Anda di halaman 1dari 32

KLIPING

SEJARAH

PENINGGALAN SEJARAH KERAJAAN HINDU-BUDHA

HABIBAH NURMALASARI

KELAS : X.5

SMAN 1 Kec.GUGUAK

TP 2022 / 2023
1. Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh
dikepulauan Melayu. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7.
seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671
selama 6 bulan. Prasasti pertama yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada
tahun 683.Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor,
termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasaSansekerta, sri berarti "bercahaya" dan
wijaya berarti "kemenangan" Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre – Yves Manguin
membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan).

Beberapa sumber sejarah yang berkaitan dengan Sriwijaya:


Sumber berita Tiongkok
- Kronik dari Dinasti Tang
- Kronik Dinasti Sung
- Kronik Dinasti Ming
- Kronik Perjalanan I Tsing
- Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
- Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
- Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
- Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan

Prasasti berbahasa Melayu Kuno


- Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang
- Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
- Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
- Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
- Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka
- Prasasti Ligor di Thailand
- Prasasti Nalanda di India
Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Kerajaan ini
terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah
Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan
yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai
komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota diperintah secara langsung oleh
penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh masyarakat lokal. Sumber
dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti tersebut antara lain :

a. Prasasti Kota Kapur


Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan
tentang kisah
perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama
dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara
yang berjalan kaki.

b. Prasasti Kedukan Bukit


Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa
raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa
tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan
Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan
Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud
Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga
yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan
c. Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan
tentang pembuatan Taman Srikesetra
atas perintah Raja Dapunta Hyang.

d. Prasasti Karang Berahi


Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah
pedalaman Jambi, yang
menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.

e. Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu
kota Ligor dengan tujuan
untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

f. Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja
terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah
akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataramdari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada
Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra.
Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa
Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk
membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

g. Prasasti Telaga Batu.


Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada
tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi
lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan
sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat
keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti
ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah
kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam
prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang
dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut.
Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat
kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya Prasasti-
prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa
Melayu Kuno.
h. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas
Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti ini beraksasra Pallawa dan
berbahasa Melayu Kuno. Isi dari prasasti ini adalah kutukan
kepada orang – orang jahat yang tidak setia terhadap Sriwijaya.

i. Candi Muara Takus

adalah sebuah
situs candi Buddha yang terletak di
desa Muara Takus, Kecamatan XIII
Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini
berjarak kurang lebih 135 kilometer
dari Kota Pekanbaru. Candi ini dibuat
dari batu pasir, batu sungai dan batu
bata. Berbeda dengan candi yang ada
di Jawa, yang dibuat dari batu andesit
yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat,
diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir
situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa
Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah,
yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas
lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang.
Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat
berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.

Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang
sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs
Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi
Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini
ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia.
Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu
bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

j. Candi Muaro Jambi Kompleks Candi Muaro


Jambi disebut-sebut sebagai kompleks candi
terluas di Indonesia. Pasalnya, kompleks
candi yang berlokasi di Kecamatan Maro
Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, ini luasnya
mencapai 3.981 hektare. Baca juga:
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Kompleks
Candi Muaro Jambi membentang sepanjang
7,5 kilometer yang meliputi delapan desa,
yaitu Desa Muara Jambi, Desa Danau Lamo, Desa Dusun Baru, Desa Kemingking Luar,
Desa Kemingking Dalam, Desa Dusun Mudo, Desa Teluk Jambu, dan Desa Tebat Patah.
Dalam kompleks ini, terdapat sekitar 110 reruntuhan candi yang kini belum semuanya
dipugar. Beberapa candi yang telah dipugar di antaranya Candi Vando Astano, Candi
Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar Batu, Candi Gedong 1, Candi Gedong 2, dan kolam
Talaga Rajo. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, kompleks ini diduga digunakan sebagai
permukiman dan pusat pengembangan agama Buddha.
k. Candi Biaro Bahal
candi Biaro Bahal atau Candi Bahal terletak di
Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Pada
kompleks percandian ini terdapat Candi Bahal I, Bahal
II, dan Bahal III, yang semuanya dibuat dari bata
merah. Dari ketika candi, Candi Bahal I merupakan
yang terbesar dan terdiri dari satu candi utama dengan
empat candi perwara.

l. Candi Kota Kapur


Candi Kota Kapur berada di
Situs Kota Kapur, yang
berlokasi di Desa Kota
Kapur, Kecamatan Mendo
Barat, Kabupaten Bangka,
Kepulauan Bangka
Belitung. Candi ini
ditemukan ketika dilakukan penggalian di Situs Kota Kapur.
Namun, kondisinya tinggal reruntuhan saja. Dari hasil ekskavasi
yang dilakukan untuk menampakkan kembali reruntuha candi,
ditemukan dua bangunan yang diberi nama Candi I dan Candi I
2. Kerajaan Kutai
erajaan kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya tujuh prasasti yupa (batu tulis) yang ditulis menggunakan huruf pallawa dan
berbahasa sanskerta.

Diperkirakan kerajaan kutai ini berdiri pada abad ke-5 Mi atau sekitar 400 M. Letak kerajaan
kutai berada di Muara Kaman, Kalimantan Timur (dekat kota Tenggarong) atau tepatnya
berada di hulu sungai Mahakam.

Kehidupan politik kerajaan kutai dibahas dalam yupa yang menyatakan bahwa raja terbesar
Kutai adalah Raja Mulawarman yaitu putra Aswawarman yang merupakan putra Kudungga.
Dalam yupa disebutkan bahwa Aswawarman adalah  Dewa Matahari dan pendiri keluarga
raja. Berikut ini maharaja yang pernah memimpin kerajaan kutai, diantaranya yaitu:

 Kudungga
 Asmawarman
 Mulawarman
 Irwansyah
 Sri Aswawarman
 Marawijaya Warman
 Gajayana Warman
 Tungga Warman
 Jayanaga Warman
 Nalasinga Warman
 Nala Parana Tungga
 Gadingga Warman Dewa
 Indra Warman Dewa
 Sangga Warman Dewa
 Singsingamangaraja XXI
 Candrawarman
 Prabu Nefi Suriagus
 Ahmad Ridho Darmawan
 Riski Subhana
 Sri Langka Dewa
 Guna Parana Dewa
 Wijaya Warman
 Indra Mulya
 Sri Aji Dewa
 Mulia Putera
 Nala Pandita
 Indra Paruta Dewa
 Dharma Setia

Masa kejayaan kerajaan kutai terjadi pada masa pemerintahan Mulawarman. Keruntuhan


kerajaan kutai terjadi pada masa kepemimpinan Maharaja Dharma Setia, penyebab
keruntuhan kerajaan kutai ini adalah tewasnya Maharaja Dharma Setia dalam peperangan
melawan Aji Pengeran Sinum Panji yang merupakan raja kerajaan Kutai Kartanegara yang
berdiri di kutai lama pada abad ke-13. Kehidupan sosial kerajaan kutai terjalin hubungan
yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan Kaum Brahmana, seperti dijelaskan dalam
Yupa, bahwa Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada Kaum Brahmana
dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara, yaitu tempat suci untuk memuja Dewa Siwa.

a. Prasasti Yupa
Prasasti Yupa dianggap sebagai bukti
tertua yang menunjukkan sejarah
adanya Kerajaan Kutai Melalui
prasasti Yupa kita dapat mengetahui
bahwa Kerajaan Kutai ada di pulau
Kalimantan. Isi prasasti Yupa
menceritakan sejarah Kerajaan Hindu
yang ,menetap di Muara Kaman, hulu sungai di Pulau Kalimantan Timur.
Singkatnya, prasasti ini menceritakan latar belakang Kerajaan Kutai berdasarkan
kehidupan politik, sosial, dan budayanya.

b. Ketopong Sultan
Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah Ketopong
Sultan, yaitu mahkota yang dipakai sultan Kerajaan Kutai
yang terbuat dari emas. Ketopong Sultan memiliki berat
1,98 kilogram dan hingga saat ini masih tersimpan di
Museum Nasional Jakarta. Sama halnya dengan prasasti
Yupa, Ketopong Sultan juga ditemukan pada tahun 1890
di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Sedangkan yang disimpan di Museum Mulawarman adalah
Ketopong Sultan tiruan.

c. Kalung Ciwa
Kalung Ciwa pertama kali ditemukan saat pemerintahan
Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Kalung tersebut
ditemukan oleh warga pada tahun 1890 di sekitar Danau
Lipan Muara Kaman. Hingga saat ini kalung ciwa masih
digunakan oleh sultan dan hanya dipakai ketika acara
penobatan sultan baru.

d. Kura-kura Emas
Peninggalan Kerajaan Kutai yang satu ini terbilang unik,
yaitu kura-kura yang terbuat dari emas. Saat ini peninggalan
tersebut masih tersimpan di Museum Mulawarman dan
berukuran sebesar kepalan tangan. Kura-kura emas
ditemukan di area Long Lalang, hulu Sungai Mahakam.
Menurut sejarahnya, kura-kura emas adalah benda
persembahan dari Kerajaan China untuk Aji Bidara Putih,
salah satu Putri Raja Kutai. Kura-kura tersebut dijadikan
sebagai bukti bahwa ada pangeran yang hendak mempersunting sang putri.

e. Kalung Uncal Kerajaan Kutai

Kalung Uncal merupakan kalung peninggalan


yang memiliki berat 170 gram, dilengkapi
dengan liontin berelief Kisah Ramayana.
Kalung tersebut berasal dari India, dan
sekarang hanya ada 2 kalung yang ada di
Dunia. Kalung pertama berada di India, dan
yang kedua berada di museum Mulawarman.
f. Pedang Sultan Kutai

pedang
sultan kutai merupakan pedang
peninggalan yang terbuat dengan berbahan
emas yang padat. Pedang sultan tersebut
juga terdapat ukiran dengan gambar seekor
harimau yang sedang bersiap untuk
memangsa musuhnya. Untuk diujung sarung
pedang sendiri terdapat sebuah gambar ukiran seekor buaya. Jika kalian
penasaran dengan pedang ini, silahkan datang ke Museum Nasional Jakarta

g. Meriam Kerajaan Kutai

Meriam Kerajaan Kutai merupakan peninggalan dari kerajaan yang


berbentuk senjata pertahanan yang kuat pada masanya. Hanya tercatat 4
macam Meriam yang masih ada pada saat ini, diantaranya adalah Meriam
Gentar Bumi, Meriam Sapu Jagat, Meriam Sri Gunung dan yang terakhir
Meriam Aji Entong.

h. Gamelan Gajah Prawoto

Satu set gamelan gajah prawoto disimpan di museum


Mulawarman dan asal gamelan ini dipercaya dari Jawa.
Selain itu, ada juga berbagai barang lain seperti pangkon,
keris, topeng, wayang kulit dan beberapa barang yang
terbuat dari kuningan dan perak yang juga merupakan
bukti ikatan kuat antara kerajaan ini dengan kerajaan
yang ada di Jawa.

i. Singgasana Sultan
Singgasana Sultan Kutai Kartanegara hingga
kini masih bisa disaksikan yang berbentuk 2
buah kursi berwarna kuning.
Singgasana ini berada dalam suatu peraduan pengantin Kutai atau biasa disebut
geta berwarna biru tua.
Di sekitar singgasana dilengkapi dengan payung dan umbul-umbul. Singgasana ini
telah dipakai oleh dua orang Sultan, yaitu Aji Sultan Muhammad Sulaiman (1845-
1899 M) dan Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M).

j. Candi Lesong Batu 

adalah sisa peninggalan candi zaman Kerajaan Kutai yang


terletak Kec. Muara Kaman, kabupaten Kutai Kartanegara.
Menurut berbagai riwayat desa tersebut merupakan asal
kerajaan Hindu tertua di Indonesia yaitu Kerajaan Kutai.
Candi ini juga merupakan peninggalan sejarah yang masih
dapat disaksikan secara utuh di Muara Kaman. Beberapa
kalangan masyarakat mengatakan bahwa Lesong Batu
merupakan benda keramat peninggalan Kerajaan Kutai
Hindu. Hal ini diperkuat oleh pendapat peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Daerah  Kutai
Kartanegara yang bekerja sama dengan salah satu pakar arkeologi dari Malang, mereka mengatakan bahwa
dari hasil penelitian yang mereka lakukan bisa ditarik kesimpulan bahwa Lesong Batu merupakan salah
satu prasasti peninggalan Kerajaan Hindu Kutai di bawah kepemimpinan Raja Mulawarman Nala Dewa

k. Meriam Kerajaan Kutai

Meriam Kerajaan Kutai merupakan


peninggalan dari kerajaan yang berbentuk
senjata pertahanan yang kuat pada masanya.
Hanya tercatat 4 macam Meriam yang
masih ada pada saat ini, diantaranya adalah
Meriam Gentar Bumi, Meriam Sapu Jagat,
Meriam Sri Gunung dan yang terakhir
Meriam Aji Entong.

l. Lembuswana
Lembuswana adalah hewan dalam mitologi
rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan Kutai.
Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai
hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini
memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.
Lembuswana merupakan hewan yang disucikan karena
merupakan tunggangan Dewa Batara Guru dalam
memberikan petuah dan petunjuknya. Lembuswana
dicirikan sebagai berkepala singa, bermahkota (melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap
penguasa dan mahkota adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah (Leman
artinya gajah, melambangkan dewa Ganesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik
ikan.

3. Kerajaan Kediri
a. Candi Tondowongso
andi Tondowongso berada di Desa Gayam,
Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur yang
ditemukan belum lama ini yakni pada tahun 2007.
Arsitektur dari arca dan bentuk bangunan yang
ditemukan disekitar candi memperlihatkan jika
bangunan ini dibangun pada abad ke-9 yakni disaat
pusat politik dipindahkan dari Jawa Tengah menuju
wilayah Jawa Timur. Meskipun menjadi penemuan di
era modern, namun sampai saat ini keadaan dari
Candi Tondowongso beserta kompleks
disekelilingnya masih sangat memperihatinkan dan
belum mendapat perhatian dari pemerintah. Candi Tondowongso dengan luas 1 hektar ini
menjadi penemuan terbesar sejarah Indonesia pada 30 tahun terakhir. Profesor Soekmono
juga pernah menemukan satu buah arca pada lokasi yang sama di tahun 1957 dan penemuan
situs Candi Tondowongso ini diawali dari penemuan beberapa arca oleh pengrajin batu
setempat.

b. Candi Panataran

Candi Panataran terletak di lereng Gunung Kelud


Barat Daya di Utara Kota Blitar pada ketinggian 450
meter dari permukaan laut dan menjadi candi paling
indah dan besar di Jawa Timur. Dari beberapa
prasasti yang juga ditemukan di sekitar candi, maka
diketahui jika candi ini dibangun sekitar abad ke-12
sampai 14 Masehi pada masa pemerintahan Raja
Srengga sampai Raja Wikramawardhana. Sistem
Candi Panataran dan terasnya berundak memakai susunan batu andesity yang saling
mengunci. Candi Panataran atau Candi Palah ini adalah sebuah candi bersifat keagamaan
Hindu Siwaitis dan pada Kitab Desawarnana atau Nagarakretagama yang dibuat pada tahun
1365, Candi ini dikatakan menjadi bangunan suci yang sudah dikunjungi Raja Hayam Wuruk
saat ia melakukan perjalanan keliling Jawa Timur

c.  Candi Gurah
p peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah
Candi Gurah. Candi Gurah berada di Kecamatan
Gurah, Kediri, Jawa Timur yang ditemukan pada
tahun 1957 dan letaknya berada di 2 km dari situs
Candi Tondowongso. Candi Gurah ini berukuran 9 x
9 meter. Ada persamaan dari Candi Gurah dan Candi
Tondowongso yakni Arca Brahma, Surya, Candra,
Yoni dan Nandi. Selain itu, penempatan arca dikedua
candi tersebut juga sama meskipun pada bangunan
tempat arca Candra, Surya dan juga Nandi dari Candi
Tondowongso belum terlihat jelas bentuknya.
Profesor Soekmono menduga jika Candi Gurah ada dalam satu kompleks yang sama dengan
Candi Tondowongso sebab mempunyai ciri khas yang adalah gaya peralihan antara candi
Jawa Tengah dengan candi Jawa Timur. Karena itu, penelitian menyeluruh untuk Candi
Tondowongso sangat penting untuk dilakukan sebab sampai saat ini belum ada wujud nyata
dari bentuk bangunan gaya peralihan tersebut.

d.  Candi Mirigambar

Candi Mirigambar merupakan candi peninggalan dari


Kerajaan Kediri selanjutnya yang ditemukan pada
sebuah lapangan di Desa Mirigambar, Kecamatan
Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur. Menurut
perkiraan, candi ini dibangun pada tahun 1214
sampai dengan 1310 Saka dengan material yang
terbuat dari bata merah seperti halnya pada candi lain
di wilayah Jawa Timur. Salah seorang petinggi dari
Desa Mirigambar di tahun 1965 melindungi Candi
Mirigambar tersebut dari ikonklastik sehingga candi
ini masih bisa kita lihat hingga sekarang. Ikonklastik
sendiri merupakan perbuatan menghancurkan
berbagai kebudayaan yang dianggap sebagai berhala. Struktur candi ini terbuat dari batu bata
merah, dimana pada dinding candi terdapat relief patung yang diukir. Pada bagian kanan
depan terdapat relief 2 tokoh lelaki yang sedang mengapit 2 tokoh perempuan dan pada salah
satu tokoh lelaki bertubuh besar dan terdapat relief seorang tokoh lelaki yang sedang berdiri.
Pada bagian tepi halaman candi sebelah Utara ada tumpukan batu bata merah yang menurut
cerita merupakan reruntuhan dari candi lainnya yang juga ditemukan di sekitar Candi
Mirigambar tersebut. Pada bagian tepi halaman selatan juga terdapat lempengan batu andesit
dan terukir tahun 1310c atau 1388 Masehi.

e. Candi Tuban
Candi Tuban yang menjadi salah satu peninggalan dari Kerajaan Kediri ini, kini hanya
menyisakan reruntuhannya saja yang terletak di 500 meter dari Candi Minigambar. Saat ini,
Candi Tuban sudah tertutup dengan tanah sehingga tidak memungkinkan untuk dibangun
kembali. Pada saat ini, diatas timbunan Candi Tuban sudah dijadikan kandang beberapa
hewan ternak

f. Prasasti Kamulan

Prasasti Kamulan ditemukan di Desa Kamulan,


Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur yang dibuat pada
tahun 1194 Masehi atau 1116 Saka yakni pada masa
pemerintahan Raja Kertajaya. Prasasti Kamulan ini
berisi tentang berdirinya Kabupaten Trenggalek pada
Rabu Kliwon tanggal 31 Agustus 1194. Dalam
prasasti ini tertulis nama Kediri yang diserang Raja
Kerajaan sebelah Timur dan pada tanggal yang tertulis
dalam prasasti adalah tanggal 31 Agustus 1191.
Ukiran yang ada pada prasasti ini masih bisa terlihat dengan jelas dan bisa anda lihat dengan
mengunjungi langsung lokasi Prasasti Kamulan tersebut.

g. Prasasti Galunggung
Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah
prasasti Galunggung. Prasasti Galunggung ditemukan
di Rejotangan, Tulungagung dengan ukuran 160 x 80
x 75 cm dengan memakai huruf Jawa Kuno sebanyak
20 baris kalimat. Aksara yang terdapat pada prasasti
ini sudah tidak terlalu jelas terbaca karena sudah ada
bagian yang rusak, akan tetapi hanya bagian tahun
saja yang masih bisa terbaca dengan jelas yakni
tahun 1123 Saka. Pada bagian depan prasasti ini
terdapat lambang sebuah lingkaran dan pada bagian
tengah lingkaran terdapat gambar persegi panjang
dan juga beberapa logo atau gambar.

h. Prasasti Jaring
Prasasti Jaring dibuat pada 19 November 1181
dengan isi yang menerangkan tentang pengabulan
permohonan penduduk dukuh jaring lewat senapati
Sarwajala yakni keinginan yang tidak sempat
diwujudkan oleh raja sebelumnya. Prasasti Jaring ini
menyebutkan jika pejabat Kediri mempunyai gelar
atau sebutan dengan menggunakan nama hewan
seperti Menjangan Puguh, Lembu Agra serta Macan
Kuning.

i. Prasasti Panumbangan
Prasasti Panumbangan dibuat pada 2 Agustus 1120
yang dikeluarkan oleh Maharaja Bameswara
dengan isi tentang penetapan Desa Panumbangan
sebagai Sima Swatantra atau desa bebas pajak.

j. Prasasti Talan
Prasasti Talan ditemukan di Desa Gurit, Blitar, Jawa
Timur yang dibuat tahun 1136 Masehi atau 1058 Saka.
Isi dari prasasti ini adalah tentang penetapan masuknya
Desa Talan ke wilayah Panumbang yang sudha
terbebas dari pajak. Pada prasasti ini dilengkapi
dengan pahatan Garudhamukalanca yakni pahatan
berupa tubuh manusia dengan sayap dan kepala
garuda.

k. Prasasti Sirah Keting


Berisi tentang pemberian tanah dari Raja Jayawarsa
untuk rakyat Desa Sirah Keting berkat jasanya untuk
Kerajaan Kediri.

l. rasasti Kertosono
Berisi tentang masalah keagaamaan dari masa pemerintahan Raja Kameshwara.

m. Prasasti Ngantang

Berisi tentang pemberian tanah bebas


pajak oleh Jayabaya untuk Desa
Ngantang berkat jasanya mengabdi
pada Kerajaan Kediri. Pada Prasasti
ini tertulis angka tahun 1057 Saka
atau 1135 Masehi yang ditemukan di
Desa Ngantang, Malang dan sekarang
menjadi koleksi dari Museum 
Nasional. Saat penduduk dari
Hantang dan juga 12 desa masuk
dalam wilayah menghadap raja
dengan perantara guru raja yakni
Mpungku Naiyayikarsana yang
memohon agar prasasti tersebut didharmakan di Gajapada dan Nagapuspa
yang ditulis diatas daun lontar dan kemudian dipindahkan ke batu dan
ditambah lagi dengan anugerah dari Raja Jayabhaya itu sendiri.
Permohonan tersebut lalu dikabulkan oleh raja sebab rakyat Hantang
sudah menunjukkan baktinya yang sesungguhnya pada raja yakni dengan
menyerahkan cancu tan pamusuh dan cancu ragadaha dan juga disaat ada
sebuah aksi untuk memisahkan diri, mereka tetap setia dengan selalu
memihak Raja Jayabhaya.

n. Prasasti Padelegan
Berisi tentang bakti yang dilakukan penduduk Desa Padegelan
pada Raja Kameshwara. Prasasti Padelegan ini memiliki bentuk
stella dengan puncak kurawal berukutan 145 cm, lebar atas 81
cml lebar bawah 70 cm dan tebal 18 cm. Aksara Jawa Kuno yang
terdapat pada prasasti ini sudah banyak yang aus, namun berhasil
terbaca oleh Oud Javansche Oorkonde dan dalam prasasti ini
terdapat penanggalan angka tahun 1038 Saka atau 11 Januari
1117 Masehi. Prasasti ini menjadi prasasti pertama yang
dikeluarkan Raja Bameswara sehingga menjadi prasasti pertama
Kerajaan Kediri sesudah menjalani masa kelam Raja
Samarawijaya yang memerintah pada tahun 1042 Masehi sampai
dengan 1044 Masehi dan berkuasa di Daha sesudah pembagian
kerajaan oleh Raja Airlangga. Prasasti ini tersimpan di Museum
Panataran, Kabupaten Blitar yang dimana pada bagian atas prasasti terdapat sebuah ornamen
lancana yang disebut dengan Candrakapala. Candrakapala lancana ini digambarkan dengan
kepala tengkorak yang terlihat bagian tulang pipi dan dahi menonjol, bentuk mata bulat besar
seperti sedang terbelalak dan senyuman yang menyeringai lebar dengan 2 buah gigi besar di
bagian depan dan gigi taring di bagian kanan dan kiri sehingga terlihat sangat menyeramkan.
Pada bagian dahi juga terdapat bulatan sedikit melengkung yang kemungkinan merupakan
bentuk bulan sabit dengan kedua ujung yang menghadap ke bawah.

o. Prasasti Ceker
Prasasti yang berisi tentang anugrah yang diberikan raja untuk penduduk Desa Ceker yang
sudah mengabdi untuk kemajuan Kerajaan Kediri.

p. Kitab Kakawin Bharatayudha


Kitab Kakawin Bharatayudha dikarang oleh Mpu Sedah
dan juga Mpu Panuluh dengan isi Kitab yang
menceritakan tentang perjuangan yang dilakukan oleh
Raja Jenggala, Jayabaya dan akhirnya berhasil
menaklukan Panjalu. Kisah perjuangan Raja Jayabaya
ini dianalogikan menjadi kisah peperangan dari Kurawa
dan Pandawa di dalam kisah Mahabarata. Prasasti ini
mnurut perkiraan dibuat pada tahun 1079 Saka atau
1157 Masehi di pemerintahan Prabu Jayabaya dan
selesai ditulis pada 6 November 1157. Pada bagian awal
kitab sampai ke kisah Prabu Salya ke medan perang
merupakan karya dari Mpu Sedah dan kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh.
Menurut cerita, saat Mpu Sedah ingin menulis tentang kecantikan dari Dewi Setyawati
permaisuri dari Prabu Salya, ia memerlukan contoh agar tulisannya bisa berhasil sehingga
putri Prabu Jayabaya diberikan, namun Mpu Sedah berbuat tidak baik sehingga ia dihukum
dan karyanya diberikan pada orang lain. Namun, menurut Mpu Panuluh, sesudah karya dari
Mpu Sedah hampir seleai yakni saat menceritakan Prabu Salya yang berangkat ke medan
perang maka ia tidak tega untuk melanjutkan ceritanya tersebut sehingga meminta Mpu
Panuluh untuk meneruskan kitab tersebut dan cerita ini diungkap pada akhir kakawin
Bharatayuddha.

q. Kitab Kresnayana
Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah kitab
kresnayana. Kitab Kresnayana dikarang oleh Mpu
Triguna yang isinya menceritakan tentang riwayat
hidup Kresna yakni seorang anak yang mempunyai
kekuatan besar akan tetapi sangat senang menolong
orang lain. Dalam Kitab ini diceritakan tentang Kresna
yang sangat disukai oleh rakyat dan ia menikah dengan
Dewi Rukmin.  Apabila diartikan secara harafiah,
maka Kresnayana berarti perjalanan Krena ke negeri
Kundina tempat Sang Rukmini. Dewi Rukmini, putri
dari Prabu Bismaka di negeri Kundina tersebut sudah
dijodohkan dengan Suniti yang merupakan raja negeri Cedi. Akan tetapi, ibu dari Rukmini
yakni Dewi Pretukirti lebih ingin putrinya menikah dengan Kresna. Oleh sebab itu, pada hari
besar yang semakin dekat, Suniti dan Jarasanda pamannya datang ke Kundina dan Pretukirti
serta Rukmini secara diam-diam memberitahu Kresna untuk datang secepat mungkin dan
Rukmini serta Krena melarikan diri. Mereka kemudian dikejar oleh Suniti, Jarasanda serta
Rukma adik dari Rukmini sekaligus bersama dengan tentara mereka. Kresna lalu berhasil
semua dan hampir saja membunuh Rukma, akan tetapi Rukmini mencegahnya lalu mereka
berdua pergi ke Dwarwati lalu menggelar pesta pernikahannya disana.

r. Kitab Sumarasantaka
Kitab Sumarasantaka dikarang oleh Mpu Monaguna yang menceritakan tentang kutukan
Harini yakni seorang bidadari dari khayangan yang sudah berbuat kesalahan dan ia dikutuk
menjadi manusia. Harini lalu tinggal di bumi selama beberapa saat sampai kutukan tersebut
selesai.

s. Kitab Gatotkacasraya

Kitab Gatotkacasraya dikarang oleh Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kisah
kepahlawanan dari Gatotkaca yang sudah berhasil menyatukan Abimayu yang adalah putra
dari Arjuan dengan Siti Sundhari.

t. Kitab Smaradhana
Kitab Smaradhana dikarang oleh Mpu Dharmaja yang isinya
menceritakan tentang kisah Dewa Kama serta Dewi Ratih
yang merupakan sepasang suami istri menghilang secara
misterius sebab terkena api yang keluar dari mata ketiga
Dewa Syiwa. Saat Batara Siwa sedang pergi untuk bertapa,
Indralaya dikunjungi oleh para musuh yakni raksasa dengan
rajanya bernama Nilarudraka. Karena Batara Siwa sangat
serius dengan tapanya, maka ia seolah lupa dengan keadaan di khayangan. Agar Batara Siwa
bisa teringat dan kembali ke khayangan, maka paa dewa mengutus Batara Kamajaya untuk
menjemput Batara Siwa. Batara Kamajaya mencoba berbagai cara seperti panah bunga,
namun Batara Siwa tetap tidak bergeming dari tapanya yang akhirnya dilepaskannya panah
pancawisesa yakni hasrat mendengar yang merdu, hasrat mengenyam yang lezat, hasrat
meraba yang halus, hasrat mencium yang harum dan hasrat memandang yang serba indah.

Karena panah pancawisesa tersebut, akhirnya Batara Siwa merasa rindu dengan Dewi Uma,
akan tetapi saat mata ketiganya yang berada di tengah dahi mengetahui jika itu perbuatan dari
Batara Kamajaya, maka ia menatap Batara Kamajaya yang membuat dirinya hancur. Dewi
Ratih yang merupakan istri dari Batara Kamajaya lalu melaksanakan bela dengan
menceburkan dirinya dalam api yang telah membakar suaminya dan para dewa memanjatkan
ampun atas semua kejadian tersebut supaya mereka bisa dihidupkan kembali, akan tetapi
permintaan tersebut tidak dikabulkan dan jiwa sabda Batara Kamajaya turun ke dunia lalu
masuk ke hati laki-laki, sementara Dewi Ratih masuk ke jiwa wanita.

Saat Siwa duduk berdua dengan Dewi Uma, para dewa datang mengunjungi termasuk Dewa
Indra beserta gajahnya Airawata yang sangat dahsyat sehingga membuat Dewi Uma
ketakutan melihatnya. Dewi Uma lalu melahirkan putra berkepala gajah yang dinamakan
Ganesha. Saat raksasa Nilarudraka datang ke khayangan, maka Ganesha bertanding
melawannya dan membuat Ganesha terus bertambah besar dan semakin kuat sehingga musuh
bisa dikalahkan dan para dewa bersukacita.

u. Arca Buddha Vajrasattva

Arca Buddha Vajrasattva berasal dari Kerajaan Kediri pada abad ke-10 atau ke-11 yang
sekarang ini menjadi koleksi dari Museum fur Indische Kunst, Berlin, Dahlem, Jerman.

v. Kitab Hariwangsa
Kitab Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno yang menceritakan bentuk kakawin
Prabu Kresna titisan Batara Wisnu yang menikah dengan Dewi Rukmini dari negeri Kundina,
yakni putri dari Prabu Bismaka dan Rukmini merupakan titisan dari Dewi Sri. Hariwangsa
jika diartikan secara harafiah berarti garis keturunan Wisnu. Isi dari kitab ini menceritakan
tentang Kresna yang berjalan di taman dan dikunjungi oleh Batara Narada yang mengatakan
jika calon istrinya adalah titisan dari Dewi Sri, akan tetapi Prabu Jarasanda sudah ingin
menikahkan dengan Raja Cedi bernama Prabu Cedya.

Prabu Kresna lalu menculik Dewi Rukmini dan pada malam sebelum pesta pernikahan,
Kresna datang lalu membawwa Rukmini, sementara banyak tamu yang sudah datang. Prabu
Bismaka menjadi marah dan berunding dengan raja lain yang datang dan mereka semua takut
menghadapi Kresna yang sangat sakti tersebut. Jarasanda lalu meminta Yudistira dan para
Pandawa untuk membantu mereka dan kemudian utusan di kirim ke Yudistira yang
membuatnya menjadi bingung, sebab tugas kesatria adalah melindungi dunia serta berperang
melawan hal buruk.

Kresna sendiri adalah sahabat dari para Pandawa, akan tetapi karena perbuatannya tersebut
maka ia harus dihukum. Bima menjadi marah besar dan ingin membunuh utusan Jarasanda
tersebut namun Arjuna mencegahnya dan tidak beberapa lama kemudian, mereka dikunjungi
oleh duta Prabu Kresna yang ingin meminta bantuan. Akan tetapi karena sudah membuat
janji, maka Yudistira menolaknya sambil berpesan pada duta tersebut jika Prabu Kresna tidak
perlu khawatir sebab ia sangat sakti. Para Pandawa lima lalu berangkat ke negeri Karawira
tempat berkuasanya Prabu Jarasanda yang lalu menyerang Dharawati, negeri Prabu Kresna.

Kresna lalu bersipa menghadapi musuh dan dibantu oleh kakanya Sang Baladewa dan mereka
berdua membunuh banyak musuh termasuk Jarasanda, para korawa, Bima, Nakula dan
Sahadewa, sedangkan Yudistira dibius oleh Kresna sehingga tidak mampu bergerak. Kresna
lalu berperang melawan Arjuna dan hampir saja kalah, kemudian turun Batara Wisnu dari
surga sehingga Kresna yang merupakan titisan Wisnu pun berubah menjadi Wisnu. Yudistira
yang sudah siuman lalu meminta Wisnu agar menghidupkan semua yang tewas di medan
perang dan Wisnu mengabulkannya dengan menghujani amerta sehingga semua bisa hidup
kembali termasuk Jarasanda dan mereka semua datang ke pernikahan Kresna di Dwarawati.
Kitab ini ditulis oleh Mpu Panuluh di saat pemerintahan Prabu Jayabaya.

4. Kerajaan Majapahit
1. Candi Sukuh
Candi Sukuh terletak di Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, 36 km
dari Surakarta atau 20 km dari Kota
Karanganyar.Menurut perkiraan, Candi Sukuh ini
dibangun pada tahun 1437 Masehi dan masuk
kedalam jenis candi Hindu dengan bentuk piramid.
Struktur bangunan Candi Sukuh memiliki bentuk
yang unik dan berbeda dengan candi peninggalan
Kerajaan Majapahit yang lain dan di sekitar
reruntuhan Candi Sukuh ini juga terdapat banyak
objek Lingga dan Yoni yang melambangkan seksualitas dengan beberapa relief serta patung
yang memperlihatkan organ intim dari manusia. Candi ini ditemukan pada tahun 1815 oleh
residen Surakarta bernama Johnson yang ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk
mengumpulkan data dari bukunya yakni “The History of Java”. Kemudian pada tahun 1842,
candi ini juga sudah diteliti oleh Arekolog dari Belanda bernama Van der Vlies dan kemudian
dipugar pada tahun 1928. Candi Sukuh kemudian diusulkan menjadi salah satu situs warisan
dunia pada tahun 1995.
Desain sederhana dari candi ini membuat seorang arkeolog asal Belanda yakni W.F.
Stutterheim di tahun 1930 memberikan argumentasinya yakni pemahat dari Candi Sukuh ini
bukanlah dari seorang tukang batu namun seorang tukang kayu desa dan bukan dari kalangan
keraton. Candi ini juga dibuat dengan terburu-buru yang tampak dari kurang rapihnya
bangunan candi tersebut dan argumen terakhirnya adalah keadaan politik di masa tersebut
yakni saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit membuat candi tersebut tidak bisa dibuat
dengan mewah dan indah. Saat masuk ke pintu utama dan melewati gapura besar, maka
bentuk arsitektur khas tidak disusun secara tegak lurus akan tetapi berbentuk sedikit miring
trapesium lengkap dengan atap pada bagian atasnya. Sedangkan warna bebatuan di candi ini
berwarna sedikit merah sebab memakai bebatuan andesit.

Pada teras pertama terdapat sebuah gapura utama yang lengkap dengan sengkala memet dan
tertulis dalam bahasa Jawa yaitu gapura buta aban wong dengan arti raksasa gapura
memangsa manusia dengan makna masing-masing9, 5, 3, 1 yang jika dibalik maka diperoleh
tahun 1359 [saka] atau 1437 Masehi. Angka ini kemudian diduga menjadi tahun berdirinya
Candi Sukuh. Di bagian sisi candi juga terdapat sengkala memet dengan bentuk gajah
memakai sorban yang sedang mengigit seekor ular dan dianggap sebagai lambang bunyi
gapura buta anahut buntut atau raksasa gapura mengigit ekor. Pada bagian teras kedua,
gapuranya sudah dalam keadaan yang rusak dan pada bagian sisi kanan dan kiri gapura ada
patung penjaga atau dwarpala kaan tetapi juga sudah rusak dan tidak berbentuk lagi. Gapura
ini juga sudah hilang bagian atapnya dan tidak dilengkapi dengan patung pada terasnya. Pada
gapura ini ada sebuah candrasangkala yang ditulis dalam bahasa Jawa berbunyi gajah wiku
anahut buntut dengan arti gajah pendeta menggigit ekor dan terdapat makna 8, 7, 3, 1 yang
jika dibalik maka dihasilkan tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi.

Pada bagian teras ketiga ada pelataran berukuran besar dengan candi induk serta beberapa
buah panel yang dilengkapi dengan relief di bagian kiri dan patung di bagian kanan. Pada
bagian atas candi utama di tengah ada sebuah bujur sangkar seperti tempat untuk meletakkan
sesaji dan terdapat juga bekas kemenyan, hio serta dupa yang dibakar dan masih sering juga
digunakan untuk sembahyang. Sedangkan pada bagian kiri candi induk ada serangkaian panel
lengkap dengan relief yang bercerita tentan mitologi utama dari Candi Suku, Kidung
Sudamala.

2. Candi Cetho
Candi Cethi terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng,
Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah.
Menurut perkiraan para sejarawan, Candi Cetho ini
berasal dari akhir keruntuhan Kerajaan Majapahit
di sekitar abad ke-15 Masehi dan candi ini baru
ditemukan pada tahun 1842 karena tulisan dari
seorang arkeolog Belanda yakni Van de Vlies.
Candi Cetho dibangun dengan menggunakan corak
Hindu yang seringkali dipakai warga serta peziarah
Hindu untuk tempat pemujaan. Tempat ini juga
sering dijadikan tempat untuk bertapa untuk masyarakat Kejawen asli Jawa. Penggalian
pertama dilakukan pada tahun 1928 untuk rekonstruksi oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda
dan dari penelitian ditemukan jika usia candi tersebut hampir sama dengan Candi Sukuh yang
lokasinya tidak jauh dari candi ini, akan tetapi terdapat perbedaan sebab candi ini dibuat di
kompleks yang berundak. Secara keseluruhan, Candi Cetho ini mempunyai 13 buah teras dan
juga banyak anak tangga yang juga dilengkapi dengan banyak archa serta punden di
sepanjang tangga tersebut. Diatas candi ini terdapat Puri yang disebut dengan Puri Saraswati.
Candi Cetho ini ditemukan dalam keadaan reruntuhan dengan 14 teras atau punden bertingkat
dengan bentuk memanjang dari barat menuju ke timur dan sekarang hanya tersisa 13 teras
saja. Pemugaran sudah dilakukan pada kesembilan buah teras dan struktur teras yang
berundak ini diduga merupakan kultur asli Nusantara Hinduisme yang semakin diperkuat
dengan aspek ikonografi. Relief yang terdapat pada candi ini berbentuk tubuh manusia seperti
wayang kulit dengan muka menghadap samping namun tubuh yang menghadap ke ara depan.
Pemugaran juga dilakukan di akhir tahun 1970 yang dilakukan sepihak oleh Sudjono
Humardani, asisten pribadi dari Suharto dan ia mengubah begitu banyak struktur dari candi
tersebut.

Pemugaran ini kemudian banyak mendapatkan krtikan dari pada arkeolog sebab pemugaran
pada situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa dipelajari dengan mendalam, selain itu ada
beberapa objek hasil dari pemugaran yang sudah dianggap tidak asli yakni gapura mewah dan
meagh di bagian depan kompleks, bangunan kayu tempat bertapa, patung yang dinisbatkan
sebagai Brawijaya V, Sabdapalon, Nayagenggong dan phallus sera kubus di pucak punden

3. Candi Pari
Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut perkiraan,
Candi ini dibangun saat masa pemerintahan Prabu
Hayam Wuruk tahun 1350 sampai dengan 1389
Masehi. Candi ini terletak di 2 km arah Barat Laut
semburan pusat lumpur panas Lapindo Brantas.
Candi Pari ini juga dibangun dengan batu bata
berbentuk persegi empat seperti pura yang ada di
Bali dan candi ini dibangun menghadap ke arah
Barat. Diperkirakan, Candi Pari ini dibangun pada
tahun 1371 Masehi dan dari J.Knebel yang ditulis dalam laporannya, Candi Pari dan juga
Candi Sumur, dibangun untuk mengenang sekaligus memperingati hilangnya adik angkat dan
juga seorang sahabat dari salah satu putra Prabu brawijaya yang menolak untuk tinggal di
Keraton Kerajaan Majapahit. Diatas pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua dan
apabila dilihat dari arsitektur sangat dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan
dari Vietnam. Ini bisa terjadi karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan
Vietnam dan disaat yang bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian
orang mengungsi ke Jawa Timur.

4. Candi Jabung
Candi Jabung terletak di Desa Jabung,
Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Candi ini terbuat dari bata merah yang disusun
yang masih bertahan setelah sekian tahun. Di
saat lawatan berkeliling Jawa Timur tahun
1359, Raja Hayam Wuruk dikatakan pernah
singgah pada Candi Jabung tersebut. Candi ini
merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit
dengan bercorak bangunan Hindu, sedangkan
struktur bangunannya terlihat hampir serupa
dengan Candi Bahal dari peninggalan Kerajaan
Sriwijaya di Sumatera Utara.
Arsitektur Candi Jabung dibangun pada permukaan tanah dengan ukuran 35 meter x 40 meter
dan pemugaran sudah dilakukan di tahun 1983 sampai 1987 sehingga penataan lingkungan
bertambah 20.042 meter yang terletak di ketinggian 8 meter dari permukaan laut. Candi
Jabung memiliki dua bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang umumnya disebut
dengan Candi Sudut. Sedangkan material yang digunakan adalah bata merah kualitas bagus
lengkap dengan ukiran berbentuk relief. Candi Jabung memiliki panjang 13.13 meter, lebar
9.60 meter dan ketinggian mencapai 16.20 meter menghadap ke arah Barat dan pada bagian
sisi barat agak menjorok ke depan yang merupakan bekas susunan tangga memasuki candi.

Pada bagian Barat Daya halaman candi terdapat candi kecil yang berguna sebagai pelengkap
Candi Jabung. Candi menara ini dibangun dengan material batu bata dengan ukuran 2.55
meter serta tinggi 6 meter. Arsitektur Candi Jabung terdiri dari bagian batur, kaki, tubuh dan
juga atap dengan bentuk tubuh bulat yang berdiri diatas kaki candi bertingkat 3 bentuk
persegi. Sementara bagian atapnya berbentuk stupa namun sudah runtuh di bagian puncak
dan pada atap tersebut dilengkapi dengan motif suluran. Pada bagian bilik candi ada lapik
arca yang berdasarkan dari inskripsi pada gawang pintu masuk Candi Jabung didirikan pada
tahun 1276 Saka atau 1354 Masehi.

5. Gapura Wringin Lawang


Gapura Wringin Lawang terletak di Desa
Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Mojokerto,
Jawa Timur. Candi ini juga terbuat dari bata
merah seperti Candi Jabung dengan tinggi
mencapai 15.5 meter berukuran 13 x 11 meter
dan menurut perkiraan dibangun pada abad ke-
14 Masehi.
Jika dilihat, gaya arsitektur dari Gapura Wringin
Lawang ini hampir serupa dengan Candi Bentar dan
banyak pada ahli berpendapat jika bangunan ini adalah pintu gerbang masuk ke kediaman
Mahapatih Gajah Mada dan juga pintu masuk ke berbagai bangunan penting Ibu kota
Majapahit.

6. Gapura Bajang Ratu


Gapura Bajang Ratu terletak di Desa Temon,
Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur
dan menurut perkiraan dibangun pada abad ke-
14 Masehi. Di dalam Kitab Negarakertagama,
gapura ini dikatakan berguna untuk pintu masuk
ke bangunan suci yang memperingati wafatnya
Raja Jayanegara. Menurut perkiraan, Gapura ini
menjadi gapura terbesar di sepanjang masa
Kerajaan Majapahit. Sebelum Raja Jayanegara
wafat, bangunan tersebut dipakai sebagai pintu
belakang Kerajaan Majapahit yang juga
didukung dengan relief Sri Tanjung dengan sayap gapura melambangkan pelepasan. Struktur
bangunan dari Gapura Bajang Ratu ini berbentuk vertikal dengan 3 bagian yakni kaki, badan
dan juga atap, apabila dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi empat dengan panjang 11.5 x
10.5 meter dan ketinggian mencapai 16.5 meter dan lorong 1.4 meter. Pada bagian kaki candi
terdapat bingkai bawah dan juga atas dan badan kaki serta terdapat juga relief Sri Tajung.
Pada masa itu, relief dipercaya sebagai penangkal dari bahaya, sementara di bagian sayap
kanan terdapat relief Ramayana.
Struktur Bangunan Bajang Ratu – Dari buku Drs. I.G Bagus L Arnawa, bentuk gapura atau
candi adalah bangunan pintu gerbang jenis paduraksa atau gapura beratap dan fisik
keseluruhan candi dibuat dengan material batu bata merah kecuali untuk area lantai tangga
serta pintu bawah dan atas yang dibuat menggunakan batu andesit. Secara vertikal, bangunan
ini memiliki 3 bagian yakni kaki, tubuh dan juga atap serta dilengkapi dengan sayap dan
pagar tembok pada kedua sisinya. Kaki gapura ini memiliki panjang 2.48 meter dan
strukturnya terdiri dari bingkai bawah, badan kaki serta bingkai atas. Bingkai ini juga terdiri
dari susunan pelipit rata serta berbingkai dengan bentuk genta dan pada bagian sudut kakinya
terdapat hiasan berbentuk sederhana kecuali di sudut kiri depan yang dilengkapi dengan relief
menceritakan Sri Tanjung.

Sementara untuk bagian tubuh diatas pintu juga terdapat relief hiasan kala dan hiasan suluran,
sedangkan untuk bagian atap juag dilengkapi dengan relief berhias rumit yakni kepala kala
diapit dengan singa, relief matahari, naga berkaki, relief bermata satu atau monocle cyclops
dan juga kepala garuda. Relief ini dalam kepercayaan budata Majapahit untuk pelindung dan
penolak bahaya, sedangkan pada sayap kanan terdapat relief yang menceritakan kisah
Ramayana serta pahatan hewan bertelinga panjang.

7. Candi Brahu
Candi Brahu terletak di kawasan situs arkeologi
Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong,
Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Prasasti ini dibuat oleh Mpu Sendok dan berguna
sebagai tempat pembakaran jenazah dari raja-raja
Majapahit. Nama Brahu ini menurut perkiraan
berasal dari kata Wanaru atau Warahu yang
didapatkan dari sebutan bangunan suci dan
terdapat pada prasasti Alasantan, Prasasti tersebut
ditemukan pada lokasi yang tidak jauh dari candi
tersebut.
Candi ini dibangun dengan memakai gaya kultur Budha menghadap ke Utara dan memakai
batu bata merah dengan panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan ketinggian mencapai 20
meter. Candi Brahu ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi, meski banyak ahli
yang juga memiliki perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Ada sebagian ahli yang
mengatakan jika candi ini berusia lebih tua dibandingkan dengan candi yang lain yang ada di
Komplek Trowulan. Di dalam Prasasti, Candi Brahu disebut sebagai tempat pembakaran
jenazah para raja-raja Majapahit, akan tetapi pada penelitian yang sudah dilakukan tidak bisa
ditemukan bekas abu dari mayat pada candi tersebut.

Struktur Bangunan Candi Brahu – Candi Brahu dibangun dengan menggunakan batu bata
merah menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan tinggi 20
meter yang dibangun memakai kultur Buddha. Pada prasasti yang ditulis oleh Mpu Sendok 9
September 939, candi ini adalah tempat pembakaran jenazah raja-raja Majapahit. Menurut
dugaan para ahli, ada banyak candi berukuran kecil di sekeliling Candi Brahu ini akan tetapi
sudah runtuh dan hanya tertinggal sisa reruntuhannya saja yakni Candi Gedung, Candi
Muteran, Candi Tengah dan juga Candi Gentong. Saat dilakukan penggalian, banyak
ditemuka benda kuno seperti alat upacara keagaan yang terbuat dari logam, arca, perhiasan
emas dan berbagai benda lainnya.

8. Candi Tikus
Seperti pada Candi Brahu, Candi Tikus juga sama-
sama berada di situs arkeologi Trowulan di Dukuh
Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan
Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini
masih terdapat di dalam bawah tanah sebelum akhirnya ditemukan dan digali pada tahun
1914 dan kemudian dilakukan pemugaran pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Candi ini
mendapat nama candi tikus sebab disaat penemuannya, banyak warga melihat bangunan
tersebut menjadi sarang tikus. Belum ada yang bisa memastikan siapa yang membangun
Candi Tiku ini, akan tetapi dengan adanya sebuah menara kecil, maka diperkirakan dibangun
pada abad ke-13 sampai dengan ke-14 Masehi sebab miniatur menara tersebut merupakan ciri
khas dari bangunan pada abad tersebut.
Candi Tikus ini bentuknya seperti sebuah petirtaan dan membuat banyak arkeoloh berbeda
pendapat. Sebagian arkeolog berpendapat jika candi ini adalah tempat pemandian keluarga
kerajaan dan sebagian lagi berpendapat jika bangunan ini adalah tempat menampung air
untuk keperluan masyarakat Trowulan. Sementara karena adanya menara, maka beberapa ahli
juga menduga tempat tersebut adalah tempat pemujaan. Pada bagian kiri dan kanan tangga
ada sebuah kolam berbentuk segi empat berukuran 3.5 meter x 2 meter serta kedalaman
mencapai 1.5 meter, sedangkan pada dinding luar setiap kolam ada 3 buah pancuran
berbentuk teratai atau padma yang dibuat dari batu andesit. Sedangkan pada bagian anak
tangga yang agak ke Selatan terdapat sebuah bagunan berbentuk persegi empat dengan
ukuran 7.65 meter x 7.65 meter dan diatas banguan tersebut juga terdapat sebuah menara
dengan ketinggian 2 meter dan atap berbentuk meru dengan puncak yang datar. Menara ini
dikelilingi dengan 8 buah menara serupa namun ukurannya lebih kecil dan di sekitar dinding
kaki bangunan ada 17 pancuran atau jaladwara dengan bentuk makara serta teratai.

9. Candi Surawana
Candi Surawana terletak di Desa Canggu,
Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur di 25 km
Timur Laut Kota Kediri. Candi ini memiliki nama
asli Candi Wishnubhawanapura yang dibangun
pada abad ke-14 Masehi. Candi ini dibangun untuk
memuliakan Bhre Wengker yang merupakan
seorang raja Kerajaan Wengker yang ada dibawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Candi ini dibangun
dengan corak Hindu yang keadaannya sudha tidak
utuh lagi sekarang ini, bagian dasarnya sudah
mengalami rekonstruksi sedangkan untuk bagian badan serta atap candi sudah hancur dan tak
bersisa dan hanya kaki Candi dengan tinggi 3 meter saja yang masih berdiri dengan tegak.
Struktur Bangunan Candi Surawana – Candi Surawana berukuran 8 meter x 8 meter yang
dibangun dengan material batu andesit dan merupakan candi Siwa. Semua bagian tubuh candi
ini sekarang sudah hancur dan hanay tertinggal kaki candi dengan tinggi 3 meter, untuk naik
ke selasar atas kaki candi ada sebuah tangga berukuran sempit yang ada di bagian Barat.

10. Candi Wringin Branjang


Candi Wringin Branjang terdapat di Desa
Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten
Blitar, Jawa Timur. Candi ini memiliki bentuk
yang terlihat sederhana dan tidak dilengkapi
dengan kaki candi namun hanya atap dan badan
candi saja. Candi ini berukuran panjang 400 cm,
lebar 300 cm dan tinggi 500 cm, sedangkan lebar
pintu masuk adalah 100 cm dan ketinggian
mencapai 200 cm. Pada bagian dinding juga tidak
dilengkapi dengan relief seperti pada candi umumnya, namun terdapat lubang ventilasi pada
candi ini. Candi ini diperkirakan digunakan sebagai tempat penyimpanan alat untuk upacara
dan sejenisnya.

6. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan yang berdiri pada 450 Masehi terletak di sebuah
daerah yang sekarang dikenal sebagai Kota Bogor, Jawa Barat. Sedangkan wilayah
kekuasaannya meliputi Jakarta, Bogor, Bekasi, Karawang dan Banten. Kerjaan tersebut bisa
dikatakan merupakan kerajaan Hindu pertama di Pulau Jawa.Raja yang paling terkemuka dan
banyak menorehkan jejak di Kerajaan Tarumanegara yakni Raja Purnawarman yang juga
dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Pada masa pemerintahannya, ia berjaya di bidang
pertanian, perikanan dan perdagangan yang membuat kehidupan rakyat sejahtera. Ia juga
memprakarsai pembuatan saluran air untuk pertanian dan mencegah banjir. Pada tahun 417 ia
memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112
tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan
menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Berikut merdeka.com merangkum
daftar peninggalan Kerajaan Tarumanegara sebagai bukti berdirinya dan keberadaan kerajaan
tersebut
1. Prasasti Ciaruteun

prasasti Ciaruteun merupakan peninggalan


Kerajaan Tarumanegara yang terletak di
terletak di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor.Prasasti ini ditandai dengan bentuk tapak kaki Raja Purnawarman
dan huruf Palawa berbahasa Sansekerta. Melansir dari laman resmi Kabupaten Bogor,
tulisan dalam prasasti Ciaruteun berbentuk puisi India dengan irama anustubh yang
terdiri dari 4 baris. Berdasarkan pembacaan oleh Poerbatjaraka, prasasti tersebut
berbunyi :
vikkranta syavani pateh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam

yang memiliki arti: "ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki dewa Wisnu, ialah kaki
Yang Mulia Sang Purnavarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di
dunia"

2. Prasasti Pasir Koleangkak

Peninggalan Kerajaan Tarumanegara berikutnya yakni


Prasasti Pasir Koleangkak. Prasasti ini terletak di
Kampung Pasir Gintung RT 02/RW 04, Desa
Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung. Melansir
dari laman resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Provinsi Jawa Barat, Prasasti Pasir Koleangkak
pertama kali ditemukan dan dilaporkan oleh J. Rigg tahun 1854. Pada prasasti tersebut
terdapat tulisan:
criman data krtajnyo narapatir asamo yah purl tarumayan
namma cri purnnavarmma pracuraripucarabedyavikhyata-varmmo
tasyedam padavimbad'iyamarinagarotsadanenityadaksham
bhaktanam yandripanam bhavati sukhakaram calyabhutam ripunam
Artinya :"Gagah, mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia
yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di
Taruma dan baju zirahnya yang terkenal (warman). Tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini
adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh,
hormat kepada pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya."

3. Prasasti Kebon Kopi


Selanjutnya, peninggalan Kerajaan
Tarumanegara yaitu Prasasti Kebon Kopi. Tahun
1863, tuan tanah kebon kopi yang bernama
Jonathan Rig menemukannya di dekat daerah
Buitenzorg, yang kini disebut dengan Bogor
melansir dari laman resmi Kecamatan
Cibungbulang.

Kala itu dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi, dari sanalah
nama prasati ini bermula. Selain itu, Prasasti Kebon Kopi juga disebut dengan
Prasasti Tapak Gajah sebab seperti ada jejak sebesar tapak gajah di
permukaannya. Prasasti Kebon Kopi ini terletak di Kampung Muara, termasuk
wilayah Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor. Menggunakan aksara Pallawa
berbahasa Sanskerta, pada prasasti ini tertulis:
“… jayaviśālasya tārūme(ndra)sya ha(st)inah… (airā)vatābhasya
vibhātīdam=padadvāyam”
Artinya: “Di sini tampak sepasang tapak kaki … yang seperti (tapak kaki)
Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam … dan kejayaan”

4. Prasasti Tugu

Peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang


menorehkan tulisan terbanyak adalah
Prasasti Tugu. Di sisi lain, yang
disayangkan prasasti ini tidak menuliskan
keterangan tahun kapan prasasti ini dibuat.
Melansir dari laman Kemendikbud, Prasasti Tugu ditulis dalam aksara
Pallawa awal berbahasa Sanskerta dalam bentuk sloka dengan metrum
anustubh. Cerita yang tertulis di Prasasti Tugu berbunyi:

 1. Pura Rajadhirajena guruna pinabahuna Khata Khyatam purim prapaya


 2. Chandrabhagannavam yayau// Pravaddharma-dvavincadvatsare
crigunaujasa
 3. Narendrahvaabbhunena (bhutena)
 4. Crimata Purnnavarmmana//prarabhyaa phalgune (ne) mase Khata
krashnatashmitithau Caitraacukla-trayodacyam dinais siddhaikavincaika (h)
 5. Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sa-caten ca dvavincena nadi ramya
Gommati Nirmalosaka// pitamahasya rajashervvidarya cibiravanim
 6. Brahmanai=r ggo-sahasrena (na) prayati krtadakshino//.
 Artinya: “Dahulu atas perintah rajadhiraja Paduka Yang Mulia Purnawaarman,
yang menonjol dalam kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun
kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di
Sungai Chandrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyur
dan sebelum masuk ke laut. Penggalian itu dimulai dari hari kedelapan bulan
gelap phalguna dan selesai pada hari ketiga belas bulan terang bulan caitra,
selama dua puluh satu hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai
Gomati, mengaalir sepanjang 6.122 busur (tumbak) melampaui asrama
pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para bharmana. Para
pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi (versi lain menyebutkan
melakukakan penyembelihan 1.000 ekor sapi).”

1. Prasasti Pasir Awi


Peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang satu ini
memiliki lokasi yang berbeda dibanding enam
prasasti lainnya yang berada di daerah aliran
sungai, sedangkan Prasasti Pasir Awi berada di
daerah perbukitan.Prasasti Pasir Awi terletak di
sebelah selatan bukit Pasir Awi (± 559 mdpl) di
kawasan hutan di perbukitan Cipamingkis Kabupaten Bogor. Penemu prasasti ini
adalah seorang arkeolog Belanda yang bernama N.W. Hoepermans. S dan
dilaporkan pada tahun 1864.Tak ada keterangan yang dapat dibaca pada prasasti ini
selain pahatan piktograf berbentuk sebatang dahan dengan ranting dedaunan dan
buah. Menurut laman Kemendikbud, Rogier Diederik Marius Verbeek menyatakan
piktograf tersebut menggambarkan angka tahun. Namun hingga kini belum ada yang
memastikannya dengan akurat.

2. Prasasti Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten terletak di


Kampung Muara, Desa Ciaruteun,
Kecamatan Cibungbulang.
Dilaporkan pertama kali oleh N.W.
Hoepermans pada tahun 1864,
prasasti ini tepatnya berada di tepi
Sungai Cisadane  dan ± 50 m ke
muara Cianten.Prasasti ini
bertuliskan huruf ikal atau huruf
sangkha, seperti yang digunakan pada Prasasti Ciaruteun-B dan
Prasasti Pasir Awi. Tulisan pada prasasti ini masih dapat belum
dibaca.
7. Prasasti Cidanghiang

eninggalan Kerajaan Tarumanegara terakhir


yang berupa prasasti yaitu Prasasti
Cidanghiang. Prasasti yang memiliki nama lain
Prasasti Munjul ini berlokasi di aliran Sungai
Cidanghiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul,
Kabupaten Pandeglang.  Pada tahun 1947
keberadaan Prasasti Cidanghiang pertama kali
dilaporkan oleh TB. Roesjan, dan berlanjut
tahun 1954 Casparis dan Boechari berhasil mempublikasikan penelitian prasasti
tersebut.  Prasati Cidanghiang ditulis di media batu andesit yang berukuran sekitar
3, 2 m x 2,25 m dengan menggunakan teknik pahat. Aksara yang digunakan huruf
Pallawa berbahasa Sansekerta, di sana tertulis:

vikrānto ‘yaṃ vanipateḥ | prabhuḥ satyaparā[k]ramaḥ
narendraddhāvajabhūtena | śrīmataḥ pūrṇṇavarmaṇaḥ
Artinya: “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang
sesungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian
raja-raja.”
8.Prasasti Jambu
Prasasti Jambu ditemukan di sebelah barat Bogor,
berjarak sekitar 30 km dari wilayah tersebut. Lokasi
penemuannya berada di daerah perkebunan jambu,
maka dari itu dinamakan Prasasti Jambu. Prasasti ini
terletak di Desa Parakanmuncung, Kec. Nanggung,
Kab. Bogor, tepatnya di perkampungan Pasir Gintung.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, tempat
ditemukannya prasasti merupakan Perkebunan Karet
Sadeng Djamboe. Prasasti Jambu pertama kali
ditemukan oleh tokoh bernama Jonathan Rigg
pada tahun 1854. Penemuan ini kemudian
dilaporkan kepada Dinas Purbakala pada tahun
1947. Lalu pada tahun 1954 baru diteliti untuk pertama kalinya.

Isi Prasasti Jambu terdiri dari dua baris aksara Pallawa, disusun dalam bentuk seloka
bahasa Sanskerta. Selain itu, dalam prasasti tersebut juga terdapat pahatan gambar
sepasang telapak kaki. Gambar telapak kaki terdapat di bagian atas tulisan.
Isi Prasasti Jambu :
Teks:
siman=data krtajnyo narapatir=asamo yah pura tarumayam/ nama sri purnnavarmma
pracura ri pusara bhedya bikhyatavarmmo/
tasyedam= pada vimbadvayam= arinagarot sadane nityadaksam/ bhaktanam
yandripanam= bhavati sukhakaram salyabhutam ripunam//
Bunyi terjemahan isi Prasasti Jambu :

"Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang
tiada taranya yang termashyur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di
Taruma dan yang baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini
adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat
kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya." 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa di dalam prasasti menyebutkan nama raja
Purnnawarmman yang memerintah di kerajaan/negara Taruma. Namun tidak terdapat
informasi seputar angka tahun dibuatnya prasasti jambu.

Berdasarkan bentuk aksara Pallawa yang dipahtkan pada prasasti dan dengan analisis
Palaeographis, maka dapat diperkirakan bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan
abad ke 5M.

Anda mungkin juga menyukai