Anda di halaman 1dari 8

Nama : Boaz Marcus W.

Kelas/Absen : 6AK/36

NIM : 215010107111151

UTS KEWARGANEGARAAN
(RESENSI FILM TANAH AIR BETA)

 Identitas Film

Judul Film : Tanah Air Beta

Produser Film : Mildo Seran

Nia Zulkarnaen

Sutradara Film : Ari Sihasale

Pemain Film : Alexandra Gottardo

Asrul Dahlan

Griffit Patricia

Yehuda Rumbindi

Lukman Sardi

Ari Sihasale

Robby Tumewu

Thessa Kaunang
Durasi Film : 95 menit

Penulis Naskah : Armantono

Produksi : Alenia Pictures

 Sinopsis

Pada tahun 1999, Timor Timur berpisah dari Indonesia,


membuat perpisahan harus terjadi. Banyak keluarga yang
mendapatkan konflik internal antara tetap berada di Indonesia,
yakni di Kupang, atau memutuskan berpindah ke Timor Leste.

Sebuah keluarga yang ayahnya sudah wafat adalah salah satu


keluarga yang menerima konflik tersebut. Merry (Griffit
Patricia) memutuskan untuk memilih tetap berada di Indonesia
dan bersekolah di sekolah kecil yang berguru ibunya, Tatiana
(Alexandra Gottardo).

Mereka berdua berpisah dengan kakak Merry, Mauro yang


memilih tinggal di Timor Leste bersama pamannya. Dirumah
mereka, mereka berteman dengan pemilik toko kelontong; Koh
Ipin (Robby Tumewu) dan Cik Irene (Tessa Kaunang).
Disekolah, Merry adalah korban kejahilan teman sebayanya,
Carlo (Yahuda Rumbindi) yang sebenarnya hanya
menginginkan seorang adik.

Ia dirawat oleh seorang keturunan Arab bernama Abu Bakar


(Asrul Dahlan) yang juga bersahabat dengan Tatiana setelah
Ibu Carlo meninggal. Tatiana rajin pergi ke pengungsian untuk
bertemu seorang relawan bernama Lukman (Lukman Sardi)
untuk mencari tahu info mengenai Mauro.
Di antara potret sosial tentang kehidupan di pengungsian itu,
Merry menduga ibunya sakit keras karena terbatuk-batuk.
Dokter puskesmas kenalan Tatiana dan Merry, Dr. Joseph (Ari
Sihasale) diminta Merry untuk memeriksa Tatiana. Tatianapun
diperiksa oleh Dr. Joseph, dan dibantu oleh Abu Bakar.

Tatiana diceritakan oleh Abu Bakar mengenai berita yang


disampaikan Lukman tentang Mauro beberapa hari yang lalu
yang membuat Merry gembira karena menduga Mauro akan ke
tempatnya. Ternyata Mauro yang berada disana tidak menyukai
ibunya yang tidak pernah menengoknya, padahal itu semua
adalah salah kaprah karena waktu tiba Mauro dan Tatiana
selalu tidak sama.

Maka, Mauro hanya meminta Merrylah yang bertemu


dengannya. Hal yang diceritakan di puskesmas itu didengar
oleh Merry yang ingin menjenguk ibunya, Merrypun bertekad
pergi ke perbatasan sendirian dengan uang tabungannya. Cik
Irene berbaik hati memberikan bekal untuk Merry.

Merrypun pergi sendiri dengan menggunakan bus hingga


sampai ke terminal terdekat dengan perbatasan (yang juga
masih sangat jauh dari perbatasan). Bertanya kepada seorang
sopir, ia mengetahui jalan ke perbatasan dan nekat berjalan
kaki.

Abu Bakar dan Tatiana yang baru saja pulang, mengetahui


Merry sudah tidak ada. Tatianapun menduga Merry mendengar
pembicaraannya dengan Abu Bakar. Abu Bakarpun segera
menyuruh Carlo untuk mencari Merry. Carlo sampai ke
terminal terakhir dan mendapat info dari sopir yang ditanyai
Merry.

Carlo juga berjalan kaki, tetapi ia beruntung menemukan mobil


pengangkut. Iapun ikut dan berhasil menemukan Merry dijalan.
Segera setelah ditinggal oleh mobil pengangkut, Merry
pingsan. Merrypun dibawa ke puskesmas terdekat dan cukup
sehat untuk melanjutkan perjalanan.

Perjalanan yang mereka lalui tidak mudah karena sedikitnya


kendaraan yang lewat. Usaha yang ulet membuat mereka
sampai di perbatasan. Mereka bertemu Lukman, Merry
menunjukkan foto keluarganya dan hubungan darahnya denga
Mauro dan Tatiana.

Lukman mengatakan bahwa Mauro sudah sampai di


perbatasan. Merry dan Carlo pergi ke perbatasan dimana
keluarga yang berpisah saling bertemu. Disana, lewat lagu
Kasih Ibu, Merry bertemu dengan Mauro. Saat mereka tengah
berangkulan, Merry meluruskan kesalahpahaman Mauro. Tepat
saat itu, Tatiana dan Abu Bakar datang. Tatiana segera pergi ke
Mauro dan Merry, dan berpelukan.

 Resensi film

Menyaksikan film ini, bayangan akan menonton film bermutu


sarat nuansa nasionalisme sudah menggelora sejak awal.
Apalagi adegan dibuka dengan penggambaran pengungsi dari
wilayah Timor-Timur yang mengalir ke wilayah Indonesia
pasca jajak pendapat memenangkan kubu pro-kemerdekaan
pada 1999. Adegan ini dahsyat bagi saya, karena detail
penggambaran ribuan pengungsi yang menggunakan aneka
jenis kendaraan terutama truk yang dipasangi bendera merah
putih dan sebagian besar lainnya berjalan kaki membuat rasa
kebangsaan saya bergetar. Apalagi mengetahui faktanya
mereka rata-rata-rata berjalan 8 jam bahkan lebih untuk
mencapai perbatasan dengan Indonesia. Dalam film ini, para
pengungsi tersebut masuk dari pintu kota Tuapukan dan Uabelo
di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Miris sekali rasa hati
ini.
Di antara para pengungsi itu terdapat Tatiana (29 tahun,
diperankan oleh Alexandra Gottardo) dan putriya Merry (10
tahun, diperankan oleh Griffit Patricia). Mereka terpaksa
meninggalkan Timor-Timur tanah airnya yang saat itu sudah
dalam proses menjadi Republik Demokratik Timor Leste
(RDTL). Mereka bahkan meninggalkan kakak Merry, Mauro
(12 tahun, diperankan oleh Marcel Raymond) yang dititipkan
pada seorang pamannya yang bertahan di Timor-Timur. Kisah
inilah yang menjadi benang merah utama keseluruhan film,
bagaimana keluarga itu berjuang untuk dapat bertemu kembali
dengan Mauro.

Namun bayangan akan menyaksikan film heroik atau minimal


mengharukan rusak begitu muncul karakter Abu Bakar
(diperankan oleh Asrul Dahlan) yang konyol. Abu Bakar ini
adalah seorang pria Timor yang baru saja menikah dua minggu
dan harus terpisah karena sang istri memihak kubu pro-
kemerdekaan (kemudian diketahui sang istri ini sudah menikah
lagi). Untuk menyambung hidupnya, pria bertubuh tinggi besar
yang buta huruf ini berjualan bensin eceran. Tingkah Abu
Bakar yang memang karakter utama pria ini mewarnai
keseluruhan film dengan gelak-tawa. Misalnya saja saat ia
mengakali penjual pom bensin yang menolak melayani
pembelian dengan jeriken (dari kata bahasa Inggris jerry can)
dengan memodifikasi tangki bensin motornya menjadi
berukuran super besar. Namun ada tindakan yang bisa
dimaknai secara simbolik saat Abu Bakar menempelkan sticker
bertuliskan “Timor Leste” secara terbalik di tangki motornya.
Meski didalihkan itu karena buta huruf, tapi bisa diartikan
berbeda. Kuatnya karakter Abu Bakar ini membuat film secara
keseluruhan terbungkus oleh komedi, padahal inti ceritanya
ironi. Yah, seperti membungkus ironi dengan komedi.

Walau begitu, nuansa kesedihan tetap terasa apalagi saat


ditunjukkan gambaran kamp pengungsian yang seadanya.
Bahkan upacara pernikahan di tepi pantai yang ditingkahi lagu
gembira “Bonita” dan “O’Dobben” tetap terasa menggiriskan
hati. Di upacara pernikahan inilah karakter dokter Joseph
(diperankan sendiri oleh sang sutradara Ari Sihasale) pertama
kali muncul setelah dicari oleh Merry yang berlari panik karena
ibunya sakit. Melalui karakter ini jualah pesan “cucilah tangan
sebelum makan” yang ternyata disponsori oleh Lifebuoy
(terlihat jelas dalam credit title di akhir film) sering digemakan,
juga lewat tokoh-tokoh lainnya. Bagi saya, masuknya pesan
sponsor ini cukup halus karena tidak ada logo sponsor terlihat
di sepanjang film, mereknya pun tidak disebut, hanya pesan
yang terasa universal itu saja.

Penggambaran karakter lain juga kuat. Misalnya karakter Carlo


(diperankan dengan baik oleh Yehuda Rumbini) teman sekolah
Merry yang nakal dan senang mengganggu Merry, ternyata
kemudian menjadi sahabat terbaiknya. Tatiana sendiri yang
mengajar di sekolah darurat dimana Merry dan Carlo belajar.
Berbagai kekonyolan juga muncul dari karakter ini, seperti
adegan saat ia mencarikan minuman untuk Merry dimana ia
mencuri air dari ceret seorang warga. Juga ada karakter
pedagang peranakan keturunan Cina yaitu Koh Ipin (Robby
Tumewu) dan Cik Irene (Tessa Kaunang) yang baik hati. Suami
istri itu selain memberikan Merry pekerjaan membantu mereka
di toko, juga membiarkan Merry membeli oleh-oleh kaos untuk
Mauro seharga Rp 5.000,- saja. Padahal harga kaos itu aslinya
Rp 50.000,-

Lukman Sardi yang di film-film lain kerap bermain sebagai


peran utama, di film ini hanya mendapatkan peran kecil sebagai
petugas relawan. Dari tangannya-lah didapatkan informasi
tentang pencarian sanak-saudara yang masih tertinggal di
Timor-Timur. Merry akhirnya bertemu Mauro di akhir film,
berlokasi di “jembatan air mata” yang aslinya terletak di Mota
‘Ain. Oh ya, disebut begitu karena di jembatan yang menjadi
pemisah kedua negara yaitu Republik Indonesia dan Republik
Demokratik Timor Leste itu warga kedua negara yang
sesungguhnya satu bangsa kerap bertemu dan saling berderai
air mata di sana.

Bagi saya, pesan film ini sangat kuat. Agar pemerintah peduli
pada nasib pengungsi Timor-Timur. Apalagi pekan lalu harian
Kompas sempat mengangkat problema ini di halaman pertama
serta liputan utamanya. Detailnya juga bagus, apalagi film ini
memang digarap di lokasi pengungsian asli di Nusa Tenggara
Timur. Apalagi penggunaan bahasa Indonesia dialek Timor
yang kental di sepanjang film mengingatkan saya pada film
kesukaan saya, Dances With Wolves (1990) yang
menggunakan bahasa Indian Sioux dan Pawnee, patut diacungi
jempol. Terlibatnya tentara asli dari kesatuan Kostrad dan
Kopassus yang berjaga di sekitar “jembatan air mata” pun
sempat mengagetkan saya. Ternyata, film ini memang
didukung resmi oleh pemerintah dan Kodam setempat seperti
tercantum di credit title. Bahkan nama sejumlah jenderal pun
terlihat di sana. Rasa nasionalisme juga terjaga dengan tidak
diperlihatkannya bendera negara RDTL sepanjang film.
Padahal, aslinya dari “jembatan air mata” perbatasan dengan
RDTL terlihat jelas.

Kalau pun ada kelemahan, selain “jembatan air mata” yang


terlihat lebih pendek dibandingkan aslinya, hanya detail-detail
kecil. Sebutlah mobil relawan yang hanya berwarna putih saja
tanpa tulisan “UN”. Mungkin Alenia Pictures tidak
mendapatkan izin dari PBB. Juga pemakaian lagu “Kasih Ibu”
yang dinyanyikan Merry dan Mauro di atas jembatan air mata -
apalagi Carlo ikut-ikutan- terasa sekali “sinetron banget”. Gaya
realis menjadi rusak di adegan surealis ini.

 Kesimpulan

pesan-pesan dalam film terwujud dalam cerita dan misi yang


dibawa film tersebut yang terangkum dalam bentuk drama,
action, komedi, dan horor. Pesan tersebut dikemas oleh sang
sutradara sesuai dengan tendensi masing-masing dan tujuan
yang berbeda-beda. Ada yang tujuannya sekedar menghibur,
memberi penerangan atau mungkin kedua-duanya. Ada juga
yang ingin memasukkan dogma-dogma tertentu sekaligus
mengajarkan kepada khalayak penonton. Tema-tema dalam
film adalah sebagai alat propaganda, unsur-unsur ideologi yang
terselubung dalam film hiburan umum dan sebagai pendidikan.
Hal ini dilandasi oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan
mengantar pesan secara unik.

Pesan yang disampaikan dalam komunikasi melalui sebuah


film bisa mempengaruhi, menimbulkan efek dengan maksud
tertentu. Terlepas apakah maksud mempengaruhi itu bersifat
jelas dan langsung atau sebaliknya. Dalam sebuah media massa
termasuk juga media film semua pesan yang terkandung dapat
ditangkap dan dipahami dengan cara menganalisanya.

Anda mungkin juga menyukai