Anda di halaman 1dari 2

Judul : Berjalan di Atas Cahaya

Jenis buku : Novel Perjalanan & Religi


Pengarang : Hanum Salsabiela Rais, dkk
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : xii + 210 halaman
Tahun terbit : 2013

Berjalan di Atas Cahaya adalah novel lanjutan 99 cahaya di langit Eropa hasil karya Hanum
Rais. Menceritakan mengenai perjalanan beberapa Muslimah yang sedang melanglang buana di
benua Eropa dan menjadi agen muslimah di negeri yang berminoritas kaum Islam.

Ya, Eropa. Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata Eropa ? menara
Eiffel mungkin, museum Louvre, tembok Berlin, bangunan bangunan modern atau masyarakatnya
yang berkulit putih. Wow, mungkin itu sejenak yang terlintas di pikiran kita. Benua biru adalah
sapaannya. Siapa sangka, penduduk yang bermayoritas non muslim itu, menyimpan banyak kisah
menarik dan bersejarah dalam peradaban masyarakat muslim terdahulu. Rangkuman kisah-kisahnya
dimuat dalam novel Hanum Rais sebelumnya yaitu 99 Cahaya Di Langit Eropa. Sedangkan di novel
terbarunya ini, kisahnya lebih menjurus pada perjalanan si penulis menjadi seorang agen muslimah
yang baik di antara masyarakat berpenduduk non muslim lainnya.

Banyak kisah perjalanan menarik yang sangat kontradiktif dengan apa yang kita
pikirkan terjadi di benua ini khususnya yang berhubungan dengan kebudayaan dan agama mayoritas
kita. Bagaimana jadinya jika seorang lansia mengeluarkan kata teroris dan bom ketika mendengar
kata Indonesia ? Bagaimana jadinya jika teman sekuliahan bahkan teman sekelas kita, menganggap
kita ini sebagai orang aneh yang kerjanya hanya berdoa setiap saat ? Bagaimana jadinya jika agama
kita, Islam dipelesetkan dengan kata ‘His-Slam’ ? yang artinya kecaman ataupun celaan.
Naudzubillah, tentunya ada perasaan mencengangkan bagaikan kilat dan guntur menghampiri kita,
membuyarkan segalanya. Berbagai pertanyaan tersebut hanya bisa kita jawab dengan balasan tidak
berupa mencaci maki atau bahkan membalas dengan ‘Slam’ sebagaimana orang itu katakan. Cukup
dengan balasan sebuah senyuman, menebarkan benih-benih kebaikan kepada lingkungan sekitar
kita, ataupun pilihan untuk tidak berkata apapun. Diam itu lebih baik daripada berbicara namun
membawa malapetaka. Sesungguhnya diam adalah emas dan berkata baik adalah berlian.
Pertanyaan itu akan terjawab dengan sendirinya selama kita masih memberikan benih-benih
kebaikan di sekitar lingkungan kita.

Tidak hanya keanehan dan kelangkaan peristiwa itu diceritakan dalam novel ini, tapi juga
budaya-budaya bangsa Eropa bermayoritas non muslim yang telah mengaplikasikan nilai moral
kedisiplinan, kejujuran, dan nilai kebaikan lainnya yang mungkin jarang kita temui di negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia. Kedai bunga yang menawarkan transaksi
kejujuran membuat warga Austria mengimplementasikan budaya kepercayaan ini. Salah sedikit,
ujung-ujungnya akan membawa kerugian. Tapi, tidak untuk kedai bunga tersebut. Hanya dengan
mengandalkan kepercayaan antara penjual dan pembeli, hal tersebut sangatlah mudah terjadi plus
mendatangkan keuntungan.

Kisah menarik lainnya datang dari dua perempuan cantik asal Indonesia yang bermukim di
salah satu negara di benua Eropa. Ia adalah Tutie Amaliah yang telah berdomisili di Austria selama
enam tahun dan Wardatul Ula, seorang pemudi aceh yang mendapatkan kesempatan untuk
menempuh pendidikan di Turki. Ada beberapa kisah perjalanan hidup mereka yang ia tuangkan
dalam buku ini, mulai dari hikmah berhijab yang termotivasi dari cerita religius teman seasramanya
yang bahkan berasal dari negara minoritas muslim, dan ada pula kisah menarik dari Tutie Amaliah
yang sering dicemooh oleh teman sekuliahannya karena jarang bergaul dengan lingkungan sekitar
kampus.

Novel ini mengisahkan perjalanan spiritual seseorang dari berbagai negara, dominannya
adalah Austria karena si penulis saat ini telah bermukim di negara tersebut. Penulis terkadang
menuliskan beberapa dialog dalam bahasa Jerman yang merupakan bahasa resmi warga Austria.
Membuat kami terbawa ke dalam dunia mereka. Buku ini di desain lebih menarik karena banyaknya
gambar-gambar para tokoh yang berperan di dalamnya, membuat kita tidak penasaran lagi dengan
rupa dan suasana kehidupan di sana, walaupun gambar yang dibuat tidak berwarna.

Rentetan kisah perjalanan di atas hanyalah sebagian kecil dari kisah hidup mereka lainnya
yang tertuangkan dalam lembaran-lembaran kertas ini. Menjadi seorang perantau tentu tidaklah
mudah, butuh proses adaptasi, apalagi untuk menjadi seorang agen muslimah yang selalu ingin
membawa cahaya putih di setiap sekubik tanah di belahan dunia. Buku ini sangat menginspirasi kita
yang sangat ingin menjadi seorang traveller sekaligus mendakwahkan ajaran agama Islam. Manusia
hanya bisa memberikan sumbangsih berupa arahan, petunjuk, ataupun motivasi hidup kepada
sesamanya tapi yang menentukan mulus tidaknya kehidupan kita hanyalah dari usaha kita dan
tentunya ridho Allah SWT.

Untuk mereka yang terus berjalan di atas cahaya....

Anda mungkin juga menyukai