Anda di halaman 1dari 278

DEP - SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

PROGRAM PENOIOIKAN DOKTER SPESIALlS I

PEDOMAN DIAGNOSIS

DAN

TERAPI

JANUARI

2015

Buku ini disusun untuk melengkapi persyaratan PPOS I yaitu adanya buku Pedoman
dan OiC1gnosis dan TerC1pi. Sumber dari penyusunan buku ini ada/ah:

I. Sebagian besar dari modul 1 sampai modul 19 Kolegium Obstetri Gineko/ogi


Indonesia Tahun 2008
2. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal Tahun
2010 IBuku Abu-abuJ: Abortus, KET, Mola, Retensio Placenta
3. Paper Dr Hermanto TJ, SpOG-K : Diabetes Melitus Gestasional dan Emboli Air
Ketuban
4. Up to date diakses desember 2014 untuk hiperemesis gravidarum,
polihidramnion dan oligohidramnion, inversio uteri, dan kehamilan abdominal.
Tentunya buku ini diperuntukkan bagi Peserta PPDS sebagai bahiln acuan maupun
tambahan sambil menunggu PDT dari Departemen SMF Obstetri Ginekologi. Sehingga
unsur edukatif sangat menonjol dalam penyusunannya. Cara pemakaian buku ini
adalah sebagai komplementer dari buku yang sudah ada sambil menunggu PDT yang
lebih definitif.

Mudah-mudahan bul<u ini dapat dipakai sesuai tujuannya.

Ketua Program Studi

Obstetri Ginekologi

Dr. Hermanto T.J, dr. SpOG-K


1. ABORTUS I
2. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU 8
3. HIPEREMESIS GRAVIDARUM 12
4. MOLA HIDATIDOSA 27
S. PERSALINAN PRE·TERM 31
6. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN 33.
7. PLASENTA PREVIA 49
8. SOLUSIO PLASENTA 50
9. PERTUMBUHAN JANIN TERLAMBAT 51
10. MALPRESENTASI 52
11. KEHAMILAN GANDA S4
12. KETUBAN PECAH DINI 6S
13. KEHAMlLAN POSTTERM 67
14. DISTOSIA DALAM PERSAlINAN 68
15. DISTOSIA BAHU 70
16. PERSALlNAN PADA BEKAS SEKSIO SESAREA 71
17. POLIHIDRAMNION DAN OLIGOHYDRAMNJON 73
18. KEHAMILAN ABDOMINAL 77
19. EMBOLI AIR KETUBAN 78
20. PERDARAHAN PASCA PERSALINAN 82
21. RUPTURA UTERI 85
22. INVERSIO UTERI 86
23. RETENSIO PLASENTA 87
24. PLASENTA INKARSERATA DAN AKRETA 89
2S. DENYUT JANTUNG JANIN IDJJ) ABNORMAL DALAM PERSAll NAN 92
26. KEMATIAN JANIN 97
27. ACUTE FAnY LIVER 99
28. KOLESTASIS INTRAHEPATIK DALAM KEHAMILAN 100
29. HEPATITIS VIRUS 101
30. ANEMIA 104
31. HEMOGLOB/NOPATI: THALASEMIA 106
32. TROMBOSITOPENIA 107
33. HEMOFILIA 109
34. TUBERKULOSIS DALAM KEHAMILAN 110
35. MALARIA DALAM KEUAMlLAN 115
36. DEMAM BERDARAH DENGUE 122
37. DIABETES MEwruS GESTASIONAL IDMG) 129
38. HIPOTIROIDISME DAN HIPERTlROID 138
39. BAYI BARU LAHIR DENGAN ASFIKSIA 142
40. SINDROMA ASPIRASI MEKONIUM ~. 146
41. INFEKSI HIVjAIDS & TRANSMISI VERT/KAL l~n
42. MASALAH EMOSI DAN KEJIWAAN SELAMA KEHAMILAN 154
43. AMENOREA 159
46. MENOPAUSE DAN TERAPI PENGGANTIAN HORMUN IISI
47. HIRSUTISME 188

48.INFERTILITAS 191

49. METODE KELUARGA BERENCANA ALAMIAH IKBA) 197

SO. MIOMA UTERI 218

Sf. ADENOM/OSIS 222

52. WI PRA-KANKER SERVIKS 226

53. KANKER SERVIK 228

54. KANKER INDUNG TELURI OVARIUM) 235

55. PENYAKIT TROFOBLAST 239

56. KANKER ENDOMETRIUM /KORPUS DAN SARKOMA) 242

57. KANKER VULVA 245

58. PELVIC ORGAN PROLAPS 256

59. INFEKSI MENULAR SEKSUAL IIMS) 263

60. PENYAKIT RADANG PANGGUL 270

1. ABORTUS

Definisi

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pilda atau
sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu
untu:~ hid up di luar kandl,mgan.
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi luar
(bua:ar.) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Terminologi umum untuk masalah ini
ada Ian keguguran atau miscarriage.
Abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan
untu~ mengakhiri proses kehamilan. Terminologi untuk keadaan ini adalah penggugu­
ran, aborsi atau abortus provokatus.

Gejala klinik
• Perdarahan bercal~ hingga derajat sedang pada kehamilan muda
• Perdarahan masif atau hebat pad a I<ehamilan muda

Penanganan umum
Lakul~an penilaian awal untul~ segera menentukan I<ondisi pasien (gawat darurat,
komplikasi berat atau masih cukup stabil)
.• Pada kondisi gawat darurat, segera upayal~an stabilisasi pasien sebelum melai<ul~an

tindakan lanjutan (evaluasi medik atau merujul<)


• Penilaian medik untui< menentui<an kelaikan tindakan di fasilitas kesehatan setempat
atau dirujuk ke rumah saldt.
8ila pasien syok atau I<ondisinya memburuk aid bat perdarahan hebat. segera atasi
komplikasi terscbut (lihilt penatalaksanaan syok).
Gunakan jarum infus besar (16 G atau lebih besar) dan berikan tetesan cepat (500 ml
dalam 2jam pertamajlarutan garam fisiologis atau Ringer.
- Periksa Kadar Hb, golongan darah dan uji padanan-silang (crossmatch/,
• Ingat: kemungkinan hamil cktopil< pada pasien hamil muda dengan syok bera!.
• Bila terdapat tanda·tanda Sepsis, berikan antibiotika yang sesuai [lihat peniltalaksanaan
syok septik).
• Temukan dan hentikan dengan segera sumber perdarahan.
• Lakukan pemantauan ketat tentang kondisi pascatindal~an dan perl<embangan lanjut­
an

PPDSIOil>tW"~G~2015
Tabel 1.1. Diagnosis dan penatalaksanaan perdarahan pada kehamilan
muda

Perdarahan Serviks Uterus Gejala/ tanda Diagnosis Tindakan


Bercak Tertutup Sesual Kram perut Abortus Observasi
Hingga dengan bawah imminen perdarahan
se·dang usia Uterus luna l< s Istirahat
gestasi Hindarl<an
coitus
Sedikit Limbung Kehamil Laparotomi
membes atau pingsan an dan parsial
ar Nyeri perut Ektopil< salpingektomi
i dari bawah yang atau
i . normal Nyeri goyang tergangg salpingostomi
porsio u
Massa
I
adneksa
I
Cairan bebas !
intraabdomen
Tertutup / Lebih Sedikit! Abortus Tidak perlu
terbuka kecil tanpa kornplit Terapi spesitik
:dari usia nyeri perut kecuali
gestasi bawah perdarahan
Riwayat I berlanjut
ekspulsi atau terjadi
Hasil konsepsi i Infel<si
Sedang Terbuka I<ram atau Abortus I Evakuasi
hingga nyeri perut insipiens
masit/ban bawah
yal< Belum terJadl
ekspulsi
hasil konsepsi
Kram atau Abortus Evakuasi
nyeri perut Inkomplit
bawah
Ekspufsi
sebagian

I
Hasil konsepsi

f'PDS 1 Oh>t>troM.."G~v2015
Terbuka Lunak Mualjmuntah I Abortus Evakuasi

r dan
-Iebih
Kram perut
bawah
mola Taralak5ana
Mola
besar Si~~roma I'
I
dari m/rlp
usia preeklampsia I

gestasi TiiK adii janin I

I ke luarl

I Ijaringan I

seperti anggur

i -----

Jenis abortus
Abortu~- spontan

• Abortus imminens
Terjadi perdarahan bereak yang menunjukkan aneaman terhadap kelangsungan suatu
kehamilan. Dalam I(ondisi seperti ini. I<ehami/an masih mungl<in berlanjut atau diper­
tahanl(an.
• Abortus insipicns
Perdarahan ringiln hingga sedang pada I(ehaml/an muda di mana hasil I(onsepsi masih
berada dalam I<avum uteri. I<ondisi ini menunjukl<an proses ilbortus sedang
berlangsung dan al(an bcrlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit.
• Abortus inkomplit
Perdarahan pada kehamiJan muda dimana sebagian dari hasi/ konsepsi telah ke Juar
dari I(avum uteri meJalui kanalis servil<alis.
• Abortus komplit
Perdarahan pada I<ehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah dil<eluarkan dari
I<avum uteri.

Abortus infeksiosa.
Abortus infellSiosa adalah abortus yang disertai I(omplikasi inleksi. Ad,mya penyebaran
kuman atau toksin ke dalam sirkulasi dan I<avum peritoneum dapat menimbulkan
septikemia, sepsis atau peritonitis.

Retensijanin mati(Missed abortion)


Perdarahan pada kehamilan muda disertai dengan retemi hasil konsepsi yang telah mati
hingga 8 minggu atau Jebih. Biasanya diagnosis tidak dapat ditentukan hanya daJam satu
kali pemeriksaan. melainkan memerlukan waktu pengamatan dan pemeriksaan ulangan.

Abortus tidak aman (Unsafe abortion)


Upaya untuk terminasi kehamilan muda di mana pelaksana tindakan tersebut tidak
mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat memba-

PPOS I Ob,twvAAn,G~2015
hayakan keselamatanjiwa pasien.

Penanganan

Penilaian awal

Untuk penanganan yang memadai, segera lakukan penilaian dari:

• Keada~n umum pasien


• Tanda-tanda syok Ipucat, berkeringat banyak, pingsiln, tekanan sistolik < 90 mmHg,
nadi> 112 x/menit).
• Sila syok disertai dengan massa lunak di adneksa, nyeri perut bawah, adanya cairan
bebas dalam kavum pelvis; pikirkcln kemungkinan kehamilan ektopik yang terganggu,
• Tanda-tanda infeksi atau sepsis IdemClm tinggi. sekret berbau pervaginam, nyeri perut
bawah, dinding perut tegang, nyeri goyang porsio, dehidrasi. gelisah atau pingsan),
• Tentukan melalui evaluasi medil< apakah pasien dapat ditatalaksana pada fasilitas
kesehcHan setempat atau dirujuk Isetelah dilakul<an stebilisasi)

Penanganan spesifik

Abortus imminens
• Tidal< diperlukcln pengobatan medik yang khusus atau tirah baring secara total
• Anjurk~n untul< tidak melakul<an al<ti(itas (isik secara berlebihan atau melakukan
hUbungan seksual
• Bila perdarahan:
Berhenti: lakukan asuhan antenatal terjadual dan penilaian ulang bila terjadi per­
darahcm lagi
TeTUs bcrlangsung: nilai kondisi janin IUji I<ehamilan/USG), Lalwkan konfirmasi
kemungkin<ln ildanya penyebab lain Ihamil ektopik atau mala)
Pada fasilitas kesehatan dengan sarana terbatas, pemantauan hanya dilakukan
melalui gejala klinik dan hasil pemeriksaan ginekologik

Abortus insipiens
• Lakukan prosedur evakuasi hasil konsepsi
Bi/a usia gestasi ~ 16 minggu, evakuasi dilakukan dengan peralatan Aspirasi Vakum
ManualIAVM) setelah bagian-bagianjanin dikeluarkan
Bila usia gestasi ::: .16 minggu, evakuasi dilakukan dengan prosedur Oilatasi dan
Kuretase IO&K).
• Bila prosedur evakuasi tidak dapat segera dilaksanakan atau usia gestasi lebih besar
dari 16 minggu, lakukan tindakan pendahuluan dengan:

P1'D5 I OW;w,dili'G~~2015
Infus Oksitosin 20 unit dalam 500 ml NS ettetU RL muleti de:1gan 8 tetes/menit yang
dapat dinaikkan hingga 40 tetes/menit, sesuai dengan l<endisi kontraksi uterus
hingget terjadi pengeruaran hasil konsepsi
Ergometrin 0,2 mg 1M yang diulangi 15 menit kemudian
- Misoprostol 400 mg per oral dan apabila masih diperlukan, dapat diulangi dengan
dosis yang sama setelah 4 jam dari dosis etWetl.
• HasH konsepsi yang tersiset dalam kavum uteri dapat dikeluarkan dengan AVM atau
DOoK (hati-hetti risiko perforasi)

Abortus inkomplit
• Tentukan besar uterus (tetksir usia gestasi), kenali dan atasi setiap komplikasi (per­
darahan hebat, syok, infeksijsepsis)
• Hasil konsepsi yang terperangkap pada serviks yang disertai perdarahan hingga ukuran
sedang, dapat dikeluarkan secara digital atetu cunam ovum. Seteleth itu evaluasi
perdarethan:
aila perdetrahan berhenti, bed ergometrin 0,2 mg 1M atetu misoprostol 400 mg per
oretl
8ila perdetrahan terus berlangsung, evakuetsi sisa hasil I<onsepsi dengan AVM atau
D&K (pilihan tergantung dari usia gestasi, pembul<aan serviks dan keberadetan
bagian-bagianj,min)
• Bila tal< ada tanda-tandet infeksi, beri antibiotika profilaksis (ampisilin 500 mg oral) atau
doksisiklin 100 mg)
• 8ilet terjadi infe/<si. beri ampisilin 1 9 dan metronidazo/ 500 mg setiap 8ji?,m
• 8i1a terjadi perdarahan hebat dan usia gestasi di bawah 16 minggu. segera /akukan
evakuasi dengan AVM
• Bila pasien tampak anemik, berikan sulfas ferosus 600 mg per hari selama 2 minggu
(anemia sedang) at3u transfusi darah (anemia berat),

Pada beberapa kasus, abortus inkomplit erat kaitannya dengan abortus tidak aman. oleh
sebab itu, perhatikan hal-hal berikut ini:
• Pastikan tidak ada komplikasi berat seperti sepsis. perforasi uterus atau cedera intra­
abdomen (mualjmuntah. nyeri punggung. demam. perut I<embung. nyeri perut bawah.
dinding perut tegang. nyeri ulang lepas)
• Bersihl<an ramuan tradisional.jamu, bahan kaustik, I:ayu atau benda-benda lainnya dari
regio genitalia
• Berikan boster tetanus toksoid 0,5 ml bila tampetk luka kotor pada dinding vagina atau
kanalis servisis dan pasien pernah diimunisasi.
• Bila riwayat pemberian imunisasi tidakjelas. berikan serum anti tetanus (ATS) 1500 Unit
1M diikuti pengan pemberian tetanus toksoid 0.5 ml setelah 4 minggu
• Konseling untuk kontraseps; pascakeguguran dan pemilntiluiln lilnjut

Pro.! I Ob>MY"d<v. G~20!s


Abortus komp/it

I Apabila kondisi pasien baik, cukup diberi tablet Ergometrin 3x I tablet/hari untuk 3
hari.
I Apabila pasien mengalami anemia sedang, berikan tablet Sulfas Ferosus 600 mg/hari
selama 2 miriggu disertai dengan anjuran mengkonsumsi makanan bergizi (susu,
sayuran segar, ikitn, daging, telur). Untuk anemia berat, berikan transfusi darah.
I ApabiJa tidak terdapat tanda-tanda infeksi tidak perlu diberi antibiotika, atau apabila
khawatir akan infeksi dapat diberi profilaksis.
Abortus infeksiosa

I Kasus ini berisiko tingg; untul< terjadi sepsis, apabila fasi/itas kesebatan setempat tidak
mempunyai fasilitas yang memadai, rujuk pasien ke rumah sakit.
• Sebelum merujuk pasien lakukan restorasi cairan yang hilang dengan NS atau RL
melalui infus dan berikan antibiotika (misall1ya: ampisilin 1 g dan metronidazol 500 mg).
I Jika ada riwayat abortus tidak aman, beri ATS dan TT.
I rada fasilitas kesehatan yang lengkap, dengan perlindungan antibiotika berspektrum
luas dan upaya stabilisasi hingga kondisl pasien memadai, dapat dilakukan pengo­
songan uterus sesegera mungl<in (Iakukan secara hati-hati I<arena tingginya kejadian
perforasi pada kondisi ini).
Tabel 1.2. Kombinasi antibiotil<a untuk abortus Infeksiosa

Kombinasl antibiotika Oosis oral Catatan


Ampisilin 3 x 1 9 oral Berspektrum luas dan
dan Metronidazol dan 3 x 500 mencakup untuk
mg gonorrhoea dan bakteri
anaerob
Tetrasiklin 4 x 500 mg Baik untuk klamidia,
dan KJindamisin dan 2 x 300 gonorrhoea dan bal<teroides
mg fragiJis
Trimethoprim 160 mg Spektrum cukup luas dan
dan dan 800 mg harganya relatif murah
Sul!ameth~sazol~ _ _ _ _ _ _"--__________~

Tabel 1.3. Antibiotika parenteral untuk abortus septik

Antibiotika Cara Pemberian Oosis


Sulbenisilin IV 3xlg
Gentamisin 2 x 80 mg
Metronldazel 2 xl 9
Seftriaksone IV 1x 19
Amoksisiklin+ IV 3 x 500 mg
Klavulanik Acid 3 x 600 mg
Klindamisin

PPDS I OIntW"do.¥vG~2015
Missed abortion

Missed abortion seharusnya ditangani di rumah sakit atas pertimbangan:

• P/asenta dapat me/ekat sangat erat di dinding rahim, sehingga prosedur eVilkuasi
(kuretasej akan lebih sulit dan risiko perforasi lebih tinggi.
• Pada umumnya kana/is servisis dalam keadaan tertutup sehingga perlu tindakan di/atasi
dengan batang laminaria selama 12 jam.
• Tingginya kejadian komp/ikasi hipofibrinogenemia yang ber/anJut dengan gangguan
pembei-uan darah.

KONTRASEPSI PASCAKEGUGURAN
Metode Waktu aplikasi Keterangan

Kcndom Segera Efektifitas tergantung dari tingkat

kedisiplinan klien dapat mencegah PMS

Pil Segera Cukup efektif tetapi per/u ketaatan

Hormonal pasien untuk minum pil ini secara

teratur

Suntikan Segera Konseling untuk pilihan harman

tunggal atau Ilombinasl

Implan Segera Sesuai pasangan yang ingin I<antrasepsi

jangka panjang :

AKDR Segera atau sete/ah Pertimbangkan I<ondisi k/ien (anemis)

kondisi pasien atau resil<o infel(si (PMS/ITG) pasca

memuaskan insersi

Tubektom Segera Sesuai untui< pasangan yang ingin

i menghentikan infertilitas

Pl'DS I o~".u..vG~ZOJ5
2. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Definisi

Kehamilan ektopik ialah kehamilan di mana setelah fertilisasi; implantasi terjadi di luar
endometrium kavum uteri. Hampir 90% kehamilan ektopik terjadi di tuba uterina.
Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptura apabila massa kehamilan
berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi (misalnya: tuba) dan peristiwa ini
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.

GejaJa klinik
• Perdarahan pada kehamilan muda disertai syok dan anemia yang tidak sebanding
deng~njumJah perd~rahan yang keJuar

• Upaya diagnosis sangat tergantung dari atau sudah terganggunya kehamilan ektopik

Dugean kenamitan eklopik

A.. Tarlda-I:lnda h."lmil rr.uda


upeltt muaV·"untal'1. terlamb;sl
-.-1-
I
B. Riwayat predisposisll8pertl
inleksl panggul yang kronik,
hald atau sporting. diserti:l.i nyerl . risiko lin991 PMSIITR. lnfar1ititu
unllaferal, mOlSS;J Dad.::.. adnek:sD.
T

~tabil C. 5Nllal
1stam k8k~t:~n
d kiln Ie

A
hasH se,Ial nOV.,kUla"
9 8 1a1a KEf emalokt"
akWk,on"
------c
,~~~a~ndISI khrl!k
h'::G . da~nuUrasonoQta
h&malokrll ll
"
__~ Tanda·landa
ma;"n progrll51'

',,-
.. I I
T •
T
G.jal••gejal.
:::'7:~,k.:.m".n
• "
" ~~~~~~::~,u;';,"·
:':b'",••nod'd.·
dar." me,,'u a anan
,.nd••••
btt.urllng

~
"IU tetbuldl " "'.m.laktll me"u
IClany.. kahamitan ". 'un

~----
11'111' LlI.rin

7~"~'''' '

'\

~
Syok OiSt8I'1S!

" Abdom'n"
Ncgnlil ~
P osild

Singkirkan:
ab<lr1vs imminens.
ahor1us inkamplil. 1 :
~
L~"ARoToMr
E. i
olbor1US komi"i!. LAPAAOSKOPI
AlolU lIel'l... m(11'In
I. J
heterotopik

SALPINGOSTOMI
atau
SALPINGEKTOMI

Gambar 2.1. Penilaian Klinik dan penanganan kehamilan ektopik

P1'D5 I Ob,tm,,~G~2015
• Sete/ah episode mirip geja/a abortus pada umumnya, terjadi gangguan mendadak yang
diikuti memburuknya kondisi pasien secarCl cepat

Penanganan umum
• Ingat: Kehamilan muda yang disertai geja/a-gejala yang tidak umum pada daerah
abdomen, hendal<nya dipikirl<an I<ehamilan ektopik sebagai salah satu diagnosis
banding,
• Upayakan untuk dapat menegakkan diagnosis karena geja/a hamil ektopik sangat
variatif berkaitan dengan tahapan perkembangan penyakit.
• Kehami/an ektopik Ibe/um atau sudah terganggu) memerlukan penanganan segera di
fasilitas kesehatan yang mempunyai sarana lengkap,
• Perdarahan yang terjadi dapat mencapai jumlah yang sangat banyak sehingga diper­
lukan penyediaan darah pengganti.
• Jenis tindakan pada tempat implantClsi (tuba, oVClrium, ligamentum) tergantung dari
upaya penye/amatanjiwa dan konseniasi reproduksi

Penilaian klinik

Diagnosis hamil ektopik sangat ditentukan dengan kondisi berilmt ini:

Kehamilan ektopik yang belum terganggu

Pada I<eadaan ini, juga ditemui gejala-gejala kehamilan muda atau abortus imminens

Iterlambat haid, mual dan muntah, pembesaran payudara, hiperpigmentasi areola dan

garis tengah perut, peningkatan rasa ingin berl<emih, porsio livide, pelunal<an serviks.

perdarahan bercak berulang),

Tanda-tanda tidak umum dari hasil pemeriksaan bimanual pada tahapan ini adalah:

• Adanya massa lunak di adneksa (hati-hati saat melakukan pemeriksaan karena dapat
terjadi ruptur atau salah duga dengan ovarium atau kista kecil)
• Nyeri goyang porsio

Kehamilan ektopik yang terganggu


Pada tahapan ini, selain gejala kehamilan muda dan abor~us imminens. pada umumnya
juga ditemui kondisi gawat darurat dan abdominal akut seperti:
• Pucatjanemis
• Kesadaran menurun dan lemah Syok (hipovolemik) sehingga isi dan tekanan denyut
nadi berkurang serta meningkatnya frekuensi nadi (di Cltas 112 x/menit)
• Perut kembung ladanya cairan bebas intraabdomen) dan nyeri tekan,
• Nyeri perut bawah yang makin hebat apabila tubuh digerakkan,
• Nyerl goyang porsio

Pemeriksaan kuldosentesis (lihat ketrampilan klinik kuldosentesis) Silngill memcilntu

PPDS I O~da.vG~2015
dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik yang terganggu [KET).

Diagnosis banding

• Abortus imminens
• Penyakit radang panggul (akut atau kronik).
• Torsi kista ovarii

Penanganan

• Setelah diagnosis ditegakkan, segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat
darurat
• Ketersediaan darah pengganti bukan menjadi syarat untuk melafukan tindakan ope­
ratif karena sumber perdarahan harus segera dihentikan.
• Upaya stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh dengan larutan
kristaloid NS atau RL (500 ml dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2jam perlama
(termasuk selama tindakan berlangsung)
• Blla darah pengganti belum tersedia, berikan autotranslusion berikut ini:
- Pastikan darah yang dihisap dad rongga abdomen telah melalui alat pengisap dan
wadah penampung yang steril
- Saring darah yang tertampung dengan kain steril dan masukkan ke dalam kantung
darah (blood bag}. Apabila kantung darah tidak tersedia, masul<kan dalam botol
bekas cairan infus Iyang baru terpakai dan bersih) dengan diberikan larutan sodium
sitrat 10 ml untuk setiap 90 ml darah
- Transfusii<an darah melalui slang transfusi yang mempunyai saringan pada bag ian
tabung tetesan.
• Tindakan pada tuba dapat berupa :
- Parsial salpingektomi yaitu melal<ukan eksisi bagian tuba yang mengandung hasil
konsepsi
- Salpingostomi (hanya dilakukan sebagai upaya konservasi di mana tuba tersebut
merupakan salah satu yang masih ada) yaltu mengeluarkan hasi! konsepsi pada satu
segmen tuba kemudian diikuti dengan reparasi bagian tersebut. Risil<o tindakan ini
adalah kontrol perdarahan yang kurang sempurna atau rekurensi Ihamil ektopik
ulanganj.
• Mengingat kehamilan el<topik berkaitan dengan gangguan fungsi transportasi tuba
yang disebabkan oleh proses infeksi maka sebaiknya pasien diberi antibiotika kom­
binasi atau tunggal dengan spel<trum yang luas lIihat label antibiotika kombinasi dan
tunggal pada abortus septikj
• Untuk kendali nyeri pascatindakan dapat diberikan:
- Ketoprofen 100 mg supositoria
- Tramadol 200 mg IV
- Pethidin 50 mg IV (siapkan antidotum terhadap reaksi hipersensitivitasj.
• Atasi anemia dengan tablet besi (SF) 600 mg per hari
• Konseling pascatindakan

PPVS I olmur"d.uvG~v2015 10
- Kelanjutan fungsi reproduksi
- nisiko hamil ektopil< ulangan
- Kontrasepsi yang sesuai
- Asuhan manai,i selama di rumah
- Jadual Iwnjungan ulang

WDS I O/nWY(,d.uvG~2015 II
3. HIPEREMESIS GRAVIDARUM

INTRODUCTION - Nausea with or without vomiting is common in early pregnilncy. Severe


vomiting resulting in dehydration and weight loss is termed hyperemesis gravidarum and occurs
infrequently. Symptoms usually resolve by midpregnancy regardless of severity and therapy..

Management of affected women depends upon the impact of her symptoms on her health and
quality of life, and the safety of maternal treatment for the fetus. Treatment ilpproaches
include dietary/lifestylechanges. oral or rectal mediciltion. and hospitalization for parenteral f:uids
and therapies in women who fail to respond to outpatient milnagement and continue to lose
weight [l]. Enteral or parenteral nutrition may be required.

The treatment of nausea and vomiting of pregnancy will be reviewed here. The clinical features
and evaluation of this disorder are discussed separately. (See "Clinical features and
evaluation of nausea and vomiting of pregnancy".)

GOAL OF TREATMENT - The treatment goals in patients with nausea and vomiting of pregnancy
are to:

oReduce symptoms through chilnges in diet/environment and by medication


.Correct consequences or complications of nausea and vomiting leg. fluid depletion,
hypokalemia. and metabolic alkalosisl
oMinimize the fetal effects of maternal nausea and vomiting and their treatment
INITIAL APPROACH - Generally. treatment begins with advice about diet. avoidance of triggers.
and non'pharmacologic interventions. such as acupressure; oral or rectal medications are added if
symptoms do not improve (algorithm J).

Diet - Meals and snacks should be eaten slowly and in small amounts every one to two hours to
avoid a fuJI stomach Ill. Women with nausea should eat before. or as soon as. they feel hungry to
avoid an empty stomach. which can aggravate nausea lJJ. A snack before getting out of bed in the
morning can be helpful.

Clinicians commonly recommend ingestion of frequent small carbohydrate meals. such as soda
crackers or dry toast. based primarily on historical anecdotal reports 111. Although scientific data on
the effect of dietary components on nausea are sparse. there is some evidence that protein·
predominant meals/snacks produce quantifiable decreases in nausea f2J.

Woman should figure out what foods they tolerate best and try to eat those foods. Dietary
manipuliltions thilt help some women include eliminating coffee and spicy. odorous. high fat.
acidic. ilnd very sweet foods. and substituting snacks/meals that are protein dominant. salty. low
fat. bland, and/or dry (eg. nuts, pretzels. crackers. Cereal. toast) fUQJ.

Fluids are better tolerated if cold. c1eilr. and carbonated or sour (eg. ginger ale. lemonade.
popsicles), and if taken in small amounts between meals [Z1. liquids can be taken in small amounts
with a straw. Small volumes of electrolyte-replacement sports drinks replace both fluids and
electrolytes. Aromatic therapies involving lemon (lemonade). mint ftea). or orange have also been
described as useful. Fluids should be consumed at leils! 30 minutes before or after solid food to
minimize the effect of a full stomach 1.fJ.

f'l'DS I O~dAn.G~2015 12
Patients whose symptoms are related to delayed gastric emptying should improve with a diet
comprised of liquids and low fat solids since these foods are more readily emptied by the stomach;
however. it is not known to what degree gastric emptying and dysfunction account for symptoms
in women with nausea and vomiting of pregnancy.

Drinking peppermint tea or sucking peppermint candies can reduce postprandial nausea [ill.

Noripharmacologic interventions

Avoidance of triggers - The cornerstone of non pharmacologic therapy of hyperemesis gravidarum


is avoidance of environmental triggers rQJ. Examples of some triggers include: stuffy rooms. odors
(eg. perfume. chemicals. food. smoke) [21. heat. humidity. noise. and visual or physical motion (eg.
flickering lights, driving) r1.QJ. Quickly changing position and not getting enough rest, particularly
after eating, may also aggravate symptoms r.ill. Lying down soon after eating and lying on the left
side are additional potentially aggravating factors because these actions may delay gastric
emptying [~. Cold solid foods are tolerated better than hot solid foods because they have less odor
and require less preparation time (ie, shorter exposure to the trigger if the woman is preparing her
own meal) [~. Brushing teeth after a meal rill. spitting out saliva, and frequently washing out the
mouth can be helpful.

Supplements containing iron should be ilvoided until symptoms resolve, as iron causes gilstriC
irritation and can provoke nausea and vomiting rllJ. Taking prenatal vitamins before bed with a
snack, instead of in the morning or on an empty stomaCh, may also be helpful r.lJ.J.

Acupuncture and acupressure - pc, acupressure wristbands (picture 1) do not requirp. a


prescription and have become a popular srlf·administered intervention rHJ. A 2014 systematic
review of randomized trials did not find pc, acupuncture or acupressure wristbands signifiCilntly
more effective than placebo [.l2J. One reason may be that a strong placebo effect has been
observed in patients who receive sham therapy r16·191. Self-administered nerve stimulation
therapy over the volar Clspect of the wrist at the 1'6 acupressure point using a commercial device
also showed some promise in a randomized. controlled trial [lQ]. 1'6 acupuncture or acupressure
has not been associated with any adverse effects on pregnancy outcome.

Hypnosis - Hypnosis has been reported to be helpful in some patients [ll]. Psychotherapy can
also be a useful adjunctive therapy. particularly if psychological sources of anxiety are identified
and can be ameliorated [22.23J.

Pharmacologic treatment - Historically, pregnant women have been excluded from most clinical
drug trials. Thus, there are limited data from pregnant women to support the safety and efficacy of
agents used to treat nausea and vomiting. A number of reports have demonstrated that antiemetic
drug therapy is more effective than placebo and does not increase the incidence of congenital
anomalies [£1]. However,.there is little evidence from well-designed comparative trials upon which
to base a treatment plan for women with nausea and vomiting of pregnancy.

If non-pharmacologic interventions fail, a reasonable approach is to consider the addition of


pharmacotherapy with drugs that are reported to be effective and have the best maternal-fetal
safety profile. If the initial drug is ineffective, then other drugs are added in a step-wise progression
(<llgorithm 1) [1 .25.26J. We typically continue a patient on a drug for several days to determine

PPDS I O~vd.:o..vG~201S 13
whether her nausea and vomiting are improving. If her symptoms persist. then we add another
drug to the existing regimen; however. if she is experiencing side effects, then we substitute
another drug in its place,

These patients require frequent ilssessment of their medical status and response to therapy;
women with mild to moderate nausea and vomiting of pregnancy .He evaluated daily. whereas
those with severe disease are ev~luated from hour to hour.

Complementary and alternative medications rCAM)

Ginger - In a 2014 systematic review and meta-analysis of randomized trials. ginger improved
nausea compared with placebo, but did not significantly decrease the episodes of emesis [llJ. A
common dose is powdered ginger 1 to 1.5 grams orally divided over 24 hours,

We suggest use of ginger containing foods reg. ginger lollipops. ginger tea) or ginger supplements
leg. 250 mg capSules orally four times a day) for mild nausea and vomiting, Standard
pharmacologic-grade ginger prepMations are not readily avaifable r~; we do not prescribe
powdered ginger,

Other - Most CAM approaches have not been studied rigorously for efficacy or safety. and should
be avoided for this reason. As an example. in 2009. the United States Food and Drug
Administration (FDA) notified healthcare professionals and pregnant or breastfeeding women to
avoid consuming Nzu. a traditional African remedy for morning sickness. because of potential
health risks from high levels of lead and arsenic rz.2J. Nzu may be sold under such names as
Calabash clay. Calabar stone. Mabele. Argile. or La Craie.

Pyridoxine rvitamin B6) - Pyridoxine is a water·soluble B-complex vitamin that is a necessary


coenzyme in the metabolism of lipids, cMbohydrates. and amino acids, It call be used as a single
agent!lQJ or in conjunction with doxylilmine succinate for the treatment of nausea of
pregnancy Isee 'Doxylilmine succinilte and pyridoxine' below),

Systematic reviews of randomized and/or controlled trials have shown that pyridoxine (vitamin 86)
improves mild to moderate nausea. but does not significantly reduce vomiting [31 ,321. Thus. it is
most useful for women with mild disease rather than hyperemesis. The mechanism for the
therapeutic effect of pyridoxine in women with nausea is unknown, Hypotheses to explain the
beneficial effects of pyridoxine include prevention/treatment of vitamin 86 deficiency. intrinsic
antinausea properties. and/or synergy with the antinausea properties of antihistamines [ll/.
Although vitamin 86 levelS decrease as gestation advances. there is no proven correlation between
maternal vitamin 86 levels and incidence or severity of nausea r~,

As a single agent. the initial dose of pyridoxine is 25 mg orally every six to eight hours; the
maximum dose suggested for pregnant women is 200 mg/day. but cumulative doses up to
500 mg/day appear to be safe [35), Pyridoxine has a good safety profile with minimal side effect<
and is easy to obtain; therefore. it is d reasonable first·line treatment for nausea and vomiting of
pregnancy. either alone or In combination with doxylamine succinate. Where available. WI!!
suggest pyridoxine-doxylamine succinate combination therapy for Initial pharmacologic treatment
of nausea of pregnancy rsee 'Doxylamine succinate and pyridoxine' belOW),

Pf'DS I Ob>tuYi<cW..G~2015 14
Anlihi~tilmines (HI antagonists) - Only a few antihistamines have been studied for the treatment
of nausea and vomiting of pregnancy. The most r.ommonly used antihistamine is doxylamine in
combination with pyridoxine. Other antihistamines that have been used independently to treat
nausea and vomiting of pregnancy include meclizine. dimenhydrinate.
and diphenhydramine. There are no data on use ot the scopolamine patch for nausea and
vomiting of pregnancy.

The efficacy of ,;ntihistamines w"s illustrated in an analysis of pooled data from controlled trials
that found use of these agents significantly reduced pregnancy-related nausea and vomiting [RIl
0.34,95% CI 0.27-0.431: however. these studies used a variety of antihistamines and measured
different outcomes [£1].

The safety of antihistamines [specifically H I-receptor blockersl was affirmed in a meta-analysis that
examined the association between antihistamine use and major malformiltions [~. This review of
24 controlled studies, including over 200,000 first trimester exposures, found that H '-receptor
blockers appeared to have a protective effect on risk of malformations [OR 0.16. 95% CI 0.60-0.941.

The primary mechanism of antihistamines in treatment of nausea and vomiting of pregnancy is


direct inhibition of histamine "t the histamine' (H 'I receptor; the secondary mechanism is an
indirect effect on the vestibular system by decreasing stimulation of the vomiting center. In
"ddition. these ilgents inhibit the muscarinic receptor. which may mediate the emetic response.

Side effects include sedation. dry mouth. lightheildedness. and constipation.

Doxylamine succinate and pyrIdoxine - As discussed above, pyridoxine ,vitamin S61 improves mild
to moderate nausea, but does not significantly reduce vomiting [,l1£I. ISee 'Pyridoxine
(vitamin 861' above.1

Doxylamine succinate is an antihistamine that is usually taken with pyridoxine. The


combination doxylamine-pyridoxine appears to improve efficacy and was the formulation for
Sendectin. Sendeetin was voluntarily withdrawn from the market in 1983 due to lawsuits alleging
teratogenicity. although scientific evidence supports its safety [37-39J and efficacy [15,24,40­
11]. A meta-analysis of controlled studies on outcome of pregnancies exposed to Bendectin
reported no increase in the-incidence of birth defects [12J. Evidence-based reviews of controlled
studies conCluded doxylamine/pyridoxine is modestly effective for treatment of nausea and
vomiting in pregnancy r15,24j.

Formulations of doxylamine-pyridoxine similar to Bendectin are available under various names


and have been proven effective in placebo<ontrolled randomized trials [1.JJ. Dicleclin is available
in Canada and in 20 I 3 Diclegis was approved in the United States by the FDA for treiltment of
nausea and vomiting of pregnancy in women who have not responded adequately to dietary and
lifestyle modifications [44,451. We recommend these formulations. where available. for initial
pharmacologic treatment of nausea of pregnancy.

Initially. two delayed release tablets [a total of doxylamine 20 mg and pyridoxine 20 mgl arc
taken at bedtime. The dose may be increased to four tablets per day as needed for more severe
nausea lone tablet in the morning. one tablet in the afternoon, two tablets at bedtime).

PPDS I O~vdt>...G~2015
15
In the United States, doxylamine is available in some over·the-counter sleeping pills {eg, Unisom
Sleep Tabs) and as a prescription antihistamine chewable tablet (Aldel( AN). One-hal( of the 2S mg
over-the-counter tablet or two chewilble S mg t..blets ciln be used off·/abel as an antiemetic;
pyridoxine 25 mg three to four times per day should be prescribed with it. The 10 mg dose of
pyridoxine is nor commercially avai/able in the United States.

SECONDARY APPROACH

Women without dehydration - Additional oral medications can be initiated in women who can
tolerate them. Non·oral routes of administration are useful for other women (algorithm I I.

First-line therapy

Antihistamines {H 1 antagonists) - As discussed above, only a few antihistamines have been


studied for the treatment of nausea and vomiting of pregnancy (see 'Antihistamines (H I
antagonistsl'above). We suggest the following drugs as first·line agents for secondary therapy
because they either have fewer maternal side effects or fetal safety is more well·established than
other drugs.

Treatment with doxylamine is stopped before starting a different antihistamine,


Diphenhydramine - Diphenhydramine 25 to 50 mg can be taken orally every four to six
hours, as needed. It can also be given intravenously 10 to 50 mg every four to six hours, as needed.

Meclizlne - Meclizine 25 mg can be taken orally every four to six hours, ilS nceded. Meclizine
has caused cleft palate in rats, but at exposures far higher than those used therapeutically. Human
data of an association between fadill clefts and meclizine have been mixed, but three large studies
did not show an incrcaled risk of malformations [46-48J.

Dimenhydrinate - When oral medications are tOlerated, dimenhydrinate 2S to SO mg can be


taken orally every four to six hours, as needed. Otherwise, SO mg dimenhydrinate is administered
intravenously over 20 minutes or 50 to 100 mg is administered rectally (where available) every four
to six hours, as needed; the total dose should not exceed 400 mg/day. If the woman is also
takingdoxylamine. the total dose of dimenhydrinate should not exceed 200 mg/day.

Second-line therapy

Dopamine antagonists - Based on their safety profile, we consider these drugs second·line agents
for secondary treatment of nausea and vomiting of pregnancy.

During nausea and vomiting. dopamine receptors in the stomach mediate the inhibition of gastric
motility and, therefore. may provide a site of action for antiemetic dopamine receptor antagonists.
Dopamine, specifically at the dopamine 2 receptors, is also implicated in emetic signaling through
the chemoreceptor trigger zone.

Several types of dopamine antagonists can be used for the treatment of nausea and vomiting of
pregnancy. The three main classes of dopamine receptor antagonists are phenothiazines
{promethazine andprochlorperazine), butyrophenones {droperidol), and benzamides
{metoclopramidej.

Pf'DS I o~va-G~·'2015 16
Prochlorperazine and chlorpromazine - Prochlorperazine 5 to 10 mg orally,
intravenously, or intramuscularly every six hours or 25 mg per rectum twice per day. as needed,
appears 10 benefit some patients [1.2). Safely information is limited: although case reports of
malformations in exposed infants have been published. larger series have not reported an
increased risk of birth defects. Results from animal studies vary depending on the animal exposed
[2.Q;.
We reserve chlorpromazine for refractory cases. given its profile of adverse side effects
Isee 'Refractory patients' below).

Metoclopramide - Metoclopramide 10 mg orally. intravenously. or intramuscularly (ideally


30 minutes prior 10 meal and al bedtime) every six 108 hours is commonly prescribed for nausea
and vomiting related 10 pregnancy 12.lJ. In randomized Irials evalualing this drug in women wilh
hyperemesis. metoclopramide 10 mg was as effective as promethazine 25 mg [2lJ
and ondansetron 4 mg [21].

A study of intravenous metoclopramide 11.2 to 1.8 mglhour intravenously)


plus diphenhydramine 150 mg every six hours) reported vomiting improved in 36 percent of
patlenu and was more effective than the combination of droperidol(O.S to ! mglhOur) plus
diphenhydramine. which had been used in previous patient cohorts. In another series. combination
therapy wilh meloclopramide and pyridoxine was superior to monotherapy with
either prochlorperazine or promethazine in decreasing the number of vomiting episodes
[i2J.
In large cohort studies. infants exposed to metoclopramide during the first trimester of
pregnancy did not have a significant increase in risk of major congenital malformations.
miscarriage. or stillbirth compared with nonexposed infants [54.55).ln the largest of these stUdies.
over 45.000 fetuses were eiposed to a median of 40 dose. of metoclopramide in utero. beginning
at a median of 57 gestational days 1.2..2J.
Maternal side effects are a concern. especially with long·term use. Metoclopramide accounts for
almost one third of all drug-induced movement disorders and female sex is a risk factor for
development of these side effects [.2..QJ. However. in the randomized trial discussed above. dystonia
was more common with promethazine than metoclopramide 114/73 [19.2 percent]
versus 4/7015.7 percent]) [2l]. Upon discontinuation of the drug. metoclopramide·induced tardive
dyskinesia (inVOluntary and repetitive movements of the body) can be irreversible in some cases.
EMly detection and discontinuation of the metoclopramide are important for the prevention of
permanent tardive dyskinesia. Use of metoclopramide
with diphenhydramine or hydroxyzine may mask a dystonic reaction.

The use of subcutaneous pumps for timed release of medications. in particular metoclopramide
has been reported for outpatient management of nausea and vomiting in pregnancy with some
benefit [m. However. the experience is limited; we do not use them.

Domperidone is another promotility agent. but there is no information on its safety or efficacy
for treatment of nausea and vomiting of pregnancy.

PPDS I O~"""'G~2015 17
Promethazine - Promethazine is primarily an HI receptor blocking agent, but is also a weak
oopamine antagonist. Promethazine 12.5 to 25 mg can be given orally, per rectum, or
intramuscularly every four hours. Orai or rectal administration is preferred. Intraarterial.
intravenous, and subcutaneous administration is contraindicated, as inadvertent intraarterial
injection can result in gangrene of the affected extremity and subcutaneous injection may result in
tissue necrosis. (See "Characteristics of antiemetic drugs".,

Fetal safety [2m and maternal efficacy in relief of both nausea and vomiting have been
demonstrated in large groups of patients (24.36.52.58-60J. Disadvantages include prominent
sedation and risk of dystonic reactions. These r15ks are elevated under conditions of prolonged use
and high dOSing. Use of promethazine appears to lower the seizure threshold, which may bE'
important late in pregnancy in women with preeclampsia. There are conflicting reports regarding a
potential risk of neonatal respiratory depression following the administration of promethazine
during labor [50J. Neonatal platelet aggregation also may be impaired when the drug is given
intrapartum, but this does not appear to increase the need for intervention in the newborn.
Droperfdof - Droperidol Is used as an antiemetic In surgical and dIagnostic procedures. In one
study. patients with hyperemesis gravidarum treated with droperidol-diphentlydramine had
significantly shorter hospitalizations (3.1 versus 3.8 days), fewer days per pregnancy hospitalized
for hyperemesi~ (3.5 versus 4.8 days), and fewer readmissions with this diagnOSis (15.0 versus 31.5
percent) than women treated with other parenteral therapies r2.1.J. No congenital anomalies were
reported in 108 pregnancies r.sm. However. maternal side effects are a concern, especially with
long·term use, Droperidol has been associated with OT prolongation and/or forsades de pointes
when used in dOSes higher than .those typically used for treatment of nausea and vomiting rQl]. A
discussion of a new drug warning for droperidol can be found separately. (See "Alternatives and
adjuncts to moderClte procedural sedation for gastrointestinal endoscopy".)

We rarely use this drug to treat nausea and vomiting of pregnancy because of these safety
concerns.

Serotonin antagonists - Ondansetron, granisetron, and dolasetron are selective antagonists


at the 5·HT3 serotonin receptor. This class of drug has a favorable efficacy-safety profile in non­
pregnant individuals with nausea and vomiting of various etiologies and severities.

The safety of ondClnsetron in pregnancy is discussed below. There are no human data on the
safety of granisetron, dolasetron or other 5-HT3 antagonists in pregnancy; animal studies did
not show adverse pregnancy effects r.sm.
Ondansetron - Hyperemesis is a common unlabeled indication for use of ondansetron, In a
small randomized trial, use of ondansetron resulted in clinically Significant reductions in both
nausea and vomiting compared with the combination of doxylamine and pyridoxine [.QlJ.

Ondansetron 4 to 8 mg can be taken orally every eight hours. as needed, or administered


intravenously by bolus injection every eight hours, as needed, A single report d£scribed use of
subcutaneous ondansetron via a microinfusion pump in 52 J women with severe nausea and
vomiting, with improvement of symptoms to mild to moderate in SO percent of women within three
days of therapy f.Qi]. Based on this report and data in other populations, administration of

f'I'1)S I O~daf\,G~20JS 18
ondansetron "i~ a microinfusion pump appears to be a reasonable alternative route for treating
severe nausea and vomiting of pregnancy.

Headache. fatigue, constipation, and drowsiness are the most common drug-related side
effects. Ondansetron can cause aT prolongation. particularly in pati~nts with underlying heart
conditions. such as congenital long OT syndrome; patients with hypokalemia or hypomagnesemia;
and those taking other medications that lead to OT prolongation. ECG monitoring is recommended
in these patients. Serotonin syndrome is a potentially life-threatening condition associMed with use
of serotonergic agents and manifested by increased serotonergic activity in the central nervous
system. (See ~Serotonin syndrome".)

Anlnlal data on ond(!osetroo are reassuring as to its safety in pregnancy. Human data on safety
or efficacy of ondansetron for treatment of hyperemesis are based on case reports, small series, and
a historical cohort of 1849 women in Denmark exposed during pregnancy [24.65-711.ln this large
record linkage study (1233 first trimester exposures), ondansetron was n.ot associated with an
increased risk of major congenital anomalies. miscarriage. low birth weight. or small for gestational
age when used for treatment of nausea and vomiting of pregnancy [ZQJ. Although another study
using the same datilbase repo(ted an association between filling a prescription for ondansetron
during the firlt trimester of pregnancy and heart defects in the offspring. these data have only
been presented in abstract form and cannot be adequately evaluated (72). Analysis of data from
the National Birth Defects Prevention Study (NBDPS) showed a possible association with isolated
cleft palate (adjusted OR 2.37.95% Cll.18-4.76). but data were limited to only 55 nrst trimester
exposures [UJ.

Adjunctive therapy

Acid reducing agents - Acid reducing medications can be used as adjunctive therapy. In women
with heartburn/acid reflux and nausea/vomiting CIt prl!!gn"'"cy. an observational study found that
acid·reducing pharmacotherapy (eg. antacids. HZ blockers. proton pump inhibitors) combined with
anti·emetic therapy resulted in Significant improvement in symptoms and well·being three to four
days after beginning therapy [74).

Antacids containing aluminum or calcium are safe and preferable to those containing bismuth or
bicarbonate. which may have adverse fetal/neonatal effects {~.

The greatest experience with pharmacologic acid-suppressive therapy in pregnant women has
been with the H2 receptor antagonists ranitidine and cimetidine, which appear to be safe
during pregnancy. The efficacy of ranitidine 150 mg orally twice daily for treatment of acid reflux
was demonstrated in a placebo-controlled. double-blind trial of 20 pregnant women whose
heartburn was refractory to conscrvi'tive measures; heartburn severity was reduced 44 percent
compared to placebo lQQ].

There is less experience using proton pump inhibitors leg. lansoprazole or esomeprazole 30 or
40 mg intravenously or orally every 24 hours) during pregnancy. but they are probably safe
[67.68). (See "Medical management of gastroesophageal reflux disease in adults",
section on 'Pregnancy and lactation'.)

?POl I OIntotY""-G~2015
19
Women with dehydration, electrolyte abnormalities, acid-base abnormalities - Women who are
unable to maintain adequate hydration, normal electrolyte levels, and acid·base balance with the
init/al interventions described above should be admitted to the hospital for intravenous fluids and
medications. We admit women to the hospital if they have persistent vomiting aftEr rehydration
and fail outpatient management. Women who have severe vomiting, weight loss, I<etonuria, dry
mucous membranes, poor skin turgor, dehydration, hypotension, alkalosis from hydrochloric acid
loss, hypokalemia, or nutritional deficiencies are admitted to the hospital. In women with persistent
vomiting after hospitalization, it is important to exclude underlying diseases that can cause
hyperemesis./See "Clinical features and evaluation of nausea and vomitina of
pregnancy". section on 'Differential diagnosiS'.1

These patients and their families often need emotional support to help deal with stress and anxiety
about the maternal illness and its effect on the fetus, and the disruption to their home· and work·
related activities [ZQ]. In some cases, psychiatric consultation can be helpful to teach the patient
relaxation and coping techniques and address underlying psychopathology, if present e111.
Fluids and nutrition - Many patients respond to intravenous hydration and a short period of gut
rest, followed by reintroduction of oral intake and pharmacologic therapy.

Fluids - Dehydration occurs when fluid output exceeds fluid intake and is often associated with
electrolyte abnormalities, fatigue, dizziness, and weakness. We correct dehydration with up to 2 L
intravenous Ringer's lactate infused over three to five hours, supplemented with appropriate
electrolytes and vitamins. Subsequently, the infusion rate is adjusted to maintain a urine output of
at least 100mL/hour and the solution is changed to dextrose 5% in 0.45% saline. The optimum
replacement fluid regimen has not been stUdied. It is prudent to avoid usc of dextrose in the initial
rehydration fluid because 01 the theoretical concern of Wernicke's encephalopathy with dextrose
infusion in a thiamine·deficient state am, We delay dextrose infusion until after the patient has
received thiamine in her initial rehydration fluid (see 'Vitamins and minerals' below). A single
small study did not observe adverse effects in 102 patients who received intravenous thiamIne
followed by 5% dextrose 0.9Q/o saline for persistent nausea and lIomiting of pregnancy; however,
only 60 percent of these women had severe disease lie, weight loss ~5 percent body weight,
ketonuria 4+) [I2J.
Relief of symptoms is common within one to two days 01 rehydration [ZJ. Hospitalization, as well as
replenishment of fluids and electrolytes, m<ly contribute to palli<ltion of symptoms.

Vitamins and minerals -If the patient is experiencing persistent vomiting, it is important to
replenish low levels of vitamins /especially thiamine), electrolytes, and minerals /ie. magnesium,
calcium, and phosphorous) r!ill]. We provide thiamine (vitamin 81 J supplementation by giving 100
mg intravenously with the initial rehydration fluids and another 100 mg daily for the next two or
three days. Early administration of thiamine is important to prevent a rare maternal complication,
Wernicke's encephalopathy rZJilJ.
Each day we adminilter a multivitamin (MVI) intravenously: MVI/I 0 mLJ piuS 0.6 mg folic acid Ito
bring the folic acid total to I mg) in one liter and vitamin 86 25 mg in every liter. The intravenous
fluid is usually dextrose 5% in 0.45% saline with 20 mEq potassium chloride given at
150 mL/hour.

P?DS r O!nWYuda.vG~2C15 20
Hypomagnesemia Is a common cause of hypocalcemia. We first correct the low magnesium level by
giving 2 grams (16 meql magnesium sulfate infused as a 10% solutIon over 10 to 20 minutes,
followed by I gram (8 meql in 100 mL of fluid per hour. The repletion of magnesium is continued if
the serum magnesium level is less than 0.8 meq/L (1 mgldL or 0.4 mmol/LJ. Once serum
magnesium levels are restored, we reassen the calcium level. If serum calcium is still low, we
administer I to 2 grams calcium gluconate in 50 mL of 5% dextrose solution over IOta 20
minutes.

Diet - A diet that attempts to minimize nausea and vomiting can be resumed after a short period of
gut rest. We usually begin wpmen on a diet consisting of bananas. rice, applesauce. and toast
IBRAT diet) and then advance their diet as tolerated. Consistent protein intake is key In helping
prevent Muse~. Additional dietary manipulations are described above. ISec 'Diet' above.)

Patients who have not eaten for several days may develop edema when resuming feeding with
carbohydrates [82J. This results from the retention of sodium during fasting combined with
enhanced sodium resorption due to the actions of Insulin once carbohydrates are reintroduced
[~. No intervention is required; the edema will gradually resolve.

Oral and non-oral medicatIon - Oral medications can be initiated in women who can tolerate
them. Non·oral routes of administration are useful for other women. These medications are the
same as those used to treat women without dehydration [algorithm !).ISee 'Women without
dehydration' above.l

REFRACTORY PATIENTS

Chlorpromazine - We have found chlorpromazine 125 to 50 mg intravenously or


intramuscularly or 10 to 25 mg orally every four to six hours) to be helpful in refractory cases. A
rectal suppository may be available in some countries. Adverse effects include extrapyramidal
reactions, orthostatic hypotension. anticholinergic effects. and altered cardiac conduction.

Glucocorticoids - Glucocorticoids have been used in women with sever~ and refractory
hyperemesis, although the mechanism of action is not well understood [84·871. There is a paucity
of evidence thill glucocorticoidS ilre effective [24,88J. The largest placebo controlled trial included
110 women with severe hyperemesis and reported that women who received glucocorticoid
therapy had a Similar clinical course and need for rehospitalization as those given placebo 1§..'2j.

Glucocorticoid use has been associated with a slightly increased risk of oral clefts when the drug is
ildministered before 10 weeks of gestation; therefore, ideally, use of glucocorticoids should be
avoided in the first trimester [90-94 J. If administered after 10 weeks. the palate has formed and is
not at risk for developing defects.

An effective dose is methylprednisolone 1'6 mg) intravenously every 8 hours for 48 to 72 hours
fQi}· Methylprednisolone can be stopped abruptly if there is no response, and tapered over two
weeks in women who experience relief of symptoms. After intravenous therapy, we use an
orill prednisone taper regimen of 40 mg oral prednisone per day for one day, followed by 20 mg
per day for three days. followed by 10 mg per day for three days, and then 5 mg per day for seven
days. This regimen may be repeated up to three times over a six week period.

Pl'DS I O!>ltt!tYj,"""'G~v2015
21
Glucocorticoids should be reserved for treatment of refractory nausea and vomiting of pregnancy
or hyperemesis grav;darum, given the risk of maternal side effects and uncertain efficacy.
(See "Major side effects of systemic g/ucocorticoids".j

Enteral and parenteral nutrition - Women who are refractory to a/l pharmacologic and
nonpharmacologic interventions should be supported with enteral (tube feedings) or parenteral
nutrition and intravenous fluids as long as necessary. We continue such women on pharmacologic
interventions that seem to provide some relief of their naulea and vomiting.

Nutritional status and methods of alimentation (eg. tube feedings, parenteral nutritionl should be
assessed in conjunction with a nutritionist or nutrition service. The optimal timing for initiating
enteral or parenteral nutrition has not been established; the decision is tased upon clinical
judgment. In general, enteral nutrition is begun in women who cannot maintain their weight
because of vomiting and despite a trial of the interventions described below. Enteral nutrition via
gastric or duodenal intubation is preferable to the parenterAl route and may relieve the nausea and
vomiting r22J. Adequate protein·caloric parenteral nutrition requires a central venous access
device (CVADJ. which may lead to catheter·related infection or thrombosis f~.

The American Gastroenterological Association rAGAI technical review for parenteral nutrition [W.
as well as other AGA guidelines. can be accessed through the AGA web site
atwww.gClstro.org/practice/medica/·position·statemer.ts.
MANAGEMENT OF STABLE AND IMPROVING PATIENTS - We continue the drug regimen that has
been effective until the patient has been completely asymptomatic (no nausea or vomitingl for at
least a week. At that time. we discontinue the medications and see how she does. If nausea and
vomiting recurs. we resume therapy. The majority of women will have resolution of nausea and
vomiting by 16 to 20 weeks of gestation and will be able to discontinue their medications. Rare
patients require therapy beyond 20 weeks.

OUTCOME AND PROGNOSIS

Short·term outcomes

Nausea and vomiting of pregnancy - Although the maternal course can be long and tcdious [2m.
nausea and vomiting of pregnancy is typically not associated with adverse pregnancy outcomes.
There is good evidence that women with nausea and vomiting in early pregnancy have a lower
rate of miscarriage than women without these symptoms. In one meta·analysis. the odds of
miscarriage in women with nausea and vomiting in the first 20 weeks of pregnancy was OR 0.36
r2..2J.
(950/0 CI 0.2-0.421 However.. the analysiS did not correlate outcome with respect to the severity
of the disorder. Most of the women in these studies had mild symptoms. rather than hyperemesis.

The frequency of congenital anomalies is not increased among offspring of gravida with nausea
and vomiting in pregnancy [ 'OOJ. whether or not they take antiemetic medicatio'ls r58, '0 ,.
10sJ.
HyperemeSis - Despite the potentiai severity of hyperemeSis gravidarum and its attendant early
weight loss. most studies have reported no difference in birth weight or gestational age at birth
between affected pregnancies and those unaffected by severe vomiting, as long as prep regnancy
weight was normal and there was "catch·up· weight gain later in pregnancy [ I 02, I 03, I 06J. In

PPDS I OlmwvM..vG~¥2015 22
contrast. women with severe vomiting who require multiple hospitalizations may not have "CMch
up' weight gain; an adverse effect on birthweight is more likely in these women, and rarely the
fetus is growth restricted [10 1..107-11 0), Women who have less than 7 kg weight gain are more
likely to have a preterm birth/low birth weight infant [110, III I. When studies of women with
hyperemesis gravidarum were pooled without regard to prepregnancy weight or catch-up weight
gain, the risks of preterm delivery. low birth weight (LaW). and birth of a small for gestational age
(SGA) infant were slightly but significantly increased (preterm delivery OR 1.32,95% (I 1.04-1.68;
LaW OR 1.42.95% (I 1.27-1.58, SGA OR 1.28,95% (I 1.02-1.60, 17.9 versus IV percentl [00.
An association between second trimester hyperemesis gravidarum and placental dysfunction (eg,
preeclampsia, abruption, SGA) has been reported (m, It is unclear whether there is a small
increase in risk of perinatal death [100,1131.

The availability of parenteral and enteral nutrition has reduced maternal morbidity,and mortality is
virtually nonexistent in women who are treatecJ. If left untreated. there have been reports of
sequelae of micronutrient deficiency (eg. most commonly Wernicke encephalopathy from
deficiency of vitamin BI; possibly very rare bleeding diathesis or embryopathy from vitamin K
deficiency) and adverse effects of malnutrition (Immunosuppression. poor wound healing. muscle
wasting) [81 107.114-118). Esophageal tears (Mal/ory·Weiss). esophageal rupture,
;Jneumothoraces. pneumomediastim:m, osmotic demyelination syndrome (formerly known as
ccntral pontine myelinolysisl. hepatic insufficiency, and acute tubular necrosis are other rare
complications in women with persistent severe vomiting [ 1 19-1 21 ).

There is, however. psychosocial morbidity. including SUbstantial effects on ability to work outside
the home. household duties, parenting activities, and social i"teraction [122-) 251. The burdens of
cMegiver-time and use of health care resources also need to be considered.

Long-term outcomes - Although long-term follow-up data are limited, nausea and vomiting of
pregnancy and hyperemesis do not appear to adversely affect cognitive development of offspring
[126,1271. but hyperemesis has been associated with reduced insulin sensitivity in prepubertal
children [128J and development of testicular cancer before age 40 [1291. Larger follow-up studies
are needed to determine whether nausea and vomiting of pregnancy and/or hyperemesis
gravidarum have long-term effects on offspring. These studies need to use well-defined criteria for
the severity of the disease, and adjust for key maternal characteristics, such as prepregnancy
weight and weight gain during pregnancy. Metabolic and cardiovascular outcomes should be
evaluated since small for gestational age birth has been linked to chronic disease in adult life
[130).

There are no good data on long-term maternal outcomes.

Recurrence - The disorder is likely to recur in subsequent pregnanCies (110.131-1331. Two


population based series reported the risk of recurrent hyperemesis in a second pregnancy was 15
[111.1 and 20 [.1.1..Q] percent in women with previous hyperemesis. but only 0.7 percent in women
with no such history LlllJ. Another study contacted women who had one pregnancy complicated
by hyperemesis gravidarum and registered on an internet site sponsored by the Hyperemesis
Education and Research Foundation [132). Of 100 respondents. 57 had become pregnant again,

Pf'DS I O~da.I,G~2015
23
of whom 46 experienced recurrent severe nausea and vomiting; 31 women reported that they did
not want to get pregnant a second time because of the recurrence risk of hyperemesis gravida rum.
PREVENTION - Ideally, all women of child-bearing age should be advised to take a daily
multivitamin with folic acid beginning In the preconception period; this reduces the risk of
congenital anomalies, particularly neural tube defects, and may help to decrease the frequency and
severity of nausea and \iomiting during pregnancy [134-1361. The positive effects of multivitamins
are likely due to the general optimization of nutritional status and metabolism.ISee "Folic acid
supplementation in pregnancy".1

In addition, heartburn and acid reflux have been associated with increased severity of nausea and
vomiting of pregnancy, which suggests that managing these disorders prior to pregnancy might
prevent or reduce the severity of symptoms r13 71.ISee "Medical management of
gastroesophageal reflux disease in adults". section on 'Pregnancy and lactation'.,
INFORMATION FOR PATIENTS - UpToDate offers two types of patient education materials, ·The
Basics· and "Beyond the Basics." The Basics patient education pieces are written In plain language,
at the 5'" to 6'· grade reading level. and they answer the four or five key questions a patient might
have about a given condition. These articles are best for patients who want a general overview and
who prefer short. easy·to-read materials. Beyond the Basics patient education pieces are longer.
more sophisticated. and more detailed. These articles are written at the 10'" to 12'" grade reading
level and are best for patients who want in-depth information and are comfortable with some
medical jargon.

Here are the patient education articles that are relevant to this topic. We encourage you to print or
e-mail these topics to your patients. IYou can also locate patient education articles on a variety of
SUbjects by searching on "patient info" and the keyword Is) of interesl./
.Basics topics (see "Patient information: Morning sickness (The
Basics'" and "Patient information: Taking over-the-counter medicines during
pregnancy (The Basics'" and "Patient informatIon: Hyperemesis gravidarum
(The Basicsl"l
.Beyond the Basics topic (see "Patient information: Nausea and vomiting of
pregnilncy (Beyond the Basics''')
SUMMARY AND RECOMMENDATIONS - Astep-wise approach to treatment of nausea and
vomiting of pregnancy is provided in the algorithm (algorithm II. The steps are based on
evidence of efficacy and safety profiles. The goal is to reduce symptoms through changes
in diel/environment and by medication, correct consequences or complications of nClusea and
vomiting, and minimize the fetal effects of maternal nausea and vomiting and its treatment.

.Women should try to become aware of, and avoid, environmental triggers and foods which
might provoke their nausea and vomiting. (See 'Initial approach' above.)
.Acupuncture and acupressure have not been proven to significantly reduce nausea and
vomiting. However, give~ the absence of harm and the strong placebo effect. some patients
may benefit from a trial of acupressure wrist bands. Patient preferences should guide therapy.
(See 'Acupuncture and acupressure' above.)

f'(1)S I O~dM,.G~2015 24
.Where ilvailablc, we suggest pyridoxine-doxylamine succinilte Combination therapy for
initial pharmacologic treatment of nausea of pregnancy (Grade 2C).lf this drug is not
available, we suggest pyridoxine, adding doxylamine succinate if pyridoxine alone is not
effective. (See 'Doxylamine succinate and pyridoxine' above and 'Pyridoxine
[vitamin 861 above.)
.If nausea and vomiting persists, we suggest adding diphenhydramine 25 to 50 mg orally
every four to six hours or meclizine 25 mg orally every six hours (Grade 2C).1f symptoms
do not improve, we suggest adding a dopamine antagonist
(prochlorperazing, metoclopramide) (Grade 2C). (See 'Dopamine
antagonists' above.)
.For pa:ienu who require hospitalization because of dehydration, we suggest a serotonin
antagonist !ondansetron) (Grade 2e,. (See 'Serotonin antilgonists' at>ove.,
.Women who are dehydrated or have electrolyte abnormalities or acid-base disturbances
should receive intravenous fluids. Thiamine supplements should be added to the
intravenous solution to prevent Wernicke's encephalopathy. We suggest a short period of gut
rest during hydration, followed by reintroduction of oral intake with iiquids and bland, low fat
foods. (See 'Fluids and nutrition' above and ·Diet'above.,
.We reserve use of glucocorticoids for treatment of refractory cases after the first trimester.
(See 'Glucocorticoids' above.,
.The optimal timing for initiating enteral or parenteral nutrition has not been established; the
decision is based upon clinical jUdgment. In general. enteral nutrition is begun in women who
cannot maintain their weight because of vomiting and despite a step-wise trial of
pharmacologic interventions. (See 'Enteral and parenteral nutrition' above.'
.We suggest that women of child·bearing age take a multivitamin with folic acid to help
prevent nausea and vomiting during pregnancy (Grade 2C). as well as for reducing the risk
of neural tube defects. (See 'Prevention' above.)

PPDS I Ol»tw-"druvG~20JS
25
Management algorithm for prevention and treatment of nausea and
-"".. . _______...__....__..,._____.. . . . . __. ._r
. __
vomiting of pregnancy (NVP) _.~* '~~!~ . . . lk E7'Rld

Prior to conflrn\ed pregnancy/prevention


j All \vornen 01 cni!dbeanng potentnl recommended to t.1k. ~ multivit.trun with foliC
.f' ~cid once d,ily.
Trut heirtbumlGERO oil indiut.d.·
With confirmed p",gnancy
lusus ~mptoms of nau5wvom1ting
NVP (mode~t. cues)

j
NVP (mild cases)
tOHG
Re-assf:ss dally until
wet/'controlle<:! R.~-ISSess evtry 8 hours
until weol'-COrHrolled

l-pNrmKoIogju, ~~
, Inlawenllo... ••••••••• I
"-rslstt"t NVP/l

+ +
+/-;
, + ,
! Ole{ chanQu: I + /- I u~",tyl' Compllm.nt.1ryl ,, Pyridovine 2' '"9 or-ally
... modlfiabo(\$ .lterniti"l: thenpi,s ,, every 6·8 h n I s.inole
(CMot) agent or in (Cl'T'biNtion With
Elt small, f,..quHlt
~ dowylarnll"lt 10 tn9 onlly
• Frequent one. c:r twl4!:' .. day or,
meals
I .. heff aVIII.ble. pyndol.in.
naps
Eat blander foods 10 mg/do:ryl~mm. 10 mg
• Shorten ""one , c.omb.n .. bon produd one.
• A\loid sp.cy foods d.y or hotic • .I d .. y. If doryl.lmln.
• Avoid (atty foods , 10 m9 is not • ..,,.il.bJe. use
• Avoid rtron9 , , ,, one-I-I.llf 01 , 25 mg lIbI.t.

I +/- lsupp~entsJ
odorous foods
Atup,...u" Herb.1
~ ile",sttl"lt
NVP/HG

I'" b••d, PRH II Glng., 2'0. mg


PO 'out tim•• I d.y
ClP'UI'~
Add .ntihlstaml"'. or SW'Tl 'M,oanilt'
• Olphef'\hydr.min. 25-50 "'9 PO or 10-50 ""9 lV Q 4,6 h PRN
OR
• MKllzin~ 25 mg PO Q.. ·6 h PRN
OR
• Dlmlmhydrjn~t@ 25 to 50 mg PO ot 50 mq TV Q 4-6 h PR.N
OR
• O"dansetron B mg rv/PO Q 6 h PRN

~fSlst~nl
NVP/HG w,th
ehydl"'ition
or

1
,
t Po,,;,'.nt NVP/HG
\'ilthout dehydration

IIV fluid ,..,Ioe..-I wM I Add dopamine anbgonlst:


1

th"mine (.ibmin Bll

• Proc.hlorperuine ~-lO m9 PO Of rv 6-8 h or 25 mg PR Q 12 h


+ Pe~istent

I IV/PO OR

1..
NVl>/HG

.on • •
Ond.. nutron ... ·8 mo • Metoclopramide 10 ""9 IV/PO Q 6-8 h PR,N before f'T'Iuls
QBh
0Iu"on of
NVO/HG
~t.nt +­
,1HC ResollJbO" 01 t
• Me~ylputdnisolone 16 m9 N/PO .... ecy 8 h fOf two
to thrH d.lYs followed by h ..o weel( t.per. MolY reput
NVP/HG
IOiS(ontH'IlJt Anhemtbcs ~nd tnonltor I
dosing reoimen up to tnrH timts Olltr six weeks .
• C)'lorpromUln~ 25·50 m9 IV 0' 1M or 10 to 25 mg

PO Q .-6 h

http://W.NW.uptodale.com/

I'PDS I Obltwv""""<i~luJ5 26
4. MOLA HIDATIDOSA

Definisi
Hamil mola adalah suatu kehamilan di mana setelah fertilisasi hasil konsepsi tidak
berkembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dari viii koriales disertai dengan
degenerasi hidropik. Uterus melunak dan berkembang lebih cepat dari usia gestasi yang
normal, tidak dijumpai adanya janin, kavum uteri hanya terisi oleh jaringan seperti
rangkaian buah anggur

Gejala klinik
• Perdarahan pada kehamllan mL/da yang dlsertal dengan geJala mirip preeklampsia
• Rislko tinggi untuk terjadi keganasan (koriokarslnoma)

Penanganan umum
• Diagnosis din; akan menguntungkan prognosis
• Pemeriksaan ultr<lSonografi sangat membantu diagnosis. Pada fasilitas kesehatan
dimana sumberdaya sangat terbatas, dapat dilakukan:
- Evaluasi /<linik dengan fokus pada:
Riwayat haid terakhir dan kehamilan

Perdarahan tida/< teratur atau spotting

Pembesaran abnormal uterus

• Pe/unakan serviks dan korpus uteri


- Kajian uji kehamilan dengan pengenceran urin
- Pastikan tidal: ada Janin IballotementJ atau denyut jantun9 janin sebe/um upaya
diagnosis dengan perasat Hanlfa Wiknjosastro atau Acosta Sisson
• Lakukan pengosongan jaringan mo/a dengan segera
• Antisipasi komplikasi (krisis tiroid, perdarahan hebat atau perforasi uterus)
• Lakukan pengamatan lanjut hingga minimal I tahun pascaevakuasi

Penilaian klinik
• Hampir sebagian besar kehami/an mola akan disertai dengan pembesaran uterus dan
peningkatan kadar heG
- Lakukan pengukuran Iwantitatif kadar heG spesifik (~ heG rapid test) bila tidak
tersedia fasilitas pemeriksaan tersebut, pengukuran dapat dilakukan dengan uji
kehamilan berbasis tera imun%gik (hemaglutinasi atau aglutinasi lateks) di mana
kadar hormon tersebut diukur secara semikuantitatif mela/ui pengenceran urin
• Geja/a klinik mirip dengan kehamilan muda dan abortus imminens, tetapi gejala mual
da~ muntah lebih hebat, sering disertai gejala seperti preeklampsia. I'emeriksaan

dengan u/trasonografi akan menunjukkan gambaran seperti sarang tawon tanpa


disertai adanya janin. Perasat Hanifa Wiknjosastro dan Acosta 5isson hanya memo
ProS I Ol»!Urv"""'G~ZOJ5 27
butuhkan sonde uterus tetapi hasilnya cukup bermakna untuk diagnosis.
• Dia~no!i! pJ!ti JdJlah dengan melihat jaringan mo/a, baik me/a/ui ekspulsi spontan
maupun biopsi pasca perasat Hanifa Wiknjosastro atau Acosta Sisson (siapkan tindal(an
darurat apabila terjadi perdarahan pascabiopsi)

Penanganan khusus
• Segcra lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi berlilngsung
berikan infus 10 IU o/(sitosin dillam 500 ml NS iltau RL, dengan kecepatan 40·60 tetes
per menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan- hebat dan efektifitas
kontrilksi terhadap pengosongan uterus secara cepat)
• Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman dari Kuretase Tajam. Sila sumber
vakum adalah tabung manual, s/apkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat
digunakan secilta bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai.
• KenaH dan tangani I(omplikasi penyerta seperti tiritol(sikosis atau krisis tiroid bail(
sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi
• Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari. untul( anemia berat
lakukan transfuse.
• Kadar hCG di atas 100.000 lUlL praevaf<uasi dianggap sebagai risif(o tinggi untuk
perubahan I(e arah ganas, pertimbangl(an untul< memberil<an methotrexate (MTXI 3·5
mgjkgBB atau 25 mg 1M dosis tunggal.
• Lakukan pemantauan I(adar hCG hingga minimal I tahun pascaevakuasi. Kadar yang
menetap atau meninggi setelah 8 minggu pascaevallUasi menunjukkan masih terdapat
trofob/as al(tif Idi luar uterus atau invasifl: berikan /(emoterapi MTX dan pantau p·hCG
serta besar uterus secara klinis dan USG tlap 2 minggu,
• Selama pemantauan, pasien dianjurkan unWI( menggunakiln I(ontrasepsi hormonal
(apabila maslh ingin anak) atau tubektomi apabila ingin menghentlkan rerlilitas,

PPVS I O/ntlltY(.da<vG~2015 ZB
renanganan perdarahan pada kehamilan muda menurut t1ngkat fasilitas pelayanan

Geja/a Perdarahan pada kehamilan muda

Diagnosis Anamnesis

·• Riwayat I<ehamilan

Gejala kehamilan muda

·• Riwayat pendar<lhan

Gejala tanda Komplikasi

Pemeriksaan

• I<ondisi umum pasien (pucat, anemis, sesak nMas, syol<, demam, lemah,
stabil)
• Fisik (kloasma grafidarum, linea nigra, hiperpigmentasi areola mamae,
tinggi fundus, nyeri tekanan perut bilwah, perut .tegilngcairan bebas
intraabdomen)
• Ginekologi (secret vagina, fluor albus, mukopus, keunguan porsio, besar
uterus, pelunakan serviks atau /<orpus, ballottement, nyeri goyang I
ponia, massa adneksa)

Gejala Perdarahan pada kehamilan muda


Diagnosis I Pemeriksilan tambahan : I
i. Ultrasonogrilfi
• Uji kehamilan

··•
I{uldosentasis

Perasat Hanifa Wiknjosastro atau Acosta Sisson

ratologl Anatomi
--=---=c---
Fasilitas Kategori

Pelayana

ABORTUS EKTOPIK MOLA

n
i I

Iimminen I incipiens I inkomplit komplit Blm tgg I Tgg


s II ! I

I Polin des I Diagnosi I Diagnosis I Diagnosi Diagno Dugaan I Dugaan: Dugaan


I
s I RujuJ< ke s Digital sis I
berdasar- l berdasa berdasarl<a
Observas (asilitas . Rujuk Evaluas kan I r-kan n gejala
I i Rujuk pelayanan bila i Rujuk geja/a geja/a k/inik
apabiJa yang sesuai masih bi/a klinik klinik Diagnosis
berdarah terdapat terdapa Rujuk dan bi/a ada
terus kompJika t tampila ekspulsi
si komp/ik n jilringan
asi I Stabilisil mola Rujuk

I'PDS I OJ>mtri,dan.G~2015
29
si Rujuk
I'uskesmas Diagnosi Diagnosis Diagnosl Diagno D/kerja D/kerja Djagno~j~
s Evakuasi s sis Rujuk Stebilis Evakuasi
Observas sesuai Evakuasi Evaluas asi bila ada
i dengan sesuai i Rujuk Rujuk abortus
Evakuasi usia gestasi dengan bila mola Rujuk
bilajadi Terapi usia terdapa untuk
inkompli Pantau gestasi t terapi atau
t Rujuk Rujuk bila Terapi komplik pemantau­
bila ada Pantau asi an lanjut
etopik komplikasi Rujuk
bila ada
komplika
si ---
Rumah Diagnosi Diagnosis Diagnosi Diagno 0/ pasti 0/ pasti Diagnosis
Sakit s Evakuasi s sis Terapi Terapi Evakuasi
Observas Terapi Evakuasi Evakua lanjut I<ausatif medik
i lanjut atau Terapi si atau Transfu Antisipasi
Evakuasi I<omplikasi lanjut Terapi komplik 5iatasi komplikasi
bilajadi berat atau lanjut asi berat komplik Evakuasi
inl<ompli komplil<a atau asi Sitostatika
t si berat komp/ik berat Pemantau­
I<ompli/<a asi an
5i berat berat

P?DS r olntW-"d.t.vG~2015 30
5. PERSALINAN PRE-TERM

Definisi
Persalinan preterm ialah proses kelahiran pada ibu dengan usia gestasi < 37
minggu.
Epidemiologi

Sebanyak 5% kehamilan akan berakhir dengan preterm.

Patofisiologi
Persalinan preterm mempunyai banyak penyebab, namun infeksi korioamnionitis
kini menjadi dominan. Infeksi ini mempunyai potensi untuk cidera pada bayi baru
lahir. Semakin muda kehamilan semakin buruk prognosisnya.
Diagnosis
I(ontraksijhis yang reguler pada kehamilan <37 minggu merupakan gejala
pertama, pastikan dengan pemeriksaan inspekulo adanya pembukaan dan
cervicitis.
Penatalaksanaan
Upi!ya tokolisis hanyalah upaya penundaan sementara bagi pematangan paru. Bila
infeksi telah nyata sebaiknya persaJlnan preterm dibiarkan berlangsung. Selain itu
tokolisis tidal< dibenarkan pada usia i<ehamilan >35 minggu, kelainan bawaan
jan in. dan preeklampsia.
Peningl(Cltan /J·6 >"11 pg/ml merupal(an risil(o terjadinya reaksi radang
(inflammatory response/ dengan akibat periventricular leucomalacia (PVl).
Pemberian I<ortikosteroid lebih dari 2 hari dan berulang u/ang dapat memberi risiko
pertumbuhan bayi terhambat.
Pengobatan terhadap cervicitis dan vaginitis perlu dilakukan dengan
metronidazole 2 x 500 mg. Pemberian dexamethasone 12 mg/hari menunjukkan
penurunan risiko PVl.
Gejala infel(si intrauterine ia/ah: takikardia janin, gerakan janin lemah,
oligohidramnion, pireksia ibu, cairan amnion berbau.
Sebagai upaya pencegahan ada baiknya pemeriks<lan dalam dilakukan untul<
deteksi vaginitis dan cervicitis. I{elainan cervix iinl(ompetensil merupakan indikasi
untuk serklase. Pemeriksaan I<linii< dan USG (tebal cervix <1.5 em) merupakan risil<o
tsb.
Setelah pemberian informed consent yang baik, cara persa/inan dan kemampuan
klinik merawat preterm harus dipertimbang/<an. Bila kehamilan >35 minggu dan
presentasi kepala , mai<a persalinan pervaginam merupakan piJihCln. Namun bila
kehamilan 32-35 minggu maka pertimbangan sel<sio sesarea menjadi pilihan.
Menjadi kesulitan pilihan biJa bayi dengan berat lahir sangat rendah karena risiko
kematian tinggi (50%). Bila tidak ditemukan infeksi, ma/(a upaya to/(olisis dapat
dilakukan.
Obat yang dianjurl(an ialah :
a. nifedipine 10 mg, diu/ang tiap 30 menit, maksimum 40 mgj6 jam.

Umumnya hanya diper/ukan 20 mg, dan dosis perawatan 3 x 10 mg.

b. B-mimetik : terbutalin atau sa/butamol.


Pemberian i<ortikosteroid diperlukan untuk pematangan paru: betamethsone 12
mgjhari , untuk 2 hari saja. Bi/a tak ada betamethasone dapat diberikan
dexamethasone. _
Persiapan untuk perawatan bayi kecil perlu dibahas dengan dokter anak, untuk
kemungkinan perawatan intensif. Bi/a ternyata bayi tidak mempunyai kesulitan
Iminum, nafas,tanpa cacat) maka perawatan cara kanguru dapat diberikan agar
lama perawatan di rumah sakie dapac dikurimgi,

PPDS I Ol$tri.~G~2015
3J
Komplikasi
• Jnfe/{si
• Pada pemberian tokolisis dengan beta mimetik dapat terjadi efek samping edema
paru
Prognosis
• Morbiditas dan mortalitas neonatal tergantung dari usa kehamilan, ada tidaknya
infeksi serta kemampuan fasilitas perawatan neomitologi
IDiadaptasi dari Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi, PB POGI, 2003)

PPDS I cJb\tl.tl'v.w..G~2015 31
6. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Definisi dan klasifikasl


Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau
tekanan sistolik lebih atau sama dengan 140 mHg. Tekanan terse but harus dlukur dalam
dua kali pengukuran paling tidak berjarak 6 jam dan tekanan diastolik adalah saat suara
korotkoff fase V.
Kalsifikasi penyakit hipertensi pada kehamilan
1. Hipertensi dalam kehamilan
2. Preeklampsia: ringan dan berat
3. Eklampsia
4. Hipertensi kronik
5. Hipertensi kronik superimposed preeklampsia atau eklampsia

Preeklampsia
Didefinisikan sebagai timbulnya hipertensi. proteinuri setelah kehamilan 20 minggu pada
wan ita dengan tekanan darah yang normal sebelumnya. Dapat juga berkaitan dengan
geja/a dan tanda lainnya seperti edema, gangguan peng/ihatan, nyeri kepa/a. nyeri ulu
hati. Preeklampsia dapat timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu pada wan Ita dengan
kehamilan mola atau adanya lupus antikoagulan. Terdapat duajenis preeklampsia yaitu
• Preek/ampsia ringan. bi/a tidak ditemukan adanya tanda preeklampsia bera!
• Preeldampsia bera!. bi/a satu atau lebih kriteria di bawah ini terpenuhi
I. Tekanan darah sistolik ~ 160 mmHg atau diastolik ~ 110 mmHg da/am dua kali
pengukuran dengan jarak 6 jam
2. Proteinuri sebesar 5 g/24jam atau +3 atau lebih pada pengukuran semikuantitatif
3. Olguria. produksi urin kurang dari 500 cC/Z4 jam
4. Gangguan serebral atau penglihatan, gangguan kesadaran, nyeri kepala. sl<otoma
5. Edema paru
6. Nyeri epigastrium atau kuadran Kanan atas
7. Gangguan fungsi hati tanpa adanya etiologi lain
8. Trombositopenia
9. Pertumbuhanjanin terhambat

Eklampsia ada/ah timbulnya kejang umum atau penurunan kesadaran pada wanita
dengan preek/ampsia setelah penyakit neurologis, seperti epi/epsi sudah disingkirkan.Jika
hipertensi ditemukan pada kehamilan < 20 minggu dan tidak adanya mo/a hidatidosa
maka wanita tersebut didiagnosis dengan hipertensi kronik. Dan bila kemudian timbul
protein uri maka disebut preeklampsia superimposed. Kriteria lain preeklampsia
superimposed adalah peningkatan tekanan darah yang mendadak, timbulnya hemolisis,
gangguan fungsi hatt timbulnya sindroma he lip.

Etiologi
Teori mengenai etiologi dan patofisiologi preek/ampsia harus memperhatikan
pengamatan bahwa penyakit hipertensi karena kehamilan lebih mungkin terjadi pada
wanita yang:
• Terpajan villi korialis untuk pertama kalinya
• Terpajan villi korialis yang jumlahnya banyak, seperti dalam kembar atau mola
hidatidosa
• Mempunyai penyakit vaskuler sebeJumnya

ProS I Ob>tUtio""",G~2015 33
Mempunyai predisposisi genetik untuk hipertensi
Meskipun viii korialis penting dalam etiologi preekfampsia, namun letaknya tidak harus di
dalam uterus dan juga Janin tldak menjadi penentu timbul atau tidaknya preeklampsia.
Apapun etiologi yang mendasarinya, kaskade peristiwa yang menghasilkan sindrom
preeklampsia mempunyai elri kerusakan endotel vaskuler dengan vasospasme, transudasi
plasama yang diikuti sekuele iskemia dan trombosis.
Beberapa mekanisme sudah diajukan I,mtuk menjelaskan etiologi preeklampsia. Menurut
sibai, etiologi yang dianggap potensial adalah
Invasi trofoblas pembuluh darah uterina yang abnormal
Intoleransi imunologis antarajaringan maternal danjanin-plasenta
Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler atau inflamasi selama
kehamilan
Defisiensi nutrisi
Pengaruh genetik

Patofisiologi
Preeklampsla adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala yang mempunyai konsekuensl
pa~ofisiologi pada seluruh sistem tubuh. Perubahan pada masing-masing sistem organ
saling m7mpengaruhi dan juga derajat patologi masing-masing sistem organ berbeda­
beda sehlngga spektrum penyakit preeklampsia-eklampsia sangat bervariasi.
Gangguan pada sistem kardiovaskuler umum ditemukan pada pasien preeklampsia
atau eklampsia. Hal ini berl<aitan dengan meningl<atnya beban afterload karena
hipertensi, perubahan preload yang diakibatkan oleh berkurangnya hipervolemia pada
kehamilan dan aktivasi endotel dengan ekstravasasi plasma. Derajat aberasi
kardiovaskuler tergantung beberapa faktor, termasuk beratnya hipertensi, ada tidaknya
penyakit kr~nik, ada tidaknya preeklampsia dan waktu pemeriksaan.
Hemokonsentrasi adalah fitur utama dari preeklampsia-eklampsia. Wanita dengan
berat badan rata-rata seharusnya mempunyal 5000 cc volume darah pada saat aterm
dibandingi<an 3500 cc pada wanita yang tidak hamil. Pada preeklampsia-eklampsia
volume yang meningkat sebesar 1500 cc tidal< terjadi. Dengan adanya hemokonsentrasl,
vasospasme dan kebocoran endotel maka wanita dengan preeklampsia-eklampsia sensitif
terhadap terapi cairan yang diberikan dan terhadap kehilangan darah saat persallnan.
l(elainCln hematologi juga terjadi pada beberapa wanita dengan preeklampsia.
Trombositopenia, penurunan fal<tor pembekuan dan hemolisis. _eritrosit adalah yang
sering terjadi. Penurunan jumlah trombosit diakibatkan oleh aktivasi platelet, agregasi
dan konsumsi yang meningkat disertai rentang hidup yang berkurang. Trombositopenia
di bawah 100.000/ul menggambarkan proses penyakit yang berat, dan biasanya akan
terus menurun, Setelah persallnan, jumlah trombosit akan meningkat progresif untuk
mencapai kadar normal dalam 3-5 hari, Preeklampsia berat sering disertai dengan
hemolisis yang ditandai dengan kadar LDH yang meningkat, Buktl lalnnya adalah pada
apus darah tepi banyak terjadi perubahan morfologi eritrosit seperti schizocytosis,
spherocytosis dan retikulocytosis, Hal inl dlsebabkan oleh hemol/sis mikroangiopati yang
diakibatkan oleh disfungsi endotel yang disertai dengan deposit fibrin dan agregasl
trombosit. Adanya perubahan membran eritrosit, meningkatnya agregasi akan
memfasilitasi kondisi hiperkoagulasi. Perubahan laboratorium kearah kondisi
hiperkoagulasi pada dasarnya bersifat ringan, Oleh karena itu pemeriksaan rutin faktor
koagulasi, termasuk PT/APTT dan fibrinogen tidak diperlukan pada pasien dengan
preeklampsia-eklampsia. Trombofilia adalah defisiensi faktor pembekuan yang
mengakibatkan kondisi hiperkoagulasi. Hal ini berhubungan dengan preeklampsia early­
onset. Dilaporkan juga bahwa kadar antitrombin lebih rendah pada wanita. dengan

Pf'DS I ol»atrvd.ruovG~2015 34
preeklampsia dibandingkan dengan wanita normal atau dengan hipertensi kronis.
Adanya trombositopenia, hemolisis dan peningkatan enzim hati disebut sindroma HELLP
yang merupakan perburukan darl preeklampsla. Beberapa klinlsl memberlkan
kortikosteroid untuk mengurangi berat penyaklt. Paslen dengan sindroma HELLP
mempunyai angka komplikasi yang IInggi, Haddad dkk menemukan pad a 40% kasus.
Perubahan pada sistem endokrin, homeostasis juga terjadi pada pasien dengan
preeklampsia-eklampsia. Volume cairan ekstraseluler akan meningkat,' diakibatkan oleh
adanya kerusakan endotel. Akibat adanya kadar protein yang menurun maka terjadi
tekanan onkotik yang rendah dan memfasifitasi terjadinya ekstravasasi cairan ke ekstrasel.
Terjadi juga perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus yang berkurang yang mungkin
diakibCltkan oleh volume plasma yang berkurang. Sebagai akibatnya pada paslen dengan
preeklampsia maka kadar kreatinin plasma akan meningkat hingga 2 kali kadar kehamilan
normal (dari 0,5 mgfdl menjadi 1,0 mgjdl). Pada kasus yang lebih berat lagi yang disertai
dengan vasospasme intrarenal maka kadar kreatinin dapat mencapai 2-3 mgjdl. Secara
anatomis juga terjadi perubahan pada ginjal, yaitu adanya endoteliosis kapiler glomerulus
yilng ditandai dengan pembengkakan endotel kapiler glomerulus yang disertai deposit
materi protein subendotel. Pada kasus yang berat dapilt terjadi kegagalan ginjal yang
diakibatkan oleh nekrosis tubuler akut dengan eiri oliguri atau anuria dan peningkatan
kadar kreatinin yang cepat (sekitar I mgjdl/hari). ...
Perubahan pada hepar wanita eklampsia pertama kali dikemukakan oleh Virchow
pada tahun 1856. Lesi yang khas adalah perdarahan periportal di perifer hepar. Sheehan
dan Lynch menemukan perdarahan yang disertai infarl< pada 50% kasus. Perdarahan
yang terjadi biasanya ditangani secara konservati kecuali hematom bertambah besar,
yang memerlukan intervensi bedah.
Preeklampsia-eklampsiajuga mengakibatkan perubahan pada susunan saraf pusat.
PerulJahan anatomis yang bisa terjadi adalah perdarahan al<ibat robeknya pembuluh
darah kilrena hipertensi dan mungkinjuga timbul edema, hiperemi, iskemi. trombosis dan
perdarahan. Pada perubahan yang pertama lebih sering terjadi pada wan ita dengan
hipertensi kronik sebelumnya. Dengan teknologi dopier maka sekarang dapat dilakukan
pengukuran aliriln dilrah dan perfusi serbral nir invasif. Belfort dl<k menemukan bahwil
preeklampsia berhubungan dengan peningkatan tekanan perfusi serebral yang dilawan
dengan peningkatan resistensi serebrovaskuler sehingga tidak ada perubahan aliran
darah serebral. Pada eklampsia, karena hilangnya autoregulasi aliran serebral, terjadi
hiperperfusl seperti yang dltemukan pada ensefalopati hipertensi. Zeeman dkk dengan
studi MRl menemukan bahwa I<ehamllan normal berhubungan dengan penurunan 20%
aliran darah serebral sedangkan pada preeklampsia terjadi hiperperfusi yang mungkin
berperar. pada edema vasogenil< yang ditemukan pada MRI.
Selain pada sirkulasi maternal, preeklampsia-eklampsia juga mempengaruhi perfusi
uteroplasenta akibat adanya vasospasme. Brosens dkk melaporkan rerata diameter
arteriol spiralis miometrium sebesar 200 flm pada wanita dengan preeklampsia
dibandingkan rerata diameter 500 flm pada wanita dengan kehamilan normal.
Pemeriksaan penurunan perfusi uteropfasenta diJakukan secara indirek menggunakan
doppler. Dari penelitian yang ada, peningkatan resistensi terjadi pada beberapa namun
tidak semua kasus preeklampsia.

Diagnosis
Hipertensi didiagnosis bila tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih dengan
menggunakan fase 5 korotkoff sebagai definisi tekanan diastolik. Peningkatan tekanan
sistolik sebesar 30 mmHg dan diastoli sebesar 15 mmHg tidak lagi direkomendasikan
sebagai kriteria diagnostik, Proteinuria yang signifikan adafah bila mefebihi 300 mg/24
jam atau 30 mgjdl (positif 1pada dipstick! yang menetap pacla sampel urin ilCilk.

PPDS I O~vd.:uvG~2015
35
Bila ditemukan hipertensi pada wanita hamil tanpa disertai adanya proteinuria
maka disebut hipertensi da/am kehamilan atau hipertensi transien bila tida/< timbu/
preeklampsia dan tekanan darah menjadi normal da/am 12 minggu pasca persalinan. Jadi
hipertensi dalam kehamilan sebenarnya diagnosis eksk/usi dan perlu diingat bahwa
beberapa pasien dapat memburuk menjadi preeklampsia. Preeklampsia didiagnosis bila
adanya hipertensi yang diserlai proteinuria. Disebut preeklampsia berat bila memenuhi
kriteria yang ada di atas.

Penatalaksanaan
Hipertensi dalam kehamilan pada prinsipnya ditangani secara rawat jalan. Dilakukan
pemantauan tekanan darah, proteinuria dan kondisi janin setiap minggu. Jika terdapat
tanda pertumbuhan janin terhambat maka dilakukan perawatan 'untuk menil(li
kesejahteraan janin dan perlu tidaknya terminasi kehamilan. Selama rawat jalan pasien
dan keluarga diberikan informasi mengenai tanda bahaya yang mengarah ke
preeklampsia atau eklampsia.
Prinsip utama penanganan preeklampsia adalah terminasi kehamilan dengan
trauma terkecil baik pada ibu danjanin, melahirkan bayi yang viabel dan mengembalikan
kesehatan ibu secara komplit.
Preeklampsia ringan dengan usia I<ehamilan kurang dari 37 minggu maka dilakul<an
pemantauan 2 kali seminggu untuk menilai tekanan darah, urin dan kondisljanin, Selama
pemantauan tidak perlu dinerikan antikonvulsan, sedatif atau penenang , antlhlpertensl
dan restriksi garam. Jika kehamilan lebih dad 37 minggu dan ada tanda perburukan
kondisi janin seperti cairan amnion yang berkurang atau pertumbuhan janin terhambat
maka persalinan perlu dipercepat. Jika serviks matang maka dilakukan amniotomi dan
induksi oksitosin. Jika serviks tidak matang. dilakul<an pematangan dengan prostaglandin
atau kateter folley atau dilal<ukan seksio sesarea.
Preeklampsia berat ditangani hampir sama dengan eklampsia dengan perbedaan
bahwa lahirnya bayi harus dalam 12 jam setelah kejang pada kasus dengan ekiampsia,
Seperti teiah disebutkan terminasi I<ehamilan adalah prinsip penanganan preeklampsia.
jadi pada preekaimpsia berat prinsip utamanya adalah pencegahan kejang dan kerusakan
organ dan meiahirkan bayi. Magnesium sulfat parenteral adalah obat antikonvulsan yang
efektif tanpa depresi sistem saraf pusat bayi dan ibu. Kadar terapeutik adalah sebesar 4·7
mEq/L . Reflel<s patella akan menghilang pada I<adar 10 mEq/L dan merupakan tanda
toksisitas paling awai. Jika kadar melebihi 10 mEq/l maka akan timbul depresi pernafasan
dan henti nafas terjadi pada kadar 12 mEq/l atau lebih. Pemberian MgS04 harus
memperhatikan fungsi ginJai. karena ekskresinya tergantung dari ekskresi oleh ginjal.
Estimasi fungsi ginjal dilakukan dengan mengukur kadar I<reatinin plasma. dimana bila
kadar> 1.3 mgldl maka pemberian MgS04 rumatan diberikan dalam setengah dosis. Pada
kasus toksik. pemberian Ca gJukonat 1 gr intravena dengan menghentikan pemberian
MgS04 dapat mengatasi depresi pernafasan. Namun pada kasus berat atau disertai henti
jantung maka intubasi dan ventilasi mekanik harus dilakukan.
MgS04 menunjukkan efektifitas yang baik dalam mencegah kejang. Penelitian
Eclampsia Trial Collaborative Group menunjukkan bahwa wanita yang diterapi .MgS04
memiliki kejang ulangan 50% lebih rendah dibandingkan yang diberikan diazepam.
Kelompok MgS04 juga mempunyai angka kematian maternal yang lebih rendah. Sekitar
10-15% wanita dengan eklampsia akan mengalami kejang ulangan dalam pengobatan
MgS04. Dosis tambahan sebesar 2 gr intravena dapat diberikan. Pada kasus eklampsia
puerpuralis maka pemberian MgS04 diJakukan se/ama 24 jam.
Obat antihipertensi diberikan bila tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih.
Target terapi ada/ah untuk mempertahankan tekanan diastolik 90-100 mmHg untuk

PPDS I O~da.vG~Z015 Jo
mencegah timbulnya perdarahan otak. Pilihan obat antihiperensi adalah hidrCllazin,
/abeta/o/ iltilU nifedipin dengiln tara pemberian sebagai berikut ;
Hidralazin diberikan 5 mg iv secara perJahan setiap 5 menit sampai tekanan darah
turun. Di:JJang setia jam atau berikan hidralazin 12,5 mg 1M setiap 2 jam bila
diperJukan.
Labetolol diberikan 10 mg iv, jika respon tidak adekuat setelah 10 menit maka
diberikan Jagi Jabetolol 20 mg iv. Naikan dosis menjadi 40 mg dan kemudi,m 80 mg
Jika tidak didapat respon setelah 10 menit pemberian.
Nifedipin diberikan 5 mg sub lingual, jika tekanan diastolik masih di atas 110 mmHg
setelah 10 menit maka diberikan lagi 5 mg sublingual.

Prognosis
Wanita dengan t,ipertensi yang timbul dalam kehamilan harus dievaluasi pasca persalinan
dan diberikan konse/ing mengenai kehamilan berikutnya dan risiko kardiovaskuler. Jika
setelah 12 minggu tekanan darah masih di atas normal maka disebut hipertensi kronik.
Wanita dengan riwayat preklampsia mempunyai risiko lebih tinggi untuk timbul
hipertensi dalam kehamilan berikutnya. Sibai dkk menemukan bahwa nullipara yang
didiagnosis preeklampsia sebeJum 30 rninggu mempunyai risiko rekurensi sebesar 40%
pada kehilmilan berikut. Juga harus diingat bahwa wan ita dengan preeklampsia early·
onset mungkin mempunyai penyakit yang mendasari sehinggil dapat mempengaruhi
kesehiltan jangka panjang.

REFERENSI

1. Hypcncmive dISorders in pregn~ncy. In Cunningham ct a!. ed. Williams Obstetrics 22"a edition, McGraw-Hili. 2005
2. M,maging Complication in Pregn,mcy and Childbirth: A guidr for midwives Clnd doctors, WHO, 2003.

6.1. HELLP SYNDROME


INTRODUCTION - HELLP is an acronym that refers to a syndrome characterized by Hemolysis with
a microangiopathic blood smear. Elevated Liver enzymes, and a Low Platelet count [1). It probably
represents a severe form of preeclampsia (!il.!1.k.l and table 2), but the relationship between the
two disorders remilins controversi~I. As many as 15 to 20 percent of patients with HELlP syndrome
do not have antecedent hypertension or proteinuria, leading some authorities to t'elieve that
HElLP is a separate disorder from preeciampsiil CZ:iJ. Both severe preeclampsia and HElLP
syndrome may be associated with serious hepatic manifestations, including infarction.
hemorrhage. ilnd rupture.

This topic will focus upon the clinical manifestations. diagnosis, and management of HELLP
syndrome. Preeclampsia is reviewed in detail separately. (See "Preeclampsi,,: Clinicill features ilnd
diagnosis: and"Prccclampsiil: Man,lgement ilnd prognosis".)

INCIDENCE - HELLP develops in approximately O. 1to 0.8 percent of pregnancies overall and in 10
to 20 percent of women with severe preeclampsia/eclampsia.

RISK FACTORS - A previous history of preeclampsia or HELLP is a risk factor for HELLP syndrome
(see 'Recurrence in subsequent pregnancies' below). Sisters and offspring of women with a history
of HELLP syndrome are also at increased risk of developing the syndrome [2). A variety of genetic

PPD5 I 01JltUn,dD..\.G~2015 37
variants associated with an increased risk of HELLP syndrome have been reported, but have no role
in clinical management ['H
In contrast to preeclampsia, nulliparity is not a risk factor for HELLP syndrome (IJ. Half or more of
affected patients are multiparous.

PATHOGENeSIS - The pathogenesis of HELLP syndrome is unclear. If it is a form of severe


preeclampsia, it likely originates from alierrantplacental development and function.
(See "I'reeclampsia; I'athogenesis".) As an independent entity, it has been attributed to abnormal
placentation, similar to preeclampsia, but with greater hepatic inflammation and greater activation
of the coagulation system than in preeclampsia [6 8 9J. In a case report of a woman with severe
early HELLP syndrome, treatment with eculizumab, a targeted inhibitor of complement protein C5,
was associated with marked clinical improvement and complete normalization of lab parameters
for 16 days [lQ]. The authors chose this intervention based on the hypothesis
that preeclampsia/HElLp is a systemic inflammatory disorder and the complement cascade is a key
mediator, and the observation that women with mutations in complement regUlatory proteins
appear to be at increased risk of severe preeclampsia [llJ.

In less than 2 percent of patients with HELLP, the underlying etiology appears to be related to fetal
long<hain 3-hydroxyacyl CoA dehydrogenase ILCHAD) deficiency I.!1..U.J. In one case series. all six
pregnancies with felal LCHAD deficiency developed severe maternal liver disease IHELLP or acute
fatty liver of pregnancy [AFLPJ) [l.±]. These complications probably were not due to chance or
maternal heterozygosity for LCHAD deficiency alone because three other pregnancies with
unaffected fetuses among these mothers were uncomplicated. In another case series In which 19
fetuses had LCHAD deficiency, 15 mothers (79 percent) developed AFLP or the HELLI' syndrome
during their pregnancies [1.5.J .. [See -Acute fatty liver of pregnancy".)

PATIENT PRESENTATION - HELLP syndrome has a variable presentation (table 3). The most
common symptom is abdominal pain and tenderness in the midepigastrium. right upper quadrant.
or below the sternum [l12J. Many patients also have nausea. vomiting, and malaise. which may be
mistaken for a nonspecific viral illness or viral hepatitis. particularly if the serum aspartate
aminotransferase (AST) and lactate dehydrogenase (LDH) are markedly elevated Ill]. Less common
signs and symptoms include headache. visual changes,jaundice, and ascites. Mistaking abdominal
pain. nausea. vomiting. and malaise for viral illness is a common pitfall that has resulted in maternal
death or severe morbidity [J.§].

Hypertension (bloOd pressure ~ 140/90 mmHg) and proteinuria are present in approximately 85
percent of cases. but it is important to remember that either or both may be absent in women with
otherwise severe HELLI' syndrome [.l.2J.

Signs and symptoms typically develop between 28 and 36 weeks of gestation, but second trimester
or postpartum onset is also common. In an illustrative series of 437 women who had 442
pregnancies complicated by the HELLP syndrome, 70 percent occurred prior to delivery [l12J. Of
these patients, approximately 80 percent were diagnosed prior to 37 weeks of gestation and fewer
than 3 percent developed the disease between 17 and 20 weeks of gestation. The disease
presented postpartum in 30 percent, usually within 48 hours of delivery. but occasionally as long as

Pl'VS I O~vda..v~~Z015 38
7 days after birth. Only 20 percent of postpartum patients with HELLP had evidence of
preeclampsia antepartum.

Serious maternal morbidity may be present at initial presentation or develop shortly thereafter. This
includes disseminated intravascular coagulation (0"). abruptio placentae. acute renal failure.
pulmonary edema. subcapsular or intra parenchymal liver hemiltoma. and retinal detachment
(see 'Maternal outcome' below) [1QJ.

Bleeding related to thrombocytopenia i~ an unusual presentation.

DIAGNOSIS - The diagnosis of HELLP syndrome is based upon the presence of all of the laboratory
abnormalities comprising its name (hemolysis with a microangiopathic blood smear, elevated liver
enzymes. and low platelet count) in a pregnant woman. Thus, laboratory work-up should include
[12J:
.Complete blood count with platelet count
.Peripheral smear
.Aspartate aminotransferase (AST), bilirubin

In addition. we obtain a serum crelltinine concentration and urine protein to creatinine ratio.

We suggest obtaining these laboratory tests in women with new onset

hypertension and/or characteristic symptoms (right upper quadrant/epigastric pain, nausea.

vomiting, fatigue or malaise) in the second half of pregnancy or first postpartum week.

Pregnant/postpartum women who have some of the typical laboratory abnormalities but do not

meet all of the laboratory criteria described below are considered to have partial HELLP syndrome

[ZJ.

Laboratory criteria.- Precise criteria for HELLP are necessary for research purposes and for

predicting maternal complications. We require the presence of all of the following criteria to

diagnose HELLP (Tennessee classification) [1QJ:

IMicroangiopathic hemolytic anemia with characteristic schistocytes (also called helmet cells)
on blood smear fWllitli. Other signs suggestive 01 hemolysis Include an elevated indirect
bilirubin level and a low serum haptoglobin concentration (S25 mg/dL) .
• Platelet count S 100,000 celis/microL
.Total bilirubin ~ 1.2 mg/dL (20.52 micromol/L)
.Serum AST ~70 lUlL. Some investigators obtain alanine aminotransferase IALT) levels instead
of. or in addition to, AST levels. An advantage of the AST is that it is a single test thilt reflects
both hepatocellular necrosis and red cell hemolysis.

These thresholds were chosen. in part, to avoid problems related to differences in assays used to
measure liver enzymes. which may result in an elevated value in one hospital that is near normal in
another. We do not include elevated lactate dehydrogenase (LDHI in the laboratory criteria for
HELLP syndrome because it is a nonspecific finding associated with both hemolysis and liver
disease.

PPDS r O~"AAn.G~20lS 39
As discussed above, women who do not meet all of the above laboratory abnormalities arc
con~idered to have partial Hmp ~yndrome. However, the~e patient~ may progre~s to complete
expression of HELLP syndrome.

There is no consensus regarding the laboratory criteria diagnostic of HELLP syndrome. A common
alternative /Mississippi classification) used to define HELLP syndrome is [20 21]:

.Hemolysis documented by an increased LDH level and progressive anemia


.Hepatic dysfunction documented by an LOH level >600 lUlL. elevated liver enzymes
documented by AST >40 lUlL, ALT>40 lUlL, or both
.Thrombocytopenia documented by a platelet nadir less than
150,000 cells/mm'. Thrombocytopenia is subclassified as class one HELLP syndrome: platelet
nadir ~50,000 cells/mm3. class two HELLP syndrome: platelet nadir sIOO,OOO cells/mm 3. or
class three HELLP syndrome: platelet nadir S150,000 cells/mm 3•
Differential diagnosis - HELLP syndrome may occasionally be confused with other diseases
complicating pregnancy: acute fatty liver of pregnancy (AFLP), gastroenteritis. hepatitis,
appendiCitis. gallbladder disease, immune thrombocytopenia (ITr), lupus fiare. antiphospholipid
syndrome, hemOlytic-uremic syndrome (HUS), or thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), and
nonalcoholic fatty liver diseilse (table 4) [1922). (See individual topic reviews on these SUbjects).

In one series of 46 women who developed liver disease during pregnancy severe enough to require
admission to a liver failure unit. 70 percent had acute fatty liver and 15 percent had HELLP Ill).
Most of the remaining patients had liver disease that was unrelated to pregnancy.

Acute fatty liver of pregnancy - The clinical presentation of AFLP commonly includes nausea and
vomiting. abdominal pain, malaise, polydipsia/polyuria,jaundice/dark urine, encephalopathy,
andhypertension/preeclampsia (H). HELLP may be difficult to distinguish clinically from AFLP since
both occur at the same time in gestation and share several clinical features (figure I ).In fact, in one
study approximately half of AFLP patients based on the Swansea criteria (which identify the most
severe spectrum of the disease) also fulfilled criteria for HELLP syndrome [ll). (See "Acute fatty liver
Q~nan'.'iJi'i.tion_Q,n 'Clinic,,1 manifestiltians'.)

It is important to differentiat,e between the two disorders because women with AFLP can rapidly
develop liver failure ilnd encephalopathy. Additional laboratory testing can be helpful:
prolongation of the prothrombin (PT) and activated partial thromboplastin time (aPTT), severe'
hypoglycemi~, and elevated creatinine concentration are more common in women with AFLP than
in those with HELLP. Hypertension is more common in HELLP than in AFLP fin one review: 80 to
100 percent of c~ses versus 26 to 70 percent of cases ['-1])­

Of note, women with AFLP are more likely than women with HELLP to have offspring with an
inherited defect in mitochondrial beta-oxidation of fatty acids. such as long-chain 3.hydroxyacyl­
coenzyme A dehydrogenase deficiency, short-Chain acyl-coenzyme A dehydrogenase deficiency,
or carnitine palmitoyltransferase I deficiency [12,13 15,26 27]. However, this information is not
typically available during differential diagnosis, and is not highly sensitive or specific. (Sec "Acute
fatty liver of pregnancy" section on ·Pathogenesis·.)

AFLP can be confirmed by diilgnostic liver biopsy. but this is rarely performed because the clinical
diagnosis is usually reasonably certain, the information gained would not Change management fie,

PPDS I Oi»tW"~G~20J5 40
delivery of the fetus I, and the procedure exposes the mothei and pregnancy to additional risks
(picture 2). Fa.:rthermore, AFlP and HELLP share several common histological features Lli).
ISee "Acute fatty liver of pregnancy" section on 'liver biopsy'.1

Thrombotic microangiopathy - Thrombocytopenia, anemia, and renal failure occurring late in


pregnancy can also occur in HUS and np r~J. np·HUS should be considered in all pregnant
women with severe thrombocytopenia, severe a"emia, and elevated LDH levels with minimal
0'
elevation AST (lil.llk..±1 rm, The distinction between np·HUS and severe preeclampsia or HELLP
is important for therapeutic arid prognostic reasons. However. the clinical and histologic features
are so similar that establishing the correct diagnosis Is often difficult; furthermore, these disorders
may occur concurrently. (See "Diagnosis of thrombotic thrombocytopenic rurpura·hemolytic
uremic syndrome in adults".)

Time of onset may suggest one disorder over the other. The onset of TTP tends to be earlier in
0'
gestation than the onset preeclampsia or HELLP: about IZ percent of TTP in pregnancy occurs in
the first trimester, 56 percent in the second trimester, and 33 percent in the
third trimester/postpartum, whereas preeclampsia·HELLf' does not occur before 20 weeks of
gestation and most cases are diagnosed in the third trimester [13J. A history of proteinuria and
hypertension prior to onset of hemolysis, liver abnormalities. and thrombocytopenia favor the
diagnosis of preeclampsia.

Laboratory studies are most helpful for distinguishing between np·HU5 and HELLI"' as the
coagulation abnormalities in these disorders are different.

.HELLI"' is associated with thrombocytopenia and, in severe cases, there may be disseminated
intravasculM coagUlation IDICj with the attendant prolongation of the PT and "PTI, and
reductions in the plasma concentraticns of factors V and VIII. In contrast, TTp·HU5 is
associated with isol~ted platelet consumption; thus, ~Ithough thrombocytopenia is seen, the
other findings ~re typically absent.
.The percentage of schistocytes on peripheral smear is ohen higher in TIP 12 to 5 percent)
than in HELLP (less than I percent) ill).
•Von Willebrand factor·cleaving protease IADAMTS·! 3) activity <5 percent is seen in 33 to
100 percent of women with TIP, but is rare or absent in those with HUS or HELLP [.u..li).
oA high LDH level with only modest elevation of AST is more consistent with TTl"' than HELLI"'.
MANAGEMENT

Initial approach - After the diagnosis is confirmed, the initial steps in management are to stabilize
the mother, assess the fetal condition, and decide whether prompt delivery is indicated,
Pregnancies less than 34 weeks of gestation, and those in which the mother is unstable, should be
managed in consultation with a maternal·fetalspecialisl.

Antihypertensive drugs are used to treat severe hypertension. Hypertension can usually be
controlled with labetaloi, hydralazine, or nifedipine or, in severe cases, with
sodium nitroprusside [1). The approach to antihypertensive therilpy is thp. same as that for
preeclampsia. ISee "Management of hypertension in pregnant and postpartum women", section on
·Preeclampsia·.J

PPDS I ()~.u.....G;,~v20!5 41
Magnesium sulfate is given intravenously to patients on the labor and delivery unit to prevent

convulsions, and for fetal/neonatal neuroprotection in pregnancies between 24 and 32 w~eks of

gestation, (See"Precclampsia: Management and prognosis· section on 'Magnesium regimen and

monitoring' and'Neuroprotective effects of in utero exposure to magnesium sulfatc".)

Timing of delivery - The cornerstone of therapy is delivery, Delivery is curative and the only

effective treatment. There is consensus among experts that prompt delivery is indicated after

maternal stabilization for any of the following (19 35J:

oPregnctncies ~34 weeks of gestation


oNonreassuring tests of fetal status (eg, biophysical profile, fetal heart rate testingl
oPresence of Severe maternal disease: multiorgan dysfunction, disseminated intravascular
coagulation (DIC), liver infarction or hemorrhage, pulmonary edema, renal failure, or abruptio
placenta.
Role of expectant management - We do not manage patients with HELLP syndrome expectantly at
any gestational age and consider this approach for more than 48 hours investigational. There are
few studies on the outcome of expectant management of HELLP syndrome. In these studies, the
laboratory abnormalities of HELLP syndrome reversed in a subset of patients managed expectantly
and serious maternal complications were uncommon with careful maternal monitoring and timely
intervention. However. the aim of expectant management is to improve neonatal morbidity and
mortality. There is no evidence demonstrating improvement in overall perinatal outcome with
expectant management compared with pregnancies delivered after a course of corticosteroids, and
no maternal benefits from expectant management. The following studies support our approach:

oln a study that treated 128 women with HELLP under 34 weeks of gestation with volume
expansion and pharmacologic vasodilatation under invasive hemodynamic monitoring,
delivery was necessitated in 22/128/17 percent) of patients within 48 hours; the remaining
patients had a median prOlongation of pregnancy of 15 days rlgJ. Although there was no
maternal mortality or serious maternal morbidity and more than half (55/102) of the women
had complete reversal of their laboratory abnormalities with expectant management. 11 fetal
and 7 neonatal deaths occurred.
oln another series, 41 women with HELLP under 3S weeks of gestation were managed
expectantly [37J. Delivery was required within 48 hours in 14/41 134 percentl, the remaining
patients had a median prolongation of pregnancy of 3 days and more than half 115/271 had
compete reversal of their laboratory abnormalities {37J. However, there were 10 fetal deaths.
Pregnancies less than 34 weeks of gestation - When both the maternal and fetal status are
reassuring, we administer it course of corticosteroids before delivering pregnancies complicated by
HELLP syndrome at less than 34 weeks of gestation [.!..2.lS.J. Although a short delay in delivery for
corticosteroid administration appears to be safe [38J, we do not advise attempts to delay delivery
beyond 48 hours because disease progression usually occurs, sometimes with rapid maternal
deterioration, ISee "Antenatal corticosteroid therapy for reduction of neonatal morbidity and
mortality from preterm delivery: and'Role of expectant management' above. 1

Indications for platelet transfusion - Actively bleeding patients with thrombocytopenia should be
transfused with platelets. Platelet transfusion may be indicated to prevent excessive bleeding
during delivery if the platelet count is less than 20,000 ceils/microL, but the threshold for

PPDS I O~dMvG~2015 42
prophylactic platelet transfusion in this setting is controversial. The decision depends on patient
specific factol's; consultation with the hemat010gy service may be helpful.

If cesarean delivery is planned. platelet transfusion may be required. Some experts recommend
platelet transfusion to aChieve a preoperative platelet count greater than 40.000 to
50,000 cells/mitrol [l!l), but the minimum count before a neuraxial procedure is controversial and
depends on factors in addition to' platelet concentration. (See "Adverse effects of neuraxial
analgesia and anesthesia for obstetrics" section on 'Neuraxial analgesia and low
~ and "Clinical ilnd lilboriltory aspects of pliltelet transfusion therilPY" section on
'Preparation for an invasive procedure'.)

Route of delivery - Vaginal delivery is desirable for women in labor or with ruptured membranes
and a vertex presenting infant, regardless of gestational age. Labor can be induced in women with
favorable cervices or pregnancies at least 30 to 32 weeks of gestation. Cesarean delivery is
performed for the usual obstetrical indications leg, breech. nonreassuring fetal status). However,
we feel cesarean delivery is probably preferable in pregnancies less than 30 to 32 weeks of
gestation if the cervix is unfavorable for induction, especially if there are signs of fetal compromise
(growth restriction. abruptio placenta, oligohydramnios), Induction of these pregnancies. even
with use of cervical ripenIng agents, gcner..lfy hllS .. high Failure r.. le lind Is often prolonged,
thereby potentialfy exposing the mother and fetus to a higher risk of complications from severe
HEllP syndrome. (See "Induction of labor".)

Because of the high riSK of subf.. scial and wound hematoma in these women, some surgeons plilce
a subfascial drain at cesarean delivery and leave the incision open for the first 48 postoperative
hours [.1J.

Anesthesia/analgesia - Opioids administered intravenously provide some pain relief without risk of
maternal bleeding, whiCh may occur with intramuscular administration or with placement of
neuraxial anesthesia. removal of a neuraxiat catheter, or placement of a pudendal nerve block.
However, there is no contraindication to perineal infiltration of an anesthetic for performing an
ep,siotomy or repairing the perineum. ISee 'Pharmacologic milnagcment of pain (turing la~oJ:-ililQ
~.j

Role of dexamethasone for treatment of HELLP - We do not treat HEllP syndrc-me wIth steroids.
Initial observational studies and smaH randomized trials suggested use of glucocorticoids may be
associated with more rilpid improvement in laboratory ilnd clinical parameters [39-42J, These
findings were not supported by subsequent large, weff-designed randomized. double-blind,
placebcxontroffed clinical trials evaluating the use of dex<tmethilsone to improve maternal
outcome in patients with HELLP syndrome [43 44J.

oln the first trial, a total of 132 women over 20 weeks of gestation with HELLP syndrome [60
antepartum, 72 postpartum) were randomly assigned to receive either dexilmethasone [10
mg intravenously every 12 hours until delivery and 3 additional doses after delivery) or
placebo; postpartum women only received the postpartum doses or placebo. All patients had
platelet counts less than 100.000celis/microL, aspartate aminotransferase lAST) >70 IU/L and
lactate dehydrogenase [LDH) >600 IU/L. The major findings of this trial were:

PPDS I O!ntctY;,cUuvGiNJ.c/b;!V2015 43
•Dexamethasone did not reduce the duration of hospitalization. the rate of platelet or
fre~h frozen pld~ma tranffusion, or maternal complications /acute renal failure,
pulmonary edema).
•The time of recovery of laboratory tests was not shortened by treatment.
•However. subgroup analysIs noted that patients with severe HELLP Iplatelet count
<50,000 cells/microl) given dexamethason~ had faster platelet count recovery and
shorter hospitalization than controls. We believe that this finding requires further
investigation in prospective trials. given that the analysis was unplanned and the
severity of disease was not taken into account at randomization .
• In the second trial. 114 postpartum women with HEllP syndrome were randomly assigned
to receive either dexamethasone 110 mg) or placebo (1.1). Use of dexamethasone did not
accelerate postpartum recovery of patients with HELLP syndrome: there was no difference
between drug and placebo groups in the resolution of laboratory or clinical parameters.
frequency of maternal complications. need for rescue therapy. or length of hospitalization.

In addition, a Cochrane review of I J trials comparing corticosteroids with placebo/no treatment in


women with HEllP syndrome found no difference between groups in rates of maternal death.
maternal death or severe maternal morbidity. or perinatal/infant death and concluded there was
no clear evidence of benefit on substantive clinical outcomes(~j.

Despite these findings. some invcstigators continue to recommend usc of dexamcthasone in


patients with platelet counts less than 100.000 cells/microL based on their clinical experience and
relatively consistent findings from multiple observational studies and small randomized trials [~I.
Suspected hepatic hematoma or infarction - Marked elevations in serum aminotransferases are not
typical of uncomplicated HEllP; however. when they occur. the possibility of hepatic infarction.
subcapsular hematoma. or an unrelated etiology leg. viral hepatitis) should be considered.

Imaging tcsts, particularly computcd tomography (CT) or magnetic resonance imaging (MRII. are
useful when complications such as hepatic infarction. hematoma. or rupture Me suspccted because
of suddcn severe right upper quadrant abdominal pain. which may be associated with shoulder
pain. neck pain. and/or hypotension (47 48J. In one series of 33 women with HELlP and these
symptoms. imaging the liver revealed abnormal findings in 15 (45 percent) patients [47J. The most
common abnormalities were subcapsular hematoma and intraparenchymal hemorrhage (image
1 and image 2).
Management of hepatic complications
Hepatic hematoma and rupture - HELlP may be complicated by hepatic rupture with
development of a hematoma beneath Glisson's capsule [16.47 49 SOJ. Histology of the liver
adjacent to the rupture shows periportal hemorrhage and fibrin deposition. along with a
neutrophilic infiltrate. suggestive of hepatic preeclampsia [lQJ. The hematoma may remain
contained. or rupture. with resulting hemorrhage into the peritoneal cavity (image 3). A hepatic
hematoma rarely occurs in the apparent absence of preeclampsia or HEllP LUJ.

Women who develop a hepatic hematoma typically have epigastric pain and many have severe
thrombocytopenia. shoulde~ pain. nausea. and vomiting [.41). If hepatic rupture occurs. swelling of
the abdomen from hemoperitoneum and shock rapidly ensue. The aminotransferases are usually

PPDS I Oi>ltW-Vda,n,G~20J5 44
mOdestly elevated, but values of 4000 to 5000 lUll can occasionally be seen. Imag;ng using (T or
MRI is more dependable than ultrasonography for detecting these lesions [imilge If and ~)
IllJ·
The management of a contained hematoma is to support the patient with volume replacement and
blood transfusion, as needed. If the size of the hematoma remains stable and her laboratory
abnormalities are resolving, the patient may be c1ischarged home with outpatient follow·up. It may
take months for the hematoma to resolve completely [iZ].
Percutaneous embolization of the hepalic arlerles Is a reasonable first·line therapy of hepatic
rupture in women who are hemodynamically stable [5253). Surgical intervention is indicated if
there is hemodynamic instability, persistent bleeding, increaSing pain, or continued expansion of
the hematoma [54J, A team experienced in liver trauma surgery should be consulted [2.2.J,
Operative management includes packing, drainage, hepatic artery ligation, and/or resection of
affected areas of the liver, For patients with intractable hemorrhage despite these interventions,
administration of recombinant factnr Vila [~ and liver transplantation [57·60J have been
successful in case reports.

Patients who survive have no hepatic sequelae,

Hepatic Infarction - Hepatic inFarction Is rare in HELLI' syndrome and is usually associMed with
an underlying procoagulant state, particularly the anti phospholipid syndrome r~J, Clinical
findings include marked elevation in serum aminotransferases /usually 1000 to 2000 lUlL or
higher' with right upper quadrant pain and fever; infarction can be followed by hemorrhage, The
diagnosis is supported by characteristic hepatic imaging (MRI or (TI. (See'Clinic~1 manifestations of
the ~ntiphospholipid syndrome" and "Ischemic hep~titis hepillir. inf~rction and iSCho"1i(
chol"ngiop~thy"·1

POSTPARTUM COURSE -laboratory values m~y initially worsen following delivery, The time
course of recovery from HELlP was evaluated in a series of 158 women with the disease [IllJ,
Decreasing platelet counts continued until 24 to 48 hc.urs after delivery, while serum LDH
concentration usually peaked 24 to 48 hours postpartum, In all patients who recovered, a platelet
count greater than I OO,OOOcells/microL was ~chieved spontaneously by the sixth postpartum day
or within 72 hours of the platelet nadir, An upward trend in platelet count and a downward trend
in LDH concentration should be seen by the fourth postpartum day in the absence of
complications, Others have reported similar findings [2£).

Recovery can be delayed in women will1 particul~rly severe disease, such as those with
disseminated intravascular coagUlation (DICJ. platelet count less than 20,000 cells/microl, renal
dysfunction, or ascites rJ '} 67J. These women are at risk of developing pulmonary edema and renal
failure.

OUTCOME AND PROGNOSIS - HELlP syndrome is associated with a variety of maternal


morbidities, whiCh can rarely result in a fatal outcome. The risk of serious morbidity correlates with
increasing severity of m~ternal symptoms and laboratory abnormalities [1£J,

Maternal outcome - Following the delivery, maternal sYr:1ptoms and signs begin te. improve within
48 hours, but a protracted course is possible,

PPDS I OI"t"lh~C;i~v2015
45
The outcome for mothers with HELLP is generally good; however, serious complications are
relatively common, In our series of 437 women with HELlP syndrome at a tertiary care facility, the
following complications were observed [.l.Q]:

.Disseminated intravascular coagulation (DIC! - 21 percent


.Abruptio placentae - 16 percent
.Acute renal failure - B percent
• Pulmonary edema - 6 percent

.Subcapsular liver hematoma - 1 percent

.Retinal detachment - 1 percent

In addition, 55 percent of the patients reqUired transfusions with blood or blood products, and 2
percent required laparotomies for major intraabdominal bleeding. Four women (1 percent) died.

These complications are interdependent: abruptio placenta is a common obstetrical etiology of DIC.
Which, in turn, may induce acute renal failure. Acute renal failure may lead to pulmonary edema.

Additional complications that have been reported in other series include: adult respiratory distress
syndrome, sepsis, and stroke [LIl]. Wound complications secondary to bleeding and hematomas
are common In women with thrombocytopenia.

Although most liver function tests {aspartate aminotransferase [AST], lactate dehydrogenase [LDH],
ilnd conjugated bilirubinl return to normal postpartum, in one report, totill bilirubin levels were
elevated in II (20 percent) of the women who had liver function tests checked 3 to 101 months
after delivery [~j.

HELLP syndrome with or without renal failure does not affect long·term renal function (c,:).lQj.

Recurrence in subsequent pregnancies - Data defining the recurrence risk of HELLP syndrome are
sparse given the relatively low incidence of the disorder. The risk of recurrent HELLP is low {2 to (,
percentl, but the risk of preeclampsia in a subsequent pregnancy is high (>20 percent). and even
higher 1>50 percent) among women with second trimester HELLP.

• In three series including almost 400 pregnanCies in women with a history of this syndrome,
the rate of recurrence was 2 to 6 percent [2..CZ1J. However, recurrence rates (mostly partial
HELLP syndrome) of 24 to 27 percent have also been reported [.ll.li) .
• Rilre cases of recurrent hepiltic rupture in a subsequent pregnancy have been reported
(4975J .
• Women with a history of HELLP syndrome are at high risk for developing preeclampsia in a
subsequent pregnancy [71,72 74]. In one series of 152 such women with 212 subsequent
pregnancies, the incidence of preeclampsia varied from 19 percent in normotensive women to
75 percent in those with underlying hypertension [Il]. Another report was limited to 48
women with second trimester HElLP syndrome who had 62 subsequent pregnancies that
progressed beyond 20 weeks of gestation [72]. Preeclampsia occurred in 27 of S2 subsequent
pregnancies (52 percentl in normotensive women and 7 of 10 pregnancies (70 percentl in
women with chronic hypertension.

I'PDS 1 Oh;tw"da..vG~20J5 46
Prevention - ThNc is no evidence that any therapy prevents recurrent HEllP syndrome, but data
are limited, Use of low dose aspirin for prevention of preeclampsia is discussed separately,
(See"Preeclampsia: Prevention" section on 'Antiplatelet agents'.)

Fetal/neonatal outcome - Fetal/neonatal and long-term prognosis are most stro~gly associated
with gestational age at delivery and birthweight (~J. Maternal laboratory parameters do not
predict fetal mortality. Prematurity is common 170 percent; with' 5 perceht of births before 27
weeks) i12J, and may be complicated by intrauterine growth restriction and sequelae of abruptio
placenta em. The overall perinatal mortality is 7 to 20 percent; prematurity, intrauterine growth
restriction, and abruptio placentae are the leading causes of perinatal death [.12J. Leukopenia,
neutropenia, and thrombocytopenia may be observed, but appear to be related to intrauterine
growth restriction, prematurity, and maternal hypertension [78J. Maternal HElLP does not
affect fetal/neonatal liver function,

INFORMATION FOR PATIENTS - UpToDate offers two types of patient education materials, 'The
Basics" and "Beyond the Basics." The Ba~ics patient education pieces are written in plain languilge,
at the S'" to 6'" grade reading level, and they answer the four or five key questions a patient might
have about a given condition. These articles an, best for piltients who want a general overview and
who prefer short, easy-to-read materials. Beyond the Basics patient education pieces are longer,
more sophisticated, and more detailed. These articles are written at the' O'h to '2'" grilde reading
level and are best for patients who want in-depth information and are comfortable with some
medical jargon.

Here are the patient education articles that are relevant to this topic. We encourage you to print or
e-mail these topics to your patients. IYou can also locate piltient education articles on a variety of
SUbjects by searching on "patient info" and the keywordls) of interes!.)

.Basics topiC Isee "Piltient information: HELLP syndrome (The Basm andPiltient
information: High blood pressure and pregnancy (The Basicsl")
SUMMARY AND RECOMMENDATIONS

.HELLP syndrome (hemolysis with a microangiopathic blood smear, elevated liver enzymes,
and low platelet countJ develops in <I percent of pregnancies, but in '0 to 20 percent of
pregnancies with severe preeclampsla/e,lampsia. ISee 'Incidence' above.J
.The most common clinical presentation Is abdominal pilin and tenderness in the
midepigastrium, right upper quadrilnt, or below the sternum, Many patients illso have nausea,
vomiting, and malaise, which may be mistaken for a viral illness. Hypertension and proteinuria
are present in approximately 85 percent of cases. Most cases of HELLP are diagnosed between
28 and 36 weeks of gestation, but symptoms may present up to 7 days postpartum.
ISee 'Patient presentation' above.)
oWe base the diagnosis of HELlP on the presence of all of the following laboratory findings in
pregnant women of appropriate gestational age Isee 'Diagnosis' aboveJ:
•Microangiopathic hemolytic anemia with sChistocytes on blood smear (picture' J. Other
signs suggestive of hemolysis include an elevated indirect bilirubin level and a low serum
haptoglobin concentration (S25 mgldL) .
• Platelet count <I 00,000 celis/microL.

P!'V5 I Ob>tW-&"""'G~2015 47
•Total bilirubin> 1,2 mgldL,

•Serum aspartate aminotransferase lAST) >70 lUlL.


oThe outcome for mothers with HELLP syndrome is generally good, but serious complications
such as abruptio placentae, acute renal failure, subcapsular liver hematoma. pulmonary
edema, and retinal detachment may occur, Future pregnancies are at increased risk of liELLP
or preeclampsia, (See 'Maternal outcome' above and 'Recurrence in sUbsequent
pregnancies' above.)
Management recommendations

oAfter the diagnosis Is confirmed. the initial steps in management are to stabilize the mother,
assess the'fetal condition. and decide whether prompt delivery is indicated, Severe
hypertension Is treated with antihypertensive therapy and magm:sium sulfate is given to
prevent convulsions and for neuroprotection of fetuses/neonates at 24 to 32 weeks of
gestation. (See 'Initial approach' above,)
oHELlP syndrome complicated by mUItiorgan dysfunction. disseminated intravascular
coagulation (DIC). pulmonary edema. liver hemorrhage or infarction. renal failure. abruptio
placenta or nonreassuring fetal status is an indication for prompt delivery regardless of
gestational age, (See 'Timing of delivery' above.)
oFor pregnancies ~34 weeks of gestation. we recommend delivery rather than expectant
management (~), In this population, the potential risks of preterm birth are
outweighed by the risks associated with HELLP syndrome, (See 'Timing of delivery' above.)
oFor pregnancies less than 34 weeks of gestation in which maternal and fetal status are
reassuring, we suggest delivery after a course of corticosteroids to accelerate fetal pulmonary
maturity rather than expectant management or prompt delivery I~J, Although the
laboratory abnormalities of HEllP syndrome will reverse in a subgroup of patients mana.ged
expectantly and serious maternal complications are uncommon with careful maternal
monitoring. overall perinatal outcome is not improved with expectant management.
(See 'Pregnancies less than 34 weeks of gestation' above.)
oFor gestations less than 30 to 32 weeks with an unfavorable cervix. we suggest cesarean
delivery to avoid a potentially long induction (~), (See 'Route of delivery' above,)
oWe recommend not giving dexamethasone for treatment of HELLP syndrome (~).
Dexamethasone does not accelerate resolution of laboratory abnormalities or reduce the risk
of maternal complications,/See 'Role of dexamethasone for treatment of HELLP' above.)

http"/lwww,uptodiHe coml

PPDS I O~da,n,G~ZOlS ~B
7. PLASENTA PREVIA

Definisi dan klasifikasi


Implantasi plasenta pada segmen bawah uterus, lebih rendah dari bagian terbawah

janin.

Klasifikasi:

,; rlasenta letak rendah : plasenta pada segmen bawah uterus dengan tepi tidak
mencapai ostium internum.
,; rlasenta previa marginalis: tepi plasenta letak rendah mencapai ostium internum
tetapi tidak menutupi ostium internum
,; rlasenta previa partialis: plasenta menutupi sebagian ostium internum
./ rlasenta previa totalis (komplit): plasenta menutupi seluruh ostium internum

Epidemiologi
• Etiologi masih belum diketahui. insiden meningkat sesuai usia, paritas, riwayat seksio
sesaria 1 kali 0.65%, 3 kali 2,2% dan 4 kali 10%.

Patofisiologi
Plasenta letak rendah terdapat pada 28% kehamilan < 24 minggu, karena segmen
bawah uterus belum terbentuk. Sesuai dengan membesarnya segmen atas uterus dan
terbentulmya segmen bawah uterus maka plasenta akan berpindah posisinya ke atas
(migrasi plasenta). Maka USG harus diulang pada kehamilan 32·34 minggu.
Risil(o terhadap maternal dan janin: perdarahan pasca bersalin, komplikasi anestesl
dan bedah, emboli udara, sepsis postpartum, plasenta akreta, rekurensi 4·8%,
prematuritas, IUGR, malformasi kongenital, malpresentasi, anemiajanin.
Perdarahan awal ringan, perdarahan ulangan lebih berat sampai syok, umumnya
perdarahan awal terjadi pada 33 minggu. rada perdarahan < 32 minggu waspada
infeksi traktus uri & vaginitis, servisitis

Diagnosis
• Perdarahan vaginal merah terang tanpa disertai nyeri pada kehamilan trimester 1/-111,
puncak insiden pada kehamilan 34 minggu.
• Malpresentasi
• USG, plasentografi, MRI
Pemeriksaan spekulum, perabaan fornises dan periksa dalam di meja operasi (rDMO)
(double set up/

Penatalaksanaan
• Terminasi per abdominam bila terjadi perdarahan per vaginam masif atau
mengancam keselamatan terutama ibu danjanin
Konservasijika perdarahan sedlklt. dan cari tanda infeksi di saluran kemih, cervix dan
vagina,
• Terapi tokolilik, antibiotik, pematangan paru pada janin 28 - 34 minggu, dan
persiapkan tranfusi autologus bila Hb ibu > 11 g%
• SC elektif pada kehamilan 37 minggu
• rerhatian khusus pada plasenta previa pada bekas SC untuk kemungkinan terjadinya
plasenta akreta/inkreta/perkreta /insidens meningl<at 30%)

Prognosis
Bervariasi tergantung kondisi ibu danjanin dan komplikasi.

PPOS I O~"""'G~201S 49
8. SOLUSIO PLASENTA

Definisi dan Klasifikasi


Lepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada din ding uterus
sebeJumjanin lahir.
Klasifikasi:
./ Ringan : perdarahan sedikit Baik pervaginam maupun retroplasenter, keadaan ibu
baik,janin baik
.,/ Serat: perdarahan vaginal banyak, ibu dalam kondisi pre syok - syok,janin dellam
keadaan gawat atau sudah meninggal

Epidemiologi
Insidennya meningkat berkaitan dengan usia ibu lanjut, multiparitas, riwayat syok
maternal, nutrisi buruk, hipertensi, korioamnionitis, dekompresi mendadak setelah
ketuban pecah pada uterus yang overdistensi seperti persalinan kembar dan

polihidramnion, trauma abdomen, versi sefalik eksternal, plasenta sirkumvalata,

defisiensi asam folat, I<ompresi vena cava inferior dan antikoagulan lUpus. Pada

pengguna rokok dan kokain nekrosis desidual pada tep! pJasenta.

Rekurensi 5-17% setelah 1 episode pada kehamilan sebelumnya dan 25% setelah 2

episode kehamilan sebelumnya.

Patofisiologi
Etiologi primer masih belum diketahui.
Risiko terjadinya syok hipovolemik, gagal ginjal akut, Ole. perdarahan pasca bersalin
dan perdarahan fetomaternaJ.

Diagnosis
Gejala klinil<: takikardia janin/ JUFD, trias Virchow's yaitu nyeri uterus fo.l<al atau
umum, tonus meningkat, dan perdarahan vaginal 185%1, 15 % pada tipe concealed.
USG : membantu pada tipe concealed yaitu area sonolusen retroplasental, lokasi
plasenta untul< membedakan dengan plasenta previa.

Penatalaksanaan
Lal<ukan resusitasi darah/ cairan sesuai kebutuhan
Pada solusio berat evakuasi I<onsepsi segera dan hentikan perdarahi1n dengan utero
tonika, restitusi I<el<urangan faktor pembekuan atau jika diperlul<an dapat dilakul<an
histerel<tomi
Pada solusio ringan dapat dilakukan perawatan konservatif dan pematangan paru
hingga kehamilan 3S minggu dan evaluasj ketatjumlah perdarahn retroplasenter

PrognOSis
Bervariasi tergantung derajat beratnya solusio dan komplil<asinya.

ISumber: Standar Pelayanan Medis Obstetri dan GinekoJogi, 2003. PB-POGI)

PPDS I o~vd.a.tl,G~20J5 50
9. PERTUMBUHAN JANIN TERlAMBAT

Definisi dan Klasifikasi


Bila dtiumpai biometrik lingkar perut janin kurang dari persentil 10

Epidemiologi
Patofisiologl
Pertumbuh<lnjanin terhambat dapat disebabkiln f<lktor genitik hipoksia dan
malnutrisi Janin
Pada pertumbuhanjanin terhambat terjadi Brain sparring effect
Diagnosis
Pemeriksa<ln Ultr<lsonogr<lfi, fungsi dinamikjanin pl,nenta Uika memungkinkan) .
Cermati kelainan konginetal.
Penetapan usia gestasi d<ln kematangan paru.
Penatalaksanaan
Pada kaSU5 pretrrm dengan pertumbuhanjanin terhamb<lt Jakukan pematangan
paru dan asupan nutrisi tinggi kalori mudah cerna, dan banyak istirahat.
Pada kehamilan 35 minggu tanpa terlihat pertumbuhanjanin dapat dilakukan
pengakhiran J<ehamiJan.
• Jika terdapat oJigohidramnion berat disarankan untuk per abdominam.
Pada kehamilan aterm tergantung kondisi janin jika memungkinkan dapat dicoba
lahir pervaginam
Prognosis
Ibu umumnya bail<janin bergantung keadannYiI

PPV5 I Ol>lM'v~G~20J5 5J
10. MALPRESENTASI

Definisi dan klasifikasi


Bagian terendah dari janin yang terletak pada segmen bawah uteri dan serviks disebut
sebagai presentasi. Sekitar 95% janin pada saat lahir berada pada presentasi vertex, oleh
karena itu presentasi inilah yctng dikatakan normal. Vertex merupakan area berbentuk
wajik yang dibentuk oleh dua tulang parietal. ubun-ubun posterior, dan ubun-ubun
anterior. Apabila presentasi janin bukan vertex misalnya bokong, alis. wajah atau bahu,
maka disebut malpresentasi.

Epidemiolog;
Insidens malpresentasi berbeda-bec1a tergantung dari jenisnya. Presentasi bokong terjadi
pada 3-4% dari seluruh kehamilan sedangkan letak lintang terjadi satu dii,.j 322 kelahiran
dengan janin tunggal 10,3%). Dari 70.000 kelahiran janin tunggal di liS Parkland pada
tahun 1995-1999 didapatkan 1 dari 2000 kelahiran dengan presentasi wajah.

Patofisiologi
Pada sebagian besar I<asus, etiologi definitif ddri malpresentasi jan in masih belum
diketahui. Hal ini biasanya dil<aitkan dengan kontraktur pelvis, bayi besar. polihidramnion,
kehamilan multipel, plasenta letak rendah, persalinan preterm, anomali janin ltumor
leher), kelainan uterus dan pelvis kongenital maupun didapat.
Pada presentasi wajah, kepala berada pada posisi hiperekstensi sehingga oksiput
sampai pada punggungjanin dan dagu merupakan bag ian terendah darijanin. Presentasi
wajah dapat berupa presentasi dagu di anterior atau posterior berdasarkan posisinya
terhadap simfisis pubis ibu. Pada janin aterm, kemajuan persalinan biasanya terhambat
pada prcsentasi dagu posterior karena dahi Ibregma) janin tertel<an pada simfisis pubis
ibu. Hal ini menyulitkan untul< melakukan fleksi agar dapat lahir pervaginam. Sebagian
besar dari presentasi ini al<an berubah secara spontan menjadi presentasi dagu anterior,
bahkan pada akhir pcrsalinan.

Diagnosis
Penegakan diagnosis kelainan presentasi dimulai dari pemeriksaan fisiJ< abdomen. Pada
letak lintang kadang·l<adang dapat dicurigal dari inspel(Si abdomen, yang ditunjang juga
tidak dltemukan fetal pole pada fundus serta ditemukannya kepala janin di fossa iliaka.
Presentasi bokong ditegakl<an bila pada pemeriksaan leopold ditemukan baglan
besar janin yang lebih lunak dan ireguler di fundus serta perabaan kepala di segmen
bawah uterus.

Penatalaksanaan
Setelah ditemukan kondisi kehamiJan dengan kelainan presentasi maka perlu dilakukan
pemeriksaan tambahan untuk menentukan perencanaan tindakan. Pemeriksaan
ultrasonografi sangat penting untuk menilai kemungkinan penyebab dari malpresentasi
ini. Adanya plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, tumor jalan lahir serta kelainan
jumlah air ketuban merupakan informasi yang akan didapat dari pemeriksaan USG.
Pada kasus presentasi bokong atau letak lintang yang ditemukan pada
pemeriksaan antenatal dapat dilakukan observasi bila kehamilan masih < 36 minggu. Jika
pada kehamilan lebih dari 36 minggu tidak tercapai versi spontan maka dapat dilakukan
versi luar.

PPDS 1 ObmtYVa.......G~2015
52
APilbilil Sail! persalinan janin masih dalam presentasi bokong maka harus
diputuskan untuk melahirkan pervaginam atau seksie sesarea. Materi untuk asuhan
persalinan presentasi bekong dilpat dilihat di modul persalinan diln kelahiran.
Kelahiran spentan pada janin matur tidak mungkin terjadi pada letak Jintang.
Setelah ketuban pecah, apabila kelahiran terus berlanjut maka bahu janin akan dipaksa
masuk kedalam pelvis dan tangan janin masuk kedalam jalan lahir. Setelah penurunan
lebih lanjut, bahu janin akan semakin terdorong ke pelvis sehingga terbentuk tanda
berupa retraction ring. Situasl ini disebut sebagai lintang kasep. Jika tidak ditatalaksana
dengall baik, dapat terjadi ruptur uteri yang membahayakan janin dan ibu. Walau dengan
tatalaksana yang maksimal, angka morbiditas pasien meningkat karena biasanya letak
lintang diasosiasikan dengan plasenta previa, peningkatan risiko prelaps tali pusa! dan
keperluan untuk dilakukannya tindakan operasi.

Prognosis
EleivClriasi

f'PDS I oi»tW-"da.n-G"~2015 53
If. KEHAMILAN GANDA
Definisi dan kJasifikasi
I<ehamilan denganjanin dua atau lebih. Terdiri dari kembar monozigot dan kembar
dizigot. Berdasarkanjumlahjanin maka dapat

Epidemiologi
Kembar monozigot merupakan hasi dari pembelahan ovum tunggal. Terjadi pada 2,3-4
dari 1000 kehamilan. Angka ini tetap dan tidak dipengaruhi oleh I<eturunan, usia ibu dan
atau faktor lainnya, Kembar dizigot dihasilkan dari ovum berbeda yang dibuahi. Terjadi
pada satu dari 83 konsepsi, sedangkan triplet terjadi pada satu dari 8000 konsepsi

Patofisiologi
Kehamililn mullipel termasuk kembar atau lebih dari dua (triplet, quadruplet). Dua tipe
dari kembar adalah monozigot dan dizigot.Kembar dizigot, yang kadang dlsebut kembar
fraternal, terbentuk saat dua sperma membuahi dua sel telur. Kemudian akan terbentuk
amnion, korion, dan plasenta yang terpisah, Plasenta pada kembar dizigotik dapat
menyatu jika tempat implantasi berdekatan. Plasenta yang menyatu dapat dipisahkan
dengan mudah setelah kelahiran,

I<embar monozigot terbentuk saat satu ovum yang terfertilisasi membelah pada dua
minggu pertama letelah konsepsi. I<embar monozigot disebut kembar identik,
Pembelahan dini (seperti pada 2 hari pertama setelah fertiJisasi) pada i<embar monozigot
menyebabkan terpisahnya korion dan amnion. I(embar dikorion ini memiliki plasenta
yang berbeda yang dapat terpisah atau menyatu, I(ira-kira 30% kembar monozigot
memiliki plasenta dikorionldiamnion, Pembelahan yang belai<angan (pada hari ke 3-8
setelah fertilisasi) menyebabkan plasentasi monokorion/diamnion, Kira-kira 70% kembar
monozigot monokorion/diamnion. JiI<a pembelahan terjadi lebih terlambat (9-12
hari setclah fertilisasi) terjadi plasentasi monokorion/monoamnion. Kembar
monokorion/rnonoamnion jarang terjadi, hanya 1% I<embelr monozigot memiliki bentuk
plasentasi ini. Monokorion/monoamnion memiliki pJasenta yang sama dengan komunikasi
vaakular ilntara 2 sirl<ulasi. Kembar ini dapat mengalami sindroma transfusi dari kembar­
ke-kembar I twin-to-twin transfusion syndrome). Jika kembar terjadi setelah lebih dari 12
hari setelah fertilisasi, pasangan monozigot hanya memisah sebagian, yang menyebabkan
kembar dempet.

Triplet dapat sebagai monozigot, dizigot, atau trizigot. Trizigot triplet terjadi jika 3 sperma
membuahl 3 sel telur, Triplet dizigot terbentuk dari satu set kotriplet monozigot dan
kotriplet ketiga berasal dari zigot yang berbeda, Akhirnya, 2 zigot membelah dengan satu
hasil pembeJahan lenyap deln terbentuk triplet monozigot.

Tabel II. I. Plasentasi pada kehamilan kembar

Jumlah korion Jumlah kantung Persentase Waktu pemisahan


(plasenta) amnion kembar embrio setelah
fertil itasi
Dikorion Diamnion 30% Pemisahan < 4 hari
Monokorion Dielmnion 60% Pemiselheln 4·7 hari
Monokorion Monoamnion 3% Pemisahan 7-14 hari
Siam < J% Pemisahan > J4 hari

PPDS I Ohlt&r"da.vG~201l 54
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Adanya Riwayilt keluarga dengan kembar dari pihak ibu, usia ibu saat hamil, jumlah
kehamilan sebelumnya, dan besarnya kehamilan yang lebih besar dari usia kehamilan
sebenarnya merupakan data yang kurang kuat dalam menunjang diagnosis gemeilL
Adanya riwayat pemakaian obat-obatan infertilitas merupakan faktor risiko untuk
kehamilan kembar,
Pemeriksaan tinggi fundus uteri (TFU) merupakan pemeriksaan yang sangat penting
dilakukan. Pada trimester kedua. TFU pada kehamilan kembar biasanya lebih besar
daripada Tr"U kehamilan tunggal yang sesuai. Pada I<ehamilan 20-30 minggu, TFU pada
kel1amilan kembar lebih tinggi 5 cm daripada kehamilan tunggal di usia gestasl yang
sama.
Selain pemeriksaan TFU, dengan palpasi abdomen, kehamilan kembar dapat
diperkirakan apabila ditemukan dua kepala janin pada dua kuadran yang berbeda.
Namun pemeriksaan ini sulit dilakul<an bila letakjanin saling tumpang tindih. ibu obesitas
atau terdapat hidramnion. Pada pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan dua denyut
jantung janin.
J.I.I.tmpnografi (USG)
Pemerii<saan ultrasonografi penting dilakukan dalam penegakan diagnosis serta
perencanaan penatalaksanaan kehamilan multipel. Dari pemeriksaan usg dapat
ditentukan korionisitas. ada tidaknya discordant growth, kelainan jumlah air I<etuban
serta ada tidaknya kelainan kongenital.

Penatalaksanaan
Pelayanan antenatal pada I<ehamilan kembar berbeda deng"n kehamilan tunggal. Nutrlsi
yang adekuat dengan pernambahan 300 I<cal utnul< setiap janin perlu dianjurkan.
Pemeril<saan usg dllakul«m untuk menentukan korionisitas dan serial usg dllakul<an untuk
memonitor adanya gangguan pertumbuhan. Pemantauan kesejahteraan Janin secara
rutin tidak diindil<asik"n I<ecuali ada kecurigaan pertumbuhan janin terhambat atau
discord"nt growth. Diagnosis pranatal lainnya yang dapat dilakukan adalah
amnioscntesis. namun tidak dilakul<an rutin, Salah satu I<egunaannya adalah untuk
penilaian kematangan paru janin.

Komplikasi
Komplikasi ibu :
Diabetes gestasional:
I<ehamilan terkait tekanan darah tinggi
• Perdarahan pasca persalinan

Komplikasijanin:
• Pertumbuhanjanin terhambat

Keguguran

Kelahiran premature

Prolaps tali pusat

Prognosis
Bervariasi tergantung darijenis kehamilan multipel

PPDS I Olnru>-v"""'G~ZOJS 55
Sindrom Transfusi Antarkembar

Darah ditransfusikan dari kembar donor kc kembarannya sebagai res'p,en


sedemikian rupa sehingga donor menjadi anemik dan pertumbuhannya terganggu,
sementara resipien menjadi polisitemik dan mungkin mengalami kelebihan beban
sirkulasi yang bermanifestasi sebagai hidrops. Kembar donor akan tampak pucat dan
saudaranya yang resipien tampak membengkak. Demiki;m juga, salah satu bagian
plasenta sering tampak pucat dibandingkan dengan bagian plasenta lainnya.
Pada masa neonatus, bayi mungkin mengalami penyulit kelebihan beban
roverload) sirkulasi disertai gagal jantung apabila hipervolemia dan hiperviskositas yang
parah tersebut tidak segera teridentifikasi dan diobati. Trombosis oklusif juga lebih besar
kemungkinannya terjadi dalam situasi ini. Pada masa neonatus, polisitemia dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia berat dar. kerknikterus.

PATOFISIOLOGI. Bajoria dkk r1995) memberikan larutan antikoagulan ke 30 plasenta


monokorion segera setelah pelahiran dan kemudian dengan penyuntikan zat kontras
berwarna meneliti anastomosis. Sepuluh di anatara objek penelitian ini adalah kehamilan
dengan tanda-tanda sindrom transfusi antarkembar pada midtrimester dan 10 lainnya
berasal dari kehamilan kembar monokorion tanpa penyulit ini. Komunikasi vascular yang
ditemukan di kedua kelompok ini jelas berbeda. Kehamilan tanpa sindrom transfusi
antarkembar memiliki banyak anastomosis superficial. Sebaliknya, mereka yang
memperlihatkan sindrom transfuse antarkembar memiliki satu salUl'an kapiler arteriovena
dalam di dalam jaringan vilosa. Bajoria dkk. (1995) berhipotesis bahwa komunikasi
vascular mUltiple di lapisan superficial bersifat protektif terhadap sindrom transfuse
karena susunan ini memungl<inkiln terjadinya aliran darah ke kedua arah sehingga aliran
menjadi seimbang. Sebaliknya, anastomosiS vilosa arteriovena tunggal yang dalam tanpa
koneksi superfidal multiple merupakan pirau arteriovena dari satu arah dari janin donor
I<e saudaranya yang resipien sehingga secara hemodinamis tidak seimbang.
Tidak ada data lain yang menunjukkan bahwa patofisiologi plasenta mung kin lebih
rumit. Bendon (1995) menyunitk 21 plasenta monokorion dari kembar lahir-hidup,
menghitung anastomosis pembuluh permukaan dan luas permul<aan aliran balik vena,
serta mengkorelasikan data-data tcrsebut dengan berat lahir dan hematokrit neonatus.
Berat lahir dan hematorkrit tidak berkaitan satu sarna lain atau dengar'l anastomosis
pembuluh dan hanya bagianjluas plasenta yang diberikan ke masing-masing kembarlah
yang berkorelasi dengan ukuran janin.
SI<enario patofisiologi ini tidak dapat menjelaskan semua kasus transfuse
antarkembar. Hecher dkk. r 1994) melaporkan dua kehamilan kembar monokorion dengan
gambaran sindrom transfusi antarkembar yang menggunaka,n, Doppler untuk
membuktikan anastomosis arteri-ke-arteri dan aliran pulsatil yang saling berlawanan.
Walaupun terdapat episode-episode pembalikan arah aliran secara intermitten. tidak
terjadi aliran darah maju netto dari satu janin ke saudaranya yang dapat menjelaskan
perpindahan darah dari satu janin ke saudara kembarnya. Mereka berdaliJ bahwa
berbaliknya aliran darah secara intermittem atau hipotensi mendadak pada salah satu
kembar dapat menyebabkan kerusakan otak pada kembar donor.
Penjelasan hemodinamik lain untuk sindrom tranlus; antarkembar diajukan oleh
Fries dkk. (1993). Mereka mendalilkan bahwa insersi tali pusat velamentosa mungkin
berperan dalam menciptakan ketidakseimbangan volume darah janin karena tali pusat
yang insersinya ke membran tersebut mudaj terjepit sehingga aJiran darah ke salah satu
kembar terganggu. Talbert dkk. (1996) menggunakan suatu model komputer untuk
meneliti hemodinamika translusi antarkembar satu- atau dua-arah melalui anastomosis
plasenta. Mereka memastikan bahwa arah aliran darah netto ditentukan oleh tekanan

PPDS 1 01n!W"""""Ci~2015 ~~
arteri donor dan bukan jumlah anastomosis serta bahwa respons fisi%gis janin terhadap
volume darah yang tidak seimbang - terutama yan9 berupa perubahan produksi urin dan
tekanna osmotik k%id -menentukan apakah a/iran darah akan seimbang atau tidak.

KERUSAKAN OTAK JANIN. Cerebral palsy, mikrosefalus. porensefalus, dan


emefalomalasia multikistik merupakan penyulit-penyulit serius akibat komunikasi vaskular
pada gestasi kembar. Kerusakan saraf tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh
nekrosis iskemik yang menyebabkan terbentuknya kavitas oi otak. Pada kembar donor,
iskemia teijaai akibat hipotensi dan/atau anemia. Pada resipien. iskemia terjadi akibat
instabJlitas tekanan darah dan episode-episode hipotensi berat (Laroche dkk.. 1990).
Denbnw dkk. ! 1998) mengu/as 17 set kembar monokorionik /ahir hidup yang menga/aml
sindrom transfusi antarkembar dan mendapatkan bahwa satu mengalami infMk serebrl
dan 10 menga/ami lesi serebrum lain yang diadapat antenatal; baik donor maupun
resipien terkena.
I'atologi otak dapat terjadi setelah kematiiln salah satu kembar. Dalam hal ini.
keruksa~ mungkin disebabkan oleh emboli materi tromboplasti/( yang berasal dari janin
yang meninggal, tetapi lebih mungkin disebabkan oleh hipotensi akut pada saat kematian
(Benirschl(e, 1993). Fusi dkk. ! 1990, 19911 mengamati bahwa pada saat kematian salah
satu janin kembar. transfusi anastomotik akut anti'rl(embar dari pembuluh bertekanan
tinggi pada kembar yang hidup ke pembulluh dengan tahanan sangat rendah pada
kembar yang meninggal menyebabkan perubahan hemodinamik cepat dan kerusakan
otak iskemik antenatal pada janin yang masih hidup. Kelompok ini melaporkan delapan
I<ehami/an kembar monokorion yang salah satunya meninggal tetapi kehamilan berlanjut.
Tindak lanjut yang cermat memperlihatl<an bahwa tidak ada yang mengalami koagulasi
intravasi<ular dlseminata. nilmun frekuensi i(erusal<an saraf tetap tinggi. Pharoah dan Adl
(2000) mcnyurvei 348 bayi yang bertahan hidup sementara kembarannya meninggai In
utero. Prevalensi cerebral palsy adaiah 83 per 1000 keiahiran hidup-setara dengan risiko
40 kali lipat Oi(amura dl(;(. (1994) melal<ul<an kordosentesis pada tujuh janin kembar yang
hidup dalam 24 jam setelah kematian saudara kembarnya. Mereka menemukan anemia
akut pada kembar yang selamat dan berhipotesis bahwa anomali otak pada janin yang
selamat disebabkan oleh iskemia serebri hipotensif akibat perdarahan akut melalui
pembuluh·pembuluh darah plasenta. I<erusakan otak semacam ini pernah dilaporkan
setelah kematian salah satu janin kembar sejal< usia gestasi 16 minggu (f!\nderson dkk.,
1990).
Makna patologis fluktuasi hemodinamik dan respons janin-yang tercermin dari
keJuaran urin-dalam menyebabkan kerusakan otai< dijelaskan oleh Bejar dl(k. (1990).
Mereka mengulas pemeriksaan-pemeriksai'.n ekoensefaJografii< neonatus pada 89 kembar
dua di," 12 triplet serta mendiagnosis adanya nekrosis substansia alba serebri antenatal
pada 15 persen bayi (Gambar 30-24). Kerusakan neurologis dikaitkan dengan hidramnion,
kematian salah satu janin, hidrops, dan anastomosis vaskular multipel. Faktor terpenting
dalam studi ini tampaknya adalah anastomosis vena·ke-vena di dalam plasenta karena 90
persen bayi dengan kelainan ini mengalClr1i kerusakan otak. Denbow dkk. (2000)
mengkonfirmasi hal ini dan melaporkan bahwa anastomosis arterio-arteri biasanya tidak
berbahaya.
Sifat akut transfusi antarkembar dan hipotensi setelah kematian salah satu janin
menyebabkan intervemi setelah kematian hampir mustahil berha.>il. Bahkan apabila janin
dilahirkan segera setelah kematian salah satu I(embar diketahui, hipotensi yang terjadi
saat kematian tersebut besar kemungkinan sudah menyebabkan kerusakan ireversibel
(Langer dkk., I 997;Wada dkk .• 1998) .

PPDS I Ob!tWio""""G~2015 57
DIAGNOSIS•. Diagnosis sind rom transfusi antarkembar-yang dibuat antenatal maupun
pClscanataJ-tJdaklah mudah,' Diagnosis pascanatal mara klasik didasarkan pada
perbedaan berat antarkembClr sebesar 15 sampai 20 persen dan perbedaan hemoglobin
5g/dl atau lebih disertai anemia pada kembar yang lebih keeil. Namun, sekarang disadari
bahwa perbedaan signifikan berat antarkembar dapat memiliki beragam etiolcgi,
misalnya ketidakseimbangan anomali, infeksi, atau plasentasi. Ketidakseimbangan
hemoglobin juga dapat terjadi secara akut saat pelahiran. Wenstrom dkk. (19921
menggambarkan hal ini dengan meneliti berat lahir dan konsentrasi hemoglobin pada 97
kehamilan kembar monokorionik. Mereka mendapatkan bahwa 37 persen kembar yang
beratnya seimbang dan 50 persen kembar yang beratnya ridak seimbang memperlihatkan
perbedaan hemoglobin yang bermakna. Kembar B memperlihatkan angka tertinggi pada
63 % - termasuk sepertiga kembar tidak seimbang yang kembar B-nya adalah I<emba~
yang lebih kecil, mengiyaratkan bahwa ketidaksesuaian hemoglobin ini disebabkan oleh
transfusi akut setelah lahirnya kembar A dan sebelum kembar B lahir. Walaupun pol a ini
memenuhi kriteria untuk tranfusi antar kembar, seeara klinis hal ini tidak penting karena
merupakan suatu fenomena al<ut. Ambaran Idasik transfusi antar ,kembar, yaitu
ketidakseimbangan berat yang disertai anemia pada bayi yang lebih kedl, terjadi pada
hanya II % di antara 97 pasangan kembar ini. Oanskin dan Neilson (1989) juga
menyimpulkan bahwa sindrom ini tidak dapat didiagnosis secara pasti hanya berdasarkan
perbedaan berat lahir atau hemoglobin neonatus,
Sindrom tranfusi antar kembar yang secara klinis penting adalah transfusi yang
bersifat kronik dan terjadi akibat perbedaan volume vasl<ular antenatal yang signifikan
diantara kedua kembar tersebut. Sind rom biasanya bermanifestasi pada midtrisemester
saatjanin donor mengalami oliguria akibat berkurangnya perfusi ginjal (Mari dkk., 1993).
Janin ini mengalami oligohidramnion sementarajanin resipien mengalami polihidramnion
berat. mung kin akibat meningkatnya produksi urin. Ketladaan cairan amnion didalam
kantung donor akan menghambat gerakan janin serta menyebabkan munculnya istilah
janin terepit (stuck fetus) (Berry dl<k., 1995). Kombil1asi polihidramnion - oligohidramnion
ini dapat menyeabl«m hambatan pertubuhan, kontraktur, dan hipolasia paru pada salah
satu kembar serta Ketuban Pecah Dini dan gagaljantung pada kembClr yang lain.
Tujuan diagnosis antenatal adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
janin dengan menyelksi I<andidat untuk terapi prenatal atau I<elahiran. I<riteria <'mtenatal
yang dianjurkan untuk mendefinisil<an sind rom transfusi antar kembar adalah sebdgai
berikut : janin denga jenis kelamin sama, monokorion denga koneksi vasl<ular plasenta,
perbedaan berat antM kembar >20%, hidramnion pada kembar yang leblh besar,
oligohidrmnion atau janin terjepit pada kembar yang lebih keeil, dan perbedaan
hemoglobin lebih dari 5 gr/dl (Bruner dan Rosemond, 1993). Semua kriteria diatas kecuali
kada hemoglobin dapat ditentukan secara sonografis. Saat antenatal, diperlukan
kordosentesis untuk mengukur I(onsentrasi hemoglobin pada masing-masing janin (Berry
dkk, 1995) melakukan kordosenteis pada 38 pasangan kembar dan mendapatkan bahwa
pada perbedaan hemoglobin antar kembar 2,5 gr/dl atau iebih, semua kasus meilgalami
sind rom kembar terjepit (stuck twin syndromj.
Dengan teknik invasif lain juga dapat dipastikan adanya sirkulasi bersama pada
sindrom transfusi antar kembar. Baik Bruner dan Rosemond 11993) maupun Weiner dan
Ludomirski (1994) menggunakan sel darah merah dewasa sebagai penanda yang
disuntikan kedalam vena umbilikaiis kembatr donor dan kemudian melakukan
kordosentesis terhadap kembar resipien untuk memastikan adanya sel-sel dewasa.
Oalam situasi yang memerlukan I<epastian diagnosis, misalnya sebelum
mempertimbangkan sesuatu terapi beresiko tinggi, dipcrlukan pemeriksaan invasif
semaeam itu karena diagnosis sonografik kadang-kadang tedik tepat (Saunders dkk.,
1991) menggunakan kordosentesis untuk membuktikan bahwa tidak satupun diantara 4

PPDS I o~;,da.tvG~ 2015 sa


set kembar monokorion - yang pada pemeriksaan sonografi memperlihatkan semuCl cjri
tranfusi antar kembar - benar·benar mengalmi perbedaan konsentrasi hemoglobin.
Bruner dCln Rosemond (1993) menggunClkan kordosentesis dCln infus sel darah merah
dewasa untuk membul<tikan bClhwa hClnyCl 4 diClntara 9 kehClmilan kembar monokorionik
denbgan gambaran sonografik sindrom transfusi antar kembar yang benar - benar
mengalClmi sindrom tersebut. Penyebab perbedaan volume CClirCln amnion pClda kasus ­
kClsus ini tidak . diketahui. Apabi/a konsentrClsi hemoglobin janin antenatal belum
ditentukan, keadaCln ini sebaiknya disebut sebagai Stuck Twin Syndrome Cltau "sindrom
polihidromnion - oJigohidramnion". untuk mengakui bahwCl transfusi antar kembat
belum dapat dlpastikan sebagai kausa temuan sonografik tersebut.

TERAPI DAN HASIL AKHIR. Prognosis untuk gestasi multipel dengiln penyulit sindrom
tr"nstun/ antar kembar sangat dub/a. Sahaya yang mungkin terjadi tidak saja berupCl
kerusakan otak, tetapi juga kemat;Cln Clntenatal salah SCltU janin serta kemCltian neonatus
akibat pelahiran preterm. Secara umum , semakin dini transfusl anatar kembar
didiagnosis, semakin buruk prognosisnya [Sebbington dim Wittmann. 1989). Sayangnya.
bentuk paling serius sind rom tranfusi anatar kembar - dengan hidramnion akut pada
salah satu janin dan janin tcrjepit disertai anhidramnion pada janin yang lain - bias,lnya
muncul pada usia gestasi 18 sampai 26 minggu. Angka kelangsungiln hidup untuk /<asus
yang didiagnos;s sebelu-m 28 minggu dilaporkan berkisar antara 20 dan 45 % (Gonsoulin
dkk, J 990; Shah dan Chaffin, J 989).

Sejumlah terapi untuk transfusi antar kembar pernah dilaporkan. Amnioreduksi


berkala untuk melakul<an dekompresi hidramnion memilild resiko paling I<eeil. Tindal<an
inl dilaporl<an berman'aat berdasarkan paling sedikit 2 alasan. PertamCl. amnioreduksl
mengurangl overdistensi uterus sehingga mengurangi kemungklnan persalinan preterm
(Mahony dkk. 1990: Pinette dld<, 1993). Kedua, terdClpClt bukti bClhwa tindakan ini dapat
memperbalki ketidakseimbangan hemodinamik dengan mengurang tekanan calrCln intril
amnion dCln penekClniln plasenta sehingga perfusi membaik. Bower dkk (1995)
menggunClkiln pencitraan color - flow doppler untuk mengevaluasi aliran darah arteri
uterina sebelum dan setelah amnioreduksi pada 8 I<ehamilan tranfusi antClr I<embar, 7
i<ehamiJan tunggClI dengan hidramnion, dan 6 kontrol. Mereki'l mendi'lpatkan bahwa
aliran darah kUClntitatif meningkat sebesilr 75 % setelah dilakukan prosedur tersebut.
Gerry dkk. (1996) melapori<an bahwa penggunaan amniosentesis dekompresif berulang
secara bermakna menurunkan tekanCIn cairan amnion. dan MClri dkk (1996)
menyimpulkan - berdasarkan pengalClman mereka pada 24 kehamilan kembar - bahwa
amniosentesis terapeutik bermanfaClt.

Sebaliknya, Bruner dan Anderson (J 996) mendapatkan bahwa amniosentesis


dekompresi pada 8 kehamiJan tidak bermantaat bagi kembar donor. Gonsoulin dkk (1990)
juga mengamati bahwa amniosentesls untuk dekompresi ga.g;,1 mengurangi mortalitas
perinatClI. Kegagalan terapl ini mungkin memiliki penjelilsan patologis. Sebagai eontoh.
Bajoria (J 998) menghubungkCln antarCl anatomi vaskuiar plasenta dengCln hasil Clkhir
kehamilan padi'l 26 kehamilan monokorion yang diterapi dengan amnioreduksi
berkurang. la mendapatkan bClhwa apabi/a plasenti'l tidak memperlihCltkCln anastomosis
superfisial, diperlukan lebih banyak prosedur dan terjadi peningkatan resiko kemCltii'ln
janin dan neonatus. Amnioreduksi mungkin memperbaiki tekanan dan aliran dClrah
terutama dl pembuluh superlislal dan tidak efektit pada kehClmiJan yang polihidramnion ­
oligohidramnionnya disebabkan oleh anastomosis vClskular yClng terletClk lebih dalClm.

PPOS I Oo.cwva-.C;~2015 59
Terapi lain yang lebih invasif juga pernah diupayakan. De Lia dkk. ( 19 90)
melaporkan penggunaan oklusi pembuluh plasenta den9an laserfetoskopi pada sindrom
transfusi antarkembar yang parah. Keunggulan teoretisnya ada/ah isoloasi hemodinamik
dan hematologis janin yang hidup, yang dapat meniadakan cidera emblo dan hipotensi.
Prosedur ini kontroversi sebagian karena hanya menyebabkan oklusi di pembuluh
superfisial sehingga mungkin tidak memperbaiki hemodinamika di plasenta yang
anastomosis penyebabnya terletak lebih dalam. Namun, Branisteanu-Demitrascu dkk.
(1999) menggunakan sebuah model domba untuk memperlihatkan bahwa koagulasi laser
terhadap pembuluh-pembuluh korion superfisial menyababkan infark total seluruh
kctiledor, yang diterapi sehingga akhirnya akan berc!ampak pada pembulh-pembuluh
yang terletak lebih dalam.
Oklusi laser memiliki resiko lebih besar dari pada amniosentesis dan secara teknis
sulit. Perforasi pembuluh plasenta dilaporkan oleh De lia dkk. (1990) laporan merka
selilnjutnya tentang 100 kasus yang diterapi tidak menyertakan data hasil akhir dari 33
prosedur pertama yang dilakukan pada awal "kurva belajar" IDe lia dkk. 1999). Nekrosis
tungkai dan kerusakan kulitjanin juga pernah dilaporkan ILundvall dkk., 1999; Stone dkk.,
1998).
Walaupun pada awalnya timbul kekhawatiran, dari data yang sudah terkumpul
disimpulkan bahwa dari tangan yang berpangalaman prosedur ini mungkin aman dan
bermanfaat. Ville dkk. (1998) melaporkan hasil dari sebuah uji coba multisentra tentang
I<oagulasi laser pada 132 kehamilan dengan sindrom transfusi antarkembar yang dini dan
parah. Pada 73 % kasus paling sedikit 1 janin yitng selamat dan pada usia 10 tahun hanya
6 bayi yang dicurigai mengalami kelainan nuerologis. Suatu studi deskriptif ten tang
sInd rom transfusi antarkembar yang parah oleh Hecher dkk fl999) membandingkan 73
wanita yang diterapi dengan koagulasi laser di 1 sentra dan 43 pasien serupa yang
diterapi dengan amnioreduksi serial disentral yang lain. Walaupun angka kelangsungan
hidup janin kesuluruhan tidal< berbeda, pada kelompok laser proporsi kehamilan dengan
paling sedikit 1 janin selama lebih tinggi. Kelompok laser juga memperlihatkan angka
I<cmatian janin yang Icbih sedikit dan lebih jarang I<elainan temuan sonografil< di otak
bayi yang sclamat. Bayi dari kelompok laser juga memiliki berat lahir lebih tinggi, interval
sampai persalinan yang lebih p,tnjang, dan usia gestasi yang lebih tua saat lahir. Zikulnig
dkk. 11999) mengevaluasi 121 kasus yang diterapi dengan laser dan mendapatkan
perbaikan prognosis diserta;' penurunan keparahan stigmata transfusi antarkembar
sebelum prosedur, dan bukti keberhasilan ablasi pembuluh setelah prosedur pada
pemeriksaan Doppler. Ryan (2000) mengutlp leblh darl 300 kasus di seluruh dunia pada
kajiannya yang terbaru. Amnioreduksi berulang menghasilkan angka kelangsungiln
hidup rata-rata 60%, dengan kelainan neurologis pada 20 % bayi yang selamat. Ablasi
laser memperlihatkan angka kelangsungan hidup paling sedikit satu janin sebesar 7S
sampai 80 %, S - 60 % untuk kedua janin, dan cacat neurologis pada usia 1 tahun sebesar
5%.
Fetosida selektif terhadap salah satu kembar juga pernah dilaporkan. Hal ini
dipertimbangkan apabila gangguan cairan amnion dan pertumbuhan terjadi sangat dini,
pada umumnya sebelum gestasi 20 minggu, dan besar kemungkinan kedua janin akan
meninggal Clpabila tidak dilakukan interfensi. Pemilihan kembar yang akan dikorbankan
didasarkan pada bukti kerusakan janin dan pembandingan prognosis masing-masing
kembar. Karena setiap zat yang disuntikkan ke salah satu kembar dapat mempengaruhi
kembar lainnya, teknik-teknik yang diguanakan mencakup tamponade jantrJng dengan
salin diikuti oleh kalium klorida intrakardiak, penyuntikan suatu zat oklusif ke dalam vena
umbilikalis. atau ligasi fetoskopik, koagulasi laser, atau koagulasi mono polar dan
kauterisasi bipolar tali pusat IChallis dkk., 1999; Donner dkk., 1997; Weiner, 1987;
Wittmann dkk, 1986). Angka penyulit pada prosedur ini tinggi.

rrDS! OiJ;tUho"""'G~ZOl5 uO
KEMBAR YANG TIDAK SEPADAN. Ukuran janin kembar yang tidak setara mungkin
merupakan tanda hambatan pertumbuhan pato/ogis pada salah satu janin, dan
didefinisikan dengan menggunakanjanin yang lebih besar sebagai indeks. Secara umum,
seiring dengan meningkatnya perbedaan berat pada pasangan kembar, mortalitas
perinatal juga meningkat. Hambatan pertumbuhan pada salah satu kembar biasanya
terjadi pada akhir trisemester kedua dan awal trisemester ketiga, serta sering asimetris
(Laveno dkk., 19791. Ketidaksepadanan yang lebih dini biasanya simetris dan biasanya .
menunjukkan resiko yang lebih besar; secara umum, semakin dini ketidaksepadanan
diketahui, semakin serius sekue/e yang terjadi. Weissman dkk. (19941 mendiagnosis
ketidaksepadanan antara 6 dan 11 minggu pada lima gestasi kembar dan semua kembar
yang lebih keelI mengalaml malformasl berat.

PATOLOGI. Penyebab ketidaksamaan berat lahir pada janin kembar sering tidak jelas.
tetapl bukti-bukti menunjukkan bahwa etiologi ketidaksepadanan ini berbeda pada
kembar monokorionik dan dikorionik. Pada kembar monokorionik, ketidaksepadanan
biasanya disebabkan oleh adanya komunikasi vaskular plasenta yang menyebabkan
ketidakseimbangan hemodinamik antara kembar. Penurunan tekanan dan perfusi kembar
donor kemudian dapat menyebabkan bagian palsentanya mengalarni gangguan
pertumbuhan IBenirschke, 1993). Walaupun jarang, ukuran kembar monokorionik
mungkin tidak sepadan karena mereka mengalami anomali struktural yang tidak setara
sewaktu berlangsungnya proses pembentukan kembar.

Ketidaksepadanan pada I:embar dikorionil< diperkirakan disebabkan oleh etiolgi


yang berbeda-beda. Salah satu scbab ketidaksepadanan tersebut adalah bahwa janin
dizlgotik memllikl potensl pertumbuhan yang berbeda. terutama apabila mereka memiliki
jenis kelamin yang berbeda. Karena plasenta terpisah dan memerlukan ruang Impllmtasl
yang lebih luas. mungkln salah satu plasenta memiliki tempat implantasi yang suboptimal.
Pengamatan bahwa insiden ketidaksepadanan meningkat dua kali lipat pada triplet
dibandingkan dengan kembar menyokong pandangan bahwa tinggal berdesakan di
dalam uterus berperan menyebabkan hambatan pertumbuhan janin (Mordel dkk., 19931.

Eberle dkl<. (19931 melakukan evaluasi patologi patologi plasenta terhadap 147
gestasi kembar yang membuahkan pemahaman tentang etiologi ketidaksepadanan pada
janin kembar. Mereka mengkuantifikasi lesi-Iesi plasenta yimg biasanya mcnyertai
hambatan pertumbuhan pada janin tung gal. Plasenta jimin yang lebih kecil pada
pasangan kember dikorionik yang tidak sepadan mcmperlihatkan lesi-Iesi khas untuk
hambatan pertumbuhan janin tunggal, sedangkan lesi-Iesi ini tidak ditemukan pada
pasangan kembar monokorionik yang tidal< sepadan.

Bukti lain mendukung pandangan bahwa ketldaksepadanan pada kembar


dikorionik disebabkan oleh Insufisiensi plasenta sementara pada kembar monokorlonik
disebabkan oleh ketidakseimbangan hemodlnamik. Rizzo dkk. (19941 menggunakan
perekClman Doppler serial untuk mengevaluasi sirkulasi janan pada 15 wanita dengan
kembar dikorionik tidak sepadan dibandingkan dengan 10 pasangan kembar
monokorionik yang tidak sepadan. Kembar dikorionik yang tidak sepadan
memperlihatkan hasil-hasil Doppler yang serupa dengan yang ditemukan pada hambatan
pertumbuhan janin tunggal akibat insufisiensi plClsentCl. sedangkan janin kembar
monokorionik yang lebih kecil memperlihatkan gambClran Doppler yang konsisten
dengan anemia.

ProS 1 OInteM~4~201S
61
DIAGNOSIS. Terdapat dua hal yang tidak pasti dalam deteksi ketidaksepadanan pada
Kenilmililn )(emtlar. Pertama, pengukuran anatomis ultrasonografik mana yang paling
handal untuk memperkirakan ketidaksepadanan? Kedua, seberapa besar perbedaan berat
janin yang dianggap bermaknil secara klinis?
Ketidaksepadanan ukuran anatara kembar dapat ditentukan dengan beberapa
cara. Salah satu metode yang sering digunakan adalah menggunkan semua ukuran janin
untuk menghitung perkiraan berat maslng·maslng kembar, kemudian membandingkan
beratjanin yang lebih kecil dengan beratjanin yang lebih besar (berat ajanin yang lebih
besar dikurang berat janin yang lebih kecil, dibagi oleh berat janin yang lebih besar).
Mengingat hambatan pertumbuhan merupakan kekhawatiriln utama dan -lingkar
abdomen mencerminkan gizi janin, sebagian penulis menegakkan diagnosis
ketidaksepadanan apabila terdapat perbedaan Jingkar abdomen lebih dari 20 mm. Hill
dkk. 11994) mengevaluasi pengukuran sonografik pada kembar yang tidak sepadan dan
mendapatkan bahwa lingkar abdomen lebih baik dari Iingkar kepala, panjang femur, atau
diameter Iintang serebelum sebagai indeks paling bermanfaat padajanin yang ukurannya
tidak sepadiw-
Beberapa perbedaan berat antarkembar pernah digunakan untuk mendefinisikan
ketidaksepadanan. Data yang terl<umpul mengisyaratkan bahwa ketidaksesuaian berat
yang> 25 - 30 % - biasanya disertai hambatan pertumbuhan pada salah satu atau kedua
janin - merupakan patokan paling akurat untul< memperkiral<an gangguan perinatal.
Hollier dkk. ( 1999) secara retrospektif mengevaluasi 1370 pasangan I<embar yang lahir di
Parkland Hospital dan membagi-bagi I<etidaksepadanan kembar dalam i<elompok.
kelompok yang berbeda dengan selang 5 % dari 15 - 40 %. Mereka mendapatkan bahwa
inslden gawat napas. perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, sepsis,
dan enterokolitis nekrotikans meningkat setara dengan derajat ketidaksepadanan,
dengan peningkatan resiko nyata dimulal pada I<etidaksepadanan sebesar 25 persen.
Resiko relatif kematian janin menigkat secara bermakna hanya apabila terdapat
ketidal<sepadanan yang melebihi 30 %, yang disertai resiko relatif 5,6 dan meningkat
menjadi 18,9 pada i<etidaksepadanan sebesar 41 %.

PENATALAKSANAAN. Penatalaksanaan utama pada gestasi kembar adalah pemantauan


sonografik pertumbuhan pasangan kembar. yang merupakan cara untuk mendeteksi
gangguan dan i<etidaksepadanan pertumbuhan. Temuan sonografik lain. misalnya
oligohidramnion pada janin yang lebih kecil, mungkin bermanfaat untuk menaksir resiko
Janin. Selain itu. ketidaksepadanan disertai hambatan pertumbuhan seyogyanya segera
mendorong kita melakukan evaluasi frekuensi denyut jantung janin atau profil biotisik
untuk menilai kesejahteraan janin. I<elahiran janin tidak diindikasikan apabila hanya
terdapat ketidaksepadanan ukuran, tetapi diindikasika pabila terjadi stres janin yang kecil
kemungkinannya berespons' terhadap intervensl serta usia gestasinya diperkirakan
mencukupi untuk kelangsungan hidup janin. Banyak otoritas menganjurkan pemeriksaan
tingl<at kematangan paru sebelum melahirkan Janin I<embar yang tidak sepadan dengan
ukuranjanin scbagai satu-satunya perbedaan dalam evaluasi sonografi.

KEMATIAN SATU JANIN. I<adang-kadang salah satu janin meninggal dalam pada usia
yang masih jauh dari aterm, tetapi kehamilan belanjut dengan satu janin hid up. Faktor·
faktor yang mempengaruhi kematian janin pada kehamilan kembar pernah diuraikan oleh
Rydhstrom 119941. yang menggunakan The Medi~al Birth Registry di Stockholm untuk
mengulas kematian janin pada 15.066 pasangan kembar dengan berat 500 gr atau lebih.
Kematian salah satu atau kedua janin terjadi pada 1,1 persen kembar yang jenis
kelaminnya berbeda dan 2,6 persen kembar yang jenis kelaminnya sama.
Ketidaksepadanan ukuran juga meningkatkan resikc kematian. Namun, pada kembar

f'PDS I O~Hi.a.<vG~vZ015 62
yang jeni; kelaminnya berbeda resiko kematian tetap konstan 1,2 persen atau lebih
samp"; ketidaksepadanan melebihi 40 sampai 50 persen atau 1000 gr, sedangkan pada
kembu dengan enis kelamin sama ketidaksepadanan lebih dari 20 persen atau 250 gr
meningkatkan resiko kematian. Setelah kematian salah satu janin, resiko kematian janin
yang lainnya 6 kali lebihtlesar pada kembar yang jenis kelaminnya sama. Walaupun tipe
korion tidak diketahui pasa semua janin, para penulis ini memperkirakan bahwa angka
kematian untuk kembar dizigotik jenis kelamin sama adalah sama dengan angaka untuk
kembar jenis ke!amin berbeda 10,8 %/' dan bahwa kembar monokorionik memperlihatkan
resiko kematian paling besar (3%/. Saito dkk. 11999/ mengkaji 481 kehamilan kembar dan
melaporkan bahwa resiko kematian salah satu janin pada kehamilan kembar adalah 6,2
persen.
Saat lahir, janin yang meninggal beserta plasenta dan selaput ketubannya
mungkin dapat teridentifikasi tetapi mungkin juga mengalami kompresi berat (fetus
kompresusl atau mejadi gepeng akibat kehilangan cairan dan sebagian besar jaringan
lunaknya {fetus papiraseus/.
Resiko ibu dan prognosis bagi janin yang masih hidup bergantung pada usia
gestasi saat kematian salah satu janin, tipe korion, dan lama waktu antara kematian
tersebLJt dangan lahir janin yang masih hid up. /(ematian dini seperti pada "Vanishing
Twirl' {kembar yang menghiJang/ tampaknya tidak meningkatkan secara bermakna resiko
kematian janin yang masih hidup setelah trimester pertama. Reduksi selektif pada
kehamilan multipel yang lebih banyak akan meningkatkan resiko kematian seluruh janin,
tetapi tampaknya tidak meningkatkan resiko ibu atau penyulitjanin lainnya.
Pada masa gestasi lebih lanjut, kematian salah satu janin pada kehamilan multipel
secara teoritis dapat memicu gangguan koagulasi pada ibu. Hanya pernah dilaporkan
beberapa kasus koagulopatl ibu setelah kematian salah satu janin pada kehamilan
kembar, mungkin karena I<embaran yang masih hidup biasanya lahir dalam beberapa
minggu setelah kematian tersebut.
Pernah dijumpai koagulopati konsumtif transien yang terkoreksi secara spontan
saat salah satu janin meninggal dan dipertahankan in utero bersama dengan janin yang
masih hid up. J(onsentrasi fibrinogen pada awalnya turun tetapi kemudian meningkat
secara spontan dan kadar fibrinogen-prod uk degradasi fibrin serum turun ke kadar
normal. Saat pelahiran, bagian plasenta yang menopang janin yang hidup tampak cukup
normal, sedangkan bagian yang semula untuk menopang janin yang SUdclh meninggal
memperlihatkan pengendapan fibrin yang masif. Hal ini mung kin secara lang sung
menyebabkan penurunan fibrinogen ibu dan sebalil<nya peningkatan produk degradasi
fibrin, atau mungkin berfungsi menghambat IOlosnya tromboplastin dari Janin dan
plasenta ke dalam sirkulasi iou sehingga mencegah koagulasi intravaskular deseminata.
Kedua mekanisme ini juga mungkin bekerja sampai terjadi fibrosis luas. Janin yang
selamat terus tumbuh in utero dan memperlthatkan Kadar fibrinogen plasma, fibrinogen­
produk degradasi fibrin serum, dan hitung trombosit yang normal.
Keputusan penatalaksanaan seyogyanya didasarkan pada kausa kematian dan
resiko pada Janin yang maslh hldup. Sebagian besar kasus kehamilan kembar dengan
salah satu janin meninggal memiliki plasentasi monokorionik. Bukti-bukti mengisyaratkan
bahwa morbiditas pada janin yang selamat (pada kembar monokorionikl hampir selalui
disebabkan oleh anastomosis vaskular, yang pertama-tama menyebabkan kematian salah
saW janin dan kemudian menyebabkan kematian salah satu janin dan kemudian dapat
disalurkan kembali ke kembarannya yang masih hidup. Mengingat koagulopati
memerlukan waktu paling sedikit 5 minggu untuk timbul, keciJ kemungkinan bahwa pada
saat tersebut kedua kembar masih menggunakan sirkulasl yang sama. Bajorla dkk. {19991
membandingkan 50 kehamilan kembar monokorionik dan 42 dikorionik dengan penyulit
$alah satu kembar meninggal. Risiko kematian janin lebih besar 10 kali IipC1t lebih pada

PPDS r O~,u......G~2OlS 63
kembar monokorionik dan kembaran monokcrionik yang selamat lebih besar
kemun9kinannya men9alami anemia /SI ver~u~ 0 per~en} dan Jesi intrakranial saat lahir
146 versus 0 persenj. Risiko paling tinggi apabila terdapat transfusi antarkembar dan yang
meninggal adalah janin resipien. Pada kembar monokorionik tanpa transfusi
antarkembar, kembar dengan anastomosis superfisial arteri-ke-arteri atau vena-ke-vena
memiliki risiko lebih besar dar/pada mereka yang dengan anastomosis dua-arah. Yoshida
dan matayo.shi (1990) melaporkan 33 pasangan kembar monokorionik dengan penyulit
salah satu janin meninggal, dan 8 di antara 33 janin selamat menderita porensefalus,
cerebral palsy, atau kelainan lain. renyulit-penyulit ini biasany<t terjadi hanya apabila
kematian terjadi pada paruh terakhir kehamilan. Seperti telah dibahas, dalam situasi ini
pelahiran tidakselalu dapat dicegah morbiditas padajanin yang selamat.
Yang lebih jarang, kematian dapat terjadi akibat penyulit pada ibu, misalnyJ
ketoasidosis diabetes atau preeklamsia berat dlsertai solusio, dan penatalaksanaan
kehamilan didasarkan pada diagnosis dan status ibu sertajaninnya yang selamat. Apabila
kematian salah satu kembar dikorionik disebabkan oleh anomali kongenital yang tidak
sepadan, kausa kematian seyogyanya tidak mempengaruhi kembarannya. Santema dkk.
(1995b) menilai kausa dan prognosis 29 kehamilan kembar yang salah satu janinnya
meninggal setelah 20 minggu. Kausa kematian janin tidak jelas pada semua kasus;
keterkaitan yang paling sering dikemukakan adalah plasentasi monol(orionik dan
preeklamsia berat. Para peneliti ini menyimpulkan bahwa pada sebagian besar kasus
maanfaat berlanjutnya preterm kehamilan multi pel melebihi risiko pelahiran pre term
setelah diagnosis kematian jan;n, dan menganjurkan penatalaksanaan I(onservatif
terhadap yang masih hidup.

ANCAMAN KEMATIAN SALAH SATU JANIN. Abnormalitas hasil pemeriksaan kesehatan .


janin antepartum pada salah satu janin kembar tetapi tidak pada yang lain menimbulkan
dilema tersendiri karen a pelahiran mungkin merupakan pilihan terbaik bagi janin yang
mengaJami gangguan tersebut, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan kematian pada
janin yang lain karena imaturitas. Apabila dipastikan bahwa paru janin sudah matang,
baik jan in yang sehat maupun janin yang terganggu mungkin dapat diselamatkan.
Sayangnya, penatalaksanaan menjadi sulit apabila janin yang sehat masih sangat imatur.
renatalaksanaan seyogyanya didasarkan pada perkiraan kemungkinan kelangsungan
hidup kedua janin. Janin yang tp.rganggu sering mengalami anomali atau hambatan
pertumbuhan berat. Salah satu keunggulan melakukan amnionsentesis genetlk atas
indikasi usia ibu lanjut pada kehamilan kembar -walaupun ibu tersebut akal1 melanjutkan
kehamilannya apapun diagnosisnya-adalah bahwa deteksi aneuploidi pada salah satu
janin memungkinkan kita membuat keputusan yang rasional tentang intervensi yang
akan dilakukan. Pada sindrom transfusi antarkembar, kembar yang terjepit sering
merupakan janln yang pertama kali mengalami dekompensasi dan selain mengalami
hambatan pertumbuhanjuga berisiko tinggi menderita hipoplasia paru.

KEMATIAN KEDUA JANIN KEMBAR. Walaupun jarang, kedua janin kembar dapat
meninggal selama peri ode antepartum. Ryghstrom (1996) melaporkan bahwa kedua janin
meninggal pada 0,5 persen kehamilan kembar. I(ausa yang diperkirakan berperan dalam
kemiltian ini adalilh plilsentilsi monokorionik diln ketidakseimbangan pertumbuhilnjilnin.

BAHAN:
1. Cunningham FG. Gi'nt NF, Leveno KJ, uil5trap Le. H"uth JC. Wentrom KO: Willii'm ObsnericJ. 21" edition. New
York. McGraw·Hill
2. IImu Kcbldanan. editor: Hi'nifa Wiknyosastro. Abdul Barf Saifuddin. Trijatmo Rachimhadhl. cdisj ke·3. Jakarta.
Yayosan Bina Pustaka SarwonoPfawiroh.fdjo, 587-94.1997

PPDS I o~vd<l.fvG~2015 64
12. KETUBAN PECAH DINI

Detinisi dan Klasitikasi

Pecahnya selaput ketuban lamnion dan khorion) timpa diil(uti persalinan pad" kehamilall

aterm atau pecahnya ketuban padil kehamilan preterm.

Klasifikasi:

o I(etuban pecah dini pada kehamilan > 35 minggu


o Ketuban pecah dini pada kehamilan 32 - 35 minggu
o Kewban pecah dini pada kehamilan < 32 minggu

Epldemiologi

Patofisologi
60·70% ketuban pecah dini IKPD) berhubungan dengan infeksi.
• Air ketubiln berfungsi untuk memberi ruang kepada janin untuk bergerak
sehingga tidak terjadi flaksiditas otot ekstrimitas dan berkembangnya paru.
• Air ketuban penting untuk menghilangkan friksi l<inetik yang terja di pada
persalinan akibat tidak bullet shapenyajanin.
Pada kehamilan preterm pecahnya ketuban akan merangsang persalinan dan
kelahiran 150% persafinan preterm dengan KPD akan berakhir dengan kelahiran).

Diagnosis
Nitrazine tes
Fern tes

USG

Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini pada kehamilan > 35 minggu
Prinsipnya lahirkanjanin
Beri antibiotika profilaksis

I<etuban pecah dini pada kehamilan 32 - 35 minggu


• Terapi antibiotik

lnduksi pematangan paru beta/dexa metasone J 2 mg IV

• Tokolisis: 0 mimetic, Ca channel blocker


• Jika terdapat kompresi tali pusat atau plasenta akibat air ketuban sangat sedikit
amnio intusi
Ekspektatif bila paru telah matang

Ketuban pecah dini pada kehamilan <32 minggu


Terapi antibiotik
Induksi pematang<1n paru beta/dexa metasone 12 mg IV bila kehamilan > 28
minggu
Tokolisis: ~ mimetic, Ca channel blocker
Jika terdapat kompresi tali pusat atau plasenta akibat air ketuban sangat sedikit
amnio intusi
Sedapat mungkin dipertahankan sampai 33 - 35 min9gu, jika tidak ,lda infeksi

PPDS! O~.da..vG~2D15 65
Prognosis
Sangat variatif bergantung maturitas paru dan ada atau tidaknya infeksi, pada usia
kehamilan < 32 minggu semakin muda kelahiran semakin buruk prognosisnya

ISumber : Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi, 2003. PS-POGI)

PPDS I O~da..vG~2015 66
13.KEHAMILAN POSITERM

Definisi dan K/asifikasi


KehamiJan 42 minggu lengkap atau 294 hari dari periode haid terakhir [ 280 hari dari
konsepsi I
Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pad a hasil ultrsonografi pada trimester I.
Kesalahan perhitungan dengan rumus Naegele dapat meflcapai 20%

Epldem/ologl
InsJdens kehamllan 41 minggu lengkap: 27 %. Insidens kehamilan 42 minggu lengkap
: 4 - 140/., 43 minggu lengkap : 2 - 7 %.
Insldens kehamllan post-term tergantung pada beberapa faktor : tlngkat pendidlkan
masyarakat, frekuensi kelahiran pre-term, frekuensi induksi persaJinan, frekuensi
sekslo sesarJa elektlf. pemakalan USG untuk menentuka usia kehamllan, dan definisi
kehamilan post-term ( 41 atau 42 minggu lengkap ).
Secara spesifik, insidens kehamilan post-term akan rendah jika frekuemi kelahiran pre­
term tinggi, biJa angka induksi persaJinan dan seksio sesaria elektif tinggi, dan bi/a
USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia kehamiJan.

Patofisiologi
/(ehamiJan post·term mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamiJan aterm, pada
kematian perinatal (antepartum, intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan
aspirasi mekoneum, dan asfiksia
Kehamilam post-term mempunyai resil<o lebih tinggi pada morbiditas neonatal
(makrosomia, distosia bahu, sindroma aspirasi mekoneum, perawatan pada neonMal
intensive care unit, penatalaksanaan dengan oksigen tekanan positif, intubasl
endotrakheal, distress nafas, persisten fetal circulation, pneumonia, dan kejang.

ManaJemen
Pemantauan fetus.
Induksi persalinan.
Prognosis untul<janin lebih baik dibanding dengan manajemen ekspektatif, induksi
sebaiknya dilakul<an pada I<ehamilan 41 minggu.

(Sumber : Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi. 2003. PB·POGII

PPDS I ObmtYioda.\,G~ZOlS
67
14. DISTOSlA DALAM PERSALINAN

Definisi dan Klasifikasi

Persalinan sulit adalah gangguan kemajuan persalinan (kala 1) yang diukur dalam

batasan waktu 2 (dua)jam sejak pemeriksaan terakhir atau setelah dilakukan pimpinan

persalinan (kala 2). Pada keadaan tertentu, batasan waktu tersebut tidak dapat dijadikan

patokan dalam menentukan tidak majunya persalinan dimana digun~kan patokan proses

persalinan itu sendiri, seperti halnya pada distosia bahu. Proses kemajuan persalinan pada

kala I, dapat dinilai dari partogram atau kurva Friedman sebagai instrumen analisis.

Epidemiologi

Insidens total dari distosia dalam persalinan sulit ditentukan secara pasti karena definisi

yang berbeda-beda. Pada nullipara insidens sekitar 2S %.

Patofislologl

Persalinan adalah proses dinamis yang mempunyal ciri kontraksl uterus yang reguler yang

menyebabkan dilatasi dan pendaran serviks serta penurunan janin melalui jalan lahir.

Perjalanan persalinan dinilai melalui perkiraan dilatasi serviks dan penurunan presentasi

janin. Pcrsalinan melibatkan panggul ibu (passage), janin (passenger,i dan kekuatan

(power). Persalinan yang tidak maju dapat dikarenakan salah satu atau kombinasi dari

ketiga faktor tersebut

Diagnosis

Beberapa hal yang harus dinilai adalilh:

a Tentukan kondisi dan kekuatan I<ontraksi

a Tentukan I<emampuan ibu dalam menghasilkan tenaga ekspulsi

o Tentukan kondisi janin


Di dalam atau di luar rahim
• Jumlahnya

Letaknya

Presentasi dan penurunan bagian terbawah janin

Posisi, moulase dan kaput susedaneum

Bagian kecil janin disamping presentasi (tangan, tali pusat dll.)

• Anomali I<ongenitai yang dapat menghalangi proses ekspulsi bayi


Taksiran beratjanin
, Janin mati atau hidup, gawat janin atau tidak
a Tentukan ukuran panggul dan imbang feto-pelvik
a Tentukan ada/tidaknya tumor pada jalan lahir yang dapat menghalangi persalinan
pervaginam

Berdasarkan hasil penilaian, tentukan dengan segera etiologi gangguan kemajuan proses
persalinan selama kala pembukaan ataupun saat kala pengeluaran

Penatalaksanaan
• Seksio Sesar pada panggul sempit, makrosomia, letak Iintang atau disproporsi feto­
pelvik
Koreksi yang kemudian dilanjutkan dengan akselerasi kala 2 (ekstraksi vakum atau
cunam) atau Seksio Sesar pada kasus-kasus malpresentasi atau asinklitismus

PPDS I O/ntUl"Vda.tvG~2015 68
Manuver sekrup atau penel<anan bilhu seCilril eksternilf untuk menyefesilikiln
Distosla bahu
Paeu kontraksi apabiJa inersia uteri bukan disebabkan oJeh disproporsi
Rehidrasi dan pemberian kaJori untuk restorasi ibu yang mengalami kelelahan

Komplikasi
Komplikasi ibu
I. Perdarahan
2. CederajaJan Jahir
3. fnfeksi

Komplikasijanin
I. Asfiksla ben'tt
2. Ekskoriasi kuJit kepaJa
3. SeraJhematoma
4. Perdarahan subgafeaJ. Perdarahan ini akan cepat diresorbsi ofeh tubuh janin. Pada
janin yang mempunyai gangguan maturitas fungsi hepar. keadaan ini dapat
menimbufkan ikterus neonatorum yang agak berat.
5. Nekrosis f<ulit kepala yang dapat menimbull(iln afopesia di I<emudian hari

Prognosis
Bervilriasi

(diadaptasi dari Buku Acuan ModuJ PONEK, JNPK-KR)

PPDS I 01ntwi,~G~2015 69
15. DISTOSIA BAHU

PENGERTIAN

Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala
berada pada sumbu normal dengan tulang belakang, Bahu pada umumnya akan berada
pada sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran
akan menyebabkan bahu depan lanterior) berada'di bawah pubis. Bila bahu gagal untuk
mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu miring pang9ul dan tetap berada
pada posisl anteroposterior, pada bayi yang besar akan terJadi benturan bahu depan
terhadap simfisis.

Distosia bahu terutama disebabl<an oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk
"melipat" ke dalam panggul Imisal: pada makrosomia) diisebabkan oleh fase aktif dan
persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penuru,,~n kepala yang terlalu
cepat menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalul jalan lahlr atau kepala telah
melalui pintu tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala 1/ sebelum bahu
berhasil melipat masul( I<e dalam panggul.

INDIKASI Distosia bahu

SYARAT Kondisi vital ibu cul<up memadai sehingga dapat bekerjasama untul<
menyelesaikan persafinan
• Masih memilild l<emampUiln untuk meneran
• Jalan lahir dan pintu bawah panggul memadai untul< al<omodasi tubuh
bayi
• Sayi masih hidup atau diharapkan dapat bertahan hidup
Bukan monstrum atau kelainan kongenital yang menghalangi
keluarnya bayi

GAMBAR:
TEKNIKMELAHIHKAN BAHU PADA DISTOSIA
a. Manuver Hibbard I 1969) / Hesnick/1980)

b. Manuver McRoberts

c. Manuver "Corkscrew' Woods

d. Melahlrkan bahu belakang ISchwartz dan DlxonJ

/Sumber: Buku Acuan Modul PONEK, JNPK-KR)

PPDS I Ol>lt&Yv<ia.vG~2015 70
16. PERSALINAN PADA BEKAS SEKSIO SESAREA

Definisi

Persalinan atau ~.elc:hiran pada pasien dengan riwayat kelahiran bayi melalui insisi
perut lIaparotomi) dan insisi uterus (histerotomi). Luka sayat di perut dapat
transversa: (Pfimnenstiel) maupun vertikal lmediana); sedangkan di uterus dilpat
transversal (SC Transperitonealis Profunda) maupun insisi verti:<al (SC
klasik/corporal).

Prinsip Dasar

l(eberhilSilan part us percobilan per vilginam ildalah 70 - 80% dan risiko ruptur

adalah 1%

Indikasi absolut (bentuk dem besar tulang pang9ul, besar janin)

Prinsip imbang feto pelvik (tiap persalinan normal)

Rumah sakit harus mampu me/aku/<an seksio daraurat da/am tempo 30 menit

setelah diduga ruptur

Cara Persalinan

partus pervaginam:
~
Panggul adel<uilt
Bel<as operasi sesar low tranverse 1 kali
Tidak ada parut uterus atau ruptur sebelumnya
Terdapat tenaga medls sepanjang persalinan fase al(lif yang mampu memonilor
persalinan dan me/aku)(an seksio sesarea darurat
Terdapat anestesi dan personel untuk melakuk,m seksio sesarea darurat
Seksio primer:

Indikasi

• P/asenla previa
• Vasa previa
• CPO/FPO
• Panggul patologik
• Presentasi abnormal
• Kelainan letak
• Posterm dengan skor pelvil< rendah
• Oua kal; seksio
• Penyembuhan luka operas) yang la)u buruk
• Operasi yang )a/u kolporaljklasik

Penatalaksanaan
Perawatan rumah sakit
• Hanya dilakukan apabi/a akan dilakukan seksio primer atau jika transportasi
sulit, tingkat pcndidikan pasien rendah
• Perawatan pasea seksio:t 3-5 had

Komplikasi
• Ruptura uteri; histerorafi - histerektomi

PPDS I Or"ttMa...."G~201S
71
• Kematian janin, kematian ibu
• Plasenta akreta, perkreta, inkreta: histerektomi
• Endometritis, infeksi subkutis
• Perdarahan
Konseling
Untuk mendapat informed consent pasien harus mendapat penjelasan untung rugi
percobaan partus pervaginam
Masa penyembuhan luka ± 100 hari
• Medika mentosa

.; Antibiotik

.; Analgetik

.; Uterotonik

(Dladaptasl darl Standar Pelayanan Medls Obstetri dan GlnekoiogJ. PB POGJ, 2003 dan
Curent Obstetrics and Gynecology Diagnosis and Treatment 2007)

PPDS I Ob>t<n-"""",,G~2015 12
17. POLlHrORAMNrON OAN OLiGOHYDRAMNION

Polihidramnion: SUMMARY AND RECOMMENDATIONS

.Polyhydramnios is typically caused by decreased fetal swallowing or increased fetal


urination. The most common etiologies are: fetal malformations and/or genetic
disorders, maternal diabetes mellitus, multiple gestation, and fetal anemia. Rare
causes include congenital viral infection or Bartter syndrome. (See ~ above.)
.It there is a subjective impression of polyhydramnios, we suggest that an objective
measure such as an amniotic fluid index (AFI) be performed. We use single deepest
pocket !8 cm or AFI ~24 cm. Objective Indices are standardized ilnd provide il
measurement that can be followed on serial examinations, even though sensitivity
and positive predictive value (PPV) are suboptimal, (See 'Diagnosis'above.)
.A comprehensive sonographic evaluation is recommended to determine whether
fetal anomalies or fetal hydrops is present. Suggested laboratory evaluations depend
upon sonographic findings and may include screening for gestational diabetes,
testing for fetomaternal hemorrhage if fetal anemia is suspected, maternal serology
to determine exposure to infectious agents (eg, syphilis, parvovirus, cytomegalovirus,
toxoplasmosis, rubella), and appropriate tests for hereditary anemias (eg, alpha
thalassemia) or metabolic abnormalities. (See 'Post-diagnostic evaluation' above.)
.We retommend offering karyotype analysis in cases of severe polyhydramnios or if
there are associated anatomic anomalies, if knowledge of the karyotype will affect
management. (See 'Post-diagnostic evaluation' above.)
.The outcome of pregnancies complicated by polyhydramnios varies according to
the severity and underlying etiology of the excessive fluid accumulation. Possible
complications include maternal respiratory compromise, preterm labor, premature
rupture of membranes (pROM). fetal malposition, and umbilical cord
prolapse and/or postpartum uterine atony. (See 'Clinical significance' above.)
.We suggest treatment for polyhydramnios in singleton pregnancy only if there is
preterm labor or significant maternal discomfort (Grade 2CJ. (See Management of
polyhydramnios: above.)

The therapeutic option is determined by the gestational age, degree of discomfort,


and semitivity or contraindication to prostaglandin synthetase inhibitors.

Pf'DS I O~<4m-G~Z015 73
• For severe symptomatic polyhydramnios at les: than 32 weeks of gestation, we

suggest amnioreduction (to normalize fluid volume) and treatment


with indomethacin to maintain normal amniotic fluid volume (AFV) (Grade 2C).
A course of corticosteroids is given prior to amnioreduction becau~e of the
increased risl< of preterm birth. (See 'Pregnancies under 32 weeks' above,)

During Indometh.Jcin therilPY, we monitor AFV at leilst weekly ilnd titrate the
indomethacin dose to AFV changes. We illso monitor ductal Doppler flow at
two- to seven-day intervals, with increased surveillance after 28 weel(s of
gestation, to look for early evidence of constriction. It may be possible to
discontinue indomethacin treatment if polyhydramnios does not recur as the
indomethacin is tapered. Indomethacin is discontinued no later than 32 weeks
because of the risk of premature ductal constriction. (See 'Prostaglandin
synthetase inhibitors' above,)
• For severe symptomatic polyhydramnios between 32 and 34 weel,s of
gestation, we suggest amnioreduc;tion (Grade Ze). After 34 weel(s, we offer
amniocentesis for fetal lung maturity and deliver if maturity is confirmed. We
suggest not administering indomethacin because of the high risk of premature
closure of the ductus arteriosus at this gestational age (Grade 2e). However, in
select cases, this risk may be outweighed by the risk associated with multiple
amniocenteses or prematurity. In these cases, ductal Doppler flow should be
followed at least weekly to detect early evidence of constriction.
(See 'PregnanCies over 32 weeks' above.)

f'l"DS I Oi»rur(,da..v(i~2015 74
OLIGOHYDRAMNION: SUMMARY AND RECOMMENDATIONS
_Oligohydramnios refers to amniotic fluid volume that is less than expected for
gestational age. It is typically diagnosed by ultrasound examination and may be
described qualitatively or quantitatively leg, amniotic fluid index [AFIJ SS; single
deepest pocket <2 ern). (See 'Clinical manifestations and diagnosis' above.)
eConditions commonly associated with oligohydramnios are listed In the table f~

I). The most likely etiologies of oligohydramnios vary according to the trimester in
which it is diagnosed. The majority of women with mild oligohydramnios have no
identifiable cause. (See 'Etiology' above.)
eMaternal history and physical examination and a comprehensive sonographic
evaluation are recommended for all pregnancies with oligohydramnios. Use of
additional tests (eg, I<aryotype. instillation of dye) depends upon individual clinical
circumstances. (See 'Evaluation of pregnanCies with oligohydramnios' above.)
-There is no effective long-term treatment of oligohydramnios. In idiopathic
OligOhydramnios. maternal treatment with intravenous isotonic solution. oral
hydration, or amnioinfusion can lead to short-term improvement. These procedures
may be useful under certain circumstances, such as to facilitate diagnostiC ultrasound
evaluation when the fetal anatomic survey is suboptimal. (See 'Methods of increasing
amniotic fluid volyme' above.)
_Reduced amniotic fluid in the first trimester appears to be an ominous finding. We
counsel these patients regarding the poor prognosis. discuss the signs of miscarriage,
and follow the pregnancy with serial ultrasound examinations to determine its
course. (See 'First trimester' above.)
eThe prognOSiS andmilnilgement of second trimester oligohydramnios depend upon
the underlying etiology and severity of oligohydramnios. Mild idiopathic
oligohydramnios has a relatively good prognosis. Severe oligohydrilmnios diitgnosed
at this time may induce anittomicill and functional fetal abnormillities and often
results in fetal or neonatal de<tth.
We initially perform a fetal structural survey to rule out a fetal m<tlformation since
serious itbnormalities mity influence future management. Serial sonographic
eXilminations to monitor itmniotic fluid volume, fetal growth. and fetal well-being are
performed until delivery. (See 'Second trimester above.)
-Some studies have shown an inverse relationship between amniotic fluid volume in
the third trimester and the incidence of adverse pregnancy outcome. Adverse

PPDS I O~".u..vG~201S 75
outcomes are related to umbilical cord compression, uteroplacental insufficiency, and

meconium aspiration. Given the potential high risk of adverse outcome, we perform a
nonstress test (NST) and AFI (or biophysical profile) once or twice weekly until
delivery. (See Third trimester' above.)
.For women with idiopathic oligohydramnios, we suggest delivery at 37 to 38
completed weeks of gestation rather than expectant management (Grade 2().
Although induction of an unfavorable cervix may increase the risk of cesarean
delivery, there is insufficient evidence to assure us that perinatal outcome with
continued conservative management of oligohydramnios at term is comparable to
that with delivery. (See 'Timing of deliyery' above.)
http://www uprod"rc,coml

PPD5 I O~"'&da..vG~~2OJ5 76
18. KEHAMILAN ABDOMINAL

Kehamilan abdominal: SUMMARY AND RECOMMENDATIONS

.Over 90 percent of ectopic pregnancies are located in the fallopian tube, while the
remainder implant in lociltions such as the ilbdomen, ceSilrean (hysterotomy) scar,
cervix, and ovary, (See 'Introduction'above,)
.Common symptoms of all ectopic pregnancies include abdominal pain and vaginal
bleeding, Nontubal ectopic pregnilncies can progress to an advanced gestational age
and rupture may result in hemorrhage, acute abdomen, and shocl<, (See 'Clinical
manifestations' above and 'Clinicill manifestations'ilbove and 'Clinical
manifestations' above,)
-All women of reproductive age with abdominal pain, vaginal bleeding, or menstrual
abnormalities should be tested for pregnancy, Once pregnancy is estilbJished, the
lociltion of the pregnancy (intriluterine or extrauterine or both) is typically made by
ultrasound examination, A high index of suspicion is important for making a
diagnosis of ectopiC pregnancy, (See 'Diilgnostic evaluation' above and 'Diilgnostlc
evaluation' above ilnd 'Diagnostic evaluation' above,)
.Abdominal pregnancies are interrupted at diagnOSiS, even at ildvanced gestational
ilges, as the potential for delivery of a viable infant is poor and the risk of maternal
complications is high, The optimum management of the placenta depends upon
whether the placentil ciln be removed without risking uncontrollable maternal
hemorrhage, We advocate leilving the placenta in situ with close observation during
the subsequent delilyed reabsorption, (See 'Abdominal Rregnilncy' above,)
.Cesarean scar pregnancy can be treated by wedge resection of the ectopic
pregnancy via Iilparotomy or lapilroscopy, hysteroscopic excision, or local or systemic
methotrexate ildministration, Uterine artery emboliziltion (UAE) has been used to
reduce the risk of hemorrhage, (See 'Cesarean scar pregnancy' above,)
.In women with a history of cesarean sCilr pregnancy, early ultrasound should be
performed in subsequent pregnancies in order to estilblish the location of
implantation, (See 'Cesarean scar pregnancy'ilbove,)
oLaparoscopic salpingectomy is the standard surgical approach of heterotopic
pregnancy with a coexistent tubal pregnancy, If the pregnancy has not ruptured,
then local injection of potClSsium chloride into the sac under sonographic guidance is
another option, (See 'Heterotopic pregnancy' above,)

PI'DS 1 Oi1lt<trv~G~;'2015 77
19. EMBOLI AIR KETUBAN

Terminologi

Emboli air /<etuban, dalam bahasa Inggris ternyata ada 2 isti/ah yang pertama
Amnionic Fluid Embolism - tertulis hanya dalam Cunningham FG et al 201.0 dan yang
tertulis pada sebagian besar buku dan makalah ada/ah Amniotic Fluid Embolism. Akhir­
akhir ini yang diusu/l<an ada/Clh anaphylactoid syndrome of pregnancy karena sangat
mirip dengan reaksi anafilaksis

!CD

ICD-IO 088.1 sedangl<an pada lCD- 9673.1

Pengertian

Terdapat beberapa de/inisi dari berbagai sumber, sebagian masih mencantumkan


masuknya cairan ketuban ke dalam sirl<ulasi darah ibu dan menyekat arteri pulmonalis
sehingga menyebabkan serangkaian tanda dan gejala misalnya kolaps kardiopulmonal
dan diil<uti I<oagu/opati. Sebagian hanya mencantumkan gejala klinisnya seperti dari
Cunningham et al tahun 20 J O. Namun penyakit ini dianggap sebagai kelainan yang rum;t.
belum dimengerti dan fatal

Angl<a kejadian

Belum ada an91<a resmi karena sangat bervariasinya tanda dan gejala. Oi Amerika
Serikat dilaporl<an merupakan 9 % dari 320 I I<ematian maternal mula; tahun 1991 sampai
1997. DilaporkM oleh penelit; lain: 14 % dari 9S kematian maternal dari 1.46 juta
persalinan diakibatkan EAK. Peneliti la/n mendapatkan dari 3 Juta persalinan tahun 1999
sampai tahun 2003 : 7.7 kasus per 100,000 I<elahiran. Knights dkk menemukan EAK
terjadi pada J. 9 / 100 ribu kelahiran di UI< dan 6,1/ 100 ribu kelahiran di Australia

Fal<tor r;siko

Usia ibu. ras tertentu, placenta previa, preeclampsia. persalinan dengan forcep atau
sesar

Patogenesis dan Patofisiologi

Meskipun telah di/akukan banyak penelitian di hewan coba, patogensisnya masih


be/um jelas. Hal ini disebabkan bervariasinya tanda dan gejala klinik bahkan pernah
dilaporkan adanya kasus koagulopati tanpa gejala kardioresplratorl
Patogenesis EAK awa/nya dilaporkan oleh Steiner dan Lushbaugh pada tahun
1941. disusul aleh Adamsons dkk [1971) dan Stolte and co·workers (1967) yang
membuktikan bahwa cairan ketuban pada dasarnya aman bahkan-bila diinfuskan dalam
jumlah besar. (airan ketuban memasuki sirkulasi ibu sebagai akibat dari bocornya barier
fisiologis yang normal ada antara kompartemen ibu dan janin. Kejadian tsb nampaknya
normal atau universal dengan biasa ditemukannya bahan-bahanjanin dalam sirkulasi ibu.
Namun pada wanita tertentu, kejadian tsb memicu satu rangkaian reaksi tisiologis

PPDS I O~cWvG~2015 78
yang nampak sebagai tanda dan gejaJa klin;s EAK, Proses yang mirip terjadi pada emboli
lemak akibat trauma, Pemahaman yang menyeluruh kaskade patoflsioJogi masih belum
didapatkan, Oalam satu kajian kasus-kelola terhadap 9 wan ita dengan dugaan EAK,
didapatkan peningkatan Kadar beberapa indikator anafilaJ(sis misalnya serum tryptase
dan urinary histamine meskipun tidak didapatkan degranulasi mast cell
Perlu dicatat Kadar complement secara seragam menurun, menunjukkan adanya
aktivasi complement memegang satu peranan yang penting, Sejumlah chemokines dan
cytokines juga terlibat misalnya endothelin-I
5eberapa peneliti mengusulkan mekanisme sederhananya adalilh sbb

Aili;lPII','fo;l8'',l S~p~s t<1l1rllQtic FIIliCI f~mtJ('liM'

(I':JE) (:r<J010):1r)') (vMir:,ui; 1'!1~1 'jOI"r1W\ls)

~ J /
Endc';1';r,~US mo:dialt">!" rF.Ii!M; '"

1
el, n'C~1 m~ r,lesTatic ...,~

Gilmbilr 19,1, Adilnya I<emiripiln antara EAJ{ diln reaksi anbilfilaksis dan sepsis

Kiljiiln pada primata yang diinjeksi cairan ketuban dan I<ajian pada hewan coba
I<ambing menunjukkan adanya rase awal dimana terjadi hipertensi sistemik dan puJmonal.
Hal ini terbukti saat dilakukan transesophageal echocardiogram dalam 10 menit setelah
terjadi EAK didapatkan: massively dilated akinetic right ventricle dan vigorously
contracting, cavity-obliterated left ventricle yang l<ecH. Hal ini menandakan adanya
kegagalan transfer darah dari jantung I<anan ke jan tung kiri akibat vasokonstriksi
pulmonal yang hebat. Didapatkan juga adanya desaturasi oksigen yang sementara
namun berat sehingga berilkibilt CilCilt neurologis bagi yang pilsien yang selamilt.
Penurunan tahanan vaskuler dan left ventricular stroke. Bila pasien berhasi melalui fase
awal ini, akan terjadi fase sekunder dimana terjadi jejas pada paru dan koagulopati.
A~:lsiasi (lntara hipertonus uterus dan kolaps kardiovaskuler nampaknya lebih sebagai
allibat bukan penyebab. Tidak terbukti juga asosiasi antara penggunaan oksitc;sin dan
EAI{, meskipun Knights dlll20 121 menemukan hal yang seba/iknya
Tanda dan Gejala Klinis

Pada kasus yang nyata, secara klasik didapatkan gambaran yang drama tis.
Pilrturien pada akhir akhir persalinan atau segera setelah persCllinan, terlihat sesak, kejang
atau kolpas kardiovaskuler yang disertai koagulopati.

VariasinYil begitu banyak namun yang sering terdoi<umentasi adalah sbb

PPDS I OlntW-va-.G~ZOIS 79
Tabel 19.1. Tanda dan Gejala 1(linis EAK

Clark et al 1995 Welwen 2000


n=46 n= 38

Hipotensi 43 38

Gawatjanin 30/30 NS

ARDS 28/30

Henti JP
Sianosis
40
38
38"
38

Koagulopati 38 12/16

Sesak 22/45 38

Kejang 22 {,

Diagnosis
Du/u, deteksi adanya bahanjanin di sirku/asi paru ibu merupakan tanda khas untuk
EAK namun kajian di hewan yang ada tidak mendukung hal ini (hanya 25 %) tetapijustru
injeksi dengan air ketuban + mekonium berakibat 100 % embolisasi. Peneliti lain
mendapatkan bahan janin hanya 75 % yang diotopsi dan SO % bahan dari I<ateterisasi a
pulmonalis. Bahanjaninjuga didapatkan pada kondisi selain EAK. Sehingga, pemeriksaan
bahan janin pada sirkulasi ibu ini kurang spesifik dan semitif untk mendiagnosis satu EAI(.
Diagnosis dibuat atas dasar tanda dan gejala Idinis.

Diagnosis menurut kriteria NAFER 1995 - Dildy lJI

!. Hipotensi akut atau henti jan tung


2. Hlpoksla akut: dispnea, sianosis atau henti nafas
3. Koagulopati: lab· Intravascular consumption atau '/brlnollsls

klinis: perdarahan tanpa sebab lain

4. Muncul saat persalinan pervaginam maupun sesar, atau 30 menit postpartum,


saat dilatasi dan evakuasi
5. Tidak adanya penyebab lain sebagai penyebab tanda dan gejaia di atas

Tatalaksana

Karena fase sau selalu bersifat sementara, mal<a pasien yang dapat me/alui fase
satu setelah resusitasi kardiopulmonal ini harus diberikan terapi suprotif untuk
mempertahankan oksigenasi dan dukungan untuk gagaljantung.
Circulatory support dan penggantian darah dan komponennya merupakan hal
penting. Tidak didapatkan data, intervensi mana yang paling baik.
Oi negcra maju, bila bayi beium lahir, maka bayi harus segera dilahirkan.

Prognosis

Kematian masih sangat tinggi terutama di negara berkembang. Case·fata/ity rate


sekitar 22 . 90 persen.
I(ematian terjadi sangat (epat, dan terjadi daiam 30 menit

PPVS I O~vd.M.-G~2015 80
Kelainan neurologis berat terjadi pada pasien yang selam?t. Hanya 8 % kasus yang
selamat ti"ak mendapatkan kealian nenurelegis
Sekitar 70 % bayi dapat diselamatkan namun hampir 50 % nya menga/ami
gangguan neurelegis

REFERENSI
Dildy GA. Stafford IP. 2011. Amniotic fluid Embolism. D_lam foley Obstelric Inlensive C". Manual.
Cunningham fG 01 al. 20 I O. Williams Obuelrics. Hed. New York: McG'awHirr
Dildy III GA, 8eHart MA. Clark sl: 2010. Anaphylactoid Syndrome of Pregnancy/Amniotic Fluid Embolism,. OC'lJam BClfert
MA, Sa~de G. Foley MR, Phelan JP. Dildy GA. Critical Care Obstetrics. Fifth Edition. Oxfora: Wiley-Blackwell
Knight M et al. 2012. Amniotic fluid embolism incidence. risk factors and outcomes: a review and recommendations. 8MC
Pregnancy and Childbirth. 12:7 hnp:llwww.biomedccntral.com/1471-2393/12/7 diakSCl DClember 20 13
Resnik R. 200S. Amniotic Fluid Embolism. OalClm John T. Ouee-nan Jr, Habbim Je, Spong CYtCd5J. Protocols for High·r1isk
Prt'gntlncics. Fourth Edition

PPDS I O~M.rv<i~201S 81
20. PERDARAHAN PASCA PERSAll NAN

Pada periode pascapersalinan, sulit untuk menentukan terminologi berdasarkan batasan


kala persalinan dan jumlah perdarahan yang melebihi 500 ml. Pada kenyataannya, silngat
sulit untuk membuat determinasi batasan pascapersalinan dan akurasijumlah perdarahan
murni yang terjadi. Berdasarkan temuan diatas mal<a batasan operasional untuk periode
pascapersa/inan adalah periode waktu sete/ah bayi di/ahirkan. Sedangkan batasanjumlah
perdarahan, hanya merupakan taks/ran secara tidak langsung dimana disebutkan sebagai
perdarahan abnormal yang menyebabkan perubahan tanda vital Ipasien mengeluh
lemah, limbung, berkeringat ding/n, menggigil, hiperpnea, sistolik < 90 mmHg, nadi > 100
xjmnt, kadar Hb < 8 g%).

Masalah

Morbiditas dan mortalitas ibu yang disebabkan oleh perdarahan setelah bayi lahir dan
dalam 24 jam pertama persalinan
Perdarahan pascapersalinan lanjut {setelah 24 jam persalinanj
Hasil upaya pertolongan sangat tergantung dari kondisi awal ibu sebelum bersalin,
ketersediaan darah dan paokan medik yang dibutuhkan, tenaga terampil dan handal
sertajaminan fungsi peralatan bagi tindakan gawatdarurat

Penatalaks;maan umum

• Ketahui dengan pasti kondisi paslen sejal< awal (saat masuk)


• Pimpln persaJinan dengan mengacu pada persalinan berslh dan aman ItermasuJ<
upaya pencegahan Perdarahan PascapersallnanJ
• Lakukan observasJ melekat pada 2jam pertama pascapersa/inan Idi ruang persalinanj
dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat
gabung). Perhatikan pelaksanaan asuhan mandiri.
• Selalu siapl«m keperluan tindakan gawatdarurat
• Segera lakul<an penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan
masalah dan komplikasi
• Atasi Syok Ilihat Penatalal<sanaan Syok)
• Pastikan kontraksi berlangsung baik Il<eluarkan belwan darah, lakukan pijatan uterus,
beri uterotonika 10 IU 1M dilanjutkan infus 20 IU da/am 500 cc NSjRL dengan 40
tetesan per menitj
• Pastlkan plasenta te/ilh Iilhir dan lengl<ap. eksplorasi kemungJ(iniln robekan ja/iln Jahir
• Bila perdarahan terus ber/angsung. lakukan ujl beku darah pihilt SoJuslo Plasentil)
• Pasang kateter menetap dan pantau masuk·keluar cairan
• Cari penyebab perdarahan dan lakukan tindakan spesifik

PPDS I O/nmh.~G~20J5 62
f>enllaian klfnik

GEJAIA & TANDA PENYULIT DIAGNOSIS KERJA


Tak ada penonjo/an uterus suprCl Syok Atonia Uteri
simfisis akibat uterus tida/< Bekuan darah pClda serviks
berkonrClksi dCln lembek atClu posisi te/entang akan
KadClng disertai p/asenta adhesiva menghambat aliran darah
Perdarahan segera sete/ah anak keluar I
lahir (Perdarahan Pascapersalinan
Dinil I
Darah segar yang mengallr segera Pucat Robekanja/an lahir
setelah bayi lahir lemah
Uterus berkontraksi dan keras Menggigil
P/asenta lahir lengkap Presyok atau syok
Teraba diskontinuitas portio atau
dinding vagina
P/asenta belum lahir 30 menit Tali pusat putus akibat traksi Retensio P/asenta
setelah bayi lahir bcr/ebihan
Terdapat perdarahan bila terjadi Inversio uteri akibat tarikan
scparasi parsial Perdarahan lanjutan
Kontraksi uterus tergantung dari
jenis retensio (lemilh pada
adhesiva dan kuat pada
inkarserataj
P/asenta atau sebagian sclaput Uterus berkontraksl bail< TertinggalnYil
amnion tidak lengl<ap tetapi ul<urannya segera sebagian p/asenta
Adanya fragmen plasenta yang mengecil
hilang Infe/(si sisa plasenta
Perdarahan segera bila diameter Perdarahcln lanjut
fragmen p/asenta yang tertinggal
cukup besar.
Perdarahan lanjut bila diameter
sisa plasenta re/atit kecil
Tidai< terdapat penonjolan Neurogenik Syok Inversio uteri
suprasimtisis ataupun pada perut Pucat dan limbung
bawah
Uterus tidak teraba saat palpasi
lumen vagina terisis massa kenyal
dengan menampal(l<an p/asenta
bagian fetal dan tali pusat (bi/a
belum terleeas/
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau
Nyeri tekan perut bawah dan Demam sisa fragmen
pada uterus p/asenta (terinfeksi
Perdarahan lanjut atau tidClk)
Lochia mukopuru/en dan berbau
(bila disertai infeksil
Penatalaksanaan khusus

PPDS 10b)tUy;'da.n,G~2015 83
Perdarahan Pascapersalinan Oini

Oalam persalinan yang berslh dan aman, penatalaksaan aktif kala III seharusnya sudah
merupakan prosedur standar sebagai upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan

Atonia Uteri

• Kenali dan tegakkan diagnosis kerja Atonia Uteri lIihat penilaian klinik)
• Pasang infus, beri uterotonika, kemudian lakukan pijatan uterus
• Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih tertinggal,
lakukan evalwasi sisa plasenta) dan pastikan tidak ada laserasi jalan lahir
• Berikan transfusi darah bila sangat diperlukan
• Lakukan uji beku darah lIihat Solusio Plasenta) untuk konfirmasi sistem pembekuan
darah
• Bila semua tindakan diatas telah dilakukan tetapi masih terjadi perdarahan lakukan
tindakan spesifik (lihat prosedur kJinik) sebagai berikut :

Sebelum tindakan operatif dapat dilaksanakan, lakukan tindakan sementara untuk


mencegah memburuknya kondisi pasien

" Kompresi bimanual eksternal

Meremas uterus melalui dinding abdomen dengan jalan menjepitnya diantara


kedua belah telapak tangan yang me/ingkupi uterus. Pantau aliran darah yang
keluar. Bila perdarahan berkurang. kompresi diteruskan. pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi atau diilakukan tindakan operatif. Apabila
upaya ini belum berhasil, coba dengan kompresi bimanual internal

" Kompresi bimanual internal

Uterus dijepit diantara telapal< tangan yang menekan bagian posterior uterus
melalui dinding abdomen dan kepalan tangan dalam sebagai upaya untuk
menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Bila perdarahan berkurang atau
berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali dan bila tindakan ini tidak
efektif, lakukiln kompresi aorta abdomina lis.

.• Kompresi aorta abdominalis


Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri dan pertahankan posisi ini
untuk memantau keberhasilan Kompresi aorta abdominalis dengan kepalan
tangan Kanan (pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan.
hingga mencapai kolumna vertebralisl, Penekanan yang tepat, akan
menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femora lis.
8ila kondisi ibu dan sarana memungjinkan untuk tindakan operatif, lakukan:

.. Ligasi ramus ascendens dan decendens arteri uterina dan arteri ovarika
Histerektomi

(Sumber: Buku Acuan Modul PONEK, JNPK-KR)

84
PPDS I Ci>;(U)'(,<WvG~2015
21. RUPTURA UTERI

Oefinisi

• Separasi komplit din ding uterus pada kehamilan dengan atau tanpa ekspulsijanin
yang membahilYilkan ibu danjanin.

Prinsip Dasar

Insiden 0.7% dalam persa/inan

Faktor risiko, termilsuk riwayat pembedahan uterus, hiperstimulasi uterus,

multiparitas versi intemill iltilu ekstraksi, persaliniln operiltif, CPO, pemakai kokain.

Klasifikasi:

o Inkomplit, tidak termilsul< peritoneum


o Komplit, termasuk peritoneum visceral
o Dehisens, terpisahnya skar pada segmen bawah uterus tidak mencapai serosa
danjarang menlmbulkan perdarahan banyak.

Diagnosis

Identifikasi faktor risiko, parut operasi, multiparitas, stimulasi uterus, persalinan


operatit, CPO
Hipoksia atau gawiltjanin, perdarahan vaginal, nyeri abdominal dan perubahan
kontrilktilitas uterus
Eksplorasi uterus

Manajemen

Jalur intravena besar Ino. 16 atau 18)

Atasi syok dengan resusitasi cairan dan darah

Histerektomi;

o Fungsi reproduksi tida/< diharap/<an


o I<ondisi burukyang membahayakan ibu

Repair uterus:

o Wan ita muda masih mengharapk<ln tungsi reproduksinya


o I(ondisi klinis stabil
o Ruptur yang tidak komp/ikasi
o Rekurensi 4·10%, disarankan seksio sesaria elektif pada I(ehami/an 36
minggu atau mauritas parujanin telah terbukti.

Prognosis

Bervariasi, tergantung kondisi klinis ibu dan banyaknya perdarahan

ISumber: Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi, PB POGI, 2003)

PPD5 I O~""",,G~2015 85
22. INVERSIO UTERI

Algorithm for management of puerperal uterine inversion in a


hemodynamically unstable patient

l .....'.:<'. "-{"':',~ .,~~,\."·,·'!<'''''':''''''r.Io.,,,,(,~'''~~-:!.·''·~·;Oll'_..r'\'·'~!j· '.";~I'~;"""' •.,:'.' ':'. ""

Pu.",.,~1 ytorine ;nYers;on


with hemodynamic. inshbd!ty I

(shod" b,-.dycardj~)
I
!

t ~ t
OiK.n.,lnu. ,I
IColli., ...llton« II uterotoniC . Add,....... e" .;.... y. b,..tl.ln •• <;"ylo"on.

dNgI • Establlih intra .... nous access (two I.. rg_ bore

utkete,,) .nd begin fluid r*lufClhtlon .

• Treat bradYUI-di~ 'With Itropine O.~ mg IV.


I Ord~r labs {coa;ulation panel. CS,q. 0'1)5$

match four units of blood Ind notify blood


b.nk. Transfuse blood. as needrd .

• Attempt to manually reposition the


..
uterus. Us, your hand to push the fundus
along tnt! long axis of ttle vagina tcward the
urr,bilicuS. Ll!:ave placenta atnche-d•
• If a constriction ring is palpable. apply pre!osure
to the part of the fundus nearest the ring to use
It through tnt ring from bottom to top.

Unsuccessful

t
Oi..... utlri", r.ln.nts and
rutttmpt m,nUII replac.ment
Options indudll
• Nitroglycerin 50 mCQ N. UP'tOIt
up to four tJmu .
• T.rbut~line 0.25 "'9 intn.... nol.lsly
or subcutaneously Inhaled ;,nestMtic
·9~tl.

Unsuccessful

t t
~paro'omy Hydrosbtic prusu,...
Huntington procedure: Locale the cup A b~ 01 \"armed fluid is hung
formed bv the inversion, Place an Allis it lust one met.r above the
or Babcock cI.mp on each I'ound ligam~t patient .nd ailo,,,td to Row by 9,,..... ity
or the myomettlum ent,nng the cup, oIOOut Unsucc.ssful or with li9ht pr,slure through tubing
2 em dHP in the cup. G,ntiy pull to enrt connect.d to , ,iilSDC ......ntDu'. cup in
upward traction on tht inverted fundul. th.....a9In•• Two to fl .... lit." o( Ruid
Clampinq ~nd b1Ktion are ' ..peated until th. may be n...<fed to return th. ut.rus
i"v,~ion is COfTecti<J. If availabll. 01 second to its normal poSition.
operator with it hand In the "~9ina can itpply wpward
prlssure on t .... Iv,,"u. to faciliUtl thl proCedUf••

UnsuccesJuI
t
Blse<t the constriction rit'l9.
1
. ! SUCCI!SS,ful COIn-etlan I~
I
!

SurQICoIi fi:!!ease 01 the I of InverSion


cOnstnction dng should ~1!ow molnual ,.
redudion of the uterinv in ...ersion Of

reduction with Hl.lntington proud ... re,

I Adm,n','" u,.,on;c d"'9'


and .hl~lt sponbn~ous
placental separation

httpj/wWw,uptodcltc,comJ..

PP05 I O~vd<uvG~2015 86
23. RETENSIO PLASENTA

• Hampir sebagian beSClr gClngguCln pelepClsCln plasentCl, disebClbkan oleh gClngguan


kontraksi uterus.
• Retensio plasenta adaJah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau me·
lebihi wClktu 30 men it setelah bayi lahir.

Jenis retensio plasenta


• Plasenta adhesiva adalah implantasi yang I(uat darl jonjot korion plasenta sehingga me­
nyebabkan kegagalan mekanisme separasi tisiologis,
• Plasenta akreta ildalilh implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miometrium.
• Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot /(orion plasenta hingga mencapai!memasuld
miometrium.
• Plasenta perkreta adalilh implilntilsijonjot korion plilsentil yilng menembus lilpisiln otot
hingga mencilpili lapisan serosa dinding uterus.
• Plasenta inkarserata adalah tertahilnnya plilsenta di dalam kavum uteri, disebabl<an
oleh konstriksi ostium uteri.

Taber 15.2: Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta


Separasi/ Plasenta Plasenta
Gejala
Akreta parsial Inkarserata akreta
• Konsistensi kenyal I(eras culwp

uterus

• Tinggi fundus sepusat 2jari bawah sepusat


pusat i
• Sentuk dislwid ilgak globuler discoid

uterus

• Perdarilhan sedang-banyak sedang sedildtj tidak ada


• Tali pusat terjulur terjulur I tidilk terjulur

sebilgiiln

• Ostium uteri terbuka kontriksi terbuka


• Separasi lepas sebaglan sudahjelas melekat seluruhnya

plasenta

• Syok sedang jarang jarang sekali. kecuali akibat

I
inveriso oleh tarikim kuat
pada tali pus at

PPVS I O~vcla,.,,1i~2015 B7
Retensio plasenta dengan separasi parsial

• Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambi/.
• Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak
terjadi, cobakan traksi terkontrol tali pusat.
• Pasang infus oksitosin 20 unit dalam SOD cc NS/RL dengan 40 tetesan per menit. Bila
perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg rektal /sebaiknya tidak menggunakan
ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan pJasenta
terperangkap dalam kavum uteri).
• Bi/a traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta (Iihat
Prosedur klinik plasenta manual) secara hati·hati dan halus /melepaskan plasenta yang
melekat erat secara paksa, dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi).
• Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
• Lakukan transfusi darah apabi/a diperlukan.
• Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 9 IV/oral + metronidazol I 9 supositoria / oral.
I Segera atasi bila terjadi I<omplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.

PPDS I Oi>>tlO'v"""'G~20J5 ss
24. PlAS!;NTA INKAR~!;RATA DAN AKRETA

Placenta Inkarserata
• Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan.
• Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghi/angkan kcnstriksi serviks
dan melahirkan plasenta.
• Pilih f/uothane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat letapi siapkan infus ok·
sitosin 20 IV dalam SOO ml NS/Rl dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi
gangguan kontraksi yang disebabkan bahan anestesi terse but.
• Bila proscdur ancstcsi tidak tersedia telapi serviks dapat dila/ui o/eh cunam ovum
lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur terse but, berikan
analgcsik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV dan sedatif [Diazepam 5 mg IV)
pada tabung suntik yang terpisah.

Milnuver sekrup:
- Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak denganje/as.
Jepit porsio dengan klem ovum padajam 12,4 dan 8 dan lepaskan spekulum.
- Tari/< ketiga Idem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak /ebih je/as.
- Taril< tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi berlawanan agar
dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk inemegang klem tersebut.
lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan.
- Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar searah jarum jam, tarik
plasenta ke /uar perlahan·lahan melalui pembul<aan ostium.
• Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri dan perdarah'!n pasca·tindakan.Tambahan pemantauan
yang diper/ukan adalah pemantauan efek samping atau komplilcasi dari bahan·bahan
sedativa, analgetika atau anestesia umum (mual dan muntah, cegah aspirasi bahan
muntahan, hipo/atonia uteri, vertigo, ha/usinasi, pusing/vertigo, mengantuk).

WDS r Oh;WYiodan,G~2015 89
Plasenta akreta
randa penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus/y.orio
apabi/a tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta ka
implantasi yang dalam.
Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan dasar adalah
.menentukan diagnosis. stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus
memerlukan tindakan operatif.

PLASENTA AKRETA

Faklor predisposisl I
Syok neurogenik akibat _ _ _ _ _ _\-_ _ _ __
Kons6ntrasl Hb
Jenls dan ull silang d
traksi kuat tall pusat Pembekuan darah

Plasenta akreta

I
I ,..""", I
Tertanam rlUnJhnya rerlanam S8bagiB,
l
Tldak ada perdarahan Manual p!asenla

Sebagian besar plas!

dapat dikeluarkan

iidak ada perdarah.

Sebagian besar pla~enta


terlanam dalam

UTEROTONIKA

HISTEREKTOMI 4 I OBSEFIVASI d8" UT


PERAWA"(AN LANJ

Gambar. Penltalan 1<llnll< pli'lSenta akreta

Sisa plasenta
• Penemuan seCara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan
pasca-persalinan lanjut. sebagian besar pasien-pasien akan kembali lagi ke tempat
bersalin dengan keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang ke rumah dan sub

Pl'DS I OInruYvda..vG~2015 70
involusi uterus.
• Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang
dipilih adalah ampisilin dosis, awal I g IV dilanjutkan dengan 3 x 1 9 oral dikombinasi
dengan metronidazol 1 9 supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
• Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digitallbila serviks terbuka)
dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Si/a serviks hanya dapat dihilui oleh
instrumen,lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau Di/atasi dan Kuretase.
• Bi/a kadar Hb < B g% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb < 8 g%, berikan sulfasrerosus
600 mglhari selama 10 hari.

PPVS I O~da..vG~2015 Q1
25. OENYUT JANTUNG JANIN (DJJ) ABNORMAL
DALAM PERSAllNAN

PRINSJP OASAR
• Bradikardi: OJJ kurang dari llO/men;t

• Takhikardi: OJJ lebih dari IbO/menit

Pola perubahan denyutjantung janin dapat direkam dengan kard;otokografi.

PENANGANAN
• Bila sedang dalam infus oksitosin: STOP
• Jbu berbaring miring ke kiri
• Cari penyebab OJJ yang abnormal. Misalnya: ibu demam, atau efek abat tertentu. Bila
penyebab diketahui, alasi permasalahannya
Lakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui hal-hal beril(Ut:
- Kemajuan persalinan.

- Adakah I<ompresi tali pusat ?

- Air ketuban sedikit ?

• Bila terdapat oligohidramnion akibat ketuban pecah maka i<ompresi tali pusat dapat
diatasi dengan amnia infusi.
• Bila OJJ tetap tak normal, segera akhiri persalinan dengan cara yang sesuai syarat
tindakan
- EV, EF, atau
- Seksio sesarea.
• ada kala /I sebanyak 30-40% dapat terjadi bradil<ardia akibat I(ampresi. bila persalinan
lancar tidak perlu tindakan.

ProS I O~"""'G~2015 91
Ihu Dersalin
DJJ abnormal

I.)
I
Inlus oksilosin (-)

I
l ~
Baring miring kiri
STOP

~
(+) Oemam (-)

I
T
Alasi demam
t

Efek obal

Penyebab lain

Ll
Pemerikmn Oalam :
- kemajuan per;alinan
- kompresi 1ali pusal
Observasi dengan
kardiOlokografi

• air keluban sedikit

I
~
OJJ abnormal
1

OJJ normal

!----­I ! 1

~~Ia I Kala" Observasi

1
Seksio ~mre"
1
EV/EF

Gambar 25. J. Penanganan denyutjantungjanin abnormal dalam persalinan

PPVS I Oln«CYvda..-vG~2015 93
25.1. GAWAT JANIN

FETAL DISTRESS

Cord Com_resslon Placentallnsulliciency AneIT,la

prolapse l3P INlem31·telal '


oh~ohydramiflos h~motrh.ge bloC<j incom~au::ilir{
enlan.lefT,ent, ,nol5 placental Inlarct
ulerin. h)'potonus
1
he1molYJlilA

Fel.1l Hypoxemia ~
t
Compensatory J\.·t4:!chanisms

.r.adequtt!e AdcQua:e
I
POSS1:le
l
tissue hYPoxia homeostasis
h~:ercap,,,a
(tCOcj
1
anaerobic metabolism
11'oclic aCid i

""r"'

metaboliC aCidOSIS

'"':~:::'I;:~
~ cell deslluclicn

organ Image

pelTllanem diSilbiiity
01 d••lh

Gambar 25,2, Gawatjanin

Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima O2 cukup, sehingga mengalami hipoksia.
Situasi ini dapat terjadi kronik (dalam jangka waktu lama) atau akut. Janin yang sehat
adalah janin yang tumbuh normal, dengan usia gestasi aterm dan presentasi kepala.
Adapunjanin yang berisiko tinggi untuk mengalami kegawatan (hipoksia) adalah:
• janin yang pertumbuhannya terhambat.
• janin dari ibu dengan diabetes,

PPDS I Ohlru>-"M..vG~2015 94
• janln preterm dan posterm,
• janin dengan kelainan letak,
• janin kelainan bawaan atau infeksi.

Gawatjanin dalam persalinan dapat terjadi bila:


persalinan berlangsung lama,
induksi persalinan dengan oksitosin,
• ada perdarahan atau infeksi,
insufisiensi plasenta: postterm, preeklampsia.

PfNlLAIAN KLINIK
Tanda gawatJanin

DJJ abnormal
OJJ ireguler dalam persalinan sang at bervariasi dan dapat kembali setelah beberapa

waktu. Bila OJJ tidak kemball normal setelah kontraksi, hal ini menunjukl<an adanya

hipoksia.

Bradikardia yang terjadi di luar saat kontraksi, atau tidak menghilang setelah kontraksi

menunjukkan adanya kegawatanjanin.

Tal<hikardi dapat merupakan reaksi terhadap adanya:

- demam pada ibu,

- obat-obat yang menyebabl<an takhikardf (misalnya: obat tokolitikl,

- amnionitis.

Sila ibu tidak mengalami takhikardia, OJJ yang lebih dari 160 dpm menunjullka
adanya anval hipo/(sia.

Mekoneum
eairan amnion yang hijau ken tal menunjukkan bahwa air ketuban jumlahnYilsedikit.
Kondisi ini mengharuskan adanya intervensi. lntervensi tidak perlu dilal<ukan bila air
ketuban kehijauan tanpa tcmda l<egawatan lainnya. atilu pada filse ilkhir suatu persalinan
presentasi bokong.

25.2. GERAK JAN IN MENGHILANG

Masalah

Ibu tidak merasakan gerakan janin.

ProS I O~""""'C;~201S 95
Diagnosis

• Nilai DJJ.
Bila ibu mendapat sedatif. tunggu hi/angnya pengaruh obat. kemudian nilai ulang.

Bi/a DJJ abnormal. lihat penatalaksanaan DJJ abnormal.

Bila DJJ tak terdengar. pastikan adanya kematianjanin dengan stetoskop (Doppler).

Bila DJJ baik. berarti bayi tidur.

Rangsangjanin dengan rangsangan suara (bell atau dengan menggoyangkan perut

ibu sehingga ibu merasakan gerakan janin. Bila DJJ meningkat frekuensinya sesuai

dengan gerakjanin; makajanin dapat dikatakan normal. .

Bila DJJ cenderung turun saatjanin bergerak. maka dapat disimpulkan adanya gawat

janin.

rros I Ob!tUl'v.u,.."G~20J5 96
26. KEMATIAN JANIN

PRINSIP OASAR
Kematianjanin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhanjanin, kegawatan
janin, CltClU akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebe/umnya sehingga tidak diobati.

PENlLAIAN KLINIK
• Pertumbuhanjanin (,1, bahkanjanin mengecil sehingga tinggi fundus uteri menurun.
Bunyi jantung janin tak terdengar dengan fetoskop dan dipastikan dengan Doppler.
• Keluhan ibu: menghilangnya gerilkjanin.
• BerClt badan ibu menurun.
• Tulang kepala kolClpS.
• U$G: merupakan sarana penunJang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian
janin di mana gambarannya menunjukkanjanin tanpa tanda kehidupan.
• Catatan: pemeriksaan radiologi dapat menimbulkan masalah dan tidak perlu. Bi/a
dilakukan 5 hari setelah kemati;tnjanin, akan tampak gambaran sebagai berikut:
- tulClng kepalajanin tumpang tindih satu sarna lain,
- tulang belakang mengalami hiperfleksi, .

- tampak gambaran gas padajantung dan pembuluh darah,

- edema di seldtar tulang kepala.

• Pemeriksaan hCG urin menjadi negatif. Hasil ini terjadi beberapa hari setelah kematian
janin.

Komplikasi
• Trauma emosional yang berat terjadi bila waktu antara kematian janin dan persalinan
cukup lama.
• Dapat terjadi infeksi bila ketuban pecah.
• Dapat terjadi kOClgulopati bila kematianjanin berlangsung lebih dari 2 minggu

PENANGANAN
• Periksa tanda vital.
• Ambil darah untuk pemeriksaan darah peri fer, fungsi pernbekuan, golongan darah
ABO dan Rhesus.
• Je/askan seluruh prosedur perneriksaim dan hasilnya serta rencana tindakan yang
akan dilakukan kepada pasien dan ke/uarganya. Bi/a be/urn ada kepastian sebab
kematian, hindari memberikan informasi yang tidak tepat.
Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada' pasien. Sebaiknya pasien
sebaiknya didampingi oleh orang terdekatnya. Yakinkan bahwa besar kemungkinan

Pf'DS I Oi»alo"da.vG~v 2015 97


dapat lahir pervagin<lm.
• Rencana persalinan pervaginam deng;)n cara induksi maupun ekspektatif, perlu
bicarakan dengan pasien dan keluarganya, sebelum keputusan diarnbil.
• Bila pili han adalah pada ekspektatif: tunggu persalinan spontan hingga 2 minggu
yakinkan bahwa 90% persalinan spontan. akan terjadi tanpa komplikasi.
• Bila pilihan adal<lh manajemen aktif:. induksi persalinan rnenggunakan oksitosin atau
misoprosto!. Seksio sesarea merupakan pilihan misalnya pada letak lintang.
• Berikan kesernpatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan melakukan
berbagai kegiatan ritual bagijanin yang rneninggal tersebut.
• Pemeriksaan patologi p/asenta akan rnengungkapkan adanya pato/ogi plasenta dan
infeksi.

P!'OS I O~cU>.n.G~201S 98
27. ACUTE FATTY LIVER

Acute fatty liverjuga dikenal sebagal acute fatty metamorphosis atau acute yellow
atrophy. Penyakit ini jarang terjadi, insidensinya hanya J dari J 0.000 kehami/an. Biasanya
terjadi pada umur kehamil,m lebih dari 30 minggu. Acute fatty liver sering terjadi pada
kehamiJan ganda (9·25%), pada primigravida. nulipara dengan janin laki-Iaki dan dapat·
terjadi bersamaan dengan preeklamsia. Dari pemeriksaan histologi ditemukan adariya
pembengkakan sel·sel hepatosit yang sitoplasmanya terisi oleh lemak mikrovaskuler
dengan nukleus di sentral dan tak ada kelainan pada periporta selain itu ditemukan
minimal nekrosis pada hepatoseluler.,·2
Gejala yang sering terjadi adalah keluhan muntah sampai pada akhir kehami/an.
Gcjilla'geja/a lain yang terjiloi padil wilnita hamil dengan acute fatty liver ildalah jaundice
« 90%), nyeri perut atas ( 40·60%), nilusea, muntah, ascites, demilm, sakit kepala, pruritus
dan pilda pemeriksaan klinis hepar tidak membesar. Sebagian dari wanitil hamiJ dengan
acute fatty liver juga timbul hipertensi, proteinuri dan edema yang menunjukkiln kearah
preeklilmsia.
Hasillaboriltorium pada acute fatty liver:
J. Leul<ositosis
2. AI/laline fosfatase meningkat
3. Bilirubin> J Omg/dl
4. Waktu protrombin >2,5 detik
5. Trombositopenia « 100.000/41)
6. Hipofibrinogen
7. Hipoalbuminemia

Diagnosis acute fatty liver berdasarkiln keluhan utama. pemeriksilan klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang adalah dengan ultrasonografi.
Diagnosis pilstinYil adillilh dengiln biopsi hilti.
Acute fatty liver dapat membaik spontan setelah I<elahiran. Oleh I<arena itu para
ahli menganjurkan untuk terminasi kehamilan segera setelah diagnosis acute fatty liver
dltegill<kan. Blla serviks telan matang maka direncanakan untull indullsi persalinan. Bila
serviks belum matang dianjurkan untuk d/lakukiln sectio caesaria. Beberapa peneliti
bahkan menganjurkan untuk sectio caesariil dengiln tujuan mempercepat perbaikan
fungsi hati. Tapi dengan adanya gangguan pada koagulopati maka akan meningkatkan
resiko materna/. Sehingga perlu untuk mempersiapkan darah untuk tranfusi apabila
terjadi perdarilhan, sebaiknya dalam bentuk fresh-frozen plasma, cryoprecipitate, whole
blood, packed red cell dan platelet. '.2

PPD5 I O~da.vG~201S 99
28. KOLESTASIS INTRAHEPATIK OALAM KEHAMILAN

Kolestasis intrahepatik juga dikenal sebagai ikterus rekuren pada kehamilan.


hepatosis kolestasis dan ikterus gravida rum. Sebagian besar wan ita hamil dengan
kolestasis akan mengalami gatal, biasanya terjadi pada akhir trimester kedua. Gejala awal
dari penyakit inia adalah pruritus generalisata tetapi tidak tampak adanya kelainan kulit
kecuali apabi/a terjadi ekskoriasis akibar garukan. Sekitar 10% dari wanita hami; dengan
penyakit ini mengalamijaundice. '
Penyakit ini disebabkan karena gangguan ekskresi saluran empedu dan ekskresi
bilirubin dari hepotocyte. Ada beberapa pendapat yang mengatal<an bahwa kolestasis
intrahepatik ini disebabkan karena adanya esterogen yang tinggi pada terjadi pada
wanita-wanita yang rentan. Ada juga yang berpendapat bahwa ini merupakan faktor
genetik terutama dihubungkan dengan histokompabilitas tipe HLA-B8 dan HLA-BW 16. 2
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan :
I. Bilirubin direk meningkat
2. Alkalin fosfatase meningkat
3. SGOT dan SGPT meningkat
4. Masa protrombin meningkat
5. Serum (holic Acid, asam (henodeoxy (holic dan asam empedu meningkat.

Diagnosis banding dari kolestasis intrahepatik adalah ;


I. Hepatitis Virus ( hepatitis A, B, C. D, E. EBV dan CMV)
2. Obstruksi ekstra hepatil<
3. Sirosis biliary primer
4. Acute Fatty Liver
5. Gangguan metabolisme (misalnya Dubin-Johnson Syndrome) 2

Managemen pada pasien dengan kolestasis intrahepatik dalam kehamilan adalah


dengan pemberian antlhistamin atau salep topil<al untuk meredakan prlrltus.
Antihistamin yang dapat diberikan adala misalnya dipenhydramine (benadryl) dengan
dosis 25-50 mg, promet.hazine (phenergan) dengan dosis 12.5 mg-25 mg, atau
phenobarbital dengan dosis 15-30 mg. ketiganya dapat diberikan 3x sehari.
Sedangakan untuk gejala yang berat dapat diberikan
I. Asam Ursodeoxycholic rUDCA, Urso)

Oosis: 13-15 mgjkgBBjhari

2. Cholestyramlne rOuestran)
Tidak dapat diberikan pada kehamilan sampai dengan 24 minggu.
Dosis 12-24gjhari. Perlu diikuti dengan pemberian injeksi vitamin K I Omg subkutan
dan asam folat I mgjhati peroral
3. Oexamethason

Dosis 12mgjhari selama 7 hari kemudian tapering off. 1.2

Perinatal morbiditas dapat ditekan pada wanita hamil dengan kolestasis


intrahcpatik dengan perawatan antenatal yang ketat. Penelitian tentang outcome pada
kehamilan dengan kolestasis menunjukk,ln bahwa banyak terjadi kelahiran preterm dan
timbulnya mel<onium stained pada air ketuban. Selain itu ditemukan juga kejadian IUGR
dan stillbirth pada kehamilan dengan kolestasis. 1.2

PPDS I O~a.w..G"~2015 100


29. HEPATITIS VIRUS

Terdapat 5 tipe penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis yaitu hepatitis A,
hepatitis B, hepatitis C, hepatitis 0 yang disebabkan oleh hepaititis B dan hepatitis E.
Semua virus hepatitis adalah RNA virus kecuali virus pada hepatitis B. Virus·virus ini
k.?mungkinan besar bukan hepatotoksik tapi respon imun tubuh kita yang disebabkan
karena virus ini yang menyebabkan nekrosis pada hepatoseluluer kita. '
Gejala-gejala yang timbul adalah nausea, vomitus, nyeii kepala dan lemah,
kemudian timbul/ah jaundice setelah 1·2 minggu. Pada penderita hepatitis A, biasanya
terjadi demam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pengikatan 'serum
transaminase antara 400·4000U/L, peningkatan ini biasanya terjadi saat penderita
terkena jaundice. Serum_~ilirubin juga meningkat antar 5-20mg/dl.

Diagnosis Serological Tests - J

IgM I IgM I Anti HCV I'

HbsAg Anti HAV I Anti HBc


Acute Hepatitis A + I . I - I
Acute Hepatitis B
Chronic Hepatitis B
+
+*
I + I - I

l~_l_~ I
Acute Hepatitis A with
chronis S +* +
Acute hepatitis A dan B + +
Acute Hepatitis C
Ket: * HBAg mungkin hasilnya H karena hasil dlbawah batas
Tabel 1. Penegal<kan diagnosis hepatitis virus berdasarl«m tes serologi I sumber Obstetri
Williams. n"dl

a. HEPATITIS A
Virus hepatitis A adalah jenis 27-nm RNA picornavirus yang ditularkan melalui
makilnan., air dan bisa juga melalui dilrah dengan masa inkubasi selama 4 mingggu.
Tanda dan gejala biasanya nonspesifil< dan sebagaln besar kasus tidak terjadi ikterik pada
penderita, sekalipun terjadi biasanya hanya ringan. Pemeriksaan serologi awal hanya
menunjukkan adanya IgM yang meningl<at selama beberapa bulan. 1
Dianjurkan untuk imunisasi hepatitis A untuk orang-ora'ng yang sering atau akan
melakukan perjalanan ke daerah yang endemik dan pengguna obat-obatan. Imunisasi
untuk wan ita hamil untuk hepatitis A adalah dengan 0,02mljkgBB terutama bagi ibu
hamil yang akan berkunjung ke daerah endemik. 1.2
Selum ada bukti yang menunjukkan bahwa hepatitIs A merupak,~n teratogenik.
Tapi ilda beberapa penelitian yang melaporl<lln adanya kenaikan kelahiran preterm dan
timbulnya cholestasis pada neonatal dari ibu yang menderita hepatitis A. Imunisasi
hepatitis A untuk bayi dosisnya adalah 0,02 mg/kgBB yang diberil<an sesudah lahir. I

b. HEPATITIS B
Infeksi yang disebabkan oleh hepatitis Bini banyak terjadi di beberapa benua
terutama Asia dan Afrika. Penyebab virus inj adalah virus DNA hepadnavirusdimana virus
ini dapat mengakibatkan hepatitis akut yang dapat berkembang menjadi hepatitis kronik,
sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Penularan hepatilisB melalui pemakaian jarum
sunlik, darah dan kontak langsung melalui mukosa dengan cairan tubuh, I
Gejala dari penderitil yang terkena hepatitis B adalah malaise, demam, arthritIs,
urtikaria, jaundice dan bisa juga terkena glomerulonefritis. Masa inkubasi adalah 30-110
hari dan bifa terjadi kronis bisa mencClpai 180 hari. Dari pemeriksaan serologis baru

Pf'DS I ObJt>.ty"~G~20IS 101


terlihat hasil setclah 6-7 minggu dan bila terkena infei<si berat hasilnya bahl«m bisa
terlihat:t 2 minggu sete/ah terpapar virus tersebut. 2
Pemeriksaan serologis dari infeksi hepatitis Bini ditemul<an adanya virus hepatitis B
(dane particle), HBcAg ( hepatitis 8 core antigen), HBsAg ( hepatitis 8 surface antigen),
HBeAg ( hepatitis 8 e antigen)_ Konsentrasl dari virus antigen dan partike/nya dapat
mencapal 10'2/ mL. 01 negara maju setiap wanita hamil dianjurkan untuk melakukan
skrining terhadap infeksi HBV. Bila dijumpai hasil yang positif maka dilanjutkan dengan
pemakaian HBeAg dan HBe Ab_
Penularan ke janin selama kehamilan me/alui transp/asenta sangat jarang
ditemukan. Penularan i<e janin berasa/ dari trasmisi vp.rtikal yaitu pada waktu melahirkan
dan me/a lui AS!. Tindakan seksio caesaria dapat menurunkan penularan pada pasien
dengan positif HBeAg dan HbsAg_ Besarnya resiko penu/aran tergantung jumlah HBV
DNA yang dijumpai dalam darah ibu. HbeAg dan status Hbe Ab sangat berhubungan
dengan penularan pada secara vertikal pada bayi samap bayi berumur 18 bulan_
Infeksi pada neonatal dapat dicegah melalui sl<rinning saat prenatal. Bayi dengan
ibu yang postif heptitis B diberikan imunoglabulin B segera setalah lahir. /munisasi ini
diteruskan sampai 3 kali pemberlan. Penelitian oe/h Hill dkk (2004) menyatakan bahwa
apabiJa imunisasi diberii<an semuanya (3 kali pemberian) maka resiko penularan se/ama
pemberian ASI dapat diurunkan. 1.2
c. Hepatitis C
Hepatitis C disebabkan oleh J rantai RNA yang merupakan kelompok Flaviviridae.
Penularan hepatitis C identii< berhubunga erat dengan hepatitis B. Setelah infeksi alwt,
antibodi anti C baru dapat didetel(si setelah 15 minggu, bahkan beberapa I(asus baru
didetei<si setelah J tahun. Hepatitis C dapat berlanjut menjadi hepatitis kronik. sirosis,
hepatitis fulminan dan karsinoma hepatoseluler.
Belum ada bui<ti bahwa wanita hamiJ dengan hepatitis C dapat beraldbat pada
infeksi neonatal. Dari hasillaboratorium wanita hamiJ hamil dengan hepatitis C ditemul<an
serum transaminase tidak meningkat dibandingkan dengan wanita dengan hepatitis C
yang tidak hamil. Penelitian oleh Conte (2000), HiJleman (2000) dan Paternoster (2001)
dinyatakan bahwa I<emungkinan terjadi penularan secara vertikal dari ibu hamil dengan
hepatitis C ke bayi hanya berkisar sekitar 3· 6 %.. 1

d. Heoatitis D
Hepatitis 0 juga dikenal sebagai hepatitis delta. Virus hepatitis D ini merupakan
virus RNA yang inkomplit yang dapat diiso/asi dari inti hepatitis B. Infeksi virus hepatitis d
terjadi saat Infeksl hepatits B masuk, ini terjad/ karena virus hepatitis 0 tidak mampu
menciptakan kapsul permukaanya dan menggunakan kelebihan HbsAg untuk
membentuk kapsulnya. Diagnosis hepatitiS D dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis
dari IgM dan IgG antibodi sp~sisfil< terhadap HOV.,·2

e. Hepatitis E
Virus hepatitis E adalah virus RNA yang ditularkan dari air yang terkontaminsasi.
Pemeriksaan serologis untuk mengkonfirmasi adanya hepatitis E adalah dengan
pemeriksaan IgM dan /gG anti HEV. Penelitian oleh Khuroo dkk menyatakan bahwa
terdapat bukti yang mendukung adanya penularan hepatitis E secar vertikal termasuk
diantaranya secara transplasenta.,·2

HEPATITIS KRONIK
Hepatitis kronik disebabkan karena infeksi kronis dari hepatitis B dan C. penyebab
lain adalah autoimun hepatitis kronik yang ditandai dengan tingginya serum antinuklear
antibodi. Hepatitis kronik gejalanya tidak spesifik, pasien biasanya hanya mengeluh sering

PPDS I O~da.n.G~2015 102


ke/eJahan. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan serum
tran~amjnase.djagnosjs hepatitis kronik dikonfirmasi dengan biopsi hati.
Wanita hamiJ dengan hepatitis kronik biasanya tidak ditemukan masalah dalam
kehamilannya. Peneliti,tn oleh Wejst dan Norkran yang meneliti kehamilan dengan
hepaititls kronik melaporkan bahwa dari 14 kehamililn 12 mencapai aterm, 1 preterm dan
terdapat I kejadian stillbirth.'·l

SIROSIS HEPATITIS
Sirosis hepatis adalah keadaan disfungsi hati kronis yang diakibatkan oleh
berbagai macam infeksi, penyakit metabolil<. Ada beberapa pendapat penyebab dari
sirosis hepatis adalah postnecrosis cirrhosis dMi hepatitis B dan C yang kronik. Tanda dan
gejala dari sirosis hepatis adalah jaundice, edema, gangguan I(oagulopati, gangguan
metabolik, hipertensi portal dengan varises gastroesophageal dar. splenomegali.
Wanita dengan sirosis hepatis biasanya infertil. Prognosis bayi dan ibunya
diperkirakan dengan apakah ada kerusakan metabolisme ibu seperti adCl atau tidaknya
varises esofagus yang berhubungan dengan hipertensi portal. Pada kehamilan trmester III
sering ditemukan perdarahan varlses kemungklnctn besar berhubungan sengan
peningkCltan volume darah. I<omplikasi lain yang mungkln terJadi gagal hati, kelClhiran
preterm dan IUGR sampai dengan kematian maternal.,,2

WILSON'S DISEASE
Penyakit ini merupakan gangguan resedif autisomal dengan insiden 1 dalam
.100.000 kelahiran hidup. Gangguan yang terjCldi berupa abnormalitas metabolisme
cooper sehingga hati melepas cooper ke sirl(ulClSi umum dan disimpan di dalam jaringan
seperti kornea, ginjal, nekleus lentil<uler otot dan otot itu sendiri. Blasanya pas;en
mengeluh adanya gangguan neur%gi dan penya/dt hati. /<omplil<asi yang bisa terjadi
ada/ah sirosis hepCttis, .
Gambaran /<lasil( dari wilsons disease ada/ah adanya cincin layer fleischer yang
dijumpai di kornea dengan pemeril(saan slit lamp, Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar plasma seroplClsmin yClng rendah, kenaikan serum pada tingkat non
seroplasmin copper, penurunan total tingkat copper plasma dan peningkatan eksl<resi
copper dalam urin, 2

mOMBOSIS VENA HEPATII< atau BUSS CHARIJ SYNDROME


5indrom ini berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi oral, trauma
abdominal, penyakit yang berhubungan dengan hiperkoagulopati seperti polisitemia,
rubra vera dan hemogloninuria paroxymal nocturnal. Gejala dari penYCtkit ini biasanya
adanya keluhan nyeri abdominal yang mungkin akut atau gradual onset dan
kemungl<inan terjadi ascites,
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan transaminase serum dan
bilirubin, Ctlkaline fosfatase, Pemeriksaan doppler velosimetri didapatkan penurunan aliran
darah vena hepatik. Biopsi hati menunjukl<an bendungan sentra lobuler tanpa penyakti
jantung atau obstruksi aliran hepatik yang akan mendukung diagnosis trombosis vena
hepatik. I<ehamilan dengan trombosis vena hepatik dilaporkan mengilkibiltkan mortalitas
sebanyak 50-90%.2

Daftar Pustaka
I. William Obstetrics. 22nd edition. 2005.
2. R. Haryadi. IImu I<edokteran Fetomaternal, Himpunan kedokteran Fetomaternal,
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia

f'PDS I Ob)te.(y(,~G~20l5 '03


30. ANEMIA

Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologis pada komposisl darah. Peningkatan


volume darah total dan perubahan hemostatik diperlukan untuk menghadapi ancaman
perdarahan pada saat persalinan. Selama kehamilan volume darah meningkat sekitar 50%
mulai usia kehamilan enam minggu. danjumlah sel-sel darah merah bertambah sekitar 18­
25%. Keadaan ini menyebabkan hemodilusi sehingga kadar hemoglobin (Hbl menurun
dan disebut sebagai anemia fisiologis kehamilan. World Health Organization
merekomendasikan, bahwa kadar Hb sebaiknya tidak kurang dari II g/dl selama
kehamilan.

ANEMIA DEFISIENSI aESI


Anemia patologis pada kehamilan terutama disebabkan oleh defisiensi besi. Lebih
dari 90% anemia defisiensi besi dikaitkan dengan deplesi cadangan besi dan asupan yang
kurang. Kadang-kadang infeksi dapat menghambat ambilan besi dari I~mpat
penyimpanan ke hemoglObin.
Risiko maternal akibat anemia terutama perdarahan pada saat persalinan. Hal ini
terjadi karena efek defisiensl besi pada transmisi neuromuskular dan periman kontraksi
miometrium dalam membendung aliran darah darl tempat Implantasi plasenta.
Sedangkan risi/(o anemia pada janln adalah pertumbuhan janin terhambat. Janln
mendapat suplai besi dari serum ibu melalui transpor al<tif melewati plasenta. terutama
empat minggu terakhir I<ehamilan. Beberapa penelitianjuga mendapatkan adanya kaitan
gangguan perilaku pada anak-anal< dengan anemia defisiensi besi melalui perubahan
konsentrasi mediator-mediator kimia di otal<.

Diagnosis
Kadar Hb
Kadar Hb I<urang dari 1D,S gjdl pada trimester kedua dan ketiga adalah abnormal
dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Mean corpuscular volume (MCV! < 80 fL, Mean corpuscular Hemoglobin
concentration (MCHCj < 30 gjdL
Fe serum dan Total iron binding capacity (TIBCj
Fe serum dan TIBC dapat memberikan gambaran perkiraan saturasi transferring.
Berl<urangnya saturMi transferring menunjukkan adanya defisiensi suplai besi ke
jaringan. Fe serum kurang dari 12 ~mol/l dan TISC kurang dari 15%
mengindil<asikan adanya defisiensi besi selama kehamilan.
Ferritin
I(adar ferritin ~ 12 ~g/l menunjul<l<an adanya defisicnsi besL

Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untul< meningkatkan kadar Hb dan memulihkan cadangan
besi dengan pemberian preparat besi oral, seperti ferrous sulfat, fumarat atau glukonat,
200 mgjhari. Untuk memenuhi cadangan besi tubuh, terapi oral sebaiknya dilanjutkan
sampai tiga belan atau lebih setelah anemia teratasi.

ANEMIA MEGALOBLASTIK
Anemia mcgaloblastik merupakan kelompok kelainan hematologik yang ditandai
dcngan kcfainan karaktcristik darah dan sumsum tulang yang disebabkan oleh gangguan
sintesis DNA.

PPDS I Ob)tu;-"dc.¥vG~201;
104
Defisiensi Alam Folat
Dj Amcrjkil Serikat Clnemia megalobalstik pada kehamilan hampir selalu disebabkan
oleh defisiensi ilsam folat. I'enyebab defisiensi asam folat adalah asupan makanan yang
kurang. Kebutuhan asam folat meningkat dari 50 J.1gjhari untuk wanita tidak hamil
menjadi 800·1000 J.1g/hari untuk wanita hamil. Fenitoin, nitrofurantoin, trimetoprim, dan
alkohol menurunkan absorpsi asam folat. Defisiensi asam folat dikaitkan dcngan defek
neural tube, solusio plasenta, prekldmsia, prematuritas, dan pertumbuhan janin
terhambat.
Defisiensi Vitamin S12
Penyebab lain anemia megaloblastik yang lebih jarang adalah defisiensi vitamin BIz
yang seringkali disebabkan oleh diet vegetarian jangka panjang atau karena
berkurangnya absorpsi usus akibat enteritis, reseksi gastrointestinal atau giardiasis kronik.

Diagnosis
Pada pemeriksaan laboratorium MCV biasanya > 100 fL dengan MCH dan MCHC
normal. Apus darah tepl menunjukl(an hipersegmentasl netrof/l dan inl<lusi eritroslt. Kadar
folat serum puasa < 6 J.1gjL Inormal 6·12 J.1gjll. HasiJ pemeriksaan laboratorium yang sama
akan dltemukan pada defisiensi vitamin BIz dengan kadar serum BI2 <: 190 ngjL (normal
190·950 ng/L).

Terapl
Defisiensi asam folat diterapi dengan pemberian asam folat J mg per oral tiga I<ali
sehari. Makanan yang merupakan sumber asam folat adalah sayuran berdaun hijau, jus
jerul<. strobed, hati, dan kacang polong. Kadar Hb akan meningkat seeara perlahan dalam
beberapa minggu setelah terapi. Terapi vitamin BI2 memerlukan injeksi cyanocobalamin I
mg selama enam minggu.

ProS I o~"M.rt,G~JV2015 105


31. HEMOGLOBINOPATI: THALASEMlA

Thalasemia ditandai oleh adanya penurunan produksi satu atau lebih rantai
peptida globin. Kecepatan sintesis yang abnormal menyebabkan eritropoiesis menjadi
tidak efektif, hemolisis, dan berbagai tingkat anemia. Kelainan ini diturunkan secara
autosomal resesif. Jenis thalasemia dlkelompokkan berdasarkan defisiensi Jumlah ranta/
globin dibilndingl(an dengan rantai pasangannya. Dua bentuk mayor thalasemia ada/ah
thalasemia c yang disebabkan berkurangnya produksi rantai peptida- c. dan thalasemia ~
yang disebabkan berkurangnya produksi rantai peptida-~. Insiden tha/asemia pada semua
ras diperkirakan 1 dari 300-500 kehamilan.
Diagnosis thalasemia didapatkan dari gambaran anemia hipokromik mikrositik,
dengan MeV <80 FI. Pemeriksaan e/ektroforesis hemoglobin kuantitatif diper/ukan untuk
menegakkan dianosis. Pada tha/asemia ~ homozigot, kadar HbF meningkat 20-60%
bahkan sampai 90%. Pasien homozigot biasanya menderita anemia berat dengan kadar
Hb < 5 gjdL. MeV dan Mel-! menurun, sedangkan jum/ah retikulosit meningkat, Pada
thalasemia ~ heterozigot, kadar HbA 2 meningkat 4-6% dan kadar HbF sediklt meningy.at
11-3%). Jum/ah retikulosit mung kin meningkat 1-3%.
Kadar MeV yang rendah dan kadar HbA 1 yang menlngkat merupakan krlterla
diagnosis untuk carrier. Carrier thalasemia a yang asimtomatik serlngkafi mempunyai
jumlah HbA2 dan HbF yang normal, sehingga studi silsilah keluarga seringkaJi dapat
membantu menentukan diagnosis carrier.
Jika seorang wanita hamil diketahui sebagai carrie!; mal(a pasangannya sebaiknya
diperiksa. Tes prenatal berbasis DNA menggunakan amniosentesis atau chorionic villus
samplingdapat dilakukan bila kedua orangtua adalah carrier.

Terapi
Terapi thalasemia bergantung pada beratnya penyaldt. Carrier thalasemia a
asimtomatik dan thalasemia ~ heterozigot tidak memerlukan terapi spesifik, selain
konseling dan informasi mengenai diagnosis prenatal. Suplementasi besi sebail<nya
diberikan jika ada indikasi berdasarl<an kadar ferritin eritrosit dan kadar ferritin plasma.
Kelebihan besi yang menyebabl<an hemokromatosls merupa/<an akibat dari terapi besl
berleb/h. Paslen dengan thalasemia ~ homozigot mungldn memerlukan transfusi darah
dan splenektomJ. Semua pas/en homollgot memerlul<an suplemen folat untuk
meningkatkan eritropoiesis.

f'P'DS r ObiWrvcUuvG~2015 106


32. TROMBOSITOPENIA

Jumlah trombosit yang rendah kurang dari 1S0.000/lll terjadi pada 5·7%
kehamilan. Tanda-tanda klinis yang sering ditemukan adalah peteki. lebam. epistaksis,
perdarahan gusi, dan hematuria. Paslen dengan jumlah trombosi! di atas 20.000/lll
mempunyai risiko perdarahan lebih rendah daripada pasien dengan jumlah trombosit
kurang dari 20.000/f)L. Penyebab trombositopenia maternal antara lain adalah
trombositopenia gestasional (73.6%/. hipertensi dalam kehamilan (21%), penyebab
imunologik 13.8%/.

Trombositopenia gestasional
Trombositopenia gestasional biasanya merupakan diagnosis eksklusi dengan tiga
kriterla kardinal. yaitu trombosltopenla rlngan ( 70.000-1S0.000/llll. tidak ada riwaya!
trombositopenia, dan tidak ada gejala perdarahan. Patofisiologi trombositopenia
gestasional tidal< diketahui. tetapi diduga berkaitan dengan menigkatnya pergantian
trombosit fisiologis. Trombositopenla gestasional biasanya pulih dalam enam minggu
pasca salin dan dapat tcrjadi kembali pada kehamilan berikutnya, sehingga tidak
diperlukan intervensi dalam penatalaksanaannya.

Idiopathic thrombocytopenia purpura I'TP/


ITP merupal<an penyakit autoimun yang paling sering ditemukiln dalam I<ehamilan.
yaitu 1-2 dar; 1000 kehamilan. Patofisiologi penyakit ini telah diketahui dengan baik,
mcskipun penyebabnya tidak diketahui. Limfosit menghasilkan antibodi antiplatelet yang
bekerja pada glikoprotein permukaan trombosit. Imunoglobin G (lgG) yang melapisi
trombosit kemudian dihancurkan oleh makrofag limpa yang menyebabkan terjadinya
trombositopenia. Pcrjalanan ITP tidal< dipengaruhi oleh I<ehamilan. Transfer antibodi
antiplatelet IgG melalui plasenta dapat menyebabkan janin atau neonatus juga
mengalami trombositopenia

Diagnosis
Trombositopenia tanpa disertai splenomegaJi atau limfadenopati.
Singkirkan kemungkinan penyebab sekunder trombositopenia maternal. sepertl
preklamsia. infeksi HIV. systemic lupus erythematosus, obat-obatan.
Pcmcriksaan susmsum tulang memperlihatkan gambaran normal atau peningl<atan
megakaryosit.
Deteksi antibodi antiplatelet konsi.~ten dengan ITP. tetapi bukan merupakan
diagnostik ITP karena antibodi tersebut juga ditemukan pada 30% pasien dengan
trombositopenia nonimun.

Penatalaksanaan antenatal
Tujuan terapi adalah untuk meningkatkan jumlah trombosit sampai ke jumlah yang
aman, yaitu lebih dari 20.000-30.000/lll.
Jika jumlah trombosit maternal di bawah 20.000-30.000/~l. terapi dimulai dengan
pemberian prednisone 1-2 mg/kg/hari. Oasis kemudian diturunkan bertahap setelah
tercapai jumlah trombosit yang aman. Steroid diketahui menekan produksi antibodi.
menghambat sekuestrasi antibodi platelet. dan mengganggu interaksi antara trombosit
dan antibodi. Dalam tiga minggu 70-90% pasien berespon terhadap terapi.
Pemberian intravenous infusion of gamma globulin (IVIG) dosis tinggi (400
mg/kg/hari selami! lima hari dalam seminggu selama tiga minggu atau 1 g/kg/hari selama
sa~u minggu) direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tidak berespon terhadap
steroid. Mekanisme kerja IVIG adalah dengiln memperpanjans waktu klirens dar; IgG

PPD5IO~a.o.."G~2015
107
yang melapisi trombos;t oleh sistem retikuloendotelial maternal. Delapan penen pasien
yang diterapi dengan IVIG berespon dalam beberapa harl dan mendapat remisi sekurang·
kurangnya tiga minggu. Masalah terapi IVIG adalah pada biaya yang mahal.

ITP dan Trombositopenia Janin atau Neonatal


Sepuluh sampai 1S% kehamilan dengan ITP dikaitkan dengan trombositopenia
berat pada janin atau neonatal Itrombosit < 50.000/1lL). Umumnya tidak adakore/asi
antara jum/ah trombosit janin dan maternal, serta tidak ada hubungan antara adanya
antibodi trombosit maternal denganjumlah trombositjanin. Hal ini disebabkan oleh fakta
bahwa trombositopenia janin tidak hanya berkaitan dengan I<adar antibodi antiplatelet,
tetapi juga oleh sistem retikuloendotelial janin dan kemampuan janin untuk
menghasilkan trombosi!.
Jumlah trombosit neonatus menurun setelah kelahiran, dan mencapai titik
terendah dalam 48·72 jam. Sebanyak 34% neonatus dengan trombositopenia berat
mengalami perdarahan, 1,5% mengalami perdarahan intracranial dengan mortalitas
perinatal 0,5%.

Penatalaksanaan intrapartum
Se/ama beberapa tahun ada asumsi bahwa janin dengan jum/ah trombosit kurang
dari SO.OOO/~L mcmpunyai risiko perdarahan intracranial, sehingga seksio sesarea dipilih
sebagai cara persalinan pada kasus trombositopenia janln berat pada pasien ITP karena
dianggap kurang traumatik daripada persalinan pervaginam. Jumlah trombosit janin
ditentukan dengan melakukan scalp sampling atau kordosentesis. Sa at ini penentuan
jumlah trombosit janin untuk menentukan jenis persalinan tidak direkomendasikan lagl.
Suatu penelitian retrospektif mendapat bahwa kejadian perdarahan intracranial neonatus
dengan persalinan pervaginam lebih rendah daripada dengan seksio sesarea. 10,5% vs
2,0%). Penelitian lain mendapatkan morbiditas yang sama pada neonatus dengan
trombositopenia setelah seksio sesarea atau persalinan pervaginam.

108
PPDS I O~~G~20IS
33. HEMOFILIA

Hemofilia A merupakan penyakit X-linked resesif yang ditandai adanya defisiensi


faktor antihemolitik (faktor VIII: C). Status heterozigot bertanggung jawab atas kelainan
ini. Kelainan ini lebih jarang ditemukan pada wanita daripada pria. Hemofilia A pada
wanita terjadi karena status homozigot yang diturunkan dari dua kromosom X abnormal.
Gambaran genetik dan klinis defisiensi berat faktor IX, penyakit Christmas atau
hemofilia e, hampir menyerupai hemofilia A. Guy. dkk. (1992) mendapatkan lima' kasus
hemofilia e pada kehamilan yang seluruhnya dengan luaran baik.· Mereka
merekomendasikan pember/an faktor IXjika kadarnya di bawah 10%.
Derajat risiko hemofilia sangat dipengaruhi oleh kadar faktor VIII:C atau faktor IX
dillam sirkulasi. Jika kadarnya nol atau mendekati nol. risiI<onya bersifat mayor. Pa da
wanita pembawa (carrier) kadar rata-rata adalah 50%. Jika kadar turun di bawah ! 0-20%.
perdarahan akan terjadi. Faktor-faktor pembekuan terse but meningkat selama I<ehilmilan
normal dan pada pembawa hemofilia A dan B. Desmopressin dapat juga merangsang
pelepasan faktor VIII:'. Risiko perdarahan dapat dikurangi dengan menghindari !aserasi.
meminimalkan tindakan episiotomi. dan memperbaiki kontraksi pasca salin. Kadir, dkk
(1997) melaporkan 20% pembawa mengalami perdarahcm pasca salin dan dua
diantaranya mengalami perdarahan hebat.
Janin laki-Iaki dapat menderita hematoma, baik pada persalinan pervaginam
maupun seksio sesarea. Setelah persalinan risiko perdarahan pada neonatus meningkat,
khususnya jika dilakul<an sirkumsisi.
Jika ibu menderita hemofilia A atau e, semua anal< laki-Iakinya akan menderita
hemofilia. dan semua anak perempuannya akan menjadi pembawa. Jika ibu adalah
seorang pembawa, setengah anak laki-Iakinya al<an menderita hemofilia dan setengah
anak perempuannya akan menjadi pembawa. Diagnosis prenatal hemefilia dapat
dilakukan dengan pemeriksaan biopsi viii korionil<.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Gant NF, Levene I(J, Gilstrap LC, Hauth JC. Wenstrom I<D. William
Obstetrics. 21" Ed. MCGraw-Hili. New York. 2001: 1307-38.
2. James OJ<, Steer PJ. Weiner CPo Gonik e. High Risk Pregnancy: Management Option,
2nd Ed. WB Saunders. London. 2001:729-74.
3. Brandon J. Amy E, Nicholas C. Harold E, Edward E. The John Hopkins Manual of
Gynecology and Obstetrics, 2nd Ed. Lippincot Williams & Wilkins. 2002.

PPD5IO~~G~2015 109
34. TUBERKULOSIS DALAM KEHAMILAN

Definisi dan klasifikasi


Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Infeksi tuberl<ulosis dapat bersifat aktif maupun laten. Infeksi tuberkulosis laten
merupakan suatu keadaan dimana hasil uji tuberkulin positif tanpa disertai gejala dan
gambaran foto thoraks yang normal. Pada orang yang sehat, infeksi yang terjadi ditahan
oleh sistem imun tubuh sehingga tidak menular. Bakteri yang ada tetap hidup tetapi tidak
memberikan gejala. 1.2 Infeksi yang laten ini dapat berubah menjadi infeksi aktif jika sistem
imun penderita menjadi lemah. Hampir sebagian besar kasus infeksi tuberkulosis laten
berubah menjadi infeksi aktif dalam dua tahun pertama setelah terinfeksi. 1

Epidemiologi
Saat ini TB diketahui menginfeksi lebih dari sepertiga populasi dunia atau sekitar 2 miliar
penduduk. 3 dimana 5-10% akiln mengalami peri ode TB aktif.' Lebib dari delapan Juta
orang menderita T9 aktif setlap tahunnya dan sekitar dua Juta dlantaranya menlnggal. J
Leblh dari 95% kasus T8 terjadi di negara-negara berkembang, dlmana 75% kasus terJadl
pada kelompok usia produktif r IS-54 tahun) dengan angka kematlan mencapal 58%. 1.4
Asia merupakan Mea resiko tinggi dengan duapertiga populasinya diperkirakan sudah
terinfeksi T8. Berdasarkan data WHO, sekitar 50% dari delapan juta I<asus baru terjadi
setiap tahunnya di India, (ina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Filipina. 5
Di indonesia sendiri beium ada data yang dapat memberikan informasi tentang
angka kejadian TB pada wanita hamil. Dengan prevalensi TB sekitar 29% 6 maka
penduduk indonesia termasuk keiompok yang beresiko tinggi untuk terinfeksi sehingga
usaha penapisan seharusnya dapat dilal<ukan pada populasi wan ita hamil.

Patofisiologi
Sumber penularan adaiah penderita T8 dengan BTA positif dan penularannya dalam
bentuk droplet. Seseorang dapat terinfel<si jika ia menghirup droplet tersebut ke dalam
saluran nafas dan kemudian menyebar darl paru kedalam bagian tUbuh lainnya melalul
sistem pereda ran darah, sistem saluran limfe atau penyebaran langsung lIe bagian-baglan
tubuh lainnya. Oityit penularan TB dltentukan oleh jumlith Ilumitn yitng dlkeluitrkan darl
paru. Witktu yang dlperlul<an dari infeksl sampai pembentukan kompleks primer adalah
sekitar 4-6 minggu. yang dltandal dengan perubahan reaksi tuberkulin darl negatlf
menjadi positif.'

Diagnosis
Usaha untuk penapisan T8 pada I<ehamilan tidak berbeda dari penapisan T8 pada
populasi umum. Di negara-negara maju, penapisan untuk TB pada kehamilan tidak
dilakukan secara rutin. Tetapi hal ini harus dilakukan pada wanita hamil dengan gejala­
gejala TB yang jelas, terinfeksi HiV, berhubungan erat dengan orang-orang yang
terinfeksi T8, masyarakat yang berasai atau baru tiba dari daerah dengan prevalensi TB
yang tinggi.,·a.9.1o CDC dan ATS merekomendasik.m usaha penapisan dan pengobatan
pada kelompok resiko tinggi untuk mengurangi kasus TB aktif baru ITabel 1).2.9.10

PERPUSTAKAAN KELURABAy.(·

PPDS.I OBSTETRI & GlNEKOLOGI

FK UNAIR {RSU Dr. SOETOMO

110
PPDS I Ob:tUYvdMl.oC;~2015
Tabel 34. ,. Kelompok yang ditargetkan untL!k mendapat uji tuberkulin 2
Ri.k 1....1 T"'1:"t f"'uP PPD (in mm induration)
High Conucu of tuberculosl. potlonts'

FlbrO!IC (narces on ch... radl",,'ph'"

O'l"n !"n.p"" p:Idents"~

Pe~olll on prolonged corccost...dd th.rnpt~

Mod....'. Recent immlgrar.ts from hign..prevaltl1c'J countries'" 10

Inle<uon drug use'S"

Homeless persons"

Resident Cf employee of high.risk congregate $etong"

Mycob",terioIof11,bo... ,OfY olT'flloyee"

Persons with cert1.ln dinical conditions (silicosis. di;abetes mellitus.

ronal (;,llIre. underwoighL gosat"omy. cemin ClI1C.~I'·'

ChIldren younger than i :ta".'

Infants. children. or ,dolescents eoposed to hlg/l.'isk .dull"

Low T'!sting not recommended IS


Tht C.nlen (or Dllnlt' Control r"ommtnd, tftling ror ~nyone with nok for re,.m tlJbefCuloJlllnlf~tlon' or with l!'Iu",fod nsk for progrl!\llon

to.1cO'''' diu:ne.....

PPO--punfied prouin ckriutr.. t.

Alur yang disarankan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2005 adalah sebagai berikut :
4

Tcrsangb Til

Pcriks:l dahak. Sewaklu, Pat;i. Sewaklu (SPS)

L llJ~il

"~;,'"
HJ~Ji

~:::: ~
I

PPDS I OiJ>wy"do"n,G~2015 111


Penatalaksanaan
Schaefer dkk. memperoleh hasil bahwa TB yang mendapat OAT. selama kehamilan 88%
penderila T8 ekstrapulmor'al dan 91% penderita T8 pulmonal mengalami perbaikan dan
berada dalam kondisi slabil. Selain itu kehamilanjuga tidak merubah gambaran klinik dari
suatu T8 paru. Pemberian terapi OAT pada ibu hamil dengan tuberkulosis pada prinsipnya
sama dengan pasien yang tidak hamil. Pada tabel 2 di bawah dapat dilihat efek samping
dari keamanan OAT dalam kehamilan dan masa laktasi.

Tabe/34.2. Efek samping OAT pada kehamilan dan laktasi"


Dru~ Nanlo ~':J.tem.11 Sidj? ElTtlca F,I.I E[ocl. BF
Isoniazid H"paliti:L C! Ji$lro:.ss. S"iIUN~. poaripbor.t.l MiI\' cau»" ct'lntnl n"''t':ou~ s,.r~ S.(ol
D.. ur,)p~th!·. byp"n;{lnslti\"ity roactioru: $\'olI1901 loxicitv if
p~,;doxintl no',
supplgmgntod
Rifampin HtlpOltitis. CI distIiI::>::;. filbril", ftlactic.m. Nong rl1por1tld Silio Saro
purpUI"il. orill1f:iI s9mttions. acc¥l"r;Hw~
lb. m9tabolisrn of nww medicatioN
Ethambutol Rl'trobulbar npurit!:i-blu'rr;d \;$ion. Non" r~rorh",\ Sarti S.flil~· .
contra! scotomata, hH!·sri"iln
discrimination difficult\,
f'yr.uin.unicio G! dislr(·ss. ioUh. arlhral~ii:l. Lack of .:Lila lInk'H)Wn ,l,"c,id
h~'pilruricflnlid. h{lpOltiti~
Stroptomycin Otc·loxicity. rk'phrol,:.xicity OtotlJxlcitv S..d(\ Avoid
Ethionamid.l GI distr!?s:>. pC.:O:llltai h~·p(.olo;11):lion. eNS Nontl (>;;t.ibli~hflJ '-'nknown .-\\'"jo1
dilprt1ssioD. Th.'palotoxicity.
hypilT::M1Siti ',it\
~anam"'cin Ototoxicity. noJpbrot.,xicity Nonn I:IsUbli$h"d 5.1[.. Av,)iri
Cdprt10rnycin r.:~otoxicily. lluphro!Qxic:ity.l>l)sin.::>philia. Nonllli.slabli:;h,loi l'nkn·')',vn ;\xoid
l:;:;.r.::j.ml pl'Qt.linuira
Paraaminosalicylic ticiJ Gl Ji$lrG~s. lIInon.. ma. htipalilLoi. ~odium Non... .;.:;Iablishtld _l'nm':",\1\ S.if..
load
Cyciosll:rinlJ Gl5 disturbanc"s. p$~·,:hosi~. s~izuro:5. Non" ('sl~blishcd y\)~ No
dr(lwsiMSS
OF .. bf\>.utfoocdinq COlI"fll!ll.!", P ~ \J.Jt> In pl.,.,nl11Cy

Pengobatan untuk infel<si laten sebelumnya disebut sebagai terapi preventif atau
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya TB aktif. Akan tetapi. karena paslen inl
sebenarnya memang sudah terlnfeksi, maka The Americiln Thorilcis Society (ATS)
merekomendasikan terapi pada kasus ini sebagai pengobatan infeksi T8 laten.' Pada tabel
3 dapat diliat dosis dan durasi pengobatan infeksi TB laten pada kehamilan.

2
TabeI34.3. Obat. dosis dan jadwal pemberian terapi infeksi TB laten pada l<ehamilan
c.:oml'T'l<!nts
[5>"'l! DUr.ltlon of treatment Dose

"'g Pyridoxme should be £l . . cn to prevent perlpher:ll


b.oni:\2ld ~dy for 9 nlonth~ )00
T",""ce weelUy for 9 months 900mg neuroplthy
D:llly for 6 moolh5 )OOn~
T"""1Ce ~KJY for 6 rnonth~ 900mg
D.l.dy for 4 n\O('lth~ (£()mg Useful for tllO\C ....-ho ;\rc contlcU of pJOet"lU With
RlfJmpn
isoni3Zjd.re~lu:m[ TS
(£() "'(flOg: Pyr.wn:lnllde should be ;I\(olded In prcgn.lncy but
Rib01!'n ... ,h D:Il:y for 2 month~

T....... Cc ~kly (or 2-3 rront.h~


(£() 01(14.0 g' an be used ~fter the (Ir..t tnmeHer In women wun
pyrJZlrwride
HIV infeeoon
D:tdy for 2 mOfl!h5
)00 n>g Given to repl:\ce rif~rrf>ln In nbrrplrJp)1":wnamlc1e
Rjbbunn regimen for.HIV.po'ItI..... P;'Iue"u tJkmg cercin
T.....,ce "",,"lJY (or 2-3 n'lonth~
)00 r.>g
:mci"'r:\! medications

'Rd3mpln don
~Jlll'\Jmlde dOlt
,l.doplt4 (rotn Amenc.ln ThorJClc SO~lety Ie")

fI2
PPDS I O&;tw&~G~20J5
Pada wanita hamil yang terinfe/(si TB baik yang memberikan geja/a atau tidak, /<ita
harus mempertimbangkan pada keadaan bagaimana saM wanita tersebut melahirkan
bayinya. Hal ini berkaitan erat dengan tindakan yang harus diambil pada saat bayi
tersebut lahir. Penata/aksanaan bayi yang lahir dari ibu dengan TB paru sangat
tergantung dari keberhasilan pengobatan yang dUa/ani ibu tersebut. Jika pengobatan
dianggap berhasil dan tidak terdapat bukti terdapatnya infeksi aktif, maka bayi tersebut
tidak perlu diberikanterapiOAT.'l Jika ibu menderita TB paru aktit yang tidak terkontro/,
sebaiknya dilakukan pemisahan bayi dari ibu untuk menghindari penu/aran, sampai ibu
selesai menjalani terapi OAT dan berada pada tahap tidak menu/ar. B.ll Begitu pula
dengan anggota keluarga lainnya yang menderita TB paru aktif, sebaiknya dipisahkan
dulu dari bayi sampai sembuh dan pada tahap tidak menular,
Jika dari hasil evaluasi bayi dinyatakan tidak menderita TB kongenital, Isoniazid
IiNH) dapat diberikan dengan dosis 5-1 OmgjkgBB/hari sebagai terapi profilaksis, bila ibu
masih dalam pengobatan TB paru aktifnya. Terapi INH profilaksis yang diberikan adalah
sebagai usaha aktif untuk mencegah perkembangan penyakit lebih lanjut pada bayi.
Selama terapi. bayi juga diberikan piridokSin sebagai tambahan.'z Selain itu juga
dianjurkan agar bayi menjalani tes tuberkulin pada umur 1 dan 3 bulan. Jika hasil tes
tuberkulin negatif pada 3 bulan, pengobatan dapat dihentikan, selama ibu juga sudah
berada pada tahap tidak menular serta diberikan imunisasi BCG. Pada bayi yang
simptomatis, pengobatannya sama dengan dewasa dan dosimya dises'Jaikan dengan
berat badan bayi.

Prognosis
Infeksi TB selama kehamilan dapat menimbulkan resiko komplil<asi baik bagi ibu dan
bayinYil. 1.'3.14"5 I{riteria klasik untuk men diagnosis tuberl<ulosis kongenital dibuat oleh
Beitzke pada tahun 1935, yaitu 1) diagnosis harus terbukti secara bakteriologis 2) harus
ditemukan I(ompleks primer pada hepar 3) penyakit muncul pada beberapa hari pertama
kehidupan 4) tidak terdapat kemungldnan transmisi postnatal padajanin saat I<elahiril"
yang berasaJ dari ibu maupun orang-orang disekitarnya. Cantwell dlll(. melakukim revisi
dari kriteria awal karena dipikirkan masih ada kemungkinan lain untuk terjadinya TB
kongenital, yaitu 11 penyakit muncul pada minggu pertama keh;dupan 2) ditemukan
kompleks primer pada hepar atau granuloma 31 trClnsmisi infeksi dapat melalui plasenta
atau sClluran genitalia ibu 41 tidak terdapat kemungkinan transmisi postnatal pada janin
saat kelahiran yang berClsal dari ibu maupun orang-orang disekitarnya.'4.' •. '7

REFERENS I
1. Ross L, Goff M.l.iHent tuberculosis infection and BeG vaccination. JMWH 2005;50;344-7
2. Bergeron KG. Bonebri'lke RG, Gray CJ. Latent tUberculosis in pregnancy: screening and trecltmen1. Current
Women', He.I<h Report 2003;3:303,8
3. World Health Orgcmization. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for Nation,)/ Progr.lmmes 3'" ed.
Genev.:WHO;2003
4, Pedoman Nasional Penan99ulan9an Tubcrkulosis. Cetakan ke·? Oeparteman Kc.schiHim Republik Indonesia,
J.kart.2005
5. Affandi B. Tuberculo,i, in pregnancy. ALARM
6. Aniwidyanin9,;h W. Adil.m. TY. Vak'in ruberkulo,;, berb.,i, DNA. J Re.p" Indo 2003:23:34·42
7. Tripalhy SN. Tuberculo,i! and pregnancy.lnl J Gyn Obs 2003:80:247,53
s. T8 and pregnancy. Management control and prevention of TBC. Guidelines for heillth (Me providers 2002-2005
9. Ru,mi.tiA. Ujllubercu'in.J Respir Indo 1997:11:210·4
10. Tuberculin skin testing policies and protocols. TB policies: skin tesrin9_ P 1·10
I I. Vo QT, SI.nler W, Crowley K. Pulmonary luberculo,isin pregnMcy. Prim Care Updale Ob/Gym 2000;7:244·9
12. Briggs GG, Freemiln RK, Yaffe 5J. Orug in pregnancy and lactation, SUO ed. Uppincon Williams 6. Wilkins, '998
13. Oamian RF, Arredondo-G;ucia Jl. Neonatal outcome of children born '10 women with tuberculosis. Arch Mrd
Research 2001:32:61>-9
14. Ormerod P. Tuberculolil in pregnancy and Ihe puerperium. Thom 2001:56:494·9

Pf'VSJO~~G~2015 '13
1S. Jana N. Val:ishta K. Saha se, Ghosh K. Obstetrical outcomes among women wIth extrapulmonary tuberculosis. N
Engl J Mod 1999;341;645-9
16. Miller KC. Millcr JM. Tubcrculosis in pregnancy: interactions. diagnosis and management. Clin Obs Gyn
1996;39: 12()'42
17. Canewell MF. Sheh.b ZM. Coslello AM el.l. Congenital tuberculo.is. N Engl J Mod 1994;330: lOS 1·4

PPDS I ObJtuYvdo..vG~2015 114


35. MALARIA OALAM KEHAMILAN

Pendahuluan.
Malaria adalah penyakit yang disebabkan protozoa dan disebarkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles. Protozoa penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodium yang
dapat menginfeksi manusia maupun serangga. Terdapat empat spesies Plasmodium yang
menyebabkan mafaria pada manusia yaitu vivax, ova fe, malariae dan fCllsipClrum. Diduga
penyakit ini berasaf dClri Afrika dan menyebar mengikuti gerakan migrasi mClr1usiCl melCllui
pClntai Mediterania, IndiCl dCln AsiCl TenggarCl. NamCl mafariCl mulCli dikenClf sejak zaman
kekaisaran Romawi, dan kata malClria berasal dClri bahasCl ItClliCl yang berClrti udClra kotor
dCln biasajugCl disebut dengan istilClh demClm Romawi.
Saat ini diperl<irakCln sedikitnya terjadi 300 juta f<asus malaria akut di duniCl setiap
tahunnyCl, dan menyebabkan I sampai 3 juta kematian per tahun. Sef<itar 90% penyakit
ini terjadi di benua Afrika dan terutama menyerimg anak·anak balita. Penyakit ini telah
dieradikasi secara efektif di benua Eropa dan sebagian besar Amerika Utara. kecuali di
sebagian Meksiko.
Malaria dalam kehamilan merupakan masalah obstetri. masalah sosial dan masalah
medii yang membutuhl<an penClnganan multidisipHn dan multidimensi. Wanita hamil
merupakan kelompok USiCl dewasa yang paling tlnggi risikonya untuk terkena penyaklt
ini.. Oi dClerah endemik malaria sekitar 20 - 40% bayi yang dilahirkan mengClIami berat
lahir rendah.
Sejumlah dClerClh tertentu dl Indonesia terutamCl yClng berClda di dClerah pantai dan
rClwa. merupakan daerah endemis mClIClria, sehingga penyafdt ini masih merupakan
masalah kesehatan yang besar di Indonesia. Tingginya I<ejadian penyakit malaria di
Indonesia akan berdampak tingginya kejadian penyaklt malaria dafam f<ehamifan,
sehlngga dibutuhkan pemahaman darl segl diagnostik dan pengelolaan penyakit malaria
dalam kehamilan dalam upaya menurunkan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan bayi.
rufisan inl akan membahas penyakit malaria dafam kehami/an serta upaya pencegahan
dan pengefolannya.

Penyakit malaria dalam kehamilan.


Gejala dan komplikasi malaria selama I<ehClmilan berbedCl·beda tergantung dari
intensitas transmlsi dan berhubungan langsung dengan tingkat imunitCls ibu hClmil.
Terdapat dua f<ondlsl yang berpotensi menghambat t1mbulnya gejala malaria dlsebabkan
perbedClCln imunitCls. yit"ltu sebClgCli berikut:

1. Daerah epidemik atau transmisf malaria rendah.


Wanita dewasa yang belum pernah terkena parasit dalam jumlah banyak. seringkaH
menjadi sakit bila terinfeksi oleh parasit pertama l<aH. Ibu hamil yimg tinggaf didaerah
dengan trammisi rendah mempunyai risiko 2 sampai 3 kali lipat untuk menjadi sakit
yang berat dibandingkan dengan wanita dewasa timpa kehamilan. Kematian ibu
hami! biasanya diakibatkCln ofeh penyakit ma/arianya selldiri atau akibat langsung
anemia yang berat. Masalah yang biasa timbul pada kehamilannya adalah
meningkatnya kejadian berat bayi lahir rendah. prematuritas. pertumbuhan janin
terhambat, infeksi malaria dan kematianjanin.

2. Daerah dengan transmlsf malaria sedang sampai tinggi.


Pada daerah ini kebanyakan ibu hamil telah mempunyai kekebafan yang cukup.
karena telah sering mengalami infeksi. Gejala biasanya tidak khas untuk penyakit
malaria, yang paling sering adalah berupa anemia berat dan ditemukan parasit dalam

PPD5 I O!"tuyi-""""G~2015 115


plasentanya. Janin biasanya mengalami gangguan pertumbuhan, dan selain itu
menimbulkan gangguan pada daya tahan neonatus. Kematian ibu hamil aklbat
malaria di benua Afrika mencapai puluhan ribu tiap tahunnya, 8 - 14% ibu hamil
melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah, selain itu 3 - S% mengalami
kematianjanin dalam rahim.

Penyakit malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi,
. perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat penyakit malaria
mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah
masalah bagi ibu hamil,janin maupun dokter yang menanganinya. Penyaldt malaria yang
terutama disebabkan plasmodium falciparum dapat menyebabkan keadaan yang buruk
pada ibu hamil. Seorang primigravida yang terkena penyakit malaria umumnya paling
mudah mendapatkan komplikasi berupa anemia, demam. hipoglikemi, malaria serebral,
edema paru, sepsis puerperalis bahkan sampai kematian.

Gejala klinis.

Selama kehamilan, lebih dari setengahnya memberikan manifestasi klinis yang atipik,

yaitu berupa :

. Oemam:

Pasien dapat mengeluhkan bermacam-macam pola demam mulai dari tanpa demam.
demam tidak terlalu tinggi yang terus menerus hingga I<e hiperpireksia. Pada trimester
kedua kehamilan gambaran manifestasi klinis yang atipik lebih sering terjadi karena
proses imunosupresi.
- Anemia
Oi negara berkembang yang biasanya merupal<an daerah endemis malaria, anemia
merupakan gejala yang paling sering ditemukan selama kehamilan. Penyebab utama
anemianya adalah karena malnutrisi dan penyakit cacing. Oalam kondisi seperti ini
penyakit malaria akan menambah berat keadaan anemianya. Penyakit malaria sendiri
bias memberikan gejala dengan manifestasi anemia, sehingga semua kasus anemia
harus diperiksa kemungkinan kearah penyakit malaria.
- Splenomegali
Pembesaran limpa bias terjadi pada penyakit malaria, dan I<eadaan ini akan
menghilangpada trimester kedua kehamilan. bahkan splenomegali yang menetap pada
keadaan sebelum hamil bisa mengecil selama I<ehamilan.

Komplikasi.
Komplikasi penyai<it malaria cenderung akan lebih sering dan lebih berat dalam
kehamilan. Yang sering timbul adalah edema paru. hipoglikemi dan anemia. Komplikasi
yang lebih jarang terjadi adalah kejang, penurunan kesadaran, koma, muntah-muntah
dan diare dan lain-lain.
Anemia
Penyakit malaria dapat menyebabkan anemia dan juga dapat memperburuk keadaan
anemia yang sudah ada. Hal ini disebabkan hal berikut :
I. Hemolisis eritrosit yang diserang oleh parasit
2. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
3. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat.
Anemia yang disebabkan oleh penyakit malaria terjadi lebih sering dan lebih berat
pada usia kehamilan antara 16 - 29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya
dapat memperberat keadaan anemia ini. Anemia meningkatkan kematian perinatal
serta kesakitan dan kematian maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema pZlru
dan perdarahan pasca salin. Anemia yang signifikan ( Hb < 7 - 8 gr%) harus ditangani

116
WDS I Ob>atYodM..G~2015
dengan memberikan transfusi darah. S(:baiknya diberikan packed red cells
dibandingkan dengan pemberian whole blood, untuk mengurangi tambahan volume
intravaskuler. Transfusi yang rerlalu cepat terutama bila whole blood akan
menyebabkan edema paru.
- Edema paru akut
Edema paru akut adalah komplikasi malaria yang lebih sering terjadi pada wanita hamil
daripada wanita tidak hamil. Keadaan in; bias ditemukan saat pasien datang atau baru
terjadi setelah beberapa hari' dalam perawatan. Kejadiannya lebih sering pada
trimester 2 dan 3. Edema paru akut akan bertambah berat karena ada anemia
sebelumnya, dan adanya perubahan hemodinamik dalam I<ehamilan. dan kelainan ini
sangat meningkatkan risiko kematian.
- Hipoglikemia
I(eadailn merupal<an komp/ikasi yang cukup sering terjadi dalam kehamilan de-rigan
penyakit malaria. Faktor·faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia adalah
sebagai berikut:
J. Meningkatnya kebutuhan glukosa karen a keadaan hiperl<ataboliV dan infeksi
parasit
2. Sebagai respon terhadap starvasijkelaparan
3. Peningkatkan respon pulau-pulau pankreas terhadap stimulus sekresi /misalnya
guinine) menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglil<emia.
Keadaan hlpoglil<emia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat bersifat
asimtomati/< dan dapat luput terdeteksi l<arena gejala-gejala pada hipoglikemia juga
menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil dan lain lain.
Pada sebagian pasien dapat menunjukkan geja/a tingkah laku yang abnormal seperti
kejang, penurunan kesadaran. pingsan dan lain· lain yang hampir menyerupal geJala
malaria serebra/. O/eh I<arena itu semua wanita hamil yang terinfel<si malaria falciparum.
khususnya yang mendapat terapi quinine harus dimonitor I<adar gula darahnya setiap 4-6
jam sekali. Hipoglikemia juga bisa re/<uren sehingga monitor 1<adar gula darah horus
selalu dilal<u/<an.
I<adang-l<ildang hipog/ikemia dapat berhubungan dengan lal<tM asidosis dan
pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat. Hipoglikemia maternal
juga dapat menyebabkan gawatjanin tanpa ada tanda-tanda yang spesifil<.

lmunosupres;
Keadaan imunosupresi dalam kehamilan dapat menyebabkan infeksi malaria yang
terjadi menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi. infel<si malaria sendiri dapat
menekan respon imun.
Perubahan hormonal selama kehamilan menurunl<an sintesis imunoglobulin,
Penurunan fungsi sistem retikuloendotelial merupakan penyebab imunosupresi da/am
kehamilan. Hal in; menyebabk.:tn hilangnya imunitas yang didapat terhadap malaria
sehingga ibu hamil lebih renlan terinfeksi malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih
berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami demam
paroksismal dan mengalami kekambuhan.
lnfcksi sekundcr berupa infeksi saluran kencing dan pneumonia serta syok
septikemia juga lebih sering terjadi dalam kehami/an karena keadaan imunosupresi ini.

Risiko Terhadap Janin


Malaria dalam kehamilan menimbulkan permasillahan bagi janin. Tingginya
demam, insufisiensi plasenta. hipoglikemia, anemia dan komplikasi·komplikasi lain dapat
menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan P. fa/cipilrum dapat

PPDS I O/nWn.da",G~lOI5 117


menimbulkan masalah bagijanin, akan tetapijenis infeksi P. falciparum lebih serius karP.na
di/aporkan insidensi mortalitasnya tinggi. Akibat yang terjadi dapat berupa abortus
spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam rahim, insufisiensi plasenta,
gangguan pertumbuhan janin (/<ronik/temporer), berat badan lahir rendah dan gawat
janin. Selain itu penyebaran infeksi secara transp/asental ke janin dapat menyebabkan
malaria kongenital.

Malaria kongenital
Malaria kongenital sangatjarang tf'rjadi, diperkirakan timbu/ pada <5% kehamilan.
Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta dapat melindungi
janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada populasi non imun dapat terjadi malaria
kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria. Kadar quinine plasma janin dan
k/orokuin sekitar 1/3 dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini
tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat
menyebabkan malaria kongenital, tetapl yang lebih sering adalah P. malariae. Pada bayl
baru lahir dapat terjadi demam, iritabilitas, masa/ah minum, hepatosp/enomegali, anemia,
ikterus dan lain lain, Diagnosis dapat ditegak/<an dengan me/akukan pemeriksaan apus
darah tebal darl darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam satu minggu
sesudah lahir. Diagnosis bandingnya ada/ah Inl<ompatibilitas Rh, Infeksi CMV, Herpes,
Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis.

Penatalaksanaan Malaria dalam Kehamilan ,


Ada 4 aspek yang sama pentingnya untu/< menangani malaria da/am kehamilan,
yaitu:
1. Pencegahan transmisi
2. Pengobatan malaria ",
3. Penanganan kompli/<asi
4. Penanganan proses persa/inan

1. Pencegahan Transmisl #IIfIr


Terdapat upaya yang dapat dilakukan untul< pencegahan transmlsi selama
kehamllan, yaitu:
a. Pemberlan obat miliaria profilaksls
Pemberian obat profilaksis selama kehamilan dianjurl<an untuk mengurangi risiko
transmisi diantaranya dengan pemberian klorokuin basa 5 mg/kgBB (2 tablet) -

sekali seminggu. tetapi untuk daerah yang resisten. klorolwin tidak


dianjurkan pada kehamilan dini namun setelah itu dapat diganti dengan
meflokuin. Pemberian profilaksis pada ibu hamil diatas 20 minggu dapat
mengurangi malaria falsiparum sampai 85% dan malaria vivax sampai 100%.

Profilaksis klorokuin menurunkan infeksi plasenta yang asimtomatik menjadi


4% bila dibandingkan tanpa profilaksis sebanyak 19%.
b. Pemakaian kelambu
Pemakaian kelambu dinilai efektif untuk menurunkan jumlah kasus malaria dan
tingkat kematian akibat malaria pada ibu hamil dan neonalUS. Penelitian di Afrika
memper/ihatkan bahwa pemakaian kelambu setiap malam menurunkan kejadian .....
berat badan lahir rendah atau bayi pematur sebanyak 25%. Kelambu sangat
disarankan terutama pada kehamilan din; dan bila memungkinkan se/ama
kehamilan.

118
??DS I Ol»tW(,d"",,,G~v2015
2. Terapi Malaria
Obat-obat antimalaria yang sering digunakan tidak merupakan kontraindikasi bagi
wanita hami!. Beberapa obat antimalaria yang lebih baru memiliki aktivitas antifolat
sehingga secara teoritis dapat berperan menyebabkan anemia megaloblastik dan
kecacatan pada kehamilan dini. Tetapi perlu difikirkan pada daerah dengan resisten
klorokuin kesehatan ibu adalah yang utama sehingga pemakaian obat yang efektif
membunuh parasit tetap dianjurkan bila kondisi ibu memburuk.
Malaria dapat menimbulkan masalah yang fatal bagi ibu hamil dan janirinya, oleh
karen a itu setiap ibu hamil yang tinggal di daerah endemis malaria selama masa
kehamilannya harus dilindungi dengan kemoprofilaksis terhadap malaria.' Hal ini
merupakan bagian penting dari perawatan antenatal di daerah yang tinggi
penyebaran ma/arianya.
Obat antimalaria da/am kehamilan
Semua trimester ; Quinine, Artesunate/artemether/arteether
Trimester dua ; mef/oquine, pyrimethamine/su/fadoxine
Trimester tiga ; sama dengan trimester 2
Kontraindil<asi : primaquine; tetracycline; doxycycline; halofantrine

3, Komplikasi Malaria
Malaria serebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsifarum, suatu perubahan
sensorium yaitu mimifestasi tingkah laku abnormal pada seorang penderita dari yang
paling ringan sampai koma yang dalam. Berbagai tingl(atan penurunan kesadaran
berupa delirium, mengantuk sopor, dan berkurangnya rangsang terhadap sakit
terjadi pada keadaan ini. Gejala lain dapat berupa kejang, plantar ekstensijfleksi,
pandangan divergen, kekakuan leher, dan lain-lain.
Penanganan pasien dengan l<ema membutuhkan penanganan yang komprehensif
dan keahlian khusus, Tetapi prinsip utamanya sam a pada malaria lainnya yaitu
pemberian anti malaria, sedangl(an l<endisi tidal< sildar membutuhkan perawi1tan
I<husus.

Edema paru akut


Oil<lkul<an pemberian c<lirnn ynng dimonitor deng<ln I<ctnt; tidur dengan posiSi
setengah duduk, pemberian o/(sigen, diuretik dan pemasilngan venti/iltor bilil
diperlul<an.

Hipoglikemia
Pemberian del(strosa 25-50%, 50-100 cc i.v., dilanjutkan infus dekstrosa 10%.
Glukosa darah harus dimonitor setiap 4-6 jam untul< mencegah rekurensi
hipoglil(emia.

Anemia
Harus di berikan transfusi bila kadar hemoglobin ( 8,0 g%.

Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi pre prenal karena dehidrasi yang tidak terdeteksi atau
renal karena parasitemia berat. Penanganannya meliputi pemberian cairan yang
seksama, diuretik dan dialisa bila diperlukan.

Syok septikemia,hipotensi, algid malaria

f'PDS ! O~~G~2015 119


Infeksi bakterial sekunder seperti infeksi saluran kemih, pneumonia dll, sering
menyertai kehamilan dengan malaria. Sebagian dari pasien-pasien tersebut dapat
mengalami syok septikemia, yang disebut 'algid malaria'. Penanganannya adalah
dengan pemberian cephalosporin generasi ketiga, pemberian cairan, monitoring
tanda-tanda vital dan keluar masuk cairan.

Koagulopati
Perdarahan dan koagulopati jarang ditemukan di daerah endemis pada negara­
negara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria.
Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada
kulit berupa petekie, purpura, hematoma, perdarahan gusi dan hidung serta sa luran
pencernaan.
Pemberian vitamin K 10 mg intravena bila waktu protrombin atau waktu
tromboplastin parsial memanjang. Hindarkan pemberian kortikosteroid untuk
trombositopenia, perbaiki gizi penderita.

Ikterus
Manifestasi ikterus pada malaria berat serlng dijumpai di Asia dan Indonesia yang
mempunyai prognosis buruk.
Tindakan:
Tidak ada terapi spesifik untLII< i/<terus. Bila ditemukan hemolisis berat dan HB sangat
rendah beri transfusi darah

Transfusi ganti
Transfusi ganti diindikasikan pada kasus malaria falsiparum berat untuk
menurunkan jumlah parasit. Darah pasien dikeluarkan dan diganti dengan pi/eked sel.
Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus parasitemia yang sangat berat
(membantu membersihkan) dan impending oedemi/ paru Imembantu menurunl<an
jumlah cairan).

4.Penanganansaatpe~alinan
Anemlil. hipoglikemia, edema paru dan infeksi sekunder akibat malaria pada
kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu maupun janin. Malaria
falciparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan risiko mortalitas yang tinggi.
Distres maternal dan fetal dapat terjadi tanpa terdeteksi. Oleh karena itu perlu
dilakukan monitoring yang baik, bahkan untuk wanita hamil dengan malaria beat
sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif.
Malaria falciparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan persalinan
prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan dengan
tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak terdeteksi. Oleh
karena itu perlu dilakukan monitoring terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung
janin untuk menilai adanya ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta
bradikardia atau deselerasi lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi
uterus karena hal ini menunjukkan adanya gawatjanin. Harus diupayakan segala cara
untuk menurunkan suhu tubuh dengan cepat. baik dengan kompres dingin.
pemberian antipirctika .Ieper!i parasetamol, dU.
Pemberian cairan denan seksamajuga merjupakan hal penting. Hal inJ disebabkan
baik dehidrasi maupun overhidrasi !larus dicegah karena kedua keadaan tadi dapat
membahayakan baik bagi ibu maupun jan in. Pada kasus parasitemia berat, harus
dipertimbangkan tindakan transfusi ganti.

120
PPDS I o!J,ruy"d.o..vG'~20JS
Bila diper/ukan. dapat dipertimbangkan untuk me/akukan induksi persa/inan. Kala
II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat indikasi pada ibu atau
janin. Seksio seSilr~a dilakukan berdasarkan Indikasi obstetrik.

REFERENSI
I. Cunningham F.G. Gant N.F. Leveno KJ. Gilstrap L.C. H"uth J.C. Wenstrom K.D. William, Obnelrics. 21" ed. New
York: McGraw Hill.200 l.p.1461·83. .
2. SitmpSon JE, Gravett MG. Other infectious conditions in pregnancy. In: James DK Steer PJ:~Weiner CP, Gonik B,
cds. High Risk pregnancy management 0plions. 2"' ed.London: W.B.Saunders; 2001.p.559·98.
3. Gibbs RS. Sweet RL. Ou7fWP. Maternal and feral infectious disorders. In: Creasy RK. Resnik R. loms JD.eds. Malernal·
felal medicine prinCiples and practice. Phil"delphia: Saunders; 2004.p.741·802.
4. FMO S. Patorck JG.Perin<lral infections.ln: Knuppel RA. Orukkcr JE,eds. High '15k pregn<lncy it team approach. we
l"unders comp"ny; 1993.p. 97·138.
S. Andrews W'J/, Gilstrap le. Urinary tract Infections. In: Gleicher N. Gall SA. Sib .. i 8M, Elkay"m U, Galbraith RM, Sarto
GE. cds. PrinCiples and practice of medical therapy in pregnf\ncy. Connecticut; Appleton&Lange: 1992.p.9 t 3·20.
6, McNeeley SG. Urinary tract infections in pregnancy. In: Sciarra JJ. ed. Gynecology and obstetrics. Philadelphia: JS
Lippincot; I 995.vol2. 143/.
7. Allen SR, Urinary tr..ct infection, In: Winn HN. Hobbins JC. cds. C'ini',~1 mtcrn~j.fclcll medicine, New York;
p.rthenon;2000.p.279·92.
e. Cunningham F,G, Cant N,F, Leveno K.J. Gilstrap L.e, H(luth J.e, Wenstrom /<,0, Williilm5 Obstetrics, 2111 eel. New
York: McGraw Hill.200 l.p.1 005·38.
I). Glazier )0, HMrlngton a, Sibley Cr'. turner M. Pillcentll' 'unction in malcrnot~tal exchange. In: RodeCI( CH, Whinlc
MJ,eds, Fetal Medicine basic science and clinical practice. London: ChurChill Livingstone; 1999.p, 111·26.
10, KnuppeJ RA. Materni'll·placental·fetal unit; fetal & early neonatal physiologi, In: OeCherney AH, Pernoll
ML.eds.Current Obstetrics & GyneCOlogic diagnosis & Ireatment. Norwalk:Appleton & Wonge; 1994.p.1 55·1 B2.
II. Nielby JR. Drugs and !(,jated areas in pregnancy, In: Sciarra JJ. ed. GyneCOlogy and obstetrics. rhiJ~delphii1: JB
Llppincot;1995.voI2. 1I 00/.
12. de Swiet M, Chamberl<lin G, Benet P. Basic science in obstetrics and gynilecology, Edinburgh: Churchill
livingstone;2002.p.263·276.
13. Silv~r RM, Pellier MR. Branch OW, The Immunology of pregnancy. In: Creasy 11K, Resnik R, films JD,eds, Milternill·
feral medicine prinCiples and praclice. Philadelphia: Saunders; 2004.p.B9·11 0
14, Keilrns Gl. AbdcJ·rahman SM, Alander SW. Slowey Dt Leeder JS, Y.r.uffm.ln RE, Developmental phiHmilcology·
drug disposition. "ction. and therapy in infants and children. NEJM 2003;349 /12/: 1157·67.
IS. Lumbers ER. Understanding the effects of drugs in pregnancy. J.paed ob"el gyn«01.1989.1 5 Isupp/:3·8.
16. W~rd RM. Lugo RA. Drug therapy in the newborn. In: Avery GB, Fletcher MA. MilcDonald MG. eds. Neonatology
pathophysiology & m~nagement of the newborn 5t~ ed. Philrtdephiil: lippincott Wi!kins.1999.p.1363·1407.
17. Oi;'l SH, Werler MM. Walker AM, Mitchell M. Folic (lciet antagoniUs during prc9n~nc.v "nd the risk of birth defects,
NElM.343:1·12 ..
18, Winer FR. Principles of tc:ri'lology of drugs and radi.... rion. In; Winn HN. Hr.bbins Je. cds. Clinical mtcrni'll·(ct,ll
medicine. New York: Parthenon;2000.p.813·6.
19. Cupit GC. Rotmensch HH. Principles at drug ther.py. In: Gleicher N. Gall SA. S,bai 8M. Elkayam U. Galbr"ith RM.
Sarto GE. eds. PrinCiples and practice of medical therapy in pregnancy. Connecticut; App/eton&lange: 1992.p.6S.
78.
20. Rtlyburn W, Marsden O. Medication In pregnancy. In:Knuppel RA, Drukker JE, cd~. High·Ri~k Pregnancy a tcam
approach. Z"' ed. Philadelphia: W.B.Saunders; 1993.p.149·6Z.
21. Walker JJ. Drug addiction. In: James OK. Steer PJ. Weiner CPo Gonik B. eds. High Risk pregnancy m"nagemenl
options. 2'" ed.London: W.B.Saunders; 2001.p.599·616.
22. J~yaram A. Practi'~1 Obstetric Pharmacology. tn: Dewan OM, Hood DO. cds, Practical Obstetric An('sthesia,
PhilMefphia: W.B.S,unders; 1997.p.48·66.

f'f'VS I OlntUr"'I....,,,G~ 1015 121


36. OEMAM BERDARAH DENGUE

Deflnisi

Demam Berdilrah Dengue (oBo) merupakan peny"kit tropis menu/ar yang bersifat

endemis di Asia Tenggara. termasuk Indonesia J. Penyaldt ini disebabkan oleh virus

Dengue yang termasuk dalam kelompok flavivirus (kelompok B anthropod borne viruses),

dan memiliki 4 serotipe yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes

albopictus!. Penderita akan menunjukl<an gejala demam tinggi disertai manifestasi

perdarahan dan cenderung menimbulkan renjatan (sindroma syok dengue) yang dapat

menimbu/kan kematian '.

Epidemiologi

Dengue klasik dikenal dengan breakbone fever, umumnya timbul pada individu dengan

imunitas rendah, anak-anak dan dewasa usually occurs in nonimmune individuals,

children, and adults who do not reside in an endemic area. Dengue hemorrhagic fever

{DHFI occurs almost exclusively in indigenous populations and is thought to be

immunologically mediated, with enhanced infection of the target cells (macrophages and

monocytes) more likely in the presence of "ntibody from a previous infection,

Clinical Manifestations Dengue viruses frequently produce inapparent infection. When

symptoms develop, three clinical patterns are seen: classic dengue, a mild atypical form,

and DHF.

1 Classic dengue: After an incubation period of 5-8 d, a short prodrome of mild

conjunctivitis or coryza may precede by a few hours the abrupt onset of severe headache,

retroorbital pain, backache (especially lumbar), and leg and joint pains. Ocular soreness,

anorexia, and weakness are common; cough is rare. Skin rashes that vary in appearance

are common, as is lymphadenopathy. The fever may follow a diphasic course. The febrile

illness usually lasts for 5-6 d and terminates abruptly.

2 Atypical dengue: Symptoms of mild atypical illness include fever, anorexia, headache,

and myalgia. An evanescent rash may develop; lymphadenopathy is absent. Symptoms

usually last for <72 h. .

3 DHF: Illness begins abruptly with a relatively mild stage /2-4 d) consisting of fever,

cough, pharyngitis, headache, anorexia, nausea, vomiting, and abdominal pain, which

may be severe. Myalgia, arthralgia, and bone pain, which are common in classic dengue,

ilre unusual in DHF. Hemorrhilgic milnifestations include il positive tourniquet test,

petechiae, purpura, ecchymoses. epistaxis. bleeding gums, hematemesis, melena,

enlilrgement of the liver, thrombocytopenia. hemoconcentration, and hematocrit

increased by 320%, Dengue shock syndrome (DSS) is diagnosed when there is a rapid

weak pulse with narrowing of the pulse pressure to £20 mmHg or hypotension with cold

clammy skin and restlessness,

Di Indonesia, penyakit ini mulai menjadi masalah sejak 1973. Sampai Juli 1988, di
DKI Jakarta didapati case fatality rate I, J%, sedangkan untuJ< seluruh Indonesia adalah
2,7%'. Di French Giuana, Carles G. dkk./ melaporkan sejak 1 Januari 1992 sampai 1 April
1998, didapati fatal death rate sehubungan DBD sebesar 13,6% lebih tinggi dibanding
angka rata-rata di bagian ginekologi 1,9%. Di Karachi, Pakistan, aureshi J.A. dkk./ pada
saat endemis dari Juni 1994 sampai dengan September 1995, dari 145 kasus yang berobat
ke Khan University Hospital, 43% kasus berumur 20-30 tahun dan 75% laki-Iaki. Oi
Republik Dominika, Ventura A.I<' dkk.: melaporkan infeksi dengue menjadi hiperendemis
sehingga infection rate pilda ibu hamil 6% setiap minggu. Melihat data epidemiologi
tersebut. DBD merupakan suatu masalah yang cukup serius karena angka kematian yang
cukup tinggi dan terbanyak menyerang usia produktif. Angka ini cenderung meningkat

PPDS I O~AA.vG~2015 122


sehingga kita harus waspada terhadap peningkatan insiden kehamilan dengan DBD,

yCing dapat dijumpai teru.tama silat hiperendemis·· 5•6 •

Laporan cHau REFERENSI mengenai kehamilan dengan DBD masih sangat sedikit, baik

mengenai diagnosa, patogenesis, efeknya pada kehamilan, imunitas, penanganiln selami!

kehamilan, inpartum dan postpilrtum, komplikasi, maupun prognosa.

Patogenesis

Sampai saat ini, patogenesis DBD mClsih kontroversial dan sedikit dimengerti 9 ,,,. Berbagai

teori telah dikemukakan oleh para ahli, tetapi sampai saat ini be/um ada yang dapat

menjelaskan patogenesis DBD secara pasti. Sejauh ini, teori infeksi sekunder masih

diyakini oleh para ahli untuk menjelaskan patogenesis DBD. Berdasarkan teori ini, apabila

dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun setelah terinfeksi virus dengue pertama kaJi

penderita kemudian mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe yang

berbeda, maka penderita tersebut akan memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita DBD

maupun sindroma syok dengue. Antibodi pre·infeksl yang berasal dari serotipe yang lain

tersebut dikenal sebagai antibody dependent enhacement (ADE). la dapat meningkatkan

infeksi dan replikasi virus dengue dalam sel mononuklear 11 • Teori lain adalah teori

virulensi virus. Virus dengue secara genetik sangat bervariasi dan selalu berubah akibat

proses se/eksi ketika virus bereplikasi, baik di tubuh manusia maupun nyamuk. Dengan

demikian. terdapat beberapa serotipejstrain virus yang memiliki virulensi lebih besar dilri

serotipejstrain yang lain ". Kurane I dkk,lZ menyatakan bahwa berdasarkan data

epidemiologi, telah dipostulasikan bahwa respons imun terhadap virus dengue berperan

dalam patogenesis demam berdarah dengue dan sindroma syok dengue. Respons imun

pejamu juga berperan dalam mengontrol infeksi demam dengue. Oleh I<arena itu, infel<si

virus dengue merupakan suatu model yang menaril< untuk diteliti lebih lanjut mengenai

cara interaksi antara sistem imun dengan virus penyebab imunopatologi atau

penyembuhan dari infeksi.

Infeksi pada makrofagjmonosit merupakan hal yang terpenting pada patogenesis DF dan

merupakan asal DHF j DSS. Riwayat infeksi sebelumnya dengan serotipe virus dengue

heterolog dapat menyebabkan produksi antibodi antivirus nonprotektif yang berikatan

pada permukaan virion dan berinteraksi dengan Fe reseptor virus dengue sel<under di sel

target sehlngga menghasilkan infeksi yang lebih berat. Host juga akan mengalami

respons antibodi sekunder sa at antigen virus diJepasl<an dan kompleks Imun yang

terbentuk akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen klasik. Reaktivitas silang pada

level sel T menyebabkan pelepasan sltokln aktlf secara fislologls termasuk Interferon 9 dan

tumor necrosis factors. Induksi permiabilitas vaslwler dan syok tergantung pada beberapa

faktor termasuk di da/amnya :

1. Keberadaan antbodi nonneutralizing (antibodi transpalesenta/ ibu dapat timbul


pada janin kurang dari 9 bulan, atau antibodi yang terbentuk oleh infeksi dengue
heterolog sebelumnya dapat timbul pada individu yang lebih tua.
2. Usia (kemungkinan DHF I DSS menurun sete/ah usia 12 tahun
3. Jenis kelamin ( wanita lebih sering terjangkit dibandingkan pria)
4. Ras (kaukasia /ebih sering terjangkit dibandingkan kulit hitam)
5. Status nutrisi
6. Lanjutan infeksi ((ontoh, serotipe I diikuti serotipe 2 tampak lebih berbahaya jika
dibanding setotipe 4 diikuti serotipe 2.
7. Serotipe yang menginfeksi ( tipe 2 lebih berbahaya jika dibandingkan serotipe
lainnya)
Periode syok berlangsung hanya sekitar I '. 2 hari dan umumnya pasien berespon baik
terhadap pengawasan yang baik dengan pemberian oksigen dan infus krista/oid atau
pada kClsus yCing berat dengan larutan koloid. Case fatality rate bervariasi tergantung
pildil jenis kaslJs dan kualitas terapi.

PPDS I o~dMvG~2015 123


Diagnosa
Diagnosa demam berdarah dengue ditegakan me/a/ui geja/a k/inis dan laboratorium.
Gejala-gejala k/inis setelah masa inkubasi 2 - 7 hari
I. Demam tiba-tiba yang tinggi dapat disertai sakit kepa/a yang hebat l.U
2. Muntah. rasa tidak enak di perur ' ·3.5.
3. Nyeri retroorbital dan myalgia (break-bone fever)
4. Hepatomegali 7.
5. Adanya manifestasi perdarahan peteki dimu/ai dari badan meluas ke ekstremitas
dan muka, perdarahan mukosa, termasuk uji torniquet positif yang timbul setelah
3-5 dari awal terjadinya demam I.J.S.,.
6. Lesi gastrointestinal dapat berdarah selama keadaan akut.
7. Disertai atau tanpa kegaga/an sirkulasi perifer sampai renjatan ,.5 .
Triad demam tinggi. hemokonsentrasi dan trombositopenis dapat menjadi dasar diagnosis
DHF dalam kehamilan.

Laboratorium

I. Tes serologl, yaitu Hemoglutinasllnhibisi, Elisa untuk IgM dan IgG saat rase
penyembuhan recovery atau antigen Elisa atau RT-PCR selama fase akut,·2.7.8.?
2. Hemokonsentrasi 5•
3. Trombositopenia « J 00.000/mm3) '.u.
4. Leukopenia I.J.
5. Peningkatan aminotransferase serum.
6. Partial tromboplastin timeyang memanjang '·5•
7. Fibrinogen degradation product yang meningkat'.
8. Isolasi virus 2.'o
Diagnosa DBD pada ibu hamil harus selalu dipertimbangkan pada daerah dengan kondisi

wabah DBD. Ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium

hematologi, serologi, bahkan sampai isolasi virus dengue.

Efek Demam Berdarah Dengue pada KehamlJan, Fetus, Bayl, dan Imunitas

Beberapa laporan kasus dan pengamatan dari indonesia I, Pakistan J • Thailand 5.'J, dan

Malaysia 14, gejala-gejala klinis pada ibu hamil tersebut meliputi demam dan sakit kepala,

nyeri uiuhati, muntah, peteki, tanda-tanda dehidrasi, hemokonsentrasi, trombositopenia,

dan pada tes seroiogi dtiumpai antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue. Selain itu,

pada beberapa institusi dapat dilakukan iso/asi virus seperti di Frence Guiana oleh Carles

G. dkk} dan Mississipi Medical Center, USA oleh lusia H.l. dkk.,IO. Chong KY dkk., 15
melaporkan bahwa tidak ada bukti bahwa virus dengue dapat menyebabkan efek
teratogenik, aborsi, atau pertumbuhan janin yang terhambat yang dikandung oleh ibu
hamil yang menderita DBD. Beberapa kasus menja/ani pemeriksaan amniocentesis atau
biopsi villi choriales dan di/akukan analisa kromosom, namun tidak dijumpai ke/ainan.
Alfa-fetoprotein di cairan amnion maupun di serum maternal berada dalam batas normal.
Adanya transmisi vertikal pasif dari ibu ke fetus 4•6.,.IJ.14.IS menyebabkan bayi baru lahir
mudah menderita demam berdarah dengue atau sindroma syok dengue pada saat
terinfeksi virus dengue untuk yang pertama kali, tetapi antibodi ibu ini akan menghilang
setelah usia 9-12 bulan.
Figueiredo L.T. dkk.,16 mengamati bahwa pada bayi yang di/ahirkan tidak dijumpai
kelainan bawaan. lamanya kehamllan, Skor APGAR, berat badanjanin, dan plasenta. Pada
serum bayi dijumpai antibodi IgG yang pro~esif menurun dan menghilang setelah 8
bulan. Namun, menurut Marchette NJ. dkk.,1 antibodi tersebut menghi/ang setelah 10­
12 bulan. Wa/aupun begitu, Chye J.K. dkk.,14 melaporkan dua ibu hamil mengalami
demam berdarah dengue 4 sampai 8 hari sebelum inpartum. Satu ibu mengalami

Pf'DS I O&,tIDvda.n.G~2015 124


kehamilan dengan pre-eklampsia berat diserta; sindroma HELLP IHemolysis, Elevated Liver
enzymes and Low Platelets) dan memerlukan transfusi darah lengkap, konsentrat
trombosit, serta plasma beku segar. Bayi laki-Iakinya saat lahir menderita gangguan
pernapasan dan perdarahan intracerebral kiri yang banyak serta tidak terkontrol.
Akhirnya, bayi meninggal pada hari ke-6 karena kegagalan berbagai organ.
Virus dengue tipe 2 diisolasi dari darah bayi dan antibodi IgM spesifik terhadap virus
dengue terdeteksi dalam darah ibu tersebut. Ibu ke-2 mengalami keadaan klinis yang
lebih ring an. Dia melahirkan bayi perempuan yang mengalami trombositopenia dan tidak
memerlukan perawatan yang khusus. Virus Dengue tipe 2 ditemukan dalam darah ibu
dan antibodi IgM spesifik terhadap virus dengue dideteksi pada darah bayi terse but. Hal
ini berarti bahwa demam berdarilh dengue memiliki risiko yilng potensial menyebilbkan
kematiiln janin yang terinfeksi 2.". Poli dkk./ juga melaporkan gilmbaran klinis bayi-bayi
yang mengalami transmlsl vertlkal dilrllbu pada sailt menJelang akhlr kehaml/an berupa
demam, gangguan vasomotor, trombositopeniil, dan hepatomegilli. IgM ilntibodi spesifik
terhadap virus dengue ditemukan ~adil semua bilYi. Berat-ringilnnya keadaan penyakit
bervarlasi. Thaithumyanon P. dkk., 3 juga melaporkan trombositopenia padil bayi yang
dilahirkan dari ibu hamil dengan DSD. Falker J.A. dkk.,'B melaporkan bahwa aktivitas anti·
dengue dijumpai pada komponen lipid air susu ibu IASI) dan kolostrum. Konsentrasinya
tidilk menurun selilma 10 buliln setelah melilhirkan. Disarankan pemberian ASI agar dapat
melindungi bayi dari infeksi virus dengue di daerah endemis' S•18

Penatalaksanaan
Bunyavejchevin S., dkk.,s melaporkan peniltillaksanaan DBD dengan kehamilan
antepartum, intrapilrtum, dan milsa nifils. Penatalaksanililn DBD dengan kehamilan
sebagili berikut: .
Penatalaksanaan Antepartum
Setiap penderita oBD sebaiknya dirawat di tempat yang terpisah dengan penderita lain
dan seyogianya kamar yang bebas nyamuk Iberkelambu). Penatalaksanilan antepartum
tanpa penyulit biasanya dilakukan secara konservatifs.19, antara lain:

I. Tirah baring.
2. Makanan lunill<. Bila tidak ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2
liter dalam 24 jam, air tawar ditambah gilram saja.
3. Medikamentosa y1lOg bersifat simptomatis yaitu:
a. Untuk demam tinggi dan sakit kepala diberikan dari golongan
asetaminofen, eukinin atau dipiron, tetapi pemakaian asetosal harus
dihindari mengingat bahaya perdarahan.
b. Glukokortikosteroid merupakan pengobatan pertama untuk menaikkan
jumlah trombosit yang rendah 20, tetapi pada umumnya di Indonesia hal ini
tidak dilakukan karena terbukti tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara terapi tanpa atau dengan kortikosteroidl 9•
C. Antibiotik dapat diberikan bila dicurigai infeksi sekunder.
4. Terapi cairan pengganti diberikan pacta penderita sesuai derajat dehidrasi.
5. Transfusi trombositjika diperlukan.
Para ahli hematologi umumnya tidak mengobati penderita dengan jumlah
trombosit di atas 20,OOO/mm3 atau bila tidak terjadi perdarahan spontan. Batas
usia trombosit yang ditransfusikan biasanya pendek 20 •
6. Terhadap kehamilannya dilakukan pemantauan terhadap janin dan perawatan
secara konservatif.

PPDS I ob;t>tY"dan,G~ 2015 1Z5


Dilakukan pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda vital, Hb (hemoglobin),
dan Ht (hematokritj setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan,
selanjutny" tiap 24 jam. Periode kritis timbulnya syok umumnya 24-48 jam
perjalanan peny<1kit.
Penatalaksanaan Intrapartum
Penatalaksanaan ibu hami/ aterm dengan oBD sama seperti antepa'rtum, namun terhadap
kehamilannya sebagai berikut:
I. Obat-obett tokolitik dapat dipergunakan hingga periode kritis terlewati atau
trombosit kembaJi normals. Obat-obat tokolitik umumnya menyebabkan takikardia
yang dapat menutupi keadaan status pasien. Magnesium Sulfat dapat menjadi obat
pilihan pada situasi ini karena tidak menyebabkan takikardia.
2. Jika proses melahirkan tidak dapat dihindarkan, rute vaginal lebih disukai daripada
abdominal. Kontraksi uterus setelah melahirkan akan menstrangulasi pembuluh­
pembuluh darah yang menyebabkan hemostasis walaupun gangguan koagulasi
masih terjadi. Transfusi trombosit diindikasikan pada proses melahirkan melalui
vagina bila jumlah trombosit di bawah 20,000/mm3.
3. Si/a perlu dilakukan tindakan pembedahan, terutama rada saat inpartum perlu
diberikan konsentrat trombosit preoperatif dan konsentrat trombosit selama
operasl serta pasca operasi jika diperlukan s. Transfusi trombosit diindikasikan pada
pembedahan jika jumlah trombosit maternal di bawah SO.000/mm3. Tranfusi
trombosit pada saat insisi kulit dapat memberikan hemostasis yang cukup. Setlap
unit konsentrat trombosit yang ditransfusil<an dapat meningkatkan hitung
trombosit hingga IO,OOO/mm3. Sebelum melal<ukan operasi, sebaiknya telah
dilakukan I<onsultasi dengan tim anastesi, neonatologis, dan ahlijantung.
4. Pemberian plasma beku segar (30 mL/kgjhari) dapat diberikan bila ada kelainan
koagulopati, namun harus hati-hati kemungl<inan terhadap penumpukan cairan
tubuh yang berlebihan'3.14.20.
Beberapa teknik pembedahan sei<siosesaria yang perlu diperhati/<an pada pasien dengan
trombositopenla beraeo:
Jika pasien mengalaml perdarahan yang secara kilnIs nyata, lebih baik gunakan insisi kulit
garis tengah (midline). Walaupun demikian, insisi Pfannenstiel masih dapat
dipertimbangi<an.
Gunakan elektrokauter untuk menghentikan perdarahan.

Jahit uterus dengan dua lapis.

Tinggalkan flap kandung kemlh terbuka untuk mencegah terbentuknya hematoma yang

dapat menuntun terjadinya abses dan demam.

Tutuplah peritoneum untuk mencegah perdarahan dari pembuluh-pembuluh dar.ah yang

terdapat pada tepi sayatan peritoneum, yang sering tidak terJihat dan dapat terbentuk

suatu ruangan untuk drainase subfascia/.

Tempatkan drain subfascial dan tinggalkan sampai tidal< ada cairan yang mengalir keluar.

Sebaiknya gunakan staples kulit, walaupun dengan insisi Pfannenstiel. Ini memungkinkan

kita membuka sebagian dari insisi jika terbentuk hematoma subkutis.

Tempatkan balutan kuat dengan tekanan di atas insisi dan tidak dibuka selama 48 jam.

keeuaJi tanda-tanda perdarahan aktif ditemukan.

Penatalaksanaan Masa Nifas

Si/a DSD terjadi pada masa nifas, penatalaksanaannya hampir sama dengan antepartum

/tirah baring, terapi eairan pengganti, simtomatis, pengawasan yang ketat terhadap

tanda-tanda vital, hemoglobin, hematokrit, dan trombosit). Demam berdarah dengue

jarang sebagai penyebab morbiditas demam nifas s.

PPDS I O/J;t!ltyviUuvG~2015 126


Bayi-bayi yang dilahirkan umumnya sehat bila ibunya tidak memderita komplikasi selama
kehamilan l4 • Pemberian air susu ibu dapat memberi perlindungan pada bayi terhadap
. infeksi demam berdarah dengue karena komponen lemak dari air
susu ibu dan colostrum memiliki aktivitas anti dengue.

Komplikasi
Thaithumyanon P. dkk.,13 melaporkan seorang ibu hamil dengan DBD yang menjalani
bedah sesar mengalami perdarahan masif dan berkepanjangan (8 haTi) daTi luka serta
memerlukan berbagai tranfusi darah, trombosit, dan plasma beku segar. Chye J.I<. dkk.,14
melaporkan seorang ibu hamil dengan demam berdarah dengue mengalami preeklamsia
berat dan sindroma HELLP memerlukan berbagai transfusi darah. Saat lahir anilknya
menderita gangguan pernapasan dan perdarahan hebat pada intracerebral kiri.
Prognosa
Pada umumnya, kehamilan tanpa komplil<asi kehamilan dengan demam berdarah dengue
adalah baik. Penanganan dini dan intensif sangat menentukan kebcrhasilan.
Pencegahan
Vaksin untuk infeksi ini belum ada sehingga pencegahan terhadap difokuskan terhadap
perkembangbiakan nyamul< dan gigitan nyamuk betina Aedes aegypti diln A. a/bopictl.ls
yang menggigit pada pagi serta 'sore hari dalam upaya menurunl<an attack rate dan
jumlah angl<a kesakitan. Pencegahan di Indonesia terkenal dengan 3M, yaitu menutup,
membuang/membllas, dan menimbun barang·barang atau tempat yang kemungklnan
menjadi sarang nyamuk, kelambu, foggIng, serta dengan repellent nyamuk (campuran
Thanaka dan N,N-diethylmetatoluamide I deet)21 dapat memberi perlindungan 10 jam
terhindar dari gigitan nyamuk tersebut.

REFERENSI
1. Wiknjosclstro H. dkk. IImu Kcbidanan. Edisi kctiga, Yayit5an Bina PuHakrt SclJ"'oNOnO Prawiroh.lrdjo, Jakrlrta, '997 :
567·B.
2. Carles G, ct itl. Effects of dengue fever during pregnancy in french Guiim.i. elin Infe(t Dis. 1999 Mar;2813j;637.40.
3. Qureshi JA. N.:tl. An ~pjdtmjc of Dengue fever in Kcu~chl·associated clinic ..1m.1nifestations. )PMA J Pak Med Asso(
1997 Jul;47171:17B·BI.
4. Vcnlur.l AK. cl ifl. Placental pius~ge of ilntibodies to Dengue virus in persons living in i1 r('9lon of hyperendemic
Dengue virus inleclion: J Infea Dis. 1975 M.y; 131 Suppl:S62·B.
5. Bunyavejchevin S. ct al. Dengue hemorrhagic fever during pregnancy: ilntepartum. intr;:1p;:1rtum Clnd postpartum
m.nagemenl. J Obstet Gyn"e<ol (leI. 1997 Oct: 23 lSI: 445·B.
6. Fernandel R. et .11. Study of r~l.lciomhip dengue·pregnancy in a group of cub''In·molht'f5, n~v Cub;mif Mea Trop.
1994:46121:76·9
7, Polj L ct ai, Molteno-felid dengue, Apropos of 5 cases observed during the, epidemic in Tilhiti f 1989), Bull Soc PilfhoJ
Exot1991:8415 PI 51:513~21.
5, GriHiths PO et ~f. Antibody against viruses in maternal and cord sera: non· specific inhibitors Me found too higher
titre on the m;:Hernal site of the circulation, J Hyg (landI, 1984 Jun: 92(31: 297·301,
9 Morcns OM. ct aI, Meilsurement of antibod'y-dependent infection enhancement of four derguc virus serotypes by
monoclonclJ clnd polyclonal rmtibodicS', J Gcn Viral. 1990 Dec: 71 (Pt 12): 2909·14
10, lucia Hl, ct clio Identification of dengue virus infected cells in pclraffin~mbcddcd tissue using in situ polymer elSe
chain reaction and DNA hybridization, J Viral methodJ 1994 Jun; 48/I}; 1·8,
11. Rahaju FA. Patogenesis demam berdarah dengue: Suatu tinjauan mengenai sel tClrgct viru5 Dengue, J Kedokreran
d"n FarmdSiMedik" 2000 Mei; 26151:294-B.
12. Kurane I, et aLlmmunity and immunop... thology in dengue virus infections, Scm;n Immuno/1992 Apr; 4(2); f 21.7,
13. Thaithumyanon p, et al. Dengue infection complicated by Severe hcmorrhclge clnd vcrticcll transmission in a
parturienl woman. c/in Infect is 1994 Feb; 1812):248·9.
14. Chye JK. el al. Vertical transmllSion 01 dengue. c/in Infect Olt. 1997 Dec; 25161 1374.7.
15, Chong KY, et .11. A preJiminiftyreportofth~fetal eHectJ of dengue infection ;n pregn;mcy, Kao Hsiung I Hsueh Ko
Hsueh Tsa Chih. 1989 Jan; 5111; 31-4.
16. Figueiredo LT. et al. Prospective study wlthinfanls whose mOlhers had dengue during pregnancy. /lev Inst Med
Trap Saopilolo 1994 Sept· Ocl;36151:417·21.

PPDS r O~d<M\.G~201S 127


17. Marchctte NJ, et tll. Effect of immune status on dengue 2 virus replication in cultured leukocytes from infants and
children,lnfcctimmun 1979 Apr; 24 P): 47·50,
18. F.llkor WA Jr,et .1. a lipid Inhibitor of dengue virus in hum.n colostrum and milk; with a no Ie on the .bsence of
antl·dengue secretory antibody. Al'Ch Viral 1975: 471 I J: ]., O.
1g, Hond.lWanto. Dengue DMam: /lmu penyifkil difidmjilidf. Edisl kedua. JakMt.: B.I.I Penerbil FKUI, 1987,p,16·24.
20. Samuels P. Acute Care of Trombocytopenia and disseminated Intravascular coagulation complicating pregnancy.
In: FOley M R, Strong T H, editors. Obstetric Intensive Cilre: iI prilcticili manual. Philadelphia: W. B. Saunders
Company, I 997.p.4H2.
21. Lindsay SW, et aJ. Thanaka ILimonia acidissima) and deet Idi·melhyl benz.mide) mixture as a mosquito repellent
for use by Karen Women. M<d Vet Entamol 1998 Jul; 12131: 295·301.
22. Gubler OJ. The global emergence/resurgence of arboviral diseases as public health problems. Arch Med Res.
2002;33:330-42,
23. Peln American HC.1Jth Organization. 200S: Number of reported cases of dengue & dengue hcmorrh~gic fever
IDHFI. Region of the Americas Iby country and subregion). Available at:
http://vl'Nw.pilho.org/EngJish/AO/OI'ClCp/dengue·'Mes·200S.htm. Accessed 12 July 2006.
24. Kouri GP. Guzman MG, BravoJR, Triana C. Dengue haemorrhagic fever/dengue shock-syndrome: lessons from the
Cuban epidemic. 1981. Bull World He.lth Org.n, 1989;67:375·80,
25. Pan American Health Organlz2Itlon, Dengue hemorrhagic fever in Venezuela. Epldemiol Bull, 1990; 11:7·9,
26. CDC, Dengue-Texas. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 1980;29:4S 1.
27, Lacayo M. Taylor R. Duran H. Abe\! A. etal, Outbreak invelilgation 01 dengue-Texas. 2005ILate-breakerl,
Presented at 54th Annual Meeting: American Society of Tropl,,1 Medicine and Hygiene, W.shington. DC.
December I t·t S. 2005,
28, Effler PV. Pang L, Kitsutanl P, Vorndam V, Nakata M, Ayers T, et al., clnd Hawaii Dengue Outbreak Investigation
Team, Dengue Fever. Hawaii. 2001-2002, Emerg Infect Dis. 2005; It :5:742·749.
29, CDC, Travel·anociated dengue -United States. 2005, MMwn Morbid Mortal Wkly Rep, 2006;55:22:700·2.
30, Trofa AF. DeFraites RF. Smoak BL. K.nesathasan N, King AD, Burrous JM. et al. Dengue fever in US military per·
sonnel in Haiti.JAMA. 1997;277:1546·8.
31. O'leary DR, Rigclu-Perez JG, HClyes EB, Vorndam AV, Clark GG, Gubler OJ. AsseHment of Dengue risk in relicf
workers In Puerto Rico aher Hurricane Georges, Am J Trop Med Hyg. 2002;66:35·39,
32. Smith CE, Tom Tammy, Sasaki J, Ayers T. EHler PV. Dengue risk among visitors to Hawaii during an OUCbreclk.
Emerg Infect Dis, 200S; I 1:750·66,
33. Rigau-Pcrcz JG. Clclrk GC. Gubler OJ, Reiter P, Sanders EJ, Vorndam AV, Dcngl..:c Clnd dengue h(lcmorrhclgic fever.
Lancet. 1998;352:971·7,
34. Garcia-Rivera EJ, l1ig,w·pcrez JG. Dengue virus. In: Scott GB, Hutto SC. cds. Diclgnosis of congenital clnd perinatal
infections: f' concile guide, Totowa, NJ: Humana Press, 2005: 189·99.
35. Kliks SC, Nimmanllya S, Nisalak A. Burke OS. Evidence that maternat dengue antibodies are important In the
d ..... ,ap".,l!nt 0' dl!ngue hemorrh"9" 'eyer In In'"nu. Am J Trap Med Hyg. '988;38;41 t.. 9.
36, Frrn..ndez R. Rodriguez T. Borbonet F. Vasquez S, Guzman M, Kouri G. EJtudio de. la relacion dengue-embarazo en
un grupo de madros cubana,. Rev Cub.na Med Trop, 1994;46:76-8,
37, aeatty ME. Biggerstaff B. Rlgau J. Petersen L. Elilmated risk or tr.nsmillion or dengue virus through btood
transfusion In Puerto Rico IN 1261. At 5th Internationell Conference on Emerging Infectious Oiseelses. Atlanta, GA.
March 19-22.2006.

PPDS I Oi>la:tYvda.vG~2015 128


37. DIABETES MEl.U11JS GESTASIONAL (DMG)

I. Pendahuluan

Diabetes Mellitus (OM) dapat terjadi dalam dua bentukjika dihubungkim dengan

kehamilan, yaitu OM yang mendahului kehamilan atau wanita yang menderita OM

yang hamil disebut sebagai OM PragestClsional (DMPG) dan bentuk kedua adalah
w<tnita yang hamil kemudian menderita OM sa at hamil dan menghilang setelah
pers<tlinan yang disebut sebag<ti OM Gestasional (DMG).

Adanya saw jenis diabetes khusus yang muncul hanya saat kehamilan silja dan
menghilang saat nifas masih belum diterima oleh sebagian besar masyarakat
kedokteran di Indonesia, hal yang akan berdampak besar bagi penatalaksanaan
penyakit ini misalnya meningkatnya morbidltas terutama padaJanin Mau neonatus dan
meningkatnya biaya perawatan yang tidak perlu (pemeriksaan Hb Ale pada Diabetes
Mellitus Gestasional atau ultrasonografi untuk mencari kelainan bawaan janin pada DM
Pragestasional).

II. Definisi Dan KJasifikasi


Diabetes Melitus Gestasional didefinisikan sebagai gangguan infoferansi glukosa
berbagai tingkat yang muncul afau terdiagnosis pertama kali saat kehamifiln. Gestasional
juga mcnunjul<l<an bahwa kelainan ini dlinduksi oleh kehamilan dan harus dibedal<an
dengan wanita diabetes yang hamil yang disebut sebagai Diabetes Melitus I'ragestasional
/DMPg): Diabetes mendahului kehamilan;
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus Gestasional
Klas Saat terjadi Terapi Gluk Puasa Glu 2 jam PP

A1 Hamil Diet < 105 mg/dl < 120 mg,ldl

A2 Hamil Insulin > 105 mg/dl > 120 mg/dl

/II. Tanda dan Gejala DMG biasanya tanpa tanda dan gejaJa

IV. Faktor Risiko

Riwayat obstetri yangjelek (abortus beruJ<tng, IUFD, Makrosomia, Distosia Bahu)

PPDS I O~"""'G~201S 129


V. Patofisiologi

MetaboJisme karbohidrat wanita hamil dan tidak hamil sangat berbeda yang
dltandai dengan adanya hipoglikemia puasa, hiperglikemia postprandial yang
memanjang dan hiperinsulinisme terutama pada trimester tiga. Gambar dibawah ini dapat
memperjelas pernyataan diatas. Efek kehamilan yang memperberat diabetes mellitus bila
telah diderita ibu hamil ataupun menimbulkan diabetes gestasional disebut sebagai efek
diabetogenik.

-1
:e
OJ
E
ao
60

INSULIN 0--0 NOI'",.,,,_t ,,, .. III


250 1
~ NtNrn.1 P7."".",
'If . III
200
...J
.§ 150
::>
::J..
100

M(AIS:
8 AM
, ,
PM
,
6 PM 12 M 8 AM

Gambar 37.1. Efek Kehamilan normal cukup bulan pada glukosa dan insulin plasma

Tujuan mekanisme ini adalah untuk mempertahankan supply' glukosa postprandial


untukJ,mln. Mekanlsme InlJuga sesual dengan adanya res/stensi perifer terhadap insulin
yang ditandai adanya peningkatan respons insulin terhadap glukosa baikjumlah maupun
lamanya, adanya pengurangan uptake glukosa perlfer dal1 adanya penekanan respons
glukagon.
Sekresi insulin pada kehamilan normal dan DMG meningkat selama kehamilan dan
mencapai puncaknya pada trimester tiga tetapi jumlahnya lebih sedikit pada DMG.
Dibandingkan dengan wanita tidak hamil, puncak plasma insulin selama TTGO-tercapai

PPDS I o~.w."G~ 2015 130


lebih /ambat dan terjadi perbedaan respon insulin pada fase 1 selain ditemukannya juga
hipertropi, hiperplasia dan hipersekresi sel B pankreas.
Juga didapatkan konsentrasi asam /emak bebas, trigliserida dan kholesterol pada
wanita hamil puasa yang lebih tingg! yang disebut Freinkel dkk sebagai ilccelerilted
stilrvatlon. Rendahnya autoantibody ICA, 1M dan uAD menunjukkan tidak adanya
kerusakan sel 8 pankreas oleh autoantibody, tetapi banyak ahli berpendapat bahwa ibu
hamil dengan DMG nampaknya merupakan tase awal proses IDDM.
Yang sering terjadi, patotisiologi diabetes da/am kehamilan dianggap sama dengan
laki-Iaki sehingga tatalaksananya sama, satu hal yang tidak sesuai dengan temuan­
temuan tentang adaptasi maternal utamanya dalam metabolisme karbohidrat selama
kehamilan Perubahan metabollsme karbohldrat jnl seharusnya menyebabkan
penapisan ataupun diagnosis DMG tidak sama dengan wanita yang tidak hamil.

VI. Skrining (Penapisanl Diabetes Mellitus Gestasional

Meskipun sampai saat ini memang banyak terjadi perdebatan mengenai penapisan
DMG tetapi yang dianjurkan sampai tahun 1999 adalah modifikasi kriteria Sullivan- Mahan
( dua tahap-sering dianggap Gold StEndiJrd J yang dilakukan pada semua wanita hamil
usia 24 - 28 minggu, satu kali, dengan beban 50 9 dan bila glul<osa plasma 1 jam
kemudian lebih atau sama dengan 140 mg/dl dilanjutkan dengan ITGO 100 9 ( bukan
75 g I.
Semua wan ita hamil (universal screening bukan selective screening )berarti tanpa
melihat adanya falltor risiko termasul< usia diatas 30 tahun , riwayat keluarga diabetes,
pernah melahirkan bayi besar / mati / cacat, obesitas, hipertensi dan glukosuria. Blla yang
diperiksa hanya yang mempunyai faktor rislko, hampir 50 % DMG tidak terdiagnosis. Dan
dalam kriteria ADA, yang termasuk indikasi universal screening, salah satunya ada/ah
keturunan Asia. Kecenderungan yang sekarang dilakukan adalah penapisan hanya atas
indikasi.
Dilakukan penapisan pada minggu ke 24 - 28 karena DMG jarang yang terjadi
minggu awal karena I<adar hormon I<ehamilan mencapai punea/< pada trimester tiga awal
dan tidak lebih dari 28 minggu supaya sel Bjanin belum terilngsang sehingga hiperinsulin
janin belum terjadi.
Penapisan ini cukup sederhana dengan sensitivitas dan spesifisitils cukup baik dan
harga yilng masih terjangkau. Dari Workshop yemg ke empat I 998,dianjurkan penapisan

PPDSIO~.u...vG~2015 131
pCldCl kunjungan Clntenatal pertama dengan membClgi ibu hamil menjCldi risiko rendah,

sedang dan tinggi untuk terjadinya DMG. IBerubah dMi universal screening m~nJadi
selective screening). Nilai Clmbang 140 mg/dl dapat mengidentifikasi 90 % kClSUS DMG
dimana 15 %nya harus di TTGO. Bi/a diturunkan menjadi 130 mg/dl sensitivitCls
meningkat tetapi yang hClrus di TTGO menjadi 25 %.

VII. DiClgnosis DiClbetes Mellitus GestClsionClI

Diagnosis yClng mClsih scring dipClkCli CldCllah modifikasi Sullivan Mahan dengan TTGO
beban 100 gtACOGI bukan 75 9 seperti yang dianjurkan untuk pria dan wanita tidak
hClmi/IWHO, IFD dan ADAI mengingat adanya perubahan hormon selama kehamllan.
nGO dislnipun pada workshop terakhir Ii 9981 tetap memakai beban 100 9 dengan DMG
dikatakan positif bila dUumpai 2 angka sama Cltau lebih. Nilai yang dianggap standar
adalah kildilr guM PUilSiI 105 mg/dl I jilm 190 mg/dl Zjilm 165 mg/d/ diln 3 jilm 145
mg/dl. Dua angka ini diambil lebih berdasarkan timbulnya DM berikutnya dibanding
luaran perinatalnya sehingga beberapa ahli menyarankan kriteria yang spesifik untuk
kehamilan dan luarannya. Misalnya Tallarigo dkk menemukan bahwa kejadian
makrosomia berhubungan dengan nilai 2jam pp.
Bila hasil penapisan > 185 mg/dl atau puasa > 126 mg/dl diagnosis dapat langsung
dibuat tanpa TTGO.

TabeJ 31. I. DUil kriteria diagnosis DMG

Timing of Plasma Glucose I mg/dL 1

Measurement Carpenter and Coustan I 1982 1

Fasting 95

1 hr 180

2 hr ISS
140
3 hr
'-­

PPDS I O~da.t."~2015 132


VIII. Diagnosis Diferensial
Tabel 31.2. Perbedaan OM Gestasional dan OM pragestasional

DMG DMPg

Onset Hamil Pra Hami/

Prevalens; 0,2% 2%

I
Kelainan Bawaan Janin ; Populasi N Tinggi
I i
I
! Makrosomia Tinggi TI Tinggi
I
Kematian Janin ; Popu/asi N Tinggi I

Pemeriksaan Ale Tidak Perlu Per/u

Pemerjksaan Usg Uj KBJ Tjdal< Perlu Per/u

Fwb Usia 34· 36 Mgg Tidak Perlu Per/u


I
IX. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Gestasjona/
Diet merupakan dasar penanganan medis DMG. ADA menganjurkan dimulai dengan
2000·2500 /<alori! hari (35 kal/kg) dengan 50 • 60 % i<arbohidrat tinggi serat, 10 ·20 %
protein dan 25 • 30 % lemak. Bila didapatkan kadar gu/a puasa > 105 mgjd/ dan 2 jam pp >
120 mgjdl pemberian insulin harus di/akukan dengan target kadar gula puasa ,69 . 90
mg/dl dan 2 jam pp < 120 mg/d/, Target ini seslOai dengan keadaan wan ita hamil yang
tidak mengalami DMG seperti gambar dibawah ini di mana garis ke empat menyatakan
keadaan puasa dan baris ke tiga: 2jam pp.
Pemantauan dilakukan dengan pemeriksaan setidak tidaknya I minggu sekali
dengan pemeriksaan kadar gu/a puasa dan 2jam pp. 8eberapa pene/iti menemukan bila
pemeriksaan dilakukan tiap hari dapat menghasilkan penurunan angka SC dan
makrosomia yang menjelas/<an bahwa dengan pemantauan yangjarang I satu apalagi 2
minggu seka/i) ternyata gaga/ untuk mengena/i penderita yang penanganannya Iwrang
memadai. Pemantauan dengan Hb Ale dan g/ukosa urine tidak dianjurkan.

Olah raga dalam batas tertentu ( senam hamil ) tetap dianjurkan sebagai ajuvan

yang mempermud<lh pengendalian kadar gulanya.


Obat Antidiabetes Oral tidak dianjurkan karena dapat melewati plasenta dan dapat
merangsang pankreasjanin sehingga menambah kemungkinan makrosomia.

P?DSlol>l!l!tY""""'G"~2015 133
Dari segi Obstetris, dimu/ai dengan yang sederhana yaitu dengan menghitung gerak

janin sampai dengan modifikasi skor dari Manning yang dapat dilakukan dengan
memakai USG standar. Pemantauan kesejahteraanjanin ini dimu/ai minggu ke 32. Pada
USG perkiraan berM janin lebih diutamakan darl pada pencarian Ke/ainan Bawaan Janin
kilfena kejadian mai<rosomia j<lUh lebih $ering.dibanding angka KBJ.
Terminasi kehamilan dilakukan pada usia kehamilan > 39 minggu atau atas indikasi
ibu (gula darah sulit dikendalikan,timbul komplikasi lain), janin ( kesejahteraa,n. janin
menurun atau taksiran berat janin lebih dari 4 I<gl. SC hanya dilakukan atas indikasi
obstetris dan menyusui tetap dlanjurkan pada ibu ibu dengan DMG.
Tindal< lanjut pasca salin merupakan hal yang sangat penting I<arena etek jangl<a
panjang DMG yaitu timbulnya diabetes nyata dengan melakukan TTGO 75 9 6 minggu
pasca salin. Dii<atakan sebagai Gangguan Toleransi Glukosa bila kadar glul<osa plasma
lebih atau sama dengan J 10 mgJdl dan kurang dari J 26 mg/dl dan 2 jam pp lebih atau
sama dcngan 140 mg/dl dan kurang dari 200 mgjdl. Dikatakan Diabetes biJa leblh atau
sama dengan J 26 mg/dl dan lebih atau sama dengan 200 mg/dl. Bi/a ditemul<an kelainan
harus segera diterapi termasuk edukasi penderita. Pada bayi dan anal< anak juga harus
dilakul<an pemantauan al<an tanda tanda obesitas dan atau ganguan toleransi glukosa.

X. Penyulit Diabetes Melitus Gestasional

Penyulit yang terjadi pada DMG dapat dibagi menjadi 2 yaitu jangka pendek yaitu
mai<rosomia dengan scgala akibatnya pada ibu dan janin / anak (SC meningkat. trauma
persalinan. hipoglikemia, hipokalsemia, polisitemia dan jaundicej sBta jangka panjang
yaitu timbulnya DM menetap dan obesitas pada ibu maupun anak beberapa tahun
kemudian. REFER ENS/ terakhir juga menyebut adanya peningkatan /<cjadian preeklamsia
yang pada REFER ENS/ lama merupakan penyulit OM Pragestasional karen a adanya
kelainan vaskuler.
Makrosomia di sini berciri I<has yaitu deposisi lemal< banyal< di bahu dan
badan(viseromegalij sehingga memudahkan terJadinya distosia bahu karena tidak terjadi
pembesaran diameter kepala. Makrosomia diakibatkan hiperlnsulin janin - akibat
hiperglikemia ibu . yang pada gilirannya berakibat pertumbuhan somatik yang
berlebihan. Sanyak bul<ti yang menyatakan bahwa insulin dan insulin-like growth factors
/lGF -I dan "l merupakan faktor pertumbuhan janin dengan merangsang diferensiasi dan
divisi sel.

PPDS I O~da..v<i~2015 134


REFERENSI

I. Adam JMF. 1999. Beberapa Ke'idaksepak."n pada Diabetes Mellitus Gestaslonal. Dalam Asdie HAH. Wiyono P. Icds,.
Nilskdh Lengkilp P~rtemuifn Ilmiah TilhLJnan NifJion~1 Endokrin. Jogyaka4'ta.
2. American Diabetes Association. 1999. Clinical Practice Recommendations. GeHationol' Diabetes Mellitus. Oif1CCtC'S Cifre
vol 22ISuppl. I). http//www.diabetcs.orgjdiabctcSCare/supplementI99/174
3. Cctrr 08, Gilbbe S. 1998. Gestiltioni'll Oii1betcs. : Detection, Manclgement, and lmpffcations. C/inico'I'IDlab"tes. I(d.
http://www.diabetes.org/clinicaldiabetes/jvI6nlj·r9Bjpg4.htm.
4. Cunningham FG. Gimt NF, LC'vcno KJ. et al. 2001. WI1Iiifms Obstetrics {21 51 ed/: New York: Me GrclwHiII
5, Hermanto Tri Jocwono., Agus Ab;,di. 1991, Luafan Perinatal Kchamili'ln deng,m Diabetes M~II;tuJ Gestasional di RSUD
Or Soetomo SurilbaYif. PcnC:litian untuk TUg,lS Akhir PPOS /.

6. Hermclnto rrt Jocwono. 2001. Oiilbetcs MellituI G(!It~lIional. Dad Sullivan·Mahan sampai PEfiKENI. Oar} Gold Stand<1rd
;ampai Konscnsus. Grahabik: Surilbaya Ojilbcte~ Updi'ltc VI.
7. Hermanto Trl Joewono. 2002. O/.9b~tcJ Mt!lIitus GCJr~sion~J. M.. kill~n untuk Buku Ajar K Feto-Matcrn",
8. Hermanto T,i Joewono. 2002. S~k.11 £a"i reman" Diabetes Mellitus (jestasional. Pertemuan IImiah Tahunan POGI.
Bi'ltu.

9. Kon~Cnlus PERKENI t. 21 Diabetes Mellitus uestasional. 1997


10. Kuhl C. 1998. EliolO{]y "nd P..uhogcncsls ot Ci('StAtlo,.,,,' Of~bet('s. Ol"bct~~ C"I'(' 2' (SuppJ 2).
t:!.Hp.,;L.:"",.'~v'''..;.cll')~.s tel-.91U!qc,l tU:.tl:il.d{r/rufw.k.ru.~~ 'ill.LI1...l.2J.

II. Moore. T. R. 1999. Oi.1bc(c$ in Pregnancy. D.lfam; Creilsy. R t( •• Resnik, R. leds). Mi'lte-rnill·Feti'll Medicine/4'1! cd).

Phil"dclpnia: W.B. Si\undcn Company


'2. S.'lifudin A. B. et ell 2000. O'~1lJf!lf!J Mcl/irus Gr?stasional/OMGj. Buku Acuan Nasionrl! Pclily;man I(csehatan Maternal

di\n Nconat~!. 290·299. Ji\k.'lrt.1: YBPSP

f'PD5 I Olnt&Y"""""'G~v20J5 135


ALGORITMA TATALAKSANA DIABETES MELLITUS DALAM KEHAMILAN

C;UHam11J
+
f? I Riwayat OM I Memakai OADI Insulin I~

~ GJ
~
Skrining Risi~ Terh~ap OM]

~
Risiko Rendah

+
Minggu ke 24 • 28

L
I

OGCT 50 g
Glukosa Plasma ~

J
135 mg%

-----.

~ ~
~
DMPg
OGTI 100 g, 2
Asses Janin , Endorgan DAN
Angka Teriampaui
BSN, 2jpp, Hb Al C
.......------.. (Periksa USG, HbA IC dan LFT,

~
RFT, Mata)
G;J
/
8 ~
TERAPI
/
Medis dan I.lbstetris

Pf'D5 I ()lnMrv~G"'~2015 136


TEMPI DIABETES GESTASIONAL PRAGESTASJONAL

G) 8
TERAPI MEDIS: OAD GANTIINSULlN,NUTRISI DAN OlAK RAGA

EVALUASI MAKSIMAL TIAP 2 MINGGU, TARGET GUlA DARAH

SENORMAL MUNGKIN (PUASA <90 MG%, 2 lPP < 120 MG%)

TERAPI OBSTETRIS: ASSES FETAL WELLBEING· MPFM, PBF

Hati·hati Sudden Unexpected Death dan DKA

~ ~~
Regulasi gagal/ timbul penyulit/

~~l gangguan FWB + kortikosteroid 38 Minggu


bila < 38 minggu

PPDS I ()~""""G~ZOIS 137


38. HIPOTIROIDISME DAN HIPERTIROID

Fisiologi hormon tiroid dalam kehamilan

Thyroid-binding globulin (TBG) akan meningkat dalam kehamilan sebagai akibat


dari penlngkatan kadar estrogen yang mengakibatkan peningkatan kadar tiroksin (T41
dan triiodotironin (B). Peningkatan TBG ini tidak mempengaruhi kadar hormon tiroid
bebas ataupun kadar TSH. Walaupun demikian, kadang ditemukan peningkatan
sementara kadar T4 saat trimester pertama. yang kemungkinan berhubungan dengan
peningkatan ringan kadar TSH akibat rangsangan hCG • Kadangkala peningkatan TSH ini
sedemikian tinggi sehingga dikenal pula sebagai "gestational transient thyrotoxicosis'.
Keadaan ini kadang bertumpangtindih dengan keadaan serupa akibat hiperemesis
gravida rum.
Pada kehamilan. kadangl<ala terjadi sedikit pembesaran kelenjar tiroid akibat
hiperplasia glanduler. Dari pemeriksaan ultrasonografi kelenjar tiroid. biasanya tidak
ditemukan perbedaan antara struktur dan ekogenisitasnya dengan kelenjar tiroid di luar
kehamilan. Ambilan iodium pada kelenjar tiroid meningkat bila dibandingkan dengan
keadaan di luar kehamilan. I<eadaan ini kemungkinan berhubungan pula dengan
peningkatan produksi hormon tiroksin.
Tirotropin atau thyroid stimulating hormone (TSHI berperan penting dalam
penapisan dan diagnosis berbagai I<elainan hormon tiroid. Pada kehamilan awal, kerja
TSH biasanya menurun akibat adanya pengaruh dari peningkatan kadar hCG. Saat usia
I<ehamilan J 2 minggu. kadar tiroksin akan meningkat akibat rangsangan dari hCG
tersebut. Oalam hal ini, hCG mempunyai slfat reaksi silang (cross-reaction) dengi'tn TSH.
Lebih lanjut, aldbat tingginya kadar tiroksin ini, I<adar TSH maternal akan rendah, dan
demikian pula dengan J<addr thyrotropin releasing hormone. Pada pertengahan
kehamilan. kadar TRH dapat terdeteksi I<embali. walaupun biasanya tidal< ditemukan
peningkatan dibandingkan pada I<eadaan di luar i<ehamilan.
Rangkuman beberapa hormon dan indeks yang beri<aitan dengan hormon tiroid
dalam kehamilan dapat dilihat pada tabel 1.

TABLE 1:
111 Trimester 2~" Trimester 3,d Trimester
TSH Normal or Decreased. Normal Normal

Free T4 .. Normal. ........ . ... Normal

Free T3 . Normal. .. Normol

............ High
............ High
............ Low

Pl'DSI O~vda.n,G~2015 138


Z.I. Angka Kejadian
Angka kejadian hipotiroidisme dalam kehamilan berl<isar antara 0.3·0,5% iuntuk
hipotiroidisme yang nyata/over~ dan 2·3% iuntuk hipotiroidisme yang tak
tampak/cover~, Kekurangan iodium masih merupakan penyebab terpenting dari
hipotiroidisme. Autoantibodi tiroid ditemukan pada sekitar 5·15% wanita usia reproduktlf,
dan diduga pula tiroiditis autoimun berperan penting terhadap terjadinya hipotlroidisme
dalam kehamilan.

2.2. Gambaran Kllnis


Geja/a klinis dapat berupa peningkatan berat badan berlebih, sensitifitas terhadap hawa
dingin, ku/it kering, lemah badan, konstipasi. Kadangl<ala tidak ditemukan gejala klinis
yang spesitik, sehingga keadaan hipotiroidisme dicurigai bila dalam populasi banyak
ditemukan penderita hipotiroid. Dalam keadaan seperti ini, pemer;ksaan fungs; tiroid
dapat membantu penegakkan diagnosis.
Hipotiroidisme berperan penting terhadap fungs; reproduksi wanita. Pada wanita
penderita hipotiroidisme, didapatkan kejadian yang lebih tinggi dalam hal abortus,
kelainan kongenital fet-lJ5, preeklamsi, abruptio plasenta, prematuritas, pertumbuhan
janin terhambat, dan lahir mati. Sedangkan pad a jan in yang lahir dari ibu dengan
hipotiroidisme, kejadian defisit neurologis ireversibellebih tinggi dibandingkan janin yang
lahir dari ibu normal,
Bila keadaan hipotiroidisme pada ibu tidak segera ditangani, mal<a terdapat kemungkinan
besar terjadi kelainan kongenital pada janin. Hormon tiroid diketahui berperan penting
dalam pertumbuhan dan perkembangan otal< Janin. Pada awal kehamllan, kebutuhan
akan hormon tirold janin masih dipenuhi d;:,ri hormon tiroid ibu yang me/ewati plasenta.
Reseptor hormon tiroid dapat ditemuki1n di jaringan otal< janin mulai usia kehamilan 8
minggu. Selain itu dapat pula dideteksl adanya hormon T4 di rongga coelom dan cairan
amnion. Hal ini menunjukkan pentingnya peranan hormon tiroid selama awal kehamilan.

2.3. Diagnosis
Pada hipotiroidisme didapatkan peningkatan TSH. Untuk membedakan antara overt dan
covert hypothyroidism dilakukan pemeriksaan Kadar T4. Diagnosis overt hypothyroidism
ditegakkan bila didapatkan gejala klinis, penurunan T4 dan pcningkatan TSH. Sebaliknya,
dikatakan covert hypothyroidism bita peningkatan TSH dan penurunan T4 tidak disertai
gejala klinis yang khas. Terdapat perbedaan I(adar T4 saat kehamilan dan di luar
kehami/an akibat kenaikan Kadar TBG dalam kehamilan. Bi/a digunakan patokan Kadar T4
di luar I<ehami/an, untuk Kadar T4 trimester dua dan tiga hasilnya harus dikalikan dengan
1.5. Bi/a dicurigai adanya kemungkinan faktor autoimun, dilakukan pemeriksaan antibodi
tiroid peroksidase serta ilntibodi tiroglobulin. .

2.4. Terapi
Pemberian levotiroksin merupilkan terapi terpilih keadililn hipotiroidisme, bila didilpiltkan
Kadar iodin yang cukup dillam tubuh. Wilnitil hilmi/ dengan hipotiroidisme membutuhkan
dosis levotirok5in yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil.
Dibutuhkiln dosis levotiroksin 30·50% lebih tinggi untuk wilnitil hamil.
Terilpi levotiroksin dimulai dengan dosis aWill 100-150 meg per hari atau 2,0·2,4
mCglkgbb. Pemilntauan kad<tr TSH dan T4 dil<tkukiln sebuliln setelah terapi dimulili,
dengan tujuan mempertahankiln kadilr yang normill selilma kehami/iln. Diupayakan
untuk menc<tpai kildar TSH di baWilh 2,5 mIU/L.

pros I O~dA",G~201S 139


Kadang ditemukan hipotiroidisme yang baru didiagnosis setelah kehamilan
trimester pertama berjalan beberapa bulan, Pada keadaan ini diduga terjadi peningkatan
kemungkinan kelainan neurologisjanin. Konsensus yang saat ini dianut berkaitan dengan
hal tersebut adalah dengan tetap mempertahankan kehamifan disertai upaya untuk
memulihkan kadar TSH dan T4 ke rentang normal secepat mung kin. Walaupun demikian,
perlu difakukan konseling kepada orang tua mengenai kemungkinan tetap terjadinya
kelainan neurologis jan in.

hipertiroidisme

Gambaran Klinis
Di Amerika Serikat, kejadian hipertiroid;sme adalah sekitar 1%, yang terbagi
menjadi 0,4 010 tampak secara klinis, dan 0,6% adalah hipertiroidisme subklinis. Penyebab
tersering dari hipertiroidisme adalah penyakit Grave. Kejadian penyakit ini pada wanita
adalah 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan pada pria, dengan periode tertinggi pada masa
reproduksi. Dengan melihat keadaan tersebut, maka tidakjarang ditemukan pula keadaan
hipertiroidisme dalam kehamilan.
Oengan melihat bahwa dasar penyakit Grave's adalah suatu proses autoimun,
maka terdapat fluktuasi berat ringannya penyakit da/am masa kehamilan. rada ibu,
bahaya utama dari hipertiroidisme adalah gagal jantung dan krisis tiroid, Gagal jantung
disebabkan oleh efek terhadap miokardium dari T4. Oa/am kehami/an, beban jantung
yang secara fisiologis bertambah dapat meningkatkan kemungkinan kejadian gagal
jantung.
Pada trimester awal kehamilan, penderita hipertiroidisme akibat penyakit Grave's
dapat mengalami perburukan, dan pada pertengahan kehamilan terjadi perbaikan secara
bertahap, rada periode postpartum, kadangkala tlmbul kemball eksaserbasi keildailn
hipertiroidisme. Walaupun demikian, jarang dilaporkan adanya krisis tiroid yang
dicetuskan akibat persalinan, seksio sesarea, maupun infeksi.
Kelenjar tiroid janin mulai melal(ukan aktifitas ambilan unsur iodin mulai usia
kehamilan 10-12 minggu. Proses ini dikendalikan oleh TSH dari kelenjar hipofisis janin,
dan berlangsung mulai usia kehamilan 20 minggu. Kadar TSH, TBG, T4 dan T3 bebas
meningkat seiring pertambahan usia I<ehamilan, dan mencapai kadar seperti pada
individu dewasa pada usia kehamilan 36 minggu. TSH tidak dapat melewati plasenta.
Walaupun demildan, telah ·diketahui bahwa T4 dari ibu d.3pat melewati plasenta. Hal
inilah yang kadangl<ala dapat menutupi keadaan hipotiroidisme janin, yang
terkompensasi oleh tingginya T4 dari ibu.
Risiko yang dihadapi janin al<ibat hipertiroidisme ibu berkaitan dengan
penyakitnya sendiri, maupun dengan aldbat yang dihadapi akibat pengobatan pada ibu.
Keadaan hipertiroidisme yang tidak ditangani secara adekuat berdampak pada tingginya
risiko prcmaturitas, pr.rtumbuhan janin terhambat, preeklamsi, gagal jantung kongestif,
dan kemarianjanin dalam rahim. Sebaliknya, pengobi'ltan hipertiroidisme yang berlebihan
berkaitan dengan hipotiroidismc janin iatrogenik.

2.2. Diagnosis
Kadangkala sulit untuk melakukan diagnosis klinis yang tepat pada keadaan
hipertioridisme. Gambaran klinik keadaan hipertiroidisme kadangkala menyerupai
keluhan-keluhan yang biasa didapatkan dalam kehamilan, seperti takikardi, • tremor, dan
murmur sistolik. Gambaran klinis seperti oftalmopati tiroid, goiter, atau edema pretibial
mungkin dapat mengarahkan kecurigaan terhadap hipertiroidisme.

PPDS I 01ntw"dMvG,.~20J5 liD


Diagno~i~ hipertiroidi~me ditegakkan bila ditemukan peningkatan kadar T4 dan atau T3
bebas (free T4/rr4 dan free T3/rr3/. Kadar TSH biasanya rendah akibat supresi dari
hormon tiroid itu sendiri terhadap hipofisis.

2.3. Penanganan
2.3.1. Sebelum kehamilan
Bila wanita penderita hipertiroidisme merencanakan untuk hamil, maka langkah awal
yang amat penting untuk dilakukan adalah mengendalikan keadaan hipertlroidisme
sampai ke batas aman. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan obat antitiroid serta
komeling.
2.3.2. Saat kehamilan
Obat antitiroid merupakan terapi utama keadaan hipertiroidisme, khususnya yang
disebabkan oleh penyakit Grave·s. Propiltiourasil (PTU). metimazol, dan kubimazol
banyak digunakan untuk mengatasi masalah hipertiroidisme dalam kehamilan. Obat·obat
tersebut menghambat sintesis hormon tiroid melalui reduksi organifikasi iodin serta
menghambat ikatannya dengan molekul iodotironin. Obat lain yang dapat digunakan
adalah golongan beta bloker, iodida, maupun iodium radioaktif. Tlndakan pembedahan
hanya dilakukan bila ditemukan keada,tn yang resisten terhadap terapi medikamentosa.
maupun bila ditemukan efek samping terapi medlkamentosa yang berat.
2.3.3. Pascasalin
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. mengingat dasar dari penyakit Grave's
adalah proses autoimun. maka kadangkala ditemukan perburukan pada periode
pascclSalin. Untuk mengatasi keadaan ini, kadangkala dibutuhkan titrasi obat antitiroid
yang telah diberikan sebelumnya. Kadangkala dosis obat antitiroid yang dibutuhkan
menjadi lebih tinggi dibandingkan pada saat kehamilan.

REFERENSI

I. Major CA. Nagcotte MP. Thyroid Disease. In James OK. Steer PJ. Weiner CPo Gonik B ledsl. High Risk Pregnancy
Mrtnagement Options. 2"" edition. London:W'.B Saunders.2000.pp 709·' S.
2. Cunningham FG. lcveno KJ. Bloom n. Hauth Je, Gilstrap HI lC, Wenstfom I<'D. WlJlii'lms Obstetrics. 22"11 edition.
New York,McGraw·Hill Mt"diccll Publishing Olvision.2005.pp 1189.
The Endocrine Socictts Cfinic.11 Guidelines. Management of Thyroid Dysfunction during PregnClncy ilnd
Postputum: An Endocrine Society Clinic.ll Practice Guiacrines. AUgU5t, 2007

PPDS I O~.dA.vG~20lS 141


39. Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia

1 Asfiksia Bayi Baru Lahir

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir. SeringkaJi bayi yang sebeJumnya mengaJami gawat janin akan mengalaml asfi/(sia
sesudah persalinan. MasaJah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat atau
masCllah pada bayi selama atau sesudah persalinan.

1.1 Penyebab Asfiksia.


Beberapa keadaan pada Ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta
berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang. akibatnya terjadi gawat janin. Hal
ini dapat menyebabkan asfiksia BBL

KEADAAN IBU

• Preeklampsia dan eklampsia


• Pendarahan abnormal (plasenta previa atau soJusio
plasentaj
• Partus lama atau partus macet
• Demam selama persaJinan
• Jnfel<si berat (malaria, sitilis. TBe, HIV)
• I(ehamilan Post Matur (sesudah 42 minggu kehamilan)
Keadaan berikut ini
beraJdbat penurunan aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi
mungkin mengalami astiksia:

--~
1;~~DAA~-~~L1 PUSAT
• Lilitan tdli pusat

I
l•
• Tali pusat pendek

Simpul tali pusat

• Prolapsus tali pusat


--------_.- .. _--
Pad" kcadaan bcriJ<ut. bayi mungldn mengalami asfi/(sia walaupun tanpa didahului tanda
gawat janin:

142
PPDS I Oh>tW"d.;u,.G~2015
I<EADAAN BAYJ
• Sayl prematur (sebelum 37 minggu I<ehamilanl
• PersafinCln sulit (Jetak sungsang, bayi kembar,
distosia bahu, ekstraksi vakum, forsep)
• I<elainan kongenital
• Air ketuban bercampur mekonium (warna
kehijauan)

GAWAT JANIN j
APAKAH GAWAT Reaksijanin pada kondisi dimana terjadi ketidak-cukupan l
JANJN7 oksigen
Gawatjanin dapat diketahui dengan ;

, Frekuensi bunyi jantung janin kurang 100 atau lebih 180 X

I SAGAIMANA /menit I
MENGETAHUI GAWAT Serkurangnya gerakan Janin. (Janin normal bergerak lebih
JANIN7 dad lOX / hari/.
Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna
kehijauan Uika bayi keluar denqan presentasi kepalal.
Gunakan partograf untuk memantau persalinan.
SAGAlMANA
, Anjurkan ibu untuk sering berganti posisi selama
MENCEGAH . . . . I
persallnan, Jbu ham" yang berbanng terlentang dapat I'
GAWAT JANJN7 mengurangi aliran darah ke rahimnya.
SAGAIMANA
MENGIDENTIFJKASJ I' Periksa frekuensi bunyi jantung janin setiap 30 menit padal
Kala I dan setiap 15 menit sesudah pembukaan lengkap.
GAWAT JANIN I' Periksa ada / tidal<nya air ketuban bercampur mekonium 1
DALAM PERSAUNAN7 I (warna kehijauan) I

i Jika terdapat tanda gawatjanin :


i Tingl<atkan oksigen padajanin dengan cara berilwt:
Mintalah ibu merubah posisi tidurnya •
I
Serikan cairan J<epada ibu secara oral dan atau IV
BACiAIMANA Serikan okslgen (bi/a tersedia)
MENANGANI Periksa kembali denyut jantung janin setelah 10-15 menit
GAWAT JANIN7 tindakan di atas
Jika frekuensi bunYljantung masih tidak normal:
RUJUK.

an asfiksia.

'Catatan:
Anjurkan ibu hamil in-partu berbaring ke sisi kiri untuk meningkatkan aliran oksigen ke
janinnya. Hal ini biasanya meningkatkan aliran darah maupun oksigen melalui plasenta
lalu kejanin. Si/a posisi miring ke kiri tidak membantu. coba posisiyang lain (miring ke

Pl'VS I OlmW.. do..n.G~Z015 143


kanan, posisi "sujud"j. Meningkatkan oksigen kejanin dapat meneegah atau mengobati
gawatjanin.
3, Keputusan Resusitasi Bayl Baru lahir

Bidan harus mampu melakukan penilaian untuk mengambil keputusan guna menentukan
tindakan resusitasi.

Sebelum bay; lahir.


0
Apakah kehamilan cukup bulan?
Sebelum bayi /ahir; sesudah ketuban peealr.

0
Apakah air ketubanjernih, tidak bercampur

PENILAlAN mekonium Iwarna kehijauan) ?

Segera sete/ah bayi lahir (jika bayi eukup bulan;:


0
Menilai apakah bayi menangiS atau bcrnapas/
megap-megap ?,
0
Menilai apakah tonus otot baik 7.

Memutuskan bayi perlu resusitasi jika:


0
KEPUTUSAN Bayi tidak cukup bulan dan atau bayi megap·megap/
tidak bernapas dan atau tonus otot bayi tidak baik.
0
Air ketuban bercampur mekonium.

Mulai lakukan resusitasi segera jika:


Bayi tidak cukup bulan dan atau bayi megap-megapj
tidak bernapas dan atau tonus otot bayi tidak baik:
I lakukan Tindakan Resusitasi BBL.
rnNMAAN 0
llihat halaman 13 dan bagan alur B)
Air ketuban bercampur mekonium:
lakukan Resusitasi sesuai dengan indikasinya.
lIihat halaman 16 dan bagan alur C)

lakukan penilaian usia kehamilan dan air ketuban sebelum bayi lahir. Segera setelah lahir,
sambil meletakkan & menyelimuti bayi di atas perut ibu atau dekat perineum, lakukiln
penilaian cepat usaha napas dan tonus otot. Penilaian ini menjadi dasar keputusan
apakah bayi perlu resusitasi.

Nilai Iskor) APGAR tidak digunakiln sebagai dasar keputusan untuk tindakan resusitasi
Penilaian harus dilakukan segera, sehingga keputusan resusitasi tidak didasarkan
penilaian APGAR; tetapi skor APGAR tetap dipakai untuk menilai kemajuan kondisi BBL
pada saat 1 menit dan 5 menit setclah kelahiran.

Dalam Manajemen Asfiksia, proses penilaian sebagai dasar pengambilan keputusan


bukanlah suatu proses sesaat yang dilakukan satu kali. Setiap tahapan manajemen
asfiksia, senantiasa dilakukan penilaian untuk membuat keputusan, tindakan yang apa
yang tepat dilakukan.

PrOS I O~dA.vG~2015 144


DASAR ASUHAN BBL:
Oalam setiap persalinan, penataksanaan BBl menganut beberapa prinsip yang penting
untuk kelangsungan hidup BBL diantaranya:
• Kering, bersih dan hangat:

Sangat penting bagi ~ bayi baru lahir untuk dijaga agar tetap kering, bersih dan

hangat untuk mencegah bayi kedinginan [hipotermi) yang membahayakan.

Prinsip ini tetap dianut dalam penatalaksanaan resusitasi BBL dan terlebih lagi bayi

Asfiksia sangat rentan terhadap hipotermi.

• Bebaskan dan bersihkanjalan napas BBL:

Bersihkanjalan napas bayi dengan cara mengusap mukanya dengan kain atau kasa yang
bersih dari darah dan lendir segera setelah kepala bayi lahir (masih di perineum ibu),
DApabiia BBL segera dapat bernapas secara spontan atau segera menangis, iangan
lakukan penglsapan secara rutin padajalan napasnya,

IJApabiia BBl tidal< bernapas atau bernapas megap-megap, maka penghisapan lendir
amat penting sebagai bagian mutlak darllangkilh ilwal resusitasi.

:JApabila terdapat air ketuban bercampur mekonium, begitu bayi laMir tidak bern apas
atau bcrnapas megap·megap, maka penghisapan lendir sangat penting dl/akukan
segera sebelum melakukan pemotongan tali pusat dan kemudian dilakukan
langkah awal

Posisi kepala bayi baru lahir juga amat penting untuk kelancaran jalan napas sehingga
dapat mcmbantu pernapasan bayL Pada pola persalinan normal, setelah lahir bayi
diletakkan di atas perut ibu yang telah dilapisi kain dan diusahakan agar letak kcpala
setengah tengadah Isedil<it ekstensi), Pengaturan posisi sangat penting pada resusitasi
BBL
• Rangsangan Taktil:
Mengeringkan tubuh bayi pada dasarnya adalah tindakan rangsangan. Untuk bayi yang
sehat, prosedur tcrsebut sudah cukup guna merangsang upaya napas. AI(an tctapi untuk
bilyi dengan Asfiksia, mungkin belum cukup sehingga perlu dilakuJ<an rangsangan tilktil
untuk merangsang pernapasan, Ada beberapa tindakan yang membahayakan bayi dan
perlu dihindari, misalnya menekuk lutut ke arah perut, menepuk bokong, meremas dan
mengangkat dada, dilatasi spingter ani, mengguyur air dingin dan hangat bergnntian.
• ASI
Penting sekali untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini dalam satujam setelah bayi lahir,
Bila bayi sudah bernapas normal, lakukan kontak ku/it bayi dan kulit ibu dengan cara
meletakkan bayi di dada ibu dalam posisi bayi tengkurap, kepa/a bayi menghadap dada
ibu, kepala bayi di tengah antara kedua payudara ibu sedikit dibawah puting, la/u selimuti
keduanya untuk menjaga kehangatan, /bu dianjurkan se/ama sekitar 1jam untuk
mengusap/membelai bayi dan memberikan dorongan untuk menyusu pi!da bayi, sambil
menunggu bayinya meraih puting susu secara m<1ndiri. Biasanya bayi berhasil menyusu
menit ke 30-60,

PPD:;IO~d=.G~"2015 145
40. SINDROMAASP/RASI MEKON/UM

SUMMARY AND RECOMMENDATIONS - Meconium aspiration syndrome (MAS) is defined


as respiratory distress in an infant born through meconium-stained amniotic fluid (MSAF)
whose symptoms canno.t be otherwise explained. MAS can present with varying degrees
of severity from mild respiratory distress to life·threatening with respiratory failure.
With changes in obstetric care, the Incidence of MAS has declined to about 0, I to

1,8 percent of live births in developed countries. Risk factors for MAS include

postmaturity and small for gestational age. (See 'Epidemiology' above.)

The pathophysiology of MAS involves intrauterine passage of meconium,

aspiration, and pulmonary disease resulting in hypoxemia. acidosis, and potentially

pulmonary hypertension (algorithm 1). PUlmonary disease is a result of aspirated

meconium interfering with normal lung function due to airway obstruction,

chemical irritation and inflammation, and deleterious effects on surfactant

metabolism (ie, inactivation and reduced production).

(See 'Pilthophysiology' above,)

Infants with MAS typically have a history of MSAF or evidence of meconium

staining on physical examination, They are frequently small for gestational age or

postmature, Many infants with MAS also have neurologic or respiratory depression

due to perinatal hypoxia. (See 'Clinical features' above.)

Patients present with respiratory distress with marl<ed tachypnea, cyanosis,

intercostal and subxiphoid retractions, abdominal breathing, grunting, and nasal

flaring. The chest appears barrel-shaped (increase anterior-posterior diameter) due

to overinflation. In patients with severe MAS, complications include air leaks (eg,

pneumothorax) and persistent pulmonary hypertension (PPHN). (See'Pulmonary

~ above and "Pulmonary air leal< in the newborn" and "Persistent pylmonary

hypertension of the newborn".)

The diagnosis of MAS is based on the clinical findings of MSAF or meconium­

stained infant, respiratory distress, and characteristic radiographic features, The

radiologic findings are initially streaky, linear densities, followed by hyperinflation,

and alternating diffuse patchy densities with areas of expansion. In patients who

require intubation, the diagnosis is established by the presence of meconium in the

trachea. (See 'Diagnosis' above.)

1'PDS I O&~da..t.G~JV20JS 146


MAS is differentiated from other causes of neonatal respiratory distress (eg,
transient tachypnea of the newborn, neonatal pneumonia, and congenital cyanotic
heart disease) based upon the history, physical examination, clinical course, and
radiographic findings,(See 'Differential diagnosis' above.)
The evaluation of suspected MAS includes chest radiography, arterial blood gas
and pulse oximetry, blood cultures, and if pouible, tracheal aspirate cultures, In
patients with more severe disease, an echocardiography may be indicated to
exclude structural heart disease and/or PPHN, (See 'Evilluation' above,

http :lwww.uptodCllc.coml

Pf'1JS I O~v~G~2015 147


41. INFEKSI HIVjAIDS & TRANSMISI VERTIKAL

I. Definisi dan Jenis

AIDS (Acquired Immune Defficiency Syndrome) merupakan suatu penyakit yang


disebabkan oleh HIV {Human Immunodefficiency Virus;. HIV merupakan virus dari
famili retrovirus. Saat ini dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV· 1 dan HIV-2. Keduanya
dapat menyebabkan AIDS pada manusia. Hampir semuakclsus AIDS di dunia
disebabkan oleh HIV-l. Sedangkan HIV-2 lebih berhubungan erat dengan SIV
(Simian ImmunOdefficiency Virus), penyebab AIDS-like disease pada makakak.
2. Epidemiologi

Epidemi HIV terus mengalami peningkatan di seluruh dunia. Sejak kasus HIV
pertama kali dilaporkan pada tahun 1981, infeksi HIV terus berkembang dengan
sangat cepat. Hingga tahun 1999, WHO melaporkan terdapat 34,4 juta penderita
HIV di seluruh dunia, dimana 15,7 jutanya adalah perempuan, dan setiap tahunnya
2,3 juta perempuan yang terinfeksi HIV melahirkan bayi. Hal ini sangat
mengkhawatirkan, mengingat 70% infeksi HIV ini ditularkan melalui transmisi
heterosel(sual dan lebih darl 90% infeksi pada anak-anak terjadi akibat transmis;
secara vertikal dari ibu ke bayinya. Setiap tahunnya, hampir 600.000 anak-anak
tertular virus HIV dengan cara transmisi vertikal ini.
3. Patofisiologi

Hingga saat ini, cara penularan yang diketahui adalah melalui hubungan seksual,
darah, dan secara perinatal, yaitu transmisi dari ibu ke bayinya. Penularan infeksi
HIV pada perempuan di AS, 40% berasal dari hubungan heteroseksual, 27%
melalui narkoba suntikan, dan 1% ditularkan melalui transfusi darah.
Infeksi HIV / AIDS

Terdapat dua target utama HIV, yaitu sistem imun dan susunan saraf pusa!.
Molekul CD4 merupakan reseptor yang memiliki afinitas tinggi terhadap HIV.
Langkah awal dari infeksi ini ialah terikatnya selubung {envelope; glikoprotein
gp 120 pada molekul CD4 yang berperan sebagai reseptor primer untul( HIV.
Namun jika hanya terikat pada molekul CD4 saja tidak cukup untuk terjadinya
Infeksi H IV, oleh karena itu HIV harus terikat pada ko-reseptor lainnya agar bisa
masuk ke dalam sel. CXCR4 dan CCRS sebagai ko·reseptor berperan dalam proses
ini. Selanjutnya, HIV harus terikat pada reseptor primernya yaitu CD4 dan ko­
reseptornya sebelum bersatu dengan membran sel dan melal(ukan internalisasi.
Setelah melakul<an internalisasi, genom dari virus tersebut akan mengalami proses
reverse transcription, yang merupakan awal pembentukan proviral DNA yang
selanjutnya akan terintegrasi pada genom host. Setelah proses ini, provirus akan
terkunci dalam kromosom selama jangka waktu bulanan hingga tahunan. Pada
masa terse but, infeksi dikategorikan sebagai fase laten. Setelah terjadi infeksi
kr~nik, strain CXCR4 (virus X41 timbul pada 50% individu yang terinfeksi. Strain X4
tidak hanya menginfeksi Iimfosit T, namun juga bereplikasi di sel T dan
menginduksi terbentuknya sinsitia. Terdapatnya strain virus X4 biasanya sebagai
faktor prediktor penurunan cepat CD4 dan mempercepat progresifitas HIV.
• Transmisi vertikal

Mekanisme transmisi in utero atilu infeksi dini diperkirakan secilra transplasental.


Sedangkan saat persalinan, bayi dapat terinfeksi virus melalui kontak langsung

PPnS I ai»tW(,M..vG~2015 148


dengan darah yang sudah terkontaminasi atau sekresi serviko·vagina melalui kulit,
paparan trakheobronkhial atau pengisapan. Penularan pasta persalinan dapat
terjadi saM masih dalam perdwatan dan masa laktasi.
4. Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV ditegakkan melalui pemeriksaan serologis yang dapat


mendeteksi antibodi terhadap virus atau dengan nucleic acid based assays yang
dapat mengukur jumlah kopi virus dalam plasma (RNA polymerase chain reaction)
ataujumlah virus dalam sel (DNA polymerase chain reaction!. Metode yang paling
sering digunakan untuk skrining HIV ini adalah enzyme-linked immunoasorbant
assay(EL/SA/. diikuti pemeriksaaan Western blot untuk ko"firmasi.
Terdapat beberapa kriteria hasi! tes terhadap HIV. sebagai berikut :
• Tes HIV dinyatakan positif jika pemeriksaan ELISA berulang menunjukkan hasil
positif, demikian pula halnya dengan tes Western blot.

• Tes menunjukkan hasi! yang belum pasti jika hasi! ELISA positif namun hasi!
Western blot menunjukkan adanya satu pita (single band). Ketidakpastian ini
mung kin menunjukkan proses serokonversi yang sedang berlarigsung. namun
lebih sering menunjukkan jumlah kasus non·HIV seperti autoantibodi dari
penyakit autoimun atau penyakit kolagen. atau reaktivitas silang dengan
alloantibodi pada kehamilan. transfusi darah. dan transplantasi organ.

Sensitivitas dan spesifisitas dari tes serologis ini cul<up tinggi. yaitu lebih dari
99%.
• HClsil tes positif palsu dapat disebabkCln oleh autoantibodi, penerima vaksin
HIV. kesalahan tei<nik pemeril<sa.

• HClsil tes negatif dapat diperoleh pada milsa jendela (window period!.
serokonvers;, dimana pada AIDS lanjut dapat terjadi penurunan kekebalan
tubuh yang tajam sehingga tubuh tidak mampu membentuk antibodi.
agammaglobulinemia. serta kesalilhan tel<nik pemeriksaan.

Pemeriksaan lainnya adalah tes cepat. tes saliva. dan urin.


Oi Indonesia. diagnosis hasil tes dinyatakan positif apabila tes skrining dua kali
positif ditambah tes konfirmasi dengan Western blot positif. Namun karena biaya
tes Western blot mahal. mal<a digunakan tes penyaring tiga kali positif Idengan
reagen yang berbeda).
Setelah diagnosis HIV ditegakkan. dilakukan pemeriksaan selanjutnya yaitu jumlah
CD4 dan viral load. Jumlah normal CD4 adalah 500·1400 seljmm3. Jika jumlah ini
menurun hingga kurang dari 200 seljmm3. maka risiko untuk terjadinya infeksi
oportunistik akan meningkat. Jumlah CD4 menggambarkan tingkat imunosupresi
saat itu. sedangkan level RNA HIV atau viral load menggambarkan aktivitas virus
dan dapat dijadikan sebagai prediktor progresifitas penyakit. Stan dar jumlah viral
load adalah 400 kopijml. Di bawah nilai terse but dilaporkan sebagai "tidak
terdeteksi". Jumlah sel CD4 dalam darah merupakan indikator yang dapat
dipercaya untuk memantau beratnya kerusakan tubuh akibat HIV dan
memudahkan pengambilan keputusan dalam pemberian obat antiretroviral.
5. Penatalaksanaan

• Asuhan Antenatal

PPVS I o~.um,G~ZOJ5 149


Sebagian besar perempuan dengan HIV positif akan asimptomatis dan tidak
memilil<i masalah dalam kehamilannya. Asuhan antenatalnya sama dengan
perempuan hamil dengan H/V negatif. Asuhan se/ama kehamilan ini mungkin
perlu ditambahkan konseling dan nasehat perlunya alat pengaman jika
melakukan hubungan seksual.
Perempuan yang baru saja diketahui mengidap HIV atau yang sudah terkena
infeksi HIV namun tidak pernah mendapat terapi sebelumnya harus dievaluasi
dengan seksama adanya manifestasi HIV dan harus dilal<ukan pemeriksaan
laboratorium untuk evaluasi pemberian antiretrovirus.
Saat kunjungan pertama kali, setiap perempuan hamil yang mengidap infeksi
HIV harus dilakukan pemeriksaan fisik secara keseluruhan termasuk
oftalmologi, neurologi, dan pemeriksaan dalam. Anamnesis yilng lengkap ke
arah tanda-tanda kemungkinan serokonversi, gejala yang mengarah adanya
infeksi oportunistik, penyakit menular seksual, persalinan sebelumnya yang
mung kin memerlukan tes HIV bagi anak yang di/ahirkilnnya. Perhatian khusus
ditujukan pada adanya infeksi yang berhubungan dengan HIV, seperti : TB(,
lesi di vagina atau mulut dan limfadenopati. Penyakit menular seksua/ seperti
sifilis sering ditemukan pada perempuan dengan HIV positif dan dapat
meningkatl(an penularan melalui vagina maupun sekresi dari serviks. Anemia
lebih sering didapati pada penderita H/V. Pemeriksaan /aboratorium meliputl
pemeriksaan darah tepi lengkap termasul( hitungjenis leukosit, kreatlnin serum
transaminase untuk menilal I<elayakan pemberian obat antiretrovirus.
Public Health Service Task Force merekomendasikan jil<a seorang perempuan
hamil terinfeksi HIV datang setelah usia I<ehamilannya 36 minggu, namun
belum mendapatl(an antiretrovirus dan belum diketahui hasil RNA HIV dan
(04, maka saat itu juga pasien harus diberikan anti retrovirus, setidaknya sesuai
dcngan rejimen ZOV PACTG 076. Selain itujuga perlu dijelaskan kepada pasien
bahwa seksio sesarea elektif dapat menurunkan transmisi perinatal. Namun
dcmil(iiln, risil<o terjadinya komp/ikasi akibat sel(sio sesarea tetap ada, seperti :
meningkatnya infeksi pasca operasi, risiko anestesia, dan tindakan bedah
lainnya.
• Antiretrovirus

Pemberian obat antiretrovirus pada perempuan hamil yang terinfeksi HIV


bertujuan untuk memaksimal/<an kondisi kesehatan ibu dan menurunkan
kejadian transmisi perinatal. Target yang ingin dicapai adalah supresi mak.imal
virillioild untuk memelihara fungsi Imun dan menurunkan angka morbiditas
serta mortalltas akibat HIV. Untuk mencapa/ tilrget ini. perlu komblnasl dengan
beberapa agen antiretrovirus.
Jika seorang perempuan hamil belum menggunakan cbat antiretrovirus, mal<a
saat mulai diberikan obat yang tepat adalah setelah trimester pertama, kecuali
jika infeksi tersebut sangat berat. Hal ini untuk mengurangi efek teratogenik
yang dapat ditimbulkan oleh obat anti retrovirus.
Waktu pemberian ZDV;
v' Antepartum

v' Rejimen; ZDV 5x 100 mg oral

Dimulai saat usia kehamilan 14·34 minggu dan dilanjutkan selama hamil
.; Intrapartum

P1'lJ5 I OInt>tY"M..-vG~201S J 50
Rejimen : saat persalinan, ZDV intravena 2mg/kgBB sebagai dosis inisial
diberikan selama 1 jam, dilanjutkan dengan 1mg/kgBB/jam sampai
melahirl<an
.; Postpartum

Rejimen : ZDV oral diberikan pada bayi baru lahir (ZDV sirup

2mg!kgBB/dosis setiap 6 jam selama seminggu pertama kehidupan,

dlmu/ai saat usia 8-12jaml...

Catatan : dosis ZOV Intravena untuk bayl yang tidak toleransi dengan

pemberlan oral ada/ah 1.5mg!kgBB dengan pemberian intravena setiap

6jam.

Meskipun zidovudin satu-satunya obat yang terbukti berhasil dalam


menurunkan angka transmisi, beberapa penelitian menunjukkan bilhwil
level RNA berkorelilsi dengan risiko terjildinya penularan. Namun penularan
dapat tetap terjadi pada semua level HIV RNA. level RNA-HIV-! yang
rendilh atau tidak terdeteksi tidal< menjamin tidak terjadinya penularan.
Oleh karena itu, pemberiiln ilntiretrovirus sebagai profilaksis
direl<omendasikan pada semua ibu hamil yang terinfeksi HIV tanpa
memandang level RNA HIV-nya.
Nevirapin merupakan antiretrovirus yang harganya relatif lebih murah,
sehingga dapat diberikan pada kasus-kasus HIV di negara-negara
berl<embang. Namun te!ahdilaporkan adanya resistensi terhadap nevirapin
in/.
Antiretrovirus memillkl efek toksisitas, sehingga WHO menganjurkan
pemantauan laboratorium untuk mengetahui etek samping yang timbul.
Pemerillsaan laboratorium itu meliputi : pemeriksaan C04 setiap 6 bulan,
bilirubin serum, amilase, trigliserida, viral load, DPl, SGOT, SGPT, ureum,
gula darah, dan tes kehamilan. Pemantauan hasil pengobatan dilakukan
dengnil mengamati kondisi klinis, hitung CD4 dan viral load. Bila
memungldnkan, dapat di/ilkukan tes resistensi, namun di Indonesiil fasi/itas
ini belum ada. Mengingat pemerii<saan CD4 dan viral load cui<up milhal,
maka pemantauiln untuk kedua pemeriksaan ini cukup 6 bulan sekali.
Pemantauan intra partum

Penelitian meta analisis menunjukkan bahwil sel<sio sesarea elektif pada ibu
hamil dengan infeksi HIV yang mendapat terapi zidovudin dapat menurunkan
transmisi perinatal dari 7,3% menjadl 2%. ACOG merekomendasikan seksio
sesarea elektlf dilakukan pada kehamilan 38 minggu.
Pada seksio sesarea yang dilakukan sailt In partu dan atau saat I<etuban sudah
pecah, tidak menunjukkan angka penurunan transmisi yang bermakna.
Lamanya ketuban pecah meningkatkan risiko transmisi perinatal. Risiko
transmisl lebih besar lagi jika ketuban pecah lebih dari 4 jam. Penelitian meta
anal/sis yang dilakukan oleh International Perinatal HIV Group menunjukkan
bahwa setiap satu jam lamanya ketuban pecah. risiko penularan meningkat 2%.
Namun demikian, meskipun seksio sesarea bermanfaat dalam menurunkan
transmisi perinatal, perlu diingat bahwa seksio sesarea memiliki risiko untuk
terjadinya komplikasi post partum, baik pada ibu hamil yang terinfeksi HIV
maupun pada ibu hamil yang tidak terinfeksi HIV. Dengan adanya penurunan
fungsi imun pada penderita HIV, seksio sesarea akan meningkatkan morbiditas
pada ibu, terutama berhubungan dengan kejadian infeksi post partum. Oleh
karena itu, pada keadaan tertentu, seksio sesarea harus dipertimbangkiln

PPDS I Ofntotyv~G""'~20IS '5 ,


secara matang. Untuk mencegah infeksi post seksio, diberikan antibiotika
profilaksis.
• Pemantauan post partum

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada kondisi post partum pasien HIV adalah
pemberian antiretrovirus yang berkesinambungan, penggunaan alat
kontrasepsi, perawatan pada bayi yang baru dilahirkan, evaluasi status HIV
pada ibu dan bayinya. Monitoring C04, kadar RNA HIV dilakukan setiap 3-6
bulan untuk mengevaluasi perlunya pemberian antiretrcivirus lanjut dan
pencegahan infeksi oportunistik.
Pemberian antiretrovirus direkomendasikan untuk penderita sindrom HIV akut
akibat infeksi primer, dan yang mengalami serokonversi dalam waktu 6 bulan
serta semua penderita HIV yang bergejala. Pada penderita HIV yang
asimptomatis, antiretrovirus diberikan jika CD4 < 350 seljmm3 atau viral load >
55.000 kopijml.
Seringkali tcrjadi depresi dan emosi yang terganggu pasca persalinan. Dari
suatu penelitian diketahui bahwa 85% perempuan yang diketahui terinfeksi
HIV saat kehamilan menderita depresi dan mempunyai keinginan untuk bunuh
diri. Sedangkan ibu hamil yang diketahui menderlta HIV sebelum hamil, tidak
menunjukkan depresl berat. hanya berupa kekhawatiran tentang status HIV
bayinya. Oleh karena itu, dukungan penuh dari tim medis dan seluruh keluarga
sangatlah dibutuhkan.
Pemilihan alat kontrasepsi sudah harus didiskusikan saaf masih dirawat di
rumah sa kit. Kontrasepsi dengan alat pengaman kondom harus
direkomendasikan untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks.
Alat I(ontrasepsi hormonal dapat menimbulkan interaksi dengan obat
antiretrovirus. Kadar etinil estradiol dapat turun jika diberikan bersama dengan
ritonavir, nelfinavir, dan amprenavir. Hingga saat ini tidak ada data ten tang
adanya interal(si obat antiretrovirus dengan medroksiprogesteron atau
Norplant. AKOR dapat menjadi kontrasepsi pilihan bagi perempuan dengan
HIV positif yang belum menunjukkan gangguan fungsi imunitas yang berat.
Sterilisasi merupakan tindakan yang tepat bagi perempuan dengan HIV positif.
• Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif
Risil(o penularan HIV dari ibu ke bayinya sekitar 30%. Penularan ini dapat
terjadi saat janin masih dalam kandungan, In partu, partus, dan post partum.
Risil(o terbesar transmisi adalah pada saat in partu dan persalinan. Risiko
penularan saat menyusui cukup besar, yaitu 14-29%. Penelitian yang ada
menunjukkan bahwa 70-85% bayi terinfeksi saat intra partum dan post partum.
Pada bayi yang lahir dari ibu lilV positif, terdapat antibodi terhadap HIV kelas
Imunoglobulin G yang berasal dari darah ibu. Imunoglobulin ini dapat bertahan
selama 15 bulan. Oleh karena itu, pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
positif jika tes anti HIVnya positif, belum tentu bayi tersebut terinfeksi. Te~
harus 'diulang pada usia 18 bulan. Jika ingin diketahui cepat. apaka~ ~aYI
tersebut terinfeksi, dapat dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksl virus
dengan tes PCR (Polymerase Chain Reaction!. . . . .
Berdasarkan kriteria Pediatric Virology Committee of the AIDS Climcal rnal
Groups. bayi dinyatakan mengidap infeksi HIV dinl / In utero jika tes virol~gis
positif dalam waktu 48jam usia kehidupan.lnfeksi lambat/ intrapartum terJadi
jika tes viroiogis negatif saat 48 jam pertama usia kehidupan, namun tes

152
PPDS I O~vda.noG~20J5
lanjutan berikutnya yang dilakukan setelah usia minggu tanpa disusui,

menunjukkan hasil positif.

Masa laktasi merupakan salah satu faktor risiko transmisi HIV secara vertikal.

Hal ini masih menjadi masalah utama di negara·negara miskin, dimana harga

susu formula tidrtk terjangkau. Sekitar 75% transmisi HIV melalui ASI terjadi

dalam 6 bulan pertama. Pemberian susu formula dapat menurunkan angka

transmisi ini.

Upaya pencegahan perinatal dengan pemberian obat antiretrovirus, seksio

sesarea, dan pemberian susu formula sang at bermanfaat dalam menurunkan

transmisi vertikal. Diperkirakan pemberian vitamin A dapat menurunl<an angka

transmisi ini pula.

6. Komplikasi

Perempuan dengan HIV memiliki risiko komplikasi kehamilan lebih besar dibanding
perempuan hamil yang tidak terinfeksi HIV. Infeksi HIV berhubungan dengan
kejadian kehamilan ektopil<, abortus spontan (meningkat hingga 67%),
prematuritas, berat badan lahir rendah, neonatus kecil masa kehamilan. dan
stillbirth. Risiko lainnya adalah infeksi genital dan traktus urinarius. Selain itu, ibu
hamil yang menderita HIV memiliki risiko tinggi untuk terjadinya endometritis
pasca persaJinan. Mekanisme ini diduga terjadi aklbat adanya imunosupresi.
Penelitian meta anaJisis menunjukkan bahwa kehamilan tidak mempunyai efek
yang bermakna terhadap progresivitils infeksi HIV yilng dideritanya. Viral load
pada perempuan HIV positif tetap stabil selama kehamilan. Baik perempuan hamil
dengan HIV positit maupun perempuan dengan HIV posit it yang tidak hamil, tidak
menunjukkan perbedilan dalam hal risiko kematian, progresifitas penyakit menjadi
AIDS, maupun penurunan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm. Meskipun demikan,
kehamilan mungkin dapat mempercepat progresifitas infeksi HIV stildium lanjut.
Sila ibu menderita infeksi HIV bersamaan dengan infeksi VHC, maka kemungldnan
trilnsmisi pada bayinya akan lebih besar lagi, yaitu 5·36% dibanding ibu yang
hanya menderita infeksi VHC. Secara hipotesis, ibu yang terkena infeksi HIV akan
mengalami penurunan imunitas, sehingga viralloadVHC nya lebih tinggi, I<ondisi
Ini mempermudah terjadinya transmisl vertikal.
l<o·lnfeksl HIV·hepatitis C dapat mempercepat progresitltas menjadi AIDS, slrosls,
gagal hati, dan fibrosis hati ak/bat hepatitis C. Hingga saat in;' pengobatan yang
direkomendasikan adalah ribavirin dan pegylated interferon, Pemberian antivirus
Hepatitis C bukan merupakan I<ontraindikasi pada pasien dengan ko·infeksi HIV,

f'f'OS I Oi»ttn-"""",G~v2015 153


42.MASALAH EMOSI DAN KEJIWAAN SELAMA KEHAMILAN

PRfNSfP DASAR
Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis, perubahan pSikologis
dan adaptasi dari seorang wanita yang pemah mengalaminya. Sebagian besar kaum -
Iwanita menganggap bahwa kehamilan adalah peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi.
sebagian lagi menganggap sebagai peristiwa khusus yang sangat menentukan kehidup­
an selanjutnya.

Perubahan kondisi fisik dan emosional yang kompleks, memerlukan adaptasi terhadap
penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi. Konflik antara keinginan
prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosiokultural dan persoalan
dalam kehamilan itu sendiri, dapat merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, muiai
dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat gangguanjiwa yang berat.

Dukungan psikologik dan perhatian akan memberi dampak terhadap pola kehidupan
.sosial Ikeharmonisan: penghargaan, pengorbanan, I<asih sayang dan empatl) pada
wanita hamil dan dari aspek telmis, dapat mengurangi aspek sumber daya Itenaga ahi/,
Civa penyelesaian persalinan normal, akselerasi, kendali nyeri dan asuhan neonatal).

Hubungan episode kehami/an dengan reaksi psikologis yang terjadi.


Trimester pertama: sering terjadi fluktuasi lebar aspel< emosional sehingga peri ode ini
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya pertengkaran atau rasa ti.dak nyaman.
Trimester kedua: fluktuasi emosional sudah mulai mereda dan perhatian wanita hamil
lebih terfokus pada berbagai perubahan tubuh yang terjadi selama /<ehami/an,
kehidupan seksual keluarga dan hubungan batiniah dengan bayi yang dikandungnya.
Trimester ketiga: berkaitan dengan bayangan risi/<o I<ehamilan dan proses persalinan
sehingga wanita hamil sangat emoslonal da/am upaya mempersiapkan atau me­
waspadai segala sesuatu yang mungkin akan dihadapi.

Masalah
Aspek psikologik dan pengaruhnya pola I<ehidupan I<eluarga dan tilhapan trimester.
Gangguan emosional dapat mengganggu I<esehatan ibu dan janin yang
dikandungnya.
Hambatan asuhan neonatal pascapersalinan.

Penanganan umum
Kehamilan sendiri merupakan risiko terhadap kesehatan ibu, apilbila diserta; dengan
gangguan psikologik diperlukan pendapat bidang keahlian yang sesuai.
Rawatjalan dan dukungan keluarga merupakan pendekatctn yang raslonal.
Gali faktor-faktor yang berkaitan dengan reaksi kejiwaan dar; seseorang, terutama

Pl'OS I Ol>!tW""""'G~2015 154


yang mungkin dapat bermanifestasi negatif selama kehamilan atau persaJinan (mi­
salnya status perkawinan, kepribadian, hubungan dengan mertua dsb).,
• Sedapat mungkin hindarkan penggunaan psikofarmaka, upayakan dulu
psikotrapianalitik.
Rawat inap dan isolasi hanya diperlukan apabila pasien membahayakan dirinya
sendiri, bayi yang dikandungnya atau orang lain.

Penanganan khusus

Pseudosyesis
Wanita tidak hamil yang pereaya bahwa dirinya hamil, diikuti dengan munculnya
gejala dan tanda Idugaan) kehamilan.
Bedakan kondisi ini dengan gangguan afel<tif yang juga dapat menimbulkan
keyakinan adanya kehamilan (berkaitan dengan delusi) atau juga terhadap seorang
infertil yang ingin tetap dieintai suaminya.
Lakukan anamnesis terarah yang akurat Itermasuk latar belakang psikis), perasilan
fisik Ikhloasma/hiperpigmentasi, pelunakan dan keunguan pada s~rvjks, besaran
uterus) dan pemeril<saan tambahan luji kehamilan dan ultrasonografi)
Lakukan I<onseling bahwa I<ehamilan harus dipastikan Iperdarahan lucut dengan
kc,mbinasi estrogen-progesteronj, akan dilakukan upaya pemeriksaan dan pengobatan
untuk kehamilan dan dul<ungan psikososiaf. .

!leaksi Cemas
Gangguan ini ditandai dengan rasa eemas dan ketakutan yang berlebihan, sesekali

terhadap hal-hal yang masih tergolong wajar.

Keeemasan baru terlihat apabila wanita tersebut mengungkapkannya karena gejala

klinik yang ada, sangat tidak spesifik (twitching, tremor, berdebar-debar, kaku otot,

gelisah dan mudah lelah, insomnia).

Timbul gejala-gejala somatik akibat hiperaktifitas otonom Ipalpitasi, sesak natas, rasa

dingin di telapak langan, berkeringat, pusing, rasa terganjal pada leher).

• Tenangk;m dengan psikoterapi. Walau kadang-kadang upaya ini I<urang memberi ha­
sil tetapi prosedur ini sebaiknya paling pertama dilakukan.
Hanya pada pasien dengan reaksi cemas berat, berik,1n diazepam 3 x 2 mg per hari.
Bila pasien tidak mmnpu untul< melakukan kegiatan sehari-hari atau kekurangan asu­
pan kalorijgizi maka harus dilakukan rawat inap di rumah sakit.

Heaks; Panik
Ditandai dengan rasa takut dan gelisah yang hebat, terjadi dalam periode yang relatif

singkat dan tanpa sebab-sebab yangjelas.

Pasien mengeluhkan nafas sesak atau rasa tereekik, telinga berdenging, jantung ber­

dehar, mata kabur, rasa melayang, takut mati atau merasa tidak akan tertolong lagi.

Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien gelisah dan ketakuran, muM pUCM, pilnailngan
PPDS I Ol»tWioaa.."C;~20lS 155
liar, pernafasan pendek dan cepat dan takhikarqi.
• Tenangkan secara verbal, sebelum psikoterapi atau medikamentosa. Sebaiknya pasien
dirawat untuk observasi terhadap reaksi panik ulangan dan pemberian terapi.
• Karena reaksi panik hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, cukup
diberik,1n dosis tunggal diazepam 5 mg IV.

Reaksi Obsesif-Kompulsif
Gambaran spesifik dari gangguan ini adalah selalu timbulnya perasaan, rangsangan
ataupun pikiran untuk melakukan sesuatu, tanpa objek yang jelas, diikuti dengan
perbuatan yang dilakukan secara berulang kali.
Pengulangan perbuatan terscbut dapat meneelakai dirinya, bayi yang dikandung atau
orang lain.
Adanya potensi gawitt darurat pada wanita hamil dengan reaksi obsesif·kompulsif
menjadl a/asan untu/< dirawat dl rumah saklt atau dalam pengawasan tim medis yang
mcmadai. Psikoterapi cukup membantu untuk mengembalikan wanita ini pada status
emosional yang normal.
Pala kasus yang berat, beri diazepam 5 mg IV dan observasi ketat.

Depresi Berat
• Depresi pada wanita hamil, ditandai oleh perasaan sedih, tidak bergairah, menyendiri,
penurunan berat badan, insomnia, kelemahan, rasa tidak dihargai dan pada kasus
yang berat, ada keinginan untuk mela/(ukan bunuh diri.
• Penelitian di RS Dr. Sutomo, Surabaya (1999) menunjukkan angka kejadian Depresi
Paseapersa/initn (Postpartum Blues} sebesar 15,2% (persa/inan fisiologis) dan 46,2%.
/persalinan pat%gis)
• Su/it untuk me/a/wkan komunikasi I<arena mereka eenderung menarlk dirl, tidak
mampu berkonsentrasi, kurang perhatian dan sullt untuk mengingat sesuatu.
• Gunakan anti depresan Amitryptyline 2 x 10 mg oral.
Terapi kejutan listrik (ECT) digunakan apabi/a psikofarmaka gaga./ dar reaksi depresi
membahayakan pasien.

Reaksi Mania
Reaksi mania ditandai dengan rasa gembira yang berlebihan (eforia), mudah terang­
sang, hiperaktif, banyak berbicara Ilogere), mengganggu dan rasa percaya diri yang
berlebihan. Angka kcjadian reaksi mania adalah 0,5·1,5% dan jumlahnya akan
bertambah pada peri ode pascapersalinan.
• Reaksi mania da/am kehamilan merupakan masalah yang cukup rumit karena obat
lithium karbona!, dapat menimbulkan berbagai akibat yang merugikan pada janin
(Ebsteins abnormillity, struma, kelemahan tonus otot dan menurunnya kemampuan
mengisap pada bayi yang baru dilahirkanl.

PPDS I O~da.-..G~20l5 156


Ibu·ibu yang menggunakan lithium karbonat, tidak boleh menyusui bayinya karena

obat ini diekskresi melalui air susu ibu.

Wanita hamil dengan reaksi mania, sebaiknya dirawat untuk menentukan dosis yang

paling tepat, aman dan efektif untuk lithium karbonat.

Pasien'pasien yang terkontrol pada saat hamil, cenderung mengalami episode mania

7·14 hari saat pascapersalinan.

Skizofrenia
Skizofrenia ditandai dengan gangguan proses berfikir, persepsi dan realita.- Pada
tingkat tertentu, dapat dUumpai halusinasi, waham kebesaran dan kejaran, gangguaa
bicara dan hi/angnya asosiasi dengan realita dan lingkungan sekitamya
Klorpromazine 12,5 mg atau haloperidol 0,5 mg, tidak berpengaruh terhadap janin
tetapi pada dosis anti psikotik Iklorpromazine 125·250 mg atau haloperidol 2 mgl
dengan pemberian multi dosis, dapat mempengaruhi kesehatanjanin.
• Obat ini diekskresi melalui ASI sehingga tidak dianjurkan untuk menyusui bayinya. Bi/a
psikofarmaka tidal< dapat digunakan, dapat digunakan terapi kejutan listrik IECT).

HaSiJ kehilangan
Dengan dukungan teknologi canggih sekalipun, abortus, eatat l(Ongenital, janin mati

dalam rahim dan mortalitas neonatal, masih akan tetap terjadi.

Rasa kehilangan merupakan adaptasi dari kemarahan, kekeeewaan dan l<esedihan

yang harus dihadilJ,i dan diatasi.

Lakukan konseling dan minta pasangan tersebut untuk mcmutuskan apa yang terbaik

bagi merel<a Imenyimpan hasil konsepsi, menyaksikan caeat yang terjadi, mendeka

janin yang telah dilahirkan, meminta otopsi) agar proses adaptasi terhadap kehililngan

dapat berjalan baik.

Perhatikan: kemarahan terhadap situasi yang terjadi, dapat dilampiaskan kepada staf

klinik dan terutama terhadap tenaga medil< atau penolong.


Beri kesempatan [paling tidak 6 bulan) untuk resclusi, sebclum memulai kehamilan
berikut.

PENANGANAN MASALAH KEJIWAAN MENURUT TINGKAT I'ELA YANAN KESEHATAN

Tanda • Ibu hamil dengan masalah atau gangguan yang dapat

dan mempengaruhi kesehatan/ kesela·matan ibu maupun janin

Gejala yang dikandungnya .


I

• Kesehatan dengan gejala eemas, panik, obsesif·komplusif,


Dugaan
mania atau skizofrenia.

Kategori I CEMAS I PANIK I OBSESI I DfPRESI I MANV. I SKlZQ

Pf'D5 I Ob,tttyv""""G~2015 157


"TIr9kaKI >:<...::.,:.'. ., ..' UPAYA . . •..
Polindes Kenali Kenali Kenali Kenali Kenali Kenali
Rujuk Rujuk Rujuk Rujuk Rujuk Rujuk
Observ Observas Observas Observas Observas Observas
asi i i i i i
pascao pascaop pascaope pascaope pascaope pascaope
peras; erasi rasi rasi rasi rMi
--

Puskes- Diagnosis i Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis


mas Terapi Terapi Terapi Terapi Terapi Terapi
Psikotcrapi Psikotcrapi
Psikoterapi Psikoterapi Psikoterapi Psikoterapi
Sedatif Sedatif Sedatif Sedatif Sedatif Sedatif
Rujuk bila Rujuk bilaRujuk bila Rujuk bila Rujuk bila Rujuk bila gejala
gejala gejala terdapat gejala gejala telap/ memburuk
tetap/ tetap/ gejala yang tetap/ tetap/
memburuk mcmburuk berbahaya memburuk memburuk
Observasi bagi ibu dan
pasea janin/mcm­
rujukan buruk I

Rumah Diagnosis i Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis Diagnosis


Sakit Psikoanalis Psikoanalis rsikoanalis Psikoanalis PSikoanalis Psikoanalis
Terapi Terapi Terapi Terapi Terapi Terapi
dan terapi dan terapi dan tcrapi dan terapi dan terap; dan terap;
Sedatif Sedatif Sedatif Sedatif Sedatif Sedatif
Konsultasi! I(onsultasi I(onsultasi! AD trisiklik Li· PsikOfar­
psikiater / psikiater
Jpsikiater
ANCjp'oW
biofisik
ECT/T1<L
I<onsultasi
/ psikiater
karbonat
Konsultasi
/ psikiater
ANC/profil
maka/ECT
I<onsultasi!
psikiater

I
biofisik

PPDS I Ob>tW"tWvC;~2015 158


43. AMENOREA

Definisi
Amenorea primer adaJah kondisi beJum datangnya haid hingga usia 16 tahun, Amenorea
sekunder adalah kondisi berhentinya haid setelah mengalami siklus haid yang teratur,
Sementara itu seorang wanita yang mengalami haid tiap lebih dari 3S hari dinyatakan
.sebagai oligoiTIenorea,

Patof)slologl
Siklus haid akan berlangsung teratur apablJa ovarium menghasill<an estrogen dan
progesteron dari pengaruh hormon-hormon hipofisis IFSH, LH) dan hipotalamus {GnRHj,
Hormon estrogen yang dihasi/kan ovarium akan memicu proliferasi endometrium_ Apabila
terjadi ovulasi dan terbentuk corpus luteum, maka hormon progesteron yang dihasilkan,
akan mengubah lapisan endometrium menjadi kaya dengan I<elenjar dan pembuluh
darah. Apabila tidak terjadi kehamilan, maka corpus luteum akan melepaskan lapisan
endometrium fungsional dan dikeluarkan berupa darah haid_

Amenorea terjadi bila hipotalamus dan hipofisis tidak dapat menghasilkan cukup hormon
untuk memicu produksLestrogen maupun progesteron pada ovarium (amenorea sentral),
Amenorea Juga dapat disebabkan oleh ketldak·mampuan ovarium untuk menghasilkan
hormon (amenorea ovarium/ovarian failure) atau lapisan endometrium tidak memiliki
respon lagi terhadap hormon-hormon yang dihasi/kan dari ovarium (amenorea uteriner)
atau diakibatkan oleh I<arena kelainan pada saluran kelamin baik kelainan yang bersifat
kongenital atau didapat.
Epidemiologi
Oi Amerika Seril<at paling tidak dalam satu tahun didapatal<an 5% dari wanita yang haid
akan mengalaml gangguan amenorea sekunder, Sementara itu dari data internasional
tidak didapatkan bul<ti bahwa I<ejadi,m amenorea dipengaruhi oleh suku bangsa maupun
kelompol< etniknya.

Diagnosis
Riwayat penyakit : Awalnya akan ditandai dengan timbulnya haid yang tidak teratur,
Gejala amenorea dapat disebabkan oleh karena kehamilan, kelainan anatomik genitalia
interna, kelainan pada ovarium maupun kelainan sentral (hipofisis, hipotalamusj, Kelainan
fungsional pada sentral dapat disebabkan oleh karena gangguan metabolik atau stress
pSikogenik. Pada I<asus-I<asus amenorea primer perlu diperhatikan aspel<-aspek
pertumbuhan dan proses pubertasnya, Perkembangan seks sel<under seperti payudara
(thelarche), tanda-tanda adrenarche dan growth spurt perlu diperhatikan pada saat
melakukan pemeriksaan pada penderita amenorea primer.

Pemeriksaan fisik : Perlu dilakukan penilaian status kesehatan secara umum dan status
gizinya. Pengukuran tinggi dan berat badan serta menentukan indeks massa tubuh amat
penting, Cari tanda-tanda hiperandrogen serta resistensi insulin (misal acanthosis
nigricans). Car; tanda-tanda penyempitan /apang pandang untuk melihat adanya efek dari
penekanan nervus optikus akibat pertumbuhan tumor hipofisis, Lakukan pemeriksacln
payudara berupa tahapan perkembangannya sesuai dengan derajat dari Tanner, serta
ada tidaknya galaktorea. Cari tanda·tanda aktivitas androgen supra-renal dan ovarium
dengan melihat pertumbuhan rambut aksila dan pubis. Pada kasus·kasus tertentu perlu
untuk dilakukan pemeriksaan panggul untuk menentukan ada tidaknya kelainan
anatomik pada organ-orgcln genitalia interna,

PPDS I O!»tttYVAA"'G~" 2015 159


Pemeriluaan penunjang ; Pemeril<saan laboratorium : untuk kasus·kasus i1menorea
sekunder perlu dipikirkan untuk mendeteksl adanya kehamilan. Apabila dicurigai adanya
kemungkinan penyakit·penyak/t slstemik, maka perlu dilakukan pemeriksaan darah
perifer lengkap, urinalisis dan kimia darah. Sementara untuk melakukan evaluasi terhadap
poros hipotalamus·hipofisis·ovarium dapat dilakukan pemeriksaan hormon FSH, LH, E2
dan Prolaktin. Uji provokasi : Uji P, yaitu dengan tujuan untuk menentukan ada tidaknya
aktivitas dari estrogen endogen. Uji E·P, 'yaitu dengan tujuan untuk menentukan tidak
adanya aktivitas dari estrogen maupun progesteron endogen atau menguji respon dari
endometrium. Peneitraan : penggunaan a/at USG untuk melihat karakteristik dari a/at
genitalia intern a serta ovarium. Penggunaan alat MRI untuk melihat adanya proses·proses
tertentu pada hipofisis.

Penanganan
Secara medis : jenisnya akan ditentukan oleh jenis kelainan yang menyebabkan amenorea
atau keinginan pasien. Secara pembedahan : umumnya ditujukan untuk mengkoreksi
secara langsung ke/alnan·kelafnan patologf yang terjadi pada organ·organ yang
bertanggungjawab untuk terjadlnya hafd.

Komplikasi
Hilangnya keteraturan haid banyak dihubungkan dengan kejadian patah tulang akibat
menurunnya densitas tulang. Waktu menarche yang lambat atau siklus haidnya lebih dari
32 hari juga dihubungkan dengan meningkatnya angka I<ejadian patah tulan~f pada
tahun·tahun berikutnya. Untuk itu seorang wanita muda yang mengalami insufisiensi
estrogen dan tidak memberikan respon yang adekuat dengan terapi perlu diberikan
terapi sulih harmon.

f'ERPlJSTAkAAN lQ:tlJ~~·,
PPDS'I OBSTeTRI &: GINE/(OLooI .'
FK IJNAIR. / RSU Dr. SOEToMO

.. ~

f'PDS I Ol»tWVda..vG~2015 160


44. PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL [PUD)

Definisi
PUD adalah suatu kejadian perdarahan uterus yang abnormal tanpa disertai adanya
kelainan patologi atau medis.

Patofisiologi

PUD dapat bersifat anovulatoir maupun ovulatoir. PUD anovulatoir umumnya terjadi pada

masa perimenarche dan perimenopause. yang disebabkan oleh gangguan poros

hipotalamus-hipofisis-ovarium. Perdarahan dari siklus anovulatoir disebabltan oleh karena

adanya kondisi unopposed estrogen akibat tidak terbentuknya corpus luteum sebagai

penghasil progesteron. Kondisi tersebut dapat memicu pertumbuhan endometrium secara

berlebihan sehingga tidak mampu lagi didukung oleh vaskularisasi lokal sehingga memicu

terjadinya peluruhan lapisan endometrium secara tidak beraturan. PUD ovulatoir memiliki

fungsi normal poros hipotalamus-hipofisis-ovarium sehingga hormon-hormon steroid

yang dihasilkan tidak berbeda dengan kondisi siklus haid yang normal. Terjadinya PUD

ovulatoir diduga oleh adanya defek pada sistem pengendali perdarahan pada saat haid,

yaitu aktivitas vasokonstriksi maupun hemostasis.

Epldemiologl

Oi Amerika Serikat PUO adalah merupakan masalah yang sering ditemukan pada 5-10%

kasus penderita yang berobat di klinik rawatjalan.

Diagnosis

Riwayat penyakit : Pasien mengeluhkan adanya perdarahan uterus yang jumlahnya

banyak atau lama pada saat haid (menoragiaJ atau adanya perdarahan yang tidak teratur

di luar siklus haid. Tidak akan ditemukan adanya riwayat kelainan darah seperti kebiruan

pada kulit, perdarahan pada gusi, atau epistaksis. Hal-hal yang terkait dengan masalah

gangguan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium dapat terlihat, misalnya oligomenora atau

galaktorea. Jenis perdarahan yang dapcH rerjadi adalah estrogen breakthrough bleeding,

estrogen withdrawal bleeding, dan akibat penggunaan alat-alat kontrasepsi. Kejadian

PUD juga perlu ditentul<an apakah terjadinya pada masa peri menarche, reproduksi atau

perimenopause. Khusus untuk masa perimenopause apakah juga disertai dengan

keluhan-keluhan klimakteril<.

Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan tisik perlu dilakukan untuk menyingl<irkan kemungkinan

adanya kelainan patologi pada rahim maupun jalan lahir. Selain itu perlu deteksi adanya

kelainan-kelainan tertentu yang terkait dengan masalah gangguan poros hipotalamus­

hipofisis-ovarium seperti, indeks massa tubuh, gangguan lapang pandang, kelenjar tiroid,

galaktorea, tanda-tanda hirsutisme dll.

Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium : sesuai dengan ketentuan umum,

maka pemeriksaan HCG perlu dilakukan untuk menyingkirkcln kemungkinan kehamilan,

Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan darah periter lengkap, pap smear, sampling

endometrium, fungsi tiroid, liver dan hemostasis. Hormon prolaktin perlu diperiksa apabi/a

ada geJala galaktorea. Pencltraan : Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk

menyingkirkan kelainan-kelainan patologi pada organ-organ genitalia interna serta

melakukan penilaian endometrium.

PPDS I Ob>tmVcUuvG~20JS 161


Penanganan
Penanganan PUD dapat dilakukan dengan memberikan medikamentosa atau melakukan
tindakan pembedahan. Umumnya PUD dapat diberikan medikamentosa. namun apabila
tidak memberikan respon yang adekuat. maka tindakan pembedahan dapat menjadi
pili han selanjutnya. Pemberian medikamentosa dapat ditujukan untuk melakukan
penghentian perdarahan atau melakukan pengaturan siklus haid.

PPDS I o~(,d=,G,,~v2015 162


Approach to abnormal uterine bleeding in nonpregnant reproductive-age women
Andrew M I(aunitz, MD

All topics are updated as new evidence becomes "vailable and our peer review process is complete,
Uterature review current thr_ough: Nov 2014, ) This topic last updated: Aug 15, 2014,
INTRODUCTION - Abnormal uterine bleeding IAUBlla term which refers to menstrual bleeding of
abnormal quantity, duration, or schedule) is a common gynecologic complaint, accounting for one­
third at outpatient visits to gynecologists lll, AUB can bp. caused by it wide variety of local and
systemic diseases or related to medications (!isJ,u:tll(ZJ, The most common etiologies in
nonpregnant women are structural uterine pathology leg, fibroids, endometrial polyps,
adenomyosisl, anovulation, disorders of hemostasis, or neoplasia,

The initial approach to the evaluation of nonpregnant reproductive-age women with AUB will be
reviewed here, An overview of genital tract bleeding in women, terminology regarding AUB,
bleeding during pregnancy, and postmenopausal bleeding are discussed separately,
(See "Differential diagnosis of genital tract bleeding in women" and "Postmenopausal uterine
bleeding: and :9xt;'ryiew qLthe etiology and evaluation of vaginal bleeding in pregnant women",)

TERMINOLOGY - A revised terminology system for abnormal uterine bleeding IAUBlln nongravid
reproductive-age women was introduced in 2011 by the International Federation of Gynecology
and Obstetrics IF1GO) (1), This was the result of an International consensus process with the goal of
avoiding poorly defined or confusing terms used previously (eg, menorrhagia, menometrorrhagia,
oligomenorrhea), The classification system Is referred to by the acronym PAlM-COEIN Ipolyp,
adenomyosis, leiomyoma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction,
endometrial, iatrogenic, and not yet classifiedl Ifigure 1I,

In this topic, the term premenopausal women refers to women of reproductive-age and those in the
menopausal transition ([igure 2),

PREVALENCE AND ETIOLOGY - Abnormal uterine bleeding IAUB) is common, A United States
population-based survey of women ages 18 to SO years reported an annual prevalence rate of 53
per 1000 women [9:]. The importance of AUB relates to its major impact on women's quality of life,
productivity, and utilization of healthcare services [2J.

The differential diagnosis of AUB in a nonpregnant reproductive-age woman is listed here Itable
1 and ~) and discussed in more detail separately (see "Differential diagnosis of genital tract
bleeding in women"):

-Structural abnormalities - These abnormalities are common and a large proportion of them
may be asymptomatiC, Even when a lesion is noted, the clinician must determine whether it is
the cause ot the patient's symptoms:
• Uterine leiomyomas ISee "Epidemiology clinical manifestations diagnOSis and natural
history of uterine leiomyomas lfibroids)",)
• Endometrial polyps (See 'Endometrial polyps',)
• Adenomyosis ISee 'Uterine adenomyosis",)
• Other lesions - Cesarean scar defect. arteriovenous malformation

PPD5 I OiJlt>,tr"~G~2015 163


• Ovulatory dysfunction IAUB·O) ISee 'Irregular bleeding lovulatory dysfunctionl' below
and "Differential diagnosis of genital tract bleeding in women" section on 'Ovulatory
dysfunction',l
'Bleeding disorders ISee "Approach to the adylt patient with if bleeding diathesis" section on
'Menorrhagia',)
.Iatrogenic leg, anticoagulants, hormonal contraceptives, intrauterine device [IUDJI - AUB is
common in women on progestin-only contraceptives, particularly initially and users may
eventually develop amenorrhea, ISee "Management of unscheduled bleeding in women using
contraception:,)
'Neoplastic lendometrial hyperplasia or carcinoma, or uterine sarcoma) ISee "Endometrial
carcinoma: Epidemiology and risl< factors" and "Classification and diagnosis of endometriill
hyperplasia" and"Uterine sarcoma: Classification clinical manifestations and diilgnosis",)
• Infection and inflammation - Endometritis, pelvic inflammatory disease ISee "Endometritis
unrelated to pregnaall: and "Clinical features and diagnosis of pelvic inflammatory disease",)
e Disorders of local endometrial hemostaSis (See "Differential diagnosis of genital tract
bleeding in women" section on 'Local endometrial hemostasis disorders'.)
INITIAL EVALUATION - In a patient with a complaint of possible uterine bleeding. several
questions must be answered initially to confirm pregnancy status, reproductive status, and the
source of the bleeding. This guides the further evaluation. differential diagnosis. and disposition of
the patient lie. whether immediate evaluation and int~rvention are needed), The algorithm
includes the basic components of the evaluation lalgorithm 1).

Is the uterus the source of the bleeding? - Wom~n with abnormal uterine bleeding IAUB) typically
present with a complaint of vaginal bleeding, There are many potential sources of genital tract
bleeding. and the actual site must be determined Itable I). Sites that are commonly mistaken for
uterine bleeding include the lower genital tract (vulva. vagina. or cervi~J. urinary tract. and
gastrointestinal tract. The following elements of the history and physical examination help to
exclude extrauterine sources of bleeding:

eBleeding from the vulva. vagina. or cervix


• Most genital tract bleeding is from the uterus or the lower genital tract Ivulva. vagina,
cervix). Extrauterine upper genital tract bleeding is less common. The most common
etiology of upper genital tract bleeding is ectopiC pregnancy. which can be excluded
with negative pregnancy testing (see 'Pregnancy test' below), UncommC'n extrauterine
etiologies of upper tract bleeding are ovarian or fallopian tubal cancer.
• The volume of bleeding gives some suggestion of the source for genital tract bleeding.
Heavy bleeding typically derives from the uterus, while staining. spotting. or light
bleeding may be from any genital tract site.
• The color of the blood provides a limited amount of information regarding the source,
Brown staining may represent old blood as a result of light bleeding or spotting from the
upper vagin". ccrvix: or uterus. Red blood may derive from any genital tract site .
• If the bleeding is consistently postcoital, this suggests cervical pathology. including
cervical neoplasia, However. postcoitai bleeding may occur with contact during
intercourse of any site along the lower genital tract that is friable leg. due to cervicitis or

P!'DS I O~d.ruvG~20J5 164


vulvovaginal atrophy) or has a lesion (eg, cervical polyp or vulvar ulcer),(See "Postcoital
bleeding in women".1
• Pelvic examination should include evaluation of all lower genital tract sites to assess for
areas of friability or lesions. In addition, a finding on bimanual examination of pelvic
tenderness or a pelvic mass warrants further evaluation for pelvic inflammatory disease
/1'101 or uterine or adnexal. pathology.
-Urinary or gastrointestinal tract bleeding
• The following medical history questions help to determine whether the bleeding is
from a nongenital source: (J lis the patient certain that the bleeding is from the vagina?
(2) Does the patient see the blood in the toilet only during or after either urination or
defecation7 13/ Does the patient see the bleeding only when she wipes with toilet tissue?
If so, has tried to separately dab the urethra, vagina, and anus with toilet tissue to check
the source of the bleeding? (4) Does she still see the bleeding while she has a tampon in
the vagina7
• Physical examination helps to Identify some. but not all. urinary or gastrointestinal tract
bleeding sources. Inspection of the urethra may reveal a urethral caruncle (see "Urethral
~). A finding on anorectal examination of a lesion (eg. hemorrhoid or rectal
mass) or positive fecal occult blood testing provides evidence of a nongenital source.
• In general. if the bleeding occurs solely with urination or defecation and the pattern of
bleeding or findings on physical examination are consistent with it urinary or
gastrointestinal tract source, this should be the focus of further evaluation. If these
etiologies are excluded, evaluation of the genital tract should continue. Evaluation of
hematuria and rectal bleeding is discussed in detail separately. (See "Etiology and
evaluiltion of henwturi.li'1..adults' and "Approilch to minimal bright red bleeding pcr
rectum in adults.)
Is the patient premenarchal or postmenopausal7 - The differential diagnosis of AUB for
reproductive-age women differs from that of premenarchal or postmenopausal patients. Thus, it is
important to establish the reproductive status of the patient.

The average age of menarche is 12 years [Q]. For premenarchal girls, there is a range of causes of
vaginal bleeding, for example. hormonal issues, infection, foreign body, trauma, or malignancy.
(See"Evaluation of vaginal bleeding in children and adolescents" section on 'Vaginal bleeding
before normill menarChe'.)

The average age of menopause is 51 years [I). Menopause is defined as 12 months of amenorrhea
in the absence of other biological or physiological causes. This is typically preceded by several years
of Irregular uterine bleeding and menopausal symptoms (eg, hot flushes). In healthy women age 45
years and older, laboratory testing of serum follicle stimulating hormone is not required to make
the diagnosis. (See "Clinic~1 manifestations and diagnosis of menopause")

Women with AUB who have not had amenorrhea for 12 months should be considered
premenopausal for the purpose of evaluation, but should have endometrial sampling If risk factors
tor endometrial cancer are present (tab!e 3 and table 4). All postmenopausal bleeding is abnormal,
and requires evaluation for endometrial cancer. (See "Postmenopausal uterine
bleeding" and 'Endometrial sampling' below.)

PPDS I O!na:trv""""G~20J5 165


Is the patient pregnant? - All patients with AUB should have pregnancy testing. The history of the
I~st several mp.nstrual periods should be elicited to get some sense of whether menses are delayed.
However. pregnancy testing should be performed even in women with recent vaginal bleeding.
since this may represent bleeding during pregnancy rather than menses. It should also be
performed in women who report no sexual activity and in those who report use of contraception.

Women who are pregnant are evaluated primarily for pregnancy-related causes of bleeding. but
the evaluation should include assessment for etiologies not related to pregnancy if appropriate.
ISee "Overview of the ~tiology and evaluation of vaginal bleeding in pregnant women-.]

FURTHER EVALUATION -In nonpregnant reproductive-age women with abnormal uterine


bleeding (AUBI. the goals of the evaluation are to determine the pattern. severity. and etiology of
the bleeding. and thereby to guide management. Key questions that help to guide the clinician
include:

eWhat is the bleeding pattern?


'Should endometrial sampling be performed?
eShould a coagulation evaluation be performed?
"s bleeding related to a contraceptive method?

As the evaluation proceeds. the possiflility of concurrent factors should be considered. As an


example. a woman with a fibroid uterus may also have a defect of hemostasis that is the primary
reason for her heavy bleeding or she may be bleeding from an endometrial or endocervical
malignancy unrelated to the fibroid uterus. Therefore. several potential etiologies often need to be
investigated and. if a cause of AUB is determined but bleeding persists despite treatment. the
patient should be evaluated for additional etiologies.

The basic components of the evaluMion are shown in the algorithm lillgorithm I J. The table
provides information about how to choose additional testing and use the information from the
evaluation to make a diagnosis Itable 5J.

HISTORY - The relevant medical history in nonpregnant reproductive-age women with abnormal
uterine bleeding IAUB] includes the fOllowing:

General history

eGynecologic and obstetric history. including:


• Menstrual history. (See 'Menstrual history' below.1
• Sexual history - This information may help determine the patient's risk for pregnancy
or sexually tr~nsmitted infections.
• History of obstetric or gynecologic surgery - A prior cesarean delivery. particularly
multiple prior abdominal deliveries. raises the possibility that a cesarean scar defect may
be responsible for AUB [~J. A prior myomectomy raises the possibility that uterine
fibroids are responsible for AUB.
• Contraceptive history - Women using estrogen-progestin contraceptives may develop
unscheduled bleeding. while use of progestin-only contraceptives often results in
irregular uterine bleeding or amenorrhea. Use of the copper intrauterine device (IUDI
increases menstrual flow. levonorgestrellUDs typically cause an initial period of

166
PP1JS! Oh>t>trvda."G~1qjv2015
irregular spotting or bleeding, followed by a gradual decrease in menstrual flow and
possible amenorrhea, (See "Management of unscheduled bleeding in women using
contraception".)
• Risk factors for endometrial cancer, The indications for endometrial sampling are
discussed below, (See 'Endometrial samplin~r below.)

-Other medital history; issues that help to determine the etiology of AUB include: ,

• Symptoms, risk factors (anticoagulant therapy, liver or renal disease), or a family history
of a bleeding disorder. The indications for coagulation testing Me discussed below,
(See 'Coagulation teUS'below.)
• Symptoms or family history of thyroid disease, (See 'Endoc~~ below
and "Pathogenesis Ilpjdemiology and clinjcal manifestations of celiac disease in'adults"
section on 'Nongastrointestinal manifestations'.)
• Celiac disease, (See "Pathogenesis. Ilpidemiology and clinical manifestations of celiac
diseasll in adults" sllction on 'Menstrual and reproductive issues',)
-Medications - Medications can cause AUB in a variety of ways: (1) anticoagulants mily result
in heavy or prolonged uterine bleeding; (2) a variety of medications Ciln cause
hyperprolactinemia Itilble 6), resulting in cligomenorrhea or amenorrhea,

Additional questions that may help to suggest an etiology include:

-Were there prccipililting factors, such as trauma? Bleeding related to trauma suggests il
vaginal or cervical, rather than uterine, source of bleeding,
_Are there any associilted symptoms7 Lower abdominal pain, fever, and/or vaginal dischilrge
could indicate infection (pelvic inflammatory disease [PI OJ, endometritis), Dysmenorrhea,
dyspareunia or infertility suggest endometriosis and possible adenomyosis, Changes in
bladder or bowel function suggest extrauterine uterine bleeding or a mass effect from a
neoplasm, Galactorrhea, heat or cold intolerance, hirsutism, or hot flashes suggest an
endocrinologiC issue.
-Has there been a recent illness, stress, excessive exercise, or possible eating disorder? This
suggests hypothalamic dysfunction.
Menstrual history - AUB varies from normal menses in terms of frequency, regUlarity, volume, or
duration, The chari'lcteristics of normal menstrual bleeding are (table 7) [2.l.Q):

-Frequency every 21 to 35 days

_Occurs at fairly regular intervals

-Volume of blood s80 mL

- Duration is 5 days

The clinician should determine the bleeding pattern by asking the patient the following questions:

-What WJS the first day of the last menstrual period and several previous menstrual periods?
-For how many days does bleeding continue? How many days of full bleeding and how many

days of light bleeding or brown staining does this include?

- Does bleeding occur between menstrual periods?

PPDSIO~da..vG~2Ol5 167
'How heavy is the bleeding? The definition of normal menses is <80 mL of blood. Population·

based studies that employed precise assessment of menstrual blood loss found that women
with a loss per cycle of >80 mL were more likely to become anemic (11). However. volume of
blood is difficult to measure. In clinical practice. heavy menses are generally defined as
soaking a pad or tampon more than every two hours or as a volume of bleeding that
interferes with daily activities leg. wakes patient from sleep. stains clot!1ing or sheets).
Questions that help to characterize the volume of uterine bleeding are shown in the table
Itable 8).
'If bleeding is irregular. how many bleeding episodes have there been in the past 6 to 12
months? What is the average time from the first day of one bleeding episode to the next?

A woman may have strong concerns over changes in menstrual blood loss. however. patientself·
reports are inaccurate indicators of the quantity of blood lost at menses and pathologic
examination of the uterus often shows no abnormality [12·16J. This was illustrated by a population·
based study in which one-quarter of women with normal periods considered their blood loss
excessive. whereas 40 percent of those with excessive bleeding [>80 mLJ described their periods as
light or moderate [llJ.ln another study. only one-third of women who considered their periods
heavy had blood loss >80 mL [12J.
There are several typical bleeding patterns that correlate with particular etiologies of AUB.
including:

Heavy menstrual bleeding - Based upon current terminology. regUlar bleeding that is heavy or
prolonged [referred to as heavy menstrual bleeding) refers only to cyclic [ovulatory) menses. The
term heavy menstrual bleeding [HMBI was introduced as part of the PALM·COE/N Ipo/yp.
adenomyosis. leiomyoma. malignancy and hyperplasia. coagulopathy. ovulatory dysfunction.
endometrial. Iatrogenic. and not yet classifledl classification system for AUB [3.]. This replaces the
term menorrhagia. which was previously used to describe heavy or prolonged uterine bleeding.
Menorrhagia Is a less precise word because it does not differentiate between volume and duration
of bleeding or between cyclic and anovulatory bleeding. [See 'Terminology' above·1

The most common etiologies of HMB are:

'Uterine leiomyomas - HMB associated with uterin'! leiomyomas is most likely to occur with
submucosa/leiomyomas. but leiomyomas at other sites may also cause AUB.
(See "Epidemiology clinical manifestetions diagnosis and natural history of uterine
leiomyomas IfibroidsL.1
'Adenomyosis - This is often accompanied by dysmenorrhea or chronic pelvic pain.
(See "Uterine adenomyosis"·1
• Cesarean scar defect - Some two-thirds of women who have had one or (in particularl
multiple cesarean births may have a cesarean scar defect. and approximately one-third of
women with this condition experience cyclical. postmenstrual bleeding [.1]J.
• Bleeding disorder. (See 'Coagulation tests' below. I

Other etiologies associated with HMB include:

• Endometrial hyperplasia or carcinoma or. rarely. uterine sarcoma may be associated with
HMB. but the typical bleeding pattern for these conditions is irregular or postmenopausal

Pf'D5 I OlntUr"da..-vG~201S 168


blecaing,lSccEndomctriill carcinoma; Clinical features "nd aiagnosis" and "Classification and
diagnosis of endometrial hyperplasia" and "Uterine sarcoma: Classificntion, clinical
manifestations and diagnosis",j
elUD - The Tcu·380A lParaguMdjlUD is associated with iatrogenic heavy or prolonged
menses; in contrast. the levonorgestrellUDs decrease menstrual bldod 10ss,ISee "Intrauterine
contraception /lUDI: Overview",j
eEndometrial polyps, endometritis, or PID - These entities may present with heavy or
prolonged menses, but intermenstrual bleeding is the more common clinical milnifestation,
ISee "Endometrial Polyp5"and "Postpartum endometritis" and "Endometritis unrelated to

eCongenital or acquired uterine arteriovenous malformation - This is a rare cause of HMB [.1.2:
fll, This lesion should be suspected when an invasive procedure for unexplained bleeding
seems to aggravate the problem, Acquired uterine arteriovenous malformations typically
occur after an intrauterine procedure,lSee "Differential diilgnosis of genital trilC! bleeding in
women" section on 'Arteriovenous malformation',j
eDisorders of local endometrial hemostasis - Alterations in prostaglandins may result in HMB.
ISee "Differential diagnosis of genitill tract bleeding in women" section on 'locill endometrial
hemostasis ~,j

Thyroid disease has traditionally been thought to be a common cause of HMB, However. the
available data suggest that it is an uncommon etiology of this bleeding pattern, As an example. one
stUdy reported that the prevalence of menstruill disturbances was similar ilmong 586 women with
hyperthyroidism ilnd I I I women with hypothyroidism compared with 105 healthy controls (11),
Rates of hypermenorrhea were comparable in women with thyroid disease compared with
con:.ols, but there were few women with this bleeding pattern (hyperthyroidism: 2 of 586 women;
hypothyroidism; 0 of 1 I I; and I of 105 controlsj. Another study found that menorrhagia was more
common in 171 women with hypothyroidism than in 214 healthy controls [7 versus I percentj. but
the proportion of women with this symptom was low [211, ISee "Clinical manifestations of
hypothyroidism" section on 'Reproductive abnormillities' and 'Endocrine tests' below,j,

Additional causes of HMB are listed in the table l!.@!.t.2j,

Intermenstrual bleeding -Intermenstrual uterine bleeding may be related to a variety of etiologies


Itable 10), including:

eEndometrial polyps, ISee "Endometrial polyps,j


-Unscheduled bleeding due to iI contraceptive method,lSee "Manilgement of unscheduled
bleeding in women using contraception",j
eEndometrial hyperplasia or carcinoma or, rarely, uterine sarcoma,lSee "Endometrial
carcinoma: Clinical features and diagnosis" and "Classification and diagnosis of endometrial
hyperplasia' and "Uterine sarcoma: Classification clinical manifestations and diagnosis",)
e Endometritis or PID - AUB in women with symptomatic chronic endometritis may present as
interml!nstrual bleeding or spotting. postcoital bleeding. or heavy menstrual bleeding IHMB),
In women with AUB, the presence of pelvic pain. cervicitis. or vaginal leuKorrhea should alert

ProS 1 OI1>l>tn;d<u~G~ 2015 169


the clinician to the possibility of endometritis, Endometritis is most likely to occur in women

with a recent history of childbirth or an intrauterine procedure leg, pregnancy termination,


IUD insertion), Regarding PID, for example, in one series, 15 percent of women with possible
upper genital tract infection presented with AUB [24J, (See "Endometritis unrelated to"
pregnancY' and "Postpartum endometritis" and "Clinical features and diagnosis of pelvic
inflammatory disease",)
-Endometrial abnormalities related to previous endometrial trauma (eg, a hysterotomy scar or
"niche" following cesarean delivery) (See "Pifferential diagnosis of genitjll tract bleeding in
women' section on 'Hysterotomy SCilr',) Among women with regular menses, intermenstrual
spotting occurs in less than 3 percent of cycles and may represent phYSiologic intermenstrual
bleeding associated with ovulation r;>H

Intermenstrual bleeding is often due to conditions of the cervix, including cervical cancer, cervical
polyps, cervicitis, or ectropion, These conditions are discussed separately, (See "Invasive cervical
cancer: Epidemiologv risl( factors clinical manifestations and diagnosis" section on 'Clinical
manifestations' and "Congenital cervical anomalies and benign cervical lesions" section on
:f.Q!.vru.: and "Congenital cervical anomalies and benign cervicallesioos' section on
'Cervicitis' and 'Congenital cervical anomalies and benign cervical lesions" section on 'Ectropion',)

Irregular bleeding (ovulatory dysfunction)-Irregular uterine bleeding is most commonly


associated with ovulatory dysfunction (AUB·O), Women may either have anovulation, which refers
to the absence of ovulatory cycles, or oligO-OVUlation, in which they shift between OVUlatory cycles
and anOVUlation, (See :Jl.ifferenti,,1 diagnosis ~ni.ta!.1!:a<;.~j~f:[l.'~,J~
'Ovul~tory dyslunction:,j

Irregular bleeding associated with AUB-O is typically characterized by phases of no bleeding that
may last for two or more months and other phases with cither spotting or episodes of heavy
bleeding, Molimina are typically absent.

AUB'O should be suspected in women with an irregular bleeding pattern, particularly those at the
extremes of reproductive age (postmenarchal and in the menopausal transition), In addition,
polycystic oViHiiln syndrome and other endocrine disorders can cause AUB-O (thyrOid disease,
hyperprolactinemiaj, Causes of ovulatory dysfunction are shown in the table {,tj1Jil~,.J.lj,

The diagnOSis of ilnovuliltory bleeding is made primnrily by the bleeding pilttern, provided that
etiologies of intermenstruill bleeding have been excluded (sec Jnterm"m,lli!il'-bJJ~_~9Jna above),
Laboratory eVilluillion is not gener~lIy required to confirm anovulation, but is helpful in exclUding
thyroid disCilSC or hyperprolactinemiil, (Sec ~I;,ndocrine tests' below ilnd :'Evaluation of femille
infertility" section on 'Assessment of ovulatory function',)

If a patient has a bleeding pattern consistent with AUB-O, subsequent evaluMion is directed
toward identifying the cause, In addition, women with prOlonged amenorrhea due to anovulation
are exposed to unopposed estrogen and are at risk of endometrial hyperplasia or cancer, and
endometrial sampling mily be required Itilble 4), Ideally, the cause of ilnovulation can be identified
and treated so that normal cyclic menses can be re-establish ed, (See 'Endometrial sampling' below,)

Other bleeding patterns - Other types of bleeding patterns include:

PPDS I O~"da.n.G~v2015 170


'Amenorrhea - Amenorrhea ,efers to absence of bleeding for at least three usuill cycle
lengths, Amenorrhea may be primary (ie. menarche is absent) or secondary (menses cease
after menarche). The evaluation of amenorrhea is discussed separately. (See ~
diagnosis. and treatment of primarv ilmenorrhea" and "Etiology diagnosis and treatment of
secondary amenorrhea".)
'Decreased volume -Women sometimes report that periods that arc regular. but have
become unusually light or of short duration. This may occur with use of hormonal
contraception. Other causes include partial cervical stenosis or Asherman syndrome.
However. the bleeding pattern should be reviewed to determine whether the light bleeding
represents irregular bleeding or intermenstrual bleeding. (See :£Qngcnjtill cervicjll anomalies
,lnd benign csrvic,'11<:1iQns" section on 'Cervical stenosis' and "Intrauterine adhesions".)
-Regular menses with increased frequency - During the menopausal transition (figure 2).
women may experience a decrease in the interval between menses ({~). Cycle length
that has shortened. but not to less than every 2 I days. may be normal during this phase. If the
bleeding is also irregular or occurs less often than every 21 days. other etiologies should be
investigated. (See 'Irregular bleeding lovulatory dysfunctionl' above and 'Intermen5trual
bleeding' above.)
PHYSICAL EXAMINATION - Vital signs should be ,messed and it complete pelvic examination
should be performed. with a particular focus on:

-Potential sites of bleeding on the vulva. vagina. cervix. urethra. anus. or perineum
-Any abnormill findings illong the genital tract (cg, mass. laceriltion. ulceration, friable area.
vilginal or cervical dischilrgc. foreign body)
-Size and contour of the uterus - An enlarged uterus may be due to prcgnancy. uterine
leiomyomas. adenomyosis. or uterine malignancy. Limited uterine mObility should be noted. if
pre,ent; this finding suggests that pelvic adhesions or a pelvic mass is present. PelviC
adhesions may be due to prior infection. surgery, or endometriosis. and also may impact
surgical planning if surgical treatment is indicated. A boggy. globular. tender uterus is typical
of adenomyosis. Uterine tenderness is present in women with pelvic inflammatory disease
(P!D). but is not consistently found in those with chronic endometritis.
-Current uterine bleeding - The presence and volume of bleeding from the cervical os should
be noted. Blood or blood clots in the vaginal vault should be noted. PMients who present with
a complaint of heavy vaginal bleeding should be assessed for acute bleeding. Piltients who are
hemodynamically unstable or who have copious. ongoing blood flow from the uterus or other
genital tract site should be evaluated and manilged in iln urgent care filcility, (See Milnaging
~de of severe or prolonged uterine bleeding" section on 'Hemodynamically unstable

women' and "Approach to vilgin"l bleeding in the emergency department ,)


- Presence of an adnexal mass or tenderness

A general examination should be performed to look for signs of systemic iI/ness. such as fever.
ecchymoses. an enlarged thyroid gland, or evidence of hyperandrogenism (hirsutism. acne.
clitoromegaly. or male pattern baldingl. Acanthosis nigricans may be seen in women with
polycystic ovarian syndrome (PCeS). Galactorrhea (bilateral milky nipple discharge) suggests the
presence of hyperprolactinemia.

PPDS I O/ntUY"cl.cu,Ci~v2015 17J


LABORATORY EVALUATION

Initial tests - Most reproductive-age women with abnormal uterine bleeding rAUB] should be
evaluated initially with the following tests:

IHuman chorionic gonadotropin (hCG] to exclude pregnancy


e Complete blood count. hemoglobin and/or hematocrit to assess for anemia; the exception to
this arc patients who do not have heavy or frequent bleeding
Pregnancy test - Pregnancy should be excluded in all reproductive-age women with AUB.

A urine hCG test may be performed as an initial test in a clinic or urgent care setting. since these
results are available quickly, Regardless of the reSUlt, a quantitative serum hCG should also be
performed:

elf the urine test is negative. but the clinician continues to suspect early pregnancy may be
present, serum hCG should be measured, A serum hCG assay can detect a pregnancy by one
week after conception. while a urine hCG test is able to detect most pregnancies within two
weeks after conception Itable 12] [26 27J .
• 1( the urine test is positive. scrial quantitative serum hCG testing is appropriate if ectopic

pregnancy or spontaneous obortion is suspected. (See "Spontaneous abortion: Risk factors.

etiology clinical manifestations and diagnostic evaluation" and "Ectopit pregnancy: Clinical

manifestations and diagnosis".]

Ilf the serum hCG is negative. the test should be repeated in one week if an early pregnancy

is suspected.

Diagnosis of pregnancy is discussed in detail separately.ISee "Clinical manifestations and diagnosiS


of early pregnancy".)

Gestational trophoblastic disease. Which in some cases presents weeks to years after a pregnancy.
is also associated with uterine bleeding and a positive pregnancy test. (See "Hydatidiform mole:
Epidemiology. clinical features and diagnosis".)

Complete blood count - Women with heavy or prolonged bleeding should be evaluated with a
hemoglobin and/or hematocrit for anemia. (See "Approach to the adult patient with anemia".)

In addition. a platelet count is helpful if a bleeding disorder is suspected. A white blood cell count is
helpful if an infection is suspected. Pelvic inflammatory disease WID) with endometritis is a
potential etiology of AUB, Acute endometritis following childbirth or an intrauterine procedure
may be associated with leukocytosis. but the white blood cell count is typically normal in chronic
endometritis.ISee "Clinical features and diagnosiS of pelvic inflammatory disease" section on
'Laboratory tem' and 'Endometritis unrelilted to pregnancy".)

Additional tests - Additional testing is selective and depends upon information obtained on
history and physical examination.

Endocrine tests - Tests of endocrine function are performed based upon the history and physical
examination findings:

17l
PPDS I OlW.tYVcJo.,n,G~Z015
-Thyroid function tests -II is not necessary to assess for thyroid disease in all women with
AUB. Thyroid disease appears to be associated mainly with oligomenorrhea or amenorrhei!, If
the menstrual history suggests ovulatory dysfunction, checking a tflyroid·stimulating
hormone (TSH) is appropriate. Some data suggest that heavy menstrual bleeding (HMB) is
associated with hypothyroidism in a small proportion of women, For women with HMB, a TSH
should be performed if no other etiOlogy has been identified,(See 'Irregular bleeding
(ovulatory dysfunction)' above and 'Hea\IY menstrual bleedim( above,)
-Prolactin level- A prolactin level should be measured in women who complain of
anovulatory bleeding, amenorrhea, or galactorrhea, or are taking medications that can cause
hyperprolactinemia (table 6). (See "Clinical manifestations and evaluation of
hYDerprOlactinemia-,)
-Androgen levelS - Serum androgens should be measured in women with AUB and signs of
ilndrogen excess, Hirsutism (excessive male-pattern facial and body hair) is far more common
than virilization (deepening of the voice, temporal balding, breast atrophy. changes toward a
male body habitus. and/or ciitoromegaly) [I!!J, Polycystic ovarian syndrome /PCOSJ is the
most common cause of hirsutilm and amenorrhea or anovulatory bleeding. However, clinicill
manifestations of hyperandrogenism may also be seen in women with congenital adrenal
hyperplasia. If virilization is present. a more severe androgen excess should be suspected and
the patient should be evaluated for an androgen-secreting tumor of the adrenal gland or
ovary (~I,(See "Oiagnosis of polycystic ovary syndrome in adults" section on 'Serum
androgens' and "Pathogenesis jlnd Ciluses of hirsutism",)
eFollicle stimulating hormone or luteinizing hormone - Follicle stimulating hormone (FSH)
and luteinizing hormone ILH) jlre released by the pituitary glilnd, If premature ov~rian

insufficiency is suspected, a serum FSH should be performed. FOf women with suspected
hypothalamic dysfunction (due to poor nutrition or intense exercise), il FSH and LH should be
performed, as well as anestrogen/progestin withdrawal test. (See "Clinical manifestations and
evaluation of spontaneous primary ovarian insufficiency Ipremature oVMiiln '"ilufel" section
on 'Diagnosis' and "Etiology, diagnOSis and treatment of secondary "menorrhea" section on
'Step 5: follow-up testing'.)
eEstrogen levels - Estrogen excess due to an estrogen-secreting oVilriiln tumor is a rare
etiology of AUB, but should be considered if an adnexal mass is present and if other etiologies
have been excluded (table 13). ISee "Sex cord-stromill tumors of the ovary: Granulosa-stromal
cell tumors".)
eAssessment of ovulatory function - Anovulation is typically diilgnosed based upon the
charilcteristic bleeding pattern; laboratory evaluation is not typicilily required, Laboratory
confirmation of anovulation may be useful in women with infertility. ISee "Evaluation of
female infertility" section on 'Assessment of ovulatory function'.,
Coagulation tests - Bleeding disorders arc common in reproductive-age women. Up to 15 to 24
percent of women presenting with menorrhilgia may hilve some type of bleeding diilthesis (eg, von
WiIJebrand disease. immune thrombocytopenia, or platelet function defect) [29·3 I J. In addition.
excessive bleeding may be caused by leukemia, liver or renal disease, anticoagulilnts, prescription
and nonprescription drugs that impact coagulation or platelet function, and chemotherapeutic
agents, ISec "6rul!.9"Ch to the adult piltifnt with a bleeding diilthesis" section on

f'PVS I Olnt<trVda.t'~~~2015 173


'Menorrhagia' and "Differential diagnosis of genital tract bleeding in women", section on 'Bleeding
disorders',)

Coagulation disorders typically present as heavy bleeding at menarche or in women in their later
reproductive years, For von Willebrand disease, decreasing estrogen levels during the menopausal
transition impact von Willebrand factor synthesis, Excessive bleeding related to medications or
systemic illness may present at any age, (See "Clinical presentation and diagnosis of von Willebrand
disease" section on Variations in WE leyelsin health and disease'.,

A bleeding disorder should be suspected if heavy or prolonged menses began at menarche, is


associated with a family history of coagulopilthy, the patient has signs of a bleeding diathesis (eg,
easy bruising or prolonged bleeding from mucosal surfaces" or is taking medications associated
with an increased bleeding tendency (~) [lZ.:ll].

Women who are taking warfarin should have coagulation parameters assessed to see if the effect
is within the therapeutic window, In addition, patients should be asked about other prescription or

nonprescription medications that may impact coagulation or platelet function. (See "Approach to

the adult Ratient with a bleeding diathesis", section on 'Medication use'.'

The evaluation for patients with a suspected bleeding disorder is discussed separately,

(See "Approach to the adult patient with a bleeding diathesis" section on 'Laboratory testing'.)

Tests to exclude cervical bleeding - It is often difficult to differentiate cervical and uterine bleeding

based upon history and physical examination. If there is uncertainty about the source of the

bleeding, a basic evaluation for etiologies of cervical bleeding should be performed. (See 'Is the

uterus the source of the bleeding?' above,)

-Cervical cancer screening - Cervical neoplasia can cause cervi",1 bleeding, which is often
mistaken for uterine bleeding. All women with AUB should be appropriately screened for
cervical cancer, according to current guidelines, (See "Screening for cervical cancer".J
.TesU for cervicitis - Genital tract infection with Neisseria gnnorrhoeae or Chlamydia
trachomatis may cause cervicitis and pre.lent with cervical bleeding. In addition, these are
common pathogens in PID, which is an etiology of AUB. Although less common than N.
gonorrhoeae and C. trachomatis as a cause of cervicitis, trichomonas and herpes simplex virus
infections can cause cervicitis and result in cervical bleeding. Testing for these infections
should be performed in women at high risk and in those with a finding on examination of a
friable cervix, purulent vaginal or cervical discharge, or pelvic tenderness [~J, (See ::Qiiikal
manifestations ~nd dicgnosjs of Neisseria gonorrhoeae infection in adults ang
adolescents" and "Acute cervicitis" and "Clinical manifestations and diagnosis of Chlamydia
trachoma tis infections".)
ENDOMETRIAL SAMPLING - After pregnancy has been excluded, endometrial sampling should be
performed in women with AUB and an increased risk of endometrial hyperplasia or cancer (table
J. andtable 4,.
Indications for endometrial sampling in women of reproductive"age with AUB vary by age group
(table 3J:

174
P!'DS I Oi»t«.'Yvda<vG"~d015
'Age 4S years to menopause -In women who are ovulatory, any AUB, including
intermenstrual bleeding. In any woman, bleeding that is frequent {interval between the onset
of bleeding episodes is <2! daysj, heavy, or prolonged (>5 days] (table 7] .
• Younger than 45 years -In reproductive-age women, the majority of cases of endometrial
neoplasia occur in the setting of ovulatory dysfunction due to estrogenic proliferation with
absent or inadequate progestational protection [35J. Endometrial sampling is indicated if AUB
is persistent, occurs in the setting of a history of unopposed estrogen exposure (obesity,
chronic anovulationj or failed medical management of the bleeding, or in women at high risk
of endometrial cancer leg, tamoxifen therapy, Lynch or Cowden syndrome].

Use of 45 years-old as the threshold for increased concern regarding endometrial neoplasia is
supported by evidence that the risk of endometrial hyperplasia and carcinoma is fairly low prior to
age 45 years and increases with advancing age; 19 percent of cases occur in women aged 45 to 54
years compared with 6 percent in those aged 35 to 44 years [36-38J. This age threshold is also
consistent with American College of Obstetricians and GyneCOlogists IACOG] guidelines [.2.l.S.I.
{See "Clilssification and diagnosis of endometrial hyperplasia" section on
'EpidemiotQgi and "Endometrial carcinoma: Epidemiology and risle factors" section on
·Epidemiology·.j

Among women <45 years-old, there is no standard definition of persistent AUB. For women with
ovulatory dysfunction. given that six months of unopposed estrogen therapy substantially
increases the risk of endometrial hyperplasia in menopausal women, it Is reasonable to consider six
months or more of AUB-O as "persistent" (39J. For other types of AUB, the clinician must use their
judgement regarding when abnormal bleeding is persistent.

Endometrial neoplilsi" is rilrc in ildolesccnts ages 13 to 18 years 10.05 percent of cases of


endometrial cancer occur in patients ages 15 to 19 years 1.1.0)), but it may develop in the setting of
obesity with anovulation Ipolycystic ovarian syndrome [PCOS)) [ill. In this age group, as with
other reproductive-age women, the level of suspicion is higher in patients who arc obese or who
fail medical therapy.

Transvaginal ultrasound measurement of endometrial thickness to evaluate for endometrial


neoplaSia is an alternative to endometrial sampling in women with postmenopausal bleeding,
but NOT in premenopausal women. In premenopausal women, me;uurement of endometrial
thickness is not a usefuitest. since major variation of the thickness occurs during the normal
menstrual cyclc. In this patient population, transvaginal ultrasound does provide useful information
regarding structural causes of AUB and can identify a heterogenous endometrium due to
hyperplasia or cancer. ISee '''Evaluation of thE' endometrium for millignilnt or premalignant discilse"
section on 'Premenopausal women

Suspicion of endometritis is another indication for endometrial sampling. For women with AUB
during the postpartum or postabortal period, endometrial sampling may reveal retained products
of conception. (See "Postpartum endometritis" and "Endometritis unrelilted to
pregnancy" and "Retained products of conception".l

Endometrial sampling is typically performed as an office biopsy, but dilation and curettage or
hysteroscopically-directed biopsy may be performed if bleeding persists after il norm,ll endometrial

PrOS I o/natYva.w.vG •.0.0"':!(,2015 175


biopsy or if there are other indications for an operative procedure.ISeeEndometrial sampling
procedures" and :IYaluation of the endometrium for malignant or premalignant disease".)

IMAGING AND HYSTEROSCOPY - The decision to proceed with pelvic imaging should be based
upon the clinician's judgement, depending on patient age, history and symptoms.
The choice to do imaging is guided by several factors;

Ilf the abdominal and/or bimanual pelvic examination findings include an enlarged or
globular uterus or adnexal mass, imaging is appropriate to evaluate for leiomyomas,
adenomyosis, and adnexal pathology.
'Imaging may be omitted, at least in the initial evaluation, if the bleeding is thought to be due
to a lesion observed on physical examination (endocervical polyp), anovulation, or infection
[llJ.
"f the pelvic examination is normal, imaging is also appropriate if symptoms persist despite
treatment.
Choice of modality - Pelvic ultrasound is the first"line imaging study in women with AUB.
Transvaginal examination should be performed, unless there is a reason to not perform the vaginal
study (eg, virginal patient). Transabdominal sonography should also be performed if transvaginal
imaging does not allow adequate assessment of the uterus or adnexa or if a large pelvic mass is
present.

Ultrasound is effective at chMacterizing uterine and adnexal lesions, As noted above, assessment of
endometrial thickness is not a useful test in premenopausal women. Ultrasound is less expensive
than magnetiC resonance Imaging (Mill I. which should be used for pelvic assessment only as a
follow.up imaging test and only when it will give information that is not avai/able on ultrasound.
Computed tomography is used to evaluate the pelvis for metastatic disease in some malignancies,
but has no role in routine pelvic assessment. (See "Evaluation of the endometrium For malignant or
premalignant disease" section on Premenopausal women'.)

If intracavitary pathology (lesions that protrude into the uterine cavity, ie, endometrial polyps,
submucosal myomas, intramural myomas with an intracavitary component) is suspected based
upon the initial ultrasound, the patient may be evaluated with either saline infusion
sonohysterogr~phy or hysteroscopy.

'Saline inFusion sonography (SIS) - Saline infusion sonography (also c~"ed


sonohysterogr~phy) is a technique in which sterile saline is instilled into the endometrial
cavity and a transvaginal ultrasound examination is performed [!3l. This procedure allows for
an architectural evaluation of the uterine cavity to detect lesions (eg, polyps or small
submucous ribroids) that may be missed or poorly defined by transvaginal sonography alone
(image I). SIS is also useful in evaluating AUB associated with cesarean lcar defects [!i).
(See "Saline infusion sonohysterography",)
• Hysteroscopy - Hysteroscopy provides direct visualiziltion of the endometrial cavity,
Diagnostic hysteroscopy can be performed in an office setting. In an operative setting,
hysteroscopy allows targeted biopsy or excision of lesions identified during the procedure
[44.4SJ.ISee "Overview of hysteroscopy'.)

176
PPVS I Oi>latY"c/a.l.G~2015
We suggest SIS for most women for intracavitary evaluation. Both SIS and hysteroscopy are
effective tests for diagnosing endometrial polyps and submucosal leiomyoma [±i!j. while
ultrasound alone has limited sensitivity and specificity for the characterization of these lesions
filM). Compared with hysteroscopy. the miljor ildvantage of SIS is that it can assess the depth of
extension of leiomyomas into the myometrium or serosal surface ii.!l:mgU). Some fibroids ilppear to
be submucosal at hysteroscopy. but are actually intramural with a component that protrudes into
the uterine cilvity. This information and the ability to identify fibroids at other sites i~) can
help surgical planning. Some data also suggest that SIS is less painful than office hysteroscopy
[47.49J. SIS also is able to identify a~ymmetric or focal endometrial thickening. a potentially
important marker of endometrial neoplasia (image 31 [1.2].
Advantages of hysteroscopy are that office hysteroscopy may offer patients greater convenience.
particularly if it can be performed at the s~me visit as the initial evaluation. Operative hysteroscopy
is not typically available in an office setting and therefore is not part of the initial evaluation of
AUB.

Factors such as convenience. availability of equipment and !ri~ined penonnel. and cost of SIS and
hysteroscopy vary In different clinical settings. and these factors often influence the choice of
study.

INFORMATION FOR PATIENTS - UpToDate offers two types of patient education materials. "The
Basics' and "Beyond the Basics." The Basics patient education pieces are written in plain language.
at the 5'" to 6th grade reading level. and they answer the four or five key questions a patient might
have about a given condition. These articles are best for patients who want a general overview and
who prefer short. easy-to-read materials. Beyond the Basics patient education pieces are longer.
more sophisticated. and more detailed. These articles are written at the 10'" to Ii" grade reading
level and are best for patients who want in-depth information and are comfortable with some
medical jargon.

Here are the patient education articles that are relevant to this topic. We encourage you to print or
e·milil these topics to your patients. IYou ,an also locate patient education ,Hti,Ies on a variety of
subjects by searching on "patient info" and the keyword Is) of interest.)

eBasics topics Isee ~t information: Heavy periods (The 8asicsj,J


eBeyond the Basics topics (See "Patient information: Abnormal uterine bleeding IBeyond the
Basics)" and "Patient information: Heavy or prolonged periods (menorrhagia) IBeyond the
Basics!" and "Patient information: Absent or irregular periods IBeyond the Basicsl'.)
SUMMARY AND RECOMMENDATIONS

eAbnormal uterine bleeding (AUB) is il common gyneCOlogic complaint. AUB can be caused
by a wide variety of local and systemic diseases or related to medicatiOns Itablu) [~J. The
most common etiologies are conditions associated with pregnancy. structural uterine
pathology (eg. fibroids. endometrial polyps. adenomyosis). anovulation. bleeding disorders. or
neoplasia./See 'Introq~ction' above and 'Prevalence and etiology' above.}
eThe initial approach to evaluation of nonpregnant reproductive-age women with AUB is to
confirm that the source of bleeding is the uterus. exclude pregnancy. and confirm that the

f'PDl I olmW" do,,,, G,-,0n/,'li" 1015 177


patient is premenopausal. In addition, women with acute bleeding should be evaluated in an
urgent care facility, (See 'Initial evaluation' above,]
eThe goals of further evaluation are to determine the pattern, severity, and etiology of the

bleeding to guide management. A primary focus is to identify women who require evaluation

for endometrial carcinoma or other uterine malignancies,/See 'Further evaluation' above,)

tAUB varies from normal menses in terms of frequency, regularity, volume, or duration (table

I), Typical abnormal bleeding patterns include: regular menses that are heavy or prolonged,

intermenstrual bleeding, irregular bleeding /typically associated with ovulatory dysfunction),

and amenorrhea. (See 'Menstrual history' above.)

tEndometrial sampling should be performed in nonpregnant women with AUB and an

increased risk of endometrial hyperplasia or cancer, Indications for endometrial sampling vary

by age group (table 3 andtable 4). (See 'Endometrial sampling' above.)

tBleeding disorders, particularly von Willebrand disease (VWD), are common in reproductive·

age women. A disorder should be suspected if heavy or prolonged menses began at menarche

or is associated with a family history of coagulopathy or other signs (If a bleeding diathesis

(eg, easy bruising or prolonged bleeding from mucosal surfaces). In addition, anticoagulants

may cause heavy or prolonged uterine bleeding. (See 'Coagulation tests' above.)

tHormonal contraception or an intrauterine device (IUD) may cause AUB,/See 'General

history' above.)

tAli women with AUB should have a complete history and physical examination, Information

should be obtained on the frequency, duration, and volume of AUB, as well as the presence of

associated symptoms and precipitating factors. (See 'History' above and 'Physical

examination' above.)

tMost reproductive·age women with AUB should be evaluated initially with the fOllowi.ng

tests: human chorionic gonadotropin (hCCi), complete blood count,

hemoglobin and/or hematocrit. Additional tests may be performed to assess for particular

etiologies./See 'Initial tests' above and 'Additional tests' above,)

ePelvic imaging is useful if a structural lesion (endometrial polyps,leiomyomas, adenomyosis.

or an adnexal mass) is suspected based upon the history and physical examination; it is not

required in every woman with AUB. Pelvic ultrasound is the first-line study and is often used

alone, or may be combined with either saline infusion 5Onography or hysteroscopy to provide

information about lesions that protrude into the endometrial cavity (submucosalleiomyomas,

myometrialleiomyomas that protrude into the cavity. and endometrial polyps), (See 'Imaging

imd hysteroscopy' above,)

.tllJQ;/ Iwvvw.uptod,l re .(om

Pf'DS I Ot="a-G~2015 178


45.DISMENORE

Definisi dan klasifikasi:

Nyeri yang timbul waktu haid.

Oibagi dua:

Dismenore primer: Nyeri haid tanpa kelainan patologi panggul

Oismenore sekunder: Nyeri haid yang berhubungan dengan adanya kelainan patologi

panggul.

Dismenore primer:

Penyebabnya lalah meningkatnya produksi prostaglandin endometrium. Prostaglandin

endometrium meningkat pada fase sekresi dan meneapai puneaknya waktu haid. Dp.ngan lueut

progesteron, Jisosom mengeluarkan enzim Iitik, melepaskan fosfolipid yang i1kan mengal<tifl<an

alur slklookslgenMe (cyclooxygenase • COXI elselm arakldonAt dellam proses slntesls

prostaglandin. Pada pasien dismenore kadar prostaglandin lebih tinggi daripada non dismenore.

Prostaglandin yang tinggi menyebabl<an I<ontral<si uterus meningkat dengan amplitudo tinggi,

menyebabkan iskemi, sehingga timbul nyer/.

Kejadian.

Sekitar 50 - 90 % gadis pasca menarke, tergantung definisi yang dipakai.

GejaJa:

Nyeri terjadi beberapa saat sebelum atau saat mulai haid dan berlangsung selama 48 - 72 jam.

Nyeri menyerupai nyeri waktu melahirkan, nyeri supra simfisis, bisa disertai nyeri lumbo­

sakral, pangkal paha depan. I<adang-kadang disertai mual, muntah, diare dan sinkope.

Rasa nyeri lebih hebat bila kanalis servikalis masih sempit dan I<alw I pada nullipara ).

Persepsi nyeri individu menentukan gradasi nyerinya.

Dismenore primer biasanya mulai beberapa bulan dan tahun awal sesudah menarl<e, saat ovulasi

sudah mulai teratur. Berkurang, menghilang setelah melahirl<an bayi aterm pervagina.

Pemeriksaan:

Tanda vital masih dalam batas normal. Nyeri perut bawah, tapi tidal< ada nyeri tekan / rebound.

Uterus agak nyeri, tapi tidak ada nyeri goyang hebat. Kedua adnel(sa normal.

Diagnosis:

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis yang eermat, pemeriksaan panggul normal. Pada gadis

pasea menarke, dengan anamnesis yang eermat, pemeriksaan panggul dapat dilewatkan karena

jarang sekali ada kelainan.

Penanganan:

Karena penyebab nyeri pada d;smenore primer adalah prostaglandin, obat anti sintesis

prostaglandin yaitu Non Steroid Anti Inflammatory Drug = NSAID merupakan pilihan utama bila

tidak ada indikasi kontra.

Hormon seks; kontrasepsi oral diberikan pada yang menginginkiln kontrasepsi atau progestin

kontinyu, agar endometrium tidak masuk fase sekresi.

Bila paslen tidak sembuh dengan regimen diatas, baru dipertimbangkan gOlongan narkotik,

sambil meneari lagi kemungkinan adanya patologi I USG, Laparoskopi I.

Psikoterapi dapat memban[U,

PPDS I Olllctl1odo..vG~2015 , 79
Dismenore sekunder
Karena disebabkan adanya penyebab / penyakit lain, manifestasi klinikjuga beragam. Namun

masih sering melibatkan prostaglandin. Selain itu peningkatan kontraksi uterus yang

disebabkan penyempitan kanalis servika/is, massa di uterus, dapat juga menyebabkan

dismenore sekunder.

Yang sering ialah endometriosis, adenomiosis, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).

GeJala.

Tergantung keJainan yang mendasarinya. Rasa tidak enak / nyeri sudah dapat terasa 1 - 2

minggu sebelum haid, dan dapat berlanjut beberapa hari setelah seJesai haid. 8iasanya pada

usia di atas 25 - 30 tahun.

Diagnosis

Dengan anamnesis yang dan pemeriksaan ginekologi yang (ermat, dicari kelainan yang dapat

menyebabkan dismenore. Singkirkan adanya infeksi panggul.

Penanganan.

Mengobati kelainan lain yang menyebabkan dismenore.

NSAID

Hormon seks: kontrasepsi oral atau progestin. AI<DR dengan lapisan progestin (LNG IUS).

Dipertimbangl<an melepas AKDR.

Agonis Gonadotropin Releasing Hormone (GnRHa)

Laparoskopi / laparotomi,untuk diagnosis dan terapi endometriosis, kaJau perlu dilakukan

neurektomi presakraJ.

REFERENSI

• Berek J S. 2007: Berek & Novak's Gynecology fourteenth edition. Lippincott Williams & Wilkins, p 516· SZO
• Granot M £:1 al. 200 I. Pain perception i,n women with dysmenorrhea. Obstet.gync(ol. 98; 407 - 411,
• Proctor M. Farcuhar C, 2006; Diagnosis and milnilgaent 01 dysmenorrhea, BMJ 332; 1134 - 1 138.

· Speroff L. Fritz M A. 2005: elini,,1 Gynecologic Endocrinology And Infertility seventh edition. Lippinco" Williams & Wilkins p.53?·

540.

f'PDS I Oint>O-vd<uvG~ZOI5 180


46. MENOPAUSE DAN TERAPI PENGGANTIAN HORMON

PendahlJluan
Istilah menopause diambil dari bahasa Yunani menos (bulan) dan pause
(penghentian), namun istilah itu sudah biasa dipergunakan untuk menggambarkan
climacteric (haid). yang sekali lagl diambil dari bahasa Yunani klimakter tanakkandung
kemih). Oefinisi kamus dari climacteric (haid) adalah periode kehidupan ketika fertilitas
dan aktivitas seksual menurun. Definisi itu bolehjadi akurat, tetapi tidak menggilmbarkiH1
perubahan-perubahiln mendasilf yang terjadi ketika ovari berhenti berfungsi.
Usia rata-rilta menopause tidak berubah selama berabad-abad, akan tetapi harapan
hidup sudah banyak meningkat. terutama di abad terakhir. Harapan hidup wanitapada
masa Romawi adalah 29 tahun dan, pada akhir abad ke-29 sekalipun, hanya 3D persen
wanita dapat bertahan hidup untuk mengalami gejala menopause. Hilfapan hidup di
kalangan wanita sekarilng hampir 80 tahun dan sudah diestimasi bahwa ada 10 juta
wanita pos-menopause di Inggris. Sebagian besar wanita akan mencapai menopause dan
akan menghabiskan waktu sepertiga hidupnya dalam keadaan ini. Karena itu. persoalan
metabolikjangka panjang terkait menopause ini menjadi semakin penting.

Patofisiologi
JumJah folikel primordial menurun bahl<an sebelum kelilhiran. dan mesJ<i
penurunan itu hanya dramatis sebelum menopause, masih ada jumlah signifikan yang
hadir padil permulaan menopause. Aktivitas pitultari-hipotillamik meningl<Clt dilfi sekitilr
10 tahun sebelum menopause. Ini ditunjuI<l<an dengan meningJ<atnya tingkat plasma dilri
luteinizing hormone tLH) dan. I<hususnya, fOllicle-stimulating hormone IFSH). Mendekati
menopause, anovulasi terjildi diln ketidakmemadaian luteal mcnjadi lebih sering. Ada
penurunan produl<si progesteron dan. bilamana oestrogen tidak menurun secepat itu. ini
dapa: mengakibatkan pendarahan uterin disfungsionetl detn hiperplasia endometria. Level
oestrogen menurun dramatis pada wetktu menopetuse dan menstrui'tse berhenti. Stromi't
ovetrian ma.sih memproduksi sejumlah keeil androstenedione dan testosterone. teti'tpi
oestrogen pos-menopause utama adalah estrone, yang diproduksi di lemi'tk periferal detri
androgen adrenal. Kekuretngan oestrogen itu/eth yang menimbulkan sebagietn besi'tr dari
simptom dan patologi pada menopetuse.

Simptom
Simptom yang khas dari menopi'tuse di antetranya etdi'tli'th cairan hangi'tt. i'tir
keringClt di metlam hari, setkit kepa/et. depresi. detn kekurangari l(onsentrasi serta energ;'
Simptom paling je/as adi'tlah cetiretn hangat. Ini sangat berbedet dari cairan. yang kl1as
terjetdi petda wajeth dan detda. (airan hangat, meskipun ia detpat mulai di kepala i'ttau
wi/ayah leher. melibettl<an seluruh tubuh dan seringketli diikuti dengan pengeluClran
keringett intens. kemudian menggigil. Biasa terjadi pening/<Cltetn suhu kulit 1·( fIb], detn
meskipun paret wanita sangat met/u, tidetk ada tetndet-tetndet yang jelas bethwi't mereka
punya cairan hanget!. (airan di'tn keringat hanya terji'tdi di'tli'tm 75 persen wanita detn
cenderung menjadi lebih pareth segera seteleth menopetuse bedi'th. I(eduet simptom
tersebut bietsetnyi't akan berlanjut /ebih detri setahun, detn 25 persen etketn berlanjut dengan
keringat hangat selametlebih dari 5 tahun.
Diagnosis jelas bi/et pasien mengetlami seta hun pos-menopetuse dan punyi't cairan
dan keringat hetngilt. tetetpi jika pi'tsien itu perimenopause, diagnosisnya bisa jadi jauh
Jebih sulit. khususnya jika satu-satunyet simptom yang diet etlami adetli'th d,epresi. Depresi
lebih umum da/am deketde sebelum menopause daripadet setelah itu. detn jikii pasien
mempunyeti sejareth depresi panjetng, simptom itu tak mungkin disebabkan oleh
kekurangan oestrosen. Betnyetk wanita membutuhkan oestrogen. dengan harapan bahwa

PPDS I Oh>tw.. aa....(j~2015 181


sebab-sebab lain dari depresi bisa diatasi. Terdapat banyak sebab lain dari depresi pada
waKtu menopause, rermasuk hilangnya potensi terjadi reproduksi, kekur.3ng;1n
femininitas, persoalan perkawinan, dan sindrom "sarang kosong". Ada sejumlah
penelitian yang menunjukkan efek berguna dari oestrogen dalam perlakuan atas depresi,
tetapi manfaat utamanya terlihat di kalangan wanita pra-menopause.
Banyak simptom yang dapat dihubungkan dengan kegagalan ovarian dapat
diperfihatkan dalam Tabel 56. J, tetapi kita juga sufit menentukan apakah simptom
tertentu disebabkan oleh menopause. Jika diagnosisnya tidak pasti, satu-satunya cara
untuk menentukan apakah simptom itu estrogen ada/ah dengan menganjurkan kursus
sing kat terapi penggantian harmon (hormone replacement therapy-HRT).

Penyakit Kardiovaskular
Penyakit jantung koroner (coronary heart disease-CHO) tidak umum di kalangan
wanita pra-menopause, khususnya kalau mereka tidal< merol<ok. Terjadi peningkatan
sangat cepat dalam hal risiko segera setelah menopause, dan penyakit kardiciiiaskular
sekarang merupakan sebab utama kematian di kalangan wanita pos menopause.
Meskipun insiden pos-menopause meningkat, jumlahnya tidak dapat mencapai insiden
pada laki-Iaki pada usia apa pun.
Mengapa wanita pos-menopause diberi perlindungan ini? Mekanismenya tidal<
jelas, akan tetapi profillipoprotein, dengan konsentrasi kolesterol lipoprotein I<epadatan­
tinggi (high-density lipoprotein/HOL) yang lebih tinggi dan lipoprotein kepadatan-rendah
(low-density lipoprotein) yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-/aki, sebagian
bisa menjadijawabannya. Pada wanita pos-menopause, rasio HDL:LDL menjadijauh Jebih
dekat dengan rasio lald-/aki, tapi hal inl tidak menje/askan semua perbedaan, dan
oestrogen bClrangkali paling baik mempunyai efek lebih langsung pada din ding
pembu/uh.
Oestrogen oral ketil<a diberikan pada wanita pos·m~nopause menyebabl<an
peningkatan konsentrasi 1<oIesteroi HOL dan penurunan konsentrasi i<olesterol LOL, yang
sangat berguna. Oestrogen oral juga meningkatl<an level trig/iserida, yang dii<aitkan
dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuJar. Sudah ada sejum/ah besar
pene/itian unt;.!k mencoba menemu/<an obat dengan profil lipid ideal namun tidak ada
satu pun yang menyakin/<an. Sampai penelitian yang pasti dihasil/<an, ada baiknya kita
mengasumsil(an bahwa regimen yang mengandung oestrogen bisa mengurangi insiden
CHD pada wanita sehat, tetapi kita sulit untuk menentukan besarnya penurunan ini.
Pene/itian-penelitian observasi awal menunju/<kan bahwa para wanita yang
mengambil atau yang sudah mengambil HRT sudah mempunyai insiden CHD dan
morta/itas dcngan sel<itar 30 persen, tctapi hanya ada sebuah pene/itian acal< I(eeil [Ill,
Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS). Ini menunju/<i<an tidal< ada
manfaat CHO dari mengambil HRT di I<a/angan wanita yang memiliki CHD stabil tapi
peningkatan ri~ii<o yang signifikan darl kejadian tromboembolik. Penelitla" inl
mengeJutkan jlka dilihat darl semua buktl epldemlologl sebelumnya, tetapi penelltlan
epldemiologi dapat dikritik mengenal bias seJeksl yang mungkin dan, pada sisi lain, ada
sejumlah besar droup-out dalam HERS. Tetapi, gambaran baru-baru ini sudah berubah,
lantaran pubJikasi the US Women's Health Initiative fWHI/ Trial. yang sudah mendorong
terjadinya pcnilaian,ulang penggunaan HRT dalam jangka panjang. Ini merupakan
percobaan terbcsar yang pernah dilakukan di lapangan, dengan lebih dari J6.000 wanita
yang terdaftar. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah
penggunaan HRT pos·menopause itu melindungi para wanita terhadap penyakitjantung.
Wanita percobaan yang diacal( untuk menerima HRT gabungan kontinyu dalam bentuk
0,625 mg mendapati<an estrogen fPremarin di Inggris) dan 2,5 mg asetat medroksi­
progesteron setiap hari atau plasebo. Setelah 5 tahun masa tindak·lanjul, wanita yang

Pf'VS 1 Oi>Jruyv<W"vG ... ~ZOll 182


mengamlJil HRT itu ditemukan mempunyai insiden lebih tinggi mengalami kanker
payudara, infarksi miokardial. stroke, dan embolus pulmonari, meski ada penurunan
jumlah fraktur pinggul dan kanker kolorektal. Jalannya percobaan ini kemudian
dihentikan dini karena kejadian-kejadian ini.
Publikasi 'menyolok' kedua, 'Million Women Study' sudah menyediakan bukti
berkualitas tinggi yang berkaitan dengan risiko dan manfaat dari HRT pada wanita
berusia 50-64, Penelitianyang dilakukan di Inggris ini mengumpulkan data dari para
wanita yang mengikuti screening payudara sebagai bagian dari the National Health
Service Breast Screening Programme. Para wanita diklasifikasi sesuai dengan penggunaan
HRT yang mereka laporkan, status menopause, dan lain-lain. Penggunaan HRT gabungan
antara oestrogen/gestagen dikaitkan dengan meningkatnya jumlah kanker payudara bila
dibandingkan dengan non-pengguna, Pengguna Hr<T yang hanya-oestrogen Ibiasanya
dicadangkan untuk para wanita yang pernah mengalami histerektomil berada pada risiko
rendah, dan risiko bagi pengguna HRT gabungan antaril oestrogen/gestagen hanya
berlaku pada pengguna sekarilng, bukal1 sebelumnya.
Segera setelah publikasi temuan-temuan ini, UK Committee on Safety of Medicines
mengeluarkan saran bagi para penganjur HRT, yang dapat diringkas sebagai berikut.
I, Untul< penggunaan HRT jangka panjang Imisalnya, 2-3 tahun) agar dapat terlepas
dari simptom menopause. manfaatnya lebih banyal< dibandingkan risikonya bagi
sebagian besar wanita.
2. Penggunaan HRT dalamjangl<a lebih lama diberikan lisensi untul< dapat mencegah
oesteoporosis. AI<an tetapi, semua pasien seharusnya menyadari mengenai
meningl<atnya insiden beberapa kondisi pada penggunaan HRT dalam jangka
panjang dan mcngenai pilihan-pilihan alternatif untuk dapilt mencegah
osteoporosis.
3. I<eputusan untul< mcnggunalliln HRT sebaiknya didisllusikan dengan tiap wanita
secara perorangan. dengan mempertimbangkan sejarahnya, fa:ltor-faktor risil<o,
dan pREFERENSI personalnya.
4, Risiko dan manfaat perorangan seharusnya dinilai kembali secara teratur
Imisalnya, setidallnya setiap tahunl sambil menggunakan HRT.
5. HRT seharusnya tidak digunakan untuk pencegahan CHD.

Hasil darl percobaan ini memiliki dampak besar terhadap pola-pola HRT yang
dipergunakan di seluruh dunia Barat. Selain kel<urangan efel< perlindungan terhadap
penyakit Jantung. ada sedikit kabar dalam temuan tersebut. akan tetapi penelitian itu
tidak menekankan kembali catatan peringatan yang ditimbulkan oleh penelitian­
penelitian yang lebih sedil(it dan lebih awal. Jelasnya, strategi-strategi alternatif tersebut
ada untuk perlindungan terhadap osteoporosis pos-menopause, termClsul< penggunaan
selective oestrogen receptor moculators (SERMSI atau bio fosfonat. I<ontrol terhadap
semua simptom perimenopause tanpa mengambil HRT itu lebih problematik dan
barangkali banyak wanita akan melanjutkan penggunaan HRT selama beberapa tahun
dalam usia empat-puluhan-tahun mereka. Akan tetapi tampaknya mung kin, penggunaan
jangka-panjang akan menurun seiring dengan waktu.

Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada para
wanita di Inggris, Massa tulang mencapai puncaknya pada wanita menjelang akhir dari
dekade ketiga mereka. Hal ini kemudian tetap relatif konstan sampai menopause. yang
sete/ah itu kehilangan akan terjadi sepanjang hayat. 70 persen wanita di atas usia 80
tahun akan mempunyai osteroporis yang dapat diukur. Sudah diestimasi bahwa ada 60.00
frilktur pin99u/, 50.000 fraktur Colles, dan 40.000 fraktur tu/ang punggung yang terlihat

PPDS I oi»IUY"~G~2015 183


secara klinis setiap tahunnya di Inggris. Akibat k/inisnya sangat banyak, dan para wanita
yang mempunyai fraktur leher femur mempunyai 25 persen pengeringan dalam satu
tahun dan 50 persen peluang untuk tidak mampu memulai lagi kemandiran sosial mereka.
Fraktur lain juga menyebabkan morbiditas signifikan, terutama ketika fraktur itu sering
terjadi pada wanita usia lanjut yang hidup sendirian dan hanya mampu mempertahankan
kemandirian mereka.
Minimum 2 mg oestradiol atau serupa itu diper/ukan untuk meningkatkan daripada
mempertahankan massa tu/ang. Persiapan oestrogen/progestogen itu efektif,
sebagaimana tibo/one, sebuah perslapan hormon sintetlk. Terdapat banyak pene/itian
aeak yang menunjukkan bahwa HRT mempertahankan massa tu/ang, tetapi tidak ada
penelitian jangka panjang sudah menunjukkan penurunan fraktur yang signifil:an.
Masalah utama dalam me/akukan penelitlan semaeam itu ada/ah bahwa ada kesenjangan
30 tahun antara menopause dan sebagian besar fraktur tersebut, dan untuk me/anjutkan
percobaan semacam itu, karena lamanya waktu,je/as tidak mungkin. Akan tetapi, terlihat
jelas bahwa kepadatan tu/ang tetap saja dipertahankan segera setelah perlakuan dengan
persiapan gabungan dan bahwa kepadatan itu akan menurun segera setelah berhentinya
per/akuan pada tingkat yang sama sebagaimana ia setelah menopause.
Ada perlakuan-perlakuan lain yang barangkali berguna dalam perlakuan atas
osteoporosis. Suplementasi kalsium sedikit nilainya dalam pasien yang aktif dan lebih
muda, tetapi sudah ditunjukkan bermanfaat pada pasien pos-menopause usia lanjut yang
hidup dalam perawatan. Biofosfanat juga efektif dalam perlakuan atas para pasien yang
relatlf lanjut usia dan mengidap osteoporosis yang sudah mapan. Fluoride tidak dianggap
efektif, tetapi gerak fisik dianggap penting dalam pencegahan fraktur osteoporosis,
terutama melalui perbaikan postur, moi)iJitas dan fungsi urat.

Sistem Urogenital
Seeara embriologi, sistem alat kelamin wanita dan sistem uriner yang lebih rendah
berkembang makin del<at, yang berkembang dari sinus urogenital primilif.
Ketidaknyamanan vagina, dispareunia, dysuria, berbagai infeksi saluran bagian-bawah
yang mudah kambuh, dan ketidakterkontrolan kencing, semuanya menjadi lebih umum
setelah menopause. Uretra dan vagina memilild konsentrasi reseptor oestrogen tinggi dan
sekarang ada bukti penting untuk mendukung penggunaan estrogen dalam perlakuan
atas berbagai simptom urogenital. Kini bukti sudah ada bahwa estrogen membebaskan
simptom atrofik, menimbulkan peningl<atan lacto-bacilli dalam vagina, mencegah infel<si
sa luran kencing yang mudah kambuh lagi, dan bisa mengurangi I<etidakterkontrolan,
frekuensi, dan nokturia keneing. Oalam I<ombinasi dengan agonis alta adrenergik,
oestrogen meningkatkan ketidakterkon-trolan stress [II).

Penyakit Alzheimer
Prevalensi dementia barangkaJi setinggi 50 persen pada usia 85 tahun. Penyakit
Alzheimer berjumlah 5-65 persen kasus. Para wanita lebih umum untuk terjangkit
dibanding laki·lald, deng"n simptom progresif lebih dari satu dekadc sampai meninggal
ketrena pcnyakit yang mudah I<ambuh kembali.
Bcrbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko pcnyakit Alzheimer dapat
dikurangi oleh sepertiga wanita yang mengambil HRT. Oestrogen diketahui punya efek
yang bermanfaat terhadap fungsi otak, tetapi tidak ada penelitian aeak sedikit pun untuk
mendukung data observasi. Hanya saja, masih mung kin kita mengambiJ manfaat dari HRT,
tetapi semoga tidak lama setelah penelitian ini manfaat ini bisa dikuantifikasi.

PPDS I O/nalCYvda,r,,"~2015 184


Diagnosis
GejaJa menopause meliputi hot flushes, amenore yang sudah terjadi 1 tahun, dan
peningkatan kadar FSH serum> IS lUlL Diagnosis banding dari menopause meliputi
depresi, sindroma premenstruasi, migraine dan sindroma carcinoid, namun sangatjarang.
Pemeriksaan kadar FSH serum sangat membantu dalam penegakkan diagnosis
menopause pada kasus histerektomi yang menunjukkan tanda·tanda awal menopause.
Tdak ada pemeriksaan khusus pada saat akan di"berikan HRT, namun skrining untuk
penyakit tertentu jangan ditinggalkan, spertipemeriksiian payudara, mammografi,
pemeriksaan pelvik, dan sitologi serviks. Penimbangan berta badan dan pengukuran berta
badan harus selalu dilakukan pada saat akan memberikan HIH. Oleh karena peningkatan
berat badan menjadi factor untuk dihentikannya pemberian HRT, namun beberapa
penelitian ReT menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakana pada peningkatan
berat badan dan HRT lib).

Pengobatan
Oestrogen merupal<an obat yang efektif dalam menurangi sindroma menopause, hal ini
didukung oleh beberapa penilitian ReT (fb), Pada wanita yang tidak dilakukan
histerektomi progesterone sebagai tambahan harus diberikan paling tidak selama 10 hari
dalam tiap bulan. Pemberian tambahan progesteron ini bertujuan untuk mencegah
terjadlnya hlperplasia dan I<arsinoma endometrium. Terdapdtnya gejala withdrawal
bleeding, pada sebagian wanita menyebabkan ketidaknyamanan, sehingga regimen
estrogen dan progesteron harus diteruskan untuk megurangl' keluhan tersebut. Cara
pemberian HRT dapat secara oral. patches, implant, vaginal ring, gel, dan nasal spray. Cara
pemberian ini penting diketahui sebelum dilakukan HRT oleh karena jika pada saat dosis
inislal tidak efektif, dan kemudian diganti cara penberiannya dig,mti akan meningkatkan
simtom yang ada. Demikian juga jika obat tersebut efektif namun efek sampingnya tidak
disukai, maka cra pemberiannya diganti akan mengurangi efek tersebut.

Sediaan oral merupakan sediaan yang sering digunal<an dan sediaan oral ini memberikan
keuntungan yaitu fleksibel. mempunyai waktu paruh yang pendek, mudah
penggunaannya dan murah. Namun estrogen yang melewati hepar denga dosis tinggi
kan menlngkatkan risiko terjadinya batu empedu, dan risiko tersebut lebih meningkilt
pada keadaan trigliserid yang tinggi. Preparat sekuensil 28 hari yaitu pMuh pertama
dlberikan estrogen dan paruh kedua diberikan progesteron dapat membantu dalan
mengobati paslen-pasien yang mendekati menopouse, yang diberikan sebagai pengatur
siklus.. Komblni tersebut diberikan secara terus-menerus, dan pemberian progestron
setipa hari dapat menbantu wanita pada beberapa tahun setelah menopuse dan tidak
ingin timbul perdarahan vagina. Tidak ada bukti bahwa terdapat peningkatan risiko
karsinoma endometrium pada penggunanar. preparat sekuensial lebih dari 5 tahun (II).
Namun demlkain hrus dipeikirkan untuk mengubah dari prepiHat sekunsial I<e preparat
kombinasi pada penggunaan jangka panjang.

Preparat patches merupakan sediaan yang lebih disukai daripada pada sediailan oral
terutama pada wanita yang tidak menyukai tablet dan tidak mau ada efek samping. Iritasi
pada kulit merupakan penyebab yang sering diJepasnya matrik patch. Implan sangat
membantu pada pengguanan se/ama 6 bulan, dan dapat dikombinasikan dengan
testosteron pada wanita yang memiliki ke/uhan penurunan libido. Implan akan
melepaskan estrogen da/am waktu lebih dari 2 tahun, dan bi/a penggunaannya ter/a/u
sering akan menimbulkan keadaan supra tisiologik.

f'PDS I O~.u..vG~2015 185


Efek samping dan komplikasi
Efek samping utama pada pemberian HRT adalah perdarahan vagina pada wanita yang
masih memifiki uterus. Hal ini masih bisa dimengerti pada wanita usia 50 an, tapi tidak
pada 10 thun yang akan datang. Preparat kombinasi yang diberikan pada wanita di atas
55 tahun, efel< samping perdarahn vagina tidak terlalu dipermasalahkan, tetapi pada
wanita yang mendekati menopause perdarahn vagina yang tidak menentu ini akan
menjadi masalah. Pemberian tambahan progesteron akan mnimbulkan beberapa efek
samping seperti bengkak, retensicairan dan mastalgia. Progesteron dapat diberikan
secara vaginal sebagai jeli atau pesarry dan dapat membantu menguragi keparahan efek
samping.

Gangguan pada payudara


HRTdapat meningl(atkan risiko I(ejadian penyakit jinak payudClra ,mastCllgia, dim densltas
mammografi. Mammografi dapat dapat mendeteksi kanker payudara dini. HRT juga dapat
meningkatkan angka morbiditas akibat pembenahan oleh karena HRT meningkatkan
kejadian hasil mammografi positif sehingga biopsi dilakukan. Bukti-bukti menunjukkan
HRT dengan kanker payudara: I) Estradiol menstimulasi sel kanker payudara dalam
biakan, 2) ooforektomi mengurangi rekurensi, 3) risiko kanker payudara berhubungan
denganh usia saat menarkhe dan menopouse, 4) Penghentian HRT dapat meregresi
kanker payudara, dan 5) penggunaan HRT jangka panjang meningkatkan risiko I<anker
payudara.

Banyak sekali penelitian yang menunjukkan HRT meningkatkan risiko terjadinya kanker
payudara. Analaisis terhadap 51 penelitian epidemiologis menunjukkan kumulatif risiko
kanker payudara pada wan ita yang menggunakan HRT mulai pada usia 50 tahun yaitu 2
kasus/IOOO wanita setelah 5 tahun, 6/1000 setelah 10 tahun dan 12/1000 setelah 15
tahun. Rislko tersebut akan menurun bila HRT dlhentikan, tidal< ada penambahan rlslko
setelah 5 tahun, HRT tidak meningkatkan risiko I(ematian, dan beberapa penelitian
menunjukkan HRT dihentikan akan mempengaruhi prognosis.

Trombosis vena
Trombosis vena merupakan perubahan hematologi sel(under akibat menopouse. Pada
tahun 1996 dan 1997 terdapat 5 penelitian epidemiologis yang menunjukkan bahawa
risiko terjadinya trombosis vena pada pengguna HRT sangat keei/' Risiko absolut per
tahun 2/10000 untuk trombosis vena, 0,6/10000 untuk emboli paru dan 2/1000000
untuk kematian. Penggunann 12 bulan pertama berhubungan dengan risiko tertinggi.
Walaupun angka kejadian trombosis vena kecil namun pada pasien denga riwayat
trombosis vena yang dalam harus diperhatikan

Penggunaan
HRT merupakan terapi yClng efektif untuk mengurClngi gejala menopouse dan
kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian akibat osteoporosis. Namun beberapa
penelitian menunjukkan 31 % wanita tidak melanjutkan HRT. Stelah 6 bulan 51% dan 75%
setelah 3 tahun. Alasan pengehentian HRT: 36% krena efek samping. 24% karena merasa
tidak efektif, 18% karena efek samping menjadi lebih buruk dibandingkan tanda
menopouse, 9% karena mersa sgejalanya sudah hiJang, 9% karena masalah perdarahan,
dan 18% karena takut terhadap risiko jangka panjang.

Efek estrogenik adalah: kram pada tungkai, sakit kepala, menjadi bengkak, nyeri pada
puting susu, dan mua!. Efek estrogenik ini dapat dikurangi dengan eara menggunakan

PPOS I O~da<vCi~2015 186


dosis yang paling rendah atau mengubah cara rute pemberian. Efek progrestogenik
adalah: sindroma premenstrual, depresi, berkurangnya konsentrasi, jerawat, sakit kepala,
nyeri pada payudara, retensi (airan, dan dismenorea. Efek progestogenik sering Jebih
mengganggu, dan hal tersebut dapat dikurangi dengan cara mengubah progestogen,
mugubah ke 3 bulanan, atau mengubah rute pemberian.
Levonogestrel intrauterin sering digunakan dengan kombinasi estrogen, dan dapat
digunakan pada wanita yang mengalami perdarahan disfungsional

Jika obat-obat tersebut tidak efektif maka diagnosis perlu diuji kembalai dan penilianan
tipe HRT yang diberikan. Jika perdarahn yang menjadi masalah utama, progestogen
dapat diganti dan pada wan ita yang lebih tua, kombinasi dapat diteruskan atau biala ada
menggunakan tibolone

Alternatif pengobatan
Norethisteron 5 mg per hari efektif menhurangi tanda hot flusshes dan berkeringat,
namun berefek keeil pada tanda menopouse yang lain. Medroxyprogesteron asetat dan
megestrol asetat 40 mg per hari efektif dan dapat diberikan pada wanita yang memiliki
kontraindikasi relatif terhadap HRT. Propanolol dan klonidin bisa digunakan pada hot
flushes namun efeknya tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Sediaan estrogen
vagina dapat digunakan sebagai obat vaginitis atripikan namun pemberian yang
berlanjut dapat diabsorbsi sistemik

SERM efektif untuk pencegahan pengeroposan tulang dan mung kin terdapat keuntungan
kardiovaskuler dan dapat menurunkan angka kejadian kanker payudara. Tibolon efektif
untuk mengurangi tanda hot flushes dan berkeringat dan dapat mencegah osteoporosis.
Estrogen natural seperti fitoestrogen yang terdapat pada sereal, polong-polongan dan
sayuran. Wanita yang hidup dl daerah yang mengkonsumsi mal<anan tinggl fitoestrogen
kejadian tanda-atanda menopouse leblh rendah. Obat-obatan yang mengandung
fitoestrogen belum ada yang menunjukkan efel<tifitas pada penelitian. Namun demikian
obat-obatan yang mengan fitoestrogen sudah beredar luas, terutama di USA, namun
keefektifitasannya harus diuji.

REFERENSI
1. Paterson MEL. Menopause .md hormone replacement therapy. In Luestey OM, Baker PN, et <'II; Obstetrics and
Gynaecology. An evidcncc-ba.sed text for MRCOG. 2004, Arnold Publisher, London.

I'PVSI O~drul.G~ ZOJ 5 167


47. HIRSUTISME

Definisi
Hirsutisisme dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan rambut terminal pada tubuh
seorang wanita dengan po/a dan urutan yang sarna seperti yang terjadi pada
perkembangan pria paska pubertas.

Pertumbuhan rambut normal


Rata-rata orang memi/iki 2juta folikel rambut dengan 100.000 di antaranya terdapat pada
ku/it kepa/a. Terdapat dua jenis rambut yang utama, yaitu vel/us dan rambut terminal.
Rambut vel/us adalah rambut halus dan mengalami pigmentasi ringan serta terdapat pada
sebagian besar tubuh, dan dihasilkan oleh folikel-folikel rambut yang kecil. Rambut
terminal merupakan rambut yang lebih besar dan berpigmentasi dan sebagian besar
terdapat pada kulit, alis, bulu mata, sebelum masa pubertas. Setelah masa pubertas,
rambut terminal terdapat pada axil/ae, daerah pubis dan janggut pria. Selain itu, ramtJut
terminal menjadi sangat banyak pada lengan bawah dan kaki wanita maupun pria. Pada
pria, ram but juga tampak pada dada, bahu, dan punggung. Ada tiga fase pertumbuhan
man~~ •
1. anagen - fase pertumbuhan, yarig berlangsung beberapa bulan hingga 2-S tahun
pada ku/it;
2. catagen - setelah anagen dan berlangsung sekitar 2 minggu; selama periode ini
rambut tidak tumbuh lagi dan bagian bawah dari folikel kulit mengalami evolusi.
3. t~/og~n - 'cue istirahat yang berlangsung sekltar 3 bulan; pada akhir fase Inl rambut
terlepas darl follkel dan bagl,IM bawah rambut memasukl fase imagen kemball.
Transformasl rambut vel/us ke rambut terminal selama pubertas pada wllayah axillae,
pUbiS dan janggut pria didorong oleh androgen sistemik. Hirsutisisme merupakan akibat
dari perubahan kualitas, ukuran, tingkat pigmentasi dan lamanya panjang rambut yang
dihasilkan oleh masing-masing folikel.

insidensi
Sejauh mana seorang wan ita akan melaporkan atau mengeluhkan Hirsutisisme
bergantung pada norma ku/tural maupun rasial. Perkiraan insidensi Hirsutisisme pada
wanita mud a, dengan memperhatikan norma rasial dan sosia/, sekitar 9 persen.
Hirsutisisme hendaknya tidak dikacaukan dengan hypertrichosis, yang menunjukkan
pertumbuhan rambut yang tidak bergantung androgen.

Patogenesis
Reseptor androgen papilla dermal berinteraksi dengan dihydrotestosterone, metabolit
aktif testosterone. Interaksi ini menghasilkan pertambahan ukuran rambut dan jenis
rambut yang dihasilkan eleh folikeJ. Hirsutisisme dikaitkan dengan pOlycystic ovarian
syndrome (PCeS), dengan sekitar 60-70 persen wanita dengan pces yang menga/ami
hirsute.

Ciri-ciri Klinis
Persepsi pasien tentang tingkat Hirsutisisme berbeda dengan yang diperiksa secara klinis.
Untuk mempertahankan konsistensi diagnostik dan memantau kensistensi terapi penting
di/akukan suatu sis tern pemeringkatan yang standar (grading). Yang menilai J I wi/ayah
tubuh dari skala J hingga 4 menurut tingkat pertumbuhan rambut terminal. Ni/ai tersebut
kemudian dUum/ah,

PPDS I O~~C;~2015 188


Perawatan
Penje/asan mengenai kondisi dengan suatu pembahasan tentang harapan perawatan
yang berhasil dan tingkat waktu (berdasarkan fase pertumbuhiln rambutj yang
diperlukan sangat penting pada saat konsultasi pertama.

Penghilangan Rambut

Metode Fisik
Bleaching. Hydrogen peroxide dapat digunakan untuk penyamaran pilda rambut
faciill yang terpigmentasi. Namun demikian, kadang-kadang, hal ini mengarah pada
diskolorasi kulit.
Pencukuran. Tindakan ini tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan rambut. Efek
sampingnya meliputi iritasi dan pseudofol/iculitis.
Elektrolisis. Hal ini merupakan cara efektif untuk menghilangkan rambut secara
permanen. Meski demikian prosedurnya sangat bergantung pada operator. Demikiiln
pula, laser dapat digunakan untuk memproduksi cahaya monochromic. yang secara
khusus terserilp dalam kulit dan menghasilkan energi termal untuk menghasilkan
folikel rambut.
Pengarungan berat badan. Hirsutisisme lebih lazim pada wanita gemuk dengan peos
dibandingkan pada wanita kurus. Sehingga, kurangnya berat badi'm tubuh pada
wanita obesitas dapat mengakibatkan berkurimgnya rambut tubuh.

Metode Farmakologi
Pil kontrasepsi oral. l(ontrasepsi oral menekan aktivitas varian androgen dan
menambah sex hormone-binding globulin (SHBG) sehingga menurun/<an testosteron
bebas. Kontrascpsi oral yang mengandung norethisterone atau levonorgestrel
hendaknya dihindari, karena berpotensi memperburuk hirsutisisme. Pil kontrasepsi
dan anti-androgen cyproterone acetate' adalah /(ombinasi yang lebih efel<tif.
(Dianette')
Cyproterone acetate. Cyproterone acetate rnengurangi hirsutisisme dengan dua eara.
Sebagai antagonis reseptor ilndrogen kulit dan bersifat progestogenil< sehingga
mampu menghambat sekresi 'gonadotrophin yang berlanjut pada peningkatan
ovarian androgen. Etek tersebut diperoleh dari penggunaan kontrasepsi efektif
(biasanya pil kontrasepsi oral) seperti yang terlihat dari paparan harmon ini selama
trimester pertama I<ehamilan sehingga menyebabkan feminisasi fetus laki-/aki. Etek
samping potensialnya adalah hilangnya libido, berat badan turun, mudah lelah.
payudara menjadi lembek, rasa tidak en,,/( pada gastrointestinal. dan sakit kepala.
Spironolactone. Spironolactone merupakan antagonis aldosterone oral dengan sifat
cmti-androgenic. Dengan peningkatan metabolic clearance dan pengurangan aktivitas
S-alpha-reductase kutan. terjadi pengurangan terhadap bioavai/ability testosterone.
Hal ini terjadi dengan mengkomplekskan reseptor androgen intrasel, yang
membentuk reseptor biologis tidak aktif. Kilfena efek diuretik potassium-sparing.
tingkat potasium serum hendaknYil dipantau pada awal perawatan.
Flutamide. Flutamide merupakan anti androgen non-steroidal yang murni.
Hepatotoxicitas merupakan efek samping yang tidak sering tetapi serius, sehingga tes
fungsi lever hendaknya dilakukan selama beberapa Minggu pertama. Tes ini hanya
dilakukan pada kasus yang parah. di bawah pengawasan pusat tersier.
Finasteride. Ini merupakan inhibitor 5-alpha-reductase, yang merupakan akibat mode
aksi secara signifikan tetragenik (potensi feminisasi janin laki-Iakij. sehingga

PPDS I O~~G~ZOI5 189


kontrasepsi efektif harus sering digunakan. Pemakaian finasteride hendaknya dibatasi
hanYil pada beberapa kasus parah saja, di bawah pengawasan pusat tersier.

REFERENSI

1. McVieigh Enda. H/nutisme and Virilism. In Lucsley DM, Bilker PN. et al; Obstetrics and Gynaccology, An evidence­
based text for MRCOG. 2004. Arnold Publisher. London.

190
PPDS I Ob;tWir""""G~2015
48.INFERTILITAS

Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan satu


pasangan untuk mendapatkan I<ehamilan setelah melakukan hubungan seksual yang
teratur selama satu tahun tanpa memakai alat kontrasepsi. Pada populasi normal dalam
tahun pertama 85% pasangan akan mendapatkan kehamilan, sedangkan sisanya 50%
akan mendapatkan kehamilan dalam tahun kedua (angka kehamilan kumulatif sebesar
92% dan 93% untuk tahun l<e·3). Fertilita's wanita akan menurun sesuai dengan
bertambahnya usia dan dapat terlihat dengan jelas pada usia> 35 tahun. Dalam waktu 3
tahun sebanyak 94% wanita usia < 35 tahun dan 77% wanitausia 38 tahun akan
mendapatkan kehamilan setelah melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi.
Prevalensi infertilitas di Eropa berkisar 14% (1 dari 7 wanita), dengan distribusi 5,5% pada
kelompok usia 25·29 tahun, 9,4% pada kelompol< usia 30·34 tahun dan 19,7% pada
kelompok 35·39 tahun.
Faktor penting lain yang dapat mempengaruhi terjadinya kehamilan adalah
frekuensl hubungan seksual. Viabilitas sel telur dan sperma merupakan faktor yang
diperhitungkan bagi suatu pasangan untuk melakukan hUbungan seksuaJ. Frekuensi
ejakulasi yang terlalu sering dapat menurunkan parameter penilaian sperma. Motilitas
sperma terbaik dijumpai bila ejakulasi terjadi setiap 3·4 hari sekali. Setelah ovulasi sel telur
dapat bertahan selama ± 24 jam, sementara setelClh proses ejakulClsi spermCl dClPClt
bertahan dalam traktus genitalia sampai ± 7 hari.

Penilaian awal
Penilaian awal infertilitas pada wanita harus meliputi
anamnesis dan pemeriksaan tisik yang lengkap (dapat dilihat dari tabel I). Tujuan dari
penilaian ini adalah untuk menilai adanya penyal<it sistemil<, kelainan genetik dan
kelainan endokrinologi. Riwayat penyakit l<eluClrga perlu ditanyakan untul< meneari
kemungkinan penyakit genetil< Imisalnya sindrom ovarium pOlikistik). Pemeriksaan fisik
meliputi indeks massa tubuh, distribusi lemak tubuh, payudaril, galaktorea, hirsutisme,
virilisasi, kelainan neurologi (gangguan penciuman dan lapang pandang) serta
pemeriksaan daerah pelvik. Pemeriksaan pelvil< harus memperhatikan kelainan yang ada
di daerah genitalia eksterna, vagina, serviks, uterus dan daerah rektovagina.
Tabel. 48.1. Penilaian awal infertili!.as pada wanita
~ttui,al h:';I\)I)" <Uh.1 Abncntl~j hair 1=-1'I,Iwlh. \\,tl~hl jt3:n, brr..,\;t
n'\icw u(,y~!ttll'i disdw~r.:. h~"P'JlfI)'i~id .;r h)'!:-f:1hyroid
JiY01pt(lr:"lS.hi.,:oC)' of Il;ilet.'I':~ nl~Uilu~ ur
cum.'I\II)'nlplom,.. curnm :nedi("lti rJ'(")!-I!... rHi
:wid ff1~dic"li\)M, '.U': ;1'\:l.t\o",. :t\!crt:i,'~
Sur,tirol! nitlr.'1'Y r ... 11I'11,hm :ut\l ~Ufl!~ry, C(;I\'PiI.: pCl"~r.Jnl!y.
ar~ir.d~lnm)· ()r I,)lh,'r p.!h-Io,' ~U!"'~17r)'

i.l~Mtrua.J Cn'l~ J:1U ).1~"JfCh~. bru~: dc\'e!uplT,I:DI• .cr)~IU'ITr.("3.


dcn~lop"I~Dlai "~'IUCY of s..:.,u:l1!}'II:lJ1tr"in.:d Jisc:~" ...'lIo.IISo.! of
t'i~roj~' rn~'f ;'·oolr.t1:rr1jl,)n. his\o.-y toi c!icth)'htl!h:$lrul
(DES) '-'polun. OInll hi;!IJr)' (If olbnomlll
re"III" frot:' r~p;l[.koluOIol ~n'COIr and
.\uhscquenr 1realmcn:
Sc.\ual hi.'~()ry Fr~'\il.:~n ... y 01 ~~uallntC'n:o\J~C.lilllillt! ~,r
i"h:n:our~ \~,'h bf...1l1 bOOy Irm)):rJiuft'
;'hilt1:!lr, IJr l,I\U!;r1iM pro,'d'I;"IOf ).;jl~.
dysp.:1Tt;lnia, U~ ot" luriri'::Jflti
jllrcrhll\~ hi~b~,;' HUlo!)' oj inferlilil)" In:oll,r'':l1l i:l F"r.!!~:ll1c:
.,huOlJ.iuQ of o;umnl ;n(cnility
Soci.:1 hi~lIIr .. t.:~c of Jlc"hnl. lOt">ttl:('U. ~·:lr·rdr..;. 1"l."rtJtinna:
.:iN,,,: ~~f'b'urr.I(\ :h~tr.\lIh.:.rapy ('rf r3di:uion:
u.uc;,;.;:; ';"'('t'~~i\'c ~IH'~\

fJmil) hj\!i1ry Ilf .-\n':':!oll)'·~'uecl ,(:lC'li, L!l~'ibl!~ • .:;.~,...~i'


S~·r.c:lit diio~"'!C'\ filJ:Il!(I).lic.l!.: tell (be....". TJ:-.5J~h.~ 'i~cas~,
;."ndlhJ.h..w:':IIlt.1

PPDSI Obmtn.~G~i015
191
Tabel 48.2. Penilaian awal infertilitas pada pria
Medical hisll.'J}' amI Ocrml h..ltll and mctile (unclion, oem:e oi
re\,it!w of syslem~ vlriliz,'uil)n. hislt)f1/ nf ~\:x\]nH\' tr~mn;i'l('c
disC:Jsc~, ICslicular' inr'c-~I!\'n,'i (~~~I\ ~ nIUmpS), .
genital Itlluma. ur undc;.:.nll~<1I<;lidc.
pl.lbtn:l[ development, hi.';'II.IIj' or C'.\p;i~ urI! h')
high temptlolturc5 (hoI bath~.consrnlt.:t:')1\
work site~) 0: rt\.-t'nr tt'\'C'!",currenl mC"cic:'11
problcnt~. \':u:cinatiC"ts. o:.Jltrgi\:i, ;tnd u~c of
certain rTt~ril)lion ;lnlihypcnen~j\'c! (k,
':ZlkiurT'! cnarmc1 b\('II.'kcr~l
S:.Jj~i~'J! h,~fl')~' Hiswry oC hcmid, Ic)li;.:ubJ'.llr '·:Jric.:-..~!~
surgery
S~\L.:.:1 hls[ory Previousl," talb;r;d,ll prtg:l.)n~·:, ;li)lory 0:'
C~)ntt'Jccption use Itno infcnj;il~' :n;i pn:violJ:'
rel:'iiun~h:t>, and t'l:;C ~ssh'(' u~c of illr.nO:1I!'
Sr..ci,li hi'w'ry (;..;~ of ill..:ohol. [OhilcCO. ~arfdnc, n:c.:re;JtjO:lJ~
JI1lt!~; cXJ)jhur~ ~I' ~hl!molh~rJP>" or r.\{!i:t~lon
~.lil~ily hisiOr)' of :\n~o!s{ry-col.c.eJ
gtl\':'o,,: di')easc5. eg, I.:i'iti;;
gt:nelil; djt..;JSC~ fioro~b. iid:1t cell di~~. TaY,Silchs dilC'ruiC.
.lr.u Ih"Jl.s"cnliJ; (amil)' r.i'10ry 01' moll.: -­
infertiJI~Y

Sedangkan untuk penilaian awal infertilltas pada pria dapat dllihat pada tabel 2.
Pemeriksaan pada pria meliputi pertumbuhan rambut. kelainan payudara /ginekomastia
dan sekret), kelainan neurologi /anosmia dan gangguan lapang pandang) dan penilaian
genitalia el<sterna. Penilaian genitalia eksterna pada pria harus meliputi ul<uran dan lokasi
meatus urethra eksternus, testis bilateral dan varii<okel. Perlu pula ditanyakan riwayat
operasi (hernia, orchidopexy, atau torsio testis).

Saar penilaian awal ini merupakan hal yang paling penting karena itu setiap dokter
harus bertemu dan menerangkan dengan jelas pada pasangan suami istri yang ingin
berobat. Melalui pendekatan ini juga dapat diketahui frekuensi dan kualitas hubungan
seksual yang biasa dilakukan dan apakah selama melakukan hubungan seksual pasangan
tersebut memakai obat-obatan /pelumas) yang dapat bersifat toksik bagi sperma.
Keluhan infertilitas merupakan hal sensltlf yang serlngkall menyebabkan pasien
depresi, cemas, marah bahkan dapat menyebabkan perceraian. Walaupun penyebab
infertilitas hanya salah satu dilri pasangan suami istri saja, tetapi dokter harus
menekankan bahwa masalah ini merupakan masalah bersama antara suami dan istri.
Seringka/i penyebab infertilitas merupakan gabungan dari beberapa faktor dalam sistem
reproduksi karena itu penilaian infertilitas harus dilai<ukan secara menyeluruh dan cermat.

Penyebab inferti/it;Js
Penyebab ut<lma infertilitas adalah disfungsi sperma. gangguan ovulasi, dan
kerusakan tuba. Disfungsi sperma (motilitas, morfologi, sUNiva/ dan kemampuan
penetrasi terhadap lendir vagina dan serviks) sering menyebabkan infertilitas dengan
kasus azoospermia terjadi pada 2% kasus.
Wanita dengan gangguan ovulasi akan memiliki keluhan siklus menstruasi yang
tidak teratur, oligomenorea atau amenorea. Sebagian besar kasus oligomenorea dan 30%
kasus amenorea disebabkan oleh sind rom ovarium polikistik,

f'PDS I O~j,,,,,,,,,C;~2015 192


Obstruksi dan kerusakan tuba (paling sering disebabkan o/eh infeksi Chlamydia)
Jerti! perlengketan tuba dan ovarium (karena riwayat operasi atau endometriosis) terjadi
pada 20% kasus yang datang ke klinik infertilitas. Penyebab lain dari infertilitas yang perlu
diperhatikan adalah endometriosis dan ke/ainan lendir vagina atau serviks.
Sekitar 15% pasangan memiJiki > 1 faktor penyebab infertiJitas karena itu sangat
penting bagi seorang dokter untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan yang (ermat
dan menyeluruh terhadap segalil kemungkinan penyebab infertilitils. WCilaupun telilh
dilakukan pemeriksCian menyeluruh, masih terdapat 25% pasangiln yCing tidak diketahui
penyebab infertllitasnya, kasus ini digolongkan pada unexplained Infertility.
Faktor lain yang turut mempengaruhi fertilitas adillah usia ibu, Meningkatnyn usia
ibu akan menurunkan fertilitas dan keberhasilan tata lal<sana infertilitas. Cadangan fungsi
ovarium dapat diJihat dengan menilai peningkatan Kadar FSH dalam darah, Wan ita
dengiln nilill FSH yang tinggi bernrti tidak memiliki fungsi cadangan ovarium yang bilik
dan hal ini memiliki prognosis buruk bagi fertilitas (termasuk dalam program ART).
Obesitas (indeks massa tubuh 25·30) atau penurunan berat badan yang drastis
dapat menyebabkan dan mempengaruhi keberhasi/an berbagai modalitas terapl dalam
kasus infertilitas, termasuk dapat meningl<atkan risiko abortus. J(ebiasaan merokok pada
wan ita juga dapat menurunkan fertilitas. Penyebab kasus infertilitas secara keseluruhan
dapat dilihat pada tabel 3.

Pemeriksilan infertifilil!pada wanilil


Penilaian infertilitas pada wanita merupakan hal yang kompleks dan
acapkilli harus dilengkapi dengan pemeriksaan darah lengkap. urinalisis, penyakit
menular sekSUill (terutama blla terdapat faktor risiko), pemeriksaan antibodl terhadllp
toksoplasma, rubella, cytomegalo dan herpes virus (TO~CHI, serta pemeriksaan Pap
smear.
Tabel. 48,3, Penyebab inferti/itas
Cause FI9QUency I~~:I
Sp~lm d~f(o;ts C'I d)'ctun ctic,n 30

O'iul~uon tJilul~ iamlnNlhM .J[ 'Jli)'JmOnNrhcoo'l 25

Tuool inf9cti\~ mmag8 20

Uno:(pI3in~d inr.rtilit,' 25

Endc'motri!Jlis ((min,) d3m~9e:1


(')~I raillifo ,)r infr~Qu~n';.1
(~l'li,~1 mucus dolt(1~ ,)r dy~lu nCli')n
Uttfin~ J~n!Jlm3IitiiG (such JS ffblc4ds 'If a~n'JIITIllrtios c,1 shJ~) (.:1)

Tc'ul ~xC09d$ I(I)'!', as t5~~ of ,)Jupb:tlJ."o lJ)Jr~ 1I\Jn "n~ ~u~ d (llbf~rtil~!

Pemeriksaan yang harus dilakukan pada kasus infertilitas adalah sebagai berikut:

1. Analisis sperma
Pemeriksaan semen merupakan pemeriksaan pertama yang harus diJakukan pada
pria. Bila hasiJ pemeriksaan menunjukkan jumlah sperma yang sedikil iltau tidak ada
maka pemeriksaan ini harus diulangi 2·3 bulan selanjutnya mengingat siklus
perkembangan sperma yang panjang dan dipengaruhi oleh banyak faklor, antara lain

PPVS r Ob,tw-vdan.G~2015 193


temperatur. Kriteria analisis sperm a yang normal sesuai dengan yang ditetapkan
WHO. Pemeriksaan uji pilsca sanggama (post coital tes~ bersifat kontroversial dan
tidak bermakna.

2. Peni/aian fungsi ovulasi


Siklus menstruasi yang teratur (21-35 hari) merupakan indikasi adanya proses ovulasi.
Deteksi proses ovulasi menggunakan kurva suhu basal saat ini tidak direkomendasikan
lagi. Teknik deteksi ovulasi dilakukan dengan mengukur kadar progesteron pada fase
midluteal (± hari ke-21 -? > 5 ng/ml). Pasien dengan keluhan siklus menstruasi tidak
teratur menunjukkan proses ovulasi yang terganggu sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal. .

8ila siklus menstruasi teratur dan infertilitas telah berlang.lUng > 2 tahun maka
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan hormon IFSH. LH. E2 dan progesteron).
Kadar FSH dan LH dianjurkan diperiksa antara hari ke-2 - 5 siklus menstruasi.
Pemeriksaan pentlng lain pada pasien dengan g,mgguan sil<ius adalah TSH dan
prolaktin. Jarang ditemui hiperprolaktinemia bila tidak ada keluhan amenorea.
Gangguan ovulasi pada > 25% wanita infertil ditanoai dengan amenorea,
oligomenorea atau siklus ireguler. Oligomenorea sering disebabkan oleh sindrom
ovarium polikistik dimana 8-10% diantaranya disertai dengan peningl<atan kadar
prolaktin. Diadnosis sindroma ovarium poli/dstik bi/a dijumpai 2 dari 3 tanda di bawah
ini:
Hiperandrogen klinis atau laboratoris (penilaian 17a-hidroksiprogf;!steron dan
dehidroepiandrosteronj
• Oligoovulasi

Ovarium polikistik lultrasonografij

3. Kerusakan tuba
Setiap kasus infertilitas harus dilaku/<an pemeriksaan patensi kedua tuba fal/opi.
Kurang lebih 20% kasus infertilitas disebabl<an oleh faktor tuba. Bi/a dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik tidak ditemui kelainan pada tuba, disllrankan melakukan
pemeriksaan histerosClIpingografi (HSG). 8i/Cl hasilnya abnormal mal<a lanjutkan
dengan laparoskopi mengingat pada tindakan HSG mungkin terjadi spasme .kornu
yang menghambat patensi tuba. Oklusi tuba diperbaiki melalui tindakan laparoskopi
atau bedah mil<ro II<eberhasiian 15-35%). Infertilitas oleh faktor tuba dianjurkan untuk
mengikuti program invitro fertilization (/VF) (/<eberhasilan 25%). Bila dijumpal
hidrosalping, terlebih dulu IClkukan tindakCln SClIpingektomi menglngat kondisi ini
sangat mempengaruhi I<eberhasilan program IVF.

4. Endometriosis
Endometriosis dijumpai padCl 5-10% kasus infertilitas dengan kemungkinan kehamilan
setiap bulan bagi pasangan yang menderita endometriosis hanya berkisar 2-3%
dibandingkan dengan pasangan normal yang memiliki kemungkinan kehamilan
sampai 20%. Saat ini pengobatan surgikal endometriosis banyak dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan terapi terutama bila endometriosis berada pada stadium
sedang-berat yang sering menyebabkan perlengketan genitalia interna sehingga
dapat menimbulkan inferti/itas.

S. Unexplained infertility
Sebanyak 30% pasangan infertil memiliki hasil pemeriksaan yang normal pada fungsi
ovulasi, sperma dan patensi tuba sehinggil kilsus ini dimilsukkan ke dalilm 9010n 9",n

194
Pf'OS I O~j,dA<vG~,,2015
vnelfplifinea infertility. Salah satu faktor yang memegang kontribusi pada kasus ini
adillilh uliil ibu, terutama bila usia ibu > 37 tahun. Saat ini manajemen awal dari
unexplained infertilityadalah dengan melakukan inseminasi intra uterin sebanyak 3-6
siklus dengan kemungkinan kehClmilan sebesar 9,5% bila dilakukan induksi ovulasi
dengan klomifen sitrat dibandingkan dengan 3,3% bila tanpa induksi ovulasi. Si/a
terapi ini belum berhasil maka pilihan selanjutnya adalah dengan menggunakan
gonadotropin. Langkah-Iangkah pemeriksaan dan manajemen awal kasus infertilitas
dapat dilihat pada tabel4.

Tabel. 48.4. Investigasi infertilitas


1'"lbljl~tJ'I PIJ*' " ... tDIi~lIlll'U ~ I'tI'IlW'!'.11
Currlll.l."lrIll....;'I~1
~)';Ii ~~ltfl [aWil ~ Irll'. . ril~ 10 lioIr,. Rrilli n.;r irlm~;' ~~.'U~II~I;or;I'+:inNfoj:itiI"'wl
MIIo>)dOl"l~JJi.I.1I!GII fr.u'"~ol)II"IM,'kfpri'".~r~l~ii~ ~WIrh1/.1 ~~I~Itrl'iIlll'idll9ii. di.. rllt' I~d
1lIo.1ta111. C'141411 Stl'li:'9'1 Q.1dJ ftlpDII ",b't lid ". Oi,DlI!I.:Nd I~ Q:IIJIlt.. tI Jill!. ~ .. \'1 ')dINlloi'-i>PI :M'X\ViI'I 1'1' ~IftI\U ~ II Ut't:>JIl
htwiHI_tl" ~i.1;d"..»t+'l"\ 10m ,.'liM !IT\Wllltlirjclr!q 'II MI ~~II'1I-di61 "hit tl/1TltI
~~1~~ClCtll4\'
f!1 ...lItrft_I••
Wntn'N~lIl thu. IOtIflOI·J).oJOI lh l\oIilll" \1110;1 R"""·nrt(tf:1 ,:1 ~*.III"·~IIW ~1J1
I~UlII oQl.I.r.»lUN ,2.1 1111. tfoiIn,~J1I.lj .,.,.-rr( ,:11'", .\l!).~IlII, r~ IMTl('Ii If:JCItr i41IUM tf 104 ..»1:0
IlIl!~, ,1)'.lK'ttU r."'~j.~ ~':¥0C4lll:' ,"~fIt. 0'10:1 ~ :tI:lli.1l'r)I)!II ~
(",lbl;t:lnSilI~ft1)lNfI'lllUl ""rmllJ/lC~~t.. II'IUI· i' ~nt"l1~ ~ ~jhll kl e,~~ ~rc'sil
1·./Io)lliii,j"IIOIn'VIIII(·:~)Wt"ltil'n~ Ilo~~ jel'] ",6n'n!'CN.11.r/~,ff. iliff ~1ir::1,.I;Ij'
liNot~IIPI~ltmi'
p,.,.,,~1;41'''''''11tnt-l1o..lJ.t1'~ U11d$1,",1II.~ .... otJ,""I/I,,""~I"c.:IM If''),IN III rcOI...:; u.;~:Hm 'tJ:.IAllfll~~ ,I dWI. !(-('I(....
rl!l11f!QlIl "'11.~,;)IJr.'tll'll{oi+lII~I~~II!IINf/llj1(X'",",I·«'O' 1)')1 mil .wld',/IJN ,,10 crni<y,\;jl'hlolOtoIt1 rltoi_S
lroI{r(G~r'.Oli·I'l't.fl$lftlfo)l'!JS .~·)rl/"" ICtIm (.. If. IIGt;g Wg r~r :('rTTIlr.'.lwOil1'1 ~Ir
D~((a;r,oll1l":U$
['I"'''~::III'''''III:'''''liClJ!'~)/I:1j1
hl~u"r.,.u~"
1!OI'IJ,.. l-;1~rrr..nY!\oJ,·,11.i J.::.IIU$(~.WI"'lIM)i fll1f~lIl.r.jl'rl~'>IOlu-rl
Ulmo!l'I('II1IC,:ht";;"h""~r~!II~" Mri~' r""u.! u /I~!f~"1 ~.»"''''~'f uM
U! '11l',~ Hli ,~;<!", 1I11':'~ ''''''IO~N 1~':I'19':CP(QS PCDl a om,"1 ~,Wi~r.. 1~llr.i i~ .1~I"iJli'\ii-;j\~r,"i ~
it'1f\lI" .J->:~·I ,u.:«1 molo<.l.1. :);,;~\r.;II""-flll.) It'.o-~·~
,hi ~ 11\("":
1':1,,;.101(0lil U('I"jl~f'~1d ~'M ::~VI:' K')S
~·~JI:;!.("'I~ 10 JM I;I-H J.:.:I,~hylal(., lr. fJi.JVoioJIIrt~ '~lI\llj~( .;011'lr-l1,' ~~I"~I SNct1~ t.oJll!lllll j 1Il1l1~ tlU$j "9 ~lt'I-I.j.Jbcl"J,",1l1 k.
lII('"bf~~,~ C
......tJt!Ill a,I!.iIClK" :Q·1QoIIIlICllO)\ll.:Oll't. tt-"Vllw on i't:;l"'" Ir"";ftl
~~EtJ l4.1,,;.I . .:lIP.;os - l,,»Io~h£.'j.:AiI~IOlr4>r)\.J~);!~<l\IIolI"G\ltWS
~llInlltl"'W!II1~lIlY.lI
II "':.I~ ~}9I~ i'I~K'I'~..:.wn OoKl rr,r·lI1l1k·lIIIt>)3~

'"

1=1'1\.)0;1. '~td:s r(~.>l'.jIf.)Ij(V'4,;n':IIITtlI~ 1~1Il.'" I~I ~,,jj


A;W'O\ltQ1iW.'NitI\Qt'(mll:'9111
Il\.ilH ttlJllIol~ t.1Jloa
.,,,- IUIld '(05: ,[ r.ll'~ d~ ~."lj,l tuotUIi ~'JIl.s ..)I'U R,1jnr kI i!;,r«#Uct.. ) .,,~<m·I~'t
fI".WIIII_IIt."",,,
tMlIt,dl~~ ~;,w \. ri'iifn.:!M .Ii,.,.", 1XoI"" (UZl 11.111" I-'$in.. MI j).IINJ"" IHII~I(W. ~lnlOQjwl&rt.
hrly r.I.,~ ~l *,w :lriit: '!"Xlj
~M>4C(ofUlt .l::":~¥'Il.ll~",!" I(>"."""'~III"O"""" J)( fl~unl~9'J.:It"ltIWI!(O'1 ~"ki
'lI~brr,"DIII~ln
~'"
11,%11',..... 1')1", ~lo~"iliII(;J«l, lofIiI,......., ...... MIIi ..... fN.. ,"10'1 UJ~!.!iUjII4:J~a moe
l.l~·)k'I)riW'11 ~hN'(III,jII(ylof·l'I .. ",~J!.lO'I,ndh:oNtl ~liI.ii-~jl~'*<4--:)tp!~i~1
~~1Uu\ fIlllQlIM)114 ir\t('I"")gI.1u1~~'f. ISlt.t-h:!. :Mall••) hoo!>JnJ. t.Hooh.f.I\~.ulQ I\t.nltn, KO!q»Ift",~ i'lrl :;r,~?fII-l, ~lIi; .... "~"",, I/.n.:!IlJ I"I<.II!\
1SH.lul'III :In\l~JIIo' 1\rft,""I','h1 j"~ lO<'I'~"'"

In Vitro Fertilization (IVFj


Indikasi untuk melakul<iln tindallan IVF terutama adalah bila inferti/itas disebabkan oleh
faktor tuba atau tcrapi yang adekuat terhadap faktor penyebab infertilitas yang telah
ditemukan tidak berhasil. I<ebcrhasilan program IVF sendiri sampai saat ini belum
menggembirakan dengan rata·rata kelahiran hidup hanya berkisar 25·30% per siklus.
Angka ini akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya usia ibu. Program IVF
juga meningkatkan risiko untuk terjadinya bayi kembar (37.1%). sindrom ovarium
hiperstimulasi (5%). abortus spontan (17%), kehamjlan ektopik (2%) dan kehamilan
preterm (20%). Saat ini wa/aupun program IVF telah cukup banyak men%ng pasangan
dengan infertilitas tetapi kemampuan pasangan untuk mengakses program ini masih
rendah, tidak lebih dari 10% pasangan infertil yang menggunakan metoda terapi ini.

PPDS I of>mt>i,a.w.G~~Z015
195
REFERENSI

I. Smith S, Pfeifer AM, Collins JA. Diagnosis and management of female infertility. JAMA. October I. 2003;290)131;1767·
1710
2. Frey KA, Patel KS. Initial evaluation and management of infertility by the primary c>re physician. Mayo Clin Proc.
2004;79/11);1439-1443
3. Cahill OJ, Wardle PG. Management of infertility. SMJ. 2002;325;28·32
4. Fertility assessment and treatment for people with fertility problem,. National Collaborating Centre for Women', and
Children's Heal~~. Cfinic~1 Guideline February 2004.

P1'!)S I ObJWy"""",,G""'~,015 196


49. METODE KELUARGA BERENCANA ALAMlAH (KBA/

1. Definisi dan Jenis


Metode Keluarga Berencana Alamiah merupakan suatu metode di mana
pilsangan secara sukarela menghindari sanggama pada masa subur wanita
{ketika seorang wanita dapat menjad( hamill. Metode keluarga berencana
alamiah berdasarkan kesadaran penuh dari siklus reproduksi wanita tersebut.

Metode Lendir Serviks atau iebih dikenal sebagai Metode Ovulasl Blillngs/ MOB
atau metode dua hari mukosa serviks dan Metode SimtomtermClI adCllah yang
paling efektlf. (ara yang kurang efektif misalnya Sistem Kalender Mau Pantang
Berkala dan Metode Suhu Basal yang sudah tidak diajarkan lagi oleh pengajar
KBA. Hal ini disebabkan oleh kegagalan yang cukup tinggi (>20%) dan waktu
pantang yang lebih lama. Lagi pula sudah ada cara lain yang lebih efektlf dan
masa pan tang yang lebih singkat. Di Indonesia. dengan surat dari BKI(BN PUSilt
kepada BKI(8N Provinsi dengan SK 6668/K.S.002/E2/90. tanggal 28 Desember
1990, Metode Ovulasi Billings (MOB) sudah diterima sebagili salah satu Metode
I(B (Mandlri).

2. Prinsip I(erja
Sanggama dihindarl pada masa subur yaitu pada fase sil<lus menstruasi di mana
kemungklnan terjadi /(onsepsijkehamilan.

3. Indil<asi dan Syarat


Tidak ada indikasi ataupun sYilrat I<husus bagi pilsangan suami istri atau

perempuan yang ingin menggunakan metode kontrasepsi ini.

Yang dapat menggunal<an I(SA:

Semua pcrempuan usia reproduksi. terutama dengan sildus haid yang

teratur

Semua perempuan dengan paritas berapapun termasuk nullipara

Perempuan kurus ataupun gemuk

Perempuan yang merokok

Perempuan dengan alasan kesehatan tertentu, iI.l. hipertensi sedClng,

va rises, dismenore, saklt kepala sedang atau hebat, mioma uteri,

endometriosis, kista ovtlrii, anemia defisiensi besi, hepatitis virus, malaria.

trombosi, vena dalam. atau emboli pClru.

Pasangan dengan alasan agama atau filosefi untuk tidal< menggunakan

metode lain.

Pasangan yang ingin pantang sanggama lebih dari seminggu pada setiap

siklus haid.

Pasangan yang ingin dan termotivasi untuk mengobservasi. mencatat, dan


menilai tanda dan gejala kesuburan.

PPDS I OlntWV""",G~2DI5 197


4. Kontril Indikilsl
Yang seharusnya tidak menggunakan KBA adalah :
Perempuan yang dari segi umur, paritas atau masa/ah kesehatannya
membuat kehami/an menjadi suatu kondisi risiko tinggi
f'erempuan sebe/um mendapat haid (menyusui. segera setelah abortus),
kecuali MOB
Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur. kecuali MOB
Perempuan yang pasangannya tidak mau bekerja sama Iberpantang)

selama waktu tertentu dalam siklus haid.

Perempuan yang tidak suka menyentuh daerah genita/ianya.

S. Teknil<
A. METOOE OVULASI BILLING
Peri/(sa lendir setiap kali ke be/akang dan sebelum tidur. keeuali ada
perasaan sangat basah waktu siang. Lendir mungldn berubah pildil harl
yang sama. Setiap malam sebe/um tidur, tentukan tingkilt yang paling subur

dan beri tandil pada catatan dengan kode yang sesuai.

Pantang silnggama untuk paling sedikit satu siklus, sehingga dilpat dikenali

har;-hari lendir, mengenali Po/a Kesuburan diln Pola Dasar Ketidaksuburan

dengan bimbingan pelatih/ guru KBA.

Hindari sanggama pada wilktu haid. Hari-hari ini tidak aman. pada sik/us

pendek. ovulasi' dapat terjadi pada hari-hari haid.

Pada hari kering setelah haid. aman untuk bersanggamil selang satu millam

(aturan selang-seling). Ini akan menghindari kebingungiln dengan ciliran

sperma dan lendir.

Segera setelah ada lend;r jenis apapun atau perasilan basah muncul, hindari

sanggama atau kontak seksual. Hari-hari lendir, terutama hari-hari lendir

subur adalah tidak aman.

Tandai hari terakhir dengan lendir jernih. liein dan mulur dengan tanda X.

Inl ada/ah hari puncak; Ini adalah hari ovulasi atau harl paling subur.

Setelah harl puncak, hindari sanggama untuk 3 hari berikut siang dan

malam. Had-hari ini dalah tidak aman IAturan Puncak). Mulai darl pagi harl

keempat setelah kering, ini adalah hari-hari aman untuk bersanggama

sampai harl haid berikutnya bila ingin menghindilri kehami/an.

Pada siklus yang tidak teratur seperti pasca persalinan atau pra menopause
maka perlu memperhatil<an Pola Dasar Ketidaksuburan dimana ada waktu
1-2 hari subur yang menyelingl diantara hari-harl tidak subur. Bilil pOla dasar
ketidaksuburan ini sudah pulih kembali dan berlangsung minimal 3 hari
berturut·turut tanpa perubahan, maka sanggama bolel1 dilakukan (Aturan
Sabar Menunggu / Wait andSee Rule).

PPDS I O~v~C;~2015 198


5, METODE SUHU BASAL
Ukur suhu pada waktu yang hampir sama setiap pagi (sebelum bang un dari

tempat tidurl dan catat suhu pada kartu yang disediakan

Pakai catatan suhu pada kartu tersebut untuk 10 hari pertama dari siklus

haid untuk menentukan suhu tertinggi dad suhu yang "normal, rendah"

(misalnya catatan suhu harian pada pola tertentu tempa suatu kondisi yang

/uar biasa). Abaikan setiap suhu tinggi yang disebabkan o/eh demam atau

gangguan lain.

Tarik garis padil 0,05 - 0,1 C di atils suhu tertinggi dilf; suhu 10 hilri

tersebut. Ini dinamilkiln gilris peJindung (cover lineJatau gilris suhu.

Masa tak subur mu/ai pada sore sete/ah hari ketiga berturut·turut suhu

berada di atas garis pe/indung tersebut (Aturan Perubahan Suhu)

C, PANTANG SANGGAMA

Pan tang sanggama mula; dad awa/ siklus haid sampai sore hari ketiga
berturut·turut setelah suhu berada di atas garis pelindung (cover line/. Masa
pantang pild-aAturan Perubahan Suhu lebih panjang dari pemakaian MOB.
D. METODE SIMTOMTERMAL
Setelah darah haid berhenti, dapat bersanggama pada malam hari pada hari
kering dengan berselang sehari se/ama masa tak subur. Ini ada/ah Aturan
Selang Hari /(ering (Aturan Awa/). Aturan yang sama dengan Metode Lendir
Serviks.
Masa subur mula; ketika ada perasaan basah atau muncu/nya lend;r, Ini
ada/ah Aturan Awal. Aturan yemg sama dengan Metode Lendir Serviks.
8erpantang bersanggama sampai masa subur berakhir,
Pantang bersanggama sampai Hari Puncak dan Aturan Perubahan Suhu
lelah tcrjadi,
Apabila aturan ini tidak mengidentifil<asi hari yang sama sebagai al<hir masa
subur, selalu ikuti aturan yang paling konservatif, yaitu aturan yang
mengidentifikasi masa subur yang paling panjang.

6. /(omp/ikasi
Tidak ada komplikasi akibat metode ini.

PPVS I O~"""'C;~ZOIS 199


KONTRASEPSI HORMONAL
1. Definisi dan Jenis
Yang dimaksud dengan kontrasepsi hormonal adalah semua obat atau alat untuk
mencegah terjadinya kehamiJan. dimana obat atau alat tersebut mengandung
hormon estrogen dan atau progesteron.
Estrogen dan progesteren adalaH hermon yang dihasilkan eleh indung telur
dibawah pengaruh hipotalamus dan hipofisis. Kedua hermon ini pada gilirannya
membuat selaput lendir rahim (endometrium) tumbuh dan dalan keseimbangan
tertentu menyebabkan ovulasi.

Jenis-jenis kontrasepsi hormonal:

Pil

• Suntik

Implan (susuk)

Z. Prinsip Kerja
• Estrogen dapat mencegah kehamilan dengan cara :
.; Mencegah terjadinya ovulasi dengan jalan mencl<an pengeluaran
hormon dari hipofisis (FSH dan LH). Pada pil KB. l<ira-l<ira 98% cara
kerjanya adalah mencegah ovulasi
.; Menghambat implantasi
.; Mempercepat perjalanan ovum dari saluran telur ke rongga rahim
sehingga kemungkinan untuk terjadinya pembuahan diperkecil
.; Menyebabkan terjadinya luteolisis. yaitu proses degenerasi I(orpus
luteum sehingga kehamilan dapat dicegilh

Progesteron dapat mencegah kehamiJan dengan cara :


.; Membuat lendir serviks menjadi kental. sehingga menghambat penetrasi
spermatozoa ke dalam rahim
.; Menghamba! perjalanan ovum. sehingga menurunkan kemungkinan
terjadinya pembuahan

.; Menghambat implantasi

.; Mencegah terjadinya ovulasi

3. Indikasi

Tergantungjcnis kontrasepsi hormonal yang digunakan.

4. Kontra Indikasi
Perhatian khusus pada :

.; Tromboemboli

.; Kclainan cerebro vaskuler

.; Gangguan hati

.; Tumor ginekologik

.; Kehamilan

PPOS I o~~,,~2015 zoo


• Perhatian pada :

.; Diabetes

.( Hipertensi

.; Perdarahan pervaginam yang beJum diketahui sebabnya

.( Fibroma uterus

.( PenYilkit ginjill, jantung

5, Teknik
Tergantungjenis kontrasepsi hormonal yilng digunakan.

6. Komplikasi
Efek samping kontrasepsi hormonal:
Kelebihan estrogen:
,f Mual-muntah

.( Edema
,f I<eputihan

.( Disposisi lemak berlebihan


,( Ektropia serviks
,( Nyeri kepala jenis vaskuler
.( Hipertensi
,( Penekanan lilktasi
.,( Payudara tegang I<arenil retensl calran
Kelebihan progesteron :
.,( Nafsu makan meningkat
.( Berat badan bertilmbah
.( Cepilt lelah

.( Depresi

,f Libido berl<urang

.( Alme

.,/ Alopesia

,f Lilmil haid berkurilng

.,/ Nyeri kepi'lil

.,/ Efek anabolik

Oi ilntara efek·efel< tersebut, efel< samping digolongkiln menjadi ;


Efek samping ringan : mual, perubahan siklus haid, berM badan bertambah,
depresi, alopesia, amenorea, retensi cairan.
Efek samping berat : tromboemboli, pilnkreiltitis, kelainan liver, dan kelainan
kardiovilskuler lilinnya.

PPDS r OlntW-vdJ;u,.,G~ZOlS 201


KONTRASEPSI HORMONAL; PIL KOMBINASI
I. Jenis pit kombinasi
Monofasik
Pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung hormon aktif estrogen
/ progestin IE/P) dalam dosis yang sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.
Bifasik
Pil yang tersedia dalam i<emasan 21 tablet mengandung hormon aktif estrogen
/ progestin IE/P) dengan dua dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa
hormon aktif.
Trifasik
Pi! yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung harmon aktif estrogen
/ progestin (E/P) dengan tiga dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa
hormon aktif.

Z. Prinsip KerJa

Menekan ovulasi

Mencegah implantasi

Mengentali<an lendir scrvil(s sehingga sulit dilalui oleh sperma

Mengganggu pergerakan tuba sehingga transportasi ovum terganggu


3. Indikasi
Yang dapat menggunal<an pill<ombinasi;
Pada prinsipnya hampir semua perempuan boleh menggunakan pi! kombinasi,
seperti;
Usia reproduksi
• Telah memiliki anak ataupun yang belum memiliki anak
Gemuk atau kurus
Menginginkan metode kontrasepsi dengan efektivitas tinggi
Setelah melahirkan dan tidak menyusui
Setelah melahirl<an 6 bulan yang tldal< memberikan ASI eksklusif, sedangkan
semua cara I<ontrasepsi yang dianjurkan tidak cocok
Pasea keguguran
• Anemia karena haid berlebihan
Nyeri haid hebat
Siklus haid tidak teratur
Riwayat kehamilan ektopik
Kelainan payudara jinak
Diabetes tanpa komplikasi pada ginjal, pembuluh darah, mata, dan saraf.
Penyakit tiroid. penyakit radang panggul, endometriosis, atau tumor ovarium
jinak
TuberkuJosis Ikecua'i dalam tcrapi rifampisin)
Varises vena

PPDS I O~M..vG~2015 202


4. Kontra indikasi
Y<lng tidak boleh menggunakan pil kombinasi :

Hamil atau dlcurigai hamil

Menyusui eksklusif

Perdarahan pervaginam yang belum diketahui penyebabnya

Penyakit hati akut (hepatitis)


Perokol< dengan usia >35 tahun
Riwayat penyakit jantung. stroke, atau tekanan darah > 180/ II 0 mmHg
Riwayat gangguan faktor pembekuan darah atau diabetes> 20 tahun
Kanl<er payudara atau dicurigai kanker payudara
Migrain dcm gejala neurologik fokal (epilepsijriwayat epilepsi)
Tidak dapat menggunakan pil secara teratur setiap hari.

5. Teknik
Waktu mulai menggunakan pil kombinasl :
• Setiap saat se/agi hitid, untuk meyakinkan bahwa tidal< ada I<ehamilan
Hari pertama sampai hari ke-7 siklus haid
Boleh menggunakan pada hari ke-8, tetapi perlu menggunakan metode
kontrasepsi yang lain (kondoml mulai hari ke-8 sampai hari ke-14 atau tidak
melakukan hubungan seksual sampai paket pi/ habi.>
Setelah melahirkan :

.,/ Setelah 6 bulan pemberian ASI eksk/usif

.,/ Setelah 3 bulan dan tidak menyusui

.,/ Pasca keguguran (segera atau dalam waktu 7 hari)

Bila berhenti menggunakan kontrasepsi injeksi, dan ingin menggcmtikan

dengan pil kombinasi, pil dapat segera diberikan tanpa perlu menunggu haid.

Ir.struksi kepada klien


• Sebaiknya pil diminum setlap hari, lebih baik pada saat yang sama setiap hari
• Pil yang pertama dimulai pada hari pertama sampai hari ke·7 siklus haid
• Sangat dianjurkan penggunaannya pada hari pertama haid
• Beberapa pake! pil mempunyai 28 pi I, yang lain 21 pi/, Bila paket 28 pil habis,
sebaiknya mu/ai minum pil dari paket yang baru. Bi/a paket 21 habis, sebaiknya
tunggu 1 minggu baru kemudian mulai minum pil dari paket yang baru.
• Bila muntah da/am waktu 2 jam sete/ah menggunakan pil. ambillah pi/ yang
lain, atau menggunakan metode kontrasepsi yang lain.
• Bi/a terjadi muntah hebat, atau diare lebih dari 24 jam. maka bila keadaan
memungkinkan dan tidak memperburuk keadaan, pi! dapat diteruskan.
• BHa muntah dan diare berlangsung sampai 2 hari atau lebih, cara penggunaan
pil mengikuti cara menggunakan pi/lupa.
• Bila lupa minum I pil (hari 1·21 I, scbaiknya minum pil tersebut segera setelah
ingat wa/aupun harus minum 2 pil pada hari yang sama. Tidak per/u
menggunak,m metode kontrasepsi yang lain. BHa/upa 2 pil Cltilu Ic:Dih I hen; 1 ­

PPOS I OJnaty(.~<i~1015 203


21 j, sebaiknya minum 2 pil setiap hari sampai sesuai jadwal yang ditetapkan.
~ebaiknya gunakan metode kontrasepsi yang lain atau tidak melakukan
hubungan seksual sampai telah paket pi! telah habis.
• Bila tidak haid, perlu segera tes kehamilan.

6. Komplikasi
• Amenore
• Perdarahan pervClginClm / spotting
• MUClI, pusing. muntah

KONTRASEPSI HORMONAL: SUNTIKAN KOMBINASI

1. Jenis suntikCln kombinasl

Jenis suntil<an kombinasi adalClh 2S mg Oepo Medroksi Progesteron AsetClt (OMPA)


dan 5 mg estradiol sipionat yang diberikCln injeksi 1M sebulan sekali (Cyclofemj, dan
50 mg Noretindron cnantat dan 5 mg estradiol valerat yang diberikan injel<si 1M
sebulan sekali.
2. Prinsip Kerja
• Mcnekan ovulasi
• Mengentall<an lendir serviks sehingga penetrasi sperma tergang9u
Perubahan pada endometrium (atroti) sehingga implantasi terganggu
• Menghambat transportasi gamet oleh tuba

Efektivitas : sangat efektif (0,1 - 0,4 kehamilan per 100 perempuan) selamCl tahun
pertama penggunaan.
3. Indikasi
Yang boleh menggunakan suntikan kombinasi:

Usia reprodul(si

• Te/ah memi/iki Clnak ataupun yang be/um memi/iki anak


• Menginginkan metode kOlltrasepsi dengan efektivitas yang tinggi
• Pasca persalinan dCln tidClk menyusui
• Menyusui ASI pClsca persalinan >6 bulan
• Anemia
• Nyerl haid hebat
• Haid teratur
• Riwayat kehamilan ektopik
• Sering lupa menggunakCln pil kontrasepsi

4. Kontra indikasi

Yang tidak boleh menggunClkCln suntikan kombinClsi :

• HClmil atau diduga hamil


• Menyusui dibClwah 6 minggu PClSCCl persalinCln

Pf'D5 I O~da."G~2015 204


, Perdarahan pervaginarn yang be/urn je/as penyebabnya
Penyakit hati akut (hepatitis viral)
Perokok dengan usia >35 tahun
Riwayat penyakit jantung, stroke, atau tekanan darah tinggi I > 180/110
mmHg)
Riwayat kelainan tromboemboli atau diabetes> 20 tahun
Kanker payudara atau dicurigai I<anker payudara
Kelainan pembuluh darah yang menyebabkan sakit kepala atau mig rain

5, Teknik
Suntikan kombinasi diberikan setiap bulan dengan suntikan intramuskular dalam.
Klien diminta datang setiap 4 minggu, Suntikan ulang dapat diberil<an 7 hari lebih
awal, dengan kemungkinan terjadl gangguan perdarahan, Dapat juga diber/kan
setelah 7 hari dari Jadwal yang telaM ditentukan, dengan memastlkan tldak ada
kehamilan. Tidak dibenarkan melakukan hubungan seksual selama 7 hari atau
menggunakan metode kontrasepsi lain untuk 7 hari saja,

Waktu mulai menggunakan suntil<an kombinasi :


• Suntil<an pertama dapat diberikan dalam waktu 7 hari siklus haid. Tidak
diperlukan kontrasepsi tambahan.

Bila suntikan pertama diberil<an setelah hari ke·7 siklus haid, klien tidak boleh

melakukan hubungan seksual selama 7 hari atau menggunakan I<ontraseps;

lain untuk 7 hari.

Bila tidal< haid, suntillan pertama dapat diberil<an setiap saat, asalkan dapat

dipastil<an tidall ada kehamilan. Tidall boleh melakukan hubungan seksual

selama 7 hari atau menggunal<an metode kontrasepsi yang lain selama 7 hari.

Pada pasea persalinan b bulan, dimana masih menyusui serta belum haid,

suntikan pertama dapat diberikiln Isyarat : tidal< adJ kehamilan)

Bila pasca persalinan > 6 bulan, menyusui, serta telah mendapat haid, maka

suntikan pertama dapat diberikan pada siklus haid harl I dan 7.

Pada pasca persalinan < 6 bulan dan menyusui, jangan diberi suntikan

kombinasi.

• Pada pasea persalinan 3 minggu dan tidak menyusui, suntikan kombinasi dapat
diberikan.
Pasea keguguran, sunti/<an kombinasi dapilt segera diberikan atau dalam waktu
7 harl.
Pada Illicn yang sedang menggunakan metode kontrasepsi hormonal yang laIn
dan ingin menggantinYil dengiln kontrasepsi hormonill komblnasl, milka
selamil penggunaan kontrasepsi sebelumnya dilakukan dengan benar, suntlkan
kombinasi dapat segera diberikiln tanpa perlu menunggu haid. Silil ragu·ragu,
lakukan tes kehamilan terlebih dilhulu.
Bila kontrasepsi sebelumnya juga kontrasepsi hormonal, dan klien intin
menggilntinya deng~n suntikan kombinasi, maka suntikan kombinasi tersebut

PPDS I OMwvd£l...,G;.00!ag<.20J5 205


dapat diberikan sesuai jadwal kontrasepsi sebelumnya. Tidak diperlukan
metoda !<ontrasepsi lain.
Pada klien yang menggunakan metode kontrasepsi non hormonal dan ingin
menggantinya dengan suntikankombinasi, maka suntikan pertama dapat
segera diberikan (pastikan terlebih dahu/u tidak ada kehamilanj. Sila diberikan
pada hari I<e· J·7 siklus hClid, metode kontrasepsi lair! ti~~k diperlukCln. Sila
sebelumnyCl menggunkaan AKDR, maka suntikan pertama diberikan hari ke.I.7
siklus haid. Cabut segcra AKDR.

6. Komplikasi
• Amenore
Perdarahan pervaginam / spotting

MUClI, pusing, muntah

KONTRASEPSI HORMONAL: SUNTIKAN PROGESTIN


I. Jenis suntikan progestin

Terdiri dari 2 jellis :

DMPA IDepo Medroksi Progesteron Asetat)

.( Mengandung J 50 mg DMPA

.( DiberikCln setiap 3 bulan

.( Suntikan intrClmuskular Idi daerah bokongl

Depo Noristerat IDepo Noristeron Enantat)

.( Mengandung 200 mg noretindron enantat

./ Diberikan setiap 2 bulan

./ Suntlkan intramuskular

2. Prlnsip Kerja
Mencegah ovulasi
Menjadikan selaput lendir rahlm tip is dan atroti sehingga mencegah implantasi
Mengentalkan lendir serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi
sperm a
Menghambat transportasi gamet oleh tuba

Efektivitas : 0,3 kehamilan per 100 perempuan


3. Indikasi

Yang dapat menggunakan kontrasepsi suntikan progestin:

Usia reproduksi
Nullipara dan yang telah memilild anak
Menghcndaki metode kontrasepsi jangka panjang dengan efektivitas tinggi
Menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang sesuai
Setelah melahirkan dan tidak menyusui
Pasca keguguran

Telah banyak anak, tctapi be/um menhendaki tubektomi

PPDS I o&mt>-;'M"'G~20IS 206


Perokok

Tekanan dMi'th ( 180/110 mmHg dengiln mas"lah g"ngguiln pembekuan

darah atau anemia bulan sabit.

Mengguni'tl<an obat epi/epsi Ifenitoin dan barbituratj iltau obi'tt tuberlwlosis

Irifampisin).

Tidi'tk dapi'tt memi'tkai kontrasepsi yangmengandung estrogen

Sering lupa menggunakan pil kontrasepsi

• Anemia defisiensi besi


Mendekati usia menopause yang tidak mau atau tidal< boleh menggunakan pil
I<ontrasepsi kombinasi.

4. I<ontra indil<asi
Yi'tng tidak boleh menggunakan kontrasepsl suntikan progestin:
Hamil atau dicurlgal hamil Irlsiko caeat pada Janin 7 per 100.000 I<elahlranl
Perdarahan pervaglnam yimg belum dike~ahui penyebabnya
Tidak dapilt menerima terJadinya gangguan haid, terutama amenore
I<anl<er payudara atau riwayat I<anl<er payudara

Diabetes mellitus disertai kompli/<asi

5. Teknik
Waktu mulai menggunakan I<ontrasepsi suntikan progestin;
Sctiap 5""t selama siklus haid. untuk meyal<inkan bahwa tidak adi't kehi'tmilan
Mulili hari pertama sampai h"d l<e-7 sil<lu5 haid
DMPA dlbcril<iln setlap 3 bull"" dengan eara disuntik intramuskulM dillam dl
dilerah bol(ong. Apabila suntikan terlalu dangkal. penyerapan I<ontrasepsl
sumikan akan lambat dan tidal< bekerja segera dan kurang efel<tif. Sintil<an
diberikan sctiap 90 hari.
Noristerat untuk 3 injeksi berikutnya diberikiln setiap 8 minggu. Mulai dengan
injeksi kelimi't diberikan setiap 12 minggu.
Bersihkan I<ulit yang al<an disuntik dengan kapas alkohol yang dibasi'thi oleh
etil / isopropil al/<ohol 60·90%. Biarkan kulit kering sebelum disuntik. Setelah
kulit kering. baru disuntil<.
Kocok dengan baik, hindarl<an terjadinya gelembung-gelembung udara.
I<ontrasepsi suntikan tidak perlu didinginkan. Bila terdapat endapan putih pi'tda
dasar ampul, upayi'tkan menghilangkannya dengan mengh,lngatkannya.

6. I<omplikasi
Amenore
Perdarahiln pervaginam bercak/ spotting
Berat badan meningkat/ menurun

PPDS I OinWY(,~G~v2015 207


KONTRASEPS! HORMONAL; PIl PROGESTIN (MINIPIL)
J, Jenis minipil
• Kemasan dengan is; 35 pi/ : 300 mikrogram levonorgestrel atau 350 mikrogram
noretindron.
• Kemasan dengan is: 28 pil: 75 mikrogram levonorgestrel

2. Prinsip Kerja
• Menekan sekresi gonadotropin dan sintesis steroid seks di ovarium (tidak begitu
kuat)
• Endometrium mengalami transformasi lebih awal sehingga implantasllebih
sulit.
• Mengentall<an lendir serviks sehingga menghambat penetrasi sperma
• Mengubah moti/itas tuba sehingga transportasi sperma te!.9anggu.

Efektlvltas ; 98,5%
3. Indikasi

Yangboleh menggunakan minipil ;

• Usia reproduksi
• Telah memiliki anak atau yang belum memiliki anak
• Menginginkan suatu metode I<ontrasepsi yang sang at efektif selama periode
menyusui.
• Pasea persalinan dan tldak menyusul
• Pasca keguguran
• Perokek segala usia
• Mempunyai tekanan darah tinggi (selama < 180/110 mmHg) atau dengeln
masalah gangguan pembekuan darah
• Tidak belah menggunakan estrogen atau lebih sengan tidak meng9unakan
estrogen.

4. Kontra indikasi
Yang tidak boleh menggunakan minipi! :
Hamil atau diduga hamil
Perdarahan pervaginam yang belumjelas penyebabnya
Tidak dap<lt mcnerima terjadinya gang9uan haid
Menggunakan obat tuberkulosis (ritampisln) atau obat epilepsi (fenitoln dan
barbiturat)

Kanker payudara atau riwayat kanker payudara

Scring lupa menggunakan pil

• Mioma uteri
• Riwayat stroke

5. Teknik

Waktu mulai mcnggunakan minipil :

f'PDS I Ol>!tUr"do..vG~v20ll '0"


• Mulai hiHi pertama sampai hari ke 5 siklus haid. Tidak diperlukan pencegahan
dengan kontrasepsi lain.
Dapilt digunakan setiap saat, asal tidak ada kehamilan. Bila menggunakannya
seteleh hari ke-S siklus haid, jangan melakukan hubungan seksual selama 2 hari
atau menggunakan metode kontrasepsi lain untuk 2 hari sajil.
Bila tidilk haid, minipil dapilt digunakan setiap saat. Jangan melakukan
hubungiln sel(sual selama 2 hari atau menggunakan metode kontrsepsi lain
untuk 2 Mari saja,
• Bila menyusui antara 6 minggu dan 6 bulan pasca persalinan dan t/dak haid,
mlnlpi/ dllpat dlmulal setlap saM. SlIa menyusui penuh, tldak memerlukan
metode kontrasepsl tambahan.
• Sila lebih dari 6 mlnggu pasca persallnan dan telah mendapat haid, minlpil
dapat dimula pada hair ke I - 5 siklu5 haid.
• Min/pil dapat diberil(an segera pasca keguguran.

6. Komplikasi
• Amenore

Perdarahan tidak teratur / spotting

KONTMSEPSI PARURAI

I. Pefinlsl dan Jenis

Kontrasepsi darurat adalah kontrasepsl Y,ln9 dilpat mencegilh I<ehilmilan bila


digunakan segera setelah hubungan seksual. Hal ini sering disebut "kontrasepsi
pascasanggama" atau "morning afterpill" atau "morning after trei/tment".
Istilah "kontrasepsi sekunder" atau "kontrasepsi darurat" asalnya untuk menepis
anggapan obat tersebut harus segera dipakaijdigunal(an setelah hubungan
seksual atau harus menunggu hingga I<eesokan l1arinya dan bila tidak, berarti
sudah terlambat sehingga tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Sebutan kontrasepsi
darurat menekankanjuga bahwa dalam cara KB ini lebih baik daripada tidak sama
sekali, Namun kurang efel'tif dibandingkan dengan cara I(B yang sudah ada.
Jenis Kontrasepsi Parurat .
A. Mekanil< (AKPR: Copper I, Multi/oad, Nova II

Cara : satu kali pemasangan

Waktu : dalam waktu 7 hari pascasanggama

B. Medik
o I'il kombinasi dosis tinggl (Microgynon 50, Ovrlll, Neogynon, Nordiol,
Eugynon)
Dosis: 2x2 tablet
Waktu pemberian: dalam waktu 3 hari pascasanggama, dosis kedua 12 jam
kemudian
o Pi! kombinasi dosis rendah IMicrogynon 30, Mikrodiol, Nordettel
Oosis: 2x4 tablet

Pf'DSI O~~G~Z015 209


Waktu pemberian : dalam waktu 3 hari pascasanggama, dosis kedua 12 jam
kemudian
o Progestin (Postinor.2)
Oosis : 2x 1 tablet
Waktu pemberian: dalam waktu 3 hari pascasanggama, dosis kedua 12 jam
kemudian
<.1 Estrogen (Lynoral, Premarin, Progynova)

Oosis: Lynoral: 2,Smg/dosis

Premarin: 10 mg/dosis

Progynova: 10 mg/dosis

o Mifepristone (RU·486)

Oosis: 1x600mg

Waktu pemberian : dalam waktu 3 hari paseasanggama

o Oanazol (Danoerine, Azol)


Oosis : 2x4 tablet
Waktu pemberiiln : dalilm wal<tu 3 hari pascasanggama, dosis kedua 12 jam
kemudian.

Manfaat

Sangat efektif (tingkat kehamilan <3%1

AKDRJuga bermanfaatjangka panjang

Keterbatasan
Pil kombin~si hanya efektif jil(a digunal<an dalam 72 jam scsudah hubungan
seksuaJ tanpa perlindungan
Pi! kombinasi dapilt menyebabkan nausea, muntah, atau n}'eri payudClra
AKOR hanya efektlf jll<a dipas,mg dalam 7 hari sesudah hubungan seksual
Pemasangan AKOR memerlul<an tenaga terlatih dan sebail<nya tidal<
digunakan pada 1<lien yang terpapar dengan risil<o IMS

2. Prinsip Kerja
Prinsip kerja kontrasepsi dilrurat Silma dengan prinsip kerja kontrasepsi
hormonal.

3. Indikasi

rndikasi kontrasepsi darurat adaJah untuk mencegah kehamilan yang tidal(


dikehendaki.
Si/a terjadi kesetlethetn daletm pemaketietn kontretsepsi, etntetret lain:
1. Kondom boeor, lepets atau saleth rnenggunetketnnya
2. Dietfretgma peceth, robek, ettetU dietngkett terletlu cepett
3. Kegagalan sanggama terputus Imisalnya ejakulasi di vetgina atau pada
genitalia eksternal
4. Salah hitung masa subur
5. AKDR ekspulsi

PP'DS I Oh;tUn;da.vG~201S 210


6. Lupa minum pil K8 lebih dari 2 tablet
7. Ter/ambat /eblh dari 2 minggu untuk suntik KB
Perkosaan

Tidal< menggunakan kontrasepsi

4. Kontraindil<asi; hamilatau tersangka hamil.

5. Teknik

Sesuai dengan jenis kontrasepsi darurat yang digunakan.

6. I<omplikasi

I. Mual, muntah. Jika muntah terjadi dalam 2 jam sesudah penggunaan pil
pertama atau kedua, dosls ulangan perlu dlberlka"
2. f'erdarahan/bereak; sekitar S% klien dengan kontrasepsl oral komblni'tsl
menga/aml bereal(·berea/<. Sekitar 50% mendapat haid pada waktunya
bahl<an lebih awal.

KONTRASEPSI HORMONAL; IMPLAN / SUSUK


1. Jenis implan :

Norp/ant

Implanon

• Jadena dan Indoplant

2. Prlnsip /<erja
• Mengentalkan lendir servll<s
Mengganggu proses pembentukan endometrium sehlngga sulit terjadl
imp/antasi
Menghambat transportasi sperrna
Menekan ovulasi

Efektivitas; 0,2 - 1 kehamilan per 100 perempuan


3. Implem sesuai untu/< merel<a dengan kondisi dibawah ini :

Usia reproduksi

• Telah memiliki anak ataupun belum


Menghendai<i metode /<ontrasepsi yang memiliki efektivitas tinggi dan
menghendaki kehamilan j,mgka panjang
Menyusui dan membutuhl<an I<ontrasepsi
Pasea persalinan dan tidak menyusui
Pasea kcguguran
Tidak menginginkan anak lagi, tetap; menolal( sterilisasi
Riwayat kehami/an el<topik

PPDS I o~a-.G~"Z015 Z 11
• Tekan<ln d<lr<lh < 180/110 mmHg dengan masa/ah pembekuan darah <ltau
anemia bulan sabit /sickle cell/.
• Tidak boleh menggunakan kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen
• Sering lupa menggunakan pi/ kontrasepsi

4. Imp/an tidak direkomendasikan untuk mereka dengan kondisi dibawah ini :


Hamil atau diduga hamil
Perdarahan p~rvaginam yang belumjelas penyebabnya
• Tidak dapat menerima perubahan po/a haid

Benjolan/ kanker p"yudara atau riwaYilt kilnker pilyudMil

• Mioma uteri
• Gangguan toler ansi glukosa

5. Teknik
Waktu mulai menggunal<an implan :
• Setiap saat selama siklus haid hari ke-2 sampai hari ke-7. Tidak diperlukan
kontrasepsi tambahan.
• Insersi dapat dilakukan setiap saat. Bi/a insersi setelah hari ke-7 siklus haid,
jangan melakukan hubungan seksual atau menggunakan metode kontrasepsi
lain untuk 7 haTi saja.
• Bila tidak haid, insersi dapat dilakukan setiap sitat dengan memastikan terlebih
dahulu tidak ada kehamilan. Jangan me/akukan hubungan seksual atau
gunkan metode kontrasepsilain untuk 7 hari saja
• Si/a menyusui antara 6 minggu sampal 6 bulan pasca persalinan, inser~i. dapat
di/akukan setlap saat. Sila menyusui penuh, tidak periu memakal metode
kontrasepsllaln.
• Si/a setelah 6 minggu pasca persalinan dan telah mendapat haid, insersi dapat
dilakukan setiap saat, tetapijangan meiakukan hubungan sei<suai selama 7 hari
atau menggunakan metode kontrasepsi lain untuk 7 hari saja.
• Pasca keguguran, impian dapat segera diinsersikan.

6. Komplikasi
• Amenore
• Perdarahiln bercilkj spotting

Ekspuisi

• Infeksi pada daerah insersi


• Bera! badan naik / turun

PPDS I O~da..vG~2015 212


ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM (AKDRJ

I. Definisi dan Jenis


AKDR (Alat Kontrasepsi Oalam Rahim) ada/ah bahan inert sintetik (dengan atau
tanpa unsur tambahan untuk sinergi efektifitas) dengan berbagai bentuk, yang
dipasangkan ke da/am rahim untuk menghasilkan efek kontraseptif. AKOR
merupakan salah satu car<l kontrasepsi yang banyak dipakai dillam program
Keluarga Bereneana. AI(OR merupakan metoda kontrasepsi yang reversibel dan
be'jangka panjang.
Bentuk AI{OR yang beredar di pasaran adalah spiral (Lippes Loop/. huruf T (T
Cu380A. Tcu200C. dan Nova T), tulang ikan (MLCu2S0 dan 375) dan batang
(Gynefix). Unsur tambahan adalah tembaga (Cuprum) atau hormon
(Ievonorgestre'l.

Jenisjenis AKDR yaitu:


• Inert. dibuat dari plastik (Lippes Loop)
• Mengandung tembaga (AI<DR CuT·3BOA, TCU 200C, multi/oad (ML Cu250
dan 375] dan Nova T)
AI<DR jenis ini berukuran keci/, memiliki kerang/<a dari plastik yang fJeksibe/,
berbentuk huruf T diselubungi oleh kawat halus yang terbuat dari tembaga
(Cui. Terscdia di Indonesia dan mudah didapat.
• Mengandung hormon steroid sepert; progestasert dan levonova yang
meng,mdung progestin.

2. Prinsip Kerja

• Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba fallop"


• Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapa; I<avum uteri
• Mencegah sperma dan ovum bertemu
• Mencegab implantasi dalam uterus

AKDR akan berada didalam uterus yang bekerja terutama mencegah terjadinya
pembuahan (fertilisasi) dengan mencegah bersatunya ovum dengan sperma.
mengurangijumlah sperma yang meletlui tuba fallopii dan menginill<tifkan sperma.

3. Indikasi
• Alat pencegilh kehilmilan (kontrasepsi)

Yang dapilt menggunakan AI<DR :


• Usia reproduktif .
• Nullipara
• Menginginkan kontrasepsi jangk apanjang
• Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
• Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
• Sete(ah menga/ami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi
PPOS I O~a-.G~2015 213
Risiko rendah IMS

Tidak menhendaki metode hormonal

Tldak menyukai untuk mengingat·ingat minum pil setiap hari

Tidak menghendaki kehamilan setelah 1·5 hari sanggama

Pada umumnya seorang perempuan dapat menggunakan AKDR Cu dengan


aman dan efektif.
AKDR dapat digunakan pada ibu dalam segala kemungl<inan keadaan, misalnya

Perokok
Pasca keguguran atau kegagalan I(ehamilan apabila tidal( terlihat adanya
infeksi
Sedang memakai antibiotika atau antikejang
Gemuk ataupun kurus
Sedang menyusui

Begitu juga perempuan dalam J<eadaan seperti dibawah ini dapat


menggunal(an AKDR :
Penderita tumor jinak payudara
Penderita I(anker payudara
Pusing·pusing, saldt I<epala
Tekanan darah tinggi
Varises di tungkai atau di vulva
Penderita penyaklt jantung (termasuk penyaklt Jantung katup dapat
dibcrll<an antibiotil(a sebeJum pemasangan AKDRI
Pernah monderita stro/<e

Pendcrita diabetes

Penderita penyaldt hatl atau empedu

Malaria

Skistosomiasis (tanpa anemiaj

Penyakit tiroid

Epilepsi

Non pelvi/< TBe

Setelah kehami/an ektopil(

Setelah pembedahan pe/vik

Yang bo/eh menggunakan AKDR dengan progestin:


Usia reproduksi
Telilh memiliki ilnal< maupun belum
Menginginkan kontrasepsi yang efektif jangka panjang untuk mencegah
kehamilan
Sedang menyusui dan ingin memakai kontrasepsi
Pasca keguguran dan tidak ditemukan tanda·tandil radang panggul
Tidak bolah menggunakan kontrasepsi hormon,,' kombinasi

PPDS I O~dMoG~2015 214


Sering lupa meng9unakan pil
Usia perimenopause dan dapilt digunakan bersamaan dengan pemberian
estrogen
Mempunyai rlsil<o rendah mendapat penyakit menulor seksual.

4. I<ontra indikasi

Sedang hamil (diketahui hamil atau kemungkinan hamil)

Perdarahan vagina yang tidak dil<etahui (sampai dapat ditegakkan

diagnosisnya)

Sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis. servisitis)

Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau

abortus septlk

Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinal< rahlm yMg dilPilt

mempengilruhi kavum uteri

Penyakit trofoblas gilnas

Diketahui menderita TBe pelvik

I{anl<er alat genital

Ukuran rongga rahim kurang dari 5 em

5. Teknik
Waktu AI{DR dipasang :
SeUap waktu selama sll<lus haid
Sesudah melahirl<an, dalam wal<tu 48 Jam pertClmCl pasea persalinan, 6·8
minggu, ataupun lebih sesudah melahiri<Cln
Segera sesudah induksi haid, pasca l<egugurCln spontan, iltau I<eguguran
buatan, dengan syarat tidak terdilpat bukti·bukti adanya infeksi.

6. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi :

Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertilma dan akiln

berkurang setelah 3 bulan)

Haid lebih lilma dan banyak

Perdaraha n (spotting/ antarmenstruasi

Nyeri

Saat haid lebih sakit

Ekspulsi

Kehamilan

Komplikasi lain:

Pl'DS 1 Oh>tWvda.n,G~v2015 215


• Sakit dan kejang selama 3 sampai 5 hari setelah pemasangiin
• Perdarahan b";,,,t pada wa~tu haid atau diantaranya yang memungkinK~n
penyebab anemia
• Translokasi

Infeksi pelvik

• Perforasi din ding uterus (sangatjarang apabila pemasangannya benar)

Kerugian:
• Tidak meneegah IMS termasuk HIV/AIDS
• Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang
sering berganti pasangan
• Penyakit Radang Panggul terjadl sesudah perempuan dengan IMS memakai
AKDR. PRP dapat memleu infertilitas.
Prosedur medis. termasuk pemeriksaan pelvil< diperlukan dalam
pemasangan AKDR. Seringkali perempuan takut selama pemasangim.
Sedikit nyeri dan pcrdarahan (spotting/ terjadi segera setelah pemasangan
AI<DR. Biasanya menghilang dalam 1·2 hari.
Klien tidak dapat melepas AKDR oleh dirinya sendiri. Petugas i<esehatan
terlatih yang ilarus melepaskan AKDR.
• Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui {sering terjadi apabila
AI(DR dipasang segera sesudah melahirkanJ
• Tldak mencegah terJadinya kehamilan ektopik karena fungsi AI(OR untul,
mencegah kehamllan normal
• Perempuan harus memerlksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu.
Untuk melakukan ini perempuan harus memasukkan jarinya ke dalam
vagina, sebaglan perempuan tidal< mau melai<ukan in/.

I!:!~Ej(TCI"1j i1\o~:TRASEPSI ""MIT 6fl

1. Definisi dan Jenis


Tubei<tomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas
{kesuburanJ seorang perempuan secara permanen.
Jenis:
Minilaparotomi

Laparoskopi

2. Prinsip Kerja
Mekilnisme i<erja : dengan mengoldusi tuba fallopii (mengikat dan mcmotong
atau memasang cinein), lehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum,

3. Indikasi
Yang dapat menjalani Tubcktomi :

Usia> 26 tahun

Paritas> Z

PPDS I O~iodano';~2OJs 216


• Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan
kehendaknya
Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius
Pasca persalinan
Pasca keguguran

Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini.

4. Kontra indikasi
Yang sebaiknya tidak menjalani tubektomi :
Hamil (sudah terdeteksi Mau dicurigaij
Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus dievaluasij
Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (hingga masalah itu disembuhkan
atau dikontroll
• Tidak boleh menjalani proses pembedahan
Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan
Belum memberikan persetujuan tertulis

5. TekniJ<
Kapan dilakukan :
Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional
klien tersebut tidak hamil
Hari ke-6 hingga 11e-13 dari siklus menstruasi /fase proliferasil
Pasca persalinan
Minilap : di dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau T2
minggu
laparoskopi: tidak tepat untuk klien-klien pasca persalinan
Pasca keguguran
Triwulan pertama : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bullti
infeksi pelvik (minilap atau laparoskopi)
Triwulan kedua : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti
infelui pelvik /minilap sajal

6. Komplikasi
Infcksi lul<a
DemClm pasca operasi />38 C)
lukCl pada kandung kemih. intestinal Uarang terjadij
Hematoma (subkutClnl
Emboli udClra yang diClkibatkan oleh laparoskopi /sangat jarang terjadil
Rasa sakit pada lokas; pembedahan
Perdarahan superfisial (tepi-tepi kulit atau subkutanj

PPDS I O~dMv<i~Z015 217


SO. MIOMA UTERI

DEFINISI:
Mioma uteri, dengan nama lain leiomioma, fibroid ataupun fibromioma, adalah suatu
tumor jinak dari otot p%s dinding uterus, miometrium.
Mioma uteri berdasarkan /okasi pertumbuhannya pada /apisan dinding uterus dibagi
m~~adi: . .. .
Sub mukosa, tumbuh langsung dibawah mukosa uterus lendometrium) kearah
kavum uteri.
Intramural adalah miom yang tumbuh membesar didalam lapisan miometrium itu
sendiri.
Subserosa adalah miom yang tumbuh langsung dibawah lapisan serosa uterus
(perimetrium) dan tumbuh sebagian besar kearah kavum abdomen.
Mioma uteri dapat dikenal juga menurut lokasi pertumbuhannya dibagian mana dari
uterus berdasarkan anatominya, misalnya diservik, ligamentum latum, atau miom
bertangka/ ( miom submukosa).
Mioma uteri sering kali terdapat dibeberapa tempat pada satu uterus (multiple), jarang

yang tunggal.

EPJOEMIOLOGJ.

Mioma uteri terdapat pada kurang lebih 20-40% wanita umur reproduksi. Mioma

didapatkan pada 1,4-8,6 % ibu hamil, dan mioma merupakan penyebab pada 2-3 %

pasangan dengan infertilitas.

PATOFISIOLOGJ.

Mioma uteri sampai saat ini belum diketahui sebabnya. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa mioma uteri diawali dari satu sel neoplasia didalam otot polos miomctrium yang

terus tumbuh. Angka kejadiannya meningkat diantara saudara satu keluarga dengan

penderita. Miama uteri lebih banyak diJumpai pada wanita dengan obesltas.

Pertumbuhan miom dipengaruhi oleh steroid seks, estrogen progesterone dan beberapa

faktor perttumbuhan. Pada kehamilan miom akan bertambah besar, dan keluhannya akan

meningkat, tetapi pembesaran ini terutama hanya terJadi pada kehamilan trimester

pertama. rada beberapa miom terutama yang berukuran besar ada yang mengecll pada

akhir kehamilan. Pada masa kehamilan, miom jarang mengalami perubahan degenerasi.

KehamiJan dengan miom' kemungkinan terjadinya kelahiran premature 15-20 %,

gangguan pertumbuhanjanin intra uteri 10 %, dan kelainan letak 20 %. fASRM 2006)

DIAGNOSIS.

Sebagian besar miom tidak memberikan gejala klinik, selain adanya pembesaran uterus.

Gejala klinik hanya terdapat pada 10-40 % penderita (Perry 2000).

Gejala klinik mioma uteri antara lain:

I. Uterus yang membesar, padat, permukaan uterus tidak rata, berbenjol.


2. Penekanan pada saluran kencing atau saluran pencernaan/rectum.
3. Nyeri.
4. Disfungsi reproduksi, jumlah darah haid yang banyak atau lama perdarahan haid
memanjang. Gangguan perdarahan haid ini pada umumnya terjadi pada mioma
uteri submukosa atau intramural. Hanya 2-3% kasus infertilitas yang disebabkan
oleh mioma uteri (ASRM 2006). Mioma uteri menyebabkan infertilitas diduga akibat
adanya. gangguan implantasi karena perubahan kontur endometrium atau adanya
bekuan darah dikavum uteri, gangguan transportasi sperma akibat distorsi uterus,

PPDS I O~d.;uvG~Jv2015 218


ataupun pembuntuan ostium tuba. Kasus infertifitas dengan mioma uteri,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan dasar infeti/itas secara lengkap ter/eoih dahulu,
seoaiknya dlsingkirkan penyebab infertilitas yang lain, sebe/um mengambil
tlndakan untuk mlomnya. Hysterosalpingografi rHSG) sangat membantu untuk
mengetahui keadaan kavum uteri. Bila kavum uteri normal tidak perlu dikerjakan
histeroskopi. Bi/a lokasi mioma uteri tidak jelas pada kasus dengan perdarahan
uterus abnormal atau pasangan tidak kunjung hamil, maka perlu dilakukan infuse
saline sonografi, pemeriksaan transvaginalsonogiafi rTVS) dengan kontras cairan
saline kedalam kavum uteri [ISS). ISS ini mudah, murah, aman, nyaman dan dapat
dikerjakan secara poliklinis, dengan sensitfitas dan spesifitas yang tinggi untuk
mengetahui adanya kelainan dikavum uteri, polip endometrium;' mioma
submukosa atau yang lain.

Diagnosis mioma pada umumnya sudah mengarah dari gejala klinik yang adil, dan
pemeriksaan ginekologi. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu untuk
menentukan jenis miom yang ada, submukosa, intramural, atau subserosa. Diagnosis
bandIng mloma uteri antara lain kehamilan, adenomiosis, massa ovarium dan neoplasia
colo~ectal.

PENATALAKSANAAN.
A. Konservatif/ekspektatif.
B. Medikamentosa.
C. Pembedahan.

A. Konservatif / EI<spektatif.

Pada wanita dengan mioma uteri yang besarnya Sama atau I<urang dari 12 minggu

uterus hamil dan tanpa gejala klinil< sebaiknya diambil tindakan ekpektatif saja.

B. Medikamentosa.

Mioma uteri mesllipun belum jelas penyebabnya tapi hampir semua sepakat bahwa

pertumbuhan mioma uteri ini sangat dipengaruhi steroid seks. Dasar Inllah yang

dipakai untuk memberikan obat ooatan yang dapat menellan steroid seilS terutama

estrogen, agar dapat menekan perdarahan, keluhan yang lain atau pertumbuhan

miom.
I. Pil kontrasepsi kombinasi, progestin, dan androgen Igestrinon, danilzolj padil
beberapa penelitian menunjukkan hasi! yang tidak memuaskan, dan saat ini tidak
dianjurkan lagi. Mifepristone pada pemakaian 3 bulan memang dapat menekan
reseptor estrogen dan progesterone dengan efek samping yang minimal tapi
pemberianjangf<a panjang belum terbukti.
2. Gonadotropin Releasing Hormon agonist rGnRHa), dapat pula mE:!nekan produksi
estrogen , pertumbuhan miom dan menghentikan perdarahan. Volume uterus
dapat ditekan sampai 40% dan volume miom sampai 35 %, demikian juga gejala
I<linik yang lain seperti keluhan penekanan, nyeri dan perdarahan juga membaik.
Tetapi bila pemberiannya dihentikan ukuran miom akan cepat kembali keukuran
semula atau lebih besar lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemberian
GnRHa ini hanyalah bersifat sementara, bermanfaat selama pemberian saja.
GnRHa diberikan pada miom hanya sementara , sebelum dilakukan pengobatan
yang sebenarnya dengan pembedahan.

Pada wanita pramenopause dengan miom karena alasan tertentu tidak mung kin
untuk dilakukan pembedahan, dapat diberiKan GnRHa dil/am jangKa waKru

f'PDS r O~~G~v201S 219


panjang untuk menunggu masa menopause, karena pada masa menopause miom
i1Kiln mengecil sendiri. Tetapi metoda pengobatan ini tidak dianjurkan pada
wanita muda. Pemberian GnRHa dalam jangka panjang harus dibarengi dengan
penambahan obat ("add back') untuk menghindari terjadinya osteoporosis. Obat
tambahan ini seperti yang digunakan pada terapi sulih hormone. estrogen
bersama progestin. progestin saja atau tibolon yang diberikan bersama GnRHa

C. Pembedahan.

Selain ukuran besarnya , Indikasi pembedahan untuk mioma uteri antara lain:

I. Perdarahan uterus abnormal dengan kompllkasl anemia yang gagal dengan


pengobatan hormone.
2. Nyerl panggul. nyeri haid atau nyerl sanggama hebat kronis.
3. Mioma uteri submukosa bertangkai yang mengalami torsi sehingga
menimbulkan rasa nyeri. atau yang mengalami prolaps.
4. Penekanan hebat pada saluran urinarius misalnya sampai terjadi
hidrohephrosis. atau menekan keorgan lain sampai menimbulkan keluhan.
5. Pembesaran yang cepat. baik pada umur pre maupun pascamenopause.
dikhawatirkan adanya perubahan menjadi sarcoma.
b. Infertilitas dengan kecurigaan mioma uteri sebagai penyebabnya. tanpa ada
penyebab infertilitas lain.

Pembedahan pada mioma uteri terdapat dua pilihan :


I. Histerektomi. pengangkatan uterus ini dil<erjakan lewat abdominal atau vaginal.
Total abdominal histerektomi mempunyai resiko komplikasi sekitar 40-50%.
sedangkan yang lewat vaginal 25% (ASRM 20061.
2. Miomektomi. dipilih untuk wanita yang masih ingin mefTIpertahimkan uterusnya.
misalnya karena masih ingin anak atau alasan lain. Pada kasus infertilitas sebelum
dilal(ukan miomektomi. harus disingkirkan terlebih dahulu pcnyebab infertilitas
yang lain. dan memang hanya miom tersebut yang dicurigai penyebabnya.
Sebelum miomel<tomi sebaiknya dilakukan pemeriksaan HSG atau ISS. untuk
mengetahui keadaan kavum uteri. Salah satu resiko miomektomi adalah adanya
perdarahan yang cukup banyak, resiko ini diperkecil dengan mengikat ligamentum
infundibulopelvikum (arteria ovarika/ dan atau arteria uterina. atau menyuntikkan
vasopressin intramiometrium sekitar miom, sebelum pengangkatan miomnya.
Kalau memungkinkan. irisan dikerjakan pada din ding depan uterus. karena
kemungkinan untuk terjadinya perlekatan pasca pembedahan sekitar 55%.
dibanding bila irisan dibuat pada dinding belakang sekitar 90% (ASRM 200b).
Perlekatan pasca pembedahan juga dapat dikurangi dengan pemakaian gel anti
perlekatan atau bentuk lain, loka/ pada daerah pembedahan. Terjadinya
perlekatan pasea pembedahan merupakan masalah penting pada kasus infertilitas.

Selain dengan laparatomi. miomektomi juga dapat dikerjakan dengan endoskopi.


laparoskopi atau histeroskopi. Histeroskopi dikerjakan pada miom submukosa. dan
bila miomnya cukup besar perlu dipertimbangkan adanya resiko perdarahan dan
hiponatremia yang berhubungan dengan lama operasi.

Pemberian GnRHa selama 6-12 minggu, pra pembedahan miom dapat


dipcrimbangkan pada ;

PPDSIO~v~G~20J5 220
I. Pembedahan yang ditunda sementara karena alasan tertentu misalnya untuk
memperbaiki anemianya.
2. Pembedahan lewat vagina, agar mlom yang besar mengecil terlebih dahulu.
3. Pembedahan dengan histeroskopi, agar endometrium tipis dan ukuran miom
lebih mengecil.
Pemberian GnRHa pra pembedahan dengan tujuan mengurangi jumlah
perdarahan, dan memudahkan pembedahan miom lewat abdomen ternyata
tidak terbukti.
Terdapat beberapa teknik baru yang bertujuan mengecilkan miom untuk menggantikan
miomektomi. Tujuan ini dapat dicapai dengan miolisis, koagulasi, ataupun emboli arteria
uterina, dengan teknik ini pelayanan darah kemiom dapat dihilangkan / dikurangi. Pada
wanita miom dengan keluhan utama jumlah darah haid yang berlebihan , dan karena
alasan tertentu tidak mungkin untuk dilakukan histerektomi, maka hal ini dapat diatasi
dengan melakukan ablasia endometrium. Tetapi teknik baru ini tidak dianjurkan untuk
kasus infertilitas.

PROGNOSIS.
Angka kehamllan pasea miomektoml balk dengan teknik histeroskopi, laparoskopl
maupun laparatomi mempunyai hasil yang kurang lebih Silma berkisar 40·50%, 75%
diantaranya terjadi dalam tahun pertama pasea miomektoml, Miomektomi dapclt
menurunkan I<eluhan sampai 80%. Pada kasus abortus beru/ang, miomektomi dapat
menekan abortus dari 41 % menjadi 19 %, tetapi penelitian ini didnggap I<urang adekwat
karena hanya penelitian retrospektif. Analisa life table selama 10 tahun mendapatkan
angka kekambuhan pasca miomektomi, sebesar 27 % terutama bila dila/wkan
pengambilan miom pada banyak tempat {multiple}.{ASRM 2006}

REFERENSI

ASRM, Myomas and reproductive function, Fe/til Steril. 2006, 86 SuppJ. 4. 5 194·199.
Hillard Paula J Adams. Benign Diseases of the Female Reproductive Tract: Symptoms and
Sign. In Berek Jonathan S. Novak's Gynecology. Ed. XIVth. Williams & Wilkins
Philadelphia 2007. P.431·504.
Perry (,Paul, Uterine Leiomyomas. In Howard Fred M, Pelvic pain Diagnosis &
Management. Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia 2000.p.151·154.

Pf'DS I O~d.ano(j~2015 221


51. ADENOMIOSIS

OEFINISI.

Adenomiosis adalah adanya pertumbuhan jinal< stroma dan I<elenjar endometrium

kedalam lapisan miometrium, dikelilingi oleh jaringan miometrium yang mengalami

hipertrofi dan hiperplasia, sehingga mimyebabkan uterus membesar secara merata.

Adenomioma, adalah suatu nodul . be'rbatas jelas yang berisi ektopik endometrium

didalam hipertrofi miometrium. Adenomioma harus dibedakan dengan intramural

leiomioma, adenomioma tampak lebih gelap dengan konsistensi yang tidak ter/a/u keras.

Bentuk lain adenomiosiS, ada/ah diffuse adenomyoma, baik jaringan ektopik

endometrium maupun jaringan hipertrofi miometrium, tersebar merata dengan batas

yang tidakjelas dian tara otot miometrium.

Donnez et al. menggambarkan adanya nodul fibrotic adenomiosis, yang masuk /(eda/am

daerah antara rectovaginal, termasuk pada I<elompok adenomiosis bukan endometriosis.

EPIDEMIOLOGI,

Angka I<ejadian adenomiosis mempunyai rtntang yang lebar, 5·70 % tergantung pada

pemeriksaan histologi (tergantung dari banyalmya irisan/blok paraffin yang dibuCitj ,

umur, paritas, dan gejala I<link.

80% adenomiosis dUumpai pada umur wanita 40·50 tahun, jarang terjadi pada umur

muda, hanya seldtar 17% terjadi pada umur dibawah 30 thun. Pada pasca menopause

adenomiosis akan menga/ami atrofi, sehingga hanYil dijumpai pada sekitar 10% pada

umur 60 tahun atau lebih.

80·90% adenomiosis terjadi pada multipara, hanya sekitar 5% terjadi pada wanita dengan

intertilitas.

60·80% adenomiosis dijumpai bersama dengan I<eadaan patologi lain dari genitalia

interna. 35·55% bersama leiomioma, 6·20% bersama endometrium peritoneal, 2 %

bersama polip endometrium, 7·' 00% bersama hiperp/asia endometrium.

PATOFISIOLOGI.

Patofisiologi adenomiosis sampai saat ini belum jelas di/<etahui. Endometria/·Myometrial

interface (EMI) mempunyai fungsi dan struktur yang aneh. Kelenjar endometrium

berhubungan langsung dengan lapisan miometrum, tidal< ada lapisan submukosCl.

I<etidak beradaan lapisan submukosa ini menyebabl<an lapisan miometrium akan menjadi

lebih mudah/rawan untuk bisa ditembus oleh kelenjar dan stroma endometrium. Kelainan

pada daerah perbatasan ini memudahkan masuknya jClringan baik kelenjar maupun

stroma endometrium kedalam miometrium. Kelainan perbatasan ini dapat disebabkan

karena secara langsung adanya faktor genetik, atau secara tidal< langsung, karena adanya

gangguan respon immune, keadaan hormonal misalnya pada kehamilan, atau karen a

adanya trauma yang merusak EMI, diil<uti oleh adanya real<si hiperplasia lapisan

endometrium basal dan penetrasi masuk kedalam miometrium. Teori ini didukung adanya

kenyataan bClhwCl adenomiosis sering dUumpai pada wanita multipara atau dengan

riwayat terminasi kehamilan / abortus spontan, hiperprolaktinemia kronis, serum estrogen

dan progesterone yang tinggi, atClu adanya gangguan respon immune lokal. Tetapi dari

hasil suatu peneJitian menunjukkan bahwa, seksio caesarea bukan merupakan faktor

resiko, terjadinya adenomiosis. Pada satu penelitian dari 485 kasus pasca seksio caesarea

tidal< ada satupun yang menderita adenomiosis.(Carter 2000). Adenomiosis merupakan

kelainan yang mempunyai patotisioJogi berbeda dengan endometriosis, hal ini

berdasarkan kenyataan bahwa endometriosis hanya dijumpai pada 6·20 % dari wanita

adenomiosis.

PPDS I obltUYvd<uvG~Z015 222


DIAGNOSIS.
Diagnosis pasti adenomiosis adalah dengan pemeriksailO histopatologi dari hasil
pembedahan. Tetapi diagnosis pra pembedahan menJadi sangat penting untuk seleksi
penderlta dalam memili~ macam penatalaksanaan. dengan pembedahan atau dengan
metode lain. Diagnosis I<linisl pra pembedahan adenomiosis dapat dibuat berdasarkan:
A. Gejala klinik.
B. Pemeriksaan penunjang.

A.Gejala l<linil<.
35 % adenomiosis tidak menimbulkan keluhan klinik (asimptomatik). 40·50 %
memberikan keiuhan menorrhagia. 20% metrorrhagia. dan 15·30 % nyeri haid. Meskipun
kebanyakan adenomiosis dijumpai pada multipara tetapi dapat pula ditemukan pada
pasangan dengan infertilitas dan pada abortus dini. Diagnosis adenomiosis dicurigai pada
wanita dengan pembesaran uterus yang merata. tidak lebih dari uterus 14 minggu
I<ehamilan. lunak, tumbuh pada dinding depan atau dlndlng belakang uterus lIebih sering
pada dinding belakang). dengan perdarahan uterus abnormal. dengan atau tanpa nyeri
panggul. nyerl haid. I'emerlksaan Inl menJadl lebih Jelas bila dllakui<an pada waktu
menjelang atClu saM haid. Secara klinls adenomlosls harus dib~dakan dengan leiomioma
murn; atau leiomioma kombinasi dengan adenomiosis.

Diagnosis adenomiosis sangat sulit ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik. i<arena
sangat tidak spesifik. Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa diagnosis pra
pembedahan secara klinis. ternyata pasca histerektomi hanya 48% yang benar.
B.Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan serum cancer antigen 125 (CA·125). histerosalpingografi (HSG). dan trans
abdominal ultrasonografi untuk membantu menegakkan diagnosis adenomiosis tidak
banyak mempunyai arti.

Transvaginalsonografi (TVS),
TVS merupakan pemeriluaan penunjang awaJ yang mudah. murah, aman dan sangat
berar!I untuk membantu menegakkan diagnosis adenomiosis pra pembedahan,
Adenomlosls dengan TVS tampak adanya pembesaran uterus. yang aSimetri. tanpa
adanya leiomioma • gambaran ini menunjukkan adanya diffuse adenomyosis. Pada lapisan
miometrium tampal< daerah dengan echogenitas yang heterogen. terdapat daerah
hipoechoic dengan batas yang tidakjelas. kadang tampak adanya kista miometrum kecil.
kadangjuga tidak, Jenis lain dari adenomiosis. discrete adenomyomas pada TVS memberi
gambaran mirip leiomioma tetapi dengan batas yang tidak jelas. Pemeriksaan TVS untuk
membantu menegakkan diagnosis adenomiosis mempunyai sensitivitas 76-87%.dengan
spesifisitas 71-99%. Gambaran adenomiosis yang didapat dari TVS ini mirip sekali dengan
leiomioma. karsinoma endometrium. hipertrofi miometrium. atau kalsifikasi pembuluh
darah.

Magnetic resonance imaging (MRI).


MRI mempunyai sensitivitas 86·88% dan spesifisitas 100% untuk menegakkan diagnosis
adanya adenomiosis, Tetapi karena pemeriksaan MRI ini mahal dan belum tentu ada
disemua pusat kesehatan maka tidak dikerjakan secara rutin. hanya bila dibutuhkan,
Siopsi baik percuteneous dengan tuntunan USG. atau lewat kavum uteri dengan bantuan
histeroskopi dapatjuga membantu menegakkan diagnosis adenomiosis tetapi diperlukan
pembiusan. peralatan dan keahlian khusus maka tidak dii<erjakan secara rutin.

l'f'D5 I O!>1tttY~M..rvG~v2015 223


PENATALAKSANAAN.
Penatalaksanaan adenomiosis terbagi menjadi ;
A. Medikamentosa.
B. Pembedahan.

A.Medikamentosa.
Pada dasarnya semua obat yang lazim dipakai untuk endometriosis dapat juga dipakai
untuk adenomiosis, tetapi dengan hasil yang kurang memuaskan. Gonadotropin
releasing hormone agonist fGnRHaj dapat digunakan selama beberapa minggu sebelum
pembedahan I<onservatif, kemudian dilanjutkan dengan induksi ovulasi atau in vitro
fertilisasi, pada pasangan yang masih menginginkan mempunyai keturunan. Pada kasus
adenomiosis dengan keluhan utama perdarahan haid yang berlebihan dan nyeri haid,
dapat dicoba dengan pemasangan levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUSj, suatu
intrauterine device !lUDj yang mengandung hormone progestin, levonorgestrel (LNGj.
Pemberian preparat progestin secara lokal, mempunyai dampak yang kuat lol:al
diuterus/endometrium, tetapi mempunyai dampak sistemik yang sangat minimal, Pada
satu penelitian 23 kasus , dari 25 kasus adenomiosis dengan keluhan menorrhagia dan
nyeri haid, yang diberi LNG-IUS kelLlhannya membaik, tanpa tambahan pengobatan
yang lain.fFraser 2006j

B.Pembedahan.
Sebenarnya penatalaksanaan utama dari adenomiosis adalah histerektomi, baik dengan
total abdominal histerektomi, supra vaginal histerektomi, vaginal histerektomi atau
histerektomi dengan laparoskopi. Tetapi pada kasus yang masih ingin mempertahankan
uterusnya karena alasan masih menginginkan keturunan atau karena alasan lain, maka
perlu dipikirl<an untuk dilakukan pembedahan konservatif. pengangkiltan
adenomiosisnya saja. 8edah I<onservatif pada kasus adenomiosis ini dapat dikerjakan
dengan:
Laparatomi, reseksijpengangl<atan jaringan adenomiosis lebih sulit i<arena
adenomiosis tidal< mempunyai batas yangjelas seperti leiomioma. Malahan kadang
masuk sampai kedalam secara infiltrasi mendekati struktur yang sulit seperti
pembuluh darah besar dan sebagainya,
Ablasia endometrium dengan histeroskopi pada kasus adenomiosis dangkal
dengan keluhan utama perdarahan.
Eksisi adenomiosis dengan laparoskopi.
Elektrokoagulasi miometrium dengan laparoskopi untuk
menghentikan/mengurangi pelayanan peredaran darah kedalam jaringan
adeniosis.
Uterine artery embolization IUAEj memberil<an hasil yang baik pada kasus
leiomima, diharapkan memberikan hasil yang baik pula untuk adenomiosis, tetapi
hal ini masih memerlukan penelitian lebihjauh, terlebih dahulu.

PROGNOSIS.

Adenomiosis sebagian besar f80%j didapatkan pada multipara dengan umur 40-50 %

maka penatalaksanaan utamanya adalah histerektomi. Meskipun kecil hanya sekitar 5 %

bila adenomiosis didapatkan pada wanita muda dan belum mempunyai keturunan, maka

masalahnya akan menjadi komplek dan sulit untuk dipecahkan, diperlukan pertimbangan

dan persiapan yang matang.

WDS r OlntWv""",,G~2015 224


RfFfRfNSI

Carter James E. Adenomyosis. In HOWMd Fred M. Perry C p~u'. Carter JameJ E" EJ -Minilwi Ahmed M, Pelvic Pam Diagnosis
& Management. LIppincott William, & Wilkin,. Philadelphia 2000.p.B6·92.
Frase Ian S.• Tse Rose CY, and Goswami Anu. An Overview of adenomyosis and Its surgicill manilgemcnt. In Sutton
Christopher, Jones Kcvj~. Ad~mson G.Davld, Modern M~nagement 01 EndometrIosis. Ed.1 st, Tilylor & Frami$, LOndon
2006.p.l I 7·329.
Rapkin Andrea J.,Howe Candace N. Pelvic Pain and Dysmenorrhea. In Berek Jonathiln S. Berek & Novak's Gynecology. Ed.
XIV Ih lippincott Wmiam, &Wilkin' Philadelphia 2007.p.SOS·S40. .

PPDS I O&,totrv~G~20J5 ns
52. lESI PRA·KANKER SERVIKS

DEFINISI:
Lesl pra kanker serviks adalah seluruh lesl pada serviks yang memiliki potensi untuk
menjadi ganas (kankerl

GEJALA KLINIS
92% tanpa gejala klinis

KRITERIA DIAGNOSIS
Secara sitologl :
ASCUS adalah sel sl(Uamosa abnormal yang belum memenuhi I(riteria neoplasia
LGSIL adalah suatu kelainan abnormal sel skuamosa kriteria ringan yaitu inti sel
membesar > 4·6x inti normal, N/C rasio meningkat, kromatin kasar (hiperkromatin)
membran inti ireguler
HGSIL adalah suatu kelainan abnormal sel sl(Uamosa dengan kriteria displasia sedang
yaitu inti yang membesar lebih dari displasia ringan, N/C rasic menongkat. kromatin
kasar /hipcrkromatln) membran inti ireguler
AGC adalah suatu kelaianan abnormal sel glanduler dengan kriteria inti sel yang
membran, kromatin kasar (hiperl(romatin)
ASC·H adalah sci abnormal sl<uamosa yang besar inti belum memenuhi kriteria
displasia dengan kromatin kasiH (hiperkromatin)
Secara Histopatologi :
NIS 1 : kelainan lesi intra epithelial servi/(s yang terbatas pada sepertiga basal

NIS 2 : kelainan lesi intra epithelial serviks yang terbatas pada duapertiga basal

NIS 3 : kelainan lesi intra epithelial servil(s yang lebih dari duapertiga basal

Karsinoma insitu : lesi pada seluruh lapisan epitel servil(s

AIS : kelaian lesi intra epithelial kolumner servi/(s

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Kolposkopi

MANAJEMEN:
Lesi prakanker serviks (bagan terlampir )
Destruksi lokal(krioterapi, kauterisasi)
• Eksisi (LEEP, LLETZ, konisasi)

PENCEGAHAN DAN PENDIDIKAN :


Primer: hindari faktor predisposisi / faktor resiko, misalnya multipartner, merokok,
menikah usia muda, asupan antioksidan kurang, vaksin
Sekunder: skrining IVA dan pap smear teratur

PPOS I o~vd.u-vG~2015 226


PENGAMATAN LANJUT:
o JadWili pengamatan I.mjut dimulai ~ minggu pascai<auterisasi dan tiap 3·6 bulan
o Pemeriksaan meliputi ;

Tes pap

Pemeriksilan kolposkopi

PPDS I O~j,M..vG~2015 227


53. KANKER SERVIK

EPIDEMIOLOGI

ANATOMI

Serviks merupakan bagian 1/3 bawah uterus, berbentuk silindris. menonjol ke arah vagina
depan atas dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternal. Kanker dapat
timbul dari permukaan vaginal (porsio) atau kana lis servika:is, Aliran limfe dari serviks pre
dan post ureteral dan ligamentum sakrouterina kearah kelenjar stasion pertama yaitu
parametrium. iliaka eksterna. presakral dan iliaka komunis. I<elenjar paraaorta merupakan
stasion kedua (2)

ANATOMI

Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di Negara berkembang. dan urutan ke 10 di


Negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di Indonesia ia menduduki urutan pertama
dari 10 kanker terbanyak ditemukan di 13 laboratorium Patologi di (ndonesia. Adapun
faktor risiko kanker serviks umunya terkait dengan aktivitas seksual. Faktor resiko
terutama adalah : hubungan seksual dini. multiple mitra seksua/. social ekonomi rendah.
merokok. pemakaian pil KB. penyakit ditularkan secara sel(sual. dan ganngguan imunitas.
Penyebab utama adalah virus HPV. Proses dlmu/ai dengan lesi prakanker dan setelah
bertahun·tahun baru menjadi invasive. Angka kematian berkaitan dengan stadium
penyakit. Pengobatan tergantung dari stadium penyakit yaitu operasi. radiasi atau
kemoterapi baik sendiri·sendiri atau gabungan.

MANIFESTASI KLINIS
pada lesi prekanl<cr 92% tidak mempunyai geja/a kalau ada hanya berupa rasa I<ering di
vagina. Umumnya gejala yang timbul berupa perdarahan pervaginam (kontak atau di luar
masa haid) dan cairan I<e/uar dari liang vagina. Kalau sudah lanjut dapat cairan yang
keluar berbau tidak sedap. nyeri (panggul, lumbosakral, gluteus) gangguan berkemih
(urinary frequency), nyeri di kandung kemih dan rectum. Ka/au sudah bermetastasis maka
akan timbul gejala seperti edema tungkai unilateral. nyeri statika dan grja/a obstruksi
ureter (I)

Pemeriksaan fisik dengan speculum vagina pada lesi prakanker tidak ditemukan ke/aianan
nyata atau hanya lesi berwarna putih dengan asam asetat. lesi invasive yang masih
terloka/osasi tcrlihat di serviks atau telah meluas ke forniks berwarna kemerahan, granular
atau eksofitik mudahberdarah tanpa atau dengan gambaan nekrotik disertai darah atau
cairan yang berbau. Pemeriksaan dalam me/alui vagina dapat meraba perluasan ke
forniks, sedang a pemeriksaan rectal dapat mengetahui besarnya uterus. perluasan ke
parametrium. rectum. KAlau penyakit sudah meluas ke luar panggul maka dapat
ditemukan gangguan sentral. pembesaran kelenjar getah bening. pembesaran hati. masa
di abdomen. pelvis, hidronefrosis atai efusi pleura atau tanda penyebaran ke tulang dU.

PPDS I Ob!tW~a......G~20lS ZZB


KRITERIA DIAGNOSTIK
Diagnostik ditegakkan atas dasar anamnesa, geja/a, tanda, pemeriksaaan klinik (1).
Pemeriksaan kllnik meliput; palpasi, inspelcsi, kolposkopl, kuret endoservikl;, sistoskopi,
proktoskopi, IVP, foto thoraks dan !/JIang, Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau
rektum harus dikonfirmasi dengan biopsl dan hlstologik. Konisasi dan amputasi serviks
dianggap sebagai pemeriksaan klinik (2). Khusus pemeriksa,m sisitoskopi dan rektoskopi
dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau.lebih (3)

STADIUM PENYAKIT
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan kllnik oleh karena itu pemeriksaan
harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium klinik ini tidak akan berubah
biJa kemudian ada penemuan baru. Kalau ada keraguan dalam penentuan maka dipilih
stadium yang lebih rendah.

KLASIFIKASI

0 I<arsinoma insitu I/(arsinoma preinvasif)


1 I<arsinoma servil<s terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uteru
dapat diabaiakan)
IA I<arsinoma invasive didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua
lesi yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasive hanya
superficial, dimasukkan IB

IAI Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan tidak
lebih dari 5,0 mm atau kurang ukuran secara horizontal

IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 dan tidak lebih dari 5,0 mm dengan
penyebaran 7,0, mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara J<linik dan terbatas di serviks atau secara
mikroskopik Je,i lebih besar dari IA 1

~ I:::
Les; terlihat secara Illinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0
em atau kurang

Lesi terlihat secara klinik berukurCln dengan diameter terbesar


lebih dari 4 em

II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding


panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina

IIA Tanpa Invasi ke parametrium

liB Invasi ke parametrium


III Tumor meluas ke dinding panggul/ atau mencapai 1/3 bawah
vagina dan / atau menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
lilA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidal mencapai din ding
panggul
I
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan / atau
I

PPDS I O~da..\.C;~2015 229


menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal

IVA Tumor menginvas; mukosa kandung kemih atau rectum dan/ atau
meluas ke luar panggul kecil/true pelvisj
IVB Metastasis jauh

Penyebaran ke korpus uterustidak mempengaruhi stadium. Penumbuhan ke dinding


panggul pendek dan induratif kalau tidak noduler dimasukkan sebagai stadium liB, bukan
stadium IIIB. Induratif sulit dibedakan apakah proses kanker ataukah peradangan.
Penemuan post operasi dicatat, tetapi tidak merubah stadium yang ditetapkan preoperasi

HISTOlOGI

1. Tipe HistoJogik
I
Neoplasia intraepithelial serviks, Derajat III

J(arsinoma sel skuamosa in situ

Karsinoma sel skuamosa

I. Keratin
2. Non keratin
3. Verrukosa

Adenokarsinoma insitu

Adenokarsinoma insitu, tipe endoserviks


--
Adenokarsinoma endometroid

Adenokarsinoma sel jernih

Karsinoma adenoskuamosa

--
Karsinoma adenoid I<istil<

Karsinoma sel kecil

Karsinoma undiferensiasi
- --

2. Derajat Histo/ogil<

··
Gx ~ Dcrajat tidak dapat ditemukcln

G1 ~ Diferensiasi baik

• G2 -7 Diferensiasi sedang

· G3 ~ Diferensiasi buruk atau undiferensiasi

DIAGNOSIS DIFERENSIAl
Servisitis

PPDS I O~da.vG~ZOJ5 230


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lain sebagai opsional seperti eT scan, MRI, IimfoanghiogrClfi, arteriografi,

venogrClfi, IClparoskopi, fine needle aspiration (FNA), bermanfClat untuk reneana

pengobatan tetap tidak merubah stadium klinik. (2)

Persiapan pengobatan per/u pemerlksaan darah tep; lengkap, kimia darah.Pemeriksaan


fClktor pembekuan darah diperlukan bila rreaneana pengobCltan dengan ooopearsi.
Petanda tumor sec (untuk skuamosa) Cltau CEA atau ea 125 (untuk adenokClrsinoma)
merupakan pemeriksaan opsional .

KONSULTASI
KonsultClsi onl{ologi

PENATA LAKSANAAN

Stadium 'l"cngobatan primer


--
riAl I Histerektomi el{strafasial atau Observasi kalau fertiltas (tepi
I sayatatn negiltif pada konisasi)

~--I-- :
IA2 Operasi
1. Histerei<tomi rCldikill atau modifikasi (tlpe 2 0 dan
limfadenektomi pelvis
2. Histerjtomi el{strafasial dan limfadenektomi pelvis bila
tidak ada invasi lir.1fo-vaskular (ILV)
3. J(onisasi luas atau trakhelektomi radikal dengCln
limfadenektomi ekstra peritoneal atau limfadenektomi
laparoskopi, kalau fertilitas masih diperlukan
Radioterapi (RT)

• Radiasi luar dan brakhiterapi (dosis dl titik A 75-80 Gvl


18 1/IIA-<4 em Hlndari gabungan operasi dengan radiasi untuk mnegurangi

morbiditas

Operasi
!
I 1. /:iisterektomi radikal dan limfadenektomi pelvis, ± sampel i
kgb para aorta ~
2. Pada usia muda ovarium dClpat dikonservasi I
3. Terapi adjuvant kemoradiasi post operatif (dengan
cisplatin + 5 FU atau eisplatin saja) bila ada faktor resiko
kgb (+), parametrium (+), tepi sayatan (+)
Radioterapi:
, Radiasi eksternal dan brakhiterapi (dosis di titik A 80·85 Gy) I

IB2/IIA) 4 em I(emoradiasi

• Radiasi eksternal brakhiterapi dan pemberian eisplatin


setiap minggu 40 mg/m2 selama radiasi eksternal. Kalau
kqb iliaka komunis iltau para aorta IV)
lapilngCln radiasi )

PPDS I O~da",G~2015
231
diperluas.
Operasi
• Histerektomi radikal, limfadenektomi pelvis
Neoadjuvant kemoterapi (mengandung cisplatin 3 seri diikuti
histerektomi radikan dan limfadenektomi pelvis
IIB,III,IVA Kemoradiasi

• Radiasi eksternal dan brakhiterapi + kemoterapi (cisp/atin


40 mg/m2 setiap minggu se/ama radiasi luar. Bi/a kgb
I iliaka komunis atau para aorta (+) maka lapangan radiasi
I diper/uas
I El<sterasi
I

• Dapat dipertimbangkan pada IV Abila tidak me/uas


sampai dinding panggu/, terutama bila ada fistel
r::-:-::-_ _----:--::-:--f--=--:--:-:-:_re_ktovagianal atau vesikovaginal
IVB atau residif Residif sesudah operasi
1. Radiasi + I<emoterapi (eisplatin dengan / tanpa 5 FU). 50
Gy bila lesi mikroskopik dan 64·66 gy pada tumor yang
besar.
2. Eksenterasi kalau proses tidal< sampai panggul
Residif lokal sesudah radioterapi
1. Eksenterai pelvis, bila mengenai vesika, rectum tanpa ada
penyebaran intraperitonel, ekstrapelvik, dinding panggul
bebas. Triad : edema tungkai unilateral, nyeri siatik,
obstruksi ureter petanda tidak resektabel
2. Radikal histerektomi, cocok bila residif sentral diameter
lesi 2 cm atau kurang

Metastasis jauh

• Terapi local dengan radiasi untuk mengurangi symptom


seperti nyeri karen a metastasis tu/ang, pembesaran kgb
para aorta, dan suprak/aviku/a, atau symptom metastasis
o~k 1­

PERAWATAN
Pra dan pascaterapi

LAMA PERAWATAN
Lama perawatan tergantung beberapa faktor antara lain faktor keadaan umum pasien,
faktor pili han pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, faktor
penyembuhan luka.

PPDS 1 O~da..vG~ZOJ5 232


MJUA PEMULIHAN

Pemulihan tergantung beberapa faktor antaa lain keadaan umum pasien, faktor pilihan
pengobatan, (aktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit in(eksi. (aktor penyembuhan
luka

PENYULlT
PemLilihan tergantung beberapa (aktor antara lain (aktor keadaan umum pasien. (aktor
pilihan pengobatan, (aktor stadium penyakit, (aktor adanya penyulit in(eksi. (aktor
penyembuhan luka

INFORMED CONSENT
Penjelasan tcntang stadium penyakit, reneana terapi, hasil pengobatan diln I<emungkimm
komplikasi pengobatan

OUTPUT
Hidup tanpa tumor, hidup dengan tumor, meninggal

PATOLOGI ANATOMI
Pemeriksaan histologi specimen pembedahan

INDIKATOR
Respon terapi, masa bebas tumor, survival dan I<ualitas hidup

PENGAMATAN LANJUT:
Jadwal pemeriksaan lanjut sebagai berikut: Pemeriksaan pertama dilakukan segera
setelah selesai radioterapi, kemudian 2 bul,m sesudah radioterapi. Padal<ilSUS dcngan
terapi pembedahan pengamatan lanjut pertama pada dua minggu pasea bedah.
Selanjutnya pengamatan dilakukan :

Tahun ke 1 setiap 3 bulan.

Tahun I(e 2 setiap 4 bulan.

Tahun ke 3 setiap 5 bulan.

Tahun ke 4 setiap 6 bulan.

Setelah 5 tahun, pemeriksaan dilakukan setahun sekaJi.

Pemeriksaan meliputi:
1. Anamnesis tkomplikasi radiasi, seperti sistitis, gejala·gejala residi(, sepert;
perdarahan, fluor albus, hematuri,. melena, kaki bengkak, nyeri daerah pinggang
dan lain·Iain).

PPOS I O/n(Wi.ct...vG~20J5 233


2. Pemeriksaan fisik meliputi perabaan kelenjar getah bening supraklavikula dan
inguinal, perabaan hepar, pemeriksaan tungkai bawah.
3. Pemeriksaan ginekologi dan USG
4. Foto toraks setiap 12 bulanatau atas indikasi
5. Skaning tul,mg dilakukan atas indikasi keluhan nyeri pada tulang
6. Sitologi vagina. dilakukan I bulan seteiah penderita dipulangkan, selanjutnya
jadual dan cara pemerikasan sepertl pasca radioterapi
7. Perlu mendapat perhatian tambahan pada pasca operasi radikal adalah sisa urin
setelah penderita berkemih untuk menilai fungsi kandung kemih.

PPDS I Ol»tU>-vd<uv(j~2015 234


54. KANKER INDUNG TELUR( OVARIUMj

BATASAN DAN URAlAN UMUM


Ovarlum merupakan suatu pasang organ oval padell, berukuran diameter antara 2·4 em.
Keduanya dlhubungkan oleh Ilpatan peritoneum pada ligilmentum Iiltum diln oleh
ligamentum infundibulumpelvikum ke dinding lateral pelvis.

Di RS Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta, diantara tahun 1989 - 1992 terdapat 1,726


kasus ki;nker ginekologi, diantaranYil 13,6% adaJah kanker oVMium. Umumnya (72%)
berasal dar; ovarium kanker ovariumjenis epitelial dan datang pada stadium lanjut,
stadium IJ.lV (42,5%). Angka mortalitas kilnker ovarium adalah 22.6% dari 327 kematian
kanker ginekologi.

MANiFESTASI KLINIS
Tidak ada gejala yang khas padil kanker oVilrium. Sering penderita datang bita sudah
merasa terdapat massa di abdomen. Bilil massa besar gejala yang adil adalah akibat
penekanan massa pada rong9a pelvis atau pun abdomen. SlIa sudah lanjut penderita
datang dengan gejala umum kanker: napsu makan menurun, malaise, lemah.

Tanda Klinis
Dapat ditemukan adanya massa tumor di pelvis pada saat pemeriksaan ginekologis: atau
massa di abdomen. Sila tumor tersebut padat, bentuknya ireguler dan terfiksir ke dinding
panggul, keganasan perlu dicurigai

KRITERIA DIAGNOSIS
I{lini/( + penunjang lIihilt pemeri/(saan penunjangj

Laparatomi

STADIUM PENYAKIT:
Stadium I
Pertumbuhan terbatas pada ovarium
Stadum la : pertumbuhan terbatas pada 1 ovarium; tida/( ada asites yang berisi sel ganas,
tidak ada pertumbuhan dan permukaan luar, kapsul utuh.
Stadium Ib : pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium; tidak ada asites yang berisi sel
ganas. Tidak ada tumor di permukaan luar; kapsul intak
Stadium Ie : tumor dengan stadium la atau Ib tetapi ada tumor dipermukaan iuar satu atau
kedua ovarium; atau dengan kapsul peeah; atau dengan asites berisi sel ganas atau
dengan bilasan peritoneum positif

Stadium II
Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul
Stadium I/a : perluasan dan atau metastasis ke uterus dan/ atau tuba
Stadium lib ; perluasan ke jilringan pelvis lainnya

PPDS I O~AA.-.C;~2015 235


Stadium I/e : tumor stadium I/a atau lib tetapi dengan tumor pada parmukaan satu atau
keoua ovarium kapsu/ pecah; atau dengan asites yang mengandung se/ ganas atau
dengan bi/asan peritoneum positif

Stadium III
Tumor mengenai satu atau kedua tumor dengan implan di peritoneum, di luar pelvis
dan/atau kgb retroperitoneal atau inguinal positif. Metastasis permukaan liver masuk
stadium III. Tumor terbatas dalam pelvis kecil, tetapi seears histologik terbukti meluas ke
usus besar atau omentum.
• Stadium lila: tumor terbatas di pelvis kecil dengan I<gb negatiF tetapi secara
histdogik dan dkonfirmasi secara rrjknoskopik adanya penumbuhan (seeding) ci
permukaan peritoneum abdominal
• Stadium !lIb: tumor mengenai satu atau I<edua ovarium dengan implan di
permukaan peritoneum dan terbukti secara mikroskopik, diameter tidak melebihi 2
em, dan kgb negatif
• Stadium IlIe: implan di abdomen dengan diameter > 2 em dan / atau kgb
retroperitoneal atau inguinal positif.

Stadium IV
Pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dcngan metastasis jauh. Bila efusi
pleura, dan hasil sitologinya positif dimasukkan dalam stadum IV. Begitu juga metastasis
ke parenkhim liver

DIAGNOSIS D1FERENSIAL
• Tumor ovariumjinak
• Tumor korpus uteri

Tumor abdomen non'ginekologis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG
Dengan pemeriksaan yang non invasif dan relatif murah dapat seeara tegas dibedakan
tumor kistik dengan tumor padat. Tumor dengan bagian pactat kemungkinan ganas
meningkat. Sebaliknya tumor kistlk tanpa ekointernal kemungkinan keganasan
menurun. Pemakalan USG transvaginal (transvaginal color flow doppler) dapat
meningkatkan ketajaman diagnosis karena mampu menjabarkan morfologi dengan
baik.

• Pemeriksaan tumor marker:

CA.125, CA-72·4, CEA ICarcinoembryogenic Antigen), CA·! 9·9 , CA·! 5-3,

KONSULTASI
Konsultan Onkologi

PPDS! O~~G~v2015 236


TEMPI
Kasus tumor ovarium dengan kecurigaan ganas, ditegakkan atas dasar penemuan klinik,
USG dan petanda tumor, Bila ada kecurigaan keganasan, pemeriksaan perlu di/engl<api
dengan : - Radiodiagnostik : Foto torax, BNO/IVI', Ba-enema

Untuk BNO/IVI' dan Ba enema, bila memungkinkan diganti dengan pemeriksaan (t-Scan
abdominopelvik dan paling ideal adalah MRI. Pada kasus-kasus tertentu misalnya tidak
mungkin dilakukan operasi, maka dilakukan pungsijbiopsi.

Manajemen terapi yang dilakukan adalah laparotomi dengan potong beku. Dari hasil
potong beku ada beberapa kemungkinan hasil :
I. Tumorovariumjinak (benign)

2, Tumor ovarium borderline

3, Tumor ovarium ganas (maligna)

4, Adanya keganasan ovarlum belum dapat ditegakkanjelas, kepastian ganas ditunda,

Selanjutnya dilakukan surgical staging, tindal<an pembedahan ini berdasarkan kebutuhan


fungsi reproduksi, Sila fungsi reproduksi masih dibutuhkan makc. tindakan pembedahan
eenderung ke arah surgikal staging yang bersifat konservatif bila memungkinkan, yaitu
tindakan salpingoofarektomi unilateral, omentektomi, limfadenektomi ipsilateral, sitologi,
biopsi, appendiktomi.

Pada kasus yang masih memerlukan fungsi reproduksi, stadium IA atau Ie maka dilakukan
surgikal staging konservatif yaitu tindakan salpingoofarektomi unilateral, omentektomi,
limfadenektomi ipsilateral, sitologi, biopsi, appendiktomi, Bila fungsi reproduksi masih
diperlukan, tetapi stadium klinis IB atau lebih dari stadium II, maka dilakukan surgikal
staging radikal yaitu tindakan pembedahan meliputi histereiltomi totalis,
salpingoofarektomi bilateral, omentektomi, sitologi, biopsi dan appendiktomi. Bila fungsi
reproduksi sudah tidak dibutuhkan lagi, maka tindakan pembedahan adalah surgikal
staging radikal.

PERAWATAN
I'ra dan pasea terapi

PENYULIT
I'emulihan tergantung beberapa faktor antara lain factor keadaan umum pasien, faktor
pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, faktor
pcnyembuhan luka,

INFORMED CONSENT
I'enjelasan tentang stadium penyakit, reneana terapi, hasil pcngobiltan dan kemungkinan
komplikasi pengob3tan,
lAMA PERAWATAN
Lama perawatan tergantung beberapa factor antara lain faktor keadaan umum pasien,
faktor pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, faktor
penyembuhan luka.

I'POS I obltUrVdMoG~2015 237


MASA PEMULIHAN
Pemulihan tergantung beberapa faktor antara lain faktor keadaan umum pasien, faktor
pilih,m pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, faktor
penyembuhan luka.

OUTPUT
Hidup tanpa tumor, hid up dengan tumor, meninggal

PATOLOGJ ANATOMI

Pemeriksaan histologi spesimen pembedahan.

INOIKATOR

Respons terapi, masa bebas tumor, survival dan kualitas hidup

PENGAMATAN LANJUT
JaduaJ pemeriksaan lanjut dilakukan tiap minggu bila masih dalam pengobatan
kemoterapi, dengan perhatian pada pemantauan efek samping obat. Pemeriksaan
petanda tumor dilakukan setiap bulan. S elanjutnya pengamatan dilakul<an seperti pada
kanker serviks.

PPDS I oi>lruY"da.noG~2015 238


55. PENYAKITTROFOBLAST

BATASAN DAN URAIAN UMUM


Suatu ke/ainan berupa proliferasi sel trophoblast I<ehamilan abnormal

EPIDEMIOlOGI
Insidensi mola hidatidosa diperkirakan antara 0,26'2, I setiap 1000 kehamilan dan 30 %
dari kasus ini dapat mengarah ke penyakit trofoblast ganas

MANIFESTASI KlINIS
Perdarahan pervaginam, pembesaran rahim setelah kehamilan mola hidatidosa

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis PTG berdasnrl<an data I<linil< dengan atau tanpa histology. Adapun beberapa
I<riteris diagnostic:
Keadaan hCG meningl<at 2 minggu atau lebih
Kadar hCG menetap 3 minggu atau lebih
Kadar hCG di alas normal sampai 14 minggu setelah evaluasi
Uterus lebih besar dari normal dengan kadar hCG > normal
Perdarahan dari uterus dengan kadar hCG > normal
Dijumpai lesi metastasis dengan kadar hCG > normal

STADIUM KlINIK
Stadium klinik (FIGOI :
• Stadium I ~ tumor terbatas pada uterus

Stadium " ~ tumor meluas ke organ genitalia lainnya

• Stadium III ~ tumor metastasis ke paru-paru


• Stadium IV ~ metastasisjauh dengan atau tanpa metastasis paru

WHO ISCORING SYSTEM!


WHO menetapakan system skoring dengan beberapa parameter antara lain parameter
umur, kehamilan sebelumnya, interval HCG sebelum terapi, ukuran tumor terbesar,
tempat metastasis,jumlah metastasis, kegagalan kemoterapi sebelumnya, skor diberikan
antara 0·4. Resiko rendah biJa skoT 4 atau kUTang, resiko intermediate bila skor 5·7 dan
resiko tinggi biJa skor 8 atau lebih

DIAGNOSIS DIFFERENSlAl
Kanker endometrium, hyperplasia endometrium

ProS I Obmt>-vd.a..-v<i~2015 239


PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan kadar hcg darah


b. Ultrasonografi
c. Foto thoraks

KONSULTASI
Konsultan Onkologi

TERAPI

Stadium I IFIGO), risiko rendah (WHO) dan !'TG non metastasis diterapi dengan satu

jenis kemoterapi (Methotrexate, Actinomycin-D. etoposide). Sedangkan stadium II - III.

risiko Intermediat serta PTG metastasis dlterapi dengan kombinasl dua obat. Stadium

IV, risiko tinggi serta PTG metastasis rlslko tlnggl mendapat multi kemoradiasl (MAC.

EMO-CO, CHAMOCA).

Pembedahiln histerektoml hanya diindikaslkan pada perdarahan uterus pervaglnam

ataupun perdarahan uterus Intra abdomen karena perforasl uterus.

PERAWATAN DAN LAMA PERAWATAN


Untuk pemberian kemoterapi dan bila diperlukan untuk mengatasi perdarahan
uterus dengan bantuan radiasi
Dua hari untuk pemberian kemoterapi. Tujuh hari untuk mengatasi perdarahan
uterus dengan bantuan radiasi.

PENYULfT
Perdarahan dari uterus yang tidak dapat berhenti

INFORMED CONSENT
Penjelasan tentang stadium penyakit. rencana terapi, hasil pengobatan dan kemungkinan
komplikasi pengobatan.

MASA PEMULIHAN
Tergantung dari kildar Beta hCG yang turun (kurang dari 10 IUjml) 2 kali berturut-tu

OUTPUT
I. Sembuh dengan kadar Beta hCG kurang dari J0 IUjml.
2. Progresif.

PATOLOGI ANATOMI
Pemeriksaan histologi spesimen pembedahan.

PPDSl O~d.o.....G~2015 240


INDIKATOR
Beta hCG normal

PENGAMATAN LANJUT:
Selama masih dalam pengamatan Ianjut pasca pengobatan maka jadual
pemeriksaan seperti pada mola hidatidosa. Pemeriksaan meliputi anamnesis [perdarahan,
gejala·geJala toksik khemoterapi dan lain·lain). pemeriksaan ginekologik. pemeriksaan
hCG serum. Si/a penderita tersebut masih dalam pengobatan dengan khemoterapi
pemerlksaan darah tepl di/akukan tiap mlnggu. rungsl ginJal. hepar. kadar elel<trolit darah,
LDH. setiap 4 minggu. Pemeriksaan radiologik [foto toraks). ultrasonografi. tiap 4 - 12
minggu tergantung dari ada/tidaknya metastasis.

PPDSIO~.u.,...,G~"2015 ,41
56. KANKER ENDOMETRIUM IKORPUS DAN SARKOMA)

BATASAN DAN URAlAN UMUM


K,mker endometrium di negetret maju seperti Ameriket Serikat dan Eropa betrat merupaketn
kanker yang terbanyak pada ketnker ginekologik. Sekitar 75% dijumpai padet stadium I
dimana angka ketahetnan hidupnya 75% atau lebih. Dinegaret berkembetng seperti India
dan Asia tenggaret kejadiannyet 4-5 kali lebih rendah dibandingkan negara industri.

MANIFESTASI KLiNIS :
Faktor risiko
Faktor predisposisi : obesitets, rangsangan estrogen terus menerus, menopause terlambett
f>52 tahun). nUlipara , siklus anovulasi, pengobatan tamoxifen, dan hiperplasia
endometrium. Faktor yang melindungi terhadap penyakit ini: piJ kontrasepsi, wanita
perokok terutama wanita gemuk dimana nikotin dianggetp mempunyai efek antiestrogen.
Gejala dan tanda •
SemblJan puluh persen kanker endometrium ditandai perdarahan uterus abnormal,
berupa metrorrhagia pada periode perimenopause maupun perdarahan pasca
menopause. DUumpai pula keluhan keputihan yang berlebihan.

KRITERIA DIAGNOSIS:
Diagnosis dibuett berdasarkan biopsi endometrium atau Dilatasi dan Kuretase. Kedua cara
ini mempunyai "false negative rate" 5-10%. Bila diagnosisnya meretgukan dapat diJakukan
kuretase bertingkat dengan bimbingan histerosl(opi. Diagnosis dipastikan dengetn hetsil
biopsi /0&1< endometrium bertingkat

STADIUM KLINIK
Pada tahun 1988 FIGO menetapkan kriteria stadium surgikal

Tabel 1. Stadium surgikal kanker endometrium

Stadium' Diskripsi

IA fG 1, G2, Tumor tebatas pada endometrium


G3)
IB fG 1, G2, Menginvasi kurang dari setengah miometrium
G3)

Ie (Gl, G2, Menginvasi lebih dari setengah miometrium


G3)

IIA (GI, G2, Mengenai kelenjar endoserviks


G3)

liB (GI, G2, Menginvasi stroma serviks


G3)

IliA (G 1, G2. Menginvasi ke lapisan serosa dan/atau adneksa dan


G3) /atau pemeriksaan sitologi peritoneum positif

PPDS I O~da.t.G~2015 . 242


1118 IG 1, G2, Metastasis ke vagina
G3)

II/C IG I, G2, Metastasis ke kelenjar getah bening pelvis dan/atau


G3) para·aorta

'VA IG 1, G2, 'nvilsl ke kilndung kemlh dan/atau mukosa usus


G3) . . .

IVB Metastasisjauh termasuk ke rongga abdomen dan/


ittitU kelenjar getah bening inguna,
*-Kanker endometrium dibagi atas derajat IG) sesuai dengan derajat diferensiasi
histologik. G I =5% atau kurang gambaran pertumbuhan paditt; G2=6·50% gamb<1ran
pertumbuhan padat; G3='ebih dari 50% gambaran pertumbuh<1n padat
Dikutip dari International Federation of Gynecology and Obstetrics. Annual report on the
results of treatment in gynecologic cancer. Int j Gynecol Obstet ! 989;28: ! 89·90.
Stadium surgikal tersebut berdasarkan hasil operasi termasuk pengangkatan keJenjar
get<1h bening pe'vis, para·aorta dan bi'asan peritoneum

Diagnosis dibuat berdasarkan biopsi endometrium atau Dj/atasi dan Kuretase. Kedua cara
ini mempunyal "false negative rate" 5-10%. Blla diagnosisnya meragukan dapat dilakukan
kuretase bertingkat dengan bimbingan histeroskopi. Diagnosis dipastikitn dengan hasil
biopsi / D&K endometrium bertingkat

KONSULTASI
Konsultan Onkologi

TERAPI
Operasi pada kanker endometrium
Pasien dengan kanker endometrium diobati dengan tindakan histerektomi saja atau
histerektomi dan radiasi pascabedah. Pada stadium dini,dengan diferensiasi baik cukup
dilakukan histerektomia totalis dan salpingoooforektomi bilateral.

Operasi dilakukan dengan insisi mediana, dilakukan bilasan peritoneum abdomen dan
pelvis, eksplorasi dan palpasi kemungklnan metastasis ke orgitn abdomen, termasuk
baglan atas abdomen, histerektomi total dan sitlpingo-ooforektomi bilateral, kemudian
uterus dibelah untuk melihat kedalaman invasi I<e miometrium ; bila tidal< jelits perlu
dilakukan frozen section. Kelenjar getah bening pelvis dan para·aorta dan omentektomi
partialis dilitkukan berdasarkan kriteria kelompok risiko tinggi
a. Infiltrasi ke miometrium lebih dari setengah ketebalan miometrium
b. Perluasan ke isthmus/serviks
c. Perluasan keluar uterus Itermasuk adneksa)
d. Tipe histologik; serosa, seljernih, skuamosa, atau diferensiasi buruk
e. Pembesaran kelenjar getah bening pelvis
f. Histologik derajat 3 adenokarsinoma

Pada stadium /I dilakukan histerektomi radikal modifikasi, salpingoooforektomi bilateral,


deseksi kelenjar getah bening pelvis dan biopi para-aorta bila mencurigakan, bilasan
peritoneum, biopsi omenteum fomentektomi partialis),biopsi peritoneum

PPD5 I O~"""'G~2015 243


Pada stadium III dan IV : operasi dan/atau radiasi dan/atau kemoterapi. Pengangkatan
tumor merupakan terapi yang utama, walaupun te/ah bermetastasis ke abdomen
Radioterapi
Radiasi pelvil< dan brakhiterapi vagina (adjuvant) pasca bedah:
a. Pasien dengan risiko rendah (stadium IA,derajat I atau 2) tidak memerlukan
radiasi
b. Pasien stadium IB,IC,IIA dan liB; derajat 3 pada setiap stadium
c. Pasien dengan stadium III dan IV(metastasis jauh) mendapat radiasi secara
individual. tergantung letak metastasis dan adjuvant Cisplatin dan Doxorubicin
(protokol penelitian). Perluasan radiasi para-aorta diberikan bila:
(1) Kelenjar getah bening para-aorta positip
(2) Metastasis luas di daerah adneksa
(3) Infiltrasi 1/3 bagian luar miometrium disertai histologik derajat 2
atau 3

Kemoterapi
1. Kemoterapl . Diberlkan pada paslen dengan kanker endometrium resldif. Jenis
kemoterapi yang dipilih adalah Cisplatin dan Doxorubicin
2. Hormon. Tumor dengan reseptor estrogen atau reseptor progesteron positif
mempunyai res pons positif dengan pengobatan progestin:
a. Depo-Provera, 400 mgjlM/minggu
b. Tablet Provera 4 X 200 mgjhari
c. Megestrol asetat (Megace) 4 X 800 mgjoraljhari

PENGAMATAN LANJUT:
Pengamatan lanjut (follow-up) diiaksanakan 2 bulan sekali pada 2 tahun
pertama; selanjutnya 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Setelah 5 tahun. pemeriksaan
diiaksanakan 5 tahun sekali.

J>emeriksaan terutama ditujukan pada kelenjar getah benlng pelvis. Juga diper'hatikan
timbulnya massa dipelvis. perdarahan pervaginam. dan gangguan resplrasi

Pemeriksaan penanda tumor tldak ada yang spesifik, tetapl bJla CA-12S menlngkat.
pemeriksaan ini dapat diulang untuk pengamatan lanjut
Pemeriksaan radiologii< (termasuk CT-scan/MRI) diiakukan bila ada indikasi

I'PDS 1 Oln!Wv""""'G~2015 244


57. KANKER VULVA

BATASAN DAN URAIAN UMUM:


Kanker vulva adalah keganasan primer vulva. Kejadiannya di Indonesia relatif kecil (di
RSCM prevalensinya < 10 kasus pertahunj. Faktor resiko antara lain infeksi HI'V

MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang sering adalilh rilsa giltill kurang lebih 39·7 J % I<eluhan lainnya analMa lain
rasa panas dan kadang rasa nyeri di vulva. Ditemukannya pertumbuhan ataupun luka
yang tidak sembuh dengan terapi antibiotika. Lesj tersebut mengeluarkan cairan berbau.
Selain itu secxara makroskopik lesi berpenampilan dapat berbentuk polip, pembengkakan.
perubahan wama, benjolan atau berbentuk massa sepserti jamur.

KRITERIA DIAGNOSIS

STADIUM KANKER VULVA FIGO 2000

Stadium IFIGOj TNM


Tumor primer tidak dapat dievaluasl TX
Tidal< ditemukan tumor primer TO

o Karsinoma Insitu Tis


Tumor terbatas di vulva dan perineum, dengan diameter 'I' Tl
terbesar ( 2 em
Invasi stroma < 1.0 mm Tla
IA i

', 18 Invasi stroma> 1.0 mm


III
Tumor primer terbatas di vulval perineum, dengan
diameter terbesar > 2em
Tlb
T2
Tumor telah invasi ke uretra distal. vagina atau anus

III

T3
IV
Tumor invasi ke mukosa vesika urinaria, mukosa
IVA I rektuum, mukosa uretra bagian proksimal atau ke i

; tulang I T4

IVB I Tumor dengan metastasis jauh, termasuk Kgb pelvik j

I ~
I
Patologi kanker vulva dibagi dalam 5 sub katagori :

1. Tumor permukaan epite! Iskuamosa, Paget, sel basal, melanomaj

PPOSIOb;o:tl"ioda.vG~Z015 245
2. Tumor epitel ke/enjar
3. Sarkoma
4. Tumor primer lainnya
5. Tumor metastasis

DIAGNOSIS D/FFERENS/AL
• Tumor jinak di vulva
• Tumor metastasis
PEMER/KSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan foto thoraks (melihat kemungkinan metastasis paru). USG liver untuk melihat
kemungkinan metastasis ke liver. Sistoskopi bila mencurigai kemungkinan adanya
metastasis ke vesika urinaria

KONSULTASI
Konsultan onkologi

TATA LAKSANA
VIN (vulva intra epithelial neoplasiil), dllaklJkan eksisl ;

TIA EI(sisi luas (bebas tumor 2 em )


T/B·T2 Vulvektomi radikal
T3 Neoadjuvant + vulvektomi radikal
Vulvektomi radil<al + adjuvant
T4 Individual
~.

Kanker vulva stadium alnjut yang tidak memungldnkan dilakukan terapi pembedahan

maka terapi pilihannya adalah terapi dengan radiotherapy atau dengan kemoradiasi

(kombinasi kemoterapi dan radsioterapi)

Pengobatan pernbedahan denga hasil histology terdapat metastasis ke klenjar getah

bening, maka sebaiknya diberikan adjuvant radioterapi atau kemoradiasi

PERAWATAN
Perawatan pra dan pasea bedah

PENYULIT
Perdarahan, infeksi, nekrosis dan metastasis serta stadium lanjut. Penyulit yang sering

terjadi adalah gangguan penyembuhan luka, penyulit lainnya adalah infeksi Isampai

kemungkinan sepsis) dan tromboemboli

PPDS I O~cU..rvG~2015 246


INFORMED CONSENT
Penjelasan tentang stadium penyakit. rencana terapi, hasH pengobatan dan kemungkinan
komplikasi pengobatan

LAMA PERAWATAN DAN MASA PEMULIHAN


Lama perawatan dan masa pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor
keadaan umum pasien, factor pilihan pengobatan, factor stadium penyakit, factor adanya
penyulit infeksi, factor penyembuhan luka

OUTPUT
Respon klinik terapi radiasi
SurvivalS tahun. Tetapi secar umum kemampuan hidup (survival) 5 tahun mencapai lebih
dari 90% untuk stadium kurang dar; stadium I. Sedangkan untuk stadium /I survival 5
tahun dapat mencapai 80%, untuk selanJutnya stadium /II-IV mempunyai survival 5 tahun
kurang dari 50%
PATOLOGI ANATOMI
Pemeriksaan histologi spesimen pembedahan

INOlKATOR
Pemeriksaan hist%gi spesimen biopsi dan spesimen pembedahan

PENGAMATAN LANJUT:
Pemeriksaan kolposkopi

PPDS I Ohlatrj,"""'G~201S 247


TERAPI PALIATIF PADA KANKER

PERAWATAN
Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada penderita yang
sedang sekarat aatau dalam tase terminal akibat penyakit yang dideritanya dan sudah
tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif: Dalam' hal in'i disebabkan oleh keganasan
ginekologis. Perawtan ini mencakup penderita serta melibatkan keluarganya.

TUJUAN
Terapi paiiatit bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kanker pada
satadium terminal. Upayanya adalah dengan pencegahan, deteksi dini, mengatasi gejala
dan masalah psikososial

INDIKASI
Pedoman terapi paliatif sebaiknya digunnal<an untuk meningkatkan harapan hisup dan

anti kanker paliatif jika prognosis hidupnya tinggal J tahun aatau kurang.

Indikator yang potensial adalah pasien pada akahir tahun masashidupnya termasuk

penurunan keadaan umum (ECOG 2 3 atau karnofsky ~ 50 I hiperkalsemia, metastasis ke

SSP, sindrom vena cava superior, kaekesia, efusi ganas, gagal hati, gagal ginjal atau

kondisi lain yang berat. Kriteria skrining terakhir adalah permintaan khusu untuk terpai

paliatif.

KONTRA INDIKASI

Pasien atau keluarga menolak terapi kuratif

PROSEOUR TINOAKAN

Manajemen yang dilakukan adalah :

o Perawatan untuk mencegah timbulnya gejala serta I<linis, dan langkah·langkah


untuk mengatasinya
Penanggulangan nyerl
Penanganan praktis maslah klinis perawatan paliatif
• Memberikan dukdunhan emosional. social dan spiritual

Perawatan untuk mencegah timbulnya gejala serta keluhan klinis dan langkah-Iangkah
untuk mangatasinya
I. Nutrisi
o Melakukan intervensi program pengaturan nutrisi yang adekuat untuk
mnegurangi gejala penyakit, meningkatkan kenyaman, mencegah atau
sebgai terapi malnutrisi
o Manajemen nutrisi yang diberikan merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan cara mengurangi gejala
hpoproteinemia dan mengurangi edema perifer sehingga dapat
memaksimalkan stamina.
o Mempertimbangkan: cara pemberian bila memungkinkan ,Idalah enteral
dan bila tidak adalah parenteral. Pemeberian deksametason atau

PPOS I O~da,n,G~2015 248


progesterone sebagai stimu/asi nafsu makan dapat dipertimbangkan
wa/aupun hasilnya sangat terbatas

2. Terapi Oksigen
• Memberikan wawsana tentang pemanasatan oksigen secara efektif
• Memberikan petunjuk teknis perawatan peralatan oksigenasi

3. Pengobatan simptomatik
• Pendekatan terhadap keluhan nyeri ataupun kleuhan lainnya. berdasarkan
tahapan eva/uasi berkala pada pasien
• Terapi I ndividu : bias berupa terapi fisik atau psikologis, farmakologis
maupun non faramakologis ".
• Supervisi: pencatatan rencana terapi, riwayat terapi, perjalanan ppenyakit,
hasil evaluasi, dll

4. Rehabilitasi
• Membawa dan membimbing penderita untuk mencapai pemenuhan
kualitas hidp sampal ahirhayatnya
• Melakukan upaya integrasi dari kondisi fisik, psikis, social dan spiritual untuk
menuju kesatuan yang harmonis, sehinggan adaptasi terhadap Ilehidup[an
setelah mengalami sakit atau trauma dapat diperoleh

5. Psikoterapi
• Me/akukan penilaian terhadap kemungkinan terjadinya gangguan
psikososial
Melakuakn pendekatan utnuk mengurangi penderitaan dan mengangkat
harga diri sampai akhir kehidupan
• Mengiktiarkan kualitas hidup yang optimal dalam batas kondisi yang ada
• Depresi dan cemas adalah gangguan yang paling banyak dialalmi terutama
bila penderita gagal dalam pengobatan kuratif
6. Radioterapi
• Bertujuan utnuk mengatasi nyeri. Namun harus mempertimbangkan
potensi manfaat, efek samping radiasi, sampai dengan factor teknis seperti
transportasi. fasilitas radioterapi

7. Pembedahan
• Bertujuan untuk mengurangi nyeri dan menghilangkan gangguan fungsi
organ tubuh akibat desakan massa tumor atau metastasis.
• Prosedur pembedahan diesesuaikan dengan indi~:asi

8. Kempoterapi
• Bertujuan untuk memperkecil massa tumor dan untuk mengurangi nyeri.
terutama pasda tumor yang kemosensitif
• Perlu dlakukan kajian tentang efek posotof yang diperoleh dari berbagai
aspek untuk kepentingan penderita

9. Pengobatan a/ternatif
• Menempatkan pengobatan alternative sebagai upaya untuk meningkatkan
kualiats hidup penderita dan bukan untuk menyembuhkan penyakit

WDS 1 Ob,aty"~G,~'2015 249


Untuk memberikan dukungan emosisonal, sosial dan spiritual dapat dilakukan dengan
(ara:
I. Menjaga komunikasi dengan penderita dan keluarganya
Lakukan kontak secara berkala
Upayakan komunikasi yang efektif sehingga terdapat hubungan yang
saling percaya

2. Menjaga diri sendiri


Menjaga supaYil emosi yang terlibat tidak berlebihan sehingga
menimbull<an rasa empati
Menjaga profcsionalisme dalam bekerja

3. Menjaga petugas yang merawat penderita


Memberikan pengertian tentang manfaat perawatan palitif yang mungkin
diperoleh penderita dan keluarga

4. Memberikan dukungan spiritual, emosional dan sosial


Membantu memberikan solusi terhadap permasalahan yang timbuk dalam
keluarga, stigma dan perasaan terkucikan, ekonomi, kualitas hUbungan
seksual
Mempersiapkan menghadapi kematlan
Oukungan psikologis untuk menghadapi depresi, rasa marah, cemas
perasaan bersalah dan tetap berupaya menjalankan aktivitas sehari·hari

KOMPLIKASI
Tidak ada komplikasi dari perawatan paliatif

WE\'VENANG
Dokter spesialis obstetri ginel<ologi dan PPOS Obstetrik dan Ginel<ologL

UNIT YANG MENANGANI


Departemen Obstetrik dan Ginekologi

UNIT YANG TERKAIT

MANAJEMEN NYERI KANKER


PENGERTIAN
Manajemen nyeri kanker adalah pengelolaan menyeluruh utnuk mengatasi nyeri kanker
Pengertian nyeri kanker adalah nyeri yang dirasakan oleh penderita kanker karena
keluhan subyektif , pertumbuhan kanker yang progresif, kanker yang kronis atau
multifaktorial

ETIOLOGI
Nyerl kanker atau yang lebih dikenal dengan slndroma nyeri kanker dapat disebabkan
oleh beberapa faktor ialah :
1. Faktor jasmani
d. Akibat tumor
Nyeri akibat tumor terjadi pada 70% penderita kanker yang disertai rasa nyeri, dan
keadaan ini dapat diterangkan melalaui berbagai mekanisme-mckanisme keadaan
ialah:

ProS I O~vd.a.tvG~':'2015 250


Infiltrasi tumor l(e tulang

Infiltrasi atau penekanan terhadap jaringan syaraf

Pengaruh langsung terhadap organ yang terkena

Uiserasi jaringan

Peningkatan tekanan intracranial

e. 8erhubungan dengan tumor


Nyeri yang terjadi pada penderlta kanker dan berhubungan dengan tumor dapat
diterangkan melalui mekanisme keadaan seabagai berikut ;
Kejang otot

Dekubitus

lnfeksi denganjamur kandida

• Trombosis vena dalam


Sembelit
Sembab akibat sumba tan pembuluh limfe
Neuralgia pasca infeksi herpes zoster
Emboli paru

f. Akibat pengobatan tumor


Nyeri yang terjadi akibat pengobatan tumor dapat terjadi pada 20% penderita
kanker yang disertairasa nyri dan dapat diterangkan melalui mekanisme keadaan
sebagai berikut ;

1. Akibat pembedahan
a. Pasca bedah leher radil<al
b. Pasca mastektomi
c. Pasca torakotomi
d. Pasca nefrektomi
e. Pasca amputasi anggota geral<
2. Akibat kemoterapi
a. Neuropati peri fer
b. Pseudorematik steroid ipenghenyian steroid mendadak)
c. Nekrosis tulang aseptic
d. Nearalgia pasca infeksi herpes zooster
3. Akibat radiasi
a. Fibrosis pleksus 8ral<hialis
b. Fibrosis pleksus lumbosal<ral
c. Miolopati radiasi
d. Tumor sarCtt perifer akibat radiasi

g. Tidak langsung akibat dari tumor maupun pengobatan

Nyeri yang tidak langsung akibat tumor ataupun pengobatannya terjadi pada J 0%

penderita kanker yang disertai rasa nyeri dan dapat diterangkan melalui

mekanisme keadaan sebagai berikut ;

1. Nyeri otot dan tulang

2. Sakit kepala atau migren yang terjadi akibat ketegangan jaringan otot

3. Artritis
4. Nyeri akibat kelaianan kardiovaskuler
S. Neuropati

f'I'OS I o~cUut.G~v 2015 251


4, Faktor kejiwaan
1. Marah (anger)
Nyeri yang terjadi akibat rasa marah dapat diterangkan melalui keadaan berlkut :
a, Marah pada system birokrasi yang menghambat
b. Marah pada teman yang tidak mau menjenguk
c. Marah pada prosedur diagnostic yang lama, dokter tak ada ditempat,
pengobatan yang dirasakan gagal dan lainnya.

2. (emas (anxiety)
Nyeri yang terjdi akibat rasa cemas dapat diterangkan melalui keadaan-keadaan
berikut:
a, Takut pada rumah sakit, dokter dan perawat
b, Khawatir nasib keluarga

c, Takut sakit dan mati

d. Khawatir masalah financial


e. Takut kehifangan masa depan

3. Oepresi
Nyeri yang terjadi akibat depresi dapat diterangkan mela/ui keadaan-keadaan
berikut (6,7):

TUJUAN
Menge/ola dan mengatasi nyeri /uka i<anker

/NOIKASJ
Nyeri akubat I<anker

KONTRA INDIKASI
Hipersensitif terhadap obat-obat yang diberikan

PROSEOUR TINOAKAN
Terapi farmakologis
a. Golongan analgesik non opiate
1. Asam asetif salisilat 4 X 500-650 mg dosis maksima/ 4000 mgL hari
2. Cholin magnesium trlalisifat 2 x 1000 -1250 mg, dosis maksimal 2-3 91 hari
3. Acetaminophen 500 - 1000 mg tiap 4 -6 jam sekali, dosis maksimal 4000
m9l hari
4. Antiinflamsi non steroid
• Ibuprofen: Oosis 200-400 mg, setiap 4-6jam p.o.
Oosis maksimal : 2400 mg sehari
• I{etoproven: Oosis 25 - 50 mg, setiap 6 - 8 jam p.o.
Oosis maksimal 300 mg sehari

b. G%ngan analgesik opiat


Pemberian opiate oral diulai dengan :
• Kodein dengan dosis 15 mg tiap 4 jam dinaikkan bertahap bila perlu ditambah
ajuvan atau diganti dengan opiate lunak, bila tidak berhasil diberikan

ProS I O/nQ,ty(; c:lcwv(j~""JV 201 S 252


• Morfin oral mulai 10-30 mg, dinaikkan 25 - 50 mg tiap 8 - 12 jam samapi tercapai
ana/gesik yang kuat. Pada usia lanjut dosis aawal 2,5 - 5 mg. dpat diberikan
perrektal bila tidak dapat peroral. Opiat diberikan parenteral (i.m, i. v. S.c )

Cara mengurangi/ menghentikan obat opiate:


Bila pengobatan khusus (operasi, radiasi, kemoterapi dan terpi hormonal) menghilangkan
/ mengurangi nyeri pada penderita yang telah me,rldapat opiate. maka dosis opiate harus
diturunkan. Untuk mencegah terjadinya sindroma lepas obat, obat opiate diturunkan 25%
dari dosis yang terakhir setiap dua hari sekali, diberikan dalam dosis terbagi. Pengurangan
dosis dilakukan sampai dicapai.dosis minimum. pemberian opiate dapat dihentikan.
GeJC'la lepas obat juga dapat terJildl pula pada pemberlan naloxone atau campuran
antagonis-agonis opiate atau agonis parsial. Tidak dianjurkan memberikan meperidin
(pethidinl, sebab metabolit meperidin yaitu normeperidin merangsang susunan saraf
pusat, sehingga dapat timbul a.1. kecemas<1n, tremor, mioklonus dan konvulsi

Tabel: Oosis Ekwiana/gesik

Oplat Parenteral Oral


Morfin 10mg 30 mg_
Kodein 130 mq 200 mg
1_ methadon lOmg 20 mg --- -

OPiat oral dapat berupa :


• Sirup dengan konsentrasi 1 mg / ml atau 5 mg / ml morphine HCL
• Serbuk mortin sulfat 30 mg dan 15 mg
• TClblet morfin sulfat 30 mg dan 15 mg
• TClblet kodein 10 10 mg dan 20 mg
• Tablet oxycodone 5 mg

c. Adjuvant Analgesik
• AntidepresClnt trisiklik missal amitriptilin, imipramin, desipramin. Dosis : 25·150 mg
per h<1ri, terbagi dalam tiga dosis atau satu dosis malam hari
• Antihistamin mis : hydroxyzine, dapat memperbesar efek analgesic opiilte
• Kafein : dapat meningkatkan efek analgesik dari asam asetil salisilat atau opiate
• Steroid: dexamethasone 4-16 mg atau prednisone 20 - 80 mg
Phenithiazine : mis methotrimeprazine, chlorpromazine dan prochlorphereazine
dapat mencegah rasa mual akibat opiate. Methotrimeprazine mempunyai efek
analgesic, kurang menimbulkan obstipasi, kurang mengadakan depresi
pernapasan. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati nyeri kanker p<1da
penderita yang mengalami toleransi terhadap opiate
• Antikonvulsan antara lain phenytoin, carbamazepine. clonazepan, sodium
valproate. Oosis carbamazepin dimulai deng,,," dosis 100 mh sehari. Ditingkatkan
pelan·pelan sampai 400-800 mg, terbagi atas 2-4 dosis sehari. Phenyntoin : 200-500
mg, terbagi atas 2 dosis sehari

Terapi Non Farmakologis


Rehabilitasi medic dapat mencegah nyeri kanker atau pengobatan analgesic pada nyeri
kanker. Dapat digunakan dalam kombinasi dengan obat analgesik. Keterlibatan
rehabilitasi medic seingkali dimulai dini claJam perjalanan penYilkit kilnker,

Pf'DS I O~vda.l.G~2015 253


Macam terapi rehabllitasi medik yang sering digunakan adalah :
• Modalitas {TENS, panas, ding in, hidrotearpiJ
• Fisioterapi
• Terapi okupasional
• Ortesa
• Protesa
• Alat bantujalan
• Biofeedback

Radioterapi
Pengobatan radiasi sangan bermanfaat sebagai analgesic apabila digunakan pada tumor
yang lokal regional. Pada umumnya etek analgesik radoterapi lebih baik jika diberikan
pad a awal nyeri , daripada nyeri yang telah berlanjut menjadi berat. Bifa perJu radioterapi
dapat diberikan sedini mungkin, yaitu pada saat pemeriksaan pertama. Efek analgesik
umumnya terjadi beberapa hari setelah pengobatan dimlai. Indikasl radioterapl adalah
metastasis tulang, penekanan epidural pada sumsum tulang belakang. metastasis ke hati
yang disertai rasa nyeri akibat ragangan kapsul, pendesakan saraf atau pleksus aldbat
pembesaran kelenjar retroperitoneal, sumbatan atau desakan tumor pada organ
beronggan dan metastasis jaringan lunak yang nyeri. Penderita dengan nyeri difus akibat
metastasi tUlang yang luas memerlukan teknik radiasi khusus.

Kemoterapi dan Terapi Hormonal


Digunakan sebagai pengobatan sistemik dan bukan local regional. Etek analgesic dari
tumor bermanfaat pada penderita limfoma Hodgin atau non Hodkin atau non hodkin,
leukemia, kanker payudara, kanker prosta, tumor sel germinal dan kanker paru jenis sel
ked/.

Tindakan Anestesi
Bilamana tindakan Iwnservatif nyeri tetap tidak teratasi, dapat dipikirllan beberapa
tindakan:
Blok saraf
Pemberian opiate secara spinal

Tindakan 8edah
Pada nyeri kanker yang disebabakan oleh tumor dapat dipertimbangkan pembedahan
paliatif dengan tujuan :
I. Menghilangkan tumor
2. Mengurangi volume tumor
3. Menghambat pertumbuhan tumor
4. Meningkatkan efektivitas pengelolaan nyeri cara lain dengan obat maupun bukan
obat

5yarat pembedahan paliatif ;

I. Indikasi harus benar


2. Untung rugi pembedahan paliatif harus dipertimangkan dengan seksama
3. Pembedahan tidak menambah eban penderita
4. Pembedahan dilakukan setelah nyeri tidak dapat diatasi dengan terapi nyeri yang
konserv asti f
5. Bila harapan hidup relative pendek dipilih pembedahan sederhana dan bila
harapan hidup relative panjang didpilih pembedahan yang lebih kompleks

254
m.1 I o~d.o.wG~2015
Psikoterapi dan Psikofarmaka
P<ld<l penderita kanker lanjut. faktor·faktor psikologis sangan mempengaruhi habtnya
nyeri. Putus asa dan perasaan cewmas saat menghadapi maut. meningkatkan beban
penderitaan dan nyeri. Harus diingat bahwa obat tidak dapat menggantikan empati
Contoh-xontoh penggunaan psikofarmaka :
Cerna! : Haloperidol. Diazepam, hipnotik seperti nitrasepam
Delirium : Haloperidol diberikan setiapjam sampai penderoita tenang.
Diazepam dlgunakan blla dlperlukl'ln sedative. Apablla t/dak men%ng di
Berikan klorpromasin
Depresi : Amitriptilin atau derivate sejenis

WEWENANG
Dokter spesialis obstetric dan ginek%gi dan PPDS obstetric dan ginek%gi

UNIT YANG MENANGANI


Departemen obstetrilqJan ginek%gi divisi onk%gi, departemen anestesi

UNIT TERKAIT
Departemen Bedah ur%gi, departemen radi%gi divisi radioterapi, depilrtemen
Rehabio/itasi medic dan depart em en anestesi.

PPVS I O~d<l.vG~2015 255


sa. PELVIC ORGAN PROLAPS
PELVIC ORGAN PROLPAS:

SUMMARY AND RECOMMENDATIONS

.Surgical candidates for pelvic organ prolapse /POP) repair are women with
symptomatic prolapse who decline or fail conservative therapy (eg, vaginal
pessaries). (See 'Candidates for surgical treatment'above.)
• There is no indication for repair of asymptomatic POP as an isolated procedure.
We also suggest NOT performing prolapse repair for most asymptomatic women
who are undergoing other pelvic floor procedures leg, stress urinary Incontinence
[SUI] surgery) (Grade 2Cj, Prolapse repair at the time of other pelvic surgery is a
reasonable option in women with risk factors for developing prolapse progression
(eg, concomitant hysterectomy, premenopausal status, obesity),
.Women who are elderly, unable to tolerate extensive surgery, and do not plan
future vaginal intercourse are candidates for obliterative POP surgery.
(See 'Reconstructive versus obliterative procedures'above,)
.For women undergoing apical prolapse repair, we suggest performing
concomitant hysterectomy rather than uterine preservation (Grade 281, A uterine
sparing procedure performed by a surgeon familiar with the necessary teChniques
is a reasonable alternative for women who strongly prefer to preserve their uterus
and are aware of the potential risk of recurrent prolapse Clnd the uncertainty
regarding obstetric outcomes, (See 'Concomitant hysterectomy' above.)
.For women who are undergoing an abdominal apical suspension procedure who
require repair of anterior and/or posterior vaginal wall prolapse (see 'Abdominal

route' above):
• For women with anterior vaginal wall prolapse, we suggest apical
suspension alone rather than combined with abdominal paravaginal repair

(Grade 2C),
• For most women with posterior vaginal wall prolapse, we suggest
extending the vaginal mesh from the apical suspension down the posterior
vaginal wall to the lower half of the vagina (Grade 2el. When symptoms are
bothersome and/or the prolapse of the posterior wall extends to or beyond
the hymen, we suggest performing a posterior colporrhaphy (Grade 2C).

PPDS I ob!tWvda""G~Z015 ZS6


.For women who are undergoing a transvaginal apical suspension procedure who
require repair of anterior and/or posterior vaginal wall prolapse, we suggest
concomitant anterior and/or posterior colporrhaphy (Grade 2C), (See ~

route' above.)
.POP often coexists. with SUI. Some women with advanced POP remain continent
despite loss of anterior vaginal and bladder/urethral support. These women may
develop symptoms of SUI after surgical correction of the prolapse, [See 'Urinary
incontinence' above.)
-All women planning repair of apical prolapse should have a preoperative
evaluation for SUI with clinical or urodynamic urinary stress testing with and
without reduction of prolapse, However. preoperative prolapse reduction testing
does not accurately predict postoperative stress incontinence (approximately 40
percent of women with negative testing will develop postoperative SUI), This
testing may impact surgical decision making. particularly for women undergoing
transvaginal apical prolapse rE:pair. [See 'Urinary incontinence' above,)
.Women with symptomatic apical POP and no SUI symptoms may have occult SUI
and may benefit from a prophylactic continence procedure at the time of POP
repair, [See 'Urinary incontinence' above and "Pelvic organ prolapse and stress
urinarv incontinence in women: Combined surgical treatment" section on 'POP
with no symptoms of SUI',)
.Use of surgical mesh for transvaginal POP repaIr has potentially higher anatomic
success rates than repair without mesh. but also appears to result in similar
SUbjective success rates and a higher complication rate than traditional vaginal
surgery. (See 'Mesh augmentation' above,)
hrtp:llwww.uptod.ll{..comL

Pf'OS I t')~dru-vG~2015 257


DISFUNGSI SEKSUAL PADA WANITA

1. Oefinisi dan Jenis

Masalah seksual dalam kehidupan rumah tangga seringkali mengalami hambatan atau
gangguan karena salah satu pihak (suami atau is~eriJ atau bahkan keduanya,
mengalami gangguan seksual atau disfungsi seksual.. Disfungsi seksual merupakan
suatu gangguan fungsi seksual yaitu suatu koridisidi mana fungsi seksual dalam tubuh
seseorang sudah mulai melemah. Gangguan ini bisa terjadi secara menyeluruh atau
sebagian saja.

Disfungsi seksual wanita dapat terjadi di semua usia, baik ketika seorang wanita masih
muda, maupun pada usia lanjut karena kondlsi fisik dan mental yang semakin
berkurang.
Jenis disfungsi seksual
Para dokter dan terapis seks biasanya membagi disfungsi seksual pada wanita menjadi
lima kategori, yaitu:
• Penurunan atau gangguan nafsu libido
Ditandai dengan rendahnya gairah sel<sual. Hal ini merupakanjenis yang paling
umum yang dialami oleh para wanita.
• Gangguan rangsangan seksuallArousal Problemsj.
Ada gairah seksual tetapi modalitasnya rendah dan kontinuitas rangsangan tidak
mampu dipertahanl<an selama kegiatan seksual berlangsung.
Gangguan orgasme
Stimulasi dan respons seksual memadai tetap; tidak pernah atau kurang
berakumulasi untuk menghasilkan orgasme
• Dispareunia / Gangguan rasa sakit seksual.
Rasa sakit saat dilakukan perangsangan area erogenil< atau kontak melalui vagina.
Vaginismus

Tidak seluruh masalah seksual yang dialami oleh kaum wanita eoeok dengan kategori

yang disebutkan di atas. Yang paling sering terjadi adalah 3 kategori pertama

disfungsi seksual tersebut.

Disfungsi seksual terberat adalah gangguan libido atau penurunan keinginan

berhubungan seks (hypo sexual desire disorder}. Namun, seorang perempuan masih

bisa melakukan hubungan seksual karena alat kelaminnya menerima seeara pasif. Hal

ini berbeda dengan pria. Jika tidak ada libido. alat kelaminnya tidak bisa berfungsi,

sehingga tidak mung kin melakukan hubungan seksual.

Gangguan libido dapat dik/asifikasikan menjadi dua. Primer dan sekunder. Disebut

gangguan primer karena penyebabnya terjadi sejak awal atau sebelum penderita

mengenal seks. Sebanyak 90 persen gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis.

Berbeda dengan gangguan primer, pada gangguan sekunder, libIdo seorang

perempuan awalnya berjalan normal, la/u tiba-tiba menurun. Penyebabnya mudah

diketahui karena sebelumnya perempuan tersebut normal.

2. Epidemiologi

Jumlah wanita yang mengalami ketidaknyamanan seksual lebih banyak dari pria,
dengan perbandingan 43 % wanita dan 31 % pria. Disfungsi seksual pada wanita
lebih sering terjadi setelah menopause akibat penurunan produksi hormon estrogen

PPDS 1 o~d.uvG~2015 258


dalam tubuh. Diperkirakan separuh dari wan ita menopause menga/ami disfungsi
seksual.
Wanita yang menyatakan puas ketika berhubungan seks dengan pasangannya hanya
25%.

3. Penyebab

Disfungsi seksuill disebilbkiln oleh berbilgai gangguan dan penyakit. Beberapa faktor
yang menyebabkan terJildinya disfungsl seksual pada wanita terkadang saling
berhubungan, sehingga memerlukan beberapa terapi yang dikombinasikan.

Faktor Fisik.
Penyakit fisik yang dapat menyebabkan disfungsi seksual adalah diabetes
mellitus. penyakit jantung, infeksi jamur, anemia, mCllnutrisi, penyakit kelamin,
penyakit otak dan sumsum tulang, tindakan operasi prostat pada pria, tumor
atClu kanker rahim pada wanita, menurunnya hormon (pClda pria maupun
wanital. prosedur pembedahan indung telur. penggunaan narkoba, obat
penenang, alkohol, dan rokok. .

Kondisi fisik lain yang juga dapat menyebabkan masalah seksual yaitu: arthritis,
gangguan sClluran kem/h, gClngguan usus besar, trClumCl dan operasi pelvis,
lelah, sakit kepala, gangguan syaraf sepertl multiple skerosis dan sindromCl rClsa
sakit yang tidal< diobati dengan benar. Beberapa obat-obatan termasuk
antidepresan, obat-obatan untuk tekanan darah tinggijrendah, antihlstamin
dan obat-obatan untuk kemoterapi dapilt menurunkan gairah seksual dan
pencapaian orgas me.

Faktor Psikososial
Penyakit psikis yang menyebabkan disfungsi seksual adalah psikosis,
schizofrenia, neurosis cemas, histerik, obsesif-kompulsif, depresif, fObia,
gangguan kepribadian atau psiko-seksual, serta retardasi mental dan gangguan
intelegensia.
Bagi wanita, faktor psikis yang bisa mempengaruhi gairah seksual, antara lain:
bermasalah dengan pasangan. kesulitan ekonomi, trClumCl (perkosaan, mitos,
dill·

Faktor psikologis yang dapat mengakibatl<an masalah seksual antara lain; rasa
cemas yang tidak teratasi, depresijstres, serta adanya dCln riwayat
penyimpangan seks. Kesulitan dalam memenuhi berbagai milcam kebutuhan
dCln perCln seperti tuntutan pekerjaan, urusan rumah tanggCl. sebClgCli ibu dan
sebagai ClnClk yang harus merawat orang tua yang sudah lanjut usia.

Usia dCln kesehatan pasangCln, perasaan terhadap pClsangan, dan kurang


percaya diri terhadap tubuh sendiri atau terhadap tubuh pasangan juga
merupakan faktor·faktor tambahan yang dapat merupakan kombinasi dari
penyebab masalah seksual. Budaya dan agama juga dapat merupakan faktor
pendukung.

f'PPSIO~.u....G~2015 259
• Faktor Hormonal
Kekurangan estrogen saat menopause dapat mengubah aJat genital dan
respon seksual. Lubrikasi pun menjadi lebih lambat. Faktor ini menlmbulkan
dispilreuniil, yaitu rasa sakit pada waktu berhubungan intim dan pencapaian
orgasme yang lama.

4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya disfungsi seksual tergantung pada faktor penyebabnya.

5. Penatalaksanaan

Seiring dengan mulai meningkatnya kesadaran kaum wanita akan kualitas


hidupnya term as uk kehidupan seksualnya, maka pengobatan disfungsi seksual
secara perlahan·lahan mulai mendapat perhatian dari dunia keseh3tan. Disfungsi
seksual harus diatasi sesegera mungkin, karena dapat menimbulkan masalah yang
lebih besar jika tidak diatasi sejak dini. Pada dasarnya, penatalaksanaan disfungsi
seksual tergantung pada penyebabnya. Impotensia. misalnya, dapat timbul karena
berbagai penyakit tubuh atau penyakit lokal di daerah alat vital pria, seperti
diabetes yang biasanya menyebabkan pria tidak mampu memiliki gairah seksual.
Untuk mengatasinya, penyakit diabetes sebaiknya harus diobati terlebih dahulu.
Sedangkan untuk mengobati frigiditas pada wanita dapat dHakukan pendekatan
dari faktor biologik, pSikologis, dan psikodinamik.

Pada disfungsi seksual primer, kemungkinan untuk sembuh secara sempurna masih
sulit. Kalau kasusnya masih ringan, masih bisa diatasi. Tetapi kalau sudah berat sufit
disembuhkan lagi. Disfungsi seksual sekunder masih blsa disembuhkan, tergantung
penyebabnya. BHa penyebabnya adalah faktor fisik, rata·rata masih bisa diperbaiki,
Dua minggu biasanya sudah normal. BHa penyebabnya faktor psikologis,
tergantung apa penyebabnya. Pendekatan yang dilakukan adalah berbieara
dengan doktera ahli dan pakar seks, meneari penyebabnya dan menerima kondisi
apa adanya. Untuk mengatasinya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi
antarpasangan. Dianjurkan mengikuti I(onseling atau psil<oterapi. Jenis psikoterapi
/terapi tingkah laku) termasuk latihan tuntunan diri, sepertl sentuhan non-seksual
atau pijatan sensual tanpa berhubungan Intim sampai pada peningkatan
kenlkmatan/gairah seksual. Latihan-Iatihan ini dipusatkan pada rangsangan,
bukan pada eoitusnya. Bagi wanita, res pons seksual merupakan masalah yang
kompleks antara pikiran dan tubuh. Masalahnya, banyak perempuan atau
pasangan suami-istri yang tidak mau berkonsultasi karena malu.

Obat-obatan yang mempunyai efek samplng mungkin perlu diganti dengan obat­
obatan yang lain. Perubahan fisik aklbat menopause, seperti vagina yang menjadi
lebih kering dan atrofi, dapat menggunakan terapi hormon atau gel pelumas.
Untuk menguatkan otot vagina ataL! meningkatkan rangsangan seksual, dapat
melakukan latihan Kegel. Usaha lainnya misalkan mencari posisi baru, latihan otot
relaksasi (kontraksi dan relaksasi otot pelvis), atau latihan otot vagina dengan alat
khusus.

Terapi medikamentosa pada disfungsi seksual wanita

Menurunnya kadar hormon pada wanita menopause merupakan salah satu faktor

PPVSIO~~<;~20IS 260
yang penyebab terjadinya disfungsi seksual pada wanita menopause. Berdasarkan
pemikiran tersebut maka dikembangkan terapi sulih hormon estrogen yang
ditujukan pada wanita menopause. Selain dapat mengurangi rasa panas pada
wajah, mencegah osteoporosis dan menurunkan resiko sakit jantung, sulih
estrogen juga dapat meningkatkan sensitivitas klitoris, meningkatkan libido dan
menurunkan rasa sakit yang timbul saat berhubungan seksua I.

Hormon Methyl Testosterone

Hormon Methyl Testosterone sering digunakan sebagai komblnasi bersama


hormon estrogen dalam pengobatan terapi sullh harmon bagi wanita menopause.
Manfaat yang dapat diperoleh dari terapi ini adalah meningkatkan sensitivitas
klitoris, meningkatkan lubrikasi vagina dan meningkatkan rangsangan. Efek
samping yang dapat timbul antara lain : peningkatan bera! badan, pembesaran
klitoris, meningkatnya perturnbuhan rambut pada wajah, dan tingginya kadar
kolesterol dal?m darah (hiperkolesterolemia).

• Sildenafil
Obat ini bel<erja dengcm menurunkan katabolisme cGMP yang merupakan second
messenger yang dimediasi oleh NO dalam proses relaksasi otot polos klitoris dan
vagina. Oapat digunakan secara tunggal atau i<omblnasi dengan kandungan lain
yang bekerJa pada pembuluh darah dan digunakan pada disfungsl seksual yang
terutama karena adanya gangguan pada rangsangan seksual. Keamanan dan
efektifitas dar! obClt ini untuk dlsfungsi pada wanita sampai saat ini masih terus
ditellti secara kllnis.

• L-Arganine
L-Arganine merupakan asam amino yang berfungsi sebagai prekursor
pembentukan NO yang memediasl relaksasi otot polos. Sampai saat ini belum ada
uji klinis dalam penggunaannya bagi wan ita, namun demikian dari uji awal yang
telah dilakukan mcnunjukkan hasil yang cukup menjclnjikan.

• Prostaglandin E 1
Saat ini penggunaan prostaglandin pada pria dengan menggunakannya secara
lokal dalam uretra yang mengalami penyerapcm melalui mul<osa, telah tersedia.
Walaupunn demilikian penggunaannya pada wanita dalam vagina sampal saat ini
masih dalam penelitian. Uji klinis masih perlu dilakukan untuk melihat efektifitas
penggunaan obat ini dalam mengatasi disfungsi seksual pada wanita.

• Phentolamine (Vasomax)

Penggunaan phentolamine dapat menyebabkan relaksasi otot palos dan saat ini
telah tersedia dalam bentuk oral (diminum). Obat ini telah diteJlti sebagai
pengobatan bagi pria yang mengalami disfungsi seksual. Penelltian awal yang
menggunakan obat ini pada wanita menopause menunjukan adanya perubahan
dala";' aliran darah pada vagina dan meningkatkan rangsangan secara subjektif
pada penggunaanya.

• Apomorphine

PPDS I OlnWrVd«n.G~201S 261


Apomorpine merupakan substansi yang menyerupai dopamin yang bekerja
singkat. Hasil penelitian awal pada pria menduga bahwa dopamin terlibat dalam
proses keinginan seksual dan rangsang seksual. Walaupun telah digunakan
sebagai obat yang dapat memfasilitasi ereksi pada pria, namun penggunaan obilt
ini dalam mengatasi gangguan seksual pada wanita belum diujicobakan. Obat ini
dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan substansi vasoaktif lain.

6. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat disfungsi seksual, baik pada wanita maupun pria,
dapat mempengaruhi kehidupan fisik, psikis maupun sosial pasangan tersebut.

PPDS I Ob>tW"cUuvG~2015 262


59. INFEKSI MENULAR SEKSUAL (lMSI

1. Definisi
lnfeksi menular seksual (IMSI adalah infeksi yang disebabkan berbagai jenis
mikroorganisme (virus, bakteri, protozoa, dan jamur) yang menimbulkan gejala
klinlk utamil di silluriln kemi" diln reproduksi (maupun sistemik) diln jiltilu jillur

penularannya melalui hubungan seksual.

Terdapat banyal< penyakit yang termasuk dalam kategori Infeksi Menular Seksual.

Lebih dari 20 mikroorganisme yang dapat ditularkan rnelalui hubungan seksual.

Komplikasi yang terjadi akibat IMS dan penyakit radang pang9ul menimbulkan

dampak kesehatan yang besar. Penularan Hepatitis B dan HIVjAIDS ditularkan

melalui luka pada alat genital dan mung kin juga disebabkan oleh vaginitis dan

servisitis.

Termasuk dalam kelompok IMS antara lain; kondiloma. bakterial vaginosis (BV),

klamidia. herpes, dan GO.

2. Epidemiologi
Tidak ada angka pasti insidensnya. tetapi diduga meningkat sehubungan dengan
perilaku seks bebas dan pemakaian antibiotika yang salah.
Di Indonesia tidak dapat secara langsung terlihat peningkatan penderita IMS
karena laporan yang ada hanya dari pemerintah. sementara klien yang berobat
sendirl atau yang berobat ke dokter swasta tidak diketahui jumlahnya. Pada Maret
2002, di Indonesia terdapat HIV positir 2876 dan AIDS 689. Karena kasus IMS dan
pelayanan KB seringkali tersamarkan. maka penting bagi petugas untuk
menyeleksi ada tldaknya IMS pada klien KB. Pada klien yang diduga memiliki lebih
dari satu pasangan, dilakukan pengobatan IMS dan sekaligus dicari metode yang
tepat untuk pencegahan kehamilan.

3. Gejala klinis
Gejala klinis sangat bervariasi, dari gejala subklinis yang takjelas hingga gejala
klinis nyata. Gejala umum bisa berupa ;
Keputihan
Metrorhagia
Perdarahan pasca sanggama
Disuria
Demam
Mual·muntah
Sampai gejala yang berat berupa gejala penyakit radang panggul (PRP)

4. Diagnosis
Meningkatnya jumlah sel darah putih dari sekret vagina
Pada PRP ditemukan demam, peningkatan C reactive protein, LED dan
leukositosis
Kondi/oma amat mUQilh terlihm

PPDS I Oh>l<trio~G~2015 263


• Sediaan mikrobiologi untuk GO dan biakan sel untuk klamidia, atau
imunologi untuk k/amidia dan herpes
Diagnosis PID dapat dicurigai pada keadaan berikut ini :
• Nyeri perut bawah
• Nyeri adneksa
• Nyeri goyang portio
• Diagnosis pasti dengan laparoskopi

Dibutuhkan cara diagnosis dan pengobatan yang praktis serta efisien untuk
mengatasi masaiah kesehatan reproduksi dan IMS dalam masyarakat.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan IMS memerlukan standarisasi protokol pengobatan dan perlu

pelatihan yang baik.

Penanganan umum IM5 meliputi :

• Peningkatan upaya pencegahan dan konseling IMS terhadap wanita pada


umumnya, wanita hamiJ pada I<hususnya Irisiko tinggi, kontak seksual,
pengenalan dini).
• 50sialisasi risiko IMS terhadap ibu hamiJ dan dan bayi yang dikandungnya,
misalnya:
Perlindungan terhadap risiko penularan pasangan
Strategi penemuan dini melalui penapisan antenatal atau
pemeriksaan rutin
Jaminan I<etersediaan pemeriksaan laboratorik / serologik yang
spesifik
Terapi paling efektif dengan risiko yang paling minimal.

renatalaksanaan spesifik IMS tergantung etiologinya, dapat berupa :

I<onseling

• Meningkatkan higiene vagina


• Antibiotika
• Antivirus

Operasi

TRIKOMONIASIS
.( Berikan metronidazol 3x500 mg oral selama 5 hari
.( I'erhatikan bahwa pada beberapa pasien, obat ini akan menimbulkan
mual/muntah sehingga perlu diberikan dosis ulangan atau ganti pemberian
oral dengan supositoria
.( Warna urin akan menjadi sedikit gelap dan keruh, hal ini disebabkan
ekskresi metabolit melalui urin dan akan segera kembali normal setelah
pengobatan dihentikan.

PPDS I Cb;twi,dAn.<i~201S 264


.( Lakukan konseling terhadap upaya preventif lanjut<ln dan pengob<lt<ln
tuntas.
v' Buatjadwal kunjungan ulang untuk pemantauan dan asuhan antenatal.

KANDIDIASIS VAGINAill
v' Berikan nlstatln atilu ketokonazol 2x200 mg oral selama 5 hari. Bila paslen
tidak ingln pemberian per orill, berikiln melalui tablet vaginalnlstatin atau
klotrimazo! 500 mg dosis tunggal .
./ I'enggunaan ketokonazol dapat menyebabkan mUilljmuntah dan pusing
sehingga apabi/a terjadi muntah setelah obat diminum, merupakan indikasi
untuk memberik,m ter<lpi topikal /vaglnal supositoria)
./ Obati pasangannya dengan ketokonazol 2x200 mg oral selama 5 hari.

I lakukan konseling

v' 8uatJadwai kunjungan ulang.

GONOREA
v' I'ada masa kehamiian, berikan salah satu antibiotlka berikut ini :
Amplsllln 2 9 IV dosis awal. lanjutkan dengan 3x 1 9 oral selama 7
harl
Amplsllln + sulbaktam 2,25 9 oral dosls tung gal
Spektlnomlsln 2 9 1M dosls tung gal
Seftriakson 500 mg 1M dosis tunggal

./ I'adil masa nifas :


Ciprofloxacin 1 9 dosis tung gal
Trimctophrim + sulfametoksazol (160 mg + 800 mg) 5 kaplet dosis
tunggal

./ Oftalmia neonatorum /konjungtlvitis) yarlg disebabkan oleh gonorea


diobati dengan garamisin tetes milia 3x2 tetes dan salah satu antibiotika
berikut in; :
Ampisllin 50 m9lkgBB /M se/ama 7 haTi
Amol<sisilin + asam klavulanat SO mgjkg88 1M selama 7 hari
Seftriakson 50 mgjkgBB 1M dosis tunggal
./ lakukan konseling tentang penggunaan metode barier dalam melakukan
hubungan seksual selama pengobatan. upaya pencegahan lanjutan, risiko
IMS terhadap ibu dan bayi yang dikandungjdilahirkannya
.( Berikan pengobatan pada pasangannya
./ Buatjadwal kunjungan ulang dan pastikan pasien [dan pc1Sangannya) akan
menyelesaikan pengobatan hingga tuntas .
.( Hati·hati. 50% infeksi gonorea tidak disertai duh [sekret) vagina

PPDS I O~"dA.vG~20IS 265


NON GONOKOKAL SERVISITIS

.; Pada umumnya disebabkan trikomonas vaginalis


v' AntMa 70·72% infeksi trikomonas tidak disertai dengan duh Isekretj
pervaginam
.( Antibiotika terpilih adalah eritromisin 4x500mg oral selama 14 hari. Pilihan
lain adalah spektinomisin 2x 1 g 1M selama 5 hari
.( Bcrikan konseling untuk pemantauan dim pcngobatan tuntas .
.; Obati pasangannya dengan antibiotika yang sama
.( Buatjadwal kunjungan ulang.

SIFILIS
.( Treponema pallidum dapat menimbulkan kelainan diln melewati plasenta
.; Pada I<ehamilan kurang dari 16 minggu, sifilis dapat- menyebabkan kematian
janin (sifilis fetalis), pada kehamilan lanjut menyebilbkan kelahiran prematur
atau gangguan pertumbuhan intrauterin ataupun dapat mengakibatkan
caeat berat (pneumonia alba Virchow, sirosis hepatis, splenomegali,
pankreatitis I<ongenital, kelainan kulit, dan osteokondritis)
.( Lesl berupa ulkus sol/tcr, dengan dasar yang bersih, berbatas halus,
berbentul< bulat atau longitudinal dan tanpa nyeri tekan,
.( Terapi:
Benzatln penlsilin 4,8 juta unit 1M setlap minggu hlngga 4 kali
pember/an
Ooksisiklin 200 mg oral dos/s awal, dilanjutkan 2x 100 mg oral hingga
20 hari
Seftriakson 500 mg 1M selama 10 hari

.( Sebelum pemberian terapi pada bayi, setiap bayi dengan dugaan / terbukti
menderita sifilis kongenital, hendaknya dilakul<an pemeriksaan cairan
serebrospinalis dan uji serologik tiap bulan samp;,i negatif, Terapi :
Benzatin penisilin 300.000 IU/kgBB perminggu hingga 4 kali
pemberian
Seftriakson 50 mgjkgBB dosis tunggal per had hingga 10 hari
.( Terapkan prinsip pencegahan infeksl pada pl:rsalinan dan penggunailn
instrumen,
.( Lakukan konseling preventif, pengobatan tuntas dan aSUhiln mandiri.
.,I Pastikan pengobatan lengkap d"n kontrol terjadwal.

.; Pantau lesi kronik atau gejala neurologik yang menyertai.

KONO/LOMA AKUM/NATA

.; Lesi berupa vegetasi soliter atau mu/tipel, permukaan berjonjot tajam


seperti kutil, dapat meliputi daerah yang luas hingga ke orifisium uretra,
mukosa labium mayus dan anus.

P?DS I olnttb-~a.....~~Z015 266


.; Bersihkan /irigasi lokasi lesi dengan larutan antiseptik kemudian lakul<an
ablasi dengan kauter elektrik pada semua les; yang d;temukan (paling aman
bag; ibu hamil). Pilihan terapi loka/lainnya adalah :
Asam trildoro asetat 40·50%
Asam salisilat 20·40% (Iindungi bagian sekitar /esi dengan 'lase/in
agar tidak membakar mukosa yang sehat)
.; Berikan pula asiklovir 206 mg setiap 4 jam
.; Beri antibiotika profilaksis pasca ablasi /ampisilin + sulbaktam 2,25 9 oral
dosls tunggal)
.; Bila timbul lesi yang sangat ekstensif (pasea pengobatan), pertimbangkan
kemungkinan adanya HIV•
.; Obati pula pasangannya dengan terapi yang sama, gunakan metode barier
(kondom) bila melakukan hubungan seksual
.; Lakukan penjadwalan kunjungan ulangan /pemantauan dan terapi).

PPOS I Oln<Wvda.;vG~ZOJ5 267


UlKUS MOLE ISYANKROIDI
.( Yaitu ulkus pada daerah genitalia yang disertai dengan pembengkakan
kelenjar limfe fnguinalis
.; Terapi:
Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 7 hari
Trimetoprim + sulfametoksazol 2 xl 160 + 800).mg oral selama 7 hari
Seftriakson 500 mg 1M dosis tung gal
.;' Konseling upaya preventif lanjutan dan pengobatan tuntas
.;' lakukan kunjungan terjadwal untuk pemantauan dan asuhan antenatal

lIMFOGRANUlOMA INGUINALE

.;' limfogranuloma inguinale adalah pembengkakan kelenjar inguinalis yang


discrtai tanda-tanda peradangan di sekitar lesi dan tidak disertai dengan
ulkus
.;' Terdapat rasa nyeri yang dapat mengganggu mobiJitas pasien
.;' Terapl:
Eritromisin 4x500 mg oral selama 14 hari
Trimetoprim +sulfametoksazol 2 x 1160 + 800) mg oral selama 14 hari
.;' Untuk mengurangl rasa nyerl / Inflamasl Antibiotlka terpilih ad.. lah
erltromisln 4xSOOmg oral sclama 14 harl. Pillhan lain -adalah spektlnomisin
2x 1 9 1M selama 5 had

6. J(omplikasi

A. Pada perempuan
• Radang panggul
• Infertilitas
• /{ehamilan ektopik
• Abortus
• Kanker serviks
• AIDS
• Hepatitis
B.Pada bayl baru lahlr
• Prematuritas

Beral lahir rendah

• Sitilis kongenital

Oftalmia neonatorum

Pneumonia klamidia

• Septikemia
• AIDS

Hepatitis

C. Pada pria

PPDS I ObltUnia.a.v<i~20lS 268


• Epididimitis
, Prostatitis

, Striktur uretra

• Infertilitas
• AIDS
• Hepatitis

INFEKSI SALURAN REPRQOUKSI /lSRI


I. Batasan

ISR dlseb~bkan oleh sebaglan keell mikroorganlsme (bal<terl, virus, dan fungi) yang
dltularkan melalul hubungan seksual. Kebanyakan IMS dan ISR yang juga
mengaklbatkan penyakit slstemik ISR Igonore, sifilis) yang dapat diobati, dan dicegah.
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat menurunkan kemungkinan
terjadinya komplikasi serius, seperti terjadinya infertilitas pada perempuan dan laki·
laki.
2. Epidemiologi

Tiap tahun tcrjadi lebih dari 25 juta I<asus baru.

3. Gejala
Seperti halnya infel<sl menular sel<sual, tergantung lokasl terinfeksinya saluran
reproduksi.

4. Diagnosis
ILihat diagnosis pilda infeksi menular seksual).
Diagnosis IMS di fa$lIitas I<esehatan berdasClrkan pendekatan sindrom dengan
identifiksasi gejilla yang spesifik iltau tanda-tanda adanya IMS serta penilaian
terjadinya risiko tertular. Beberapa klien perlu dirujuk I<e tingkat fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap.

5. Penatalaksanaan

Ida pat dilihat pada penatalaksanaan IMS)

6. Komplikasi
KompJikasi ISR yi'lng tldak diobatl dapat berupa:
~ Kehamllan ektoplk : Perempuan dengan rlwayat Penyaklt Radang Panggul (PRP)
mempunyal rlsiko 7-10 kall lebih banyak untuk mengalami kehamilan el<topik.

-+ Menlngkatnya rlsiko kanker servlks

-+ Nyeri abdomen kronik 15% perempuan dengan riwayat PRP

-+ Infertilitas

20-40%-'ilki-lakl dengan klamidia dan gonore yang tidak dlobati


55·85% pada perempuan dengna PRP yang tidak dinbati
-+ Meningkatnya risiko penularan hepatitis B dan HIV·AIDS
Bayi dapat terinfeksi ketika dilahirkan, yaitu dengan menderita infel<si pada mata,
pneumonia, kerusakan susunan saraf pusat, dan bahkan kem"ti"n akibat ISR dan lMS.

pros r OI$trVdM.G~ 2015 169


60. PENYAKIT RADANG PANGGUL

Bag ian ini membahas diagnosis, perawatan, dan follow-up PID. PID penting karena
memiliki akibatjangka panjang yang serius seperti nyeri pelvic, gangguan kehamilan dan
infertilitas. Keadaan ini merupakan akibat dari post-infection scarring yang biasanya
terkait dengan penyembuhan. Virulensi infeksi dan filktor immune inang Ihausl yang
sama·sama menentukan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Keildilan in; dapat berupa
tubal closure, extensive peritubal adhesions, intratubal adhesions, mucosal dan cilial
damage, yang semuanya ini mengakibatkan kehamilan ectopic dan infertilitas [termasuk
interferensi terhadap transpor ovum dan migrasl sperma/. Pada sebuah penelitian WHO
multlpusat yang besar yang melibatkan 8.000 pasangan di 2S negara, yang diteliti
infertilltasnya, sekitar 32 persen diagnosis merupakan infertilitas faktor tuba/pada wanita.

Insidensl
Insidensi PIO tidak diketahui, karena banyak kasus yang tidak diketahui sampai penelitian
tentang infertilitas ini dilakukan tidak terdap4lt catatan kasus PIO yang dimiliki secara
nasional terlepas dari catat.m terdiagnosis darl semua pengunjung klinik genitourinary
[GUM/IKe 60 return/.

Etiologi
Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachoma tis merupakan organisme paling penting,
meskipun Gardnerella vaginalis, anaerobes dan organisme lain seperti mycoplasmas
biasanya terdapat dalam vagina dapat juga diimplikasikan, Beberapa (aktor lain yang
terkait dengan PID meliputi:
Usia muda r<25 tahun)
Berganti-ganti pasangan seksual
Riwayat masa lalu STI (pada pasien atau pasanganl
Penghentian kehamilan
Pemasangan IUD pada 6 minggu terakhir
Hysterosalpingography
Prosedur fertiJisasi in· vitro
Endometritis postpartum
Bacterial v,7ginosis
Pasangan seks baru rdalam wal(tu 3 bulan sebelumnyal.

Diagnosis
Penyakit inflammatory pelvic dapat bersi'at symptomatic atau asymptomatic. Pada
pasien simtomatis, gejala klinis dan tanda-tanda kekurangan sensltivitas dan spesifitas.
Nilal prediktif diagnosis kllnis sebesar 65·90 persen dibandingkan dengan diagnosis
laparoskopis di pihak yang berpengalaman. Gejala yang menunjukkan PIO meliputi:

Nyeri abdominal bawah


Dyspareunia
Pendarahan vagina tak teriltur
Keluarnya cairan vagina yang tidak normal

Tanda.tanda yang dikaitkan dengan PID biasanya bersifat non spesifik. Pyrexia bisa
muncuJ, tetapi tidak eksklusif. I(elembutan abdominal bawah dan adnexal pada
pemeriksaan bimanual maupun eksit1lsi keNiks I cervical motion tenderness) pada

PPDSlc)~"""'G~v2015 270
pemeriksaan bimanual merupakan indikasi inflamasi akut yang mempengaruhi pelvic
peritoneum. Meskipun demikian. hal ini tidak bersifat spesifik untuk PID. Beberapa kondisi
lain yang harus dipertimbangkan ketika memeriksa nyeri abdominal bawJh pada wanita
muda meliputi;

Kehamilan ectopic
• Appendicitis akut
Endometriosis
Komplikasl klsta ovarium (torsi atau rupture)
Konstipasi
Nyeri fungslonal (nyeri yang tidak diketahui asa/nya)

Penelitian Penyakit Inflamasl Pelvic yang Dicurlgal


Testing untuk gonorrhoea dan chlamydia pada sa/uran genital bawah direkomendiuikan.
karena hasil posltlt mendukung suatu diagnosis. Mesklpun demlklan. munculnya Infeksl
pada tempat Inl tidak mengecuC'likan PIO. Tidak adanya organisme terkultur bisa
disebabkan karena buruknya teknik sampling, penyimpanan yang tidC!k memadai dan
atau pengangkutan swab atau adanya organisme yang tidak dapat dengan mudah
terkultur di laboratorium. seperti mycoplasma. Peningl<atan tingkat sedimentasi
erythrocyte (ESR) atau protein (·reactive ((RP) dapat mendukung diagnosis.
Laparoscopy sangat mendukung diagnosis PID tetapi tidak sec:ara rutin ditentul<an
berdasarkan blaya dim keinvaslvan. Tambahan lagi, laparoscopy I(urang sensltif untuk
mengldentifikasi inflilmasi intratubal ringan atau endometritis. Blopsi Endometrial dan
ultrasound scanning dapat juga dlgunakan ketika terdapat kesulitan diagnosis, tetapl
terdilpat bukti yang tidak memadai untuk mendukung pemakaian rutin pada saat ini.

Pengelolaan
Ada kemungkinan penundaan perawatan akan meningkat/<an risiko berkembangnya
akibat pro Jangka panjang sepertl kehamllan ectopic, nyeri pelvic dan kemandulan.
I{arena Itu, dan kurangnya kriteria diagnosis definitif, disarankan agar dol<ter memlliki
suatu ambang rendah untuk perawatan secara empiris.
Penting pula bahwa wanita tidak dinyatakan dengan diagnosis keliru hanya I<arena
mereka tampak sepe~i masuk da/am kelompok risi/<o tinggi terkena PID. Harus dilakukan
upaya untuk menegaskan diagnosis yang benar terutama pada episode kambuhan nyeri
abdominal bawah. Da/am lingkup gynaecologi penting juga untul< tidak melUpClI(Cln
penelitian dan perClwCltan pada pasangan (pasangan·pasangan) seks. untui< mencegah
infeksi ulang.

Tlndakan Umum
DlsClrankan untuk IstirCthCtt pCtda penyaklt yang parah Iterutam" menjadl paSien rawat
inap untuk pengClmCltan pemeriksaan bahwa terjadi resolusi gejala maupun tanda­
tanda) (11).
Tes kehamilan hendaknya dilakukan [IIJ.
Disarankan analgesia yang tepat [IIJ.
Terapi Parenteral sebagai pasien rawat inap disarankan bagi mereka yang mengalami
penyakit parah flf].
Pasien hendaknya menghindari hubungan seks sampai pasien dan pasangan·
pasangannya benar·benar terawat dan kontak seksnya terlacak [IIJ.

1'1'D5 I ObmtrvM..l,G~2OlS 271


Penjelasan lengkap hendaknya diberikan kepada pasien tentang masalah PID jangka
pendek danjangka panjang klien beserta pasangannya hendaknya dibed selebaran untuk
menje/askan dim untuk mendukung penje/asan lisan.
Semua pasien hendaknya ditawari pemeriksaan STi /engkap dan testing HIV pada
beberapa titik di dalam manajemen. [II] Hubungan baik dengan klinik GUM setempat
merupakan hal yang perlu.

Perawatan Antibiotik
Perlu antibiotik spektrum luas yang akan mencakup gonorrhoea dan chlamydia. Kurang
bukti tentang penggunaan antib/otik maupun pencegahan komplikasi jangka pimjang
dan sediklt data tentang bentuk perawatan oral daripada bentuk perawatan parenteral.
Ada beberapa faklor penting yang dipertimbangkan I<etika memiliki suatu bentuk
perawatan:
• Sensitivitas antimil<roba (terutama gonorrhoea),
• Epidemi%gi infeksi /aka/ (untuk mengetahui tempat adanya prevalensi tinggi untuk
gonorrhoea),
• blaya,
• pREFERENSI pasien dan f,emungkinan kepatuhan,
• keparahan penyakit

Ketika mempertlmbangkan pcmllihan perawatan pasien rawat inap, ketidakpastian


tentang diagnosis maupun keparahan penyaklt blasanya cukup memadal untuk
mengldentlflkasl mereka yang memerlukan observasl pada pasien. Beberapa kasus lain dl
mana pengawasan pasien rawat Inap mellputl wanita yang gagal merespons terapl rawat
jalan secara oral, mereka yimg dicurlgal mengalaml tubo·ovaria'7 massa. mereka yang
tidak mampu mentolerans; menoleransl terapl oral. I(edua kelompok mungkln juga
dianggap: mereka yang diketahul mengalaml masa/ah immunodeficiency (di mana lebih
banyak sltuasl penyal<it yang lebih parah dapat berkembang dengan cepatl dan mereka
yang tengah hamil- PIO dapat terjadi sampai sekitar 12 minggu I<ehamilan.

Bentuk·bentuk Perawatan yang direkomendasikan


Bentuk perawatan berikut ini berdasarkan bukti. Terapi Intravena hendalmya dilanjutkan
sampal 24 jam setelah perbaikan keadaan klinis dan kemudian bentuk perawatan pasien
rawatjalan secara oral [lbJ.

BENTUKPERAWATAN PASIEN RAWAT JALAN


• Or~1 ofloxacin 400 mg dua kali sehari ditambah metronidazole Qr:ill 500 mg dua I(ali
sehari selama 14 hari.
• Intramuscular /1:m.J ceftriaxone 250 mg dosls tunggal atau i.m.. cefoxitin 2 9 dosis
tunggal dengan probenecid oral I 9 yang disusul dengan doxycycline oral 100 mg per
hari ditambah metronidazole 400 mg dua kali sehari selama 14 hari.

BENTUK PERAWATAN RAWAT INAP


• Intravena Ii. v.) cefoxitin 2 9 empat kali sehari /atau i.v. cefotetan 29 dua kali seharil
ditambllh i.v. doxycycline 100 mg dua kall sehari (oral doxycycline dapat digunakan
jika dito/eransi) disusul dengan doxycycline oral 100 mg dua kali sehari ditambah
metronidazole oral 400 mg dua kali seharl se/ama 14 har!. Iltau
• i. v. clindamycin 900 mg tiga kali sehad ditambah Lv. gentamycin /2 mg,lkg dosis muat
yang disusul dengan 1.5 mgjkg tiga kali sehari - dosis tunggal harian dapat

272
W1)( r I1J""'1YuJ.a.",G~,v2015
disubstitusi) diikuti dengan clindamycin oral 450 mg empat kali sehari atau
doxycycline oral 100 mg dua kali sehari selama 14 hari. ditambah metronidazole oral
400mg dua kali sehari selama 14 hari.

Apabi/a bentuk pengobatan dl atas tidak tersedia. terapi 14 hi1ri untuk mencakup N.
gonorrhoeae (quin%nes, cephalosporins, penicillin - dengan mengingat kepekaan
seCilril lokal), C. trachomatis /tetracyc/ines. macro/ides) dan bakteria anaerobic
(metronidazole) hendilknya digunakan.

Situasi Penting Lainnya


Wanita dengan HIV mungkin mengalami penyakit yang lebih parah sehingga terapi
tersebut mungkin lebih disukai.
Wanlta hamil hendaknya diberi terapi i.v. I:arena PIO diasosiasikan dengi'ln
tingginya morbiditas maternal maupun morbiditas fetal. Tidak satupun bentul< perawatan
di atas yang terbukti aman dalam kelompok Ini. Tidak terdapat cukup buktl pada wanita
hamil untuk menyatetkan satu kelompol< perawatan tertentu terhadap kelompok
perawatan yang lain selama organisme yang tepat tercakup selama 14 hari perawatan
dan hal ini bersifat parenteraljika rnungkin.
Sindroma Fitz-Hugh-Curtis me/iputi nyeri kuadran atClS kanan yang dikaitkiln dengan
perihepatitis, yilng terjildi sifmpai mencapai 10-20 persen wan ita dengan PIO dan
mungkin terjildi 9 ejil Iii yang lebih je/ils. Tidilk terdapat cukup bukti untuk
merekomendasikan adhesiolysis lapifroscopic padil situasi ini.
Pengelolilan pilsilngan hendilknya dengan menggunakiln testing dan perawatan.
ideil/nYil di kllnik GUM. Perawatiln emplrls hendaknya dlJakukan jika testIng tidak dapat
dilakukan. Oisarankan (pencarian pihak-pihak yang diajak berhubungan sel<s) kontrak
testing semua pasangan pada 6 bulan sebelumnya.

Follow-up
Semua pasien hendaknya di-follow-up tiga hari untul< melilkukan pemerii<saan
peningkiltiln milupun pengecua/ian perlunya perawatan parenterill atau surgicifl. Kajian
lebih lanjut pada masa 4 Minggu dlrekomendets;kan untul< memeriksif resolus; geja/a
milupun untul< membahas masalah Jangka panjang. Masa inl merupal<iln waktu yang
ideal untuk melakukan check up dengan memberi tahu pasien dan melakukan perawatan
dan pemberitahuiln pada pasangan.

REFERENSI
I. Mann M C.ln'oction and sexual h~alrh. In Luesley OM. Baker PN. er.1: Obstetrics and Gynaecology. An evidence­
lor MJ1COG, 2004, Arnold Publisher, london.
bclsed text

PPDS I Olntl:trv""""G~ZOlS 273

Anda mungkin juga menyukai