Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SERUMEN

Disusun Oleh :

Dila Siti Nuraeni

433131440120004

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HORIZON KARAWANG

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

Jl.Pangkal Perjuangan Km.1 Bypass Karawang 41316

Karawang, Mei 2023


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian

Serumen adalah cairan pada canalis externus yang bersifat lengket, kental,
berwarna, dan, berbau, yang khas. Fungsi serumen itu sendiri adalah sebagai
proteksi telinga terhadap debu, kotoran, pasir bahkan serangga dan
bakteri/kuman. Serumen, yang kerap disebut kotoran telinga, merupakan
produksi alami telinga. Substansi itu dibentuk oleh kelenjar seruminosa yang
terletak disepertiga luar liang telinga.

Serumen merupakan hasil sekresi kelenjar serumen yang terdapat pada bagian
tulang rawan telinga. Jumlah serumen yang terbentuk dan konsistensinya sangat
bervariasi. Adanya serumen, walaupun merupakan sekresi yang normal, dapat
menyebabkan gangguan pendengaran, nyeri telinga, keluarnya cairan, dan
vertigo. Jumlah dan konsistensinya beragam, sehingga banyak orang harus
membersihkan telinganya (mengirigasi) pada saat-saat tertentu secara teratur.

a. Serumen lunak

Serumen yang lunak dapat dikeluarkan dengan mudah dengan memakai


aplikator yang dibalut dengan kapas.

b. Serumen keras

Serumen yang keras sebaiknya di lunakkan lebih dahulu sebelum


dikeluarkan. liang telinga diteteai dengan larutan sabun 10%. Larutan
tersebut akan meresap kedalam serumen yang dibiarkan selama 20 menit.
Kemudian dikeluarkan dan diperiksa untuk memastikan apakah telinga
telah bersih dari serumen tanpa menimbulkan kerusakan pada gendang
telinga, meskipun telinga luar dan gendang telinga tampak agak kemerahan.

c. Serumen sangat keras


Serumen yang sangat keras perlu dilunakkan selama lima hari sebelum
dikeluarkan. Hal ini dilakukan oleh penderita dengan obat yang diberikan
oleh dokter dengan cara meneteskannya.

B. Etiologi

Menurut Bruner & Sudarth, (2002) sebab terjadinya serumen diantarannya:

a. Dermatitis kronik pada telinga luar

b. Liang telinga yang sempit

c. Produksi serumen terlalu banyak dan kental

d. Terdorongnya serumen ke lubang lebih dalam (karena kebisaan mengorek


telinga

C. Patofisiologi dan pathway

Dermatitis kronik pada telinga luar, liang telinga sempit, produksi serumen
terlalu banyak dan kental, serta kebiasaan membersihkan telinga yang salah dapat
mengakibatkan terdorongnya serumen ke lubang lebih dalam pada kanalis
sehingga terjadi impaksi, yang dapat menyebabkan otalgia, rasa penuh dalam
telinga dan atau kehilangan pendengaran. Penumpukan serumen terutama pada
populasi geriatrik sebagai penyebab defisit pendengaran usaha membersihkan
kanalis auditorius dengan batang korek api, jepit rambut, atau alat lain bisa
berbahaya karena trauma terhadap kulit bisa menyebabkan risiko infeksi, nyeri
membran tympani, dan perubahan persepsi sensori yang mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran.
D. Manifestasi klinis

Menurut Boies (2000), Gejala klinis yang umumnya dirasakan oleh penderita
penyakit impaksi serumen, antara lain:

a. Pendengaran berkurang.

b. Nyeri di telinga karena serumen yang keras membatu menekan dinding


liang telinga.

c. Telinga berdengung (tinitus).

d. Pusing dimana pasien merasakan lingkungan di sekitarnya berputar


(vertigo)

E. Komplikasi

Menurut Bruner & Sudarth, (2002) komplikasi yang dapat terjadi pada impaksi
serumen, diantaranya:
a. Otalgia

b. Vertigo

c. Otitis media

d. Resiko infeksi

F. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Elizabeth (2010) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan,


diantaranya:

a. CT-Scan (tulang tengkorak, mastoid terlihat kabur, ada kerusakan tulang)

b. Scan Galium-67 (terlihat focus infeksi akut yang akan kembali normal
dengan resolusi infeksi)

c. Scan Tekhnetium-99 (terlihat aktifitas osteoblastik yang akan kembali


normal beberapa bulan setelah resolusi klinik)

d. MRI (monitor serebral, pembuluh darah yang terkait)

e. Tes Laboratorium (nanah untuk kultur dan tes sensitivitas antibiotic)

f. Ketajaman Auditorius.

Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif dengan


mengkaji kemampuan pasien mendengarkan, bisikan kata atau detakan jam
tangan, bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang sebelumnya telah
melakukan ekshalasi penuh.

g. Uji Weber

Memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya lateralisasi suara.


Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan pukulkan pada lutut
atau pergelangan tangan pemeriksa. Kemudian diletakkan pada dahi atau
gigi pasien. Pasien ditanya apakah suara terdengar di tengah kepala, di
telinga kanan atau telinga kiri. Individu dengan pendengaran normal akan
mendengar suara seimbang pada kedua telinga atau menjelaskan bahwa
suara terpusat di tengah kepala. Bila ada kehilangan pendengaran konduktif
(otosklerosis, otitis media), suara akan lebih jelas terdengar pada sisi yang
sakit. Ini disebabkan karena obstruksi akan menghambat ruang suara,
sehingga akan terjadi peningkatan konduksi tulang. Bila terjadi kehilangan
sensorineural, suara akan mengalami lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik. Uji Weber berguna untuk kasus kehilangan
pendengaran unilateral.

h. Uji Rinne

Gagang garpu tala yang bergetar ditempatkan di belakang aurikula pada


tulang mastoid (konduksi tulang) sampai pasien tak mampu lagi mendengar
suara. Kemudian garpu tala dipindahkan pada jarak 1 inci dari meatus
kanalis auditorius eksternus (konduksi udara). Pada keadaan normal pasien
dapat terus mendengarkan suara, menunjukkan bahwa konduksi udara
berlangsung lebih lama dari konduksi tulang. Pada kehilangan pendengaran
konduktif, konduksi tulang akan melebihi konduksi udara begitu konduksi
tulang melalui tulang temporal telah menghilang, pasien sudah tidak
mampu lagi mendengar garpu tala melalui mekanisme konduktif yang
biasa. Sebaliknya kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan
suara yang dihantarkan melalui udara lebih baik dari tulang, meskipun
keduanya merupakan konduktor, yang buruk dan segala suara diterima
seperti sangat jauh dan lemah.

G. Penatalaksanaan

Kotoran telinga (serumen) bisa menyumbat saluran telinga dan menyebabkan


gatal-gatal, nyeri serta tuli yang bersifat sementara dan dokter akan membuang
serumen tersebut dengan cara menyemburnya secara perlahan dengan
menggunakan air hangat (irigasi). Tetapi jika dari telinga keluar nanah, terjadi
perforasi gendang telinga atau terdapat infeksi telinga yang berulang, maka
irigasi tidak dapat dilakukan karena air bisa masuk ke telinga tengah dan
kemungkinan akan memperburuk infeksi. Pada keadaan ini, serumen dibuang
dengan menggunakan alat yang tumpul atau dengan alat penghisap. Biasanya
tidak digunakan pelarut serumen karena bisa menimbulkan iritasi atau reaksi
alergi pada kulit saluran telinga dan tidak mampu melarutkan serumen secara
adekuat.

Adapun cara-cara untuk mengeluarkan serumen yang menumpuk di liang telinga,


antara lain:

a. Serumen yang lembek dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada


aplikator (pelilit).

b. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret.

c. Serumen yang sangat keras (membatu), dilembekkan terlebih dahulu


dengan karbogliserin 10%, 3 x 5 tetes sehari, selama 3-5 hari, setelah itu
dikeluarkan dengan pengait atau kuret dan bila perlu dilakukan irigasi
telinga dengan air yang suhunya sesuai dengan suhu tubuh.

d. Serumen yang terlalu dalam dan mendekati membran timpani dikeluarkan


dengan cara mengirigasi liang telinga dengan menggunakan air hangat
bersuhu 37°C agar tidak menimbulkan vertigo karena terangsangnya
vestibuler. (Brunner & Suddarth (2002).

H. Pengkajian

a. Identitas pasien

b. Riwayat kesehatan sekarang, dahulu dan keluarga

c. Keluhan utama saat masuk rumah sakit Penderita biasanya mengeluhkan


pendengarannya mulai menurun, nyeri, telinga berdengung, dan pusing
dimana pasien merasa lingkungannya berputar (vertigo)

d. Pemeriksaan fisik pada telinga:

Inspeksi

Palpasi
Data Subyektif:

1) Pasien mengatakan pendengarannya menurun

2) Pasien mengatakan nyeri pada telinga

3) Pasien mengatakan telinganya berdengung

4) Pasien mengatakan pusing dan lingkungannya berputar (vertigo)

Data Obyektif:

1) Pasien tampak lemas, pucat

2) Pasien meringis

3) Pasien akan menoleh jika di panggil berulang-ulang dengan nada lebih


tinggi. :lesi, tragus tampak merah, ada darah atau sekret yang keluar
membran tympani, serumen, benda asing dalam liang telinga. : nyeri,
kelenjar limfe membengkak.

I. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada liang telinga

2. Gangguan persepsi sensori (auditori) berhubungan dengan perubahan


persepsi sensori

3. Risiko infeksi berhubungan dengan lesi pada liang telinga.

J. Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi


keperawatan hasil
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I.08238)
tindakan Observasi
keperawatan selama
1×24 jam, • Identifikasi lokasi, karakteristik,
diharapkan tingkat durasi, frekuensi, kualitas,
nyeri menurun intensitas nyeri
dengan kriteria
hasil: • Identifikasi skala nyeri
• Keluhan nyeri • Idenfitikasi respon nyeri non
menurun verbal
• Meringis • Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan memperingan
nyeri
• Sikap protektif
menurun • Identifikasi pengetahuan dan
• Gelisah keyakinan tentang nyeri
menurun • Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
• Kesulitan tidur
menurun • Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
• Frekuensi nadi
membaik • Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
• Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
• Berikan Teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri (mis:
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi music, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, Teknik
imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
• Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis:
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
• Fasilitasi istirahat dan tidur
• Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
• Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
• Jelaskan strategi meredakan nyeri
• Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
• Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
• Ajarkan Teknik farmakologis
untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
Gangguan Setelah diberikan • Kaji ketajaman pendengaran,
persepsi sensori tindakan catat apakah kedua telinga
(auditori) keperawatan selama terlibat
1 ×24 jam,
• Ciptakan komunikasi alternatif
diharapkan
non- verbal pasien dengan orang-
gangguan persepsi
orang terdekat, seperti
pasien hilang atau
menganjurkan pembicaraan
berkurang, dengan
menulis atau menggunakan
keriteria hasil:
bahasa tubuh untuk
• Pasien dapat menyampaikan apa yang ingin
mendengar disampaikan.
dengan baik
• Anjurkan kepada keluarga atau
• Pasien tidak orang terdekat klien untuk tinggal
meminta untuk bersama pasien
mengulang
• Anjurkan kepada pasien dan
setiap
keluarga untuk mematuhi
pertanyaan
program terapi
yang diajukan

Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi (I.14539)


tindakan Observasi
keperawatan selama
1 x 24 jam, • Monitor tanda dan gejala infeksi
diharapkan tingkat lokal dan sistemik
infeksi menurun, Terapeutik
dengan kriteria
hasil: • Batasi jumlah pengunjung
• Demam • Berikan perawatan kulit pada
menurun area edema
• Kemerahan • Cuci tangan sebelum dan sesudah
menurun kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
• Nyeri menurun
• Pertahankan teknik aseptic pada
• Bengkak
pasien berisiko tinggi
menurun
Edukasi
• Kadar sel darah
putih membaik • Jelaskan tanda dan gejala infeksi
• Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
• Ajarkan etika batuk
• Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
• Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
• Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L.dkk.1997 Boies:Buku Ajar Penyakit THT.Ed 6. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 3. Ed 8. Jakarta: EGC

Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi:13.


Jakarta: EGC

Doungoes, marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan Dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
PPNI (2016). Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia: Definisin dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai