Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian APBN

Anggaran negara atau anggaran pendapatan dan belanja negara adalah suatu

dokumen yang memuat perkiraan, penerimaan, dan pengeluaran serta perincian

berbagai kegiatan di bidang pemerintahan negara yang berasal dari pemerintah

untuk waktu satu tahun (Rachmat, 2010: 139). Anggaran tersebut merupakan

batas tertinggi dari pengeluaran negara untuk melaksanakan tugas dan keperluan

negara dan penerimaan negara yang diperkirakan dapat menutup pengeluaran

dalam periode tertentu, agar tidak menimbulkan defisit anggaran.

Sony berpendapat, bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai

estimasi biaya dari kinerja pemerintah yang hendak dicapai dalam periode tertentu

dimana anggaran tersebut harus dikonfirmasikan kepada publik untuk diberi

masukan dan kritik (Sony, 2010: 57).

Penyusunan anggaran akan mengandung suasana politik yang sangat

kental karena memerlukan pembahasan dan pengesahan dari wakil rakyat di

parlemen yang terdiri dari berbagai utusan politik (Sony, 2010: 58). Rancangan

anggaran negara yang memuat perkiraan pendapatan dan pengeluaran tersebut

harus memperoleh persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat agar memperoleh

legitimasi dalam bentuk undang-undang. Setelah memperoleh persetujuan,

rancangan anggaran negara berubah menjadi undang-undang anggaran negara

yang disingkat menjadi anggaran negara (Rachmat, 2010: 143).

8
9

2.1.1. Prosedur penyusunan APBN

Rencana Pembangunan Jangka


Visi dan Misi Presiden
Menengah Nasional (RPJMN)

Rencana Kerja Pemerintah


(RKP)

Penyusunan dan penetapan pagu


indikatif

Penyampaian KEP & PPKF ke


DPR

Penetapan Pagu Anggaran

Penyampaian RUU APBN dan


Nota Keuangan

Penetapan perpres rincian APBN

Pelaksanaan Anggaran

Sumber: Pedoman proses perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan APBN


2016, diolah 2017
Gambar 2.1.
PROSES APBN

Gambar 2.1. dapat dijelaskan sebagai berikut, rancangan APBN berpedoman pada

visi dan misi presiden dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) yang nantinya keputusan atas penggabungan tersebut akan

menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada tahun berjalan (Muindro,

2013: 47)
10

APBN yang didasarkan pada RKP akan diawali dengan, Kementrian

Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang akan

menyusun pagu indikatif (Bambang, 2016: 5). Kementrian Keuangan dan

Bappenas akan menyusun dan menyampaikan daftar usulan kegiatan untuk

anggaran rutin dan daftar usulan proyek yang telah disampaikan oleh tiap unit

eselon untuk anggaran pembangunan (Rachmat, 2010: 163). Daftar usulan

kegiatan dan daftar usulan proyek yang telah disetujui oleh DPR inilah yang

akan menjadi pagu indikatif, guna dijadikan dasar untuk menyusun Rancangan

APBN.

Selanjutnya, Kementrian Keuangan dan Bappenas akan menyampaikan

pokok-pokok kebijakan fiskal (PPKF) dan kerangka ekonomi makro (KEM)

kepada DPR selambat-lambatnya pada pertengahan bulan Mei, yang akan

membahas mengenai kebijakan umum dan prioritas anggaran, dari hasil

pembahasan tersebut akan menjadi masukan untuk penyusunan APBN (Muindro,

2013: 47).

Setelah membahas mengenai PPKF dan KEM, selanjutnya Kementrian

Keuangan akan menyusun penetapan rencana kerja dan anggaran (Bambang,

2016: 5). Menurut Muindro, Pagu indikatif yang telah disetujui oleh DPR pada

tahap pertama akan digunakan untuk menyusun rencana kerja dan anggaran

kementrian negara/lembaga tahun berikutnya, yang tentunya telah berisikan

prestasi kerja yang akan dicapai dan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya.

Rencana kerja dan anggaran yang telah disusun, akan disampaikan kepada DPR

yang nantinya akan menghasilkan pagu anggaran guna pendahuluan rancangan


11

APBN. Hasil pembahasan tersebut akan digunakan sebagai bahan penyusunan

rancangan undang-undang APBN (Muindro, 2013: 47).

Pemerintah pusat akan mengajukan rancangan UU-APBN disertai dengan

Nota Keuangan dan dokumen dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan

Agustus (Muindro, 2013: 47). Menurut Rachmat, Pembahasan rancangan UU-

APBN pada DPR dilakukan oleh Komisi APBN DPR yang anggotanya meliputi

semua fraksi yang ada di DPR. Setelah pembahasan rancangan UU-APBN maka

DPR dapat menentukan apakah menolak atau menyetujui, dengan anggapan DPR

telah menyetujui maka, rancangan UU-APBN akan dikembalikan untuk disahkan

dengan ditandatangani Presiden dan selanjutnya diundangkan dalam Lembaran

Negara oleh Menteri Sekretaris Negara. Setelah selesai tahapan pembahasan dan

pengesahan, tahapan pelaksanaan APBN dapat dimulai (Rachmat, 2010: 173).

2.1.2. Dasar Hukum Pelaksanaan Anggaran

Rachmat (2010: 175) menyebutkan dasar hukum pelaksanaan anggaran belanja


negara adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
2. Keputusan Presiden Perincian Anggaran Rutin dan Pembangunan.
3. Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP) yang telah
disahkan.
4. Keputusan Presiden mengenai Pelaksanaan Anggaran Pendpaatan dan
Belanja Negara.

Apabila pembahasan atas rancangan UU APBN telah selesai dan telah

disetujui oleh DPR, maka selanjutnya Rancangan UU APBN akan ditandatangani

oleh Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara.


12

2.1.3. Para Pejabat dan Petugas Pelaksanaan APBN

Dalam melaksanakan anggaran terdapat dua jenis pengelolaan berdasarkan subjek

pengelola dana APBN (Rachmat, 2010: 177) yakni pengelola administratif atau

pengelola umum dan pengelola kebendaharaaan atau pengelola khusus.

Pejabat yang terkait dalam pelaksanaan administratif adalah otorisator dan

ordonator. Sedangkan pejabat yang terkait dalam pengelolaan khusus adalah

bendaharawan.

2.1.4. Komposisi Pokok APBN

Rachmat berpendapat bahwa bentuk dan komposisi pokok APBN memiliki

komponen yang jelas. APBN yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang

terdiri atas dua komponen, yaitu:

1. Anggaran pembangunan yaitu penerimaan dan belanja pembangunan

2. Anggaran rutin yaitu penerimaan dan belanja rutin (Rachmat, 2010: 154)

Anggaran pembangunan adalah bagian dari APBN yang terdisi atas

anggaran penerimaan pembangunan yang berasal dari utang atau bantuan luar

negeri (Rachmat, 2010: 155). Sedangkan belanja pembangunan adalah

pengeluaran pemerintah yang berbentuk investasi (proyek-proyek), baik

berbentuk fisik maupun nonfisik.

Anggaran rutin adalah bagian dari APBN yang terdiri atas anggaran

penerimaan dalam negeri dan anggaran belanja rutin (Rachmat, 2010: 155).

Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2010 pasal 1

nomor 2 bahwa
13

Pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal
dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan
hibah dari dalam negeri dan luar negeri”. Sedangkan belanja rutin adalah
pengeluaran pemerintah yang bersifat bahan habis pakai dan. Noninvestasi.

2.2. Pelaksanaan APBN dalam Belanja Negara

Tercantum dalam Undang-undang Republik nomor 10 tahun 2010 pasal 1

nomor 8-9 bahwa “Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang

digunakan untuk membiayai belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.

Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah belanja pemerintah pusat

uang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga (K/L), sesuai dengan

program-program Rencana Kerja Pemerintah yang akan dijalankan”.

Sesuai dengan PSAP No. 2 paragraf 7 belanja adalah semua pengeluaran

dari rekening kas umum negara yang akan mengurangi saldo anggaran lebih

dalam periode tahun anggaran tersebut yang tidak akan diperoleh pembayarannya

kembali oleh pemerintah (Erlina, 2015: 153).

Belanja negara dapat dikatakan sebagai nilai pengurang kekayaan negara

berdasarkan belanja pemerintah untuk keperluan RKP yang telah dijadikan

sebagai pedoman untuk penyusunan APBN.

2.2.1. Jenis-jenis belanja Negara

Klasifikasi belanja menurut Peraturan Pemerintahan nomor 71 tahun 2010 adalah:

1. Belanja operasi

2. Belanja modal

3. Dana Perimbangan

4. Transfer lainnya (disesuaikan dengan program yang ada)


14

Erlina berpendapat bahwa sesuai dengan Permendagri nomor 21 Tahun

2011, belanja dikelompokkan menjadi dua yaitu belanja tidak langsung dan

belanja langsung sebagai berikut:

1. Belanja tidak langsung

Belanja tidak langsung adalah belanja yang pelaksaannya tidak berkaitan

langsung dengan program pelaksanaan dan kegiatan, yang terdiri dari:

a. Belanja pegawai

b. Belanja bunga

c. Belanja subsidi

d. Belanja hibah

e. Bantuan sosial

f. Belanja bagi hasil

g. Bantuan keuangan

h. Belanja tidak terduga

2. Belanja langsung

Belanja langung adalah belanja yang terkait secara langsung dengan

pelaksanaan program atau kegiatan, yang terdiri dari:

a. Belanja pegawai

b. Belanja barang dan jasa

c. Belanja modal

Sedangkan belanja yang dikategorikan sesuai dengan sumber dana asal yang

digunakan untuk pelaksanaan tersebut dibagi menjadi dua yaitu:


15

1. Pengeluaran belanja melalui rekening kas umum negara atau daerah

(belanja-LS) diakui ketika terjadi arus kas keluar dari rekening tersebut.

2. Pengeluaran belanja melalui kas di bendahara pengeluaran (belanja

UP/TUP/GU) diakui pada saat pertanggung jawaban atas pengeluaran

tersebut disahkan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan, atau

dengan kata lain ketika Surat Pertanggungjawaban (SPJ) pengeluaran

dinyatakan definitive (Erlina, 2015: 162).

2.2.2. Mekanisme UP dan TUP

Sesuai dengan pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012

poin 17 yaitu :

Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja


dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk
membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satuan kerja atau membiayai
pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui
mekanisme pembayaran langsung.

UP merupakan uang yang diberikan oleh KPPN selaku kuasa BUN pada

Satker yang dapat dimintakan penggantiannya, untuk kebutuhan operasional

sehari-hari dan pengeluaran lain yang pembayarannya tidak dapat dilakukan

melalui mekanisme pembayaran langsung (Herry, 2013: 246).

Tambahan Uang Persediaan (TUP) adalah salah satu belanja negara yang

dikategorikan sebagai belanja berdasarkan sumber dana asal yang dikeluarkan

melalui kas di bendahara pengeluaran. TUP merupakan tambahan uang persediaan

yang diakui sebagai belanja negara atas pembiayaan kebutuhan mendesak satker

karena telah melebihi pagu UP yang telah ditetapkan dalam satu bulan.
16

KPA dapat mengajukan TUP kepada kepala KPPN dalam hal sisa UP pada

bendahara pengeluaran tidak cukup tersedia untuk membiayai kegiatan yang

sifatnya mendesak atau tidak dapat ditunda (Herry, 2013: 248). TUP merupakan

dana yang akan digunakan oleh Satker apabila dana yang dibutuhkan merupakan

kebutuhan mendesak dan memiliki jumlah yang melebihi pagu UP. TUP juga

merupakan dana yang akan diberikan oleh KPPN yang bersifat tidak rutin pada

setiap bulannya. Sistematika pencairan dana TUP pun berbeda dengan dana yang

lainnya, Satker harus menyertakan perincian proyek atau kegiatan apa yang akan

dilakukan dengan dana TUP (Erlina, 2015: 175). Oleh sebab itu pada TUP, Satker

memiliki tanggung jawab tersendiri atas pelaporannya. Pelaporan dana TUP akan

berbeda dengan pelaporan dana UP maupun Ganti Uang Persediaan (GU) yang

bersifat rutin pada setiap bulan.

2.2.3. Prosedur Pengajuan TUP

Menurut Herry (2013: 248) sesuai dengan Lampiran VII Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam

Rangka Pelaksanaan APBN, KPA dapat mengajukan permintaan TUP kepada

Kepala KPPN selaku Kuasa BUN disertai:

1. Rincian rencana penggunaan TUP dan

2. Surat yang memuat syarat penggunaan TUP yaitu :

a. Digunakan dan dipertanggungjawabkan paling lama 1 bulan sejak

tanggal SP2D diterbitkan

b. Tidak digunakan untuk kegiatan yang harus dilaksanakan dengan

pembayaran LS.
17

Atas dasar permintaan TUP tersebut, Kepala KPPN melakukan penilaian

terhadap (Herry, 2013: 248):

1. Pengeluaran pada rincian rencana penggunaan TUP bukan merupakan

pengeluaran yang harus dilakukan dengan pembayaran LS

2. Pengeluaran pada rincian rencana penggunaan TUP masih/cukup tersedia

dananya dalam DIPA

3. TUP sebelumnya sudah dipertanggungjawabkan seluruhnya

4. TUP sebelumnya yang tidak digunakan telah disetor ke Kas Negara

2.2.4. Kelalaian pelaporan pertanggungjawaban TUP

Salah satu persyaratan dalam mengajukan TUP adalah dapat

mempertanggungjawabkan paling lama 1 bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan

(Herry, 2013: 249). Namun satker seringkali lalai dalam ketepatan waktu

pertanggungjawaban tersebut.

TUP harus dipertanggungjawabkan dalam waktu hanya 1 bulan dan dapat

dilakukan secara bertahap. Apabila selama 1 bulan sejak SP2D telah diterbitkan

Satker belum melakukan pengesahan dan pertanggungjawaban TUP, maka Kepala

KPPN akan memberikan surat teguran kepada Satker selaku KPA yang dibuat

sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam

Rangka Pelaksanaan APBN (Herry, 2013: 249).

Satker yang tidak dapat menyerahkan laporan pertanggungjawaban TUP

dengan waktu yang ditentukan, maka satker dapat mengajukan Dispensasi

Perpanjangan Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan. Menurut Herry


18

(2013: 249) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan

APBN, Satker dapat mengajukan permohonan dispensasi dengan persyaratan:

1. KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah dipergunakan; dan

2. KPA harus menyampaikan Pernyataan kesanggupan untuk

mempertanggungjawabkan sisa TUP tidak lebih dari 1 bulan berikutnya.

Atas permohonan dispensasi perpanjangan pertanggungjawaban TUP yang

lebih dari 1 bulan, KPA diharuskan mengajukan permohonan persetujuan

mengenai dispensasi kepada kepala KPPN. Sisa TUP yang tidak habis digunakan

oleh KPA harus disetor ke Kas Negara paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah

batas waktu 1 bulan.

Anda mungkin juga menyukai