A. Semiotika
Merujuk pada perkataan Suriyani (2019: 42), semiotika merupakan ilmu yang mengkaji
mengenai tanda, fungsi, dan produksi serta kaitannya dengan makna. Istilah semiotika berasal
dari bahasa Yunani “semeion” yang artinya “tanda” atau “sign” dalam bahasa Inggris.
Perangkat definisi ini bisa diterapkan dalam segala bentuk komunikasi yang memiliki makna,
misalnya bahasa, eskpresi wajah, isyarat tubuh, film, petanda dan penanda, karya sastra,
karya audiovisual, maupun hasil kebudayaan dari manusia itu sendiri. Tanpa adanya sistem
tanda ini, manusia tidak mungkin bisa berkomunikasi satu sama lain.
Roland Barthes (dalam Agata, 2020: 27-28) menekankan dalam semiotika tentang adanya
proses bagaimana sesuatu itu bisa bermakna. Selain itu, ia juga menitikberatkan interaksi
antara petanda-penanda dengan pengalaman personal-kultural penggunanya. Dikenal sebagai
sistem atau hierarki pemaknaan, Barthes membagi pemaknaan sebuah tanda menjadi dua.
Pertama, munculnya makna denotasi dari tanda. Biasanya, denotasi ini dimengerti sebagai
makna harfiah yang meiliki ketertutupan makna (Wibowo, 2013: 22). Sedangkan pada
tingkatan kedua, dari fondasi makna denotasi muncul makna konotasi yang akhirnya
mengarah pada mitos dalam rantai pemaknaan. Dalam penelitian kali ini, penggunaan teori
Barthes hanya dibatasi sampai makna denotasi dan konotasinya saja.
B. Maskulinitas Hegemonik
Raewyn Conell (dalam Suprapto, 2018: 1-11) menerangkan tentang konsep maskulinitas
hegemonik sebagai bentuk-bentuk ideal seorang laki-laki yang dikonstruksi oleh masyarakat.
Disebabkan problematika kultural, bentuk-bentuk ini selalu dinamis, alias berubah-ubah dari
satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu lain. Maskulinitas hegemonik tidak hanya
berfokus pada perbedaan “level” maskulinitas antar kelas laki-laki, tetapi juga berkaitan
dengan persoalan-persoalan kompleks seperti ras, seksualitas, orientasi seksual, dan lain
sebagainya yang tidak dapat disederhanakan ke dalam berbagai kategori dengan batasan yang
jelas.
Conell membagi hierarki maskulinitas menjadi lima tangga, kelimanya bisa diisi dan
digantikan oleh siapa saja. Tataran pertama, adalah apex atau puncak merupakan bentuk ideal
dari laki-laki yang paling diinginkan. Kedua, maskulinitas komplisit, dengan pria yang
menempati posisi ini memiliki beberapa atribut ideal yang ada di tingkatan apex, tetapi tidak
menantang struktur yang ada. Ketiga, maskulinitas marginal, dengan para pria yang tergolong
dalam ras yang termarginalisasi atau kelas sosial tertentu. Keempat, maskulinitas subordinat,
yakni kelompok pria yang merupakan oposisi dari apex dan menujukkan perilaku feminim.
Kelima, perempuan sebagai pengamat sekaligus penilai.
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Agata, Isma Aulia. 2020. Representasi Perempuan Maskulin Dalam Iklan Tvc (Analisis
Semiotika Roland Barthes Pada Iklan Pond’s White Beauty Facial Foam Edisi Gadis
Petinju). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta Press.
Suriyani. 2019. Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Gastby Body Shower Gel (Analisis Semiotika
Roland Barthes). Makassar: Universitas Islam negeri Alauddin Makassar Press.
Wibowo, Indawan Seto Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi - Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan
Skripsi Komunikasi. Edisi Kedua. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Suprapto, Deddy. 2018. Representasi Maskulinitas Hegemonik dalam Iklan. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Sains dan Humaniora, Vol. 2 No. 1, 1-11.