Anda di halaman 1dari 4

Pengantar Hermeneutika Alquran

Oleh: Asep Munawar Iqbal, M. Ud.

‫ُوا ِإلَى َأ ْهلِ ِه ُم‬ ْ ‫﴾ َوِإ َذا انقَلَب‬٣٠﴿ َ‫وا بِ ِه ْم يَتَغَا َم ُزون‬
ْ ُّ‫﴾ َوِإ َذا َمر‬٢٩﴿ َ‫وا ِمنَ الَّ ِذينَ آ َمنُوا يَضْ َح ُكون‬ ْ ُ‫ِإ َّن الَّ ِذينَ َأجْ َر ُموا َكان‬
َ‫م الَّ ِذين‬4َ ْ‫﴾ فَ ْاليَو‬٣٣﴿ َ‫﴾ َو َما ُأرْ ِسلُوا َعلَ ْي ِه ْم َحافِ ِظين‬٣٢﴿ َ‫ضالُّون‬ َ َ‫ ِإ َّن هَُؤاَل ء ل‬4‫﴾ َوِإ َذا َرَأوْ هُ ْم قَالُوا‬٣١﴿ َ‫ُوا فَ ِك ِهين‬ ْ ‫انقَلَب‬
٣٦﴿ َ‫ب ْال ُكفَّا ُر َما َكانُوا يَ ْف َعلُون‬ َ ‫﴾ هَلْ ثُ ِّو‬٣٥﴿ َ‫ك يَنظُرُون‬ ِ ‫﴾ َعلَى اَأْل َراِئ‬٣٤﴿ َ‫ار يَضْ َح ُكون‬ ِ َّ‫وا ِمنَ ْال ُكف‬
ْ ُ‫﴾آ َمن‬
(QS. Al-Muthaffifin [83]: 29-36)

Hermeneutika adalah istilah yang belakangan ini menjadi populer di bidang hukum,
sastra, teologi, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial humaniora. Sebagai sebuah metode
penafsiran teks, hermeneutika modern lahir dari kegagalan modernisme yang
mengusung dualisme sekuler dan pemutlakan tunggal pada rasio. Penerapan
hermeneutika yang mencakup beragam bidang yang bersaling-silang dan
bertumpang-tindih dapat membingungkan pembelajar pemula.

Di tengah saling-silang dan tumpang-tindih itu, hermeneutika digunakan secara tidak


bertanggungjawab sebagai metode baru tafsir Alquran. Hermeneutika sebagai metode
penafsiran Alquran oleh kalangan liberal dan sekular digunakan secara serampangan
dan gegabah sehingga menimbulkan kontroversi yang menutupi fungsi dan tujuan
Alquran diturunkan.

Memaksakan menggunakan metode hermeneutika dalam tafsir Alquran oleh kalangan


liberal bersamaan dengan arus postmodernisme di kalangan intelektual. Arus
pemikiran postmodernisme memang bermaksud meruntuhkan atau paling tidak
“memperbaiki” tradisi modernisme yang diantara cirinya adalah kebenaran tunggal
dan pemutlakan sesuatu secara universal. Dalam pandangan para pemikir
postmodernisme kondisi modern kini sudah keluar dari cita-cita awalnya sebagai
gerakan pencerahan (aufklarung). Kondisi modern kini mengalienasi manusia dari
hakikat kemanusiaannya. Untuk itu bangunan epistemologi Barat haruslah
didekonstruksi. Semangat mendekonstruksi inilah yang paling menggairahkan
kalangan intelektual muda. Sayangnya, filsafat dekonstruksi yang dipopulerkan
Derrida tidak semudah itu dipahami. Para intelektual muda itu alih-alih
mendekonstruksi, mereka malah mendestruksi. Para intelektual tanggung itu merasa
bangga telah menjadi bagian dari tradisi baru postmodern yang wujudnya baru
mereka hancurkan dengan tak sadar.

Ayat dalam pengantar di atas sedikit menggambarkan situasi para intelektual


tanggung itu. Mereka menertawakan tradisi “konservatif” dan melecehkannya,
padahal mereka tidak ditugaskan atau mengambil peran sebagai penjaga tradisi itu.
Mereka mengklaim memiliki pandangan paling terdepan, paling progressif.
Pertanyaan berikutnya yang perlu disampaikan dalam pengantar ini adalah apakah
semua pemikiran hermeneutika tidak bisa diaplikasikan terhadap Alquran. Menurut
hemat saya tidak begitu. Banyak produk pemikiran ulama-ulama terdahulu yang
sejalan dengan hermeneutika. Hanya saja mereka tidak menjelaskan metodologi
penalaran mereka sebagai sebuah model metode tertentu. Cermati tulisan Imam
Bukhori di bawah ini:

‫ عن‬،‫ عن الزهري‬،‫ حدثني الزبيدي‬:‫ حدثني محمد بن حرب‬:‫ حدثنا أبو مسهر قال‬:‫ قال‬4‫حدثني محمد بن يوسف‬
‫ من‬،‫ وأنا ابن خمس سنين‬،‫ عقلت من النبي صلى هللا عليه وسلم مجة مجها في وجهي‬:‫محمود بن الربيع قال‬
.‫دلو‬

Imam Bukhori memasukan hadits di atas ke dalam bab batas minimal usia
pengetahuan seseorang. Makna hadits yang diambil Imam Bukhori bukanlah makna
objektif dari sang penutur. Imam Bukhori menggunakan sepenggal hadits tersebut
untuk kepentingannya menyusun Kitab Pengetahuan (Kitab al-‘ilm). Jadilah hadits itu
dimaknai sebagai batas minimal usia ingatan pengetahuan seseorang. Hadits tersebut
berfusi dalam horizon pengetahuan Imam Bukhori. Cara kerja Imam Bukhori sejalan
dengan cara kerja hermeneutika Gadamerian.

Kisah lain. Ibnu Hajar Al Ashqalani di dalam kitab Fath Al Baari mengutip sebuah


atsar dari Imam Al Hasan Al Bashri bahwa ada empat rombongan tamu yang datang
secara terpisah kepada beliau untuk meminta nasihat.

Tamu yang pertama datang mengeluhkan tentang masa paceklik yang terjadi di
daerahnya dan sudah meresahkan masyarakat. Lalu, sang Imam berpesan kepada
tamunya itu untuk beristighfar kepada Allah SWT.

Selang beberapa saat, Imam Al Bashri kedatangan tamu kedua. Tamunya


menyampaikan keinginan agar dapat terbebas dari kefakiran atau kemiskinan yang
melilit keluarganya. Kepada tamu ini, beliau memberikan nasihat untuk senantiasa
beristighfar kepada Allah SWT.

Beberapa waktu kemudian, datang lagi tamu berikutnya yang menyampaikan keluh
kesah bahwa di sekitar tempat tinggalnya sedang terjadi kekeringan disebabkan tidak
turunnya hujan. Kembali, Imam Al Bashri menyampaikan petuah padat kepada
tamunya untuk memperbanyak istighfar kepada Allah SWT.

Tidak lama setelah tamunya yang ketiga meninggalkan kediaman Imam Al-Bashri,
beliau kembali kedatangan tamu. Tamunya yang keempat ini menyampaikan harapan
yang sudah lama mereka dambakan, yaitu ingin memiliki keturunan dari pernikahan
yang telah mereka jalani. Dan, ungkapan singkat yang disampaikan beliau adalah
perbanyak istighfar kepada Allah SWT.

Tanpa disengaja, keempat rombongan tamu itu bertemu di suatu tempat dan saling
menceritakan keluh kesah mereka. Karena merasa mendapatkan nasihat yang sama,
lantas muncul persepsi bahwa sang imam menggeneralisasi seluruh permasalahan
dengan memberikan satu jawaban. Dengan sedikit emosi, mereka bersepakat kembali
ke kediaman sang imam guna meminta penjelasan.

Sesampainya di rumah Imam Al Bashri, mereka dipersilakan masuk. Setelah


mendengarkan kembali keluhan tamunya, sang imam mengajak mereka menyimak
QS Nuh [71] ayat 10-12.

ٍ ‫م بَِأ ْم َو‬4ْ ‫﴾ َويُ ْم ِد ْد ُك‬١١﴿ ً‫﴾ يُرْ ِس ِل ال َّس َماء َعلَ ْي ُكم ِّم ْد َرارا‬١٠﴿ ً‫ت ا ْستَ ْغفِرُوا َربَّ ُك ْم ِإنَّهُ َكانَ َغفَّارا‬
‫ال َوبَنِينَ َويَجْ َعل لَّ ُك ْم‬ ُ ‫فَقُ ْل‬
﴾١٢﴿ ً‫ت َويَجْ َعل لَّ ُك ْم َأ ْنهَارا‬ ٍ ‫َجنَّا‬

Ayat di atas menceritakan curhat Nabi Nuh kepada Tuhannya tentang usaha
dakwahnya yang keras namun tak membuahkan hasil. Namun Imam Hasan al-Bashri
tidak mengambil makna objektif teks ayat sebagai dasar nasehat yang ia berikan
kepada para tamunya. Makna teks ayat di atas berfusi dalam horizon pemikiran sang
Imam dan masalah yang dialami umat.

Baik Imam Bukhori maupun Imam Hasan al-Bashri mempraktikkan apa yang kini
disebut hermeneutika. Namun praktik yang mereka lakukan sangat berbeda dengan
destruksi para intelektual tanggung Posmo separo. Imam Bukhori dan Imam Hasan
al-Bashri berangkat dari tradisi ontologis yang mengafirmasi kedudukan Alquran dan
sunnah sebagai sakral, bukan dari tradisi dualisme sekular. Keduanya berangkat dari
tradisi Alquran sebagai pusat kehidupan, bukan sebaliknya, realitas budaya yang
membentuk pemaknaan Alquran.

Perbedaan landasan ontologis ini penting disadari dan dipahami karena menentukan
pijakan landasan epistemologis berikutnya, dan landasan metodologis berikutnya lagi.
Penggunaan hermeneutika sebagai alat bukan hanya tergantung kepada penguasaan
skill keterampilan penggunanya, tetapi juga pemahaman tentang karakter alat
tersebut.

Landasan Ontologis

Landasan Epistemologis

Metodologi Penelitian

Metode Hermeneutika
Para posmo separo masuk ke hermeneutika dari pintu tradisi dualisme epistemologi
Barat Modern yang menafikan realitas metafisika. Mereka mengandaikan realitas
secara mutlak sebagaimana tradisi modern dengan segala masalahnya.

Di pintu lain, tradisi linguistik struktural modern berlanjut ke post-struktural.


Mereka menjelma menjadi studi semiotika dan hipersemiotika yang seirama dengan
arus postmodernisme. Dalam hal mendekonstruksi, tafsir makna atau hermeneutika
para post-strukturalis lebih teoritis.

Geisteswissenchaften atau ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjauh dari tradisi


positivisme ilmu-ilmu alam. Realitas alam berbeda dengan realitas sosial dan
humaniora. Untuk memahami ilmu sosial humaniora seperti praksis keagamaan,
diperlukan hermeneutika.

Pintu masuk ke dalam hermeneutika, dengan demikian menjadi penting karena akan
mempengaruhi cara kerja hermeneutika ketika digunakan untuk menganalisis teks
Alquran maupun praktik resepsi Alquran di masyarakat. Dan selain pintu-pintu
masuk, yang tak kalah pentingnya lagi adalah pintu-pintu keluar, orientasi dan
tujuan menggunakan hermeneutika.

Saya ingin menutup pengantar ini dengan QS. Al-Isra [17]: 80-82;

‫﴾ َوقُلْ َجاء‬٨٠﴿ 4ً‫صيرا‬ ِ َّ‫ ن‬4ً‫ق َواجْ َعل لِّي ِمن لَّ ُدنكَ س ُْلطَانا‬ ٍ ‫ص ْد‬ ِ ‫ ُم ْخ َر َج‬4‫ق َوَأ ْخ ِرجْ نِي‬ ِ ‫َوقُل رَّبِّ َأ ْد ِخ ْلنِي ُم ْد َخ َل‬
ٍ ‫ص ْد‬
‫آن َما ه َُو ِشفَاء َو َرحْ َمةٌ لِّ ْل ُمْؤ ِمنِينَ َوالَ يَ ِزي ُد‬ ِ ْ‫﴾ َونُن َِّز ُل ِمنَ ْالقُر‬٨١﴿ ً ‫اط ُل ِإ َّن ْالبَا ِط َل َكانَ زَ هُوقا‬
ِ َ‫ق ْالب‬َ َ‫ق َو َزه‬ ُّ ‫ْال َح‬
﴾٨٢﴿ ً‫الظَّالِ ِمينَ َإالَّ خَ َسارا‬

Anda mungkin juga menyukai