SEJARAH
HABIBAH NURMALASARI
KELAS : X.5
SMAN 1 Kec.GUGUAK
TP 2022 / 2023
1. Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh
dikepulauan Melayu. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7.
seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671
selama 6 bulan. Prasasti pertama yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada
tahun 683.Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor,
termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasaSansekerta, sri berarti "bercahaya" dan
wijaya berarti "kemenangan" Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre – Yves Manguin
membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan).
e. Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu
kota Ligor dengan tujuan
untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
f. Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja
terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah
akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataramdari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada
Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra.
Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa
Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk
membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
adalah sebuah
situs candi Buddha yang terletak di
desa Muara Takus, Kecamatan XIII
Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini
berjarak kurang lebih 135 kilometer
dari Kota Pekanbaru. Candi ini dibuat
dari batu pasir, batu sungai dan batu
bata. Berbeda dengan candi yang ada
di Jawa, yang dibuat dari batu andesit
yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat,
diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir
situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa
Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah,
yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas
lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang.
Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat
berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang
sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs
Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi
Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini
ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia.
Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu
bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Diperkirakan kerajaan kutai ini berdiri pada abad ke-5 Mi atau sekitar 400 M. Letak kerajaan
kutai berada di Muara Kaman, Kalimantan Timur (dekat kota Tenggarong) atau tepatnya
berada di hulu sungai Mahakam.
Kehidupan politik kerajaan kutai dibahas dalam yupa yang menyatakan bahwa raja terbesar
Kutai adalah Raja Mulawarman yaitu putra Aswawarman yang merupakan putra Kudungga.
Dalam yupa disebutkan bahwa Aswawarman adalah Dewa Matahari dan pendiri keluarga
raja. Berikut ini maharaja yang pernah memimpin kerajaan kutai, diantaranya yaitu:
Kudungga
Asmawarman
Mulawarman
Irwansyah
Sri Aswawarman
Marawijaya Warman
Gajayana Warman
Tungga Warman
Jayanaga Warman
Nalasinga Warman
Nala Parana Tungga
Gadingga Warman Dewa
Indra Warman Dewa
Sangga Warman Dewa
Singsingamangaraja XXI
Candrawarman
Prabu Nefi Suriagus
Ahmad Ridho Darmawan
Riski Subhana
Sri Langka Dewa
Guna Parana Dewa
Wijaya Warman
Indra Mulya
Sri Aji Dewa
Mulia Putera
Nala Pandita
Indra Paruta Dewa
Dharma Setia
a. Prasasti Yupa
Prasasti Yupa dianggap sebagai bukti
tertua yang menunjukkan sejarah
adanya Kerajaan Kutai Melalui
prasasti Yupa kita dapat mengetahui
bahwa Kerajaan Kutai ada di pulau
Kalimantan. Isi prasasti Yupa
menceritakan sejarah Kerajaan Hindu
yang ,menetap di Muara Kaman, hulu sungai di Pulau Kalimantan Timur.
Singkatnya, prasasti ini menceritakan latar belakang Kerajaan Kutai berdasarkan
kehidupan politik, sosial, dan budayanya.
b. Ketopong Sultan
Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah Ketopong
Sultan, yaitu mahkota yang dipakai sultan Kerajaan Kutai
yang terbuat dari emas. Ketopong Sultan memiliki berat
1,98 kilogram dan hingga saat ini masih tersimpan di
Museum Nasional Jakarta. Sama halnya dengan prasasti
Yupa, Ketopong Sultan juga ditemukan pada tahun 1890
di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Sedangkan yang disimpan di Museum Mulawarman adalah
Ketopong Sultan tiruan.
c. Kalung Ciwa
Kalung Ciwa pertama kali ditemukan saat pemerintahan
Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Kalung tersebut
ditemukan oleh warga pada tahun 1890 di sekitar Danau
Lipan Muara Kaman. Hingga saat ini kalung ciwa masih
digunakan oleh sultan dan hanya dipakai ketika acara
penobatan sultan baru.
d. Kura-kura Emas
Peninggalan Kerajaan Kutai yang satu ini terbilang unik,
yaitu kura-kura yang terbuat dari emas. Saat ini peninggalan
tersebut masih tersimpan di Museum Mulawarman dan
berukuran sebesar kepalan tangan. Kura-kura emas
ditemukan di area Long Lalang, hulu Sungai Mahakam.
Menurut sejarahnya, kura-kura emas adalah benda
persembahan dari Kerajaan China untuk Aji Bidara Putih,
salah satu Putri Raja Kutai. Kura-kura tersebut dijadikan
sebagai bukti bahwa ada pangeran yang hendak mempersunting sang putri.
pedang
sultan kutai merupakan pedang
peninggalan yang terbuat dengan berbahan
emas yang padat. Pedang sultan tersebut
juga terdapat ukiran dengan gambar seekor
harimau yang sedang bersiap untuk
memangsa musuhnya. Untuk diujung sarung
pedang sendiri terdapat sebuah gambar ukiran seekor buaya. Jika kalian
penasaran dengan pedang ini, silahkan datang ke Museum Nasional Jakarta
i. Singgasana Sultan
Singgasana Sultan Kutai Kartanegara hingga
kini masih bisa disaksikan yang berbentuk 2
buah kursi berwarna kuning.
Singgasana ini berada dalam suatu peraduan pengantin Kutai atau biasa disebut
geta berwarna biru tua.
Di sekitar singgasana dilengkapi dengan payung dan umbul-umbul. Singgasana ini
telah dipakai oleh dua orang Sultan, yaitu Aji Sultan Muhammad Sulaiman (1845-
1899 M) dan Aji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960 M).
l. Lembuswana
Lembuswana adalah hewan dalam mitologi
rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan Kutai.
Lembuswana menjadi lambang Kerajaan Kutai
hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Hewan ini
memiliki semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.
Lembuswana merupakan hewan yang disucikan karena
merupakan tunggangan Dewa Batara Guru dalam
memberikan petuah dan petunjuknya. Lembuswana
dicirikan sebagai berkepala singa, bermahkota (melambangkan keperkasaan seorang raja yang dianggap
penguasa dan mahkota adalah tanda kekuasaan raja yang dianggap seperti dewa), berbelalai gajah (Leman
artinya gajah, melambangkan dewa Ganesha sebagai dewa kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik
ikan.
3. Kerajaan Kediri
a. Candi Tondowongso
andi Tondowongso berada di Desa Gayam,
Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur yang
ditemukan belum lama ini yakni pada tahun 2007.
Arsitektur dari arca dan bentuk bangunan yang
ditemukan disekitar candi memperlihatkan jika
bangunan ini dibangun pada abad ke-9 yakni disaat
pusat politik dipindahkan dari Jawa Tengah menuju
wilayah Jawa Timur. Meskipun menjadi penemuan di
era modern, namun sampai saat ini keadaan dari
Candi Tondowongso beserta kompleks
disekelilingnya masih sangat memperihatinkan dan
belum mendapat perhatian dari pemerintah. Candi Tondowongso dengan luas 1 hektar ini
menjadi penemuan terbesar sejarah Indonesia pada 30 tahun terakhir. Profesor Soekmono
juga pernah menemukan satu buah arca pada lokasi yang sama di tahun 1957 dan penemuan
situs Candi Tondowongso ini diawali dari penemuan beberapa arca oleh pengrajin batu
setempat.
b. Candi Panataran
c. Candi Gurah
p peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah
Candi Gurah. Candi Gurah berada di Kecamatan
Gurah, Kediri, Jawa Timur yang ditemukan pada
tahun 1957 dan letaknya berada di 2 km dari situs
Candi Tondowongso. Candi Gurah ini berukuran 9 x
9 meter. Ada persamaan dari Candi Gurah dan Candi
Tondowongso yakni Arca Brahma, Surya, Candra,
Yoni dan Nandi. Selain itu, penempatan arca dikedua
candi tersebut juga sama meskipun pada bangunan
tempat arca Candra, Surya dan juga Nandi dari Candi
Tondowongso belum terlihat jelas bentuknya.
Profesor Soekmono menduga jika Candi Gurah ada dalam satu kompleks yang sama dengan
Candi Tondowongso sebab mempunyai ciri khas yang adalah gaya peralihan antara candi
Jawa Tengah dengan candi Jawa Timur. Karena itu, penelitian menyeluruh untuk Candi
Tondowongso sangat penting untuk dilakukan sebab sampai saat ini belum ada wujud nyata
dari bentuk bangunan gaya peralihan tersebut.
d. Candi Mirigambar
e. Candi Tuban
Candi Tuban yang menjadi salah satu peninggalan dari Kerajaan Kediri ini, kini hanya
menyisakan reruntuhannya saja yang terletak di 500 meter dari Candi Minigambar. Saat ini,
Candi Tuban sudah tertutup dengan tanah sehingga tidak memungkinkan untuk dibangun
kembali. Pada saat ini, diatas timbunan Candi Tuban sudah dijadikan kandang beberapa
hewan ternak
f. Prasasti Kamulan
g. Prasasti Galunggung
Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah
prasasti Galunggung. Prasasti Galunggung ditemukan
di Rejotangan, Tulungagung dengan ukuran 160 x 80
x 75 cm dengan memakai huruf Jawa Kuno sebanyak
20 baris kalimat. Aksara yang terdapat pada prasasti
ini sudah tidak terlalu jelas terbaca karena sudah ada
bagian yang rusak, akan tetapi hanya bagian tahun
saja yang masih bisa terbaca dengan jelas yakni
tahun 1123 Saka. Pada bagian depan prasasti ini
terdapat lambang sebuah lingkaran dan pada bagian
tengah lingkaran terdapat gambar persegi panjang
dan juga beberapa logo atau gambar.
h. Prasasti Jaring
Prasasti Jaring dibuat pada 19 November 1181
dengan isi yang menerangkan tentang pengabulan
permohonan penduduk dukuh jaring lewat senapati
Sarwajala yakni keinginan yang tidak sempat
diwujudkan oleh raja sebelumnya. Prasasti Jaring ini
menyebutkan jika pejabat Kediri mempunyai gelar
atau sebutan dengan menggunakan nama hewan
seperti Menjangan Puguh, Lembu Agra serta Macan
Kuning.
i. Prasasti Panumbangan
Prasasti Panumbangan dibuat pada 2 Agustus 1120
yang dikeluarkan oleh Maharaja Bameswara
dengan isi tentang penetapan Desa Panumbangan
sebagai Sima Swatantra atau desa bebas pajak.
j. Prasasti Talan
Prasasti Talan ditemukan di Desa Gurit, Blitar, Jawa
Timur yang dibuat tahun 1136 Masehi atau 1058 Saka.
Isi dari prasasti ini adalah tentang penetapan masuknya
Desa Talan ke wilayah Panumbang yang sudha
terbebas dari pajak. Pada prasasti ini dilengkapi
dengan pahatan Garudhamukalanca yakni pahatan
berupa tubuh manusia dengan sayap dan kepala
garuda.
l. rasasti Kertosono
Berisi tentang masalah keagaamaan dari masa pemerintahan Raja Kameshwara.
m. Prasasti Ngantang
n. Prasasti Padelegan
Berisi tentang bakti yang dilakukan penduduk Desa Padegelan
pada Raja Kameshwara. Prasasti Padelegan ini memiliki bentuk
stella dengan puncak kurawal berukutan 145 cm, lebar atas 81
cml lebar bawah 70 cm dan tebal 18 cm. Aksara Jawa Kuno yang
terdapat pada prasasti ini sudah banyak yang aus, namun berhasil
terbaca oleh Oud Javansche Oorkonde dan dalam prasasti ini
terdapat penanggalan angka tahun 1038 Saka atau 11 Januari
1117 Masehi. Prasasti ini menjadi prasasti pertama yang
dikeluarkan Raja Bameswara sehingga menjadi prasasti pertama
Kerajaan Kediri sesudah menjalani masa kelam Raja
Samarawijaya yang memerintah pada tahun 1042 Masehi sampai
dengan 1044 Masehi dan berkuasa di Daha sesudah pembagian
kerajaan oleh Raja Airlangga. Prasasti ini tersimpan di Museum
Panataran, Kabupaten Blitar yang dimana pada bagian atas prasasti terdapat sebuah ornamen
lancana yang disebut dengan Candrakapala. Candrakapala lancana ini digambarkan dengan
kepala tengkorak yang terlihat bagian tulang pipi dan dahi menonjol, bentuk mata bulat besar
seperti sedang terbelalak dan senyuman yang menyeringai lebar dengan 2 buah gigi besar di
bagian depan dan gigi taring di bagian kanan dan kiri sehingga terlihat sangat menyeramkan.
Pada bagian dahi juga terdapat bulatan sedikit melengkung yang kemungkinan merupakan
bentuk bulan sabit dengan kedua ujung yang menghadap ke bawah.
o. Prasasti Ceker
Prasasti yang berisi tentang anugrah yang diberikan raja untuk penduduk Desa Ceker yang
sudah mengabdi untuk kemajuan Kerajaan Kediri.
q. Kitab Kresnayana
Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah kitab
kresnayana. Kitab Kresnayana dikarang oleh Mpu
Triguna yang isinya menceritakan tentang riwayat
hidup Kresna yakni seorang anak yang mempunyai
kekuatan besar akan tetapi sangat senang menolong
orang lain. Dalam Kitab ini diceritakan tentang Kresna
yang sangat disukai oleh rakyat dan ia menikah dengan
Dewi Rukmin. Apabila diartikan secara harafiah,
maka Kresnayana berarti perjalanan Krena ke negeri
Kundina tempat Sang Rukmini. Dewi Rukmini, putri
dari Prabu Bismaka di negeri Kundina tersebut sudah
dijodohkan dengan Suniti yang merupakan raja negeri Cedi. Akan tetapi, ibu dari Rukmini
yakni Dewi Pretukirti lebih ingin putrinya menikah dengan Kresna. Oleh sebab itu, pada hari
besar yang semakin dekat, Suniti dan Jarasanda pamannya datang ke Kundina dan Pretukirti
serta Rukmini secara diam-diam memberitahu Kresna untuk datang secepat mungkin dan
Rukmini serta Krena melarikan diri. Mereka kemudian dikejar oleh Suniti, Jarasanda serta
Rukma adik dari Rukmini sekaligus bersama dengan tentara mereka. Kresna lalu berhasil
semua dan hampir saja membunuh Rukma, akan tetapi Rukmini mencegahnya lalu mereka
berdua pergi ke Dwarwati lalu menggelar pesta pernikahannya disana.
r. Kitab Sumarasantaka
Kitab Sumarasantaka dikarang oleh Mpu Monaguna yang menceritakan tentang kutukan
Harini yakni seorang bidadari dari khayangan yang sudah berbuat kesalahan dan ia dikutuk
menjadi manusia. Harini lalu tinggal di bumi selama beberapa saat sampai kutukan tersebut
selesai.
s. Kitab Gatotkacasraya
Kitab Gatotkacasraya dikarang oleh Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kisah
kepahlawanan dari Gatotkaca yang sudah berhasil menyatukan Abimayu yang adalah putra
dari Arjuan dengan Siti Sundhari.
t. Kitab Smaradhana
Kitab Smaradhana dikarang oleh Mpu Dharmaja yang isinya
menceritakan tentang kisah Dewa Kama serta Dewi Ratih
yang merupakan sepasang suami istri menghilang secara
misterius sebab terkena api yang keluar dari mata ketiga
Dewa Syiwa. Saat Batara Siwa sedang pergi untuk bertapa,
Indralaya dikunjungi oleh para musuh yakni raksasa dengan
rajanya bernama Nilarudraka. Karena Batara Siwa sangat
serius dengan tapanya, maka ia seolah lupa dengan keadaan di khayangan. Agar Batara Siwa
bisa teringat dan kembali ke khayangan, maka paa dewa mengutus Batara Kamajaya untuk
menjemput Batara Siwa. Batara Kamajaya mencoba berbagai cara seperti panah bunga,
namun Batara Siwa tetap tidak bergeming dari tapanya yang akhirnya dilepaskannya panah
pancawisesa yakni hasrat mendengar yang merdu, hasrat mengenyam yang lezat, hasrat
meraba yang halus, hasrat mencium yang harum dan hasrat memandang yang serba indah.
Karena panah pancawisesa tersebut, akhirnya Batara Siwa merasa rindu dengan Dewi Uma,
akan tetapi saat mata ketiganya yang berada di tengah dahi mengetahui jika itu perbuatan dari
Batara Kamajaya, maka ia menatap Batara Kamajaya yang membuat dirinya hancur. Dewi
Ratih yang merupakan istri dari Batara Kamajaya lalu melaksanakan bela dengan
menceburkan dirinya dalam api yang telah membakar suaminya dan para dewa memanjatkan
ampun atas semua kejadian tersebut supaya mereka bisa dihidupkan kembali, akan tetapi
permintaan tersebut tidak dikabulkan dan jiwa sabda Batara Kamajaya turun ke dunia lalu
masuk ke hati laki-laki, sementara Dewi Ratih masuk ke jiwa wanita.
Saat Siwa duduk berdua dengan Dewi Uma, para dewa datang mengunjungi termasuk Dewa
Indra beserta gajahnya Airawata yang sangat dahsyat sehingga membuat Dewi Uma
ketakutan melihatnya. Dewi Uma lalu melahirkan putra berkepala gajah yang dinamakan
Ganesha. Saat raksasa Nilarudraka datang ke khayangan, maka Ganesha bertanding
melawannya dan membuat Ganesha terus bertambah besar dan semakin kuat sehingga musuh
bisa dikalahkan dan para dewa bersukacita.
Arca Buddha Vajrasattva berasal dari Kerajaan Kediri pada abad ke-10 atau ke-11 yang
sekarang ini menjadi koleksi dari Museum fur Indische Kunst, Berlin, Dahlem, Jerman.
v. Kitab Hariwangsa
Kitab Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno yang menceritakan bentuk kakawin
Prabu Kresna titisan Batara Wisnu yang menikah dengan Dewi Rukmini dari negeri Kundina,
yakni putri dari Prabu Bismaka dan Rukmini merupakan titisan dari Dewi Sri. Hariwangsa
jika diartikan secara harafiah berarti garis keturunan Wisnu. Isi dari kitab ini menceritakan
tentang Kresna yang berjalan di taman dan dikunjungi oleh Batara Narada yang mengatakan
jika calon istrinya adalah titisan dari Dewi Sri, akan tetapi Prabu Jarasanda sudah ingin
menikahkan dengan Raja Cedi bernama Prabu Cedya.
Prabu Kresna lalu menculik Dewi Rukmini dan pada malam sebelum pesta pernikahan,
Kresna datang lalu membawwa Rukmini, sementara banyak tamu yang sudah datang. Prabu
Bismaka menjadi marah dan berunding dengan raja lain yang datang dan mereka semua takut
menghadapi Kresna yang sangat sakti tersebut. Jarasanda lalu meminta Yudistira dan para
Pandawa untuk membantu mereka dan kemudian utusan di kirim ke Yudistira yang
membuatnya menjadi bingung, sebab tugas kesatria adalah melindungi dunia serta berperang
melawan hal buruk.
Kresna sendiri adalah sahabat dari para Pandawa, akan tetapi karena perbuatannya tersebut
maka ia harus dihukum. Bima menjadi marah besar dan ingin membunuh utusan Jarasanda
tersebut namun Arjuna mencegahnya dan tidak beberapa lama kemudian, mereka dikunjungi
oleh duta Prabu Kresna yang ingin meminta bantuan. Akan tetapi karena sudah membuat
janji, maka Yudistira menolaknya sambil berpesan pada duta tersebut jika Prabu Kresna tidak
perlu khawatir sebab ia sangat sakti. Para Pandawa lima lalu berangkat ke negeri Karawira
tempat berkuasanya Prabu Jarasanda yang lalu menyerang Dharawati, negeri Prabu Kresna.
Kresna lalu bersipa menghadapi musuh dan dibantu oleh kakanya Sang Baladewa dan mereka
berdua membunuh banyak musuh termasuk Jarasanda, para korawa, Bima, Nakula dan
Sahadewa, sedangkan Yudistira dibius oleh Kresna sehingga tidak mampu bergerak. Kresna
lalu berperang melawan Arjuna dan hampir saja kalah, kemudian turun Batara Wisnu dari
surga sehingga Kresna yang merupakan titisan Wisnu pun berubah menjadi Wisnu. Yudistira
yang sudah siuman lalu meminta Wisnu agar menghidupkan semua yang tewas di medan
perang dan Wisnu mengabulkannya dengan menghujani amerta sehingga semua bisa hidup
kembali termasuk Jarasanda dan mereka semua datang ke pernikahan Kresna di Dwarawati.
Kitab ini ditulis oleh Mpu Panuluh di saat pemerintahan Prabu Jayabaya.
4. Kerajaan Majapahit
1. Candi Sukuh
Candi Sukuh terletak di Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, 36 km
dari Surakarta atau 20 km dari Kota
Karanganyar.Menurut perkiraan, Candi Sukuh ini
dibangun pada tahun 1437 Masehi dan masuk
kedalam jenis candi Hindu dengan bentuk piramid.
Struktur bangunan Candi Sukuh memiliki bentuk
yang unik dan berbeda dengan candi peninggalan
Kerajaan Majapahit yang lain dan di sekitar
reruntuhan Candi Sukuh ini juga terdapat banyak
objek Lingga dan Yoni yang melambangkan seksualitas dengan beberapa relief serta patung
yang memperlihatkan organ intim dari manusia. Candi ini ditemukan pada tahun 1815 oleh
residen Surakarta bernama Johnson yang ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk
mengumpulkan data dari bukunya yakni “The History of Java”. Kemudian pada tahun 1842,
candi ini juga sudah diteliti oleh Arekolog dari Belanda bernama Van der Vlies dan kemudian
dipugar pada tahun 1928. Candi Sukuh kemudian diusulkan menjadi salah satu situs warisan
dunia pada tahun 1995.
Desain sederhana dari candi ini membuat seorang arkeolog asal Belanda yakni W.F.
Stutterheim di tahun 1930 memberikan argumentasinya yakni pemahat dari Candi Sukuh ini
bukanlah dari seorang tukang batu namun seorang tukang kayu desa dan bukan dari kalangan
keraton. Candi ini juga dibuat dengan terburu-buru yang tampak dari kurang rapihnya
bangunan candi tersebut dan argumen terakhirnya adalah keadaan politik di masa tersebut
yakni saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit membuat candi tersebut tidak bisa dibuat
dengan mewah dan indah. Saat masuk ke pintu utama dan melewati gapura besar, maka
bentuk arsitektur khas tidak disusun secara tegak lurus akan tetapi berbentuk sedikit miring
trapesium lengkap dengan atap pada bagian atasnya. Sedangkan warna bebatuan di candi ini
berwarna sedikit merah sebab memakai bebatuan andesit.
Pada teras pertama terdapat sebuah gapura utama yang lengkap dengan sengkala memet dan
tertulis dalam bahasa Jawa yaitu gapura buta aban wong dengan arti raksasa gapura
memangsa manusia dengan makna masing-masing9, 5, 3, 1 yang jika dibalik maka diperoleh
tahun 1359 [saka] atau 1437 Masehi. Angka ini kemudian diduga menjadi tahun berdirinya
Candi Sukuh. Di bagian sisi candi juga terdapat sengkala memet dengan bentuk gajah
memakai sorban yang sedang mengigit seekor ular dan dianggap sebagai lambang bunyi
gapura buta anahut buntut atau raksasa gapura mengigit ekor. Pada bagian teras kedua,
gapuranya sudah dalam keadaan yang rusak dan pada bagian sisi kanan dan kiri gapura ada
patung penjaga atau dwarpala kaan tetapi juga sudah rusak dan tidak berbentuk lagi. Gapura
ini juga sudah hilang bagian atapnya dan tidak dilengkapi dengan patung pada terasnya. Pada
gapura ini ada sebuah candrasangkala yang ditulis dalam bahasa Jawa berbunyi gajah wiku
anahut buntut dengan arti gajah pendeta menggigit ekor dan terdapat makna 8, 7, 3, 1 yang
jika dibalik maka dihasilkan tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi.
Pada bagian teras ketiga ada pelataran berukuran besar dengan candi induk serta beberapa
buah panel yang dilengkapi dengan relief di bagian kiri dan patung di bagian kanan. Pada
bagian atas candi utama di tengah ada sebuah bujur sangkar seperti tempat untuk meletakkan
sesaji dan terdapat juga bekas kemenyan, hio serta dupa yang dibakar dan masih sering juga
digunakan untuk sembahyang. Sedangkan pada bagian kiri candi induk ada serangkaian panel
lengkap dengan relief yang bercerita tentan mitologi utama dari Candi Suku, Kidung
Sudamala.
2. Candi Cetho
Candi Cethi terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng,
Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah.
Menurut perkiraan para sejarawan, Candi Cetho ini
berasal dari akhir keruntuhan Kerajaan Majapahit
di sekitar abad ke-15 Masehi dan candi ini baru
ditemukan pada tahun 1842 karena tulisan dari
seorang arkeolog Belanda yakni Van de Vlies.
Candi Cetho dibangun dengan menggunakan corak
Hindu yang seringkali dipakai warga serta peziarah
Hindu untuk tempat pemujaan. Tempat ini juga
sering dijadikan tempat untuk bertapa untuk masyarakat Kejawen asli Jawa. Penggalian
pertama dilakukan pada tahun 1928 untuk rekonstruksi oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda
dan dari penelitian ditemukan jika usia candi tersebut hampir sama dengan Candi Sukuh yang
lokasinya tidak jauh dari candi ini, akan tetapi terdapat perbedaan sebab candi ini dibuat di
kompleks yang berundak. Secara keseluruhan, Candi Cetho ini mempunyai 13 buah teras dan
juga banyak anak tangga yang juga dilengkapi dengan banyak archa serta punden di
sepanjang tangga tersebut. Diatas candi ini terdapat Puri yang disebut dengan Puri Saraswati.
Candi Cetho ini ditemukan dalam keadaan reruntuhan dengan 14 teras atau punden bertingkat
dengan bentuk memanjang dari barat menuju ke timur dan sekarang hanya tersisa 13 teras
saja. Pemugaran sudah dilakukan pada kesembilan buah teras dan struktur teras yang
berundak ini diduga merupakan kultur asli Nusantara Hinduisme yang semakin diperkuat
dengan aspek ikonografi. Relief yang terdapat pada candi ini berbentuk tubuh manusia seperti
wayang kulit dengan muka menghadap samping namun tubuh yang menghadap ke ara depan.
Pemugaran juga dilakukan di akhir tahun 1970 yang dilakukan sepihak oleh Sudjono
Humardani, asisten pribadi dari Suharto dan ia mengubah begitu banyak struktur dari candi
tersebut.
Pemugaran ini kemudian banyak mendapatkan krtikan dari pada arkeolog sebab pemugaran
pada situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa dipelajari dengan mendalam, selain itu ada
beberapa objek hasil dari pemugaran yang sudah dianggap tidak asli yakni gapura mewah dan
meagh di bagian depan kompleks, bangunan kayu tempat bertapa, patung yang dinisbatkan
sebagai Brawijaya V, Sabdapalon, Nayagenggong dan phallus sera kubus di pucak punden
3. Candi Pari
Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut perkiraan,
Candi ini dibangun saat masa pemerintahan Prabu
Hayam Wuruk tahun 1350 sampai dengan 1389
Masehi. Candi ini terletak di 2 km arah Barat Laut
semburan pusat lumpur panas Lapindo Brantas.
Candi Pari ini juga dibangun dengan batu bata
berbentuk persegi empat seperti pura yang ada di
Bali dan candi ini dibangun menghadap ke arah
Barat. Diperkirakan, Candi Pari ini dibangun pada
tahun 1371 Masehi dan dari J.Knebel yang ditulis dalam laporannya, Candi Pari dan juga
Candi Sumur, dibangun untuk mengenang sekaligus memperingati hilangnya adik angkat dan
juga seorang sahabat dari salah satu putra Prabu brawijaya yang menolak untuk tinggal di
Keraton Kerajaan Majapahit. Diatas pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua dan
apabila dilihat dari arsitektur sangat dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan
dari Vietnam. Ini bisa terjadi karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan
Vietnam dan disaat yang bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian
orang mengungsi ke Jawa Timur.
4. Candi Jabung
Candi Jabung terletak di Desa Jabung,
Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Candi ini terbuat dari bata merah yang disusun
yang masih bertahan setelah sekian tahun. Di
saat lawatan berkeliling Jawa Timur tahun
1359, Raja Hayam Wuruk dikatakan pernah
singgah pada Candi Jabung tersebut. Candi ini
merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit
dengan bercorak bangunan Hindu, sedangkan
struktur bangunannya terlihat hampir serupa
dengan Candi Bahal dari peninggalan Kerajaan
Sriwijaya di Sumatera Utara.
Arsitektur Candi Jabung dibangun pada permukaan tanah dengan ukuran 35 meter x 40 meter
dan pemugaran sudah dilakukan di tahun 1983 sampai 1987 sehingga penataan lingkungan
bertambah 20.042 meter yang terletak di ketinggian 8 meter dari permukaan laut. Candi
Jabung memiliki dua bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang umumnya disebut
dengan Candi Sudut. Sedangkan material yang digunakan adalah bata merah kualitas bagus
lengkap dengan ukiran berbentuk relief. Candi Jabung memiliki panjang 13.13 meter, lebar
9.60 meter dan ketinggian mencapai 16.20 meter menghadap ke arah Barat dan pada bagian
sisi barat agak menjorok ke depan yang merupakan bekas susunan tangga memasuki candi.
Pada bagian Barat Daya halaman candi terdapat candi kecil yang berguna sebagai pelengkap
Candi Jabung. Candi menara ini dibangun dengan material batu bata dengan ukuran 2.55
meter serta tinggi 6 meter. Arsitektur Candi Jabung terdiri dari bagian batur, kaki, tubuh dan
juga atap dengan bentuk tubuh bulat yang berdiri diatas kaki candi bertingkat 3 bentuk
persegi. Sementara bagian atapnya berbentuk stupa namun sudah runtuh di bagian puncak
dan pada atap tersebut dilengkapi dengan motif suluran. Pada bagian bilik candi ada lapik
arca yang berdasarkan dari inskripsi pada gawang pintu masuk Candi Jabung didirikan pada
tahun 1276 Saka atau 1354 Masehi.
Sementara untuk bagian tubuh diatas pintu juga terdapat relief hiasan kala dan hiasan suluran,
sedangkan untuk bagian atap juag dilengkapi dengan relief berhias rumit yakni kepala kala
diapit dengan singa, relief matahari, naga berkaki, relief bermata satu atau monocle cyclops
dan juga kepala garuda. Relief ini dalam kepercayaan budata Majapahit untuk pelindung dan
penolak bahaya, sedangkan pada sayap kanan terdapat relief yang menceritakan kisah
Ramayana serta pahatan hewan bertelinga panjang.
7. Candi Brahu
Candi Brahu terletak di kawasan situs arkeologi
Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong,
Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Prasasti ini dibuat oleh Mpu Sendok dan berguna
sebagai tempat pembakaran jenazah dari raja-raja
Majapahit. Nama Brahu ini menurut perkiraan
berasal dari kata Wanaru atau Warahu yang
didapatkan dari sebutan bangunan suci dan
terdapat pada prasasti Alasantan, Prasasti tersebut
ditemukan pada lokasi yang tidak jauh dari candi
tersebut.
Candi ini dibangun dengan memakai gaya kultur Budha menghadap ke Utara dan memakai
batu bata merah dengan panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan ketinggian mencapai 20
meter. Candi Brahu ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi, meski banyak ahli
yang juga memiliki perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Ada sebagian ahli yang
mengatakan jika candi ini berusia lebih tua dibandingkan dengan candi yang lain yang ada di
Komplek Trowulan. Di dalam Prasasti, Candi Brahu disebut sebagai tempat pembakaran
jenazah para raja-raja Majapahit, akan tetapi pada penelitian yang sudah dilakukan tidak bisa
ditemukan bekas abu dari mayat pada candi tersebut.
Struktur Bangunan Candi Brahu – Candi Brahu dibangun dengan menggunakan batu bata
merah menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan tinggi 20
meter yang dibangun memakai kultur Buddha. Pada prasasti yang ditulis oleh Mpu Sendok 9
September 939, candi ini adalah tempat pembakaran jenazah raja-raja Majapahit. Menurut
dugaan para ahli, ada banyak candi berukuran kecil di sekeliling Candi Brahu ini akan tetapi
sudah runtuh dan hanya tertinggal sisa reruntuhannya saja yakni Candi Gedung, Candi
Muteran, Candi Tengah dan juga Candi Gentong. Saat dilakukan penggalian, banyak
ditemuka benda kuno seperti alat upacara keagaan yang terbuat dari logam, arca, perhiasan
emas dan berbagai benda lainnya.
8. Candi Tikus
Seperti pada Candi Brahu, Candi Tikus juga sama-
sama berada di situs arkeologi Trowulan di Dukuh
Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan
Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini
masih terdapat di dalam bawah tanah sebelum akhirnya ditemukan dan digali pada tahun
1914 dan kemudian dilakukan pemugaran pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Candi ini
mendapat nama candi tikus sebab disaat penemuannya, banyak warga melihat bangunan
tersebut menjadi sarang tikus. Belum ada yang bisa memastikan siapa yang membangun
Candi Tiku ini, akan tetapi dengan adanya sebuah menara kecil, maka diperkirakan dibangun
pada abad ke-13 sampai dengan ke-14 Masehi sebab miniatur menara tersebut merupakan ciri
khas dari bangunan pada abad tersebut.
Candi Tikus ini bentuknya seperti sebuah petirtaan dan membuat banyak arkeoloh berbeda
pendapat. Sebagian arkeolog berpendapat jika candi ini adalah tempat pemandian keluarga
kerajaan dan sebagian lagi berpendapat jika bangunan ini adalah tempat menampung air
untuk keperluan masyarakat Trowulan. Sementara karena adanya menara, maka beberapa ahli
juga menduga tempat tersebut adalah tempat pemujaan. Pada bagian kiri dan kanan tangga
ada sebuah kolam berbentuk segi empat berukuran 3.5 meter x 2 meter serta kedalaman
mencapai 1.5 meter, sedangkan pada dinding luar setiap kolam ada 3 buah pancuran
berbentuk teratai atau padma yang dibuat dari batu andesit. Sedangkan pada bagian anak
tangga yang agak ke Selatan terdapat sebuah bagunan berbentuk persegi empat dengan
ukuran 7.65 meter x 7.65 meter dan diatas banguan tersebut juga terdapat sebuah menara
dengan ketinggian 2 meter dan atap berbentuk meru dengan puncak yang datar. Menara ini
dikelilingi dengan 8 buah menara serupa namun ukurannya lebih kecil dan di sekitar dinding
kaki bangunan ada 17 pancuran atau jaladwara dengan bentuk makara serta teratai.
9. Candi Surawana
Candi Surawana terletak di Desa Canggu,
Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur di 25 km
Timur Laut Kota Kediri. Candi ini memiliki nama
asli Candi Wishnubhawanapura yang dibangun
pada abad ke-14 Masehi. Candi ini dibangun untuk
memuliakan Bhre Wengker yang merupakan
seorang raja Kerajaan Wengker yang ada dibawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Candi ini dibangun
dengan corak Hindu yang keadaannya sudha tidak
utuh lagi sekarang ini, bagian dasarnya sudah
mengalami rekonstruksi sedangkan untuk bagian badan serta atap candi sudah hancur dan tak
bersisa dan hanya kaki Candi dengan tinggi 3 meter saja yang masih berdiri dengan tegak.
Struktur Bangunan Candi Surawana – Candi Surawana berukuran 8 meter x 8 meter yang
dibangun dengan material batu andesit dan merupakan candi Siwa. Semua bagian tubuh candi
ini sekarang sudah hancur dan hanay tertinggal kaki candi dengan tinggi 3 meter, untuk naik
ke selasar atas kaki candi ada sebuah tangga berukuran sempit yang ada di bagian Barat.
6. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan yang berdiri pada 450 Masehi terletak di sebuah
daerah yang sekarang dikenal sebagai Kota Bogor, Jawa Barat. Sedangkan wilayah
kekuasaannya meliputi Jakarta, Bogor, Bekasi, Karawang dan Banten. Kerjaan tersebut bisa
dikatakan merupakan kerajaan Hindu pertama di Pulau Jawa.Raja yang paling terkemuka dan
banyak menorehkan jejak di Kerajaan Tarumanegara yakni Raja Purnawarman yang juga
dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Pada masa pemerintahannya, ia berjaya di bidang
pertanian, perikanan dan perdagangan yang membuat kehidupan rakyat sejahtera. Ia juga
memprakarsai pembuatan saluran air untuk pertanian dan mencegah banjir. Pada tahun 417 ia
memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112
tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan
menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Berikut merdeka.com merangkum
daftar peninggalan Kerajaan Tarumanegara sebagai bukti berdirinya dan keberadaan kerajaan
tersebut
1. Prasasti Ciaruteun
yang memiliki arti: "ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki dewa Wisnu, ialah kaki
Yang Mulia Sang Purnavarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di
dunia"
Kala itu dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi, dari sanalah
nama prasati ini bermula. Selain itu, Prasasti Kebon Kopi juga disebut dengan
Prasasti Tapak Gajah sebab seperti ada jejak sebesar tapak gajah di
permukaannya. Prasasti Kebon Kopi ini terletak di Kampung Muara, termasuk
wilayah Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor. Menggunakan aksara Pallawa
berbahasa Sanskerta, pada prasasti ini tertulis:
“… jayaviśālasya tārūme(ndra)sya ha(st)inah… (airā)vatābhasya
vibhātīdam=padadvāyam”
Artinya: “Di sini tampak sepasang tapak kaki … yang seperti (tapak kaki)
Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam … dan kejayaan”
4. Prasasti Tugu
vikrānto ‘yaṃ vanipateḥ | prabhuḥ satyaparā[k]ramaḥ
narendraddhāvajabhūtena | śrīmataḥ pūrṇṇavarmaṇaḥ
Artinya: “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang
sesungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian
raja-raja.”
8.Prasasti Jambu
Prasasti Jambu ditemukan di sebelah barat Bogor,
berjarak sekitar 30 km dari wilayah tersebut. Lokasi
penemuannya berada di daerah perkebunan jambu,
maka dari itu dinamakan Prasasti Jambu. Prasasti ini
terletak di Desa Parakanmuncung, Kec. Nanggung,
Kab. Bogor, tepatnya di perkampungan Pasir Gintung.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, tempat
ditemukannya prasasti merupakan Perkebunan Karet
Sadeng Djamboe. Prasasti Jambu pertama kali
ditemukan oleh tokoh bernama Jonathan Rigg
pada tahun 1854. Penemuan ini kemudian
dilaporkan kepada Dinas Purbakala pada tahun
1947. Lalu pada tahun 1954 baru diteliti untuk pertama kalinya.
Isi Prasasti Jambu terdiri dari dua baris aksara Pallawa, disusun dalam bentuk seloka
bahasa Sanskerta. Selain itu, dalam prasasti tersebut juga terdapat pahatan gambar
sepasang telapak kaki. Gambar telapak kaki terdapat di bagian atas tulisan.
Isi Prasasti Jambu :
Teks:
siman=data krtajnyo narapatir=asamo yah pura tarumayam/ nama sri purnnavarmma
pracura ri pusara bhedya bikhyatavarmmo/
tasyedam= pada vimbadvayam= arinagarot sadane nityadaksam/ bhaktanam
yandripanam= bhavati sukhakaram salyabhutam ripunam//
Bunyi terjemahan isi Prasasti Jambu :
"Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang
tiada taranya yang termashyur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di
Taruma dan yang baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini
adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat
kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya."
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa di dalam prasasti menyebutkan nama raja
Purnnawarmman yang memerintah di kerajaan/negara Taruma. Namun tidak terdapat
informasi seputar angka tahun dibuatnya prasasti jambu.
Berdasarkan bentuk aksara Pallawa yang dipahtkan pada prasasti dan dengan analisis
Palaeographis, maka dapat diperkirakan bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan
abad ke 5M.