Anda di halaman 1dari 9

A.

Hakikat Sekolah Berkarakter


Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235),
mengemukakan bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju
pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang
ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa
karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau
karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber
dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak
lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter
Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi
watak yang merupakan identitas bangsa.

Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa


Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada
tindakan atau tingkah laku. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang
berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah
moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat
dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul
tidak perlu dipikirkan lagi.

Sekolah berkarakter adalah upaya sekolah untuk menanamkan nilai-nilai


budaya karakter dalam diri setiap warga sekolah melalui berbagai kegiatan
baik dalam proses pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun
penciptaan suasana lingkungan sekolah sehingga budaya karakter menjadi
sikap batin (believe system) serta menjadi landasan dalam bersikap dan
bertingkah laku. Oleh karena itu proses pembelajaran menjadi sangat
penting di dalamnya, sebagai sarana menanamkan nilai-nilai karakter yang
berbudaya.
Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah berkarakter
adalah sekolah yang mengimplementasikan pola-pola nilai karakter dalam
pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum mencakup dua aspek
yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta
merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki
berbagai pengalaman tentang nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan kata lain, sekolah berkarakter adalah sekolah yang dikelola
dengan struktur yang memungkinkan adanya praktik-praktik nilai karakter
itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stakeholder dan user sekolah)
dalam membahas program-program sekolah/madrasah, dan prosedur
pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik serta
dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik.

Berdasarkan fungsi dan tujuan dari Pendidikan Nasional, jelas dikatakan


bahwa sekolah berkarakter ialah sekolah yang dimana setiap jenjangnya
harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan. Karena hal
itu berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu
bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat.

Karakter yang tumbuh dari sekolah yang berkarakter merupakan nilai-nilai


yang tercermin dan perilaku yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, perasaan, sikap, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma Agama, hukum, tata krama, dan adat istiadat.
Sekolah berkarakter merupakan sekolah yang lingkungannya adalah
tempat penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga
menjadi manusia insan kamil.
Pengembangan dan pembiasaan harus diperhatikan dalam membangan
sekolah berkarakter. Ketika dinamakan sekolah berkarakter, maka segala
yang berkaitan dengan sekolah tersebut juga harus berkarakter. Setidaknya
menjaga perilaku dan lisan ketika di dalam sekolah, karena bagaimana
mungkin peserta didik akan menjadi berkarakter ketika para pendidik dan
yang berkaitan tidak memiliki karakter.

Dalam pelaksanaan sekolah berkarakter, semua komponen (stakeholder)


harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan
penanganan dan pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktifitas atau kegiatan kurikuler, pemberdayaan sarana dan
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan
sekolah. Sekolah yang menanamkan nilai karakter akan mengajarkan
kepada setiap warga sekolah bagaimana cara berpikir dan berprilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga,
masyarakat, dan bernegara serta membantu mereka membuat keputusan
yang dapat dipertangungjawabkan.

B. Nilai Karakter yang Dikembangkan di Sekolah


Djahiri (1987:107) mengatakan bahwa nilai adalah suatu jenis
kepercayaan, yang letaknya berpusat pada sistem kepercayaan seseorang
tentang bagaimana seseorang sepatutnya dalam melakukan sesuatu, atau
tentang apa yang berharga dan yang tidak berharga untuk dicapai.
Sumantri (1993:3) menyebutkan bahwa nilai adalah hal yang terkandung
dalam diri (hati nurani) manusia yang lebih memberi dasar pada prinsip
akhlak yang merupakan standar dan keindahan dan efisiensi atau keutuhan
kata hati.

Nilai-nilai budaya yang tumbuh dari bangsa Indonesia adalah hasil


pewarisan (inheritance) dari nenek moyang. Nilai-nilai tersebut diambil
dari nilai-nilai kehidupan jati diri bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut
juga muncul dari berbagai sumber yang menjadi pandangan hidup bangsa
indonesia. Berikut adalah sumber-sumber dari nilai budaya bangsa:
1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh
karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari
pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan
kenegaraanpun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas
dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan
karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang
berasal dari agama.

2. Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas


prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut
Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan
dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD
1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi
nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi,
kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter
bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara
yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan,
kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya
sebagai warga negara.

3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian
makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar-anggota
masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.

4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus


dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai
satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan
nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki
warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional
adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Sumber-sumber ini merupakan pandangan atau falsafah hidup bangsa


Indonesia, dimana didalamnya terdapat nilai-nilai luhur jati diri bangsa
Indonesia. Kemudian bersumber dari nilai-nilai tersebut, Departemen
Pendidikan Nasional pada tahun 2011 menetapkan 18 nilai yang wajib
disisipkan pada setiap aktivitas sekolah. Berikut 18 nilai pembentuk
karakter:
1) Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2) Jujur : perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan.
3) Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari
dirinya.
4) Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5) Kerja keras :tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan. Jadi dengan perilaku tertib ini
dapat membangun karakter siswa dalam kehidupan nyata.
6) Kreatif : berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau
hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7) Mandiri : sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8) Demokratis : cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9) Rasa ingin tahu : sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10) Semangat kebangsaan : cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri
dan kelompoknya.
11) Cinta tanah air : cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik, bangsa.
12) Menghargai prestasi : sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13) Bersahabat/komunikatif : tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14) Cinta damai : sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15) Gemar membaca : kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16) Peduli lingkungan : sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
17) Peduli sosial : sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18) Tanggung jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa.

C. Membangun Budaya Moral di Sekolah


Membangun budaya moral di sekolah penting dilakukan karena dapat
membantu membentuk karakter siswa. Sekolah bukan hanya tempat untuk
belajar akademik, tetapi juga tempat untuk membentuk karakter, sikap,
dan perilaku siswa. Budaya moral yang kuat di sekolah dapat membantu
siswa menjadi individu yang bertanggung jawab, jujur, sopan, dan
berempati.
1. Strategi untuk Membangun Budaya Moral di Sekolah
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membangun budaya
moral di sekolah antara lain:
a. Menanamkan nilai-nilai moral dalam kurikulum: Kurikulum harus
mencakup pembelajaran tentang nilai-nilai moral yang penting
untuk membentuk karakter siswa.
b. Memberikan contoh yang baik oleh guru dan staf sekolah: Guru
dan staf sekolah harus menjadi contoh yang baik dalam
berperilaku dan bersikap. Mereka harus menunjukkan kejujuran,
kerja sama, dan sikap positif lainnya agar siswa dapat mencontoh
perilaku tersebut.
c. Menggunakan penghargaan dan sanksi yang tepat: Penghargaan
dan sanksi harus digunakan secara tepat untuk memberikan
motivasi bagi siswa untuk berperilaku baik dan membentuk
karakter yang baik.
d. Melibatkan orang tua: Orang tua harus dilibatkan dalam
membantu membangun budaya moral di sekolah. Mereka harus
mendukung dan memberikan contoh yang baik di rumah agar
anak-anak dapat mencontoh perilaku tersebut di sekolah.

2. Implementasi Budaya Moral di Sekolah


Untuk mengimplementasikan budaya moral di sekolah, perlu
dilakukan beberapa hal seperti:
a. Membuat program pembelajaran yang konsisten dengan nilai-nilai
moral yang ingin disampaikan.
b. Memberikan pelatihan dan bimbingan kepada guru dan staf
sekolah tentang bagaimana cara mengajarkan nilai-nilai moral
yang baik dan efektif.
c. Melibatkan siswa dalam proses pembentukan budaya moral di
sekolah, misalnya dengan membuat kebijakan atau program yang
melibatkan siswa.
d. Menjalin kerja sama dengan orang tua dan masyarakat dalam
membangun budaya moral di sekolah.

Membantu Adei membuat kesimpulan :

Sekolah berkarakter adalah sekolah yang setiap jenjangnya harus diselenggarakan


secara sistematis guna mencapai tujuan untuk membentuk karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat. Nilai karakter yang dikembangkan di Sekolah, diantaranya;
Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis,
Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi,
Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial,
dan Tanggung Jawab.

Membangun budaya moral di sekolah penting dilakukan karena dapat membantu


membentuk karakter siswa .Dan strategi yang tepat untuk mengimplementasikan
budaya moral di sekolah, dan melibatkan semua pihak terkait seperti guru, staf
sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat dalam proses pembentukan budaya
moral yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, A., Kristiawan, M., & Fitriani, Y. (2021). Implementasi Pendidikan Karakter
Berbasis Budaya Sekolah. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(1), 2063-2069.
Hendri, R. (2019). Menciptakan Sekolah Berkarakter.
Mubin, F. (2020). Menciptakan Sekolah Berkarakter.
Ma'rifatun, N., & Widodo, W. (2020). Membangun Budaya Moral di Sekolah.
Jurnal Pendidikan Karakter, 10(1), 1-10.
Ratnasari, D. (2018). Penanaman Karakter dalam Pembelajaran Sejarah di
SMAIT Baitussalam Prambanan, Yogyakarta. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Riadi, A. (2018). Membangun Karakter Siswa Melalui Budaya Sekolah. Al-
Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman Dan Kemasyarakatan, 18(2), 265-281.

Anda mungkin juga menyukai