Anda di halaman 1dari 2

Pelajaran dan Hikmh Ibadah Qurban

Oleh: Hasisul Ulum, M.Ag


 Kata Qurban itu berasal dari bahasa Arab qariba-yaqrobu-qurban-wa qurbanan wa
qirbanan, yang artinya dekat. Makna Qurban menurut istilah berarti Berusaha
menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi upaya mendekatkan diri kita pada
Allah SWT. Penghalang itu adalah berhala dalam berbagai bentuknya, seperti ego,
nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta-benda dan lain-lainnya secara berlebihan.
 Kata Qurban dalam arti sembelihan atau yang lain untuk mendekatkan diri
kepada Allah dalam al-Qur’an terulang sebanyak 3 tempat: degnan redaksi
Biqurbanin, ada di Q.S. Ali Imran: 183; dan redaksi Qurbanan ada di Q.S. al-
Maidah:27 dan al-Ahqaf:28
 Hukum ibadah qurban adalah Sunnah Muakkad, atau sunnah yang dikuatkan.
Nabi Muhammad saw. tidak pernah meninggalkan ibadah kurban sejak
disyariatkannya (tahun ke-2 Hijriyyah, Tahun diperintahkan Sholat Ied dan Zakat
Maal) sampai beliau wafat. Ketentuan kurban sebagai sunnah muakkad
dikukuhkan oleh Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa ibadah kurban bagi penduduk yang mampu dan tidak dalam
keadaan safar (bepergian), hukumnya adalah wajib.
 Dalam konteks Idhul Adha, pesan mendasar dalam Qurban adalah untuk selalu
menjalin kedekatan dengan Allah SWT. dan merasakan kebersamaan dengan-Nya
setiap saat. Karena manusia mudah sekali teperdaya oleh kenikmatan sesaat yang
dijumpai dalam perjalanan hidupnya, maka Allah memberikan metode dan
bimbingan untuk selalu ber-taqorrub/ mendekat kepada-Nya sehingga dapat
melihat kompas kehidupan agar kapal kehidupan tidak salah arah.
 Dalam konteks Idul Adha, Qurban bermakna melakukan sembelihan hewan
qurban yang dilakukan pada hari Nahr tanggal 10 Dzulhijjah atau hari tasyrik
tanggal 11-13 Dzulhijjah menurut penanggalan daerah masing-masing.
 Ibadah qurban pada hakikatnya adalah bentuk ekspresi keimanan dan ketakwaan
atas perintah Allah SWT. Di samping ekspresi keimanan dan ketakwaan, ibadah
qurban adalah wujud syukur nikmat kepada Allah SWT. Juga sebagai ungkapan
simpati/empati dengan sesama manusia.
 Ibadah qurban juga berdampak positif pada dimensi ekonomi ummat, dengan
menggairahkan industri peternakan, dan menggerakan roda ekonomi masyarakat.
Hasil riset Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menunjukan bahwa

1
potensi qurban mencapai proyeksi Rp 28,4 trilyun rupiah di tahun 2019. Dan
sempat menurun seiring dengan bertambahnya angka kemiskinan penduduk,
akibat terdampak Covid-19 di tahun 2020 yaitu Rp 20,5 triliun pada tahun 2021
berangsur-angusr naik sebesar Rp 22,3 triliun rupiah. Dan Pada tahun ini
diproyeksikan naik kembali menjadi 27,5 triliun rupiah. Ibadah qurban juga
berdimensi kesehatan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat muslim.
 Dari sini dapat disimpulkan, bahwa Ibadah qurban mempunyai dua dimensi
pokok, yaitu dimensi vertikal atau hubungan dengan Allah SWT sebagai landasan
iman dan takwa, serta dimensi horizontal atau hubungan dengan sesama manusia
sebagai bentuk nyata hubungan sosialnya.
 Pengamalan qurban ini bersifat ta’abbudi dan harus sesuai dengan petunjuk Allah
dan rasul-Nya. Memang secara fisik yang disembelih adalah hewan qurbannya,
tetapi hakikatnya yang sampai pada-Nya adalah bentuk ketakwaan. Oleh
karenaya diatur dalam syariat tentang hewan2 yang diqurbankan dan syarat-
syarat yang harus dipenuhi
 Para ulama sepakat bahwa semua hewan ternak boleh dijadikan untuk kurban.
Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah kambing atau domba diperuntukkan
untuk satu orang, sedangkan unta, sapi dan kerbau diperuntukkan untuk
berkurban tujuh orang. Sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, “Kami
telah menyembelih kurban bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah
seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (Hadits
Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn
Majah: 3123).
 Ada perbedaan pendapat mengenai mana yang lebih utama dari jenis-jenis hewan
tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama adalah kambing atau
domba, kemudian sapi, lalu unta. Sedangkan Imam al-Syafi’i berpendapat
sebaliknya, yaitu yang paling utama adalah unta, disusul kemudian sapi, lalu
kambing.
 Hewan-hewan tersebut juga harus memenuhi syarat kesehatan. Ada empat
macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, “(1) yang (matanya) jelas-
jelas buta, (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya)
jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.” (Hadits
Hasan Shahih, riwayat al-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420)
 Wallahu a’lam bis-Showab

Anda mungkin juga menyukai