Anda di halaman 1dari 9

Pintu-pintu Masuk Hermeneutika

Oleh: Asep Munawar Iqbal, M. Ud.

١١٤﴿ ً ‫ضى ِإلَ ْيكَ َوحْ يُهُ َوقُل رَّبِّ ِز ْدنِي ِع ْلما‬
َ ‫ق َواَل تَ ْع َجلْ بِ ْالقُرْ آ ِن ِمن قَ ْب ِل َأن يُ ْق‬
ُّ ‫ك ْال َح‬
ُ ِ‫ هَّللا ُ ْال َمل‬1‫﴾فَتَ َعالَى‬
(QS. Thaha [20]: 114)

Hermeneutika dewasa ini menjadi kajian yang sexy di berbagai bidang ilmu yang
berkaitan dengan studi teks dan studi-studi lain yang bisa ditekskan. Sebelumnya,
hermeneutika adalah jalan keluar atau solusi dari keterbatasan epistemologi modern
yang ternyata berefek samping kepada ketidakmanusiawian manusia. Epistemologi
Barat Modern yang dualistis subjek-objek telah ditentang beberapa arus pemikiran
yang kemudian bersinggungan dengan studi hermeneutika.

Sebelum lebih jauh perlu diketahui latarbelakang merebaknya kembali studi


hermeneutika akibat epistemologi modern yang berefek samping negatif terhadap
kehidupan manusia.

Epistemologi Barat Modern Dengan Segala Kebaikan dan Permasalahannya.

Secara ringkas Ahmad Tafsir menggambarkan perkembangan epistemologi


Barat dalam wujud pengetahuan sains seperti di bawah ini:
Perkembangan sains didorong oleh paham Humanisme. Humanisme ialah paham filsafat
yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul
pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur
manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi
kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan
aturan.
Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila
alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak
mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah
kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat
membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan
itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi,
manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.
Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau
mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.
Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk
mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat
aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan
agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang
lain salah. Jadi, seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang
menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira
mereka berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang
ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu,
kedua, karena akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika
alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati.
Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme.
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji
apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Nah, dengan akal itulah
aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu
bersumber pada akal.
Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan.
Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. Padahal ini dan itu itu tidak sama,
bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat
membuktikan bahwa bergerak sama dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak
panah yang melesat dari busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak?
Bergerak ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran. Jadi, anak
panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam ialah bila sesuatu pada
sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu setiap saat berada di suatu tempat. Jadi,
anak panah itu diam. Ini pun benar, karena argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan
diam, sama-sama logis.
Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis tidak
menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati.
Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.
Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis
dan ada bukti empiris.
Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab
secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut Anda menghadang
anak panah itu, perut anda akan tembus, benda yang menembus sesuatu haruslah benda yang
bergerak. Ya, memang, sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.
Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat.
Tetapi nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisisme
ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata
Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini
sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi,
matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan konsep yang
sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih diperlukan alat
lain. Alat lain itu ialah Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang
terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi, hal panas tadi oleh Positivisme
dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini
1000 derajat celcius, ini satu meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-
ukuran ini operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana Anda
lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang kita miliki sekarang
bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan pinggul sekarang ini ada ukurannya,
katanya, ini dalam kerangka ukuran kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat
dioperasikan. Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.
Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur
manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang
terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode
Ilmiah. Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah
hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah mengatakan, untuk
memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificatif.
Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika
itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara
teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset
menghasilkan Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi
terakhir – dan memang operasional – dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam)
tadi.
Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil
penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai
bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah
pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang
diuraikan di atas ialah sebagai berikut:
Humanisme

Rasionalisme

Empirisme

Positivisme

Metode Ilmiah

Metode Riset

Model-model Penelitian

Aturan untuk mengatur Alam Aturan untuk Mengatur Manusia

Pasasi panjang di atas meringkas perjalanan panjang perkembangan sains


yang bertumpu pada epistemologi sejak abad 5 SM sampai awal abad 20 M. Dari
sejarah ringkas di atas tampak upaya-upaya yang dilakukan manusia untuk
mendapatkan jawaban yang paling memuaskan dan menenteramkan dari
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupannya. Pertanyaan-pertanyaan itu
muncul dari permasalahan-permasalahan kehidupan yang menggannggu
kenyamanan hidup sehingga perlu segera direspons.
Bibit masalah epistemologi Barat Modern sudah muncul sejak awal dalam
filsafat Humanisme. Dalam humanisme, manusia membuat jarak antara dirinya
sebagai manusia dan bukan manusia. Hakikat dirinya sebagai manusia dibedakan
dengan hal-hal di sekitarnya yang bukan manusia. Dalam humanisme klasik terjadi
peralihan hakikat kemanusiaan dari kosmosentris menjadi antroposentris. Dalam
humanisme klasik hakikat kemanusiaan masih kolektif, namun dalam humanisme
modern, hakikat kemanusiaan itu menjadi individual. Hakikat manusia itu menjadi
diri individual yang berbeda dengan manusia yang lain. Manusia modern membuat
jarak dengan manusia lainnya. Ketika terjadi penjarakan, muncul dualisme subjek –
objek. Subjek yang berakallah yang menjadi pusat sedang yang lainnya hanya
perluasan subjek. Objek hanya bermakna sejauh mana digunakan oleh subjek. Di
sinilah awal petaka itu, ketika manusia membeda-bedakan manusia.
Sejak Descartes, sudah muncul “kuasa” subjek yang sangat determinan
terhadap objek. Melalui kolonialisme, “kuasa” subjek bangsa Eropa mengklaim
berhak membentuk takdir bangsa jajahan. Oposisi biner ini merasuk dalam berbagai
hal kehidupan sosial. Tuan dan budak, Majikan dan buruh, Dosen dan mahasiswa,
Senior dan junior, Orang tua dan anak, Lelaki dan perempuan, pemerintah dan
rakyat, mobil gede dan mobil leutik, mobil teuas dan mobil hipu, dst.
Kuasa subjek juga merambah pada produksi kebenaran. Bahwa hanya ada
satu kebenaran tunggal; yaitu kebenaran versi subjek; kebenaran akliah. Kebenaran
di luar akal seperti tubuh, alam, rasa, naluri dan tradisi harus tersingkir. Kebenaran
tunggal ini diberlakukan secara universal di seluruh belahan dunia dan diseluruh
aspek kehidupan manusia. Beberapa pandangan merasa perlu memaksakan
pandangan ini dalam bentuk totalitarianisme.
Ketika manusia membuat jarak dengan non-manusia, terjadi juga pengurangan
realitas. Manusia yang sebelumnya menjadi bagian dari realitas kosmos mulai
dikecualikan. Dalam rasionalisme, yang diakui sebagai realitas adalah realitas yang
logis. Dari realitas yang logis itu dikurangi lagi oleh empirisme dengan yang empirik.
Realitas yang logis dan empiris itu dikurangi lagi oleh positivisme dengan
keterukuran. Dengan demikian realitas yang dihadapi oleh subjek adalah realitas
yang logis, empiris dan terukur. Jika terdapat realitas yang tidak logis tidak empiris
dan tidak terukur berarti itu adalah khayalan, imajinasi dan ilusi. Realitas tipuan.
Dalam Heidegger fenomena ini disebut seinsvergessenheit (kelupaan akan meng-Ada).
Ketika terjadi pengurangan dan pelupaan realitas Mengada, sesungguhnya
terjadi pengurangan dan pelupaan hal-hal metafisika yang lambat laun menjadi layu
dan mati. Manusia karena mengabaikan hal-hal spiritual menjadi pribadi yang
gersang dan tak utuh lagi. Inilah salah satu penyebab keterasingan (alienasi) diri dan
penyakit-penyakit mental lainnya.
Karena dengan sengaja mengabaikan hal-hal metafisis yang banyak
mengandung sumber nilai, pengetahuan modern mengklaim “bebas nilai” padahal
sesungguhnya “miskin nilai” atau “memilih tak punya nilai”. Efek dari klaim bebas
nilai ini diantaranya terjadi pornografi dalam seni dan pengrusakan alam yang luar
biasa dalam teknologi.
Masalah lain dalam epistemologi Barat Modern adalah dalam penggunaan akal.
Ketika akal digunakan sebagai ukuran tunggal dan diberlakukan secara universal,
akal memerlukan media atau sarana untuk mengomunikasikan isi pemikirannya.
Sarana itu adalah bahasa. Ketika bahasa digunakan sebagai sarana untuk
mendeskripsikan realitas yang diandaikan sesuai dengan isi akal, ditemukan
beberapa masalah, bahwa bahasa bukanlah sarana yang netral yang dapat
menampilkan realitas. Jika cara kerja akal diklaim sama dalam diri manusia, maka
cara kerja bahasa tidaklah sama.
Keterbatasan hubungan akal dan bahasa ini dikemukakan oleh Wittgenstein,
Saussure dan Nietzsche.
Berdasarkan tradisi modernisme dan beberapa permasalahannya di atas,
sedikitnya terdapat tiga arus pemikiran yang bersinggungan dan menghidupkan
kembali studi hermeneutika yang oleh sebagian kalangan muslim diaplikasikan
terhadap Alquran.
Pintu 01: Post-modernisme
Terdapat arus pemikiran yang tidak puas dengan fungsi akal yang dominatif
dan diskriminatif dalam epistemologi Barat Modern. Ada diantara mereka yang
gegabah berusaha meruntuhkan keseluruhan tradisi modern, dan membangun tradisi
baru yang disebut post-modern. Tradisi baru ini dengan begitu dicirikan dengan
nihilisme.
Karena modernisme dicirikan dengan universalisme dan kebenaran tunggal,
maka post-modernisme mengusung kebenaran partikular yang terserak. Misalnya
ketika Islam Universal ditentang karena dianggap mengungkung Islam Nusantara,
maka seharusnya Islam nusantara dalam tradisi post-modernisme adalah Islam
partikular dengan kebenaran ruang dan waktu yang partikular juga dan tidak bisa
digunakan di ruang dan waktu partikular lain. Islam Nusantara tidak bisa digunakan
sebagai ukuran kebenaran dan satu-satunya kebenaran. Para posmo separo ini
memaksakan pandangan mereka yang meninjau Islam yang universal sebagai Islam
Arab (partikular), sehingga mereka berhak membuat Islam partikular lain yaitu Islam
nusantara. Anehnya mereka lupa bahwa arus post-modernisme mengusung
keterpecahan yang terserak, remuk, kecil-kecil dan tidak membangun Narasi Besar.
Beberapa diantara mereka meminjam hermeneutika untuk menafsirkan ulang
Alquran agar sesuai dengan perkembangan tradisi global, yang mereka dibayar untuk
mempopulerkannya. Orientasi mereka memang duniawiyah, bagaimana merancang
sedemikian rupa agar ayat-ayat Alquran kompatibel dengan dunia sekular mereka
yang kini dan di sini. Mereka keluar dari kerangka maqashid al-syari’ah.
Mereka sebenarnya tidak mampu mengembangkan sistem pemikiran baru atau
metode hermeneutika tersendiri. Mereka benar-benar meminjam hermeneutika dari
tradisi keilmuan lain tanpa menguasainya dengan benar-benar. Mereka mengabaikan
perbedaan ontologis teks Alquran yang sakral dan teks-teks yang lain yang profan.
Mereka lupa realitas Alquran sebagai teks tidaklah sama dengan realitas teks-teks
yang lain. Mereka juga abai dengan tujuan transendental dan orientasi Alquran
diturunkan.
Namun tidak semua pemikir dekonstruksionis ini segegabah itu. Ada beberapa
kalangan intelektual termasuk di Indonesia dan bahkan di kalangan NU yang
konsisten dengan kebenaran post-modernisme yang partikular dan marginal ini.
Mereka prihatin dengan kondisi masyarakat marginal yang kesengsaraan mereka
diakibatkan secara sistemik oleh tradisi modernisme yang oposisi biner. Rekam jejak
intelektual mereka bisa ditelusuri sejak awal sehingga dapat ditelusuri belokan-
belokan yang mereka tempuh dalam epistemologi yang menyebabkan mereka
memanfaatkan metode-metode dalam hermeneutika.
Pintu 02: Kajian Linguistik Modern
Kajian linguistik modern sering dinisbahkan kepada pemikiran Saussure.
Saussure menilai kata-kata atau bahasa yang digunakan oleh masyarakat bersifat
acak dan tidak teratur. Setiap orang akan menggunakan cara berbahasanya sendiri-
sendiri. Bagi Saussure, jika seorang linguist meneliti hal ini, maka ia berhadapan
dengan objek studi yang individual, heteroklit, rumit, dan memiliki objek penelitian
yang tidak terbatas. Maka, dalam rangka memformulasi objek studi linguistik yang
lebih definitif, ia mengikuti teori Durkheim yang menyatakan bahwa interaksi sosial
masyarakat yang acak menimbulkan adat istiadat, tradisi dan kaidah perilaku yang
membentuk kumpulan data yang mandiri. Hal ini merupakan fakta sosial yang bisa
dijadikan objek penelitian ilmiah (Saussure, 1996: 5). Dari itu, Saussure memisahkan
bahasa dalam konteks fakta social (langue) dengan tindakan individual dalam
berbahasa (parole).
Saussure menggunakan tiga terminologi Prancis untuk menjelaskan
konsepnya, langage, langue, dan parole. Langage adalah Bahasa dalam konteks
umum atau dalam konteks sifat khusus manusia: manusia adalah makhluk yang
menggunakan bahasa (langage). Langage bersifat heteroklit. Ia tersusun atas
sejumlah materi yang bisa diidentifikasi melalui penyebutan suatu suku kata. Ketika
seseorang berujar, menyebutkan sebuah suku kata, maka di sana terdapat suku kata
itu sendiri, suara, alat indera untuk mengucap atau mendengarkannya, dan otak
yang merumuskan suatu gagasan mengenai suku kata tersebut. Oleh sebab itu,
dalam konteks studi ilmiah, langage bisa diteliti melalui berbagai ilmu, psikologi,
antropologi, tata bahasa normatif, filologi, dan sebagainya. Ini adalah kondisi yang
tidak diinginkan oleh Saussure. Ia menginginkan sebuah objek kajian yang murni
dimiliki oleh linguistik.
Saussure menggunakan terminologi lainnya, langue dan parole untuk keluar
dari problem tersebut. Jika dicarikan padanan berbahasa Indonesia, langue bisa
diterjemahkan sebagai bahasa dan parole sebagai ujaran. Bagi Saussure, langue
adalah norma dari segala pengungkapan langage. Langue adalah sistem, aturan, dan
konvensi yang bersifat independen dari ujaran-ujaran individu. Sedangkan parole
adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi
individu yang muncul dari pilihan penutur berdasarkan pilihan-pilihan yang bebas.
Jadi, parole sangat bersifat personal dan tidak bisa dianggap sebagai fakta sosial.
Langue adalah konsep bahasa yang sesuai dengan konsep fakta sosial. Langue
adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh
masyarakat bahasa, dan memungkinkan para penutur saling memahami dan
menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Langue
merupakan perbendaharaan yang tertumpuk dari praktek parole yang telah diresepsi
dan dikoordinasikan sehingga menghasilkan sebuah konvensi dalam masyarakat.
Artinya, parole dan langue adalah dua konsep yang saling berhubungan dan tidak
bisa dilepaskan satu sama lainnya. Pada sisi lain, langue mempersyaratkan adanya
konstruksi sosial di belakangnya. Oleh sebab itulah kiranya Saussure menyatakan
bahwa ketika seseorang mendengarkan parole dari bahasa lain, ia hanya mendengar
bunyi tanpa mengerti fakta sosial yang ditunjuk, sementara bila ia mendengarkan
parole dalam bahasanya, maka ia akan menghubungkan bunyi-bunyi tersebut dengan
fakta-fakta sosial menurut seperangkat kaidah yang kemudian disebut konvensi.
Inilah langue.
Selain langue dan parole, Saussure juga membuat dikotomi lain yang juga
dioposisikan secara biner, yaitu sinkronik – diakronik, signifier-signified, sintagmatis-
paradigmatis. Kajian signifier-signified berhubungan dengan tanda dan makna tanda.
Memaknai tanda ini dekat dengan menafsirkan tanda yang menjadi kajian
hermeneutika.
Pendekatan Saussure ini dinamakan linguistik struktural. Struktur yang
dikemukakan oleh Saussure kemudian digunakan dalam berbagai disiplin ilmu
sehingga corak pemikiran ini dinamakan strukturalisme. Beberapa intelektual seperti
Lacan, Barthes, Derrida, Kristeva mengubah beberapa prinsip strukrural Saussure
sehingga aliran pemikiran mereka dinamakan post-strukturalisme. Derrida lah yang
mempopulerkan dekonstruksi yang sering disebut oleh kalangan post-modern. Jadi
sebenarnya, dekonstruksi yang dikemukakan Derrida bermula dari kajian linguistik
struktural yang menjelma menjadi disiplin semiotika yang direvisi menjadi semiotika
post-struktural.
Sebagai kajian tentang teks, beberapa kalangan memanfaatkan pemikiran
strukturalisme ini untuk menafsirkan teks Alquran. Semantik Alquran Toshihiko
Izutsu menggunakan analisis pemikiran berdasarkan studi ini.
Pintu 03: Kajian Geisteswissenchaften
Di Jerman, berkembang pemikiran tentang ilmu-ilmu sosial humaniora
(geisteswissenchaften) yang tidak puas dengan filsafat positivisme yang mendasari
ilmu-ilmu kealaman (naturwissenchaften). Dengan positivisme manusia dan
masyarakat dipandang dari sisi lahiriah dan materialnya belaka yang bisa
diperhitungkan secara obyektif dan mekanistis. Padahal manusia secara ontologis
bukanlah sebuah alat atau barang.
Pada manusia dan masyarakat mengalir arus kehidupan yang tampak dan
yang tak tampak (batin). Hal-hal yang tampak bisa didekati dengan filsafat
positivisme, tapi hal-hal yang batin luput dari pengamatan. Untuk mengungkap hal
yang batin ini perlu kajian tersendiri.
Diantara kajian yang tidak puas dengan metode positivisme dan
mengembangkan studi tersendiri adalah studi hermeneutika Dilthey dan studi
fenomenologi Husserl. Sebagai sebuah disiplin ilmu studi ini memiliki landasan
ontologis, epistemologis dan axiologis tersendiri.
Baik Dilthey maupun Husserl berpijak pada dunia keseharian (lebenswelt)
sebelum dikategorisasi oleh positivisme. Dunia keseharian seperti inilah yang menjadi
objek penelitian. Untuk mengungkap dunia keseharian ini diperlukan seperangkat
metode. Diantara langkah-langkah metode itu terdapat hermeneutika. Kajian
hermeneutika dengan demikian dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora menjadi mutlak
perlu.
Kajian hermeneutika yang berasal dari arus geisteswissenchaften Jerman ini
sebenarnya dalam kajian hermeneutika Alquran bukan mengkaji teks Alquran secara
langsung tetapi hal-hal di sekitarnya.
Pintu-pintu lainnya
Selain pintu-pintu masuk ke hermeneutika di atas, terdapat pintu-pintu lain
seperti Studi Budaya Pop, Feminisme, Orientalisme, Studi Post-kolonialisme. Namun
teori-teori yang digunakan dalam studi-studi tersebut banyak yang dipengaruhi oleh
tiga studi di atas.

Anda mungkin juga menyukai