batas - batas tertentu setiap orang harus mampu
menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi. Tata bahasa merupakan aturan - aturan
yang dipergunakan dalam menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi. Aturan - aturan
tersebut mengatur setiap penutur agar dia berbahasa secara baik dan benar sehinggga
komunikasi lebih efektif. Dapat dikatakan bahwa kalangan remaja seperti mahasiswa
tentunya akan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa gaul kepada orang yang
terdekat dengan mereka yang memiliki usia yang hampir sama. Karena teman
sepermainan dan teman sebaya biasanya adalah mereka yang sering atau selalu
bersama-sama dan yang memiliki beberapa kesamaan baik itu usia ataupun tempat
bermain dan topik-topik yang biasa mereka bahasa dalam kebersamaan mereka. Selain
itu, dengan teman sebaya, para pengguna bahasa gaul membentuk suatu komunitas yang
kelihatan berbeda dengan orang lain. Ini terbukti dengan pernyataan repsonden yang
beberapa ada mengatakan bahwa bahasa gaul digunakan hanya untuk bercanda atau
untuk mencairkan suasana dan untuk menunjukkan keakraban mereka. Ini menunjukkan
bahwa responden memang jarang menggunakan bahasa gaul. Mereka menggunakan
bahasa gaul hanya pada kondisi tertentu. Mereka hanya sekadar mengetahui, namun
tidak banyak mengetahui. Hal ini agar mereka tidak dikatakan kurang pergaulan.
Bahasa gaul juga digunakan untuk tidak menyinggung perasaan orang lain karena
banyak orang lain yang tidak paham dengan bahasa gaul sehingga orang tersebut tidak
mengetahui apa yang sedang dibicarakan. Terdapat juga pernyataan dari responden
yang menyatakan bahwa akan dianggap tidak sopan jika menggunakan bahasa gaul.
Oleh sebab itu mereka hanya menggunakan bahasa gaul dengan teman sebaya. Dari data
yang diperoleh, peneliti juga menemukan bahwa responden lebih sering menggunakan
bahasa gaul secara lisan dibanding tulisan. Yang menjadi alasannya adalah mereka
menganggap bahwa bahasa gaul sangat sulit dibaca dan dimengerti maknanya, terlalu
ribet dan berlebihan sehingga selain akan menyulitkan diri sendiri dalam menuliskannya
juga akan menyulitkan orang lain dalam memahaminya.
Berdasarkan observasi yang dilakukan mengenai bagaimana pengaruh dari adanya
penggunaan bahasa gaul, blasteran atau Jaksel terhadap eksistensi bahasa Indonesia,
maka penulis merangkum dalam beberapa poin berikut:
1. Mahasiswa cenderung tidak lagi mau mengenal bahasa baku sehingga
kehilangan patokan dan bimbingan untuk memakai bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
2. Mahasiswa saat ini tidak diajarkan lagi pemakaian Ejaan Yang Di sempurnakan
(EYD).
3. Mahasiswa beranggapan bahwa dirinya sudah menguasai dengan baik dan benar
tatanan bahasa, sehingga merasa tidak lagi perlu mempelajarinya lebih lanjut.
4. Mahasiswa tidak terbiasa atau justru menjadi enggan menggunakan bahasa
Indonesia baku dikarenakan sulit untuk memahaminya. Sementara bahasa
Indonesia adalah bidang pendidikan yang harus dipahami dalam melakukan
berbagai pekerjaan antara lain surat menyurat, pembicaraan resmi, tulisan
akademik, dll.
5. Pudarnya rasa bangga dalam diri setiap mahasiswa Indonesia untuk dapat
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, sementara mereka
sudah terbiasa dengan bahasa pergaulan yang lazim digunakan.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahasa gaul memiliki pengaruhkuat
terhadap perkembangan berbahasa Indonesia, umumnya dalam hal bertutur kata. Bahasa
yang digunakan oleh remaja ini muncul dari kreativitas mengolah kata baku dalam
bahasa Indonesia menjadi kata tidak baku dan cenderung tidak lazim.

Penutup
Banyaknya Mahasiswa saat ini yang menggunakan bahasa gaul, singkatan-
singkatan dalam komunikasinya sehari- hari adalah penyimpangan dari penggunaan
Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan Bahasa Indonesia. Kurangnya kesadaran untuk mencintai dan
menggunakan Bahasa Indonesia di negeri sendiri akan berdampak lunturnya atau
hilangnya Bahasa Indonesia dalam penggunaan nya dalam masyarakat terutama di
kalangan remaja. Apalagi dengan maraknya dunia kalangan artis menggunakan bahasa
gaul di media sosial dan elektronik, membuat remaja seperti mahasiswa yang notabenya
memiliki dunia sosial lebih luas menjadi semakin sering menirukannya di kehidupan
sehari-hari.

Daftar Pustaka
Azizah, A.R. (2019). Penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Gaul di Kalangan
Remaja. Jurnal Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia, 5(2), 33-39.
Febrianti, Y.F. (2021). Penggunaan Bahasa Gaul Terhadap Eksistensi Bahasa Indonesia
Pada Masyarakat. Jurnal Ilmu Pendidikan, 2(1), 43-48.
Suleman, Joko., Islamiyah, E.P.N. (2018). Dampak Penggunaan Bahasa Gaul di
Kalangan Remaja Terhadap Bahasa Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Bahasa dan Sastra, 153-158.

Anda mungkin juga menyukai