Anda di halaman 1dari 27

ABSTRAK

Kurban (arabnya udlhiyah) ialah binatang yang disembelih pada hari raya Kurban (Idul

Adha). Dalam ilmu fiqh, Kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan

diri kepada Allah SWT. (kurban) pada hari raya haji (Idul Adha) dan atau hari Tasriq (tanggal

10,11,12 dan 13 dzulhijjah), namun demikian terdapat pula orang yang melakukan jual beli

terhadap daging kurban maka dilakukan kajian yang komprehensif.

Tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui praktik jual beli Daging Kurban, 2)

Untuk mengetahui tinjauan fiqih muamalah terhadap jual beli Daging Kurban. Penelitian ini

merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan normatif.

Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah para panitia kurban dan juga dengan tokoh

agama sebagai petunjuk sejauh mana aplikasi hukum Islam dilaksanakan di masyarakat. Teknik

pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penjualan daging hewan kurban memang dilakukan.

Hal ini berdasarkan kesepakatan tokoh agama dan para panitia, karena penjualan daging

hewan kurban sendiri dilakukan setelah proses pembagian daging kurban selesai dan memiliki

kelebihan sehingga lebih bermanfaat di bandingkan ditumpuk. Penjualan yang dilakukan telah

sesuai dengan hukum Islam karena hal ini lebih bermanfaat. Namun demikian, penggunaan uang

hasil penjualan daging hewan kurban masih kurang tepat, karena hasil penjualan daging hewan

kurban tidak dikembalikan untuk kepentingan masyarakat melainkan dipergunakan untuk

keperluan-keperluan dalam proses pemotongan hewan kurban.


A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang universal, di mana ajaran Islam mempunyai

karakteristik yang bersifat pluralism yaitu aturan Tuhan yang tidak pernah berubah,

sehingga tidak mungkin dilawan ataupun diingkari. Islam juga merupakan agama yang

kitab sucinya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain dengan sendirinya

merupakan dasar paham kemajemukan sosial budaya dan agama sebagai ketetapan Tuhan

yang tidak pernah berubah-ubah.

Buah dari suatu ibadah bisa terlihat dari sikap dan keperibadian seseorang yang

menjalankannya, sikap dan karakter seseorang yang taat dalam menjalankan ibadah akan

tampak dari pergaulannya di dalam masyarakat, karena ibadah memiliki fungsi untuk

memperbaiki dan merubah karakter seseorang menjadi lebih baik. Di dalam Islam

seseorang tidak hanya dituntut untuk senantiasa menjaga hubungannya dengan Allah

akan tetapi di sisi lain juga menuntut umatnya untuk menjaga hubungannya dengan

sesama, karena agama Islam diturunkan sebagai rahmat untuk alam semesta,

sebagaimana Allah telah jelaskan dalam Firmannya:

‫وﻣﺎ ارﺳﻠﻨﻚ اﻻ رﻤﺣﺔ ﻟﻠﻌﻠﻤﯿﻦ‬...

Islam menuntut seluruh umatnya untuk tidak berlaku semena-mena dan senantiasa

menjaga hubungan baik dengan sesama makhluk ciptaan Allah, untuk merealisasikan hal

tersebut Allah telah mensyari’atkan ibadah yang memiliki fungsi sosial, sehingga buah

dari ibadah tersebut bisa dirasakan secara langsung, ibadah tersebut di dalam Islam

dikenal dengan istilah muamalat. Muamalat adalah pergaulan hidup tempat setiap orang

melakukan perbuatan dengan orang lain. Perbedaannya dengan ibadah murni


terletak pada obyek ibadahnya, dimana ibadah sosial menyangkut hubungan antar sesama

manusia.

Salah satu ibadah yang memiliki fungsi sosial di dalamnya adalah ibadah kurban,

ibadah kurban menuntut seseorang untuk senatiasa peka terhadap keadaan lingkungan

sekitar sehingga akan tercipta rasa kepedulian yang tinggi dalam jiwa seseorang untuk

senantiasa berpartisipasi membantu terhadap sesama yang membutuhkan. Ibadah kurban

merupakan ibadah māliyyah ijtimā’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting,

strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi

pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok keberadaannya dianggap

sebagai ma’lūm min ad-dīn bi aḍ-ḍarūrah atau diketahui secara otomatis adanya dan

merupakan bagian mutlak dari keIslaman seseorang.

Qurban disembahkan sebagai bentuk taqarrub pada Allah yaitu mendekatkan diri

pada-Nya sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta

zakat kita telah mencapai nishab (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah

memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak

menerima tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu

pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqarrub pada Allah. Alasan lainnya lagi

adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan

qurban.

Berkurban merupakan bagian dari syariat Islam yang sudah ada semenjak

manusia ada. Ketika putra-putra Nabi Adam as diperintahkan berkurban, maka Allah

SWT menerima kurban yang baik dan diiringi ketaqwaan dan menolak kurban yang
buruk. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Ma’idah ayat 27, yang

berbunyi:

Artinya: “Dan ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan

Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka

diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang

lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" berkata Habil:

"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS.

al-Ma’idah: 27)

Dalam bahasa Arab hewan qurban disebut juga udhhiyah atau adh-dhahiyah

dengan bentuk jamaknya al-adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha. Seakan kata itu

berasal dari kata yang menunjukkan waktu disyariatkannya penyembelian qurban, dan

dengan kata itu, hari penyembelihan dinamakan yaumul adhha ( hari penyembelihan).

Qurban (udlhiyah) ialah binatang yang disembelih pada hari raya Qurban (Idul

Adha). Dalam ilmu fiqh, kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat

mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Qurban) pada hari raya haji (Idul Adha) dan atau

hari Tasriq (tanggal 10,11,12 dan 13 Dzulhijjah).

Qurban adalah hewan (berupa Unta, Sapi, atau Kambing). yang disembelih pada

hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq dengan niat mendekatkan diri dengan Allah

SWT. Binatang yang dijadikan qurban harus tidak mempunyai cacat tidak boleh buta

sebelah matanya, pincang dan yang tidak besar yang diperkirakan tidak mempunyai otak

menurut kesepakatan ulama. Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang binatang
yang dikebiri tidak mempunyai tanduk tidak mempunyai kuping atau hanya memiliki

kuping atau ekornya putus.

Keutamaan dalam ber-qurban Allah menetapkan pahala ber-qurban walaupun

pisau baru digesekkan pada leher hewan itu, sebelum darahnya membasahi tanah. Hal itu

merupakan balasan atas ketaatan orang yang ber-qurban dalam memenuhi seruan Allah

SWT. Mereka telah mengorbankan hartanya agar terhindar dari cengkeraman sikap

bakhil yang pada dasarnya merupakan tabiat asli manusia. Bukti nyata Islam adalah

agama yang kaffah dan sangat memperhatikan hubungan sosial, salah satunya adalah

dengan disyariatkannya qurban. Qurban sebagai bagian dari rasa syukur seorang hamba

atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dan dengan Ikhlas dia melaksanakan

qurban lalu membagikannya kepada mereka yang pantas menerimanya.

Ditinjau dari segi sosial, ibadah kurban merupakan buah dari rasa syukur kepada

Allah atas nikmat yang telah diberikannya dan sebagai bentuk ibadah sosial dalam Islam.

Adanya kurban akan memberikan kelapangan dada, kesenangan, dan kebahagian bagi

fakir dan miskin sehingga mereka dapat merasakan kegembiraan pada hari raya kurban,

dengan adanya syariat kurban kita senantiasa diingatkan untuk senantiasa peka dan selalu

memperhatikan keadaan lingkungan sekitar di tempat kita berada.

Bagian yang menjadi bentuk kegiatan sosial atau ibadah sosial di dalam Islam

adalah pendistribusian daging hewan kurban untuk dibagi- bagikan kepada masyarakat

terutama fakir dan miskin di lingkungan tempat tinggal pemilik hewan kurban, hal inilah

yang menjadi puncak dari kegiatan ibadah sosial tersebut karena pembagian daging

kurban tersebut adalah sebagai bentuk kepedulian kepada fakir dan miskin, dengan
adanya pendistribusian daging kurban kepada fakir dan miskin maka mereka akan

merasakan kebahagian pada hari raya kurban.

Pendistribusian hewan kurban telah diatur secara jelas dan lengkap di dalam

hadis, termasuk di dalamnya bagian-bagian dari hewan kurban yang harus

didistribusikan, namun yang menjadi pertanyaan dan perdebatan di kalangan ulama

adalah apakah dalam pendistribusian hewan kurban tersebut seluruh bagian dari hewan

kurban harus didistribusikan atau tidak terutama pada bagian daging hewan kurban

tersebut, apakah dibolehkan daging hewan kurban untuk diperjualbelikan atau tidak.

Sebagian ulama menetapkan secara mutlak seluruh bagian dari hewan kurban harus

didistribusikan termasuk di dalamnya daging hewan kurban dan melarang secara mutlak

untuk memperjualbelikan bagian dari hewan kurban.

Dalil yang mengatur tentang harusnya mendistribusikan seluruh bagian dari

hewan kurban adalah hadis Nabi yang berbunyi:

‫ﻣﻦ ﺑﺎع ﺟﻠﺪ اﺿﺤﯿﺘﮫ ﻓﻼ اﺿﺤﯿﺔ ﻟﮫ‬

Mayoritas mazhab terutama mazhab Syafi’i mengharamkan menjual daging

hewan kurban. Kenyataannya tidak sesuai dari ajaran Islam, banyak ditemukan

dikalangan masyarakat muslim dalam membagikan hewan qurban apabila seorang tukang

jagal maka ia mendapatkan bagian lebih banyak dari hasil penyembelihan hewan qurban.

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil

sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan. Akan tetapi, yang lebih

selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di

atas dan alasan yang telah disampaikan. Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban
oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori

pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli

disini adalah karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata.

Sehingga tidak tepat menjual daging atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang

sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual

daging agar dapat menutupi biaya operasional Qurban.

Desa biru kecamatan Majalaya kabupaten bandung. Secara umum Desa ini

memiliki masyarakat yang gemar untuk melakukan qurban terutama pada saat datangnya

hari raya qurban. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah hewan qurban baik dalam

bentuk sapi maupun kambing pada saat pelaksanaan qurban. Masyarakat bahkan rela

menabung sebagian dari penghasilannya untuk digunakan sebagai tabungan qurban.

Banyaknya jumlah hewan qurban pada saat pelaksanaan hari raya qurban menyebabkan

jumlah daging yang telah siap diedarkan kepada masyarakat lebih banyak dari jumlah

penduduk yang ada di Desa biru kecamatan Majalaya kabupaten bandung. Daging qurban

yang masih tersisa, oleh panitia qurban ada yang dibagikan kepada masyarakat luar

muqim, namun juga ada yang di perjual belikan dan hasil penjualan digunakan untuk

biaya operasional pelaksanaan kegiatan qurban Berdasarkan fenomena di atas maka

penulis tertarik mengadakan penelitian di tempat tersebut. Adapun judul yang penulis

angkat adalah “TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP JUAL BELI

DAGING QURBAN”
B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang menjadi fokus penelitian untuk skripsi ini adalah:

1. Bagaimana praktik jual beli di Desa biru kecamatan Majalaya kabupaten Bandung ?

2. Bagaimana penentuan prosentase jatah kurban dan kriteria penerima kurban di Desa

biru kecamatan Majalaya kabupaten Bandung

3. Bagaimanakah tinjauan fiqih muamalah terhadap jual beli Daging Qurban?

C. Batasan Masalah

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui:

1. Untuk mengetahui praktik jual beli Daging Qurban

2. Untuk mendeskripsikan penentuan prosentase jatah kurban dan kriteria penerima

kurban di Desa biru kecamatan Majalaya kabupaten Bandung

3. Untuk mengetahui tinjauan fiqih muamalah terhadap jual beli Daging Qurban
BAB II

A. Landasan Teori

1. Fiqih Muamalah

a.Pengertian
Kata Muamalah berasal dari bahasa arab yang secara etimologi sama dan semakna

dengan saling berbuat. Kata inimenggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh

seseorang denganseseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-

masing.Sedangkan Fiqh Muamalah secara terminology didefinisikan sebagai hukum-

hukumyang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam

persoalanpersoalankeduniaan. Misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-

piutang,kerjasama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah dansewa-

menyewa.

Muamalah adalah hubungan antara manusia dalam usaha mendapatkanalat- alat

kebutuhan jasmaniah dengan cara sebaik-baiknya sesuai denganajaran-ajaran dan

tuntutan agama. Agama Islam memberikan norma dan etikayang bersifat wajar dalam

usaha mencari kekayaan untuk memberkesempatan pada perkembangan hidup manusia di

bidang muamalahdikemudian hari. Islam juga memberikan tuntutan supaya

perkembangan itu jangan sampai menimbulkan kesempitan-kesempitan salah satu pihak

dan kebebasan yang tidak semestinya kepada pihak lain.

Sedangkan hukum Muamalah adalah hukum yang mengatur tentang hak dan

kewajiban dalam masyarakat untuk mencapai hukum Islam, meliputi utang- piutang,

sewa-menyewa, jual-beli dan lain sebagainya. Dengan kata lain masalah muamalah ini

diatur dengan sebaik-baiknya agar manusia dapat memenuhi kebutuhan tanpa

memberikan mudhorat kepada orang lain.

Adapun yang termasuk dalam muamalah antara lain tukarmenukar barang, jual-

beli, pinjam-meminjam, upah kerja, serikat dalam kerja dan lain-lain. Dari definisi diatas

dapat dipahami ini fiqih Muamalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi
yang berdasarkan hukum-hukum syari’at, mengenai perilaku manusia dalam

kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci.

Ruang lingkup fiqih Muamalah adalah keseluruhan kegiatan muamalah

manusia berdasarkan hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi

perintah atau larangan seperti wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Hukum-hukum

fiqih terdiri dari hukum- hukum yang menyangkut urusan Ibadah dalam kaitannya

dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan

manusia lainnya.

b. Prinsip Dasar

Kegiatan muamalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari gerak laju

kehidupan manusia memiliki prinsip-prinsip dasar yang dijadikan acuan. Adapun

beberapa prinsip dasar tersebut yaitu

1) Hukum asal dalam Muamalah adalah mubah (diperbolehkan)

Ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksimuamalah adalah

diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yangmelarangnya. Dengan demikian,

kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuahtransaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak

ditemukan nash yangsecara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum

asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak

ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan

jika tidak terdapat syariat dari-Nya. Allah SWT berfirman :

Artinya:

“Katakanlah,”Terangkanlah kepadaku tentang Rezeki yangDiturunkan Allah

kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannyaharam dan (sebagiannya) halal.


“Katakanlah, “Apakah Allahtelah Memberikan Izin kepadamu(tentang ini) atau

kamumengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59).

Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan

dankelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga

mampumengakomodir transaksi modern yang berkembang.

2) Konsep Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan

Fiqih muamalahakan senantiasa berusaha mewujudkankemaslahatan,

mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia.Allah tidak menurunkan

syariah, kecuali dengan tujuan untukmerealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya,

tidak bermaksud memberibeban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia.

3) Menetapkan harga yang kompetitif

Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli iaseorang

yang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barangkebutuhan dengan

harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah(kompetitif) tidak mungkin

dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus

dilakukan pemangkasan biaya produksiyang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya

overhead lainnya.

Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal iniberpotensi

menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung olehkonsumen. Di samping

itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) denganpraktik makelar (simsar), dan lebih

mengutamakan transaksi jual beli(pertukaran) secara langsung antara produsen dan

konsumen, tanpamenggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada

akhirnyaakan dibebankan kepada konsumen.


4) Meninggalkan Intervensi yang dilarang
Islam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untukmengimani
konsepsi qadla’dan qadar Allah (segala ketentuan dan takdir).Apa yang telah Allah
tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernahtertukar dengan bagian hamba lain
dan rizki seorang hamba tidak akanpernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu
disadari bahwa nilainilaisolidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan dengan orang
lain lebihpenting daripada sekedar nilai materi.
5) Menghindari Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orangorang yang
membutuhkantidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demikepentingan
pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan transaksidengan orang yang
sedang sangat membutuhkan (darurat), Allah berfirman:
Artinya

“Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi

manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat

kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih

baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". QS. Al A’raf:85).

6) Memberikan Kelenturan dan Toleransi

Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang

ingindirealisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini

bisadipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungankemasyarakatan

lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisadiwujudkan dengan memper-

mudah transaksi bisnis tanpa harusmemberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah

akan memberikan rahmatbagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.

Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepadadebitur yang

sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yangdijalankan sedang

mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutangyang telah jatuh tempo,

disesuaikan dengan kemapanan finansial yangdiproyeksikan. Di samping itu, tetap

membuka peluang bagi para pembeliyang ingin membatalkan transaksi jual beli,
karena terdapat indikasiketidak-butuhannya terhadap obyek transaksi (inferior

product).

7) Jujur dan Amanah

Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan.Namun, kata

jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat beratmemegang prinsip ini dalam

kehidupan. Seseorang bisa meraupkeuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan

dalam bertransaksi.Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan

materialisme daricara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras

untukmembumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.Kejujuran tidak akan

pernah melekat pada diri orang yang tidakmemiliki nilai keimanan yang kuat.

Seseorang yang tidak pernah merasabahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan

Allah SWT. Dengan katalain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki

nilai kejujuran.

Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanahadalah

penipuan. Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisadiwujudkan dengan

melakukan manipulasi harga, memasang harga tidaksesuai dengan kriteria yang

sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi.

Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus

diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanyagharar

dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicuperselisihan dan

pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatanyang tertuang dalam kontrak

bisnis harus dijelaskan secara detil, terutamayang terkait dengan hak dan kewajiban,

karena hal ini berpotensimenimbulkan konflik.


Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkaitharus

melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dansebaliknya. Sebisa

mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memilikikomitmen untuk menjalankan

kesepakatan yang tertuang dalam kontrakbisnis.

c. Prinsip Umum

Prinsip umum dalam kegiatan muamalah yait 1) Ta’awun (tolong- menolong), 2)

Niat/ I’tikad baik, 3) Al-Muawanah/ kemitraan, 4) Adanya kepastian hukum. Setelah

mengenal prinsip-prinsip dalam fiqh muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami

dalam interaksi ekonomi.

Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan

berinteraksi ekonomi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi

yang dilakukansah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu

Maisir,Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.

1) Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik

perjudianseseorang bisa untung atau bisa rugi.

2) Gharar Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak

beradadalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli

gharar. Bolehdikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna

ketidaktentuandan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan,

secara umumdapat dipahami yaitu a) Sesuatu barang yang

ditransaksikan itu wujud atau tidak, b) Sesuatu barang yang

ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak, c) Transaksi itu

dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan kontraknya tidak
jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya dan lain-lain. Misalnya

membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeliternak yang

masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksiyang

bersifat gharar.

3) Haram, Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka

transaksinya menjadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-

lain.

4) Riba, Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah antara lain

dalamtransaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,

kuantitas,dan waktu penyerahan.

5) Bathil, Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung

adalah tidakada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat.

Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka,

dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-

pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang

selalu baik. Kecurangan,ketidakjujuran, menutupi cacat barang,

mengurangi timbangan tidakdibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti

menggunakan barang tanpa izin,meminjam dan tidak

bertanggungjawab atas kerusakan harus sangatdiperhatikan dalam

bermuamalat.

Secara global ruang lingkup pembahasan fikih muamalah,

adalah sebagai berikut:

a) Hukum benda: konsep harta, konsep hak, dan konsep


tentang hak milik, b) Konsep umum akad: pengertian akad, unsur-

unsur akad, macam-macam akad., c) Aneka macam akad transaksi

muamalah: jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan lain-lain.

Berdasarkan atas prinsip-prinsip yang disebutkan di atas,

para ulama fiqh membagi jenis muamalah kepada:

a. Jenis muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh nash

(Al- Qur’andan As-Sunnah) dengan memberikan batasan

tertentu, karena Allah Ta’alamengetahui bahwa manusia sulit

untuk menemukan kebebasan hakikidalam persoalan-

persoalan seperti ini.

Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh nash,

tetapi diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad para ulama, sesuai

dengan kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat

manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan

situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri.

2. Jual Beli

a. Pengertian Jual Beli

Untuk memenuhi kebutuhan hidup terdapat berbagai macam ragam dan corak serta

bentuk pertukaran yang terjadi, namun asas dan poros tempat berputarnya adalah jual

beli. Secara substansial jual beli merupakan suatu proses tukar menukar kebutuhan saja,

namun untuk lebih jelasnya perlu diberi batasan mengenai jual beli itu.

Setiap individu pasti mengalami atau melakukan transaksi yang berupa jual-beli, dari

sinilah perlu penulis kemukakan definisi dari jual-beli. Pengertian jual-beli terdiri dari
dua kata yaitu jual dan beli. Dalam istilah Islam, kata jual-beli mengandung satu

pengertian, yang berasal dari bahasa Arab, yaitu kata “ ‫”باع‬, yang jama’nya adalah “

‫ ”بيوع‬dan konjungsinya adalah ‫باع‬Y“ - -‫بيوع‬ -‫ ”البيع‬yang berarti menjual. 20 M. Ali

Hasan dalam bukunya Berbagai macam transaksi dalam Islam (fiqh Islam)

mengemukakan bahwa pengertian jual-beli menurut bahasa, yaitu jual-beli ( ‫)البيع‬

artinya “menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain)”. Kata ‫البي‬

‫ع‬dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata ‫ال‬

‫(شراء‬beli). Dengan demikian kata <‫البيع‬berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti

kata “beli”. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa:

jual-beli merupakan sarana tempat bertemunya antara penjual dan pembeli yang

dilakukan atas dasar suka sama suka, sehingga keduanya dapat saling memperoleh

kebutuhannya secara sah. Dengan demikian jual-beli juga menciptakan hubungan antara

manusia) di muka bumi ini dengan alasan agar keduanya saling mengenal satu sama lain,

sehingga interaksi sosial dapat terlaksana dengan baik, karena manusia merupakan

makhluk sosial.

Dengan demikian, jual-beli merupakan pertukaran harta antara dua pihak atas dasar

saling rela dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, berarti barang

tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud

dengan ganti yang dapat dibenarkan di sini berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan

dengan alat pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan

mata uang lainnya.

Sejak awal, Islam telah mengatur lalu lintas dagang yang dinamakan Al- Bai Was

Syiraai berjual beli. Kaidah dari al-bai’ ialah: tamliku maalinbi maalin“menukar harta
dengan harta” menurut istilah agama Islam adalah tamliku maalin bi maalin ma’at

taraadhi “menukarkan harta dengan harta dengan sama suka”, berjual beli termasuk amal

tabarru (amal sosial) dan yang termasuk dianjurkan agama Islam.

b. Rukun Jual Beli

Islam membolehkan umatnya untuk berjual-beli, oleh karena itu jual beli haruslah

sebagai sarana untuk saling mengenal antara satu sama lain sehingga hubungan

muamalat yang baik dan jual-beli yang terjadi juga atas dasar suka sama suka.

Sehingga penipuan dengan berbagai bentuknya tidak akan terjadi dalam jual-beli,

yang akan merugikan salah satu pihak. Dalam melakukan transaksi jual-beli harus

mengetahui aturan-aturan dan batasan- batasan dalam bertransaksi, oleh karena itu

penulis mencoba mengemukakan aturan-aturan tersebut dalam syarat dan rukun

jual-beli yang terdapat kitab- kitab fiqih. Adapun syarat dan rukun jual-beli secara

garis besarnya meliputi:

1) Sighat
Sighat adalah akad dari kedua belah pihak, baik dari

penjual atau pembeli. Aqad merupakan niat akan perbuatan

tertentu yang berlaku pada sebuah peristiwa tertentu. Menurut

istilah fiqh akad disebut juaga ijab qabul. Sedangkan Ijab yaitu

permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang

berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan

akad, siapa saja yang memulainya. Qabul yaitu jawaban pihak

yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya.

Setiap aktifitas apapun namanya baik yang berkaitan dengan


ibadah maupun muamalah dikatakan sah, apabila telah memenuhi

syarat dan rukunnya. Dalam hal yang berkaitan dengan aqad atau

ijab qabul menurut para fuqaha terjadi perselisihan pendapat,

yang pada garis besarnya dapat digolomgkan menjadi tiga

golongan, yakni :

a) Pendapat pertama mengatakan tidak sah akad kecuali


dengan sighat yakni suatu bentuk perakadan yang
diucapkan oleh kedua belah pihak yang melakukan akad.
Menurut golongan ini bagi orang yang terhalang
melakukan ijab qabul dengan sighat, misalnya orang
tersebut bisu maka dapat pula melakukannya dengan
isyarat atau melalui katabah.
b) Pendapat kedua mengatakan bahwa akad itu sah
dilakukan dengan perbuatan bagi hal-hal yang biasanya
dilakukn dengan perbuatan jual beli. Prinsip ini
merupakan pegangan dasar Abu Hanifah, juga
merupakan suatu pendapat Mazhab Ahmad dan Syafi’i.
c) Pendapat ketiga mengatakan, akad itu sah dilakukan
dengan cara apa saja asal menunjukkan kepada
maksudnya baik perkataan maupun perbuatan. Prinsip
ini di pegangi oleh Imam Malik dan Mazhab Ahmad pada
lahirnya.

Dengan menilik pada beberapa pendapat golongan-

golongan tersebut di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa

pada prinsipnya akad jual beli dapat dilakukan dalam segala

macam pernyataan, asalkan dapat dipahami maksudnya oleh

kedua belah pihak yang melakukan aqad, baik dalam bentuk

perkataan, perbuatan maupun isyarat bagi yang bisu atau berupa

tulisan bagi yang jauh, bisa juga dapat dilakukan melalui

kinayah.

Adapun ijab qabul, memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


a) Keadaan ijab qabul satu sama lainnya harus di satu tempat

tanpa ada pemisah yang merusak.

b) Ada kesepakatan atau kemufakatan ijab qabul pada

barang yang saling ada kerelaan diantara mereka, berupa

barang yang dijual dan harga.

Pada dasarnya ijab qabul itu tidak harus dilakukan

dengan lisan, namun akad dalam jual-beli dapat juga

dilakukan dengan sesuatu yang menunjukkan pemilikan

dan pemahaman dengan apa yang dimaksud. Dengan kata

lain, bahwa ijab qabul tersebut tidak harus dengan kata-

kata yamg jelas, akan tetapi yang dinamakan dalam ijab

qabul itu dapat juga dengan maksud dan makna yang

dilontarkan antara penjual dan pembeli dengan sindiran

atau kata kiasan.

2) Aqid

Aqid adalah orang yang melakukan aqad yaitu penjual dan pembeli.

Adapun syarat-syarat aqid adalah:

a) Baligh

Maksudnya adalah anak yang masih di bawah umur,

tidak cakap untuk melakukan transaksi jual-beli, karena

dikhawatirkan akan terjadi penipuan. Ulama fiqih sepakat

bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang


tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan sepele.

Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang

belum baligh tidak sah. Adapun menurut ulama Malikiyah,

Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak kecil dipandang

sah jika diizinkan walinya.

Mereka antara lain beralasan salah satu cara untuk melatih

kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk

jual beli.29

b) Berakal

Maksudnya adalah bisa membedakan antara yang baik dan

buruk. Berakal dalam konteks jual beli sangat diperlukan

karena hanya orang yang berakal yang akan mampu

memilih barang. Bahkan sebagian ulama mensyaratkan

agar hanya orang berakal yang melakukan kegiatan

transaksi. Berakal sebagai salah satu syarat juga memiliki

makna bahwa orang yang gila tidak sah melakukan akad

transaksi.

c) Tidak Dipaksa

Maksudnya adalah orang yang melakukan transaksi harus

dilakukan atas dasar suka sama suka. Azas suka-sama suka

merupakan perwujudan dari adanya sikap saling ridha di

antara para pelaku transaksi. Azas ini merupakan syarat

yang paling mutlak dalam suatu kegiatan jual beli. Hal ini
memiliki makna bahwa dalam islam itu kegiatan

pemaksaan sangat dilarang.

3) Ma’qud ‘alaih

Harta di dalam bahasa Arab disebut dengan al-mal atau dalam

bentuk jamaknya adalah al-amwal. Menurut kamus al-Muhith,

tulisan al-Fairuz Abadi, disebutkan bahwa harta adalah ma

malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai).

Sementara itu dalam bahasa Inggris perkataan yang menunjukkan

pengertian tentang harta adalah property, yang berarti sesuatu

yang bisa dimiliki baik yang bisa dirasa, seperti bangunan,

ataupun yang tidak bisa dirasakan dalam bentuk fisik. Contoh

dalam hal ini adalah harta intelektual, seperti hak cipta.

Sedangkan menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala

sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut

hukum syara’ (hukum Islam), seperti jual-beli (al-bai’),

pinjaman- meminjam (‘ariyah), konsumsi dan hibah atau

pemberian. Berdasarkan pengertian tersebut, maka segala sesuatu

yang digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam

kehidupan sehari-hari disebut dengan harta. Seperti uang, tanah,

rumah, kendaraan, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil

peternakan dan perkebunan, dan juga pakaian semuanya

termasuk dalam kategori al- amwal, harta kekayaan.

Barang yang diperjual-belikan oleh penjual dan pembeli


dapat diketahui dengan jelas zatnya, bentuknya maupun sifatnya

sehingga tidak terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak

yang mengadakan jual-beli, juga tidak terjadi jual-beli gharar,

karena hal itu adalah dilarang oleh agama Islam.

Barang yang diperjual belikan hendaknya barang yang telah halal

baik secara zatnya maupun secara proses mendapatkannya. Hal

ini memiliki implikasi bahwa dalam islam itu telah diatur

sedemikian rupa agar proses transaksi jual beli bukan hanya

melihat unsur kesucian zat benda yang diperjual belikan namun

harus juga memperhatikan cara memperolehnya.

Barang yang diperjual belikan tidak boleh mengandung

cacat yang disembunyikan oleh pihak pembeli. Pihak penjual

harus memberikan informasi yang komplit mengenai kelebihan

dan kekuarangan barang yang akan diperjual belikan. Hal ini

diperlukan agar tidak terjadi penyesalan pada masing-masing

pihak.

b. Dasar Hukum Kebolehan Jual Beli

Pada prinsipnya hukum jual beli dalam Islam adalah halal.

Adapun prinsip hukum ini sebagaimana ditegaskan di dalam

himpunan firman-firman Allah SWT. yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad SAW. dan dijadikan konstitusi dasar yang

abadi serta mengemukakan kaidah-kaidah kulliyah yang

mendasar dan mempunyai daya nalar sepanjang zaman juga


mampu ditetapkan dalam setiap suasana di lingkungan

masyarakat yakni Al-Qur’an.

1) Al-Qur’an

a) Alquran dalam surat Al-Baqarah: 275

Artinya
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.32

Hal ini menunjukkan bahwa betapa Islam menjaga agar

dalam melakukan kegiatan transaksi harus didasarkan pada azas

keterbukaan dan tidak memasukkan unsur-unsur penipuan dalam

menjalankannya.

b) Firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 29

Artinya
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.

Riba adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak
semua akad jual beli adalah haram sebagaimana yang
disangka sebagian orang
berdasarkan ayat ini. Hal ini dikarenakan huruf alif dan
lam dalam ayat tersebut untuk menerangkan jenis dan
bukan untuk yang sudah dikenal karena sebelumnya tidak
disebutkan ada kalimat al-bai’ yang dapat dijadikan
referensi, dan jika ditetapkan bahwa jual beli adalah
umum, maka ia dapat dikhususkan dengan apa yang telah
kami sebutkan berupa riba dan yang lainnya dari benda
yang dilarang untuk di akadkan seperti minuman keras,
bangkai, dan yang lainnya dari apa yang disebutkan dalam
sunnah dan ijma para ulama akan larangan tersebut. 34
Allah telah mengharamkan memakan harta orang lain

dengan cara batil yaitu tanpa ganti dan hibah, yang demikian itu

adalah batil yang berdasarkan ijma umat dan termasuk

didalamnya juga semua jenis akad yang rusak dan tidak boleh

secara syara’ baik karena ada unsur riba atau jahalah.

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zilalil Qur’an


mengemukakan bahwa Allah SWT. menghalalkan jual-
beli dan mengharamkan riba, karena tidak adanya unsur-
unsur kepandaian, kesungguhan dan keadaan alamiah
dalam jual-beli dan sebab-sebab lain yang menjadikan
perniagaan pada dasarnya bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Sedangkan, perbuatan riba pada dasarnya
merusak kehidupan manusia, Islam telah mengatasi
keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu dengan
pengobatan yang nyata, tanpa menimbulkan gejolak
ekonomi dan sosial.35

Menurut A. Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-

Maraghi menyatakan bahwa, memakan harta dengan cara yang

batil adalah mengambil tanpa keridhaan dari pemilik harta atau

menafkahkan harta bukan pada hakiki yang bermanfaat, maka

termasuk dalam hal ini adalah

Anda mungkin juga menyukai