PEDOMAN DIAGNOSIS
DAN
TERAPI
JANUARI
2015
Buku ini disusun untuk melengkapi persyaratan PPOS I yaitu adanya buku Pedoman
dan OiC1gnosis dan TerC1pi. Sumber dari penyusunan buku ini ada/ah:
Obstetri Ginekologi
48.INFERTILITAS 191
1. ABORTUS
Definisi
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pilda atau
sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu
untu:~ hid up di luar kandl,mgan.
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi luar
(bua:ar.) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Terminologi umum untuk masalah ini
ada Ian keguguran atau miscarriage.
Abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan
untu~ mengakhiri proses kehamilan. Terminologi untuk keadaan ini adalah penggugu
ran, aborsi atau abortus provokatus.
Gejala klinik
• Perdarahan bercal~ hingga derajat sedang pada kehamilan muda
• Perdarahan masif atau hebat pad a I<ehamilan muda
Penanganan umum
Lakul~an penilaian awal untul~ segera menentukan I<ondisi pasien (gawat darurat,
komplikasi berat atau masih cukup stabil)
.• Pada kondisi gawat darurat, segera upayal~an stabilisasi pasien sebelum melai<ul~an
PPDSIOil>tW"~G~2015
Tabel 1.1. Diagnosis dan penatalaksanaan perdarahan pada kehamilan
muda
I
Hasil konsepsi
f'PDS 1 Oh>t>troM.."G~v2015
Terbuka Lunak Mualjmuntah I Abortus Evakuasi
r dan
-Iebih
Kram perut
bawah
mola Taralak5ana
Mola
besar Si~~roma I'
I
dari m/rlp
usia preeklampsia I
I ke luarl
I Ijaringan I
seperti anggur
i -----
Jenis abortus
Abortu~- spontan
• Abortus imminens
Terjadi perdarahan bereak yang menunjukkan aneaman terhadap kelangsungan suatu
kehamilan. Dalam I(ondisi seperti ini. I<ehami/an masih mungl<in berlanjut atau diper
tahanl(an.
• Abortus insipicns
Perdarahan ringiln hingga sedang pada I(ehaml/an muda di mana hasil I(onsepsi masih
berada dalam I<avum uteri. I<ondisi ini menunjukl<an proses ilbortus sedang
berlangsung dan al(an bcrlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit.
• Abortus inkomplit
Perdarahan pada kehamiJan muda dimana sebagian dari hasi/ konsepsi telah ke Juar
dari I(avum uteri meJalui kanalis servil<alis.
• Abortus komplit
Perdarahan pada I<ehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah dil<eluarkan dari
I<avum uteri.
Abortus infeksiosa.
Abortus infellSiosa adalah abortus yang disertai I(omplikasi inleksi. Ad,mya penyebaran
kuman atau toksin ke dalam sirkulasi dan I<avum peritoneum dapat menimbulkan
septikemia, sepsis atau peritonitis.
PPOS I Ob,twvAAn,G~2015
hayakan keselamatanjiwa pasien.
Penanganan
Penilaian awal
Penanganan spesifik
Abortus imminens
• Tidal< diperlukcln pengobatan medik yang khusus atau tirah baring secara total
• Anjurk~n untul< tidak melakul<an al<ti(itas (isik secara berlebihan atau melakukan
hUbungan seksual
• Bila perdarahan:
Berhenti: lakukan asuhan antenatal terjadual dan penilaian ulang bila terjadi per
darahcm lagi
TeTUs bcrlangsung: nilai kondisi janin IUji I<ehamilan/USG), Lalwkan konfirmasi
kemungkin<ln ildanya penyebab lain Ihamil ektopik atau mala)
Pada fasilitas kesehatan dengan sarana terbatas, pemantauan hanya dilakukan
melalui gejala klinik dan hasil pemeriksaan ginekologik
Abortus insipiens
• Lakukan prosedur evakuasi hasil konsepsi
Bi/a usia gestasi ~ 16 minggu, evakuasi dilakukan dengan peralatan Aspirasi Vakum
ManualIAVM) setelah bagian-bagianjanin dikeluarkan
Bila usia gestasi ::: .16 minggu, evakuasi dilakukan dengan prosedur Oilatasi dan
Kuretase IO&K).
• Bila prosedur evakuasi tidak dapat segera dilaksanakan atau usia gestasi lebih besar
dari 16 minggu, lakukan tindakan pendahuluan dengan:
P1'D5 I OW;w,dili'G~~2015
Infus Oksitosin 20 unit dalam 500 ml NS ettetU RL muleti de:1gan 8 tetes/menit yang
dapat dinaikkan hingga 40 tetes/menit, sesuai dengan l<endisi kontraksi uterus
hingget terjadi pengeruaran hasil konsepsi
Ergometrin 0,2 mg 1M yang diulangi 15 menit kemudian
- Misoprostol 400 mg per oral dan apabila masih diperlukan, dapat diulangi dengan
dosis yang sama setelah 4 jam dari dosis etWetl.
• HasH konsepsi yang tersiset dalam kavum uteri dapat dikeluarkan dengan AVM atau
DOoK (hati-hetti risiko perforasi)
Abortus inkomplit
• Tentukan besar uterus (tetksir usia gestasi), kenali dan atasi setiap komplikasi (per
darahan hebat, syok, infeksijsepsis)
• Hasil konsepsi yang terperangkap pada serviks yang disertai perdarahan hingga ukuran
sedang, dapat dikeluarkan secara digital atetu cunam ovum. Seteleth itu evaluasi
perdarethan:
aila perdetrahan berhenti, bed ergometrin 0,2 mg 1M atetu misoprostol 400 mg per
oretl
8ila perdetrahan terus berlangsung, evakuetsi sisa hasil I<onsepsi dengan AVM atau
D&K (pilihan tergantung dari usia gestasi, pembul<aan serviks dan keberadetan
bagian-bagianj,min)
• Bila tal< ada tanda-tandet infeksi, beri antibiotika profilaksis (ampisilin 500 mg oral) atau
doksisiklin 100 mg)
• 8ilet terjadi infe/<si. beri ampisilin 1 9 dan metronidazo/ 500 mg setiap 8ji?,m
• 8i1a terjadi perdarahan hebat dan usia gestasi di bawah 16 minggu. segera /akukan
evakuasi dengan AVM
• Bila pasien tampak anemik, berikan sulfas ferosus 600 mg per hari selama 2 minggu
(anemia sedang) at3u transfusi darah (anemia berat),
Pada beberapa kasus, abortus inkomplit erat kaitannya dengan abortus tidak aman. oleh
sebab itu, perhatikan hal-hal berikut ini:
• Pastikan tidak ada komplikasi berat seperti sepsis. perforasi uterus atau cedera intra
abdomen (mualjmuntah. nyeri punggung. demam. perut I<embung. nyeri perut bawah.
dinding perut tegang. nyeri ulang lepas)
• Bersihl<an ramuan tradisional.jamu, bahan kaustik, I:ayu atau benda-benda lainnya dari
regio genitalia
• Berikan boster tetanus toksoid 0,5 ml bila tampetk luka kotor pada dinding vagina atau
kanalis servisis dan pasien pernah diimunisasi.
• Bila riwayat pemberian imunisasi tidakjelas. berikan serum anti tetanus (ATS) 1500 Unit
1M diikuti pengan pemberian tetanus toksoid 0.5 ml setelah 4 minggu
• Konseling untuk kontraseps; pascakeguguran dan pemilntiluiln lilnjut
I Apabila kondisi pasien baik, cukup diberi tablet Ergometrin 3x I tablet/hari untuk 3
hari.
I Apabila pasien mengalami anemia sedang, berikan tablet Sulfas Ferosus 600 mg/hari
selama 2 miriggu disertai dengan anjuran mengkonsumsi makanan bergizi (susu,
sayuran segar, ikitn, daging, telur). Untuk anemia berat, berikan transfusi darah.
I ApabiJa tidak terdapat tanda-tanda infeksi tidak perlu diberi antibiotika, atau apabila
khawatir akan infeksi dapat diberi profilaksis.
Abortus infeksiosa
I Kasus ini berisiko tingg; untul< terjadi sepsis, apabila fasi/itas kesebatan setempat tidak
mempunyai fasilitas yang memadai, rujuk pasien ke rumah sakit.
• Sebelum merujuk pasien lakukan restorasi cairan yang hilang dengan NS atau RL
melalui infus dan berikan antibiotika (misall1ya: ampisilin 1 g dan metronidazol 500 mg).
I Jika ada riwayat abortus tidak aman, beri ATS dan TT.
I rada fasilitas kesehatan yang lengkap, dengan perlindungan antibiotika berspektrum
luas dan upaya stabilisasi hingga kondisl pasien memadai, dapat dilakukan pengo
songan uterus sesegera mungl<in (Iakukan secara hati-hati I<arena tingginya kejadian
perforasi pada kondisi ini).
Tabel 1.2. Kombinasi antibiotil<a untuk abortus Infeksiosa
PPDS I OIntW"do.¥vG~2015
Missed abortion
• P/asenta dapat me/ekat sangat erat di dinding rahim, sehingga prosedur eVilkuasi
(kuretasej akan lebih sulit dan risiko perforasi lebih tinggi.
• Pada umumnya kana/is servisis dalam keadaan tertutup sehingga perlu tindakan di/atasi
dengan batang laminaria selama 12 jam.
• Tingginya kejadian komp/ikasi hipofibrinogenemia yang ber/anJut dengan gangguan
pembei-uan darah.
KONTRASEPSI PASCAKEGUGURAN
Metode Waktu aplikasi Keterangan
teratur
jangka panjang :
memuaskan insersi
i menghentikan infertilitas
Pl'DS I o~".u..vG~ZOJ5
2. KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
Definisi
Kehamilan ektopik ialah kehamilan di mana setelah fertilisasi; implantasi terjadi di luar
endometrium kavum uteri. Hampir 90% kehamilan ektopik terjadi di tuba uterina.
Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptura apabila massa kehamilan
berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi (misalnya: tuba) dan peristiwa ini
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.
GejaJa klinik
• Perdarahan pada kehamilan muda disertai syok dan anemia yang tidak sebanding
deng~njumJah perd~rahan yang keJuar
• Upaya diagnosis sangat tergantung dari atau sudah terganggunya kehamilan ektopik
~tabil C. 5Nllal
1stam k8k~t:~n
d kiln Ie
A
hasH se,Ial nOV.,kUla"
9 8 1a1a KEf emalokt"
akWk,on"
------c
,~~~a~ndISI khrl!k
h'::G . da~nuUrasonoQta
h&malokrll ll
"
__~ Tanda·landa
ma;"n progrll51'
',,-
.. I I
T •
T
G.jal••gejal.
:::'7:~,k.:.m".n
• "
" ~~~~~~::~,u;';,"·
:':b'",••nod'd.·
dar." me,,'u a anan
,.nd••••
btt.urllng
~
"IU tetbuldl " "'.m.laktll me"u
IClany.. kahamitan ". 'un
~----
11'111' LlI.rin
7~"~'''' '
'\
~
Syok OiSt8I'1S!
" Abdom'n"
Ncgnlil ~
P osild
Singkirkan:
ab<lr1vs imminens.
ahor1us inkamplil. 1 :
~
L~"ARoToMr
E. i
olbor1US komi"i!. LAPAAOSKOPI
AlolU lIel'l... m(11'In
I. J
heterotopik
SALPINGOSTOMI
atau
SALPINGEKTOMI
P1'D5 I Ob,tm,,~G~2015
• Sete/ah episode mirip geja/a abortus pada umumnya, terjadi gangguan mendadak yang
diikuti memburuknya kondisi pasien secarCl cepat
Penanganan umum
• Ingat: Kehamilan muda yang disertai geja/a-gejala yang tidak umum pada daerah
abdomen, hendal<nya dipikirl<an I<ehamilan ektopik sebagai salah satu diagnosis
banding,
• Upayakan untuk dapat menegakkan diagnosis karena geja/a hamil ektopik sangat
variatif berkaitan dengan tahapan perkembangan penyakit.
• Kehami/an ektopik Ibe/um atau sudah terganggu) memerlukan penanganan segera di
fasilitas kesehatan yang mempunyai sarana lengkap,
• Perdarahan yang terjadi dapat mencapai jumlah yang sangat banyak sehingga diper
lukan penyediaan darah pengganti.
• Jenis tindakan pada tempat implantClsi (tuba, oVClrium, ligamentum) tergantung dari
upaya penye/amatanjiwa dan konseniasi reproduksi
Penilaian klinik
Pada I<eadaan ini, juga ditemui gejala-gejala kehamilan muda atau abortus imminens
Iterlambat haid, mual dan muntah, pembesaran payudara, hiperpigmentasi areola dan
garis tengah perut, peningkatan rasa ingin berl<emih, porsio livide, pelunal<an serviks.
Tanda-tanda tidak umum dari hasil pemeriksaan bimanual pada tahapan ini adalah:
• Adanya massa lunak di adneksa (hati-hati saat melakukan pemeriksaan karena dapat
terjadi ruptur atau salah duga dengan ovarium atau kista kecil)
• Nyeri goyang porsio
PPDS I O~da.vG~2015
dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik yang terganggu [KET).
Diagnosis banding
• Abortus imminens
• Penyakit radang panggul (akut atau kronik).
• Torsi kista ovarii
Penanganan
• Setelah diagnosis ditegakkan, segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat
darurat
• Ketersediaan darah pengganti bukan menjadi syarat untuk melafukan tindakan ope
ratif karena sumber perdarahan harus segera dihentikan.
• Upaya stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh dengan larutan
kristaloid NS atau RL (500 ml dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2jam perlama
(termasuk selama tindakan berlangsung)
• Blla darah pengganti belum tersedia, berikan autotranslusion berikut ini:
- Pastikan darah yang dihisap dad rongga abdomen telah melalui alat pengisap dan
wadah penampung yang steril
- Saring darah yang tertampung dengan kain steril dan masukkan ke dalam kantung
darah (blood bag}. Apabila kantung darah tidak tersedia, masul<kan dalam botol
bekas cairan infus Iyang baru terpakai dan bersih) dengan diberikan larutan sodium
sitrat 10 ml untuk setiap 90 ml darah
- Transfusii<an darah melalui slang transfusi yang mempunyai saringan pada bag ian
tabung tetesan.
• Tindakan pada tuba dapat berupa :
- Parsial salpingektomi yaitu melal<ukan eksisi bagian tuba yang mengandung hasil
konsepsi
- Salpingostomi (hanya dilakukan sebagai upaya konservasi di mana tuba tersebut
merupakan salah satu yang masih ada) yaltu mengeluarkan hasi! konsepsi pada satu
segmen tuba kemudian diikuti dengan reparasi bagian tersebut. Risil<o tindakan ini
adalah kontrol perdarahan yang kurang sempurna atau rekurensi Ihamil ektopik
ulanganj.
• Mengingat kehamilan el<topik berkaitan dengan gangguan fungsi transportasi tuba
yang disebabkan oleh proses infeksi maka sebaiknya pasien diberi antibiotika kom
binasi atau tunggal dengan spel<trum yang luas lIihat label antibiotika kombinasi dan
tunggal pada abortus septikj
• Untuk kendali nyeri pascatindakan dapat diberikan:
- Ketoprofen 100 mg supositoria
- Tramadol 200 mg IV
- Pethidin 50 mg IV (siapkan antidotum terhadap reaksi hipersensitivitasj.
• Atasi anemia dengan tablet besi (SF) 600 mg per hari
• Konseling pascatindakan
PPVS I olmur"d.uvG~v2015 10
- Kelanjutan fungsi reproduksi
- nisiko hamil ektopil< ulangan
- Kontrasepsi yang sesuai
- Asuhan manai,i selama di rumah
- Jadual Iwnjungan ulang
WDS I O/nWY(,d.uvG~2015 II
3. HIPEREMESIS GRAVIDARUM
Management of affected women depends upon the impact of her symptoms on her health and
quality of life, and the safety of maternal treatment for the fetus. Treatment ilpproaches
include dietary/lifestylechanges. oral or rectal mediciltion. and hospitalization for parenteral f:uids
and therapies in women who fail to respond to outpatient milnagement and continue to lose
weight [l]. Enteral or parenteral nutrition may be required.
The treatment of nausea and vomiting of pregnancy will be reviewed here. The clinical features
and evaluation of this disorder are discussed separately. (See "Clinical features and
evaluation of nausea and vomiting of pregnancy".)
GOAL OF TREATMENT - The treatment goals in patients with nausea and vomiting of pregnancy
are to:
Diet - Meals and snacks should be eaten slowly and in small amounts every one to two hours to
avoid a fuJI stomach Ill. Women with nausea should eat before. or as soon as. they feel hungry to
avoid an empty stomach. which can aggravate nausea lJJ. A snack before getting out of bed in the
morning can be helpful.
Clinicians commonly recommend ingestion of frequent small carbohydrate meals. such as soda
crackers or dry toast. based primarily on historical anecdotal reports 111. Although scientific data on
the effect of dietary components on nausea are sparse. there is some evidence that protein·
predominant meals/snacks produce quantifiable decreases in nausea f2J.
Woman should figure out what foods they tolerate best and try to eat those foods. Dietary
manipuliltions thilt help some women include eliminating coffee and spicy. odorous. high fat.
acidic. ilnd very sweet foods. and substituting snacks/meals that are protein dominant. salty. low
fat. bland, and/or dry (eg. nuts, pretzels. crackers. Cereal. toast) fUQJ.
Fluids are better tolerated if cold. c1eilr. and carbonated or sour (eg. ginger ale. lemonade.
popsicles), and if taken in small amounts between meals [Z1. liquids can be taken in small amounts
with a straw. Small volumes of electrolyte-replacement sports drinks replace both fluids and
electrolytes. Aromatic therapies involving lemon (lemonade). mint ftea). or orange have also been
described as useful. Fluids should be consumed at leils! 30 minutes before or after solid food to
minimize the effect of a full stomach 1.fJ.
f'l'DS I O~dAn.G~2015 12
Patients whose symptoms are related to delayed gastric emptying should improve with a diet
comprised of liquids and low fat solids since these foods are more readily emptied by the stomach;
however. it is not known to what degree gastric emptying and dysfunction account for symptoms
in women with nausea and vomiting of pregnancy.
Drinking peppermint tea or sucking peppermint candies can reduce postprandial nausea [ill.
Noripharmacologic interventions
Supplements containing iron should be ilvoided until symptoms resolve, as iron causes gilstriC
irritation and can provoke nausea and vomiting rllJ. Taking prenatal vitamins before bed with a
snack, instead of in the morning or on an empty stomaCh, may also be helpful r.lJ.J.
Hypnosis - Hypnosis has been reported to be helpful in some patients [ll]. Psychotherapy can
also be a useful adjunctive therapy. particularly if psychological sources of anxiety are identified
and can be ameliorated [22.23J.
Pharmacologic treatment - Historically, pregnant women have been excluded from most clinical
drug trials. Thus, there are limited data from pregnant women to support the safety and efficacy of
agents used to treat nausea and vomiting. A number of reports have demonstrated that antiemetic
drug therapy is more effective than placebo and does not increase the incidence of congenital
anomalies [£1]. However,.there is little evidence from well-designed comparative trials upon which
to base a treatment plan for women with nausea and vomiting of pregnancy.
PPDS I O~vd.:o..vG~201S 13
whether her nausea and vomiting are improving. If her symptoms persist. then we add another
drug to the existing regimen; however. if she is experiencing side effects, then we substitute
another drug in its place,
These patients require frequent ilssessment of their medical status and response to therapy;
women with mild to moderate nausea and vomiting of pregnancy .He evaluated daily. whereas
those with severe disease are ev~luated from hour to hour.
Ginger - In a 2014 systematic review and meta-analysis of randomized trials. ginger improved
nausea compared with placebo, but did not significantly decrease the episodes of emesis [llJ. A
common dose is powdered ginger 1 to 1.5 grams orally divided over 24 hours,
We suggest use of ginger containing foods reg. ginger lollipops. ginger tea) or ginger supplements
leg. 250 mg capSules orally four times a day) for mild nausea and vomiting, Standard
pharmacologic-grade ginger prepMations are not readily avaifable r~; we do not prescribe
powdered ginger,
Other - Most CAM approaches have not been studied rigorously for efficacy or safety. and should
be avoided for this reason. As an example. in 2009. the United States Food and Drug
Administration (FDA) notified healthcare professionals and pregnant or breastfeeding women to
avoid consuming Nzu. a traditional African remedy for morning sickness. because of potential
health risks from high levels of lead and arsenic rz.2J. Nzu may be sold under such names as
Calabash clay. Calabar stone. Mabele. Argile. or La Craie.
Systematic reviews of randomized and/or controlled trials have shown that pyridoxine (vitamin 86)
improves mild to moderate nausea. but does not significantly reduce vomiting [31 ,321. Thus. it is
most useful for women with mild disease rather than hyperemesis. The mechanism for the
therapeutic effect of pyridoxine in women with nausea is unknown, Hypotheses to explain the
beneficial effects of pyridoxine include prevention/treatment of vitamin 86 deficiency. intrinsic
antinausea properties. and/or synergy with the antinausea properties of antihistamines [ll/.
Although vitamin 86 levelS decrease as gestation advances. there is no proven correlation between
maternal vitamin 86 levels and incidence or severity of nausea r~,
As a single agent. the initial dose of pyridoxine is 25 mg orally every six to eight hours; the
maximum dose suggested for pregnant women is 200 mg/day. but cumulative doses up to
500 mg/day appear to be safe [35), Pyridoxine has a good safety profile with minimal side effect<
and is easy to obtain; therefore. it is d reasonable first·line treatment for nausea and vomiting of
pregnancy. either alone or In combination with doxylamine succinate. Where available. WI!!
suggest pyridoxine-doxylamine succinate combination therapy for Initial pharmacologic treatment
of nausea of pregnancy rsee 'Doxylamine succinate and pyridoxine' belOW),
Pf'DS I Ob>tuYi<cW..G~2015 14
Anlihi~tilmines (HI antagonists) - Only a few antihistamines have been studied for the treatment
of nausea and vomiting of pregnancy. The most r.ommonly used antihistamine is doxylamine in
combination with pyridoxine. Other antihistamines that have been used independently to treat
nausea and vomiting of pregnancy include meclizine. dimenhydrinate.
and diphenhydramine. There are no data on use ot the scopolamine patch for nausea and
vomiting of pregnancy.
The efficacy of ,;ntihistamines w"s illustrated in an analysis of pooled data from controlled trials
that found use of these agents significantly reduced pregnancy-related nausea and vomiting [RIl
0.34,95% CI 0.27-0.431: however. these studies used a variety of antihistamines and measured
different outcomes [£1].
The safety of antihistamines [specifically H I-receptor blockersl was affirmed in a meta-analysis that
examined the association between antihistamine use and major malformiltions [~. This review of
24 controlled studies, including over 200,000 first trimester exposures, found that H '-receptor
blockers appeared to have a protective effect on risk of malformations [OR 0.16. 95% CI 0.60-0.941.
Doxylamine succinate and pyrIdoxine - As discussed above, pyridoxine ,vitamin S61 improves mild
to moderate nausea, but does not significantly reduce vomiting [,l1£I. ISee 'Pyridoxine
(vitamin 861' above.1
Initially. two delayed release tablets [a total of doxylamine 20 mg and pyridoxine 20 mgl arc
taken at bedtime. The dose may be increased to four tablets per day as needed for more severe
nausea lone tablet in the morning. one tablet in the afternoon, two tablets at bedtime).
PPDS I O~vdt>...G~2015
15
In the United States, doxylamine is available in some over·the-counter sleeping pills {eg, Unisom
Sleep Tabs) and as a prescription antihistamine chewable tablet (Aldel( AN). One-hal( of the 2S mg
over-the-counter tablet or two chewilble S mg t..blets ciln be used off·/abel as an antiemetic;
pyridoxine 25 mg three to four times per day should be prescribed with it. The 10 mg dose of
pyridoxine is nor commercially avai/able in the United States.
SECONDARY APPROACH
Women without dehydration - Additional oral medications can be initiated in women who can
tolerate them. Non·oral routes of administration are useful for other women (algorithm I I.
First-line therapy
Meclizlne - Meclizine 25 mg can be taken orally every four to six hours, ilS nceded. Meclizine
has caused cleft palate in rats, but at exposures far higher than those used therapeutically. Human
data of an association between fadill clefts and meclizine have been mixed, but three large studies
did not show an incrcaled risk of malformations [46-48J.
Second-line therapy
Dopamine antagonists - Based on their safety profile, we consider these drugs second·line agents
for secondary treatment of nausea and vomiting of pregnancy.
During nausea and vomiting. dopamine receptors in the stomach mediate the inhibition of gastric
motility and, therefore. may provide a site of action for antiemetic dopamine receptor antagonists.
Dopamine, specifically at the dopamine 2 receptors, is also implicated in emetic signaling through
the chemoreceptor trigger zone.
Several types of dopamine antagonists can be used for the treatment of nausea and vomiting of
pregnancy. The three main classes of dopamine receptor antagonists are phenothiazines
{promethazine andprochlorperazine), butyrophenones {droperidol), and benzamides
{metoclopramidej.
Pf'DS I o~va-G~·'2015 16
Prochlorperazine and chlorpromazine - Prochlorperazine 5 to 10 mg orally,
intravenously, or intramuscularly every six hours or 25 mg per rectum twice per day. as needed,
appears 10 benefit some patients [1.2). Safely information is limited: although case reports of
malformations in exposed infants have been published. larger series have not reported an
increased risk of birth defects. Results from animal studies vary depending on the animal exposed
[2.Q;.
We reserve chlorpromazine for refractory cases. given its profile of adverse side effects
Isee 'Refractory patients' below).
The use of subcutaneous pumps for timed release of medications. in particular metoclopramide
has been reported for outpatient management of nausea and vomiting in pregnancy with some
benefit [m. However. the experience is limited; we do not use them.
Domperidone is another promotility agent. but there is no information on its safety or efficacy
for treatment of nausea and vomiting of pregnancy.
PPDS I O~"""'G~2015 17
Promethazine - Promethazine is primarily an HI receptor blocking agent, but is also a weak
oopamine antagonist. Promethazine 12.5 to 25 mg can be given orally, per rectum, or
intramuscularly every four hours. Orai or rectal administration is preferred. Intraarterial.
intravenous, and subcutaneous administration is contraindicated, as inadvertent intraarterial
injection can result in gangrene of the affected extremity and subcutaneous injection may result in
tissue necrosis. (See "Characteristics of antiemetic drugs".,
Fetal safety [2m and maternal efficacy in relief of both nausea and vomiting have been
demonstrated in large groups of patients (24.36.52.58-60J. Disadvantages include prominent
sedation and risk of dystonic reactions. These r15ks are elevated under conditions of prolonged use
and high dOSing. Use of promethazine appears to lower the seizure threshold, which may bE'
important late in pregnancy in women with preeclampsia. There are conflicting reports regarding a
potential risk of neonatal respiratory depression following the administration of promethazine
during labor [50J. Neonatal platelet aggregation also may be impaired when the drug is given
intrapartum, but this does not appear to increase the need for intervention in the newborn.
Droperfdof - Droperidol Is used as an antiemetic In surgical and dIagnostic procedures. In one
study. patients with hyperemesis gravidarum treated with droperidol-diphentlydramine had
significantly shorter hospitalizations (3.1 versus 3.8 days), fewer days per pregnancy hospitalized
for hyperemesi~ (3.5 versus 4.8 days), and fewer readmissions with this diagnOSis (15.0 versus 31.5
percent) than women treated with other parenteral therapies r2.1.J. No congenital anomalies were
reported in 108 pregnancies r.sm. However. maternal side effects are a concern, especially with
long·term use, Droperidol has been associated with OT prolongation and/or forsades de pointes
when used in dOSes higher than .those typically used for treatment of nausea and vomiting rQl]. A
discussion of a new drug warning for droperidol can be found separately. (See "Alternatives and
adjuncts to moderClte procedural sedation for gastrointestinal endoscopy".)
We rarely use this drug to treat nausea and vomiting of pregnancy because of these safety
concerns.
The safety of ondClnsetron in pregnancy is discussed below. There are no human data on the
safety of granisetron, dolasetron or other 5-HT3 antagonists in pregnancy; animal studies did
not show adverse pregnancy effects r.sm.
Ondansetron - Hyperemesis is a common unlabeled indication for use of ondansetron, In a
small randomized trial, use of ondansetron resulted in clinically Significant reductions in both
nausea and vomiting compared with the combination of doxylamine and pyridoxine [.QlJ.
f'I'1)S I O~daf\,G~20JS 18
ondansetron "i~ a microinfusion pump appears to be a reasonable alternative route for treating
severe nausea and vomiting of pregnancy.
Headache. fatigue, constipation, and drowsiness are the most common drug-related side
effects. Ondansetron can cause aT prolongation. particularly in pati~nts with underlying heart
conditions. such as congenital long OT syndrome; patients with hypokalemia or hypomagnesemia;
and those taking other medications that lead to OT prolongation. ECG monitoring is recommended
in these patients. Serotonin syndrome is a potentially life-threatening condition associMed with use
of serotonergic agents and manifested by increased serotonergic activity in the central nervous
system. (See ~Serotonin syndrome".)
Anlnlal data on ond(!osetroo are reassuring as to its safety in pregnancy. Human data on safety
or efficacy of ondansetron for treatment of hyperemesis are based on case reports, small series, and
a historical cohort of 1849 women in Denmark exposed during pregnancy [24.65-711.ln this large
record linkage study (1233 first trimester exposures), ondansetron was n.ot associated with an
increased risk of major congenital anomalies. miscarriage. low birth weight. or small for gestational
age when used for treatment of nausea and vomiting of pregnancy [ZQJ. Although another study
using the same datilbase repo(ted an association between filling a prescription for ondansetron
during the firlt trimester of pregnancy and heart defects in the offspring. these data have only
been presented in abstract form and cannot be adequately evaluated (72). Analysis of data from
the National Birth Defects Prevention Study (NBDPS) showed a possible association with isolated
cleft palate (adjusted OR 2.37.95% Cll.18-4.76). but data were limited to only 55 nrst trimester
exposures [UJ.
Adjunctive therapy
Acid reducing agents - Acid reducing medications can be used as adjunctive therapy. In women
with heartburn/acid reflux and nausea/vomiting CIt prl!!gn"'"cy. an observational study found that
acid·reducing pharmacotherapy (eg. antacids. HZ blockers. proton pump inhibitors) combined with
anti·emetic therapy resulted in Significant improvement in symptoms and well·being three to four
days after beginning therapy [74).
Antacids containing aluminum or calcium are safe and preferable to those containing bismuth or
bicarbonate. which may have adverse fetal/neonatal effects {~.
The greatest experience with pharmacologic acid-suppressive therapy in pregnant women has
been with the H2 receptor antagonists ranitidine and cimetidine, which appear to be safe
during pregnancy. The efficacy of ranitidine 150 mg orally twice daily for treatment of acid reflux
was demonstrated in a placebo-controlled. double-blind trial of 20 pregnant women whose
heartburn was refractory to conscrvi'tive measures; heartburn severity was reduced 44 percent
compared to placebo lQQ].
There is less experience using proton pump inhibitors leg. lansoprazole or esomeprazole 30 or
40 mg intravenously or orally every 24 hours) during pregnancy. but they are probably safe
[67.68). (See "Medical management of gastroesophageal reflux disease in adults",
section on 'Pregnancy and lactation'.)
?POl I OIntotY""-G~2015
19
Women with dehydration, electrolyte abnormalities, acid-base abnormalities - Women who are
unable to maintain adequate hydration, normal electrolyte levels, and acid·base balance with the
init/al interventions described above should be admitted to the hospital for intravenous fluids and
medications. We admit women to the hospital if they have persistent vomiting aftEr rehydration
and fail outpatient management. Women who have severe vomiting, weight loss, I<etonuria, dry
mucous membranes, poor skin turgor, dehydration, hypotension, alkalosis from hydrochloric acid
loss, hypokalemia, or nutritional deficiencies are admitted to the hospital. In women with persistent
vomiting after hospitalization, it is important to exclude underlying diseases that can cause
hyperemesis./See "Clinical features and evaluation of nausea and vomitina of
pregnancy". section on 'Differential diagnosiS'.1
These patients and their families often need emotional support to help deal with stress and anxiety
about the maternal illness and its effect on the fetus, and the disruption to their home· and work·
related activities [ZQ]. In some cases, psychiatric consultation can be helpful to teach the patient
relaxation and coping techniques and address underlying psychopathology, if present e111.
Fluids and nutrition - Many patients respond to intravenous hydration and a short period of gut
rest, followed by reintroduction of oral intake and pharmacologic therapy.
Fluids - Dehydration occurs when fluid output exceeds fluid intake and is often associated with
electrolyte abnormalities, fatigue, dizziness, and weakness. We correct dehydration with up to 2 L
intravenous Ringer's lactate infused over three to five hours, supplemented with appropriate
electrolytes and vitamins. Subsequently, the infusion rate is adjusted to maintain a urine output of
at least 100mL/hour and the solution is changed to dextrose 5% in 0.45% saline. The optimum
replacement fluid regimen has not been stUdied. It is prudent to avoid usc of dextrose in the initial
rehydration fluid because 01 the theoretical concern of Wernicke's encephalopathy with dextrose
infusion in a thiamine·deficient state am, We delay dextrose infusion until after the patient has
received thiamine in her initial rehydration fluid (see 'Vitamins and minerals' below). A single
small study did not observe adverse effects in 102 patients who received intravenous thiamIne
followed by 5% dextrose 0.9Q/o saline for persistent nausea and lIomiting of pregnancy; however,
only 60 percent of these women had severe disease lie, weight loss ~5 percent body weight,
ketonuria 4+) [I2J.
Relief of symptoms is common within one to two days 01 rehydration [ZJ. Hospitalization, as well as
replenishment of fluids and electrolytes, m<ly contribute to palli<ltion of symptoms.
Vitamins and minerals -If the patient is experiencing persistent vomiting, it is important to
replenish low levels of vitamins /especially thiamine), electrolytes, and minerals /ie. magnesium,
calcium, and phosphorous) r!ill]. We provide thiamine (vitamin 81 J supplementation by giving 100
mg intravenously with the initial rehydration fluids and another 100 mg daily for the next two or
three days. Early administration of thiamine is important to prevent a rare maternal complication,
Wernicke's encephalopathy rZJilJ.
Each day we adminilter a multivitamin (MVI) intravenously: MVI/I 0 mLJ piuS 0.6 mg folic acid Ito
bring the folic acid total to I mg) in one liter and vitamin 86 25 mg in every liter. The intravenous
fluid is usually dextrose 5% in 0.45% saline with 20 mEq potassium chloride given at
150 mL/hour.
P?DS r O!nWYuda.vG~2C15 20
Hypomagnesemia Is a common cause of hypocalcemia. We first correct the low magnesium level by
giving 2 grams (16 meql magnesium sulfate infused as a 10% solutIon over 10 to 20 minutes,
followed by I gram (8 meql in 100 mL of fluid per hour. The repletion of magnesium is continued if
the serum magnesium level is less than 0.8 meq/L (1 mgldL or 0.4 mmol/LJ. Once serum
magnesium levels are restored, we reassen the calcium level. If serum calcium is still low, we
administer I to 2 grams calcium gluconate in 50 mL of 5% dextrose solution over IOta 20
minutes.
Diet - A diet that attempts to minimize nausea and vomiting can be resumed after a short period of
gut rest. We usually begin wpmen on a diet consisting of bananas. rice, applesauce. and toast
IBRAT diet) and then advance their diet as tolerated. Consistent protein intake is key In helping
prevent Muse~. Additional dietary manipulations are described above. ISec 'Diet' above.)
Patients who have not eaten for several days may develop edema when resuming feeding with
carbohydrates [82J. This results from the retention of sodium during fasting combined with
enhanced sodium resorption due to the actions of Insulin once carbohydrates are reintroduced
[~. No intervention is required; the edema will gradually resolve.
Oral and non-oral medicatIon - Oral medications can be initiated in women who can tolerate
them. Non·oral routes of administration are useful for other women. These medications are the
same as those used to treat women without dehydration [algorithm !).ISee 'Women without
dehydration' above.l
REFRACTORY PATIENTS
Glucocorticoids - Glucocorticoids have been used in women with sever~ and refractory
hyperemesis, although the mechanism of action is not well understood [84·871. There is a paucity
of evidence thill glucocorticoidS ilre effective [24,88J. The largest placebo controlled trial included
110 women with severe hyperemesis and reported that women who received glucocorticoid
therapy had a Similar clinical course and need for rehospitalization as those given placebo 1§..'2j.
Glucocorticoid use has been associated with a slightly increased risk of oral clefts when the drug is
ildministered before 10 weeks of gestation; therefore, ideally, use of glucocorticoids should be
avoided in the first trimester [90-94 J. If administered after 10 weeks. the palate has formed and is
not at risk for developing defects.
An effective dose is methylprednisolone 1'6 mg) intravenously every 8 hours for 48 to 72 hours
fQi}· Methylprednisolone can be stopped abruptly if there is no response, and tapered over two
weeks in women who experience relief of symptoms. After intravenous therapy, we use an
orill prednisone taper regimen of 40 mg oral prednisone per day for one day, followed by 20 mg
per day for three days. followed by 10 mg per day for three days, and then 5 mg per day for seven
days. This regimen may be repeated up to three times over a six week period.
Pl'DS I O!>ltt!tYj,"""'G~v2015
21
Glucocorticoids should be reserved for treatment of refractory nausea and vomiting of pregnancy
or hyperemesis grav;darum, given the risk of maternal side effects and uncertain efficacy.
(See "Major side effects of systemic g/ucocorticoids".j
Enteral and parenteral nutrition - Women who are refractory to a/l pharmacologic and
nonpharmacologic interventions should be supported with enteral (tube feedings) or parenteral
nutrition and intravenous fluids as long as necessary. We continue such women on pharmacologic
interventions that seem to provide some relief of their naulea and vomiting.
Nutritional status and methods of alimentation (eg. tube feedings, parenteral nutritionl should be
assessed in conjunction with a nutritionist or nutrition service. The optimal timing for initiating
enteral or parenteral nutrition has not been established; the decision is tased upon clinical
judgment. In general, enteral nutrition is begun in women who cannot maintain their weight
because of vomiting and despite a trial of the interventions described below. Enteral nutrition via
gastric or duodenal intubation is preferable to the parenterAl route and may relieve the nausea and
vomiting r22J. Adequate protein·caloric parenteral nutrition requires a central venous access
device (CVADJ. which may lead to catheter·related infection or thrombosis f~.
The American Gastroenterological Association rAGAI technical review for parenteral nutrition [W.
as well as other AGA guidelines. can be accessed through the AGA web site
atwww.gClstro.org/practice/medica/·position·statemer.ts.
MANAGEMENT OF STABLE AND IMPROVING PATIENTS - We continue the drug regimen that has
been effective until the patient has been completely asymptomatic (no nausea or vomitingl for at
least a week. At that time. we discontinue the medications and see how she does. If nausea and
vomiting recurs. we resume therapy. The majority of women will have resolution of nausea and
vomiting by 16 to 20 weeks of gestation and will be able to discontinue their medications. Rare
patients require therapy beyond 20 weeks.
Short·term outcomes
Nausea and vomiting of pregnancy - Although the maternal course can be long and tcdious [2m.
nausea and vomiting of pregnancy is typically not associated with adverse pregnancy outcomes.
There is good evidence that women with nausea and vomiting in early pregnancy have a lower
rate of miscarriage than women without these symptoms. In one meta·analysis. the odds of
miscarriage in women with nausea and vomiting in the first 20 weeks of pregnancy was OR 0.36
r2..2J.
(950/0 CI 0.2-0.421 However.. the analysiS did not correlate outcome with respect to the severity
of the disorder. Most of the women in these studies had mild symptoms. rather than hyperemesis.
The frequency of congenital anomalies is not increased among offspring of gravida with nausea
and vomiting in pregnancy [ 'OOJ. whether or not they take antiemetic medicatio'ls r58, '0 ,.
10sJ.
HyperemeSis - Despite the potentiai severity of hyperemeSis gravidarum and its attendant early
weight loss. most studies have reported no difference in birth weight or gestational age at birth
between affected pregnancies and those unaffected by severe vomiting, as long as prep regnancy
weight was normal and there was "catch·up· weight gain later in pregnancy [ I 02, I 03, I 06J. In
PPDS I OlmwvM..vG~¥2015 22
contrast. women with severe vomiting who require multiple hospitalizations may not have "CMch
up' weight gain; an adverse effect on birthweight is more likely in these women, and rarely the
fetus is growth restricted [10 1..107-11 0), Women who have less than 7 kg weight gain are more
likely to have a preterm birth/low birth weight infant [110, III I. When studies of women with
hyperemesis gravidarum were pooled without regard to prepregnancy weight or catch-up weight
gain, the risks of preterm delivery. low birth weight (LaW). and birth of a small for gestational age
(SGA) infant were slightly but significantly increased (preterm delivery OR 1.32,95% (I 1.04-1.68;
LaW OR 1.42.95% (I 1.27-1.58, SGA OR 1.28,95% (I 1.02-1.60, 17.9 versus IV percentl [00.
An association between second trimester hyperemesis gravidarum and placental dysfunction (eg,
preeclampsia, abruption, SGA) has been reported (m, It is unclear whether there is a small
increase in risk of perinatal death [100,1131.
The availability of parenteral and enteral nutrition has reduced maternal morbidity,and mortality is
virtually nonexistent in women who are treatecJ. If left untreated. there have been reports of
sequelae of micronutrient deficiency (eg. most commonly Wernicke encephalopathy from
deficiency of vitamin BI; possibly very rare bleeding diathesis or embryopathy from vitamin K
deficiency) and adverse effects of malnutrition (Immunosuppression. poor wound healing. muscle
wasting) [81 107.114-118). Esophageal tears (Mal/ory·Weiss). esophageal rupture,
;Jneumothoraces. pneumomediastim:m, osmotic demyelination syndrome (formerly known as
ccntral pontine myelinolysisl. hepatic insufficiency, and acute tubular necrosis are other rare
complications in women with persistent severe vomiting [ 1 19-1 21 ).
There is, however. psychosocial morbidity. including SUbstantial effects on ability to work outside
the home. household duties, parenting activities, and social i"teraction [122-) 251. The burdens of
cMegiver-time and use of health care resources also need to be considered.
Long-term outcomes - Although long-term follow-up data are limited, nausea and vomiting of
pregnancy and hyperemesis do not appear to adversely affect cognitive development of offspring
[126,1271. but hyperemesis has been associated with reduced insulin sensitivity in prepubertal
children [128J and development of testicular cancer before age 40 [1291. Larger follow-up studies
are needed to determine whether nausea and vomiting of pregnancy and/or hyperemesis
gravidarum have long-term effects on offspring. These studies need to use well-defined criteria for
the severity of the disease, and adjust for key maternal characteristics, such as prepregnancy
weight and weight gain during pregnancy. Metabolic and cardiovascular outcomes should be
evaluated since small for gestational age birth has been linked to chronic disease in adult life
[130).
Pf'DS I O~da.I,G~2015
23
of whom 46 experienced recurrent severe nausea and vomiting; 31 women reported that they did
not want to get pregnant a second time because of the recurrence risk of hyperemesis gravida rum.
PREVENTION - Ideally, all women of child-bearing age should be advised to take a daily
multivitamin with folic acid beginning In the preconception period; this reduces the risk of
congenital anomalies, particularly neural tube defects, and may help to decrease the frequency and
severity of nausea and \iomiting during pregnancy [134-1361. The positive effects of multivitamins
are likely due to the general optimization of nutritional status and metabolism.ISee "Folic acid
supplementation in pregnancy".1
In addition, heartburn and acid reflux have been associated with increased severity of nausea and
vomiting of pregnancy, which suggests that managing these disorders prior to pregnancy might
prevent or reduce the severity of symptoms r13 71.ISee "Medical management of
gastroesophageal reflux disease in adults". section on 'Pregnancy and lactation'.,
INFORMATION FOR PATIENTS - UpToDate offers two types of patient education materials, ·The
Basics· and "Beyond the Basics." The Basics patient education pieces are written In plain language,
at the 5'" to 6'· grade reading level. and they answer the four or five key questions a patient might
have about a given condition. These articles are best for patients who want a general overview and
who prefer short. easy·to-read materials. Beyond the Basics patient education pieces are longer.
more sophisticated. and more detailed. These articles are written at the 10'" to 12'" grade reading
level and are best for patients who want in-depth information and are comfortable with some
medical jargon.
Here are the patient education articles that are relevant to this topic. We encourage you to print or
e-mail these topics to your patients. IYou can also locate patient education articles on a variety of
SUbjects by searching on "patient info" and the keyword Is) of interesl./
.Basics topics (see "Patient information: Morning sickness (The
Basics'" and "Patient information: Taking over-the-counter medicines during
pregnancy (The Basics'" and "Patient informatIon: Hyperemesis gravidarum
(The Basicsl"l
.Beyond the Basics topic (see "Patient information: Nausea and vomiting of
pregnilncy (Beyond the Basics''')
SUMMARY AND RECOMMENDATIONS - Astep-wise approach to treatment of nausea and
vomiting of pregnancy is provided in the algorithm (algorithm II. The steps are based on
evidence of efficacy and safety profiles. The goal is to reduce symptoms through changes
in diel/environment and by medication, correct consequences or complications of nClusea and
vomiting, and minimize the fetal effects of maternal nausea and vomiting and its treatment.
.Women should try to become aware of, and avoid, environmental triggers and foods which
might provoke their nausea and vomiting. (See 'Initial approach' above.)
.Acupuncture and acupressure have not been proven to significantly reduce nausea and
vomiting. However, give~ the absence of harm and the strong placebo effect. some patients
may benefit from a trial of acupressure wrist bands. Patient preferences should guide therapy.
(See 'Acupuncture and acupressure' above.)
f'(1)S I O~dM,.G~2015 24
.Where ilvailablc, we suggest pyridoxine-doxylamine succinilte Combination therapy for
initial pharmacologic treatment of nausea of pregnancy (Grade 2C).lf this drug is not
available, we suggest pyridoxine, adding doxylamine succinate if pyridoxine alone is not
effective. (See 'Doxylamine succinate and pyridoxine' above and 'Pyridoxine
[vitamin 861 above.)
.If nausea and vomiting persists, we suggest adding diphenhydramine 25 to 50 mg orally
every four to six hours or meclizine 25 mg orally every six hours (Grade 2C).1f symptoms
do not improve, we suggest adding a dopamine antagonist
(prochlorperazing, metoclopramide) (Grade 2C). (See 'Dopamine
antagonists' above.)
.For pa:ienu who require hospitalization because of dehydration, we suggest a serotonin
antagonist !ondansetron) (Grade 2e,. (See 'Serotonin antilgonists' at>ove.,
.Women who are dehydrated or have electrolyte abnormalities or acid-base disturbances
should receive intravenous fluids. Thiamine supplements should be added to the
intravenous solution to prevent Wernicke's encephalopathy. We suggest a short period of gut
rest during hydration, followed by reintroduction of oral intake with iiquids and bland, low fat
foods. (See 'Fluids and nutrition' above and ·Diet'above.,
.We reserve use of glucocorticoids for treatment of refractory cases after the first trimester.
(See 'Glucocorticoids' above.,
.The optimal timing for initiating enteral or parenteral nutrition has not been established; the
decision is based upon clinical jUdgment. In general. enteral nutrition is begun in women who
cannot maintain their weight because of vomiting and despite a step-wise trial of
pharmacologic interventions. (See 'Enteral and parenteral nutrition' above.'
.We suggest that women of child·bearing age take a multivitamin with folic acid to help
prevent nausea and vomiting during pregnancy (Grade 2C). as well as for reducing the risk
of neural tube defects. (See 'Prevention' above.)
PPDS I Ol»tw-"druvG~20JS
25
Management algorithm for prevention and treatment of nausea and
-"".. . _______...__....__..,._____.. . . . . __. ._r
. __
vomiting of pregnancy (NVP) _.~* '~~!~ . . . lk E7'Rld
j
NVP (mild cases)
tOHG
Re-assf:ss dally until
wet/'controlle<:! R.~-ISSess evtry 8 hours
until weol'-COrHrolled
l-pNrmKoIogju, ~~
, Inlawenllo... ••••••••• I
"-rslstt"t NVP/l
+ +
+/-;
, + ,
! Ole{ chanQu: I + /- I u~",tyl' Compllm.nt.1ryl ,, Pyridovine 2' '"9 or-ally
... modlfiabo(\$ .lterniti"l: thenpi,s ,, every 6·8 h n I s.inole
(CMot) agent or in (Cl'T'biNtion With
Elt small, f,..quHlt
~ dowylarnll"lt 10 tn9 onlly
• Frequent one. c:r twl4!:' .. day or,
meals
I .. heff aVIII.ble. pyndol.in.
naps
Eat blander foods 10 mg/do:ryl~mm. 10 mg
• Shorten ""one , c.omb.n .. bon produd one.
• A\loid sp.cy foods d.y or hotic • .I d .. y. If doryl.lmln.
• Avoid (atty foods , 10 m9 is not • ..,,.il.bJe. use
• Avoid rtron9 , , ,, one-I-I.llf 01 , 25 mg lIbI.t.
I +/- lsupp~entsJ
odorous foods
Atup,...u" Herb.1
~ ile",sttl"lt
NVP/HG
~fSlst~nl
NVP/HG w,th
ehydl"'ition
or
1
,
t Po,,;,'.nt NVP/HG
\'ilthout dehydration
I IV/PO OR
1..
NVl>/HG
.on • •
Ond.. nutron ... ·8 mo • Metoclopramide 10 ""9 IV/PO Q 6-8 h PR,N before f'T'Iuls
QBh
0Iu"on of
NVO/HG
~t.nt +
,1HC ResollJbO" 01 t
• Me~ylputdnisolone 16 m9 N/PO .... ecy 8 h fOf two
to thrH d.lYs followed by h ..o weel( t.per. MolY reput
NVP/HG
IOiS(ontH'IlJt Anhemtbcs ~nd tnonltor I
dosing reoimen up to tnrH timts Olltr six weeks .
• C)'lorpromUln~ 25·50 m9 IV 0' 1M or 10 to 25 mg
PO Q .-6 h
http://W.NW.uptodale.com/
I'PDS I Obltwv""""<i~luJ5 26
4. MOLA HIDATIDOSA
Definisi
Hamil mola adalah suatu kehamilan di mana setelah fertilisasi hasil konsepsi tidak
berkembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dari viii koriales disertai dengan
degenerasi hidropik. Uterus melunak dan berkembang lebih cepat dari usia gestasi yang
normal, tidak dijumpai adanya janin, kavum uteri hanya terisi oleh jaringan seperti
rangkaian buah anggur
Gejala klinik
• Perdarahan pada kehamllan mL/da yang dlsertal dengan geJala mirip preeklampsia
• Rislko tinggi untuk terjadi keganasan (koriokarslnoma)
Penanganan umum
• Diagnosis din; akan menguntungkan prognosis
• Pemeriksaan ultr<lSonografi sangat membantu diagnosis. Pada fasilitas kesehatan
dimana sumberdaya sangat terbatas, dapat dilakukan:
- Evaluasi /<linik dengan fokus pada:
Riwayat haid terakhir dan kehamilan
Penilaian klinik
• Hampir sebagian besar kehami/an mola akan disertai dengan pembesaran uterus dan
peningkatan kadar heG
- Lakukan pengukuran Iwantitatif kadar heG spesifik (~ heG rapid test) bila tidak
tersedia fasilitas pemeriksaan tersebut, pengukuran dapat dilakukan dengan uji
kehamilan berbasis tera imun%gik (hemaglutinasi atau aglutinasi lateks) di mana
kadar hormon tersebut diukur secara semikuantitatif mela/ui pengenceran urin
• Geja/a klinik mirip dengan kehamilan muda dan abortus imminens, tetapi gejala mual
da~ muntah lebih hebat, sering disertai gejala seperti preeklampsia. I'emeriksaan
Penanganan khusus
• Segcra lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi berlilngsung
berikan infus 10 IU o/(sitosin dillam 500 ml NS iltau RL, dengan kecepatan 40·60 tetes
per menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan- hebat dan efektifitas
kontrilksi terhadap pengosongan uterus secara cepat)
• Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman dari Kuretase Tajam. Sila sumber
vakum adalah tabung manual, s/apkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat
digunakan secilta bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai.
• KenaH dan tangani I(omplikasi penyerta seperti tiritol(sikosis atau krisis tiroid bail(
sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi
• Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari. untul( anemia berat
lakukan transfuse.
• Kadar hCG di atas 100.000 lUlL praevaf<uasi dianggap sebagai risif(o tinggi untuk
perubahan I(e arah ganas, pertimbangl(an untul< memberil<an methotrexate (MTXI 3·5
mgjkgBB atau 25 mg 1M dosis tunggal.
• Lakukan pemantauan I(adar hCG hingga minimal I tahun pascaevakuasi. Kadar yang
menetap atau meninggi setelah 8 minggu pascaevallUasi menunjukkan masih terdapat
trofob/as al(tif Idi luar uterus atau invasifl: berikan /(emoterapi MTX dan pantau p·hCG
serta besar uterus secara klinis dan USG tlap 2 minggu,
• Selama pemantauan, pasien dianjurkan unWI( menggunakiln I(ontrasepsi hormonal
(apabila maslh ingin anak) atau tubektomi apabila ingin menghentlkan rerlilitas,
PPVS I O/ntlltY(.da<vG~2015 ZB
renanganan perdarahan pada kehamilan muda menurut t1ngkat fasilitas pelayanan
Diagnosis Anamnesis
·• Riwayat I<ehamilan
·• Riwayat pendar<lhan
Pemeriksaan
• I<ondisi umum pasien (pucat, anemis, sesak nMas, syol<, demam, lemah,
stabil)
• Fisik (kloasma grafidarum, linea nigra, hiperpigmentasi areola mamae,
tinggi fundus, nyeri tekanan perut bilwah, perut .tegilngcairan bebas
intraabdomen)
• Ginekologi (secret vagina, fluor albus, mukopus, keunguan porsio, besar
uterus, pelunakan serviks atau /<orpus, ballottement, nyeri goyang I
ponia, massa adneksa)
··•
I{uldosentasis
ratologl Anatomi
--=---=c---
Fasilitas Kategori
Pelayana
n
i I
I'PDS I OJ>mtri,dan.G~2015
29
si Rujuk
I'uskesmas Diagnosi Diagnosis Diagnosl Diagno D/kerja D/kerja Djagno~j~
s Evakuasi s sis Rujuk Stebilis Evakuasi
Observas sesuai Evakuasi Evaluas asi bila ada
i dengan sesuai i Rujuk Rujuk abortus
Evakuasi usia gestasi dengan bila mola Rujuk
bilajadi Terapi usia terdapa untuk
inkompli Pantau gestasi t terapi atau
t Rujuk Rujuk bila Terapi komplik pemantau
bila ada Pantau asi an lanjut
etopik komplikasi Rujuk
bila ada
komplika
si ---
Rumah Diagnosi Diagnosis Diagnosi Diagno 0/ pasti 0/ pasti Diagnosis
Sakit s Evakuasi s sis Terapi Terapi Evakuasi
Observas Terapi Evakuasi Evakua lanjut I<ausatif medik
i lanjut atau Terapi si atau Transfu Antisipasi
Evakuasi I<omplikasi lanjut Terapi komplik 5iatasi komplikasi
bilajadi berat atau lanjut asi berat komplik Evakuasi
inl<ompli komplil<a atau asi Sitostatika
t si berat komp/ik berat Pemantau
I<ompli/<a asi an
5i berat berat
P?DS r olntW-"d.t.vG~2015 30
5. PERSALINAN PRE-TERM
Definisi
Persalinan preterm ialah proses kelahiran pada ibu dengan usia gestasi < 37
minggu.
Epidemiologi
Patofisiologi
Persalinan preterm mempunyai banyak penyebab, namun infeksi korioamnionitis
kini menjadi dominan. Infeksi ini mempunyai potensi untuk cidera pada bayi baru
lahir. Semakin muda kehamilan semakin buruk prognosisnya.
Diagnosis
I(ontraksijhis yang reguler pada kehamilan <37 minggu merupakan gejala
pertama, pastikan dengan pemeriksaan inspekulo adanya pembukaan dan
cervicitis.
Penatalaksanaan
Upi!ya tokolisis hanyalah upaya penundaan sementara bagi pematangan paru. Bila
infeksi telah nyata sebaiknya persaJlnan preterm dibiarkan berlangsung. Selain itu
tokolisis tidal< dibenarkan pada usia i<ehamilan >35 minggu, kelainan bawaan
jan in. dan preeklampsia.
Peningl(Cltan /J·6 >"11 pg/ml merupal(an risil(o terjadinya reaksi radang
(inflammatory response/ dengan akibat periventricular leucomalacia (PVl).
Pemberian I<ortikosteroid lebih dari 2 hari dan berulang u/ang dapat memberi risiko
pertumbuhan bayi terhambat.
Pengobatan terhadap cervicitis dan vaginitis perlu dilakukan dengan
metronidazole 2 x 500 mg. Pemberian dexamethasone 12 mg/hari menunjukkan
penurunan risiko PVl.
Gejala infel(si intrauterine ia/ah: takikardia janin, gerakan janin lemah,
oligohidramnion, pireksia ibu, cairan amnion berbau.
Sebagai upaya pencegahan ada baiknya pemeriks<lan dalam dilakukan untul<
deteksi vaginitis dan cervicitis. I{elainan cervix iinl(ompetensil merupakan indikasi
untuk serklase. Pemeriksaan I<linii< dan USG (tebal cervix <1.5 em) merupakan risil<o
tsb.
Setelah pemberian informed consent yang baik, cara persa/inan dan kemampuan
klinik merawat preterm harus dipertimbang/<an. Bila kehamilan >35 minggu dan
presentasi kepala , mai<a persalinan pervaginam merupakan piJihCln. Namun bila
kehamilan 32-35 minggu maka pertimbangan sel<sio sesarea menjadi pilihan.
Menjadi kesulitan pilihan biJa bayi dengan berat lahir sangat rendah karena risiko
kematian tinggi (50%). Bila tidak ditemukan infeksi, ma/(a upaya to/(olisis dapat
dilakukan.
Obat yang dianjurl(an ialah :
a. nifedipine 10 mg, diu/ang tiap 30 menit, maksimum 40 mgj6 jam.
PPDS I Ol$tri.~G~2015
3J
Komplikasi
• Jnfe/{si
• Pada pemberian tokolisis dengan beta mimetik dapat terjadi efek samping edema
paru
Prognosis
• Morbiditas dan mortalitas neonatal tergantung dari usa kehamilan, ada tidaknya
infeksi serta kemampuan fasilitas perawatan neomitologi
IDiadaptasi dari Standar Pelayanan Medis Obstetri dan Ginekologi, PB POGI, 2003)
PPDS I cJb\tl.tl'v.w..G~2015 31
6. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Preeklampsia
Didefinisikan sebagai timbulnya hipertensi. proteinuri setelah kehamilan 20 minggu pada
wan ita dengan tekanan darah yang normal sebelumnya. Dapat juga berkaitan dengan
geja/a dan tanda lainnya seperti edema, gangguan peng/ihatan, nyeri kepa/a. nyeri ulu
hati. Preeklampsia dapat timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu pada wan Ita dengan
kehamilan mola atau adanya lupus antikoagulan. Terdapat duajenis preeklampsia yaitu
• Preek/ampsia ringan. bi/a tidak ditemukan adanya tanda preeklampsia bera!
• Preeldampsia bera!. bi/a satu atau lebih kriteria di bawah ini terpenuhi
I. Tekanan darah sistolik ~ 160 mmHg atau diastolik ~ 110 mmHg da/am dua kali
pengukuran dengan jarak 6 jam
2. Proteinuri sebesar 5 g/24jam atau +3 atau lebih pada pengukuran semikuantitatif
3. Olguria. produksi urin kurang dari 500 cC/Z4 jam
4. Gangguan serebral atau penglihatan, gangguan kesadaran, nyeri kepala. sl<otoma
5. Edema paru
6. Nyeri epigastrium atau kuadran Kanan atas
7. Gangguan fungsi hati tanpa adanya etiologi lain
8. Trombositopenia
9. Pertumbuhanjanin terhambat
Eklampsia ada/ah timbulnya kejang umum atau penurunan kesadaran pada wanita
dengan preek/ampsia setelah penyakit neurologis, seperti epi/epsi sudah disingkirkan.Jika
hipertensi ditemukan pada kehamilan < 20 minggu dan tidak adanya mo/a hidatidosa
maka wanita tersebut didiagnosis dengan hipertensi kronik. Dan bila kemudian timbul
protein uri maka disebut preeklampsia superimposed. Kriteria lain preeklampsia
superimposed adalah peningkatan tekanan darah yang mendadak, timbulnya hemolisis,
gangguan fungsi hatt timbulnya sindroma he lip.
Etiologi
Teori mengenai etiologi dan patofisiologi preek/ampsia harus memperhatikan
pengamatan bahwa penyakit hipertensi karena kehamilan lebih mungkin terjadi pada
wanita yang:
• Terpajan villi korialis untuk pertama kalinya
• Terpajan villi korialis yang jumlahnya banyak, seperti dalam kembar atau mola
hidatidosa
• Mempunyai penyakit vaskuler sebeJumnya
ProS I Ob>tUtio""",G~2015 33
Mempunyai predisposisi genetik untuk hipertensi
Meskipun viii korialis penting dalam etiologi preekfampsia, namun letaknya tidak harus di
dalam uterus dan juga Janin tldak menjadi penentu timbul atau tidaknya preeklampsia.
Apapun etiologi yang mendasarinya, kaskade peristiwa yang menghasilkan sindrom
preeklampsia mempunyai elri kerusakan endotel vaskuler dengan vasospasme, transudasi
plasama yang diikuti sekuele iskemia dan trombosis.
Beberapa mekanisme sudah diajukan I,mtuk menjelaskan etiologi preeklampsia. Menurut
sibai, etiologi yang dianggap potensial adalah
Invasi trofoblas pembuluh darah uterina yang abnormal
Intoleransi imunologis antarajaringan maternal danjanin-plasenta
Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler atau inflamasi selama
kehamilan
Defisiensi nutrisi
Pengaruh genetik
Patofisiologi
Preeklampsla adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala yang mempunyai konsekuensl
pa~ofisiologi pada seluruh sistem tubuh. Perubahan pada masing-masing sistem organ
saling m7mpengaruhi dan juga derajat patologi masing-masing sistem organ berbeda
beda sehlngga spektrum penyakit preeklampsia-eklampsia sangat bervariasi.
Gangguan pada sistem kardiovaskuler umum ditemukan pada pasien preeklampsia
atau eklampsia. Hal ini berl<aitan dengan meningl<atnya beban afterload karena
hipertensi, perubahan preload yang diakibatkan oleh berkurangnya hipervolemia pada
kehamilan dan aktivasi endotel dengan ekstravasasi plasma. Derajat aberasi
kardiovaskuler tergantung beberapa faktor, termasuk beratnya hipertensi, ada tidaknya
penyakit kr~nik, ada tidaknya preeklampsia dan waktu pemeriksaan.
Hemokonsentrasi adalah fitur utama dari preeklampsia-eklampsia. Wanita dengan
berat badan rata-rata seharusnya mempunyal 5000 cc volume darah pada saat aterm
dibandingi<an 3500 cc pada wanita yang tidak hamil. Pada preeklampsia-eklampsia
volume yang meningkat sebesar 1500 cc tidal< terjadi. Dengan adanya hemokonsentrasl,
vasospasme dan kebocoran endotel maka wanita dengan preeklampsia-eklampsia sensitif
terhadap terapi cairan yang diberikan dan terhadap kehilangan darah saat persallnan.
l(elainCln hematologi juga terjadi pada beberapa wanita dengan preeklampsia.
Trombositopenia, penurunan fal<tor pembekuan dan hemolisis. _eritrosit adalah yang
sering terjadi. Penurunan jumlah trombosit diakibatkan oleh aktivasi platelet, agregasi
dan konsumsi yang meningkat disertai rentang hidup yang berkurang. Trombositopenia
di bawah 100.000/ul menggambarkan proses penyakit yang berat, dan biasanya akan
terus menurun, Setelah persallnan, jumlah trombosit akan meningkat progresif untuk
mencapai kadar normal dalam 3-5 hari, Preeklampsia berat sering disertai dengan
hemolisis yang ditandai dengan kadar LDH yang meningkat, Buktl lalnnya adalah pada
apus darah tepi banyak terjadi perubahan morfologi eritrosit seperti schizocytosis,
spherocytosis dan retikulocytosis, Hal inl dlsebabkan oleh hemol/sis mikroangiopati yang
diakibatkan oleh disfungsi endotel yang disertai dengan deposit fibrin dan agregasl
trombosit. Adanya perubahan membran eritrosit, meningkatnya agregasi akan
memfasilitasi kondisi hiperkoagulasi. Perubahan laboratorium kearah kondisi
hiperkoagulasi pada dasarnya bersifat ringan, Oleh karena itu pemeriksaan rutin faktor
koagulasi, termasuk PT/APTT dan fibrinogen tidak diperlukan pada pasien dengan
preeklampsia-eklampsia. Trombofilia adalah defisiensi faktor pembekuan yang
mengakibatkan kondisi hiperkoagulasi. Hal ini berhubungan dengan preeklampsia early
onset. Dilaporkan juga bahwa kadar antitrombin lebih rendah pada wanita. dengan
Pf'DS I ol»atrvd.ruovG~2015 34
preeklampsia dibandingkan dengan wanita normal atau dengan hipertensi kronis.
Adanya trombositopenia, hemolisis dan peningkatan enzim hati disebut sindroma HELLP
yang merupakan perburukan darl preeklampsla. Beberapa klinlsl memberlkan
kortikosteroid untuk mengurangi berat penyaklt. Paslen dengan sindroma HELLP
mempunyai angka komplikasi yang IInggi, Haddad dkk menemukan pad a 40% kasus.
Perubahan pada sistem endokrin, homeostasis juga terjadi pada pasien dengan
preeklampsia-eklampsia. Volume cairan ekstraseluler akan meningkat,' diakibatkan oleh
adanya kerusakan endotel. Akibat adanya kadar protein yang menurun maka terjadi
tekanan onkotik yang rendah dan memfasifitasi terjadinya ekstravasasi cairan ke ekstrasel.
Terjadi juga perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus yang berkurang yang mungkin
diakibCltkan oleh volume plasma yang berkurang. Sebagai akibatnya pada paslen dengan
preeklampsia maka kadar kreatinin plasma akan meningkat hingga 2 kali kadar kehamilan
normal (dari 0,5 mgfdl menjadi 1,0 mgjdl). Pada kasus yang lebih berat lagi yang disertai
dengan vasospasme intrarenal maka kadar kreatinin dapat mencapai 2-3 mgjdl. Secara
anatomis juga terjadi perubahan pada ginjal, yaitu adanya endoteliosis kapiler glomerulus
yilng ditandai dengan pembengkakan endotel kapiler glomerulus yang disertai deposit
materi protein subendotel. Pada kasus yang berat dapilt terjadi kegagalan ginjal yang
diakibatkan oleh nekrosis tubuler akut dengan eiri oliguri atau anuria dan peningkatan
kadar kreatinin yang cepat (sekitar I mgjdl/hari). ...
Perubahan pada hepar wanita eklampsia pertama kali dikemukakan oleh Virchow
pada tahun 1856. Lesi yang khas adalah perdarahan periportal di perifer hepar. Sheehan
dan Lynch menemukan perdarahan yang disertai infarl< pada 50% kasus. Perdarahan
yang terjadi biasanya ditangani secara konservati kecuali hematom bertambah besar,
yang memerlukan intervensi bedah.
Preeklampsia-eklampsiajuga mengakibatkan perubahan pada susunan saraf pusat.
PerulJahan anatomis yang bisa terjadi adalah perdarahan al<ibat robeknya pembuluh
darah kilrena hipertensi dan mungkinjuga timbul edema, hiperemi, iskemi. trombosis dan
perdarahan. Pada perubahan yang pertama lebih sering terjadi pada wan ita dengan
hipertensi kronik sebelumnya. Dengan teknologi dopier maka sekarang dapat dilakukan
pengukuran aliriln dilrah dan perfusi serbral nir invasif. Belfort dl<k menemukan bahwil
preeklampsia berhubungan dengan peningkatan tekanan perfusi serebral yang dilawan
dengan peningkatan resistensi serebrovaskuler sehingga tidak ada perubahan aliran
darah serebral. Pada eklampsia, karena hilangnya autoregulasi aliran serebral, terjadi
hiperperfusl seperti yang dltemukan pada ensefalopati hipertensi. Zeeman dkk dengan
studi MRl menemukan bahwa I<ehamllan normal berhubungan dengan penurunan 20%
aliran darah serebral sedangkan pada preeklampsia terjadi hiperperfusi yang mungkin
berperar. pada edema vasogenil< yang ditemukan pada MRI.
Selain pada sirkulasi maternal, preeklampsia-eklampsia juga mempengaruhi perfusi
uteroplasenta akibat adanya vasospasme. Brosens dkk melaporkan rerata diameter
arteriol spiralis miometrium sebesar 200 flm pada wanita dengan preeklampsia
dibandingkan rerata diameter 500 flm pada wanita dengan kehamilan normal.
Pemeriksaan penurunan perfusi uteropfasenta diJakukan secara indirek menggunakan
doppler. Dari penelitian yang ada, peningkatan resistensi terjadi pada beberapa namun
tidak semua kasus preeklampsia.
Diagnosis
Hipertensi didiagnosis bila tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih dengan
menggunakan fase 5 korotkoff sebagai definisi tekanan diastolik. Peningkatan tekanan
sistolik sebesar 30 mmHg dan diastoli sebesar 15 mmHg tidak lagi direkomendasikan
sebagai kriteria diagnostik, Proteinuria yang signifikan adafah bila mefebihi 300 mg/24
jam atau 30 mgjdl (positif 1pada dipstick! yang menetap pacla sampel urin ilCilk.
PPDS I O~vd.:uvG~2015
35
Bila ditemukan hipertensi pada wanita hamil tanpa disertai adanya proteinuria
maka disebut hipertensi da/am kehamilan atau hipertensi transien bila tida/< timbu/
preeklampsia dan tekanan darah menjadi normal da/am 12 minggu pasca persalinan. Jadi
hipertensi dalam kehamilan sebenarnya diagnosis eksk/usi dan perlu diingat bahwa
beberapa pasien dapat memburuk menjadi preeklampsia. Preeklampsia didiagnosis bila
adanya hipertensi yang diserlai proteinuria. Disebut preeklampsia berat bila memenuhi
kriteria yang ada di atas.
Penatalaksanaan
Hipertensi dalam kehamilan pada prinsipnya ditangani secara rawat jalan. Dilakukan
pemantauan tekanan darah, proteinuria dan kondisi janin setiap minggu. Jika terdapat
tanda pertumbuhan janin terhambat maka dilakukan perawatan 'untuk menil(li
kesejahteraan janin dan perlu tidaknya terminasi kehamilan. Selama rawat jalan pasien
dan keluarga diberikan informasi mengenai tanda bahaya yang mengarah ke
preeklampsia atau eklampsia.
Prinsip utama penanganan preeklampsia adalah terminasi kehamilan dengan
trauma terkecil baik pada ibu danjanin, melahirkan bayi yang viabel dan mengembalikan
kesehatan ibu secara komplit.
Preeklampsia ringan dengan usia I<ehamilan kurang dari 37 minggu maka dilakul<an
pemantauan 2 kali seminggu untuk menilai tekanan darah, urin dan kondisljanin, Selama
pemantauan tidak perlu dinerikan antikonvulsan, sedatif atau penenang , antlhlpertensl
dan restriksi garam. Jika kehamilan lebih dad 37 minggu dan ada tanda perburukan
kondisi janin seperti cairan amnion yang berkurang atau pertumbuhan janin terhambat
maka persalinan perlu dipercepat. Jika serviks matang maka dilakukan amniotomi dan
induksi oksitosin. Jika serviks tidak matang. dilakul<an pematangan dengan prostaglandin
atau kateter folley atau dilal<ukan seksio sesarea.
Preeklampsia berat ditangani hampir sama dengan eklampsia dengan perbedaan
bahwa lahirnya bayi harus dalam 12 jam setelah kejang pada kasus dengan ekiampsia,
Seperti teiah disebutkan terminasi I<ehamilan adalah prinsip penanganan preeklampsia.
jadi pada preekaimpsia berat prinsip utamanya adalah pencegahan kejang dan kerusakan
organ dan meiahirkan bayi. Magnesium sulfat parenteral adalah obat antikonvulsan yang
efektif tanpa depresi sistem saraf pusat bayi dan ibu. Kadar terapeutik adalah sebesar 4·7
mEq/L . Reflel<s patella akan menghilang pada I<adar 10 mEq/L dan merupakan tanda
toksisitas paling awai. Jika kadar melebihi 10 mEq/l maka akan timbul depresi pernafasan
dan henti nafas terjadi pada kadar 12 mEq/l atau lebih. Pemberian MgS04 harus
memperhatikan fungsi ginJai. karena ekskresinya tergantung dari ekskresi oleh ginjal.
Estimasi fungsi ginjal dilakukan dengan mengukur kadar I<reatinin plasma. dimana bila
kadar> 1.3 mgldl maka pemberian MgS04 rumatan diberikan dalam setengah dosis. Pada
kasus toksik. pemberian Ca gJukonat 1 gr intravena dengan menghentikan pemberian
MgS04 dapat mengatasi depresi pernafasan. Namun pada kasus berat atau disertai henti
jantung maka intubasi dan ventilasi mekanik harus dilakukan.
MgS04 menunjukkan efektifitas yang baik dalam mencegah kejang. Penelitian
Eclampsia Trial Collaborative Group menunjukkan bahwa wanita yang diterapi .MgS04
memiliki kejang ulangan 50% lebih rendah dibandingkan yang diberikan diazepam.
Kelompok MgS04 juga mempunyai angka kematian maternal yang lebih rendah. Sekitar
10-15% wanita dengan eklampsia akan mengalami kejang ulangan dalam pengobatan
MgS04. Dosis tambahan sebesar 2 gr intravena dapat diberikan. Pada kasus eklampsia
puerpuralis maka pemberian MgS04 diJakukan se/ama 24 jam.
Obat antihipertensi diberikan bila tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih.
Target terapi ada/ah untuk mempertahankan tekanan diastolik 90-100 mmHg untuk
PPDS I O~da.vG~Z015 Jo
mencegah timbulnya perdarahan otak. Pilihan obat antihiperensi adalah hidrCllazin,
/abeta/o/ iltilU nifedipin dengiln tara pemberian sebagai berikut ;
Hidralazin diberikan 5 mg iv secara perJahan setiap 5 menit sampai tekanan darah
turun. Di:JJang setia jam atau berikan hidralazin 12,5 mg 1M setiap 2 jam bila
diperJukan.
Labetolol diberikan 10 mg iv, jika respon tidak adekuat setelah 10 menit maka
diberikan Jagi Jabetolol 20 mg iv. Naikan dosis menjadi 40 mg dan kemudi,m 80 mg
Jika tidak didapat respon setelah 10 menit pemberian.
Nifedipin diberikan 5 mg sub lingual, jika tekanan diastolik masih di atas 110 mmHg
setelah 10 menit maka diberikan lagi 5 mg sublingual.
Prognosis
Wanita dengan t,ipertensi yang timbul dalam kehamilan harus dievaluasi pasca persalinan
dan diberikan konse/ing mengenai kehamilan berikutnya dan risiko kardiovaskuler. Jika
setelah 12 minggu tekanan darah masih di atas normal maka disebut hipertensi kronik.
Wanita dengan riwayat preklampsia mempunyai risiko lebih tinggi untuk timbul
hipertensi dalam kehamilan berikutnya. Sibai dkk menemukan bahwa nullipara yang
didiagnosis preeklampsia sebeJum 30 rninggu mempunyai risiko rekurensi sebesar 40%
pada kehilmilan berikut. Juga harus diingat bahwa wan ita dengan preeklampsia early·
onset mungkin mempunyai penyakit yang mendasari sehinggil dapat mempengaruhi
kesehiltan jangka panjang.
REFERENSI
1. Hypcncmive dISorders in pregn~ncy. In Cunningham ct a!. ed. Williams Obstetrics 22"a edition, McGraw-Hili. 2005
2. M,maging Complication in Pregn,mcy and Childbirth: A guidr for midwives Clnd doctors, WHO, 2003.
This topic will focus upon the clinical manifestations. diagnosis, and management of HELLP
syndrome. Preeclampsia is reviewed in detail separately. (See "Preeclampsi,,: Clinicill features ilnd
diagnosis: and"Prccclampsiil: Man,lgement ilnd prognosis".)
INCIDENCE - HELLP develops in approximately O. 1to 0.8 percent of pregnancies overall and in 10
to 20 percent of women with severe preeclampsia/eclampsia.
RISK FACTORS - A previous history of preeclampsia or HELLP is a risk factor for HELLP syndrome
(see 'Recurrence in subsequent pregnancies' below). Sisters and offspring of women with a history
of HELLP syndrome are also at increased risk of developing the syndrome [2). A variety of genetic
PPD5 I 01JltUn,dD..\.G~2015 37
variants associated with an increased risk of HELLP syndrome have been reported, but have no role
in clinical management ['H
In contrast to preeclampsia, nulliparity is not a risk factor for HELLP syndrome (IJ. Half or more of
affected patients are multiparous.
In less than 2 percent of patients with HELLP, the underlying etiology appears to be related to fetal
long<hain 3-hydroxyacyl CoA dehydrogenase ILCHAD) deficiency I.!1..U.J. In one case series. all six
pregnancies with felal LCHAD deficiency developed severe maternal liver disease IHELLP or acute
fatty liver of pregnancy [AFLPJ) [l.±]. These complications probably were not due to chance or
maternal heterozygosity for LCHAD deficiency alone because three other pregnancies with
unaffected fetuses among these mothers were uncomplicated. In another case series In which 19
fetuses had LCHAD deficiency, 15 mothers (79 percent) developed AFLP or the HELLI' syndrome
during their pregnancies [1.5.J .. [See -Acute fatty liver of pregnancy".)
PATIENT PRESENTATION - HELLP syndrome has a variable presentation (table 3). The most
common symptom is abdominal pain and tenderness in the midepigastrium. right upper quadrant.
or below the sternum [l12J. Many patients also have nausea. vomiting, and malaise. which may be
mistaken for a nonspecific viral illness or viral hepatitis. particularly if the serum aspartate
aminotransferase (AST) and lactate dehydrogenase (LDH) are markedly elevated Ill]. Less common
signs and symptoms include headache. visual changes,jaundice, and ascites. Mistaking abdominal
pain. nausea. vomiting. and malaise for viral illness is a common pitfall that has resulted in maternal
death or severe morbidity [J.§].
Hypertension (bloOd pressure ~ 140/90 mmHg) and proteinuria are present in approximately 85
percent of cases. but it is important to remember that either or both may be absent in women with
otherwise severe HELLI' syndrome [.l.2J.
Signs and symptoms typically develop between 28 and 36 weeks of gestation, but second trimester
or postpartum onset is also common. In an illustrative series of 437 women who had 442
pregnancies complicated by the HELLP syndrome, 70 percent occurred prior to delivery [l12J. Of
these patients, approximately 80 percent were diagnosed prior to 37 weeks of gestation and fewer
than 3 percent developed the disease between 17 and 20 weeks of gestation. The disease
presented postpartum in 30 percent, usually within 48 hours of delivery. but occasionally as long as
Pl'VS I O~vda..v~~Z015 38
7 days after birth. Only 20 percent of postpartum patients with HELLP had evidence of
preeclampsia antepartum.
Serious maternal morbidity may be present at initial presentation or develop shortly thereafter. This
includes disseminated intravascular coagulation (0"). abruptio placentae. acute renal failure.
pulmonary edema. subcapsular or intra parenchymal liver hemiltoma. and retinal detachment
(see 'Maternal outcome' below) [1QJ.
DIAGNOSIS - The diagnosis of HELLP syndrome is based upon the presence of all of the laboratory
abnormalities comprising its name (hemolysis with a microangiopathic blood smear, elevated liver
enzymes. and low platelet count) in a pregnant woman. Thus, laboratory work-up should include
[12J:
.Complete blood count with platelet count
.Peripheral smear
.Aspartate aminotransferase (AST), bilirubin
In addition. we obtain a serum crelltinine concentration and urine protein to creatinine ratio.
vomiting, fatigue or malaise) in the second half of pregnancy or first postpartum week.
Pregnant/postpartum women who have some of the typical laboratory abnormalities but do not
meet all of the laboratory criteria described below are considered to have partial HELLP syndrome
[ZJ.
Laboratory criteria.- Precise criteria for HELLP are necessary for research purposes and for
predicting maternal complications. We require the presence of all of the following criteria to
IMicroangiopathic hemolytic anemia with characteristic schistocytes (also called helmet cells)
on blood smear fWllitli. Other signs suggestive 01 hemolysis Include an elevated indirect
bilirubin level and a low serum haptoglobin concentration (S25 mg/dL) .
• Platelet count S 100,000 celis/microL
.Total bilirubin ~ 1.2 mg/dL (20.52 micromol/L)
.Serum AST ~70 lUlL. Some investigators obtain alanine aminotransferase IALT) levels instead
of. or in addition to, AST levels. An advantage of the AST is that it is a single test thilt reflects
both hepatocellular necrosis and red cell hemolysis.
These thresholds were chosen. in part, to avoid problems related to differences in assays used to
measure liver enzymes. which may result in an elevated value in one hospital that is near normal in
another. We do not include elevated lactate dehydrogenase (LDHI in the laboratory criteria for
HELLP syndrome because it is a nonspecific finding associated with both hemolysis and liver
disease.
PPDS r O~"AAn.G~20lS 39
As discussed above, women who do not meet all of the above laboratory abnormalities arc
con~idered to have partial Hmp ~yndrome. However, the~e patient~ may progre~s to complete
expression of HELLP syndrome.
There is no consensus regarding the laboratory criteria diagnostic of HELLP syndrome. A common
alternative /Mississippi classification) used to define HELLP syndrome is [20 21]:
In one series of 46 women who developed liver disease during pregnancy severe enough to require
admission to a liver failure unit. 70 percent had acute fatty liver and 15 percent had HELLP Ill).
Most of the remaining patients had liver disease that was unrelated to pregnancy.
Acute fatty liver of pregnancy - The clinical presentation of AFLP commonly includes nausea and
vomiting. abdominal pain, malaise, polydipsia/polyuria,jaundice/dark urine, encephalopathy,
andhypertension/preeclampsia (H). HELLP may be difficult to distinguish clinically from AFLP since
both occur at the same time in gestation and share several clinical features (figure I ).In fact, in one
study approximately half of AFLP patients based on the Swansea criteria (which identify the most
severe spectrum of the disease) also fulfilled criteria for HELLP syndrome [ll). (See "Acute fatty liver
Q~nan'.'iJi'i.tion_Q,n 'Clinic,,1 manifestiltians'.)
It is important to differentiat,e between the two disorders because women with AFLP can rapidly
develop liver failure ilnd encephalopathy. Additional laboratory testing can be helpful:
prolongation of the prothrombin (PT) and activated partial thromboplastin time (aPTT), severe'
hypoglycemi~, and elevated creatinine concentration are more common in women with AFLP than
in those with HELLP. Hypertension is more common in HELLP than in AFLP fin one review: 80 to
100 percent of c~ses versus 26 to 70 percent of cases ['-1])
Of note, women with AFLP are more likely than women with HELLP to have offspring with an
inherited defect in mitochondrial beta-oxidation of fatty acids. such as long-chain 3.hydroxyacyl
coenzyme A dehydrogenase deficiency, short-Chain acyl-coenzyme A dehydrogenase deficiency,
or carnitine palmitoyltransferase I deficiency [12,13 15,26 27]. However, this information is not
typically available during differential diagnosis, and is not highly sensitive or specific. (Sec "Acute
fatty liver of pregnancy" section on ·Pathogenesis·.)
AFLP can be confirmed by diilgnostic liver biopsy. but this is rarely performed because the clinical
diagnosis is usually reasonably certain, the information gained would not Change management fie,
PPDS I Oi»tW"~G~20J5 40
delivery of the fetus I, and the procedure exposes the mothei and pregnancy to additional risks
(picture 2). Fa.:rthermore, AFlP and HELLP share several common histological features Lli).
ISee "Acute fatty liver of pregnancy" section on 'liver biopsy'.1
Time of onset may suggest one disorder over the other. The onset of TTP tends to be earlier in
0'
gestation than the onset preeclampsia or HELLP: about IZ percent of TTP in pregnancy occurs in
the first trimester, 56 percent in the second trimester, and 33 percent in the
third trimester/postpartum, whereas preeclampsia·HELLf' does not occur before 20 weeks of
gestation and most cases are diagnosed in the third trimester [13J. A history of proteinuria and
hypertension prior to onset of hemolysis, liver abnormalities. and thrombocytopenia favor the
diagnosis of preeclampsia.
Laboratory studies are most helpful for distinguishing between np·HU5 and HELLI"' as the
coagulation abnormalities in these disorders are different.
.HELLI"' is associated with thrombocytopenia and, in severe cases, there may be disseminated
intravasculM coagUlation IDICj with the attendant prolongation of the PT and "PTI, and
reductions in the plasma concentraticns of factors V and VIII. In contrast, TTp·HU5 is
associated with isol~ted platelet consumption; thus, ~Ithough thrombocytopenia is seen, the
other findings ~re typically absent.
.The percentage of schistocytes on peripheral smear is ohen higher in TIP 12 to 5 percent)
than in HELLP (less than I percent) ill).
•Von Willebrand factor·cleaving protease IADAMTS·! 3) activity <5 percent is seen in 33 to
100 percent of women with TIP, but is rare or absent in those with HUS or HELLP [.u..li).
oA high LDH level with only modest elevation of AST is more consistent with TTl"' than HELLI"'.
MANAGEMENT
Initial approach - After the diagnosis is confirmed, the initial steps in management are to stabilize
the mother, assess the fetal condition, and decide whether prompt delivery is indicated,
Pregnancies less than 34 weeks of gestation, and those in which the mother is unstable, should be
managed in consultation with a maternal·fetalspecialisl.
Antihypertensive drugs are used to treat severe hypertension. Hypertension can usually be
controlled with labetaloi, hydralazine, or nifedipine or, in severe cases, with
sodium nitroprusside [1). The approach to antihypertensive therilpy is thp. same as that for
preeclampsia. ISee "Management of hypertension in pregnant and postpartum women", section on
·Preeclampsia·.J
PPDS I ()~.u.....G;,~v20!5 41
Magnesium sulfate is given intravenously to patients on the labor and delivery unit to prevent
Timing of delivery - The cornerstone of therapy is delivery, Delivery is curative and the only
effective treatment. There is consensus among experts that prompt delivery is indicated after
oln a study that treated 128 women with HELLP under 34 weeks of gestation with volume
expansion and pharmacologic vasodilatation under invasive hemodynamic monitoring,
delivery was necessitated in 22/128/17 percent) of patients within 48 hours; the remaining
patients had a median prOlongation of pregnancy of 15 days rlgJ. Although there was no
maternal mortality or serious maternal morbidity and more than half (55/102) of the women
had complete reversal of their laboratory abnormalities with expectant management. 11 fetal
and 7 neonatal deaths occurred.
oln another series, 41 women with HELLP under 3S weeks of gestation were managed
expectantly [37J. Delivery was required within 48 hours in 14/41 134 percentl, the remaining
patients had a median prolongation of pregnancy of 3 days and more than half 115/271 had
compete reversal of their laboratory abnormalities {37J. However, there were 10 fetal deaths.
Pregnancies less than 34 weeks of gestation - When both the maternal and fetal status are
reassuring, we administer it course of corticosteroids before delivering pregnancies complicated by
HELLP syndrome at less than 34 weeks of gestation [.!..2.lS.J. Although a short delay in delivery for
corticosteroid administration appears to be safe [38J, we do not advise attempts to delay delivery
beyond 48 hours because disease progression usually occurs, sometimes with rapid maternal
deterioration, ISee "Antenatal corticosteroid therapy for reduction of neonatal morbidity and
mortality from preterm delivery: and'Role of expectant management' above. 1
Indications for platelet transfusion - Actively bleeding patients with thrombocytopenia should be
transfused with platelets. Platelet transfusion may be indicated to prevent excessive bleeding
during delivery if the platelet count is less than 20,000 ceils/microL, but the threshold for
PPDS I O~dMvG~2015 42
prophylactic platelet transfusion in this setting is controversial. The decision depends on patient
specific factol's; consultation with the hemat010gy service may be helpful.
If cesarean delivery is planned. platelet transfusion may be required. Some experts recommend
platelet transfusion to aChieve a preoperative platelet count greater than 40.000 to
50,000 cells/mitrol [l!l), but the minimum count before a neuraxial procedure is controversial and
depends on factors in addition to' platelet concentration. (See "Adverse effects of neuraxial
analgesia and anesthesia for obstetrics" section on 'Neuraxial analgesia and low
~ and "Clinical ilnd lilboriltory aspects of pliltelet transfusion therilPY" section on
'Preparation for an invasive procedure'.)
Route of delivery - Vaginal delivery is desirable for women in labor or with ruptured membranes
and a vertex presenting infant, regardless of gestational age. Labor can be induced in women with
favorable cervices or pregnancies at least 30 to 32 weeks of gestation. Cesarean delivery is
performed for the usual obstetrical indications leg, breech. nonreassuring fetal status). However,
we feel cesarean delivery is probably preferable in pregnancies less than 30 to 32 weeks of
gestation if the cervix is unfavorable for induction, especially if there are signs of fetal compromise
(growth restriction. abruptio placenta, oligohydramnios), Induction of these pregnancies. even
with use of cervical ripenIng agents, gcner..lfy hllS .. high Failure r.. le lind Is often prolonged,
thereby potentialfy exposing the mother and fetus to a higher risk of complications from severe
HEllP syndrome. (See "Induction of labor".)
Because of the high riSK of subf.. scial and wound hematoma in these women, some surgeons plilce
a subfascial drain at cesarean delivery and leave the incision open for the first 48 postoperative
hours [.1J.
Anesthesia/analgesia - Opioids administered intravenously provide some pain relief without risk of
maternal bleeding, whiCh may occur with intramuscular administration or with placement of
neuraxial anesthesia. removal of a neuraxiat catheter, or placement of a pudendal nerve block.
However, there is no contraindication to perineal infiltration of an anesthetic for performing an
ep,siotomy or repairing the perineum. ISee 'Pharmacologic milnagcment of pain (turing la~oJ:-ililQ
~.j
Role of dexamethasone for treatment of HELLP - We do not treat HEllP syndrc-me wIth steroids.
Initial observational studies and smaH randomized trials suggested use of glucocorticoids may be
associated with more rilpid improvement in laboratory ilnd clinical parameters [39-42J, These
findings were not supported by subsequent large, weff-designed randomized. double-blind,
placebcxontroffed clinical trials evaluating the use of dex<tmethilsone to improve maternal
outcome in patients with HELLP syndrome [43 44J.
oln the first trial, a total of 132 women over 20 weeks of gestation with HELLP syndrome [60
antepartum, 72 postpartum) were randomly assigned to receive either dexilmethasone [10
mg intravenously every 12 hours until delivery and 3 additional doses after delivery) or
placebo; postpartum women only received the postpartum doses or placebo. All patients had
platelet counts less than 100.000celis/microL, aspartate aminotransferase lAST) >70 IU/L and
lactate dehydrogenase [LDH) >600 IU/L. The major findings of this trial were:
PPDS I O!ntctY;,cUuvGiNJ.c/b;!V2015 43
•Dexamethasone did not reduce the duration of hospitalization. the rate of platelet or
fre~h frozen pld~ma tranffusion, or maternal complications /acute renal failure,
pulmonary edema).
•The time of recovery of laboratory tests was not shortened by treatment.
•However. subgroup analysIs noted that patients with severe HELLP Iplatelet count
<50,000 cells/microl) given dexamethason~ had faster platelet count recovery and
shorter hospitalization than controls. We believe that this finding requires further
investigation in prospective trials. given that the analysis was unplanned and the
severity of disease was not taken into account at randomization .
• In the second trial. 114 postpartum women with HEllP syndrome were randomly assigned
to receive either dexamethasone 110 mg) or placebo (1.1). Use of dexamethasone did not
accelerate postpartum recovery of patients with HELLP syndrome: there was no difference
between drug and placebo groups in the resolution of laboratory or clinical parameters.
frequency of maternal complications. need for rescue therapy. or length of hospitalization.
Imaging tcsts, particularly computcd tomography (CT) or magnetic resonance imaging (MRII. are
useful when complications such as hepatic infarction. hematoma. or rupture Me suspccted because
of suddcn severe right upper quadrant abdominal pain. which may be associated with shoulder
pain. neck pain. and/or hypotension (47 48J. In one series of 33 women with HELlP and these
symptoms. imaging the liver revealed abnormal findings in 15 (45 percent) patients [47J. The most
common abnormalities were subcapsular hematoma and intraparenchymal hemorrhage (image
1 and image 2).
Management of hepatic complications
Hepatic hematoma and rupture - HELlP may be complicated by hepatic rupture with
development of a hematoma beneath Glisson's capsule [16.47 49 SOJ. Histology of the liver
adjacent to the rupture shows periportal hemorrhage and fibrin deposition. along with a
neutrophilic infiltrate. suggestive of hepatic preeclampsia [lQJ. The hematoma may remain
contained. or rupture. with resulting hemorrhage into the peritoneal cavity (image 3). A hepatic
hematoma rarely occurs in the apparent absence of preeclampsia or HEllP LUJ.
Women who develop a hepatic hematoma typically have epigastric pain and many have severe
thrombocytopenia. shoulde~ pain. nausea. and vomiting [.41). If hepatic rupture occurs. swelling of
the abdomen from hemoperitoneum and shock rapidly ensue. The aminotransferases are usually
PPDS I Oi>ltW-Vda,n,G~20J5 44
mOdestly elevated, but values of 4000 to 5000 lUll can occasionally be seen. Imag;ng using (T or
MRI is more dependable than ultrasonography for detecting these lesions [imilge If and ~)
IllJ·
The management of a contained hematoma is to support the patient with volume replacement and
blood transfusion, as needed. If the size of the hematoma remains stable and her laboratory
abnormalities are resolving, the patient may be c1ischarged home with outpatient follow·up. It may
take months for the hematoma to resolve completely [iZ].
Percutaneous embolization of the hepalic arlerles Is a reasonable first·line therapy of hepatic
rupture in women who are hemodynamically stable [5253). Surgical intervention is indicated if
there is hemodynamic instability, persistent bleeding, increaSing pain, or continued expansion of
the hematoma [54J, A team experienced in liver trauma surgery should be consulted [2.2.J,
Operative management includes packing, drainage, hepatic artery ligation, and/or resection of
affected areas of the liver, For patients with intractable hemorrhage despite these interventions,
administration of recombinant factnr Vila [~ and liver transplantation [57·60J have been
successful in case reports.
Hepatic Infarction - Hepatic inFarction Is rare in HELLI' syndrome and is usually associMed with
an underlying procoagulant state, particularly the anti phospholipid syndrome r~J, Clinical
findings include marked elevation in serum aminotransferases /usually 1000 to 2000 lUlL or
higher' with right upper quadrant pain and fever; infarction can be followed by hemorrhage, The
diagnosis is supported by characteristic hepatic imaging (MRI or (TI. (See'Clinic~1 manifestations of
the ~ntiphospholipid syndrome" and "Ischemic hep~titis hepillir. inf~rction and iSCho"1i(
chol"ngiop~thy"·1
POSTPARTUM COURSE -laboratory values m~y initially worsen following delivery, The time
course of recovery from HELlP was evaluated in a series of 158 women with the disease [IllJ,
Decreasing platelet counts continued until 24 to 48 hc.urs after delivery, while serum LDH
concentration usually peaked 24 to 48 hours postpartum, In all patients who recovered, a platelet
count greater than I OO,OOOcells/microL was ~chieved spontaneously by the sixth postpartum day
or within 72 hours of the platelet nadir, An upward trend in platelet count and a downward trend
in LDH concentration should be seen by the fourth postpartum day in the absence of
complications, Others have reported similar findings [2£).
Recovery can be delayed in women will1 particul~rly severe disease, such as those with
disseminated intravascular coagUlation (DICJ. platelet count less than 20,000 cells/microl, renal
dysfunction, or ascites rJ '} 67J. These women are at risk of developing pulmonary edema and renal
failure.
Maternal outcome - Following the delivery, maternal sYr:1ptoms and signs begin te. improve within
48 hours, but a protracted course is possible,
PPDS I OI"t"lh~C;i~v2015
45
The outcome for mothers with HELLP is generally good; however, serious complications are
relatively common, In our series of 437 women with HELlP syndrome at a tertiary care facility, the
following complications were observed [.l.Q]:
In addition, 55 percent of the patients reqUired transfusions with blood or blood products, and 2
percent required laparotomies for major intraabdominal bleeding. Four women (1 percent) died.
These complications are interdependent: abruptio placenta is a common obstetrical etiology of DIC.
Which, in turn, may induce acute renal failure. Acute renal failure may lead to pulmonary edema.
Additional complications that have been reported in other series include: adult respiratory distress
syndrome, sepsis, and stroke [LIl]. Wound complications secondary to bleeding and hematomas
are common In women with thrombocytopenia.
Although most liver function tests {aspartate aminotransferase [AST], lactate dehydrogenase [LDH],
ilnd conjugated bilirubinl return to normal postpartum, in one report, totill bilirubin levels were
elevated in II (20 percent) of the women who had liver function tests checked 3 to 101 months
after delivery [~j.
HELLP syndrome with or without renal failure does not affect long·term renal function (c,:).lQj.
Recurrence in subsequent pregnancies - Data defining the recurrence risk of HELLP syndrome are
sparse given the relatively low incidence of the disorder. The risk of recurrent HELLP is low {2 to (,
percentl, but the risk of preeclampsia in a subsequent pregnancy is high (>20 percent). and even
higher 1>50 percent) among women with second trimester HELLP.
• In three series including almost 400 pregnanCies in women with a history of this syndrome,
the rate of recurrence was 2 to 6 percent [2..CZ1J. However, recurrence rates (mostly partial
HELLP syndrome) of 24 to 27 percent have also been reported [.ll.li) .
• Rilre cases of recurrent hepiltic rupture in a subsequent pregnancy have been reported
(4975J .
• Women with a history of HELLP syndrome are at high risk for developing preeclampsia in a
subsequent pregnancy [71,72 74]. In one series of 152 such women with 212 subsequent
pregnancies, the incidence of preeclampsia varied from 19 percent in normotensive women to
75 percent in those with underlying hypertension [Il]. Another report was limited to 48
women with second trimester HElLP syndrome who had 62 subsequent pregnancies that
progressed beyond 20 weeks of gestation [72]. Preeclampsia occurred in 27 of S2 subsequent
pregnancies (52 percentl in normotensive women and 7 of 10 pregnancies (70 percentl in
women with chronic hypertension.
I'PDS 1 Oh;tw"da..vG~20J5 46
Prevention - ThNc is no evidence that any therapy prevents recurrent HEllP syndrome, but data
are limited, Use of low dose aspirin for prevention of preeclampsia is discussed separately,
(See"Preeclampsia: Prevention" section on 'Antiplatelet agents'.)
Fetal/neonatal outcome - Fetal/neonatal and long-term prognosis are most stro~gly associated
with gestational age at delivery and birthweight (~J. Maternal laboratory parameters do not
predict fetal mortality. Prematurity is common 170 percent; with' 5 perceht of births before 27
weeks) i12J, and may be complicated by intrauterine growth restriction and sequelae of abruptio
placenta em. The overall perinatal mortality is 7 to 20 percent; prematurity, intrauterine growth
restriction, and abruptio placentae are the leading causes of perinatal death [.12J. Leukopenia,
neutropenia, and thrombocytopenia may be observed, but appear to be related to intrauterine
growth restriction, prematurity, and maternal hypertension [78J. Maternal HElLP does not
affect fetal/neonatal liver function,
INFORMATION FOR PATIENTS - UpToDate offers two types of patient education materials, 'The
Basics" and "Beyond the Basics." The Ba~ics patient education pieces are written in plain languilge,
at the S'" to 6'" grade reading level, and they answer the four or five key questions a patient might
have about a given condition. These articles an, best for piltients who want a general overview and
who prefer short, easy-to-read materials. Beyond the Basics patient education pieces are longer,
more sophisticated, and more detailed. These articles are written at the' O'h to '2'" grilde reading
level and are best for patients who want in-depth information and are comfortable with some
medical jargon.
Here are the patient education articles that are relevant to this topic. We encourage you to print or
e-mail these topics to your patients. IYou can also locate piltient education articles on a variety of
SUbjects by searching on "patient info" and the keywordls) of interes!.)
.Basics topiC Isee "Piltient information: HELLP syndrome (The Basm andPiltient
information: High blood pressure and pregnancy (The Basicsl")
SUMMARY AND RECOMMENDATIONS
.HELLP syndrome (hemolysis with a microangiopathic blood smear, elevated liver enzymes,
and low platelet countJ develops in <I percent of pregnancies, but in '0 to 20 percent of
pregnancies with severe preeclampsla/e,lampsia. ISee 'Incidence' above.J
.The most common clinical presentation Is abdominal pilin and tenderness in the
midepigastrium, right upper quadrilnt, or below the sternum, Many patients illso have nausea,
vomiting, and malaise, which may be mistaken for a viral illness. Hypertension and proteinuria
are present in approximately 85 percent of cases. Most cases of HELLP are diagnosed between
28 and 36 weeks of gestation, but symptoms may present up to 7 days postpartum.
ISee 'Patient presentation' above.)
oWe base the diagnosis of HELlP on the presence of all of the following laboratory findings in
pregnant women of appropriate gestational age Isee 'Diagnosis' aboveJ:
•Microangiopathic hemolytic anemia with sChistocytes on blood smear (picture' J. Other
signs suggestive of hemolysis include an elevated indirect bilirubin level and a low serum
haptoglobin concentration (S25 mgldL) .
• Platelet count <I 00,000 celis/microL.
P!'V5 I Ob>tW-&"""'G~2015 47
•Total bilirubin> 1,2 mgldL,
oAfter the diagnosis Is confirmed. the initial steps in management are to stabilize the mother,
assess the'fetal condition. and decide whether prompt delivery is indicated, Severe
hypertension Is treated with antihypertensive therapy and magm:sium sulfate is given to
prevent convulsions and for neuroprotection of fetuses/neonates at 24 to 32 weeks of
gestation. (See 'Initial approach' above,)
oHELlP syndrome complicated by mUItiorgan dysfunction. disseminated intravascular
coagulation (DIC). pulmonary edema. liver hemorrhage or infarction. renal failure. abruptio
placenta or nonreassuring fetal status is an indication for prompt delivery regardless of
gestational age, (See 'Timing of delivery' above.)
oFor pregnancies ~34 weeks of gestation. we recommend delivery rather than expectant
management (~), In this population, the potential risks of preterm birth are
outweighed by the risks associated with HELLP syndrome, (See 'Timing of delivery' above.)
oFor pregnancies less than 34 weeks of gestation in which maternal and fetal status are
reassuring, we suggest delivery after a course of corticosteroids to accelerate fetal pulmonary
maturity rather than expectant management or prompt delivery I~J, Although the
laboratory abnormalities of HEllP syndrome will reverse in a subgroup of patients mana.ged
expectantly and serious maternal complications are uncommon with careful maternal
monitoring. overall perinatal outcome is not improved with expectant management.
(See 'Pregnancies less than 34 weeks of gestation' above.)
oFor gestations less than 30 to 32 weeks with an unfavorable cervix. we suggest cesarean
delivery to avoid a potentially long induction (~), (See 'Route of delivery' above,)
oWe recommend not giving dexamethasone for treatment of HELLP syndrome (~).
Dexamethasone does not accelerate resolution of laboratory abnormalities or reduce the risk
of maternal complications,/See 'Role of dexamethasone for treatment of HELLP' above.)
http"/lwww,uptodiHe coml
PPDS I O~da,n,G~ZOlS ~B
7. PLASENTA PREVIA
janin.
Klasifikasi:
,; rlasenta letak rendah : plasenta pada segmen bawah uterus dengan tepi tidak
mencapai ostium internum.
,; rlasenta previa marginalis: tepi plasenta letak rendah mencapai ostium internum
tetapi tidak menutupi ostium internum
,; rlasenta previa partialis: plasenta menutupi sebagian ostium internum
./ rlasenta previa totalis (komplit): plasenta menutupi seluruh ostium internum
Epidemiologi
• Etiologi masih belum diketahui. insiden meningkat sesuai usia, paritas, riwayat seksio
sesaria 1 kali 0.65%, 3 kali 2,2% dan 4 kali 10%.
Patofisiologi
Plasenta letak rendah terdapat pada 28% kehamilan < 24 minggu, karena segmen
bawah uterus belum terbentuk. Sesuai dengan membesarnya segmen atas uterus dan
terbentulmya segmen bawah uterus maka plasenta akan berpindah posisinya ke atas
(migrasi plasenta). Maka USG harus diulang pada kehamilan 32·34 minggu.
Risil(o terhadap maternal dan janin: perdarahan pasca bersalin, komplikasi anestesl
dan bedah, emboli udara, sepsis postpartum, plasenta akreta, rekurensi 4·8%,
prematuritas, IUGR, malformasi kongenital, malpresentasi, anemiajanin.
Perdarahan awal ringan, perdarahan ulangan lebih berat sampai syok, umumnya
perdarahan awal terjadi pada 33 minggu. rada perdarahan < 32 minggu waspada
infeksi traktus uri & vaginitis, servisitis
Diagnosis
• Perdarahan vaginal merah terang tanpa disertai nyeri pada kehamilan trimester 1/-111,
puncak insiden pada kehamilan 34 minggu.
• Malpresentasi
• USG, plasentografi, MRI
Pemeriksaan spekulum, perabaan fornises dan periksa dalam di meja operasi (rDMO)
(double set up/
Penatalaksanaan
• Terminasi per abdominam bila terjadi perdarahan per vaginam masif atau
mengancam keselamatan terutama ibu danjanin
Konservasijika perdarahan sedlklt. dan cari tanda infeksi di saluran kemih, cervix dan
vagina,
• Terapi tokolilik, antibiotik, pematangan paru pada janin 28 - 34 minggu, dan
persiapkan tranfusi autologus bila Hb ibu > 11 g%
• SC elektif pada kehamilan 37 minggu
• rerhatian khusus pada plasenta previa pada bekas SC untuk kemungkinan terjadinya
plasenta akreta/inkreta/perkreta /insidens meningl<at 30%)
Prognosis
Bervariasi tergantung kondisi ibu danjanin dan komplikasi.
PPOS I O~"""'G~201S 49
8. SOLUSIO PLASENTA
Epidemiologi
Insidennya meningkat berkaitan dengan usia ibu lanjut, multiparitas, riwayat syok
maternal, nutrisi buruk, hipertensi, korioamnionitis, dekompresi mendadak setelah
ketuban pecah pada uterus yang overdistensi seperti persalinan kembar dan
defisiensi asam folat, I<ompresi vena cava inferior dan antikoagulan lUpus. Pada
Rekurensi 5-17% setelah 1 episode pada kehamilan sebelumnya dan 25% setelah 2
Patofisiologi
Etiologi primer masih belum diketahui.
Risiko terjadinya syok hipovolemik, gagal ginjal akut, Ole. perdarahan pasca bersalin
dan perdarahan fetomaternaJ.
Diagnosis
Gejala klinil<: takikardia janin/ JUFD, trias Virchow's yaitu nyeri uterus fo.l<al atau
umum, tonus meningkat, dan perdarahan vaginal 185%1, 15 % pada tipe concealed.
USG : membantu pada tipe concealed yaitu area sonolusen retroplasental, lokasi
plasenta untul< membedakan dengan plasenta previa.
Penatalaksanaan
Lal<ukan resusitasi darah/ cairan sesuai kebutuhan
Pada solusio berat evakuasi I<onsepsi segera dan hentikan perdarahi1n dengan utero
tonika, restitusi I<el<urangan faktor pembekuan atau jika diperlul<an dapat dilakul<an
histerel<tomi
Pada solusio ringan dapat dilakukan perawatan konservatif dan pematangan paru
hingga kehamilan 3S minggu dan evaluasj ketatjumlah perdarahn retroplasenter
PrognOSis
Bervariasi tergantung derajat beratnya solusio dan komplil<asinya.
PPDS I o~vd.a.tl,G~20J5 50
9. PERTUMBUHAN JANIN TERlAMBAT
Epidemiologi
Patofisiologl
Pertumbuh<lnjanin terhambat dapat disebabkiln f<lktor genitik hipoksia dan
malnutrisi Janin
Pada pertumbuhanjanin terhambat terjadi Brain sparring effect
Diagnosis
Pemeriksa<ln Ultr<lsonogr<lfi, fungsi dinamikjanin pl,nenta Uika memungkinkan) .
Cermati kelainan konginetal.
Penetapan usia gestasi d<ln kematangan paru.
Penatalaksanaan
Pada kaSU5 pretrrm dengan pertumbuhanjanin terhamb<lt Jakukan pematangan
paru dan asupan nutrisi tinggi kalori mudah cerna, dan banyak istirahat.
Pada kehamilan 35 minggu tanpa terlihat pertumbuhanjanin dapat dilakukan
pengakhiran J<ehamiJan.
• Jika terdapat oJigohidramnion berat disarankan untuk per abdominam.
Pada kehamilan aterm tergantung kondisi janin jika memungkinkan dapat dicoba
lahir pervaginam
Prognosis
Ibu umumnya bail<janin bergantung keadannYiI
PPV5 I Ol>lM'v~G~20J5 5J
10. MALPRESENTASI
Epidemiolog;
Insidens malpresentasi berbeda-bec1a tergantung dari jenisnya. Presentasi bokong terjadi
pada 3-4% dari seluruh kehamilan sedangkan letak lintang terjadi satu dii,.j 322 kelahiran
dengan janin tunggal 10,3%). Dari 70.000 kelahiran janin tunggal di liS Parkland pada
tahun 1995-1999 didapatkan 1 dari 2000 kelahiran dengan presentasi wajah.
Patofisiologi
Pada sebagian besar I<asus, etiologi definitif ddri malpresentasi jan in masih belum
diketahui. Hal ini biasanya dil<aitkan dengan kontraktur pelvis, bayi besar. polihidramnion,
kehamilan multipel, plasenta letak rendah, persalinan preterm, anomali janin ltumor
leher), kelainan uterus dan pelvis kongenital maupun didapat.
Pada presentasi wajah, kepala berada pada posisi hiperekstensi sehingga oksiput
sampai pada punggungjanin dan dagu merupakan bag ian terendah darijanin. Presentasi
wajah dapat berupa presentasi dagu di anterior atau posterior berdasarkan posisinya
terhadap simfisis pubis ibu. Pada janin aterm, kemajuan persalinan biasanya terhambat
pada prcsentasi dagu posterior karena dahi Ibregma) janin tertel<an pada simfisis pubis
ibu. Hal ini menyulitkan untul< melakukan fleksi agar dapat lahir pervaginam. Sebagian
besar dari presentasi ini al<an berubah secara spontan menjadi presentasi dagu anterior,
bahkan pada akhir pcrsalinan.
Diagnosis
Penegakan diagnosis kelainan presentasi dimulai dari pemeriksaan fisiJ< abdomen. Pada
letak lintang kadang·l<adang dapat dicurigal dari inspel(Si abdomen, yang ditunjang juga
tidak dltemukan fetal pole pada fundus serta ditemukannya kepala janin di fossa iliaka.
Presentasi bokong ditegakl<an bila pada pemeriksaan leopold ditemukan baglan
besar janin yang lebih lunak dan ireguler di fundus serta perabaan kepala di segmen
bawah uterus.
Penatalaksanaan
Setelah ditemukan kondisi kehamiJan dengan kelainan presentasi maka perlu dilakukan
pemeriksaan tambahan untuk menentukan perencanaan tindakan. Pemeriksaan
ultrasonografi sangat penting untuk menilai kemungkinan penyebab dari malpresentasi
ini. Adanya plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, tumor jalan lahir serta kelainan
jumlah air ketuban merupakan informasi yang akan didapat dari pemeriksaan USG.
Pada kasus presentasi bokong atau letak lintang yang ditemukan pada
pemeriksaan antenatal dapat dilakukan observasi bila kehamilan masih < 36 minggu. Jika
pada kehamilan lebih dari 36 minggu tidak tercapai versi spontan maka dapat dilakukan
versi luar.
PPDS 1 ObmtYVa.......G~2015
52
APilbilil Sail! persalinan janin masih dalam presentasi bokong maka harus
diputuskan untuk melahirkan pervaginam atau seksie sesarea. Materi untuk asuhan
persalinan presentasi bekong dilpat dilihat di modul persalinan diln kelahiran.
Kelahiran spentan pada janin matur tidak mungkin terjadi pada letak Jintang.
Setelah ketuban pecah, apabila kelahiran terus berlanjut maka bahu janin akan dipaksa
masuk kedalam pelvis dan tangan janin masuk kedalam jalan lahir. Setelah penurunan
lebih lanjut, bahu janin akan semakin terdorong ke pelvis sehingga terbentuk tanda
berupa retraction ring. Situasl ini disebut sebagai lintang kasep. Jika tidak ditatalaksana
dengall baik, dapat terjadi ruptur uteri yang membahayakan janin dan ibu. Walau dengan
tatalaksana yang maksimal, angka morbiditas pasien meningkat karena biasanya letak
lintang diasosiasikan dengan plasenta previa, peningkatan risiko prelaps tali pusa! dan
keperluan untuk dilakukannya tindakan operasi.
Prognosis
EleivClriasi
f'PDS I oi»tW-"da.n-G"~2015 53
If. KEHAMILAN GANDA
Definisi dan kJasifikasi
I<ehamilan denganjanin dua atau lebih. Terdiri dari kembar monozigot dan kembar
dizigot. Berdasarkanjumlahjanin maka dapat
Epidemiologi
Kembar monozigot merupakan hasi dari pembelahan ovum tunggal. Terjadi pada 2,3-4
dari 1000 kehamilan. Angka ini tetap dan tidak dipengaruhi oleh I<eturunan, usia ibu dan
atau faktor lainnya, Kembar dizigot dihasilkan dari ovum berbeda yang dibuahi. Terjadi
pada satu dari 83 konsepsi, sedangkan triplet terjadi pada satu dari 8000 konsepsi
Patofisiologi
Kehamililn mullipel termasuk kembar atau lebih dari dua (triplet, quadruplet). Dua tipe
dari kembar adalah monozigot dan dizigot.Kembar dizigot, yang kadang dlsebut kembar
fraternal, terbentuk saat dua sperma membuahi dua sel telur. Kemudian akan terbentuk
amnion, korion, dan plasenta yang terpisah, Plasenta pada kembar dizigotik dapat
menyatu jika tempat implantasi berdekatan. Plasenta yang menyatu dapat dipisahkan
dengan mudah setelah kelahiran,
I<embar monozigot terbentuk saat satu ovum yang terfertilisasi membelah pada dua
minggu pertama letelah konsepsi. I<embar monozigot disebut kembar identik,
Pembelahan dini (seperti pada 2 hari pertama setelah fertiJisasi) pada i<embar monozigot
menyebabkan terpisahnya korion dan amnion. I(embar dikorion ini memiliki plasenta
yang berbeda yang dapat terpisah atau menyatu, I(ira-kira 30% kembar monozigot
memiliki plasenta dikorionldiamnion, Pembelahan yang belai<angan (pada hari ke 3-8
setelah fertilisasi) menyebabkan plasentasi monokorion/diamnion, Kira-kira 70% kembar
monozigot monokorion/diamnion. JiI<a pembelahan terjadi lebih terlambat (9-12
hari setclah fertilisasi) terjadi plasentasi monokorion/monoamnion. Kembar
monokorion/rnonoamnion jarang terjadi, hanya 1% I<embelr monozigot memiliki bentuk
plasentasi ini. Monokorion/monoamnion memiliki pJasenta yang sama dengan komunikasi
vaakular ilntara 2 sirl<ulasi. Kembar ini dapat mengalami sindroma transfusi dari kembar
ke-kembar I twin-to-twin transfusion syndrome). Jika kembar terjadi setelah lebih dari 12
hari setelah fertilisasi, pasangan monozigot hanya memisah sebagian, yang menyebabkan
kembar dempet.
Triplet dapat sebagai monozigot, dizigot, atau trizigot. Trizigot triplet terjadi jika 3 sperma
membuahl 3 sel telur, Triplet dizigot terbentuk dari satu set kotriplet monozigot dan
kotriplet ketiga berasal dari zigot yang berbeda, Akhirnya, 2 zigot membelah dengan satu
hasil pembeJahan lenyap deln terbentuk triplet monozigot.
PPDS I Ohlt&r"da.vG~201l 54
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Adanya Riwayilt keluarga dengan kembar dari pihak ibu, usia ibu saat hamil, jumlah
kehamilan sebelumnya, dan besarnya kehamilan yang lebih besar dari usia kehamilan
sebenarnya merupakan data yang kurang kuat dalam menunjang diagnosis gemeilL
Adanya riwayat pemakaian obat-obatan infertilitas merupakan faktor risiko untuk
kehamilan kembar,
Pemeriksaan tinggi fundus uteri (TFU) merupakan pemeriksaan yang sangat penting
dilakukan. Pada trimester kedua. TFU pada kehamilan kembar biasanya lebih besar
daripada Tr"U kehamilan tunggal yang sesuai. Pada I<ehamilan 20-30 minggu, TFU pada
kel1amilan kembar lebih tinggi 5 cm daripada kehamilan tunggal di usia gestasl yang
sama.
Selain pemeriksaan TFU, dengan palpasi abdomen, kehamilan kembar dapat
diperkirakan apabila ditemukan dua kepala janin pada dua kuadran yang berbeda.
Namun pemeriksaan ini sulit dilakul<an bila letakjanin saling tumpang tindih. ibu obesitas
atau terdapat hidramnion. Pada pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan dua denyut
jantung janin.
J.I.I.tmpnografi (USG)
Pemerii<saan ultrasonografi penting dilakukan dalam penegakan diagnosis serta
perencanaan penatalaksanaan kehamilan multipel. Dari pemeriksaan usg dapat
ditentukan korionisitas. ada tidaknya discordant growth, kelainan jumlah air I<etuban
serta ada tidaknya kelainan kongenital.
Penatalaksanaan
Pelayanan antenatal pada I<ehamilan kembar berbeda deng"n kehamilan tunggal. Nutrlsi
yang adekuat dengan pernambahan 300 I<cal utnul< setiap janin perlu dianjurkan.
Pemeril<saan usg dllakul«m untuk menentukan korionisitas dan serial usg dllakul<an untuk
memonitor adanya gangguan pertumbuhan. Pemantauan kesejahteraan Janin secara
rutin tidak diindil<asik"n I<ecuali ada kecurigaan pertumbuhan janin terhambat atau
discord"nt growth. Diagnosis pranatal lainnya yang dapat dilakukan adalah
amnioscntesis. namun tidak dilakul<an rutin, Salah satu I<egunaannya adalah untuk
penilaian kematangan paru janin.
Komplikasi
Komplikasi ibu :
Diabetes gestasional:
I<ehamilan terkait tekanan darah tinggi
• Perdarahan pasca persalinan
Komplikasijanin:
• Pertumbuhanjanin terhambat
Keguguran
Kelahiran premature
Prognosis
Bervariasi tergantung darijenis kehamilan multipel
PPDS I Olnru>-v"""'G~ZOJS 55
Sindrom Transfusi Antarkembar
PPDS 1 01n!W"""""Ci~2015 ~~
arteri donor dan bukan jumlah anastomosis serta bahwa respons fisi%gis janin terhadap
volume darah yang tidak seimbang - terutama yan9 berupa perubahan produksi urin dan
tekanna osmotik k%id -menentukan apakah a/iran darah akan seimbang atau tidak.
PPDS I Ob!tWio""""G~2015 57
DIAGNOSIS•. Diagnosis sind rom transfusi antarkembar-yang dibuat antenatal maupun
pClscanataJ-tJdaklah mudah,' Diagnosis pascanatal mara klasik didasarkan pada
perbedaan berat antarkembClr sebesar 15 sampai 20 persen dan perbedaan hemoglobin
5g/dl atau lebih disertai anemia pada kembar yang lebih keeil. Namun, sekarang disadari
bahwa perbedaan signifikan berat antarkembar dapat memiliki beragam etiolcgi,
misalnya ketidakseimbangan anomali, infeksi, atau plasentasi. Ketidakseimbangan
hemoglobin juga dapat terjadi secara akut saat pelahiran. Wenstrom dkk. (19921
menggambarkan hal ini dengan meneliti berat lahir dan konsentrasi hemoglobin pada 97
kehamilan kembar monokorionik. Mereka mendapatkan bahwa 37 persen kembar yang
beratnya seimbang dan 50 persen kembar yang beratnya ridak seimbang memperlihatkan
perbedaan hemoglobin yang bermakna. Kembar B memperlihatkan angka tertinggi pada
63 % - termasuk sepertiga kembar tidak seimbang yang kembar B-nya adalah I<emba~
yang lebih kecil, mengiyaratkan bahwa ketidaksesuaian hemoglobin ini disebabkan oleh
transfusi akut setelah lahirnya kembar A dan sebelum kembar B lahir. Walaupun pol a ini
memenuhi kriteria untuk tranfusi antar kembar, seeara klinis hal ini tidak penting karena
merupakan suatu fenomena al<ut. Ambaran Idasik transfusi antar ,kembar, yaitu
ketidakseimbangan berat yang disertai anemia pada bayi yang lebih kedl, terjadi pada
hanya II % di antara 97 pasangan kembar ini. Oanskin dan Neilson (1989) juga
menyimpulkan bahwa sindrom ini tidak dapat didiagnosis secara pasti hanya berdasarkan
perbedaan berat lahir atau hemoglobin neonatus,
Sindrom tranfusi antar kembar yang secara klinis penting adalah transfusi yang
bersifat kronik dan terjadi akibat perbedaan volume vasl<ular antenatal yang signifikan
diantara kedua kembar tersebut. Sind rom biasanya bermanifestasi pada midtrisemester
saatjanin donor mengalami oliguria akibat berkurangnya perfusi ginjal (Mari dkk., 1993).
Janin ini mengalami oligohidramnion sementarajanin resipien mengalami polihidramnion
berat. mung kin akibat meningkatnya produksi urin. Ketladaan cairan amnion didalam
kantung donor akan menghambat gerakan janin serta menyebabkan munculnya istilah
janin terepit (stuck fetus) (Berry dl<k., 1995). Kombil1asi polihidramnion - oligohidramnion
ini dapat menyeabl«m hambatan pertubuhan, kontraktur, dan hipolasia paru pada salah
satu kembar serta Ketuban Pecah Dini dan gagaljantung pada kembClr yang lain.
Tujuan diagnosis antenatal adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
janin dengan menyelksi I<andidat untuk terapi prenatal atau I<elahiran. I<riteria <'mtenatal
yang dianjurkan untuk mendefinisil<an sind rom transfusi antar kembar adalah sebdgai
berikut : janin denga jenis kelamin sama, monokorion denga koneksi vasl<ular plasenta,
perbedaan berat antM kembar >20%, hidramnion pada kembar yang leblh besar,
oligohidrmnion atau janin terjepit pada kembar yang lebih keeil, dan perbedaan
hemoglobin lebih dari 5 gr/dl (Bruner dan Rosemond, 1993). Semua kriteria diatas kecuali
kada hemoglobin dapat ditentukan secara sonografis. Saat antenatal, diperlukan
kordosentesis untuk mengukur I(onsentrasi hemoglobin pada masing-masing janin (Berry
dkk, 1995) melakukan kordosenteis pada 38 pasangan kembar dan mendapatkan bahwa
pada perbedaan hemoglobin antar kembar 2,5 gr/dl atau iebih, semua kasus meilgalami
sind rom kembar terjepit (stuck twin syndromj.
Dengan teknik invasif lain juga dapat dipastikan adanya sirkulasi bersama pada
sindrom transfusi antar kembar. Baik Bruner dan Rosemond 11993) maupun Weiner dan
Ludomirski (1994) menggunakan sel darah merah dewasa sebagai penanda yang
disuntikan kedalam vena umbilikaiis kembatr donor dan kemudian melakukan
kordosentesis terhadap kembar resipien untuk memastikan adanya sel-sel dewasa.
Oalam situasi yang memerlukan I<epastian diagnosis, misalnya sebelum
mempertimbangkan sesuatu terapi beresiko tinggi, dipcrlukan pemeriksaan invasif
semaeam itu karena diagnosis sonografik kadang-kadang tedik tepat (Saunders dkk.,
1991) menggunakan kordosentesis untuk membuktikan bahwa tidak satupun diantara 4
TERAPI DAN HASIL AKHIR. Prognosis untuk gestasi multipel dengiln penyulit sindrom
tr"nstun/ antar kembar sangat dub/a. Sahaya yang mungkin terjadi tidak saja berupCl
kerusakan otak, tetapi juga kemat;Cln Clntenatal salah SCltU janin serta kemCltian neonatus
akibat pelahiran preterm. Secara umum , semakin dini transfusl anatar kembar
didiagnosis, semakin buruk prognosisnya [Sebbington dim Wittmann. 1989). Sayangnya.
bentuk paling serius sind rom tranfusi anatar kembar - dengan hidramnion akut pada
salah satu janin dan janin tcrjepit disertai anhidramnion pada janin yang lain - bias,lnya
muncul pada usia gestasi 18 sampai 26 minggu. Angka kelangsungiln hidup untuk /<asus
yang didiagnos;s sebelu-m 28 minggu dilaporkan berkisar antara 20 dan 45 % (Gonsoulin
dkk, J 990; Shah dan Chaffin, J 989).
PPOS I Oo.cwva-.C;~2015 59
Terapi lain yang lebih invasif juga pernah diupayakan. De Lia dkk. ( 19 90)
melaporkan penggunaan oklusi pembuluh plasenta den9an laserfetoskopi pada sindrom
transfusi antarkembar yang parah. Keunggulan teoretisnya ada/ah isoloasi hemodinamik
dan hematologis janin yang hidup, yang dapat meniadakan cidera emblo dan hipotensi.
Prosedur ini kontroversi sebagian karena hanya menyebabkan oklusi di pembuluh
superfisial sehingga mungkin tidak memperbaiki hemodinamika di plasenta yang
anastomosis penyebabnya terletak lebih dalam. Namun, Branisteanu-Demitrascu dkk.
(1999) menggunakan sebuah model domba untuk memperlihatkan bahwa koagulasi laser
terhadap pembuluh-pembuluh korion superfisial menyababkan infark total seluruh
kctiledor, yang diterapi sehingga akhirnya akan berc!ampak pada pembulh-pembuluh
yang terletak lebih dalam.
Oklusi laser memiliki resiko lebih besar dari pada amniosentesis dan secara teknis
sulit. Perforasi pembuluh plasenta dilaporkan oleh De lia dkk. (1990) laporan merka
selilnjutnya tentang 100 kasus yang diterapi tidak menyertakan data hasil akhir dari 33
prosedur pertama yang dilakukan pada awal "kurva belajar" IDe lia dkk. 1999). Nekrosis
tungkai dan kerusakan kulitjanin juga pernah dilaporkan ILundvall dkk., 1999; Stone dkk.,
1998).
Walaupun pada awalnya timbul kekhawatiran, dari data yang sudah terkumpul
disimpulkan bahwa dari tangan yang berpangalaman prosedur ini mungkin aman dan
bermanfaat. Ville dkk. (1998) melaporkan hasil dari sebuah uji coba multisentra tentang
I<oagulasi laser pada 132 kehamilan dengan sindrom transfusi antarkembar yang dini dan
parah. Pada 73 % kasus paling sedikit 1 janin yitng selamat dan pada usia 10 tahun hanya
6 bayi yang dicurigai mengalami kelainan nuerologis. Suatu studi deskriptif ten tang
sInd rom transfusi antarkembar yang parah oleh Hecher dkk fl999) membandingkan 73
wanita yang diterapi dengan koagulasi laser di 1 sentra dan 43 pasien serupa yang
diterapi dengan amnioreduksi serial disentral yang lain. Walaupun angka kelangsungan
hidup janin kesuluruhan tidal< berbeda, pada kelompok laser proporsi kehamilan dengan
paling sedikit 1 janin selama lebih tinggi. Kelompok laser juga memperlihatkan angka
I<cmatian janin yang Icbih sedikit dan lebih jarang I<elainan temuan sonografil< di otak
bayi yang sclamat. Bayi dari kelompok laser juga memiliki berat lahir lebih tinggi, interval
sampai persalinan yang lebih p,tnjang, dan usia gestasi yang lebih tua saat lahir. Zikulnig
dkk. 11999) mengevaluasi 121 kasus yang diterapi dengan laser dan mendapatkan
perbaikan prognosis diserta;' penurunan keparahan stigmata transfusi antarkembar
sebelum prosedur, dan bukti keberhasilan ablasi pembuluh setelah prosedur pada
pemeriksaan Doppler. Ryan (2000) mengutlp leblh darl 300 kasus di seluruh dunia pada
kajiannya yang terbaru. Amnioreduksi berulang menghasilkan angka kelangsungiln
hidup rata-rata 60%, dengan kelainan neurologis pada 20 % bayi yang selamat. Ablasi
laser memperlihatkan angka kelangsungan hidup paling sedikit satu janin sebesar 7S
sampai 80 %, S - 60 % untuk kedua janin, dan cacat neurologis pada usia 1 tahun sebesar
5%.
Fetosida selektif terhadap salah satu kembar juga pernah dilaporkan. Hal ini
dipertimbangkan apabila gangguan cairan amnion dan pertumbuhan terjadi sangat dini,
pada umumnya sebelum gestasi 20 minggu, dan besar kemungkinan kedua janin akan
meninggal Clpabila tidak dilakukan interfensi. Pemilihan kembar yang akan dikorbankan
didasarkan pada bukti kerusakan janin dan pembandingan prognosis masing-masing
kembar. Karena setiap zat yang disuntikkan ke salah satu kembar dapat mempengaruhi
kembar lainnya, teknik-teknik yang diguanakan mencakup tamponade jantrJng dengan
salin diikuti oleh kalium klorida intrakardiak, penyuntikan suatu zat oklusif ke dalam vena
umbilikalis. atau ligasi fetoskopik, koagulasi laser, atau koagulasi mono polar dan
kauterisasi bipolar tali pusat IChallis dkk., 1999; Donner dkk., 1997; Weiner, 1987;
Wittmann dkk, 1986). Angka penyulit pada prosedur ini tinggi.
rrDS! OiJ;tUho"""'G~ZOl5 uO
KEMBAR YANG TIDAK SEPADAN. Ukuran janin kembar yang tidak setara mungkin
merupakan tanda hambatan pertumbuhan pato/ogis pada salah satu janin, dan
didefinisikan dengan menggunakanjanin yang lebih besar sebagai indeks. Secara umum,
seiring dengan meningkatnya perbedaan berat pada pasangan kembar, mortalitas
perinatal juga meningkat. Hambatan pertumbuhan pada salah satu kembar biasanya
terjadi pada akhir trisemester kedua dan awal trisemester ketiga, serta sering asimetris
(Laveno dkk., 19791. Ketidaksepadanan yang lebih dini biasanya simetris dan biasanya .
menunjukkan resiko yang lebih besar; secara umum, semakin dini ketidaksepadanan
diketahui, semakin serius sekue/e yang terjadi. Weissman dkk. (19941 mendiagnosis
ketidaksepadanan antara 6 dan 11 minggu pada lima gestasi kembar dan semua kembar
yang lebih keelI mengalaml malformasl berat.
PATOLOGI. Penyebab ketidaksamaan berat lahir pada janin kembar sering tidak jelas.
tetapl bukti-bukti menunjukkan bahwa etiologi ketidaksepadanan ini berbeda pada
kembar monokorionik dan dikorionik. Pada kembar monokorionik, ketidaksepadanan
biasanya disebabkan oleh adanya komunikasi vaskular plasenta yang menyebabkan
ketidakseimbangan hemodinamik antara kembar. Penurunan tekanan dan perfusi kembar
donor kemudian dapat menyebabkan bagian palsentanya mengalarni gangguan
pertumbuhan IBenirschke, 1993). Walaupun jarang, ukuran kembar monokorionik
mungkin tidak sepadan karena mereka mengalami anomali struktural yang tidak setara
sewaktu berlangsungnya proses pembentukan kembar.
Eberle dkl<. (19931 melakukan evaluasi patologi patologi plasenta terhadap 147
gestasi kembar yang membuahkan pemahaman tentang etiologi ketidaksepadanan pada
janin kembar. Mereka mengkuantifikasi lesi-Iesi plasenta yimg biasanya mcnyertai
hambatan pertumbuhan pada janin tung gal. Plasenta jimin yang lebih kecil pada
pasangan kember dikorionik yang tidak sepadan mcmperlihatkan lesi-Iesi khas untuk
hambatan pertumbuhan janin tunggal, sedangkan lesi-Iesi ini tidak ditemukan pada
pasangan kembar monokorionik yang tidal< sepadan.
ProS 1 OInteM~4~201S
61
DIAGNOSIS. Terdapat dua hal yang tidak pasti dalam deteksi ketidaksepadanan pada
Kenilmililn )(emtlar. Pertama, pengukuran anatomis ultrasonografik mana yang paling
handal untuk memperkirakan ketidaksepadanan? Kedua, seberapa besar perbedaan berat
janin yang dianggap bermaknil secara klinis?
Ketidaksepadanan ukuran anatara kembar dapat ditentukan dengan beberapa
cara. Salah satu metode yang sering digunakan adalah menggunkan semua ukuran janin
untuk menghitung perkiraan berat maslng·maslng kembar, kemudian membandingkan
beratjanin yang lebih kecil dengan beratjanin yang lebih besar (berat ajanin yang lebih
besar dikurang berat janin yang lebih kecil, dibagi oleh berat janin yang lebih besar).
Mengingat hambatan pertumbuhan merupakan kekhawatiriln utama dan -lingkar
abdomen mencerminkan gizi janin, sebagian penulis menegakkan diagnosis
ketidaksepadanan apabila terdapat perbedaan Jingkar abdomen lebih dari 20 mm. Hill
dkk. 11994) mengevaluasi pengukuran sonografik pada kembar yang tidak sepadan dan
mendapatkan bahwa lingkar abdomen lebih baik dari Iingkar kepala, panjang femur, atau
diameter Iintang serebelum sebagai indeks paling bermanfaat padajanin yang ukurannya
tidak sepadiw-
Beberapa perbedaan berat antarkembar pernah digunakan untuk mendefinisikan
ketidaksepadanan. Data yang terl<umpul mengisyaratkan bahwa ketidaksesuaian berat
yang> 25 - 30 % - biasanya disertai hambatan pertumbuhan pada salah satu atau kedua
janin - merupakan patokan paling akurat untul< memperkiral<an gangguan perinatal.
Hollier dkk. ( 1999) secara retrospektif mengevaluasi 1370 pasangan I<embar yang lahir di
Parkland Hospital dan membagi-bagi I<etidaksepadanan kembar dalam i<elompok.
kelompok yang berbeda dengan selang 5 % dari 15 - 40 %. Mereka mendapatkan bahwa
inslden gawat napas. perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, sepsis,
dan enterokolitis nekrotikans meningkat setara dengan derajat ketidaksepadanan,
dengan peningkatan resiko nyata dimulal pada I<etidaksepadanan sebesar 25 persen.
Resiko relatif kematian janin menigkat secara bermakna hanya apabila terdapat
ketidal<sepadanan yang melebihi 30 %, yang disertai resiko relatif 5,6 dan meningkat
menjadi 18,9 pada i<etidaksepadanan sebesar 41 %.
KEMATIAN SATU JANIN. I<adang-kadang salah satu janin meninggal dalam pada usia
yang masih jauh dari aterm, tetapi kehamilan belanjut dengan satu janin hid up. Faktor·
faktor yang mempengaruhi kematian janin pada kehamilan kembar pernah diuraikan oleh
Rydhstrom 119941. yang menggunakan The Medi~al Birth Registry di Stockholm untuk
mengulas kematian janin pada 15.066 pasangan kembar dengan berat 500 gr atau lebih.
Kematian salah satu atau kedua janin terjadi pada 1,1 persen kembar yang jenis
kelaminnya berbeda dan 2,6 persen kembar yang jenis kelaminnya sama.
Ketidaksepadanan ukuran juga meningkatkan resikc kematian. Namun, pada kembar
f'PDS I O~Hi.a.<vG~vZ015 62
yang jeni; kelaminnya berbeda resiko kematian tetap konstan 1,2 persen atau lebih
samp"; ketidaksepadanan melebihi 40 sampai 50 persen atau 1000 gr, sedangkan pada
kembu dengan enis kelamin sama ketidaksepadanan lebih dari 20 persen atau 250 gr
meningkatkan resiko kematian. Setelah kematian salah satu janin, resiko kematian janin
yang lainnya 6 kali lebihtlesar pada kembar yang jenis kelaminnya sama. Walaupun tipe
korion tidak diketahui pasa semua janin, para penulis ini memperkirakan bahwa angka
kematian untuk kembar dizigotik jenis kelamin sama adalah sama dengan angaka untuk
kembar jenis ke!amin berbeda 10,8 %/' dan bahwa kembar monokorionik memperlihatkan
resiko kematian paling besar (3%/. Saito dkk. 11999/ mengkaji 481 kehamilan kembar dan
melaporkan bahwa resiko kematian salah satu janin pada kehamilan kembar adalah 6,2
persen.
Saat lahir, janin yang meninggal beserta plasenta dan selaput ketubannya
mungkin dapat teridentifikasi tetapi mungkin juga mengalami kompresi berat (fetus
kompresusl atau mejadi gepeng akibat kehilangan cairan dan sebagian besar jaringan
lunaknya {fetus papiraseus/.
Resiko ibu dan prognosis bagi janin yang masih hidup bergantung pada usia
gestasi saat kematian salah satu janin, tipe korion, dan lama waktu antara kematian
tersebLJt dangan lahir janin yang masih hid up. /(ematian dini seperti pada "Vanishing
Twirl' {kembar yang menghiJang/ tampaknya tidak meningkatkan secara bermakna resiko
kematian janin yang masih hidup setelah trimester pertama. Reduksi selektif pada
kehamilan multipel yang lebih banyak akan meningkatkan resiko kematian seluruh janin,
tetapi tampaknya tidak meningkatkan resiko ibu atau penyulitjanin lainnya.
Pada masa gestasi lebih lanjut, kematian salah satu janin pada kehamilan multipel
secara teoritis dapat memicu gangguan koagulasi pada ibu. Hanya pernah dilaporkan
beberapa kasus koagulopatl ibu setelah kematian salah satu janin pada kehamilan
kembar, mungkin karena I<embaran yang masih hidup biasanya lahir dalam beberapa
minggu setelah kematian tersebut.
Pernah dijumpai koagulopati konsumtif transien yang terkoreksi secara spontan
saat salah satu janin meninggal dan dipertahankan in utero bersama dengan janin yang
masih hid up. J(onsentrasi fibrinogen pada awalnya turun tetapi kemudian meningkat
secara spontan dan kadar fibrinogen-prod uk degradasi fibrin serum turun ke kadar
normal. Saat pelahiran, bagian plasenta yang menopang janin yang hidup tampak cukup
normal, sedangkan bagian yang semula untuk menopang janin yang SUdclh meninggal
memperlihatkan pengendapan fibrin yang masif. Hal ini mung kin secara lang sung
menyebabkan penurunan fibrinogen ibu dan sebalil<nya peningkatan produk degradasi
fibrin, atau mungkin berfungsi menghambat IOlosnya tromboplastin dari Janin dan
plasenta ke dalam sirkulasi iou sehingga mencegah koagulasi intravaskular deseminata.
Kedua mekanisme ini juga mungkin bekerja sampai terjadi fibrosis luas. Janin yang
selamat terus tumbuh in utero dan memperlthatkan Kadar fibrinogen plasma, fibrinogen
produk degradasi fibrin serum, dan hitung trombosit yang normal.
Keputusan penatalaksanaan seyogyanya didasarkan pada kausa kematian dan
resiko pada Janin yang maslh hldup. Sebagian besar kasus kehamilan kembar dengan
salah satu janin meninggal memiliki plasentasi monokorionik. Bukti-bukti mengisyaratkan
bahwa morbiditas pada janin yang selamat (pada kembar monokorionikl hampir selalui
disebabkan oleh anastomosis vaskular, yang pertama-tama menyebabkan kematian salah
saW janin dan kemudian menyebabkan kematian salah satu janin dan kemudian dapat
disalurkan kembali ke kembarannya yang masih hidup. Mengingat koagulopati
memerlukan waktu paling sedikit 5 minggu untuk timbul, keciJ kemungkinan bahwa pada
saat tersebut kedua kembar masih menggunakan sirkulasl yang sama. Bajorla dkk. {19991
membandingkan 50 kehamilan kembar monokorionik dan 42 dikorionik dengan penyulit
$alah satu kembar meninggal. Risiko kematian janin lebih besar 10 kali IipC1t lebih pada
PPDS r O~,u......G~2OlS 63
kembar monokorionik dan kembaran monokcrionik yang selamat lebih besar
kemun9kinannya men9alami anemia /SI ver~u~ 0 per~en} dan Jesi intrakranial saat lahir
146 versus 0 persenj. Risiko paling tinggi apabila terdapat transfusi antarkembar dan yang
meninggal adalah janin resipien. Pada kembar monokorionik tanpa transfusi
antarkembar, kembar dengan anastomosis superfisial arteri-ke-arteri atau vena-ke-vena
memiliki risiko lebih besar dar/pada mereka yang dengan anastomosis dua-arah. Yoshida
dan matayo.shi (1990) melaporkan 33 pasangan kembar monokorionik dengan penyulit
salah satu janin meninggal, dan 8 di antara 33 janin selamat menderita porensefalus,
cerebral palsy, atau kelainan lain. renyulit-penyulit ini biasany<t terjadi hanya apabila
kematian terjadi pada paruh terakhir kehamilan. Seperti telah dibahas, dalam situasi ini
pelahiran tidakselalu dapat dicegah morbiditas padajanin yang selamat.
Yang lebih jarang, kematian dapat terjadi akibat penyulit pada ibu, misalnyJ
ketoasidosis diabetes atau preeklamsia berat dlsertai solusio, dan penatalaksanaan
kehamilan didasarkan pada diagnosis dan status ibu sertajaninnya yang selamat. Apabila
kematian salah satu kembar dikorionik disebabkan oleh anomali kongenital yang tidak
sepadan, kausa kematian seyogyanya tidak mempengaruhi kembarannya. Santema dkk.
(1995b) menilai kausa dan prognosis 29 kehamilan kembar yang salah satu janinnya
meninggal setelah 20 minggu. Kausa kematian janin tidak jelas pada semua kasus;
keterkaitan yang paling sering dikemukakan adalah plasentasi monol(orionik dan
preeklamsia berat. Para peneliti ini menyimpulkan bahwa pada sebagian besar kasus
maanfaat berlanjutnya preterm kehamilan multi pel melebihi risiko pelahiran pre term
setelah diagnosis kematian jan;n, dan menganjurkan penatalaksanaan I(onservatif
terhadap yang masih hidup.
KEMATIAN KEDUA JANIN KEMBAR. Walaupun jarang, kedua janin kembar dapat
meninggal selama peri ode antepartum. Ryghstrom (1996) melaporkan bahwa kedua janin
meninggal pada 0,5 persen kehamilan kembar. I(ausa yang diperkirakan berperan dalam
kemiltian ini adalilh plilsentilsi monokorionik diln ketidakseimbangan pertumbuhilnjilnin.
BAHAN:
1. Cunningham FG. Gi'nt NF, Leveno KJ, uil5trap Le. H"uth JC. Wentrom KO: Willii'm ObsnericJ. 21" edition. New
York. McGraw·Hill
2. IImu Kcbldanan. editor: Hi'nifa Wiknyosastro. Abdul Barf Saifuddin. Trijatmo Rachimhadhl. cdisj ke·3. Jakarta.
Yayosan Bina Pustaka SarwonoPfawiroh.fdjo, 587-94.1997
PPDS I o~vd<l.fvG~2015 64
12. KETUBAN PECAH DINI
Pecahnya selaput ketuban lamnion dan khorion) timpa diil(uti persalinan pad" kehamilall
Klasifikasi:
Epldemiologi
Patofisologi
60·70% ketuban pecah dini IKPD) berhubungan dengan infeksi.
• Air ketubiln berfungsi untuk memberi ruang kepada janin untuk bergerak
sehingga tidak terjadi flaksiditas otot ekstrimitas dan berkembangnya paru.
• Air ketuban penting untuk menghilangkan friksi l<inetik yang terja di pada
persalinan akibat tidak bullet shapenyajanin.
Pada kehamilan preterm pecahnya ketuban akan merangsang persalinan dan
kelahiran 150% persafinan preterm dengan KPD akan berakhir dengan kelahiran).
Diagnosis
Nitrazine tes
Fern tes
USG
Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini pada kehamilan > 35 minggu
Prinsipnya lahirkanjanin
Beri antibiotika profilaksis
PPDS! O~.da..vG~2D15 65
Prognosis
Sangat variatif bergantung maturitas paru dan ada atau tidaknya infeksi, pada usia
kehamilan < 32 minggu semakin muda kelahiran semakin buruk prognosisnya
PPDS I O~da..vG~2015 66
13.KEHAMILAN POSITERM
Epldem/ologl
InsJdens kehamllan 41 minggu lengkap: 27 %. Insidens kehamilan 42 minggu lengkap
: 4 - 140/., 43 minggu lengkap : 2 - 7 %.
Insldens kehamllan post-term tergantung pada beberapa faktor : tlngkat pendidlkan
masyarakat, frekuensi kelahiran pre-term, frekuensi induksi persaJinan, frekuensi
sekslo sesarJa elektlf. pemakalan USG untuk menentuka usia kehamllan, dan definisi
kehamilan post-term ( 41 atau 42 minggu lengkap ).
Secara spesifik, insidens kehamilan post-term akan rendah jika frekuemi kelahiran pre
term tinggi, biJa angka induksi persaJinan dan seksio sesaria elektif tinggi, dan bi/a
USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia kehamiJan.
Patofisiologi
/(ehamiJan post·term mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamiJan aterm, pada
kematian perinatal (antepartum, intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan
aspirasi mekoneum, dan asfiksia
Kehamilam post-term mempunyai resil<o lebih tinggi pada morbiditas neonatal
(makrosomia, distosia bahu, sindroma aspirasi mekoneum, perawatan pada neonMal
intensive care unit, penatalaksanaan dengan oksigen tekanan positif, intubasl
endotrakheal, distress nafas, persisten fetal circulation, pneumonia, dan kejang.
ManaJemen
Pemantauan fetus.
Induksi persalinan.
Prognosis untul<janin lebih baik dibanding dengan manajemen ekspektatif, induksi
sebaiknya dilakul<an pada I<ehamilan 41 minggu.
PPDS I ObmtYioda.\,G~ZOlS
67
14. DISTOSlA DALAM PERSALINAN
Persalinan sulit adalah gangguan kemajuan persalinan (kala 1) yang diukur dalam
batasan waktu 2 (dua)jam sejak pemeriksaan terakhir atau setelah dilakukan pimpinan
persalinan (kala 2). Pada keadaan tertentu, batasan waktu tersebut tidak dapat dijadikan
patokan dalam menentukan tidak majunya persalinan dimana digun~kan patokan proses
persalinan itu sendiri, seperti halnya pada distosia bahu. Proses kemajuan persalinan pada
kala I, dapat dinilai dari partogram atau kurva Friedman sebagai instrumen analisis.
Epidemiologi
Insidens total dari distosia dalam persalinan sulit ditentukan secara pasti karena definisi
Patofislologl
Persalinan adalah proses dinamis yang mempunyal ciri kontraksl uterus yang reguler yang
menyebabkan dilatasi dan pendaran serviks serta penurunan janin melalui jalan lahir.
Perjalanan persalinan dinilai melalui perkiraan dilatasi serviks dan penurunan presentasi
janin. Pcrsalinan melibatkan panggul ibu (passage), janin (passenger,i dan kekuatan
(power). Persalinan yang tidak maju dapat dikarenakan salah satu atau kombinasi dari
Diagnosis
Letaknya
Berdasarkan hasil penilaian, tentukan dengan segera etiologi gangguan kemajuan proses
persalinan selama kala pembukaan ataupun saat kala pengeluaran
Penatalaksanaan
• Seksio Sesar pada panggul sempit, makrosomia, letak Iintang atau disproporsi feto
pelvik
Koreksi yang kemudian dilanjutkan dengan akselerasi kala 2 (ekstraksi vakum atau
cunam) atau Seksio Sesar pada kasus-kasus malpresentasi atau asinklitismus
PPDS I O/ntUl"Vda.tvG~2015 68
Manuver sekrup atau penel<anan bilhu seCilril eksternilf untuk menyefesilikiln
Distosla bahu
Paeu kontraksi apabiJa inersia uteri bukan disebabkan oJeh disproporsi
Rehidrasi dan pemberian kaJori untuk restorasi ibu yang mengalami kelelahan
Komplikasi
Komplikasi ibu
I. Perdarahan
2. CederajaJan Jahir
3. fnfeksi
Komplikasijanin
I. Asfiksla ben'tt
2. Ekskoriasi kuJit kepaJa
3. SeraJhematoma
4. Perdarahan subgafeaJ. Perdarahan ini akan cepat diresorbsi ofeh tubuh janin. Pada
janin yang mempunyai gangguan maturitas fungsi hepar. keadaan ini dapat
menimbufkan ikterus neonatorum yang agak berat.
5. Nekrosis f<ulit kepala yang dapat menimbull(iln afopesia di I<emudian hari
Prognosis
Bervilriasi
PPDS I 01ntwi,~G~2015 69
15. DISTOSIA BAHU
PENGERTIAN
Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala
berada pada sumbu normal dengan tulang belakang, Bahu pada umumnya akan berada
pada sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran
akan menyebabkan bahu depan lanterior) berada'di bawah pubis. Bila bahu gagal untuk
mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu miring pang9ul dan tetap berada
pada posisl anteroposterior, pada bayi yang besar akan terJadi benturan bahu depan
terhadap simfisis.
Distosia bahu terutama disebabl<an oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk
"melipat" ke dalam panggul Imisal: pada makrosomia) diisebabkan oleh fase aktif dan
persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penuru,,~n kepala yang terlalu
cepat menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalul jalan lahlr atau kepala telah
melalui pintu tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala 1/ sebelum bahu
berhasil melipat masul( I<e dalam panggul.
SYARAT Kondisi vital ibu cul<up memadai sehingga dapat bekerjasama untul<
menyelesaikan persafinan
• Masih memilild l<emampUiln untuk meneran
• Jalan lahir dan pintu bawah panggul memadai untul< al<omodasi tubuh
bayi
• Sayi masih hidup atau diharapkan dapat bertahan hidup
Bukan monstrum atau kelainan kongenital yang menghalangi
keluarnya bayi
GAMBAR:
TEKNIKMELAHIHKAN BAHU PADA DISTOSIA
a. Manuver Hibbard I 1969) / Hesnick/1980)
b. Manuver McRoberts
PPDS I Ol>lt&Yv<ia.vG~2015 70
16. PERSALINAN PADA BEKAS SEKSIO SESAREA
Definisi
Persalinan atau ~.elc:hiran pada pasien dengan riwayat kelahiran bayi melalui insisi
perut lIaparotomi) dan insisi uterus (histerotomi). Luka sayat di perut dapat
transversa: (Pfimnenstiel) maupun vertikal lmediana); sedangkan di uterus dilpat
transversal (SC Transperitonealis Profunda) maupun insisi verti:<al (SC
klasik/corporal).
Prinsip Dasar
l(eberhilSilan part us percobilan per vilginam ildalah 70 - 80% dan risiko ruptur
adalah 1%
Rumah sakit harus mampu me/aku/<an seksio daraurat da/am tempo 30 menit
Cara Persalinan
partus pervaginam:
~
Panggul adel<uilt
Bel<as operasi sesar low tranverse 1 kali
Tidak ada parut uterus atau ruptur sebelumnya
Terdapat tenaga medls sepanjang persalinan fase al(lif yang mampu memonilor
persalinan dan me/aku)(an seksio sesarea darurat
Terdapat anestesi dan personel untuk melakuk,m seksio sesarea darurat
Seksio primer:
Indikasi
• P/asenla previa
• Vasa previa
• CPO/FPO
• Panggul patologik
• Presentasi abnormal
• Kelainan letak
• Posterm dengan skor pelvil< rendah
• Oua kal; seksio
• Penyembuhan luka operas) yang la)u buruk
• Operasi yang )a/u kolporaljklasik
Penatalaksanaan
Perawatan rumah sakit
• Hanya dilakukan apabi/a akan dilakukan seksio primer atau jika transportasi
sulit, tingkat pcndidikan pasien rendah
• Perawatan pasea seksio:t 3-5 had
Komplikasi
• Ruptura uteri; histerorafi - histerektomi
PPDS I Or"ttMa...."G~201S
71
• Kematian janin, kematian ibu
• Plasenta akreta, perkreta, inkreta: histerektomi
• Endometritis, infeksi subkutis
• Perdarahan
Konseling
Untuk mendapat informed consent pasien harus mendapat penjelasan untung rugi
percobaan partus pervaginam
Masa penyembuhan luka ± 100 hari
• Medika mentosa
.; Antibiotik
.; Analgetik
.; Uterotonik
(Dladaptasl darl Standar Pelayanan Medls Obstetri dan GlnekoiogJ. PB POGJ, 2003 dan
Curent Obstetrics and Gynecology Diagnosis and Treatment 2007)
PPDS I Ob>t<n-"""",,G~2015 12
17. POLlHrORAMNrON OAN OLiGOHYDRAMNION
Pf'DS I O~<4m-G~Z015 73
• For severe symptomatic polyhydramnios at les: than 32 weeks of gestation, we
During Indometh.Jcin therilPY, we monitor AFV at leilst weekly ilnd titrate the
indomethacin dose to AFV changes. We illso monitor ductal Doppler flow at
two- to seven-day intervals, with increased surveillance after 28 weel(s of
gestation, to look for early evidence of constriction. It may be possible to
discontinue indomethacin treatment if polyhydramnios does not recur as the
indomethacin is tapered. Indomethacin is discontinued no later than 32 weeks
because of the risk of premature ductal constriction. (See 'Prostaglandin
synthetase inhibitors' above,)
• For severe symptomatic polyhydramnios between 32 and 34 weel,s of
gestation, we suggest amnioreduc;tion (Grade Ze). After 34 weel(s, we offer
amniocentesis for fetal lung maturity and deliver if maturity is confirmed. We
suggest not administering indomethacin because of the high risk of premature
closure of the ductus arteriosus at this gestational age (Grade 2e). However, in
select cases, this risk may be outweighed by the risk associated with multiple
amniocenteses or prematurity. In these cases, ductal Doppler flow should be
followed at least weekly to detect early evidence of constriction.
(See 'PregnanCies over 32 weeks' above.)
f'l"DS I Oi»rur(,da..v(i~2015 74
OLIGOHYDRAMNION: SUMMARY AND RECOMMENDATIONS
_Oligohydramnios refers to amniotic fluid volume that is less than expected for
gestational age. It is typically diagnosed by ultrasound examination and may be
described qualitatively or quantitatively leg, amniotic fluid index [AFIJ SS; single
deepest pocket <2 ern). (See 'Clinical manifestations and diagnosis' above.)
eConditions commonly associated with oligohydramnios are listed In the table f~
I). The most likely etiologies of oligohydramnios vary according to the trimester in
which it is diagnosed. The majority of women with mild oligohydramnios have no
identifiable cause. (See 'Etiology' above.)
eMaternal history and physical examination and a comprehensive sonographic
evaluation are recommended for all pregnancies with oligohydramnios. Use of
additional tests (eg, I<aryotype. instillation of dye) depends upon individual clinical
circumstances. (See 'Evaluation of pregnanCies with oligohydramnios' above.)
-There is no effective long-term treatment of oligohydramnios. In idiopathic
OligOhydramnios. maternal treatment with intravenous isotonic solution. oral
hydration, or amnioinfusion can lead to short-term improvement. These procedures
may be useful under certain circumstances, such as to facilitate diagnostiC ultrasound
evaluation when the fetal anatomic survey is suboptimal. (See 'Methods of increasing
amniotic fluid volyme' above.)
_Reduced amniotic fluid in the first trimester appears to be an ominous finding. We
counsel these patients regarding the poor prognosis. discuss the signs of miscarriage,
and follow the pregnancy with serial ultrasound examinations to determine its
course. (See 'First trimester' above.)
eThe prognOSiS andmilnilgement of second trimester oligohydramnios depend upon
the underlying etiology and severity of oligohydramnios. Mild idiopathic
oligohydramnios has a relatively good prognosis. Severe oligohydrilmnios diitgnosed
at this time may induce anittomicill and functional fetal abnormillities and often
results in fetal or neonatal de<tth.
We initially perform a fetal structural survey to rule out a fetal m<tlformation since
serious itbnormalities mity influence future management. Serial sonographic
eXilminations to monitor itmniotic fluid volume, fetal growth. and fetal well-being are
performed until delivery. (See 'Second trimester above.)
-Some studies have shown an inverse relationship between amniotic fluid volume in
the third trimester and the incidence of adverse pregnancy outcome. Adverse
PPDS I O~".u..vG~201S 75
outcomes are related to umbilical cord compression, uteroplacental insufficiency, and
meconium aspiration. Given the potential high risk of adverse outcome, we perform a
nonstress test (NST) and AFI (or biophysical profile) once or twice weekly until
delivery. (See Third trimester' above.)
.For women with idiopathic oligohydramnios, we suggest delivery at 37 to 38
completed weeks of gestation rather than expectant management (Grade 2().
Although induction of an unfavorable cervix may increase the risk of cesarean
delivery, there is insufficient evidence to assure us that perinatal outcome with
continued conservative management of oligohydramnios at term is comparable to
that with delivery. (See 'Timing of deliyery' above.)
http://www uprod"rc,coml
PPD5 I O~"'&da..vG~~2OJ5 76
18. KEHAMILAN ABDOMINAL
.Over 90 percent of ectopic pregnancies are located in the fallopian tube, while the
remainder implant in lociltions such as the ilbdomen, ceSilrean (hysterotomy) scar,
cervix, and ovary, (See 'Introduction'above,)
.Common symptoms of all ectopic pregnancies include abdominal pain and vaginal
bleeding, Nontubal ectopic pregnilncies can progress to an advanced gestational age
and rupture may result in hemorrhage, acute abdomen, and shocl<, (See 'Clinical
manifestations' above and 'Clinicill manifestations'ilbove and 'Clinical
manifestations' above,)
-All women of reproductive age with abdominal pain, vaginal bleeding, or menstrual
abnormalities should be tested for pregnancy, Once pregnancy is estilbJished, the
lociltion of the pregnancy (intriluterine or extrauterine or both) is typically made by
ultrasound examination, A high index of suspicion is important for making a
diagnosis of ectopiC pregnancy, (See 'Diilgnostic evaluation' above and 'Diilgnostlc
evaluation' above ilnd 'Diagnostic evaluation' above,)
.Abdominal pregnancies are interrupted at diagnOSiS, even at ildvanced gestational
ilges, as the potential for delivery of a viable infant is poor and the risk of maternal
complications is high, The optimum management of the placenta depends upon
whether the placentil ciln be removed without risking uncontrollable maternal
hemorrhage, We advocate leilving the placenta in situ with close observation during
the subsequent delilyed reabsorption, (See 'Abdominal Rregnilncy' above,)
.Cesarean scar pregnancy can be treated by wedge resection of the ectopic
pregnancy via Iilparotomy or lapilroscopy, hysteroscopic excision, or local or systemic
methotrexate ildministration, Uterine artery emboliziltion (UAE) has been used to
reduce the risk of hemorrhage, (See 'Cesarean scar pregnancy' above,)
.In women with a history of cesarean sCilr pregnancy, early ultrasound should be
performed in subsequent pregnancies in order to estilblish the location of
implantation, (See 'Cesarean scar pregnancy'ilbove,)
oLaparoscopic salpingectomy is the standard surgical approach of heterotopic
pregnancy with a coexistent tubal pregnancy, If the pregnancy has not ruptured,
then local injection of potClSsium chloride into the sac under sonographic guidance is
another option, (See 'Heterotopic pregnancy' above,)
PI'DS 1 Oi1lt<trv~G~;'2015 77
19. EMBOLI AIR KETUBAN
Terminologi
Emboli air /<etuban, dalam bahasa Inggris ternyata ada 2 isti/ah yang pertama
Amnionic Fluid Embolism - tertulis hanya dalam Cunningham FG et al 201.0 dan yang
tertulis pada sebagian besar buku dan makalah ada/ah Amniotic Fluid Embolism. Akhir
akhir ini yang diusu/l<an ada/Clh anaphylactoid syndrome of pregnancy karena sangat
mirip dengan reaksi anafilaksis
!CD
Pengertian
Angl<a kejadian
Belum ada an91<a resmi karena sangat bervariasinya tanda dan gejala. Oi Amerika
Serikat dilaporl<an merupakan 9 % dari 320 I I<ematian maternal mula; tahun 1991 sampai
1997. DilaporkM oleh penelit; lain: 14 % dari 9S kematian maternal dari 1.46 juta
persalinan diakibatkan EAK. Peneliti la/n mendapatkan dari 3 Juta persalinan tahun 1999
sampai tahun 2003 : 7.7 kasus per 100,000 I<elahiran. Knights dkk menemukan EAK
terjadi pada J. 9 / 100 ribu kelahiran di UI< dan 6,1/ 100 ribu kelahiran di Australia
Fal<tor r;siko
Usia ibu. ras tertentu, placenta previa, preeclampsia. persalinan dengan forcep atau
sesar
PPDS I O~cWvG~2015 78
yang nampak sebagai tanda dan gejaJa klin;s EAK, Proses yang mirip terjadi pada emboli
lemak akibat trauma, Pemahaman yang menyeluruh kaskade patoflsioJogi masih belum
didapatkan, Oalam satu kajian kasus-kelola terhadap 9 wan ita dengan dugaan EAK,
didapatkan peningkatan Kadar beberapa indikator anafilaJ(sis misalnya serum tryptase
dan urinary histamine meskipun tidak didapatkan degranulasi mast cell
Perlu dicatat Kadar complement secara seragam menurun, menunjukkan adanya
aktivasi complement memegang satu peranan yang penting, Sejumlah chemokines dan
cytokines juga terlibat misalnya endothelin-I
5eberapa peneliti mengusulkan mekanisme sederhananya adalilh sbb
~ J /
Endc';1';r,~US mo:dialt">!" rF.Ii!M; '"
1
el, n'C~1 m~ r,lesTatic ...,~
Gilmbilr 19,1, Adilnya I<emiripiln antara EAJ{ diln reaksi anbilfilaksis dan sepsis
Kiljiiln pada primata yang diinjeksi cairan ketuban dan I<ajian pada hewan coba
I<ambing menunjukkan adanya rase awal dimana terjadi hipertensi sistemik dan puJmonal.
Hal ini terbukti saat dilakukan transesophageal echocardiogram dalam 10 menit setelah
terjadi EAK didapatkan: massively dilated akinetic right ventricle dan vigorously
contracting, cavity-obliterated left ventricle yang l<ecH. Hal ini menandakan adanya
kegagalan transfer darah dari jantung I<anan ke jan tung kiri akibat vasokonstriksi
pulmonal yang hebat. Didapatkan juga adanya desaturasi oksigen yang sementara
namun berat sehingga berilkibilt CilCilt neurologis bagi yang pilsien yang selamilt.
Penurunan tahanan vaskuler dan left ventricular stroke. Bila pasien berhasi melalui fase
awal ini, akan terjadi fase sekunder dimana terjadi jejas pada paru dan koagulopati.
A~:lsiasi (lntara hipertonus uterus dan kolaps kardiovaskuler nampaknya lebih sebagai
allibat bukan penyebab. Tidak terbukti juga asosiasi antara penggunaan oksitc;sin dan
EAI{, meskipun Knights dlll20 121 menemukan hal yang seba/iknya
Tanda dan Gejala Klinis
Pada kasus yang nyata, secara klasik didapatkan gambaran yang drama tis.
Pilrturien pada akhir akhir persalinan atau segera setelah persCllinan, terlihat sesak, kejang
atau kolpas kardiovaskuler yang disertai koagulopati.
PPDS I OlntW-va-.G~ZOIS 79
Tabel 19.1. Tanda dan Gejala 1(linis EAK
Hipotensi 43 38
Gawatjanin 30/30 NS
ARDS 28/30
Henti JP
Sianosis
40
38
38"
38
Koagulopati 38 12/16
Sesak 22/45 38
Kejang 22 {,
Diagnosis
Du/u, deteksi adanya bahanjanin di sirku/asi paru ibu merupakan tanda khas untuk
EAK namun kajian di hewan yang ada tidak mendukung hal ini (hanya 25 %) tetapijustru
injeksi dengan air ketuban + mekonium berakibat 100 % embolisasi. Peneliti lain
mendapatkan bahan janin hanya 75 % yang diotopsi dan SO % bahan dari I<ateterisasi a
pulmonalis. Bahanjaninjuga didapatkan pada kondisi selain EAK. Sehingga, pemeriksaan
bahan janin pada sirkulasi ibu ini kurang spesifik dan semitif untk mendiagnosis satu EAI(.
Diagnosis dibuat atas dasar tanda dan gejala Idinis.
Tatalaksana
Karena fase sau selalu bersifat sementara, mal<a pasien yang dapat me/alui fase
satu setelah resusitasi kardiopulmonal ini harus diberikan terapi suprotif untuk
mempertahankan oksigenasi dan dukungan untuk gagaljantung.
Circulatory support dan penggantian darah dan komponennya merupakan hal
penting. Tidak didapatkan data, intervensi mana yang paling baik.
Oi negcra maju, bila bayi beium lahir, maka bayi harus segera dilahirkan.
Prognosis
PPVS I O~vd.M.-G~2015 80
Kelainan neurologis berat terjadi pada pasien yang selam?t. Hanya 8 % kasus yang
selamat ti"ak mendapatkan kealian nenurelegis
Sekitar 70 % bayi dapat diselamatkan namun hampir 50 % nya menga/ami
gangguan neurelegis
REFERENSI
Dildy GA. Stafford IP. 2011. Amniotic fluid Embolism. D_lam foley Obstelric Inlensive C". Manual.
Cunningham fG 01 al. 20 I O. Williams Obuelrics. Hed. New York: McG'awHirr
Dildy III GA, 8eHart MA. Clark sl: 2010. Anaphylactoid Syndrome of Pregnancy/Amniotic Fluid Embolism,. OC'lJam BClfert
MA, Sa~de G. Foley MR, Phelan JP. Dildy GA. Critical Care Obstetrics. Fifth Edition. Oxfora: Wiley-Blackwell
Knight M et al. 2012. Amniotic fluid embolism incidence. risk factors and outcomes: a review and recommendations. 8MC
Pregnancy and Childbirth. 12:7 hnp:llwww.biomedccntral.com/1471-2393/12/7 diakSCl DClember 20 13
Resnik R. 200S. Amniotic Fluid Embolism. OalClm John T. Ouee-nan Jr, Habbim Je, Spong CYtCd5J. Protocols for High·r1isk
Prt'gntlncics. Fourth Edition
PPDS I O~M.rv<i~201S 81
20. PERDARAHAN PASCA PERSAll NAN
Masalah
Morbiditas dan mortalitas ibu yang disebabkan oleh perdarahan setelah bayi lahir dan
dalam 24 jam pertama persalinan
Perdarahan pascapersalinan lanjut {setelah 24 jam persalinanj
Hasil upaya pertolongan sangat tergantung dari kondisi awal ibu sebelum bersalin,
ketersediaan darah dan paokan medik yang dibutuhkan, tenaga terampil dan handal
sertajaminan fungsi peralatan bagi tindakan gawatdarurat
Penatalaks;maan umum
PPDS I O/nmh.~G~20J5 62
f>enllaian klfnik
PPDS 10b)tUy;'da.n,G~2015 83
Perdarahan Pascapersalinan Oini
Oalam persalinan yang berslh dan aman, penatalaksaan aktif kala III seharusnya sudah
merupakan prosedur standar sebagai upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan
Atonia Uteri
• Kenali dan tegakkan diagnosis kerja Atonia Uteri lIihat penilaian klinik)
• Pasang infus, beri uterotonika, kemudian lakukan pijatan uterus
• Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih tertinggal,
lakukan evalwasi sisa plasenta) dan pastikan tidak ada laserasi jalan lahir
• Berikan transfusi darah bila sangat diperlukan
• Lakukan uji beku darah lIihat Solusio Plasenta) untuk konfirmasi sistem pembekuan
darah
• Bila semua tindakan diatas telah dilakukan tetapi masih terjadi perdarahan lakukan
tindakan spesifik (lihat prosedur kJinik) sebagai berikut :
Uterus dijepit diantara telapal< tangan yang menekan bagian posterior uterus
melalui dinding abdomen dan kepalan tangan dalam sebagai upaya untuk
menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Bila perdarahan berkurang atau
berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali dan bila tindakan ini tidak
efektif, lakukiln kompresi aorta abdomina lis.
.. Ligasi ramus ascendens dan decendens arteri uterina dan arteri ovarika
Histerektomi
84
PPDS I Ci>;(U)'(,<WvG~2015
21. RUPTURA UTERI
Oefinisi
• Separasi komplit din ding uterus pada kehamilan dengan atau tanpa ekspulsijanin
yang membahilYilkan ibu danjanin.
Prinsip Dasar
multiparitas versi intemill iltilu ekstraksi, persaliniln operiltif, CPO, pemakai kokain.
Klasifikasi:
Diagnosis
Manajemen
Histerektomi;
Repair uterus:
Prognosis
PPD5 I O~""",,G~2015 85
22. INVERSIO UTERI
(shod" b,-.dycardj~)
I
!
t ~ t
OiK.n.,lnu. ,I
IColli., ...llton« II uterotoniC . Add,....... e" .;.... y. b,..tl.ln •• <;"ylo"on.
dNgI • Establlih intra .... nous access (two I.. rg_ bore
Unsuccessful
t
Oi..... utlri", r.ln.nts and
rutttmpt m,nUII replac.ment
Options indudll
• Nitroglycerin 50 mCQ N. UP'tOIt
up to four tJmu .
• T.rbut~line 0.25 "'9 intn.... nol.lsly
or subcutaneously Inhaled ;,nestMtic
·9~tl.
Unsuccessful
t t
~paro'omy Hydrosbtic prusu,...
Huntington procedure: Locale the cup A b~ 01 \"armed fluid is hung
formed bv the inversion, Place an Allis it lust one met.r above the
or Babcock cI.mp on each I'ound ligam~t patient .nd ailo,,,td to Row by 9,,..... ity
or the myomettlum ent,nng the cup, oIOOut Unsucc.ssful or with li9ht pr,slure through tubing
2 em dHP in the cup. G,ntiy pull to enrt connect.d to , ,iilSDC ......ntDu'. cup in
upward traction on tht inverted fundul. th.....a9In•• Two to fl .... lit." o( Ruid
Clampinq ~nd b1Ktion are ' ..peated until th. may be n...<fed to return th. ut.rus
i"v,~ion is COfTecti<J. If availabll. 01 second to its normal poSition.
operator with it hand In the "~9ina can itpply wpward
prlssure on t .... Iv,,"u. to faciliUtl thl proCedUf••
UnsuccesJuI
t
Blse<t the constriction rit'l9.
1
. ! SUCCI!SS,ful COIn-etlan I~
I
!
httpj/wWw,uptodcltc,comJ..
PP05 I O~vd<uvG~2015 86
23. RETENSIO PLASENTA
uterus
uterus
sebilgiiln
plasenta
I
inveriso oleh tarikim kuat
pada tali pus at
PPVS I O~vcla,.,,1i~2015 B7
Retensio plasenta dengan separasi parsial
• Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambi/.
• Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak
terjadi, cobakan traksi terkontrol tali pusat.
• Pasang infus oksitosin 20 unit dalam SOD cc NS/RL dengan 40 tetesan per menit. Bila
perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg rektal /sebaiknya tidak menggunakan
ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan pJasenta
terperangkap dalam kavum uteri).
• Bi/a traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta (Iihat
Prosedur klinik plasenta manual) secara hati·hati dan halus /melepaskan plasenta yang
melekat erat secara paksa, dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi).
• Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
• Lakukan transfusi darah apabi/a diperlukan.
• Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 9 IV/oral + metronidazol I 9 supositoria / oral.
I Segera atasi bila terjadi I<omplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.
PPDS I Oi>>tlO'v"""'G~20J5 ss
24. PlAS!;NTA INKAR~!;RATA DAN AKRETA
Placenta Inkarserata
• Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan.
• Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghi/angkan kcnstriksi serviks
dan melahirkan plasenta.
• Pilih f/uothane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat letapi siapkan infus ok·
sitosin 20 IV dalam SOO ml NS/Rl dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi
gangguan kontraksi yang disebabkan bahan anestesi terse but.
• Bila proscdur ancstcsi tidak tersedia telapi serviks dapat dila/ui o/eh cunam ovum
lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur terse but, berikan
analgcsik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV dan sedatif [Diazepam 5 mg IV)
pada tabung suntik yang terpisah.
Milnuver sekrup:
- Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak denganje/as.
Jepit porsio dengan klem ovum padajam 12,4 dan 8 dan lepaskan spekulum.
- Tari/< ketiga Idem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak /ebih je/as.
- Taril< tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi berlawanan agar
dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk inemegang klem tersebut.
lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan.
- Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar searah jarum jam, tarik
plasenta ke /uar perlahan·lahan melalui pembul<aan ostium.
• Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri dan perdarah'!n pasca·tindakan.Tambahan pemantauan
yang diper/ukan adalah pemantauan efek samping atau komplilcasi dari bahan·bahan
sedativa, analgetika atau anestesia umum (mual dan muntah, cegah aspirasi bahan
muntahan, hipo/atonia uteri, vertigo, ha/usinasi, pusing/vertigo, mengantuk).
WDS r Oh;WYiodan,G~2015 89
Plasenta akreta
randa penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus/y.orio
apabi/a tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta ka
implantasi yang dalam.
Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan dasar adalah
.menentukan diagnosis. stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus
memerlukan tindakan operatif.
PLASENTA AKRETA
Faklor predisposisl I
Syok neurogenik akibat _ _ _ _ _ _\-_ _ _ __
Kons6ntrasl Hb
Jenls dan ull silang d
traksi kuat tall pusat Pembekuan darah
Plasenta akreta
I
I ,..""", I
Tertanam rlUnJhnya rerlanam S8bagiB,
l
Tldak ada perdarahan Manual p!asenla
dapat dikeluarkan
UTEROTONIKA
Sisa plasenta
• Penemuan seCara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan
pasca-persalinan lanjut. sebagian besar pasien-pasien akan kembali lagi ke tempat
bersalin dengan keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang ke rumah dan sub
Pl'DS I OInruYvda..vG~2015 70
involusi uterus.
• Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang
dipilih adalah ampisilin dosis, awal I g IV dilanjutkan dengan 3 x 1 9 oral dikombinasi
dengan metronidazol 1 9 supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
• Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digitallbila serviks terbuka)
dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Si/a serviks hanya dapat dihilui oleh
instrumen,lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau Di/atasi dan Kuretase.
• Bi/a kadar Hb < B g% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb < 8 g%, berikan sulfasrerosus
600 mglhari selama 10 hari.
PPVS I O~da..vG~2015 Q1
25. OENYUT JANTUNG JANIN (DJJ) ABNORMAL
DALAM PERSAllNAN
PRINSJP OASAR
• Bradikardi: OJJ kurang dari llO/men;t
PENANGANAN
• Bila sedang dalam infus oksitosin: STOP
• Jbu berbaring miring ke kiri
• Cari penyebab OJJ yang abnormal. Misalnya: ibu demam, atau efek abat tertentu. Bila
penyebab diketahui, alasi permasalahannya
Lakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui hal-hal beril(Ut:
- Kemajuan persalinan.
• Bila terdapat oligohidramnion akibat ketuban pecah maka i<ompresi tali pusat dapat
diatasi dengan amnia infusi.
• Bila OJJ tetap tak normal, segera akhiri persalinan dengan cara yang sesuai syarat
tindakan
- EV, EF, atau
- Seksio sesarea.
• ada kala /I sebanyak 30-40% dapat terjadi bradil<ardia akibat I(ampresi. bila persalinan
lancar tidak perlu tindakan.
ProS I O~"""'G~2015 91
Ihu Dersalin
DJJ abnormal
I.)
I
Inlus oksilosin (-)
I
l ~
Baring miring kiri
STOP
~
(+) Oemam (-)
I
T
Alasi demam
t
Efek obal
Penyebab lain
Ll
Pemerikmn Oalam :
- kemajuan per;alinan
- kompresi 1ali pusal
Observasi dengan
kardiOlokografi
I
~
OJJ abnormal
1
OJJ normal
!----I ! 1
1
Seksio ~mre"
1
EV/EF
PPVS I Oln«CYvda..-vG~2015 93
25.1. GAWAT JANIN
FETAL DISTRESS
Fel.1l Hypoxemia ~
t
Compensatory J\.·t4:!chanisms
.r.adequtt!e AdcQua:e
I
POSS1:le
l
tissue hYPoxia homeostasis
h~:ercap,,,a
(tCOcj
1
anaerobic metabolism
11'oclic aCid i
""r"'
metaboliC aCidOSIS
'"':~:::'I;:~
~ cell deslluclicn
organ Image
pelTllanem diSilbiiity
01 d••lh
Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima O2 cukup, sehingga mengalami hipoksia.
Situasi ini dapat terjadi kronik (dalam jangka waktu lama) atau akut. Janin yang sehat
adalah janin yang tumbuh normal, dengan usia gestasi aterm dan presentasi kepala.
Adapunjanin yang berisiko tinggi untuk mengalami kegawatan (hipoksia) adalah:
• janin yang pertumbuhannya terhambat.
• janin dari ibu dengan diabetes,
PPDS I Ohlru>-"M..vG~2015 94
• janln preterm dan posterm,
• janin dengan kelainan letak,
• janin kelainan bawaan atau infeksi.
PfNlLAIAN KLINIK
Tanda gawatJanin
DJJ abnormal
OJJ ireguler dalam persalinan sang at bervariasi dan dapat kembali setelah beberapa
waktu. Bila OJJ tidak kemball normal setelah kontraksi, hal ini menunjukl<an adanya
hipoksia.
Bradikardia yang terjadi di luar saat kontraksi, atau tidak menghilang setelah kontraksi
- amnionitis.
Sila ibu tidak mengalami takhikardia, OJJ yang lebih dari 160 dpm menunjullka
adanya anval hipo/(sia.
Mekoneum
eairan amnion yang hijau ken tal menunjukkan bahwa air ketuban jumlahnYilsedikit.
Kondisi ini mengharuskan adanya intervensi. lntervensi tidak perlu dilal<ukan bila air
ketuban kehijauan tanpa tcmda l<egawatan lainnya. atilu pada filse ilkhir suatu persalinan
presentasi bokong.
Masalah
ProS I O~""""'C;~201S 95
Diagnosis
• Nilai DJJ.
Bila ibu mendapat sedatif. tunggu hi/angnya pengaruh obat. kemudian nilai ulang.
Bila DJJ tak terdengar. pastikan adanya kematianjanin dengan stetoskop (Doppler).
ibu sehingga ibu merasakan gerakan janin. Bila DJJ meningkat frekuensinya sesuai
Bila DJJ cenderung turun saatjanin bergerak. maka dapat disimpulkan adanya gawat
janin.
rros I Ob!tUl'v.u,.."G~20J5 96
26. KEMATIAN JANIN
PRINSIP OASAR
Kematianjanin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhanjanin, kegawatan
janin, CltClU akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebe/umnya sehingga tidak diobati.
PENlLAIAN KLINIK
• Pertumbuhanjanin (,1, bahkanjanin mengecil sehingga tinggi fundus uteri menurun.
Bunyi jantung janin tak terdengar dengan fetoskop dan dipastikan dengan Doppler.
• Keluhan ibu: menghilangnya gerilkjanin.
• BerClt badan ibu menurun.
• Tulang kepala kolClpS.
• U$G: merupakan sarana penunJang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian
janin di mana gambarannya menunjukkanjanin tanpa tanda kehidupan.
• Catatan: pemeriksaan radiologi dapat menimbulkan masalah dan tidak perlu. Bi/a
dilakukan 5 hari setelah kemati;tnjanin, akan tampak gambaran sebagai berikut:
- tulClng kepalajanin tumpang tindih satu sarna lain,
- tulang belakang mengalami hiperfleksi, .
• Pemeriksaan hCG urin menjadi negatif. Hasil ini terjadi beberapa hari setelah kematian
janin.
Komplikasi
• Trauma emosional yang berat terjadi bila waktu antara kematian janin dan persalinan
cukup lama.
• Dapat terjadi infeksi bila ketuban pecah.
• Dapat terjadi kOClgulopati bila kematianjanin berlangsung lebih dari 2 minggu
PENANGANAN
• Periksa tanda vital.
• Ambil darah untuk pemeriksaan darah peri fer, fungsi pernbekuan, golongan darah
ABO dan Rhesus.
• Je/askan seluruh prosedur perneriksaim dan hasilnya serta rencana tindakan yang
akan dilakukan kepada pasien dan ke/uarganya. Bi/a be/urn ada kepastian sebab
kematian, hindari memberikan informasi yang tidak tepat.
Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada' pasien. Sebaiknya pasien
sebaiknya didampingi oleh orang terdekatnya. Yakinkan bahwa besar kemungkinan
P!'OS I O~cU>.n.G~201S 98
27. ACUTE FATTY LIVER
Acute fatty liverjuga dikenal sebagal acute fatty metamorphosis atau acute yellow
atrophy. Penyakit ini jarang terjadi, insidensinya hanya J dari J 0.000 kehami/an. Biasanya
terjadi pada umur kehamil,m lebih dari 30 minggu. Acute fatty liver sering terjadi pada
kehamiJan ganda (9·25%), pada primigravida. nulipara dengan janin laki-Iaki dan dapat·
terjadi bersamaan dengan preeklamsia. Dari pemeriksaan histologi ditemukan adariya
pembengkakan sel·sel hepatosit yang sitoplasmanya terisi oleh lemak mikrovaskuler
dengan nukleus di sentral dan tak ada kelainan pada periporta selain itu ditemukan
minimal nekrosis pada hepatoseluler.,·2
Gejala yang sering terjadi adalah keluhan muntah sampai pada akhir kehami/an.
Gcjilla'geja/a lain yang terjiloi padil wilnita hamil dengan acute fatty liver ildalah jaundice
« 90%), nyeri perut atas ( 40·60%), nilusea, muntah, ascites, demilm, sakit kepala, pruritus
dan pilda pemeriksaan klinis hepar tidak membesar. Sebagian dari wanitil hamiJ dengan
acute fatty liver juga timbul hipertensi, proteinuri dan edema yang menunjukkiln kearah
preeklilmsia.
Hasillaboriltorium pada acute fatty liver:
J. Leul<ositosis
2. AI/laline fosfatase meningkat
3. Bilirubin> J Omg/dl
4. Waktu protrombin >2,5 detik
5. Trombositopenia « 100.000/41)
6. Hipofibrinogen
7. Hipoalbuminemia
Diagnosis acute fatty liver berdasarkiln keluhan utama. pemeriksilan klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang adalah dengan ultrasonografi.
Diagnosis pilstinYil adillilh dengiln biopsi hilti.
Acute fatty liver dapat membaik spontan setelah I<elahiran. Oleh I<arena itu para
ahli menganjurkan untuk terminasi kehamilan segera setelah diagnosis acute fatty liver
dltegill<kan. Blla serviks telan matang maka direncanakan untull indullsi persalinan. Bila
serviks belum matang dianjurkan untuk d/lakukiln sectio caesaria. Beberapa peneliti
bahkan menganjurkan untuk sectio caesariil dengiln tujuan mempercepat perbaikan
fungsi hati. Tapi dengan adanya gangguan pada koagulopati maka akan meningkatkan
resiko materna/. Sehingga perlu untuk mempersiapkan darah untuk tranfusi apabila
terjadi perdarilhan, sebaiknya dalam bentuk fresh-frozen plasma, cryoprecipitate, whole
blood, packed red cell dan platelet. '.2
PPD5 I O~da.vG~201S 99
28. KOLESTASIS INTRAHEPATIK OALAM KEHAMILAN
2. Cholestyramlne rOuestran)
Tidak dapat diberikan pada kehamilan sampai dengan 24 minggu.
Dosis 12-24gjhari. Perlu diikuti dengan pemberian injeksi vitamin K I Omg subkutan
dan asam folat I mgjhati peroral
3. Oexamethason
Terdapat 5 tipe penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis yaitu hepatitis A,
hepatitis B, hepatitis C, hepatitis 0 yang disebabkan oleh hepaititis B dan hepatitis E.
Semua virus hepatitis adalah RNA virus kecuali virus pada hepatitis B. Virus·virus ini
k.?mungkinan besar bukan hepatotoksik tapi respon imun tubuh kita yang disebabkan
karena virus ini yang menyebabkan nekrosis pada hepatoseluluer kita. '
Gejala-gejala yang timbul adalah nausea, vomitus, nyeii kepala dan lemah,
kemudian timbul/ah jaundice setelah 1·2 minggu. Pada penderita hepatitis A, biasanya
terjadi demam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan pengikatan 'serum
transaminase antara 400·4000U/L, peningkatan ini biasanya terjadi saat penderita
terkena jaundice. Serum_~ilirubin juga meningkat antar 5-20mg/dl.
l~_l_~ I
Acute Hepatitis A with
chronis S +* +
Acute hepatitis A dan B + +
Acute Hepatitis C
Ket: * HBAg mungkin hasilnya H karena hasil dlbawah batas
Tabel 1. Penegal<kan diagnosis hepatitis virus berdasarl«m tes serologi I sumber Obstetri
Williams. n"dl
a. HEPATITIS A
Virus hepatitis A adalah jenis 27-nm RNA picornavirus yang ditularkan melalui
makilnan., air dan bisa juga melalui dilrah dengan masa inkubasi selama 4 mingggu.
Tanda dan gejala biasanya nonspesifil< dan sebagaln besar kasus tidak terjadi ikterik pada
penderita, sekalipun terjadi biasanya hanya ringan. Pemeriksaan serologi awal hanya
menunjukkan adanya IgM yang meningl<at selama beberapa bulan. 1
Dianjurkan untuk imunisasi hepatitis A untuk orang-ora'ng yang sering atau akan
melakukan perjalanan ke daerah yang endemik dan pengguna obat-obatan. Imunisasi
untuk wan ita hamil untuk hepatitis A adalah dengan 0,02mljkgBB terutama bagi ibu
hamil yang akan berkunjung ke daerah endemik. 1.2
Selum ada bukti yang menunjukkan bahwa hepatitIs A merupak,~n teratogenik.
Tapi ilda beberapa penelitian yang melaporl<lln adanya kenaikan kelahiran preterm dan
timbulnya cholestasis pada neonatal dari ibu yang menderita hepatitis A. Imunisasi
hepatitis A untuk bayi dosisnya adalah 0,02 mg/kgBB yang diberil<an sesudah lahir. I
b. HEPATITIS B
Infeksi yang disebabkan oleh hepatitis Bini banyak terjadi di beberapa benua
terutama Asia dan Afrika. Penyebab virus inj adalah virus DNA hepadnavirusdimana virus
ini dapat mengakibatkan hepatitis akut yang dapat berkembang menjadi hepatitis kronik,
sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Penularan hepatilisB melalui pemakaian jarum
sunlik, darah dan kontak langsung melalui mukosa dengan cairan tubuh, I
Gejala dari penderitil yang terkena hepatitis B adalah malaise, demam, arthritIs,
urtikaria, jaundice dan bisa juga terkena glomerulonefritis. Masa inkubasi adalah 30-110
hari dan bifa terjadi kronis bisa mencClpai 180 hari. Dari pemeriksaan serologis baru
d. Heoatitis D
Hepatitis 0 juga dikenal sebagai hepatitis delta. Virus hepatitis D ini merupakan
virus RNA yang inkomplit yang dapat diiso/asi dari inti hepatitis B. Infeksi virus hepatitis d
terjadi saat Infeksl hepatits B masuk, ini terjad/ karena virus hepatitis 0 tidak mampu
menciptakan kapsul permukaanya dan menggunakan kelebihan HbsAg untuk
membentuk kapsulnya. Diagnosis hepatitiS D dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis
dari IgM dan IgG antibodi sp~sisfil< terhadap HOV.,·2
e. Hepatitis E
Virus hepatitis E adalah virus RNA yang ditularkan dari air yang terkontaminsasi.
Pemeriksaan serologis untuk mengkonfirmasi adanya hepatitis E adalah dengan
pemeriksaan IgM dan /gG anti HEV. Penelitian oleh Khuroo dkk menyatakan bahwa
terdapat bukti yang mendukung adanya penularan hepatitis E secar vertikal termasuk
diantaranya secara transplasenta.,·2
HEPATITIS KRONIK
Hepatitis kronik disebabkan karena infeksi kronis dari hepatitis B dan C. penyebab
lain adalah autoimun hepatitis kronik yang ditandai dengan tingginya serum antinuklear
antibodi. Hepatitis kronik gejalanya tidak spesifik, pasien biasanya hanya mengeluh sering
SIROSIS HEPATITIS
Sirosis hepatis adalah keadaan disfungsi hati kronis yang diakibatkan oleh
berbagai macam infeksi, penyakit metabolil<. Ada beberapa pendapat penyebab dari
sirosis hepatis adalah postnecrosis cirrhosis dMi hepatitis B dan C yang kronik. Tanda dan
gejala dari sirosis hepatis adalah jaundice, edema, gangguan I(oagulopati, gangguan
metabolik, hipertensi portal dengan varises gastroesophageal dar. splenomegali.
Wanita dengan sirosis hepatis biasanya infertil. Prognosis bayi dan ibunya
diperkirakan dengan apakah ada kerusakan metabolisme ibu seperti adCl atau tidaknya
varises esofagus yang berhubungan dengan hipertensi portal. Pada kehamilan trmester III
sering ditemukan perdarahan varlses kemungklnctn besar berhubungan sengan
peningkCltan volume darah. I<omplikasi lain yang mungkln terJadi gagal hati, kelClhiran
preterm dan IUGR sampai dengan kematian maternal.,,2
WILSON'S DISEASE
Penyakit ini merupakan gangguan resedif autisomal dengan insiden 1 dalam
.100.000 kelahiran hidup. Gangguan yang terjCldi berupa abnormalitas metabolisme
cooper sehingga hati melepas cooper ke sirl(ulClSi umum dan disimpan di dalam jaringan
seperti kornea, ginjal, nekleus lentil<uler otot dan otot itu sendiri. Blasanya pas;en
mengeluh adanya gangguan neur%gi dan penya/dt hati. /<omplil<asi yang bisa terjadi
ada/ah sirosis hepCttis, .
Gambaran /<lasil( dari wilsons disease ada/ah adanya cincin layer fleischer yang
dijumpai di kornea dengan pemeril(saan slit lamp, Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar plasma seroplClsmin yClng rendah, kenaikan serum pada tingkat non
seroplasmin copper, penurunan total tingkat copper plasma dan peningkatan eksl<resi
copper dalam urin, 2
Daftar Pustaka
I. William Obstetrics. 22nd edition. 2005.
2. R. Haryadi. IImu I<edokteran Fetomaternal, Himpunan kedokteran Fetomaternal,
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Diagnosis
Kadar Hb
Kadar Hb I<urang dari 1D,S gjdl pada trimester kedua dan ketiga adalah abnormal
dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Mean corpuscular volume (MCV! < 80 fL, Mean corpuscular Hemoglobin
concentration (MCHCj < 30 gjdL
Fe serum dan Total iron binding capacity (TIBCj
Fe serum dan TIBC dapat memberikan gambaran perkiraan saturasi transferring.
Berl<urangnya saturMi transferring menunjukkan adanya defisiensi suplai besi ke
jaringan. Fe serum kurang dari 12 ~mol/l dan TISC kurang dari 15%
mengindil<asikan adanya defisiensi besi selama kehamilan.
Ferritin
I(adar ferritin ~ 12 ~g/l menunjul<l<an adanya defisicnsi besL
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untul< meningkatkan kadar Hb dan memulihkan cadangan
besi dengan pemberian preparat besi oral, seperti ferrous sulfat, fumarat atau glukonat,
200 mgjhari. Untuk memenuhi cadangan besi tubuh, terapi oral sebaiknya dilanjutkan
sampai tiga belan atau lebih setelah anemia teratasi.
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Anemia mcgaloblastik merupakan kelompok kelainan hematologik yang ditandai
dcngan kcfainan karaktcristik darah dan sumsum tulang yang disebabkan oleh gangguan
sintesis DNA.
PPDS I Ob)tu;-"dc.¥vG~201;
104
Defisiensi Alam Folat
Dj Amcrjkil Serikat Clnemia megalobalstik pada kehamilan hampir selalu disebabkan
oleh defisiensi ilsam folat. I'enyebab defisiensi asam folat adalah asupan makanan yang
kurang. Kebutuhan asam folat meningkat dari 50 J.1gjhari untuk wanita tidak hamil
menjadi 800·1000 J.1g/hari untuk wanita hamil. Fenitoin, nitrofurantoin, trimetoprim, dan
alkohol menurunkan absorpsi asam folat. Defisiensi asam folat dikaitkan dcngan defek
neural tube, solusio plasenta, prekldmsia, prematuritas, dan pertumbuhan janin
terhambat.
Defisiensi Vitamin S12
Penyebab lain anemia megaloblastik yang lebih jarang adalah defisiensi vitamin BIz
yang seringkali disebabkan oleh diet vegetarian jangka panjang atau karena
berkurangnya absorpsi usus akibat enteritis, reseksi gastrointestinal atau giardiasis kronik.
Diagnosis
Pada pemeriksaan laboratorium MCV biasanya > 100 fL dengan MCH dan MCHC
normal. Apus darah tepl menunjukl(an hipersegmentasl netrof/l dan inl<lusi eritroslt. Kadar
folat serum puasa < 6 J.1gjL Inormal 6·12 J.1gjll. HasiJ pemeriksaan laboratorium yang sama
akan dltemukan pada defisiensi vitamin BIz dengan kadar serum BI2 <: 190 ngjL (normal
190·950 ng/L).
Terapl
Defisiensi asam folat diterapi dengan pemberian asam folat J mg per oral tiga I<ali
sehari. Makanan yang merupakan sumber asam folat adalah sayuran berdaun hijau, jus
jerul<. strobed, hati, dan kacang polong. Kadar Hb akan meningkat seeara perlahan dalam
beberapa minggu setelah terapi. Terapi vitamin BI2 memerlukan injeksi cyanocobalamin I
mg selama enam minggu.
Thalasemia ditandai oleh adanya penurunan produksi satu atau lebih rantai
peptida globin. Kecepatan sintesis yang abnormal menyebabkan eritropoiesis menjadi
tidak efektif, hemolisis, dan berbagai tingkat anemia. Kelainan ini diturunkan secara
autosomal resesif. Jenis thalasemia dlkelompokkan berdasarkan defisiensi Jumlah ranta/
globin dibilndingl(an dengan rantai pasangannya. Dua bentuk mayor thalasemia ada/ah
thalasemia c yang disebabkan berkurangnya produksi rantai peptida- c. dan thalasemia ~
yang disebabkan berkurangnya produksi rantai peptida-~. Insiden tha/asemia pada semua
ras diperkirakan 1 dari 300-500 kehamilan.
Diagnosis thalasemia didapatkan dari gambaran anemia hipokromik mikrositik,
dengan MeV <80 FI. Pemeriksaan e/ektroforesis hemoglobin kuantitatif diper/ukan untuk
menegakkan dianosis. Pada tha/asemia ~ homozigot, kadar HbF meningkat 20-60%
bahkan sampai 90%. Pasien homozigot biasanya menderita anemia berat dengan kadar
Hb < 5 gjdL. MeV dan Mel-! menurun, sedangkan jum/ah retikulosit meningkat, Pada
thalasemia ~ heterozigot, kadar HbA 2 meningkat 4-6% dan kadar HbF sediklt meningy.at
11-3%). Jum/ah retikulosit mung kin meningkat 1-3%.
Kadar MeV yang rendah dan kadar HbA 1 yang menlngkat merupakan krlterla
diagnosis untuk carrier. Carrier thalasemia a yang asimtomatik serlngkafi mempunyai
jumlah HbA2 dan HbF yang normal, sehingga studi silsilah keluarga seringkaJi dapat
membantu menentukan diagnosis carrier.
Jika seorang wanita hamil diketahui sebagai carrie!; mal(a pasangannya sebaiknya
diperiksa. Tes prenatal berbasis DNA menggunakan amniosentesis atau chorionic villus
samplingdapat dilakukan bila kedua orangtua adalah carrier.
Terapi
Terapi thalasemia bergantung pada beratnya penyaldt. Carrier thalasemia a
asimtomatik dan thalasemia ~ heterozigot tidak memerlukan terapi spesifik, selain
konseling dan informasi mengenai diagnosis prenatal. Suplementasi besi sebail<nya
diberikan jika ada indikasi berdasarl<an kadar ferritin eritrosit dan kadar ferritin plasma.
Kelebihan besi yang menyebabl<an hemokromatosls merupa/<an akibat dari terapi besl
berleb/h. Paslen dengan thalasemia ~ homozigot mungldn memerlukan transfusi darah
dan splenektomJ. Semua pas/en homollgot memerlul<an suplemen folat untuk
meningkatkan eritropoiesis.
Jumlah trombosit yang rendah kurang dari 1S0.000/lll terjadi pada 5·7%
kehamilan. Tanda-tanda klinis yang sering ditemukan adalah peteki. lebam. epistaksis,
perdarahan gusi, dan hematuria. Paslen dengan jumlah trombosi! di atas 20.000/lll
mempunyai risiko perdarahan lebih rendah daripada pasien dengan jumlah trombosit
kurang dari 20.000/f)L. Penyebab trombositopenia maternal antara lain adalah
trombositopenia gestasional (73.6%/. hipertensi dalam kehamilan (21%), penyebab
imunologik 13.8%/.
Trombositopenia gestasional
Trombositopenia gestasional biasanya merupakan diagnosis eksklusi dengan tiga
kriterla kardinal. yaitu trombosltopenla rlngan ( 70.000-1S0.000/llll. tidak ada riwaya!
trombositopenia, dan tidak ada gejala perdarahan. Patofisiologi trombositopenia
gestasional tidal< diketahui. tetapi diduga berkaitan dengan menigkatnya pergantian
trombosit fisiologis. Trombositopenla gestasional biasanya pulih dalam enam minggu
pasca salin dan dapat tcrjadi kembali pada kehamilan berikutnya, sehingga tidak
diperlukan intervensi dalam penatalaksanaannya.
Diagnosis
Trombositopenia tanpa disertai splenomegaJi atau limfadenopati.
Singkirkan kemungkinan penyebab sekunder trombositopenia maternal. sepertl
preklamsia. infeksi HIV. systemic lupus erythematosus, obat-obatan.
Pcmcriksaan susmsum tulang memperlihatkan gambaran normal atau peningl<atan
megakaryosit.
Deteksi antibodi antiplatelet konsi.~ten dengan ITP. tetapi bukan merupakan
diagnostik ITP karena antibodi tersebut juga ditemukan pada 30% pasien dengan
trombositopenia nonimun.
Penatalaksanaan antenatal
Tujuan terapi adalah untuk meningkatkan jumlah trombosit sampai ke jumlah yang
aman, yaitu lebih dari 20.000-30.000/lll.
Jika jumlah trombosit maternal di bawah 20.000-30.000/~l. terapi dimulai dengan
pemberian prednisone 1-2 mg/kg/hari. Oasis kemudian diturunkan bertahap setelah
tercapai jumlah trombosit yang aman. Steroid diketahui menekan produksi antibodi.
menghambat sekuestrasi antibodi platelet. dan mengganggu interaksi antara trombosit
dan antibodi. Dalam tiga minggu 70-90% pasien berespon terhadap terapi.
Pemberian intravenous infusion of gamma globulin (IVIG) dosis tinggi (400
mg/kg/hari selami! lima hari dalam seminggu selama tiga minggu atau 1 g/kg/hari selama
sa~u minggu) direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tidak berespon terhadap
steroid. Mekanisme kerja IVIG adalah dengiln memperpanjans waktu klirens dar; IgG
PPD5IO~a.o.."G~2015
107
yang melapisi trombos;t oleh sistem retikuloendotelial maternal. Delapan penen pasien
yang diterapi dengan IVIG berespon dalam beberapa harl dan mendapat remisi sekurang·
kurangnya tiga minggu. Masalah terapi IVIG adalah pada biaya yang mahal.
Penatalaksanaan intrapartum
Se/ama beberapa tahun ada asumsi bahwa janin dengan jum/ah trombosit kurang
dari SO.OOO/~L mcmpunyai risiko perdarahan intracranial, sehingga seksio sesarea dipilih
sebagai cara persalinan pada kasus trombositopenia janln berat pada pasien ITP karena
dianggap kurang traumatik daripada persalinan pervaginam. Jumlah trombosit janin
ditentukan dengan melakukan scalp sampling atau kordosentesis. Sa at ini penentuan
jumlah trombosit janin untuk menentukan jenis persalinan tidak direkomendasikan lagl.
Suatu penelitian retrospektif mendapat bahwa kejadian perdarahan intracranial neonatus
dengan persalinan pervaginam lebih rendah daripada dengan seksio sesarea. 10,5% vs
2,0%). Penelitian lain mendapatkan morbiditas yang sama pada neonatus dengan
trombositopenia setelah seksio sesarea atau persalinan pervaginam.
108
PPDS I O~~G~20IS
33. HEMOFILIA
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Gant NF, Levene I(J, Gilstrap LC, Hauth JC. Wenstrom I<D. William
Obstetrics. 21" Ed. MCGraw-Hili. New York. 2001: 1307-38.
2. James OJ<, Steer PJ. Weiner CPo Gonik e. High Risk Pregnancy: Management Option,
2nd Ed. WB Saunders. London. 2001:729-74.
3. Brandon J. Amy E, Nicholas C. Harold E, Edward E. The John Hopkins Manual of
Gynecology and Obstetrics, 2nd Ed. Lippincot Williams & Wilkins. 2002.
PPD5IO~~G~2015 109
34. TUBERKULOSIS DALAM KEHAMILAN
Epidemiologi
Saat ini TB diketahui menginfeksi lebih dari sepertiga populasi dunia atau sekitar 2 miliar
penduduk. 3 dimana 5-10% akiln mengalami peri ode TB aktif.' Lebib dari delapan Juta
orang menderita T9 aktif setlap tahunnya dan sekitar dua Juta dlantaranya menlnggal. J
Leblh dari 95% kasus T8 terjadi di negara-negara berkembang, dlmana 75% kasus terJadl
pada kelompok usia produktif r IS-54 tahun) dengan angka kematlan mencapal 58%. 1.4
Asia merupakan Mea resiko tinggi dengan duapertiga populasinya diperkirakan sudah
terinfeksi T8. Berdasarkan data WHO, sekitar 50% dari delapan juta I<asus baru terjadi
setiap tahunnya di India, (ina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Filipina. 5
Di indonesia sendiri beium ada data yang dapat memberikan informasi tentang
angka kejadian TB pada wanita hamil. Dengan prevalensi TB sekitar 29% 6 maka
penduduk indonesia termasuk keiompok yang beresiko tinggi untuk terinfeksi sehingga
usaha penapisan seharusnya dapat dilal<ukan pada populasi wan ita hamil.
Patofisiologi
Sumber penularan adaiah penderita T8 dengan BTA positif dan penularannya dalam
bentuk droplet. Seseorang dapat terinfel<si jika ia menghirup droplet tersebut ke dalam
saluran nafas dan kemudian menyebar darl paru kedalam bagian tUbuh lainnya melalul
sistem pereda ran darah, sistem saluran limfe atau penyebaran langsung lIe bagian-baglan
tubuh lainnya. Oityit penularan TB dltentukan oleh jumlith Ilumitn yitng dlkeluitrkan darl
paru. Witktu yang dlperlul<an dari infeksl sampai pembentukan kompleks primer adalah
sekitar 4-6 minggu. yang dltandal dengan perubahan reaksi tuberkulin darl negatlf
menjadi positif.'
Diagnosis
Usaha untuk penapisan T8 pada I<ehamilan tidak berbeda dari penapisan T8 pada
populasi umum. Di negara-negara maju, penapisan untuk TB pada kehamilan tidak
dilakukan secara rutin. Tetapi hal ini harus dilakukan pada wanita hamil dengan gejala
gejala TB yang jelas, terinfeksi HiV, berhubungan erat dengan orang-orang yang
terinfeksi T8, masyarakat yang berasai atau baru tiba dari daerah dengan prevalensi TB
yang tinggi.,·a.9.1o CDC dan ATS merekomendasik.m usaha penapisan dan pengobatan
pada kelompok resiko tinggi untuk mengurangi kasus TB aktif baru ITabel 1).2.9.10
PERPUSTAKAAN KELURABAy.(·
110
PPDS I Ob:tUYvdMl.oC;~2015
Tabel 34. ,. Kelompok yang ditargetkan untL!k mendapat uji tuberkulin 2
Ri.k 1....1 T"'1:"t f"'uP PPD (in mm induration)
High Conucu of tuberculosl. potlonts'
Homeless persons"
to.1cO'''' diu:ne.....
Alur yang disarankan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2005 adalah sebagai berikut :
4
Tcrsangb Til
L llJ~il
"~;,'"
HJ~Ji
~:::: ~
I
Pengobatan untuk infel<si laten sebelumnya disebut sebagai terapi preventif atau
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya TB aktif. Akan tetapi. karena paslen inl
sebenarnya memang sudah terlnfeksi, maka The Americiln Thorilcis Society (ATS)
merekomendasikan terapi pada kasus ini sebagai pengobatan infeksi T8 laten.' Pada tabel
3 dapat diliat dosis dan durasi pengobatan infeksi TB laten pada kehamilan.
2
TabeI34.3. Obat. dosis dan jadwal pemberian terapi infeksi TB laten pada l<ehamilan
c.:oml'T'l<!nts
[5>"'l! DUr.ltlon of treatment Dose
'Rd3mpln don
~Jlll'\Jmlde dOlt
,l.doplt4 (rotn Amenc.ln ThorJClc SO~lety Ie")
fI2
PPDS I O&;tw&~G~20J5
Pada wanita hamil yang terinfe/(si TB baik yang memberikan geja/a atau tidak, /<ita
harus mempertimbangkan pada keadaan bagaimana saM wanita tersebut melahirkan
bayinya. Hal ini berkaitan erat dengan tindakan yang harus diambil pada saat bayi
tersebut lahir. Penata/aksanaan bayi yang lahir dari ibu dengan TB paru sangat
tergantung dari keberhasilan pengobatan yang dUa/ani ibu tersebut. Jika pengobatan
dianggap berhasil dan tidak terdapat bukti terdapatnya infeksi aktif, maka bayi tersebut
tidak perlu diberikanterapiOAT.'l Jika ibu menderita TB paru aktit yang tidak terkontro/,
sebaiknya dilakukan pemisahan bayi dari ibu untuk menghindari penu/aran, sampai ibu
selesai menjalani terapi OAT dan berada pada tahap tidak menu/ar. B.ll Begitu pula
dengan anggota keluarga lainnya yang menderita TB paru aktif, sebaiknya dipisahkan
dulu dari bayi sampai sembuh dan pada tahap tidak menular,
Jika dari hasil evaluasi bayi dinyatakan tidak menderita TB kongenital, Isoniazid
IiNH) dapat diberikan dengan dosis 5-1 OmgjkgBB/hari sebagai terapi profilaksis, bila ibu
masih dalam pengobatan TB paru aktifnya. Terapi INH profilaksis yang diberikan adalah
sebagai usaha aktif untuk mencegah perkembangan penyakit lebih lanjut pada bayi.
Selama terapi. bayi juga diberikan piridokSin sebagai tambahan.'z Selain itu juga
dianjurkan agar bayi menjalani tes tuberkulin pada umur 1 dan 3 bulan. Jika hasil tes
tuberkulin negatif pada 3 bulan, pengobatan dapat dihentikan, selama ibu juga sudah
berada pada tahap tidak menular serta diberikan imunisasi BCG. Pada bayi yang
simptomatis, pengobatannya sama dengan dewasa dan dosimya dises'Jaikan dengan
berat badan bayi.
Prognosis
Infeksi TB selama kehamilan dapat menimbulkan resiko komplil<asi baik bagi ibu dan
bayinYil. 1.'3.14"5 I{riteria klasik untuk men diagnosis tuberl<ulosis kongenital dibuat oleh
Beitzke pada tahun 1935, yaitu 1) diagnosis harus terbukti secara bakteriologis 2) harus
ditemukan I(ompleks primer pada hepar 3) penyakit muncul pada beberapa hari pertama
kehidupan 4) tidak terdapat kemungldnan transmisi postnatal padajanin saat I<elahiril"
yang berasaJ dari ibu maupun orang-orang disekitarnya. Cantwell dlll(. melakukim revisi
dari kriteria awal karena dipikirkan masih ada kemungkinan lain untuk terjadinya TB
kongenital, yaitu 11 penyakit muncul pada minggu pertama keh;dupan 2) ditemukan
kompleks primer pada hepar atau granuloma 31 trClnsmisi infeksi dapat melalui plasenta
atau sClluran genitalia ibu 41 tidak terdapat kemungkinan transmisi postnatal pada janin
saat kelahiran yang berClsal dari ibu maupun orang-orang disekitarnya.'4.' •. '7
REFERENS I
1. Ross L, Goff M.l.iHent tuberculosis infection and BeG vaccination. JMWH 2005;50;344-7
2. Bergeron KG. Bonebri'lke RG, Gray CJ. Latent tUberculosis in pregnancy: screening and trecltmen1. Current
Women', He.I<h Report 2003;3:303,8
3. World Health Orgcmization. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for Nation,)/ Progr.lmmes 3'" ed.
Genev.:WHO;2003
4, Pedoman Nasional Penan99ulan9an Tubcrkulosis. Cetakan ke·? Oeparteman Kc.schiHim Republik Indonesia,
J.kart.2005
5. Affandi B. Tuberculo,i, in pregnancy. ALARM
6. Aniwidyanin9,;h W. Adil.m. TY. Vak'in ruberkulo,;, berb.,i, DNA. J Re.p" Indo 2003:23:34·42
7. Tripalhy SN. Tuberculo,i! and pregnancy.lnl J Gyn Obs 2003:80:247,53
s. T8 and pregnancy. Management control and prevention of TBC. Guidelines for heillth (Me providers 2002-2005
9. Ru,mi.tiA. Ujllubercu'in.J Respir Indo 1997:11:210·4
10. Tuberculin skin testing policies and protocols. TB policies: skin tesrin9_ P 1·10
I I. Vo QT, SI.nler W, Crowley K. Pulmonary luberculo,isin pregnMcy. Prim Care Updale Ob/Gym 2000;7:244·9
12. Briggs GG, Freemiln RK, Yaffe 5J. Orug in pregnancy and lactation, SUO ed. Uppincon Williams 6. Wilkins, '998
13. Oamian RF, Arredondo-G;ucia Jl. Neonatal outcome of children born '10 women with tuberculosis. Arch Mrd
Research 2001:32:61>-9
14. Ormerod P. Tuberculolil in pregnancy and Ihe puerperium. Thom 2001:56:494·9
Pf'VSJO~~G~2015 '13
1S. Jana N. Val:ishta K. Saha se, Ghosh K. Obstetrical outcomes among women wIth extrapulmonary tuberculosis. N
Engl J Mod 1999;341;645-9
16. Miller KC. Millcr JM. Tubcrculosis in pregnancy: interactions. diagnosis and management. Clin Obs Gyn
1996;39: 12()'42
17. Canewell MF. Sheh.b ZM. Coslello AM el.l. Congenital tuberculo.is. N Engl J Mod 1994;330: lOS 1·4
Pendahuluan.
Malaria adalah penyakit yang disebabkan protozoa dan disebarkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles. Protozoa penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodium yang
dapat menginfeksi manusia maupun serangga. Terdapat empat spesies Plasmodium yang
menyebabkan mafaria pada manusia yaitu vivax, ova fe, malariae dan fCllsipClrum. Diduga
penyakit ini berasaf dClri Afrika dan menyebar mengikuti gerakan migrasi mClr1usiCl melCllui
pClntai Mediterania, IndiCl dCln AsiCl TenggarCl. NamCl mafariCl mulCli dikenClf sejak zaman
kekaisaran Romawi, dan kata malClria berasal dClri bahasCl ItClliCl yang berClrti udClra kotor
dCln biasajugCl disebut dengan istilClh demClm Romawi.
Saat ini diperl<irakCln sedikitnya terjadi 300 juta f<asus malaria akut di duniCl setiap
tahunnyCl, dan menyebabkan I sampai 3 juta kematian per tahun. Sef<itar 90% penyakit
ini terjadi di benua Afrika dan terutama menyerimg anak·anak balita. Penyakit ini telah
dieradikasi secara efektif di benua Eropa dan sebagian besar Amerika Utara. kecuali di
sebagian Meksiko.
Malaria dalam kehamilan merupakan masalah obstetri. masalah sosial dan masalah
medii yang membutuhl<an penClnganan multidisipHn dan multidimensi. Wanita hamil
merupakan kelompok USiCl dewasa yang paling tlnggi risikonya untuk terkena penyaklt
ini.. Oi dClerah endemik malaria sekitar 20 - 40% bayi yang dilahirkan mengClIami berat
lahir rendah.
Sejumlah dClerClh tertentu dl Indonesia terutamCl yClng berClda di dClerah pantai dan
rClwa. merupakan daerah endemis mClIClria, sehingga penyafdt ini masih merupakan
masalah kesehatan yang besar di Indonesia. Tingginya I<ejadian penyakit malaria di
Indonesia akan berdampak tingginya kejadian penyaklt malaria dafam f<ehamifan,
sehlngga dibutuhkan pemahaman darl segl diagnostik dan pengelolaan penyakit malaria
dalam kehamilan dalam upaya menurunkan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan bayi.
rufisan inl akan membahas penyakit malaria dafam kehami/an serta upaya pencegahan
dan pengefolannya.
Penyakit malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi,
. perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat penyakit malaria
mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah
masalah bagi ibu hamil,janin maupun dokter yang menanganinya. Penyaldt malaria yang
terutama disebabkan plasmodium falciparum dapat menyebabkan keadaan yang buruk
pada ibu hamil. Seorang primigravida yang terkena penyakit malaria umumnya paling
mudah mendapatkan komplikasi berupa anemia, demam. hipoglikemi, malaria serebral,
edema paru, sepsis puerperalis bahkan sampai kematian.
Gejala klinis.
Selama kehamilan, lebih dari setengahnya memberikan manifestasi klinis yang atipik,
yaitu berupa :
. Oemam:
Pasien dapat mengeluhkan bermacam-macam pola demam mulai dari tanpa demam.
demam tidak terlalu tinggi yang terus menerus hingga I<e hiperpireksia. Pada trimester
kedua kehamilan gambaran manifestasi klinis yang atipik lebih sering terjadi karena
proses imunosupresi.
- Anemia
Oi negara berkembang yang biasanya merupal<an daerah endemis malaria, anemia
merupakan gejala yang paling sering ditemukan selama kehamilan. Penyebab utama
anemianya adalah karena malnutrisi dan penyakit cacing. Oalam kondisi seperti ini
penyakit malaria akan menambah berat keadaan anemianya. Penyakit malaria sendiri
bias memberikan gejala dengan manifestasi anemia, sehingga semua kasus anemia
harus diperiksa kemungkinan kearah penyakit malaria.
- Splenomegali
Pembesaran limpa bias terjadi pada penyakit malaria, dan I<eadaan ini akan
menghilangpada trimester kedua kehamilan. bahkan splenomegali yang menetap pada
keadaan sebelum hamil bisa mengecil selama I<ehamilan.
Komplikasi.
Komplikasi penyai<it malaria cenderung akan lebih sering dan lebih berat dalam
kehamilan. Yang sering timbul adalah edema paru. hipoglikemi dan anemia. Komplikasi
yang lebih jarang terjadi adalah kejang, penurunan kesadaran, koma, muntah-muntah
dan diare dan lain-lain.
Anemia
Penyakit malaria dapat menyebabkan anemia dan juga dapat memperburuk keadaan
anemia yang sudah ada. Hal ini disebabkan hal berikut :
I. Hemolisis eritrosit yang diserang oleh parasit
2. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
3. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat.
Anemia yang disebabkan oleh penyakit malaria terjadi lebih sering dan lebih berat
pada usia kehamilan antara 16 - 29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya
dapat memperberat keadaan anemia ini. Anemia meningkatkan kematian perinatal
serta kesakitan dan kematian maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema pZlru
dan perdarahan pasca salin. Anemia yang signifikan ( Hb < 7 - 8 gr%) harus ditangani
116
WDS I Ob>atYodM..G~2015
dengan memberikan transfusi darah. S(:baiknya diberikan packed red cells
dibandingkan dengan pemberian whole blood, untuk mengurangi tambahan volume
intravaskuler. Transfusi yang rerlalu cepat terutama bila whole blood akan
menyebabkan edema paru.
- Edema paru akut
Edema paru akut adalah komplikasi malaria yang lebih sering terjadi pada wanita hamil
daripada wanita tidak hamil. Keadaan in; bias ditemukan saat pasien datang atau baru
terjadi setelah beberapa hari' dalam perawatan. Kejadiannya lebih sering pada
trimester 2 dan 3. Edema paru akut akan bertambah berat karena ada anemia
sebelumnya, dan adanya perubahan hemodinamik dalam I<ehamilan. dan kelainan ini
sangat meningkatkan risiko kematian.
- Hipoglikemia
I(eadailn merupal<an komp/ikasi yang cukup sering terjadi dalam kehamilan de-rigan
penyakit malaria. Faktor·faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia adalah
sebagai berikut:
J. Meningkatnya kebutuhan glukosa karen a keadaan hiperl<ataboliV dan infeksi
parasit
2. Sebagai respon terhadap starvasijkelaparan
3. Peningkatkan respon pulau-pulau pankreas terhadap stimulus sekresi /misalnya
guinine) menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglil<emia.
Keadaan hlpoglil<emia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat bersifat
asimtomati/< dan dapat luput terdeteksi l<arena gejala-gejala pada hipoglikemia juga
menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil dan lain lain.
Pada sebagian pasien dapat menunjukkan geja/a tingkah laku yang abnormal seperti
kejang, penurunan kesadaran. pingsan dan lain· lain yang hampir menyerupal geJala
malaria serebra/. O/eh I<arena itu semua wanita hamil yang terinfel<si malaria falciparum.
khususnya yang mendapat terapi quinine harus dimonitor I<adar gula darahnya setiap 4-6
jam sekali. Hipoglikemia juga bisa re/<uren sehingga monitor 1<adar gula darah horus
selalu dilal<u/<an.
I<adang-l<ildang hipog/ikemia dapat berhubungan dengan lal<tM asidosis dan
pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat. Hipoglikemia maternal
juga dapat menyebabkan gawatjanin tanpa ada tanda-tanda yang spesifil<.
lmunosupres;
Keadaan imunosupresi dalam kehamilan dapat menyebabkan infeksi malaria yang
terjadi menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi. infel<si malaria sendiri dapat
menekan respon imun.
Perubahan hormonal selama kehamilan menurunl<an sintesis imunoglobulin,
Penurunan fungsi sistem retikuloendotelial merupakan penyebab imunosupresi da/am
kehamilan. Hal in; menyebabk.:tn hilangnya imunitas yang didapat terhadap malaria
sehingga ibu hamil lebih renlan terinfeksi malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih
berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami demam
paroksismal dan mengalami kekambuhan.
lnfcksi sekundcr berupa infeksi saluran kencing dan pneumonia serta syok
septikemia juga lebih sering terjadi dalam kehami/an karena keadaan imunosupresi ini.
Malaria kongenital
Malaria kongenital sangatjarang tf'rjadi, diperkirakan timbu/ pada <5% kehamilan.
Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta dapat melindungi
janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada populasi non imun dapat terjadi malaria
kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria. Kadar quinine plasma janin dan
k/orokuin sekitar 1/3 dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini
tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat
menyebabkan malaria kongenital, tetapl yang lebih sering adalah P. malariae. Pada bayl
baru lahir dapat terjadi demam, iritabilitas, masa/ah minum, hepatosp/enomegali, anemia,
ikterus dan lain lain, Diagnosis dapat ditegak/<an dengan me/akukan pemeriksaan apus
darah tebal darl darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam satu minggu
sesudah lahir. Diagnosis bandingnya ada/ah Inl<ompatibilitas Rh, Infeksi CMV, Herpes,
Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis.
118
??DS I Ol»tW(,d"",,,G~v2015
2. Terapi Malaria
Obat-obat antimalaria yang sering digunakan tidak merupakan kontraindikasi bagi
wanita hami!. Beberapa obat antimalaria yang lebih baru memiliki aktivitas antifolat
sehingga secara teoritis dapat berperan menyebabkan anemia megaloblastik dan
kecacatan pada kehamilan dini. Tetapi perlu difikirkan pada daerah dengan resisten
klorokuin kesehatan ibu adalah yang utama sehingga pemakaian obat yang efektif
membunuh parasit tetap dianjurkan bila kondisi ibu memburuk.
Malaria dapat menimbulkan masalah yang fatal bagi ibu hamil dan janirinya, oleh
karen a itu setiap ibu hamil yang tinggal di daerah endemis malaria selama masa
kehamilannya harus dilindungi dengan kemoprofilaksis terhadap malaria.' Hal ini
merupakan bagian penting dari perawatan antenatal di daerah yang tinggi
penyebaran ma/arianya.
Obat antimalaria da/am kehamilan
Semua trimester ; Quinine, Artesunate/artemether/arteether
Trimester dua ; mef/oquine, pyrimethamine/su/fadoxine
Trimester tiga ; sama dengan trimester 2
Kontraindil<asi : primaquine; tetracycline; doxycycline; halofantrine
3, Komplikasi Malaria
Malaria serebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsifarum, suatu perubahan
sensorium yaitu mimifestasi tingkah laku abnormal pada seorang penderita dari yang
paling ringan sampai koma yang dalam. Berbagai tingl(atan penurunan kesadaran
berupa delirium, mengantuk sopor, dan berkurangnya rangsang terhadap sakit
terjadi pada keadaan ini. Gejala lain dapat berupa kejang, plantar ekstensijfleksi,
pandangan divergen, kekakuan leher, dan lain-lain.
Penanganan pasien dengan l<ema membutuhkan penanganan yang komprehensif
dan keahlian khusus, Tetapi prinsip utamanya sam a pada malaria lainnya yaitu
pemberian anti malaria, sedangl(an l<endisi tidal< sildar membutuhkan perawi1tan
I<husus.
Hipoglikemia
Pemberian del(strosa 25-50%, 50-100 cc i.v., dilanjutkan infus dekstrosa 10%.
Glukosa darah harus dimonitor setiap 4-6 jam untul< mencegah rekurensi
hipoglil(emia.
Anemia
Harus di berikan transfusi bila kadar hemoglobin ( 8,0 g%.
Gagal Ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi pre prenal karena dehidrasi yang tidak terdeteksi atau
renal karena parasitemia berat. Penanganannya meliputi pemberian cairan yang
seksama, diuretik dan dialisa bila diperlukan.
Koagulopati
Perdarahan dan koagulopati jarang ditemukan di daerah endemis pada negara
negara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria.
Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada
kulit berupa petekie, purpura, hematoma, perdarahan gusi dan hidung serta sa luran
pencernaan.
Pemberian vitamin K 10 mg intravena bila waktu protrombin atau waktu
tromboplastin parsial memanjang. Hindarkan pemberian kortikosteroid untuk
trombositopenia, perbaiki gizi penderita.
Ikterus
Manifestasi ikterus pada malaria berat serlng dijumpai di Asia dan Indonesia yang
mempunyai prognosis buruk.
Tindakan:
Tidak ada terapi spesifik untLII< i/<terus. Bila ditemukan hemolisis berat dan HB sangat
rendah beri transfusi darah
Transfusi ganti
Transfusi ganti diindikasikan pada kasus malaria falsiparum berat untuk
menurunkan jumlah parasit. Darah pasien dikeluarkan dan diganti dengan pi/eked sel.
Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus parasitemia yang sangat berat
(membantu membersihkan) dan impending oedemi/ paru Imembantu menurunl<an
jumlah cairan).
4.Penanganansaatpe~alinan
Anemlil. hipoglikemia, edema paru dan infeksi sekunder akibat malaria pada
kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu maupun janin. Malaria
falciparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan risiko mortalitas yang tinggi.
Distres maternal dan fetal dapat terjadi tanpa terdeteksi. Oleh karena itu perlu
dilakukan monitoring yang baik, bahkan untuk wanita hamil dengan malaria beat
sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif.
Malaria falciparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan persalinan
prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan dengan
tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak terdeteksi. Oleh
karena itu perlu dilakukan monitoring terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung
janin untuk menilai adanya ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta
bradikardia atau deselerasi lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi
uterus karena hal ini menunjukkan adanya gawatjanin. Harus diupayakan segala cara
untuk menurunkan suhu tubuh dengan cepat. baik dengan kompres dingin.
pemberian antipirctika .Ieper!i parasetamol, dU.
Pemberian cairan denan seksamajuga merjupakan hal penting. Hal inJ disebabkan
baik dehidrasi maupun overhidrasi !larus dicegah karena kedua keadaan tadi dapat
membahayakan baik bagi ibu maupun jan in. Pada kasus parasitemia berat, harus
dipertimbangkan tindakan transfusi ganti.
120
PPDS I o!J,ruy"d.o..vG'~20JS
Bila diper/ukan. dapat dipertimbangkan untuk me/akukan induksi persa/inan. Kala
II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat indikasi pada ibu atau
janin. Seksio seSilr~a dilakukan berdasarkan Indikasi obstetrik.
REFERENSI
I. Cunningham F.G. Gant N.F. Leveno KJ. Gilstrap L.C. H"uth J.C. Wenstrom K.D. William, Obnelrics. 21" ed. New
York: McGraw Hill.200 l.p.1461·83. .
2. SitmpSon JE, Gravett MG. Other infectious conditions in pregnancy. In: James DK Steer PJ:~Weiner CP, Gonik B,
cds. High Risk pregnancy management 0plions. 2"' ed.London: W.B.Saunders; 2001.p.559·98.
3. Gibbs RS. Sweet RL. Ou7fWP. Maternal and feral infectious disorders. In: Creasy RK. Resnik R. loms JD.eds. Malernal·
felal medicine prinCiples and practice. Phil"delphia: Saunders; 2004.p.741·802.
4. FMO S. Patorck JG.Perin<lral infections.ln: Knuppel RA. Orukkcr JE,eds. High '15k pregn<lncy it team approach. we
l"unders comp"ny; 1993.p. 97·138.
S. Andrews W'J/, Gilstrap le. Urinary tract Infections. In: Gleicher N. Gall SA. Sib .. i 8M, Elkay"m U, Galbraith RM, Sarto
GE. cds. PrinCiples and practice of medical therapy in pregnf\ncy. Connecticut; Appleton&Lange: 1992.p.9 t 3·20.
6, McNeeley SG. Urinary tract infections in pregnancy. In: Sciarra JJ. ed. Gynecology and obstetrics. Philadelphia: JS
Lippincot; I 995.vol2. 143/.
7. Allen SR, Urinary tr..ct infection, In: Winn HN. Hobbins JC. cds. C'ini',~1 mtcrn~j.fclcll medicine, New York;
p.rthenon;2000.p.279·92.
e. Cunningham F,G, Cant N,F, Leveno K.J. Gilstrap L.e, H(luth J.e, Wenstrom /<,0, Williilm5 Obstetrics, 2111 eel. New
York: McGraw Hill.200 l.p.1 005·38.
I). Glazier )0, HMrlngton a, Sibley Cr'. turner M. Pillcentll' 'unction in malcrnot~tal exchange. In: RodeCI( CH, Whinlc
MJ,eds, Fetal Medicine basic science and clinical practice. London: ChurChill Livingstone; 1999.p, 111·26.
10, KnuppeJ RA. Materni'll·placental·fetal unit; fetal & early neonatal physiologi, In: OeCherney AH, Pernoll
ML.eds.Current Obstetrics & GyneCOlogic diagnosis & Ireatment. Norwalk:Appleton & Wonge; 1994.p.1 55·1 B2.
II. Nielby JR. Drugs and !(,jated areas in pregnancy, In: Sciarra JJ. ed. GyneCOlogy and obstetrics. rhiJ~delphii1: JB
Llppincot;1995.voI2. 1I 00/.
12. de Swiet M, Chamberl<lin G, Benet P. Basic science in obstetrics and gynilecology, Edinburgh: Churchill
livingstone;2002.p.263·276.
13. Silv~r RM, Pellier MR. Branch OW, The Immunology of pregnancy. In: Creasy 11K, Resnik R, films JD,eds, Milternill·
feral medicine prinCiples and praclice. Philadelphia: Saunders; 2004.p.B9·11 0
14, Keilrns Gl. AbdcJ·rahman SM, Alander SW. Slowey Dt Leeder JS, Y.r.uffm.ln RE, Developmental phiHmilcology·
drug disposition. "ction. and therapy in infants and children. NEJM 2003;349 /12/: 1157·67.
IS. Lumbers ER. Understanding the effects of drugs in pregnancy. J.paed ob"el gyn«01.1989.1 5 Isupp/:3·8.
16. W~rd RM. Lugo RA. Drug therapy in the newborn. In: Avery GB, Fletcher MA. MilcDonald MG. eds. Neonatology
pathophysiology & m~nagement of the newborn 5t~ ed. Philrtdephiil: lippincott Wi!kins.1999.p.1363·1407.
17. Oi;'l SH, Werler MM. Walker AM, Mitchell M. Folic (lciet antagoniUs during prc9n~nc.v "nd the risk of birth defects,
NElM.343:1·12 ..
18, Winer FR. Principles of tc:ri'lology of drugs and radi.... rion. In; Winn HN. Hr.bbins Je. cds. Clinical mtcrni'll·(ct,ll
medicine. New York: Parthenon;2000.p.813·6.
19. Cupit GC. Rotmensch HH. Principles at drug ther.py. In: Gleicher N. Gall SA. S,bai 8M. Elkayam U. Galbr"ith RM.
Sarto GE. eds. PrinCiples and practice of medical therapy in pregnancy. Connecticut; App/eton&lange: 1992.p.6S.
78.
20. Rtlyburn W, Marsden O. Medication In pregnancy. In:Knuppel RA, Drukker JE, cd~. High·Ri~k Pregnancy a tcam
approach. Z"' ed. Philadelphia: W.B.Saunders; 1993.p.149·6Z.
21. Walker JJ. Drug addiction. In: James OK. Steer PJ. Weiner CPo Gonik B. eds. High Risk pregnancy m"nagemenl
options. 2'" ed.London: W.B.Saunders; 2001.p.599·616.
22. J~yaram A. Practi'~1 Obstetric Pharmacology. tn: Dewan OM, Hood DO. cds, Practical Obstetric An('sthesia,
PhilMefphia: W.B.S,unders; 1997.p.48·66.
Deflnisi
Demam Berdilrah Dengue (oBo) merupakan peny"kit tropis menu/ar yang bersifat
endemis di Asia Tenggara. termasuk Indonesia J. Penyaldt ini disebabkan oleh virus
Dengue yang termasuk dalam kelompok flavivirus (kelompok B anthropod borne viruses),
dan memiliki 4 serotipe yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
perdarahan dan cenderung menimbulkan renjatan (sindroma syok dengue) yang dapat
Epidemiologi
Dengue klasik dikenal dengan breakbone fever, umumnya timbul pada individu dengan
children, and adults who do not reside in an endemic area. Dengue hemorrhagic fever
immunologically mediated, with enhanced infection of the target cells (macrophages and
symptoms develop, three clinical patterns are seen: classic dengue, a mild atypical form,
and DHF.
conjunctivitis or coryza may precede by a few hours the abrupt onset of severe headache,
retroorbital pain, backache (especially lumbar), and leg and joint pains. Ocular soreness,
anorexia, and weakness are common; cough is rare. Skin rashes that vary in appearance
are common, as is lymphadenopathy. The fever may follow a diphasic course. The febrile
2 Atypical dengue: Symptoms of mild atypical illness include fever, anorexia, headache,
3 DHF: Illness begins abruptly with a relatively mild stage /2-4 d) consisting of fever,
cough, pharyngitis, headache, anorexia, nausea, vomiting, and abdominal pain, which
may be severe. Myalgia, arthralgia, and bone pain, which are common in classic dengue,
increased by 320%, Dengue shock syndrome (DSS) is diagnosed when there is a rapid
weak pulse with narrowing of the pulse pressure to £20 mmHg or hypotension with cold
Di Indonesia, penyakit ini mulai menjadi masalah sejak 1973. Sampai Juli 1988, di
DKI Jakarta didapati case fatality rate I, J%, sedangkan untuJ< seluruh Indonesia adalah
2,7%'. Di French Giuana, Carles G. dkk./ melaporkan sejak 1 Januari 1992 sampai 1 April
1998, didapati fatal death rate sehubungan DBD sebesar 13,6% lebih tinggi dibanding
angka rata-rata di bagian ginekologi 1,9%. Di Karachi, Pakistan, aureshi J.A. dkk./ pada
saat endemis dari Juni 1994 sampai dengan September 1995, dari 145 kasus yang berobat
ke Khan University Hospital, 43% kasus berumur 20-30 tahun dan 75% laki-Iaki. Oi
Republik Dominika, Ventura A.I<' dkk.: melaporkan infeksi dengue menjadi hiperendemis
sehingga infection rate pilda ibu hamil 6% setiap minggu. Melihat data epidemiologi
tersebut. DBD merupakan suatu masalah yang cukup serius karena angka kematian yang
cukup tinggi dan terbanyak menyerang usia produktif. Angka ini cenderung meningkat
Laporan cHau REFERENSI mengenai kehamilan dengan DBD masih sangat sedikit, baik
Patogenesis
Sampai saat ini, patogenesis DBD mClsih kontroversial dan sedikit dimengerti 9 ,,,. Berbagai
teori telah dikemukakan oleh para ahli, tetapi sampai saat ini be/um ada yang dapat
menjelaskan patogenesis DBD secara pasti. Sejauh ini, teori infeksi sekunder masih
diyakini oleh para ahli untuk menjelaskan patogenesis DBD. Berdasarkan teori ini, apabila
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun setelah terinfeksi virus dengue pertama kaJi
penderita kemudian mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe yang
berbeda, maka penderita tersebut akan memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita DBD
maupun sindroma syok dengue. Antibodi pre·infeksl yang berasal dari serotipe yang lain
infeksi dan replikasi virus dengue dalam sel mononuklear 11 • Teori lain adalah teori
virulensi virus. Virus dengue secara genetik sangat bervariasi dan selalu berubah akibat
proses se/eksi ketika virus bereplikasi, baik di tubuh manusia maupun nyamuk. Dengan
demikian. terdapat beberapa serotipejstrain virus yang memiliki virulensi lebih besar dilri
serotipejstrain yang lain ". Kurane I dkk,lZ menyatakan bahwa berdasarkan data
epidemiologi, telah dipostulasikan bahwa respons imun terhadap virus dengue berperan
dalam patogenesis demam berdarah dengue dan sindroma syok dengue. Respons imun
pejamu juga berperan dalam mengontrol infeksi demam dengue. Oleh I<arena itu, infel<si
virus dengue merupakan suatu model yang menaril< untuk diteliti lebih lanjut mengenai
cara interaksi antara sistem imun dengan virus penyebab imunopatologi atau
Infeksi pada makrofagjmonosit merupakan hal yang terpenting pada patogenesis DF dan
merupakan asal DHF j DSS. Riwayat infeksi sebelumnya dengan serotipe virus dengue
pada permukaan virion dan berinteraksi dengan Fe reseptor virus dengue sel<under di sel
target sehlngga menghasilkan infeksi yang lebih berat. Host juga akan mengalami
respons antibodi sekunder sa at antigen virus diJepasl<an dan kompleks Imun yang
terbentuk akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen klasik. Reaktivitas silang pada
level sel T menyebabkan pelepasan sltokln aktlf secara fislologls termasuk Interferon 9 dan
tumor necrosis factors. Induksi permiabilitas vaslwler dan syok tergantung pada beberapa
Laboratorium
I. Tes serologl, yaitu Hemoglutinasllnhibisi, Elisa untuk IgM dan IgG saat rase
penyembuhan recovery atau antigen Elisa atau RT-PCR selama fase akut,·2.7.8.?
2. Hemokonsentrasi 5•
3. Trombositopenia « J 00.000/mm3) '.u.
4. Leukopenia I.J.
5. Peningkatan aminotransferase serum.
6. Partial tromboplastin timeyang memanjang '·5•
7. Fibrinogen degradation product yang meningkat'.
8. Isolasi virus 2.'o
Diagnosa DBD pada ibu hamil harus selalu dipertimbangkan pada daerah dengan kondisi
wabah DBD. Ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium
Efek Demam Berdarah Dengue pada KehamlJan, Fetus, Bayl, dan Imunitas
Beberapa laporan kasus dan pengamatan dari indonesia I, Pakistan J • Thailand 5.'J, dan
Malaysia 14, gejala-gejala klinis pada ibu hamil tersebut meliputi demam dan sakit kepala,
dan pada tes seroiogi dtiumpai antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue. Selain itu,
pada beberapa institusi dapat dilakukan iso/asi virus seperti di Frence Guiana oleh Carles
G. dkk} dan Mississipi Medical Center, USA oleh lusia H.l. dkk.,IO. Chong KY dkk., 15
melaporkan bahwa tidak ada bukti bahwa virus dengue dapat menyebabkan efek
teratogenik, aborsi, atau pertumbuhan janin yang terhambat yang dikandung oleh ibu
hamil yang menderita DBD. Beberapa kasus menja/ani pemeriksaan amniocentesis atau
biopsi villi choriales dan di/akukan analisa kromosom, namun tidak dijumpai ke/ainan.
Alfa-fetoprotein di cairan amnion maupun di serum maternal berada dalam batas normal.
Adanya transmisi vertikal pasif dari ibu ke fetus 4•6.,.IJ.14.IS menyebabkan bayi baru lahir
mudah menderita demam berdarah dengue atau sindroma syok dengue pada saat
terinfeksi virus dengue untuk yang pertama kali, tetapi antibodi ibu ini akan menghilang
setelah usia 9-12 bulan.
Figueiredo L.T. dkk.,16 mengamati bahwa pada bayi yang di/ahirkan tidak dijumpai
kelainan bawaan. lamanya kehamllan, Skor APGAR, berat badanjanin, dan plasenta. Pada
serum bayi dijumpai antibodi IgG yang pro~esif menurun dan menghilang setelah 8
bulan. Namun, menurut Marchette NJ. dkk.,1 antibodi tersebut menghi/ang setelah 10
12 bulan. Wa/aupun begitu, Chye J.K. dkk.,14 melaporkan dua ibu hamil mengalami
demam berdarah dengue 4 sampai 8 hari sebelum inpartum. Satu ibu mengalami
Penatalaksanaan
Bunyavejchevin S., dkk.,s melaporkan peniltillaksanaan DBD dengan kehamilan
antepartum, intrapilrtum, dan milsa nifils. Penatalaksanililn DBD dengan kehamilan
sebagili berikut: .
Penatalaksanaan Antepartum
Setiap penderita oBD sebaiknya dirawat di tempat yang terpisah dengan penderita lain
dan seyogianya kamar yang bebas nyamuk Iberkelambu). Penatalaksanilan antepartum
tanpa penyulit biasanya dilakukan secara konservatifs.19, antara lain:
I. Tirah baring.
2. Makanan lunill<. Bila tidak ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2
liter dalam 24 jam, air tawar ditambah gilram saja.
3. Medikamentosa y1lOg bersifat simptomatis yaitu:
a. Untuk demam tinggi dan sakit kepala diberikan dari golongan
asetaminofen, eukinin atau dipiron, tetapi pemakaian asetosal harus
dihindari mengingat bahaya perdarahan.
b. Glukokortikosteroid merupakan pengobatan pertama untuk menaikkan
jumlah trombosit yang rendah 20, tetapi pada umumnya di Indonesia hal ini
tidak dilakukan karena terbukti tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara terapi tanpa atau dengan kortikosteroidl 9•
C. Antibiotik dapat diberikan bila dicurigai infeksi sekunder.
4. Terapi cairan pengganti diberikan pacta penderita sesuai derajat dehidrasi.
5. Transfusi trombositjika diperlukan.
Para ahli hematologi umumnya tidak mengobati penderita dengan jumlah
trombosit di atas 20,OOO/mm3 atau bila tidak terjadi perdarahan spontan. Batas
usia trombosit yang ditransfusikan biasanya pendek 20 •
6. Terhadap kehamilannya dilakukan pemantauan terhadap janin dan perawatan
secara konservatif.
Tinggalkan flap kandung kemlh terbuka untuk mencegah terbentuknya hematoma yang
terdapat pada tepi sayatan peritoneum, yang sering tidak terJihat dan dapat terbentuk
Tempatkan drain subfascial dan tinggalkan sampai tidal< ada cairan yang mengalir keluar.
Sebaiknya gunakan staples kulit, walaupun dengan insisi Pfannenstiel. Ini memungkinkan
Tempatkan balutan kuat dengan tekanan di atas insisi dan tidak dibuka selama 48 jam.
Si/a DSD terjadi pada masa nifas, penatalaksanaannya hampir sama dengan antepartum
/tirah baring, terapi eairan pengganti, simtomatis, pengawasan yang ketat terhadap
Komplikasi
Thaithumyanon P. dkk.,13 melaporkan seorang ibu hamil dengan DBD yang menjalani
bedah sesar mengalami perdarahan masif dan berkepanjangan (8 haTi) daTi luka serta
memerlukan berbagai tranfusi darah, trombosit, dan plasma beku segar. Chye J.I<. dkk.,14
melaporkan seorang ibu hamil dengan demam berdarah dengue mengalami preeklamsia
berat dan sindroma HELLP memerlukan berbagai transfusi darah. Saat lahir anilknya
menderita gangguan pernapasan dan perdarahan hebat pada intracerebral kiri.
Prognosa
Pada umumnya, kehamilan tanpa komplil<asi kehamilan dengan demam berdarah dengue
adalah baik. Penanganan dini dan intensif sangat menentukan kebcrhasilan.
Pencegahan
Vaksin untuk infeksi ini belum ada sehingga pencegahan terhadap difokuskan terhadap
perkembangbiakan nyamul< dan gigitan nyamuk betina Aedes aegypti diln A. a/bopictl.ls
yang menggigit pada pagi serta 'sore hari dalam upaya menurunl<an attack rate dan
jumlah angl<a kesakitan. Pencegahan di Indonesia terkenal dengan 3M, yaitu menutup,
membuang/membllas, dan menimbun barang·barang atau tempat yang kemungklnan
menjadi sarang nyamuk, kelambu, foggIng, serta dengan repellent nyamuk (campuran
Thanaka dan N,N-diethylmetatoluamide I deet)21 dapat memberi perlindungan 10 jam
terhindar dari gigitan nyamuk tersebut.
REFERENSI
1. Wiknjosclstro H. dkk. IImu Kcbidanan. Edisi kctiga, Yayit5an Bina PuHakrt SclJ"'oNOnO Prawiroh.lrdjo, Jakrlrta, '997 :
567·B.
2. Carles G, ct itl. Effects of dengue fever during pregnancy in french Guiim.i. elin Infe(t Dis. 1999 Mar;2813j;637.40.
3. Qureshi JA. N.:tl. An ~pjdtmjc of Dengue fever in Kcu~chl·associated clinic ..1m.1nifestations. )PMA J Pak Med Asso(
1997 Jul;47171:17B·BI.
4. Vcnlur.l AK. cl ifl. Placental pius~ge of ilntibodies to Dengue virus in persons living in i1 r('9lon of hyperendemic
Dengue virus inleclion: J Infea Dis. 1975 M.y; 131 Suppl:S62·B.
5. Bunyavejchevin S. ct al. Dengue hemorrhagic fever during pregnancy: ilntepartum. intr;:1p;:1rtum Clnd postpartum
m.nagemenl. J Obstet Gyn"e<ol (leI. 1997 Oct: 23 lSI: 445·B.
6. Fernandel R. et .11. Study of r~l.lciomhip dengue·pregnancy in a group of cub''In·molht'f5, n~v Cub;mif Mea Trop.
1994:46121:76·9
7, Polj L ct ai, Molteno-felid dengue, Apropos of 5 cases observed during the, epidemic in Tilhiti f 1989), Bull Soc PilfhoJ
Exot1991:8415 PI 51:513~21.
5, GriHiths PO et ~f. Antibody against viruses in maternal and cord sera: non· specific inhibitors Me found too higher
titre on the m;:Hernal site of the circulation, J Hyg (landI, 1984 Jun: 92(31: 297·301,
9 Morcns OM. ct aI, Meilsurement of antibod'y-dependent infection enhancement of four derguc virus serotypes by
monoclonclJ clnd polyclonal rmtibodicS', J Gcn Viral. 1990 Dec: 71 (Pt 12): 2909·14
10, lucia Hl, ct clio Identification of dengue virus infected cells in pclraffin~mbcddcd tissue using in situ polymer elSe
chain reaction and DNA hybridization, J Viral methodJ 1994 Jun; 48/I}; 1·8,
11. Rahaju FA. Patogenesis demam berdarah dengue: Suatu tinjauan mengenai sel tClrgct viru5 Dengue, J Kedokreran
d"n FarmdSiMedik" 2000 Mei; 26151:294-B.
12. Kurane I, et aLlmmunity and immunop... thology in dengue virus infections, Scm;n Immuno/1992 Apr; 4(2); f 21.7,
13. Thaithumyanon p, et al. Dengue infection complicated by Severe hcmorrhclge clnd vcrticcll transmission in a
parturienl woman. c/in Infect is 1994 Feb; 1812):248·9.
14. Chye JK. el al. Vertical transmllSion 01 dengue. c/in Infect Olt. 1997 Dec; 25161 1374.7.
15, Chong KY, et .11. A preJiminiftyreportofth~fetal eHectJ of dengue infection ;n pregn;mcy, Kao Hsiung I Hsueh Ko
Hsueh Tsa Chih. 1989 Jan; 5111; 31-4.
16. Figueiredo LT. et al. Prospective study wlthinfanls whose mOlhers had dengue during pregnancy. /lev Inst Med
Trap Saopilolo 1994 Sept· Ocl;36151:417·21.
I. Pendahuluan
Diabetes Mellitus (OM) dapat terjadi dalam dua bentukjika dihubungkim dengan
yang hamil disebut sebagai OM PragestClsional (DMPG) dan bentuk kedua adalah
w<tnita yang hamil kemudian menderita OM sa at hamil dan menghilang setelah
pers<tlinan yang disebut sebag<ti OM Gestasional (DMG).
Adanya saw jenis diabetes khusus yang muncul hanya saat kehamilan silja dan
menghilang saat nifas masih belum diterima oleh sebagian besar masyarakat
kedokteran di Indonesia, hal yang akan berdampak besar bagi penatalaksanaan
penyakit ini misalnya meningkatnya morbidltas terutama padaJanin Mau neonatus dan
meningkatnya biaya perawatan yang tidak perlu (pemeriksaan Hb Ale pada Diabetes
Mellitus Gestasional atau ultrasonografi untuk mencari kelainan bawaan janin pada DM
Pragestasional).
/II. Tanda dan Gejala DMG biasanya tanpa tanda dan gejaJa
MetaboJisme karbohidrat wanita hamil dan tidak hamil sangat berbeda yang
dltandai dengan adanya hipoglikemia puasa, hiperglikemia postprandial yang
memanjang dan hiperinsulinisme terutama pada trimester tiga. Gambar dibawah ini dapat
memperjelas pernyataan diatas. Efek kehamilan yang memperberat diabetes mellitus bila
telah diderita ibu hamil ataupun menimbulkan diabetes gestasional disebut sebagai efek
diabetogenik.
-1
:e
OJ
E
ao
60
M(AIS:
8 AM
, ,
PM
,
6 PM 12 M 8 AM
Gambar 37.1. Efek Kehamilan normal cukup bulan pada glukosa dan insulin plasma
Meskipun sampai saat ini memang banyak terjadi perdebatan mengenai penapisan
DMG tetapi yang dianjurkan sampai tahun 1999 adalah modifikasi kriteria Sullivan- Mahan
( dua tahap-sering dianggap Gold StEndiJrd J yang dilakukan pada semua wanita hamil
usia 24 - 28 minggu, satu kali, dengan beban 50 9 dan bila glul<osa plasma 1 jam
kemudian lebih atau sama dengan 140 mg/dl dilanjutkan dengan ITGO 100 9 ( bukan
75 g I.
Semua wan ita hamil (universal screening bukan selective screening )berarti tanpa
melihat adanya falltor risiko termasul< usia diatas 30 tahun , riwayat keluarga diabetes,
pernah melahirkan bayi besar / mati / cacat, obesitas, hipertensi dan glukosuria. Blla yang
diperiksa hanya yang mempunyai faktor rislko, hampir 50 % DMG tidak terdiagnosis. Dan
dalam kriteria ADA, yang termasuk indikasi universal screening, salah satunya ada/ah
keturunan Asia. Kecenderungan yang sekarang dilakukan adalah penapisan hanya atas
indikasi.
Dilakukan penapisan pada minggu ke 24 - 28 karena DMG jarang yang terjadi
minggu awal karena I<adar hormon I<ehamilan mencapai punea/< pada trimester tiga awal
dan tidak lebih dari 28 minggu supaya sel Bjanin belum terilngsang sehingga hiperinsulin
janin belum terjadi.
Penapisan ini cukup sederhana dengan sensitivitas dan spesifisitils cukup baik dan
harga yilng masih terjangkau. Dari Workshop yemg ke empat I 998,dianjurkan penapisan
PPDSIO~.u...vG~2015 131
pCldCl kunjungan Clntenatal pertama dengan membClgi ibu hamil menjCldi risiko rendah,
sedang dan tinggi untuk terjadinya DMG. IBerubah dMi universal screening m~nJadi
selective screening). Nilai Clmbang 140 mg/dl dapat mengidentifikasi 90 % kClSUS DMG
dimana 15 %nya harus di TTGO. Bi/a diturunkan menjadi 130 mg/dl sensitivitCls
meningkat tetapi yang hClrus di TTGO menjadi 25 %.
Diagnosis yClng mClsih scring dipClkCli CldCllah modifikasi Sullivan Mahan dengan TTGO
beban 100 gtACOGI bukan 75 9 seperti yang dianjurkan untuk pria dan wanita tidak
hClmi/IWHO, IFD dan ADAI mengingat adanya perubahan hormon selama kehamllan.
nGO dislnipun pada workshop terakhir Ii 9981 tetap memakai beban 100 9 dengan DMG
dikatakan positif bila dUumpai 2 angka sama Cltau lebih. Nilai yang dianggap standar
adalah kildilr guM PUilSiI 105 mg/dl I jilm 190 mg/dl Zjilm 165 mg/d/ diln 3 jilm 145
mg/dl. Dua angka ini diambil lebih berdasarkan timbulnya DM berikutnya dibanding
luaran perinatalnya sehingga beberapa ahli menyarankan kriteria yang spesifik untuk
kehamilan dan luarannya. Misalnya Tallarigo dkk menemukan bahwa kejadian
makrosomia berhubungan dengan nilai 2jam pp.
Bila hasil penapisan > 185 mg/dl atau puasa > 126 mg/dl diagnosis dapat langsung
dibuat tanpa TTGO.
Fasting 95
1 hr 180
2 hr ISS
140
3 hr
'-
DMG DMPg
Prevalens; 0,2% 2%
I
Kelainan Bawaan Janin ; Populasi N Tinggi
I i
I
! Makrosomia Tinggi TI Tinggi
I
Kematian Janin ; Popu/asi N Tinggi I
Olah raga dalam batas tertentu ( senam hamil ) tetap dianjurkan sebagai ajuvan
P?DSlol>l!l!tY""""'G"~2015 133
Dari segi Obstetris, dimu/ai dengan yang sederhana yaitu dengan menghitung gerak
janin sampai dengan modifikasi skor dari Manning yang dapat dilakukan dengan
memakai USG standar. Pemantauan kesejahteraanjanin ini dimu/ai minggu ke 32. Pada
USG perkiraan berM janin lebih diutamakan darl pada pencarian Ke/ainan Bawaan Janin
kilfena kejadian mai<rosomia j<lUh lebih $ering.dibanding angka KBJ.
Terminasi kehamilan dilakukan pada usia kehamilan > 39 minggu atau atas indikasi
ibu (gula darah sulit dikendalikan,timbul komplikasi lain), janin ( kesejahteraa,n. janin
menurun atau taksiran berat janin lebih dari 4 I<gl. SC hanya dilakukan atas indikasi
obstetris dan menyusui tetap dlanjurkan pada ibu ibu dengan DMG.
Tindal< lanjut pasca salin merupakan hal yang sangat penting I<arena etek jangl<a
panjang DMG yaitu timbulnya diabetes nyata dengan melakukan TTGO 75 9 6 minggu
pasca salin. Dii<atakan sebagai Gangguan Toleransi Glukosa bila kadar glul<osa plasma
lebih atau sama dengan J 10 mgJdl dan kurang dari J 26 mg/dl dan 2 jam pp lebih atau
sama dcngan 140 mg/dl dan kurang dari 200 mgjdl. Dikatakan Diabetes biJa leblh atau
sama dengan J 26 mg/dl dan lebih atau sama dengan 200 mg/dl. Bi/a ditemul<an kelainan
harus segera diterapi termasuk edukasi penderita. Pada bayi dan anal< anak juga harus
dilakul<an pemantauan al<an tanda tanda obesitas dan atau ganguan toleransi glukosa.
Penyulit yang terjadi pada DMG dapat dibagi menjadi 2 yaitu jangka pendek yaitu
mai<rosomia dengan scgala akibatnya pada ibu dan janin / anak (SC meningkat. trauma
persalinan. hipoglikemia, hipokalsemia, polisitemia dan jaundicej sBta jangka panjang
yaitu timbulnya DM menetap dan obesitas pada ibu maupun anak beberapa tahun
kemudian. REFER ENS/ terakhir juga menyebut adanya peningkatan /<cjadian preeklamsia
yang pada REFER ENS/ lama merupakan penyulit OM Pragestasional karen a adanya
kelainan vaskuler.
Makrosomia di sini berciri I<has yaitu deposisi lemal< banyal< di bahu dan
badan(viseromegalij sehingga memudahkan terJadinya distosia bahu karena tidak terjadi
pembesaran diameter kepala. Makrosomia diakibatkan hiperlnsulin janin - akibat
hiperglikemia ibu . yang pada gilirannya berakibat pertumbuhan somatik yang
berlebihan. Sanyak bul<ti yang menyatakan bahwa insulin dan insulin-like growth factors
/lGF -I dan "l merupakan faktor pertumbuhan janin dengan merangsang diferensiasi dan
divisi sel.
I. Adam JMF. 1999. Beberapa Ke'idaksepak."n pada Diabetes Mellitus Gestaslonal. Dalam Asdie HAH. Wiyono P. Icds,.
Nilskdh Lengkilp P~rtemuifn Ilmiah TilhLJnan NifJion~1 Endokrin. Jogyaka4'ta.
2. American Diabetes Association. 1999. Clinical Practice Recommendations. GeHationol' Diabetes Mellitus. Oif1CCtC'S Cifre
vol 22ISuppl. I). http//www.diabetcs.orgjdiabctcSCare/supplementI99/174
3. Cctrr 08, Gilbbe S. 1998. Gestiltioni'll Oii1betcs. : Detection, Manclgement, and lmpffcations. C/inico'I'IDlab"tes. I(d.
http://www.diabetes.org/clinicaldiabetes/jvI6nlj·r9Bjpg4.htm.
4. Cunningham FG. Gimt NF, LC'vcno KJ. et al. 2001. WI1Iiifms Obstetrics {21 51 ed/: New York: Me GrclwHiII
5, Hermanto Tri Jocwono., Agus Ab;,di. 1991, Luafan Perinatal Kchamili'ln deng,m Diabetes M~II;tuJ Gestasional di RSUD
Or Soetomo SurilbaYif. PcnC:litian untuk TUg,lS Akhir PPOS /.
6. Hermclnto rrt Jocwono. 2001. Oiilbetcs MellituI G(!It~lIional. Dad Sullivan·Mahan sampai PEfiKENI. Oar} Gold Stand<1rd
;ampai Konscnsus. Grahabik: Surilbaya Ojilbcte~ Updi'ltc VI.
7. Hermanto Trl Joewono. 2002. O/.9b~tcJ Mt!lIitus GCJr~sion~J. M.. kill~n untuk Buku Ajar K Feto-Matcrn",
8. Hermanto T,i Joewono. 2002. S~k.11 £a"i reman" Diabetes Mellitus (jestasional. Pertemuan IImiah Tahunan POGI.
Bi'ltu.
II. Moore. T. R. 1999. Oi.1bc(c$ in Pregnancy. D.lfam; Creilsy. R t( •• Resnik, R. leds). Mi'lte-rnill·Feti'll Medicine/4'1! cd).
C;UHam11J
+
f? I Riwayat OM I Memakai OADI Insulin I~
~ GJ
~
Skrining Risi~ Terh~ap OM]
~
Risiko Rendah
+
Minggu ke 24 • 28
L
I
OGCT 50 g
Glukosa Plasma ~
J
135 mg%
-----.
~ ~
~
DMPg
OGTI 100 g, 2
Asses Janin , Endorgan DAN
Angka Teriampaui
BSN, 2jpp, Hb Al C
.......------.. (Periksa USG, HbA IC dan LFT,
~
RFT, Mata)
G;J
/
8 ~
TERAPI
/
Medis dan I.lbstetris
G) 8
TERAPI MEDIS: OAD GANTIINSULlN,NUTRISI DAN OlAK RAGA
~ ~~
Regulasi gagal/ timbul penyulit/
TABLE 1:
111 Trimester 2~" Trimester 3,d Trimester
TSH Normal or Decreased. Normal Normal
............ High
............ High
............ Low
2.3. Diagnosis
Pada hipotiroidisme didapatkan peningkatan TSH. Untuk membedakan antara overt dan
covert hypothyroidism dilakukan pemeriksaan Kadar T4. Diagnosis overt hypothyroidism
ditegakkan bila didapatkan gejala klinis, penurunan T4 dan pcningkatan TSH. Sebaliknya,
dikatakan covert hypothyroidism bita peningkatan TSH dan penurunan T4 tidak disertai
gejala klinis yang khas. Terdapat perbedaan I(adar T4 saat kehamilan dan di luar
kehami/an akibat kenaikan Kadar TBG dalam kehamilan. Bi/a digunakan patokan Kadar T4
di luar I<ehami/an, untuk Kadar T4 trimester dua dan tiga hasilnya harus dikalikan dengan
1.5. Bi/a dicurigai adanya kemungkinan faktor autoimun, dilakukan pemeriksaan antibodi
tiroid peroksidase serta ilntibodi tiroglobulin. .
2.4. Terapi
Pemberian levotiroksin merupilkan terapi terpilih keadililn hipotiroidisme, bila didilpiltkan
Kadar iodin yang cukup dillam tubuh. Wilnitil hilmi/ dengan hipotiroidisme membutuhkan
dosis levotirok5in yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil.
Dibutuhkiln dosis levotiroksin 30·50% lebih tinggi untuk wilnitil hamil.
Terilpi levotiroksin dimulai dengan dosis aWill 100-150 meg per hari atau 2,0·2,4
mCglkgbb. Pemilntauan kad<tr TSH dan T4 dil<tkukiln sebuliln setelah terapi dimulili,
dengan tujuan mempertahankiln kadilr yang normill selilma kehami/iln. Diupayakan
untuk menc<tpai kildar TSH di baWilh 2,5 mIU/L.
hipertiroidisme
Gambaran Klinis
Di Amerika Serikat, kejadian hipertiroid;sme adalah sekitar 1%, yang terbagi
menjadi 0,4 010 tampak secara klinis, dan 0,6% adalah hipertiroidisme subklinis. Penyebab
tersering dari hipertiroidisme adalah penyakit Grave. Kejadian penyakit ini pada wanita
adalah 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan pada pria, dengan periode tertinggi pada masa
reproduksi. Dengan melihat keadaan tersebut, maka tidakjarang ditemukan pula keadaan
hipertiroidisme dalam kehamilan.
Oengan melihat bahwa dasar penyakit Grave's adalah suatu proses autoimun,
maka terdapat fluktuasi berat ringannya penyakit da/am masa kehamilan. rada ibu,
bahaya utama dari hipertiroidisme adalah gagal jantung dan krisis tiroid, Gagal jantung
disebabkan oleh efek terhadap miokardium dari T4. Oa/am kehami/an, beban jantung
yang secara fisiologis bertambah dapat meningkatkan kemungkinan kejadian gagal
jantung.
Pada trimester awal kehamilan, penderita hipertiroidisme akibat penyakit Grave's
dapat mengalami perburukan, dan pada pertengahan kehamilan terjadi perbaikan secara
bertahap, rada periode postpartum, kadangkala tlmbul kemball eksaserbasi keildailn
hipertiroidisme. Walaupun demikian, jarang dilaporkan adanya krisis tiroid yang
dicetuskan akibat persalinan, seksio sesarea, maupun infeksi.
Kelenjar tiroid janin mulai melal(ukan aktifitas ambilan unsur iodin mulai usia
kehamilan 10-12 minggu. Proses ini dikendalikan oleh TSH dari kelenjar hipofisis janin,
dan berlangsung mulai usia kehamilan 20 minggu. Kadar TSH, TBG, T4 dan T3 bebas
meningkat seiring pertambahan usia I<ehamilan, dan mencapai kadar seperti pada
individu dewasa pada usia kehamilan 36 minggu. TSH tidak dapat melewati plasenta.
Walaupun demildan, telah ·diketahui bahwa T4 dari ibu d.3pat melewati plasenta. Hal
inilah yang kadangl<ala dapat menutupi keadaan hipotiroidisme janin, yang
terkompensasi oleh tingginya T4 dari ibu.
Risiko yang dihadapi janin al<ibat hipertiroidisme ibu berkaitan dengan
penyakitnya sendiri, maupun dengan aldbat yang dihadapi akibat pengobatan pada ibu.
Keadaan hipertiroidisme yang tidak ditangani secara adekuat berdampak pada tingginya
risiko prcmaturitas, pr.rtumbuhan janin terhambat, preeklamsi, gagal jantung kongestif,
dan kemarianjanin dalam rahim. Sebaliknya, pengobi'ltan hipertiroidisme yang berlebihan
berkaitan dengan hipotiroidismc janin iatrogenik.
2.2. Diagnosis
Kadangkala sulit untuk melakukan diagnosis klinis yang tepat pada keadaan
hipertioridisme. Gambaran klinik keadaan hipertiroidisme kadangkala menyerupai
keluhan-keluhan yang biasa didapatkan dalam kehamilan, seperti takikardi, • tremor, dan
murmur sistolik. Gambaran klinis seperti oftalmopati tiroid, goiter, atau edema pretibial
mungkin dapat mengarahkan kecurigaan terhadap hipertiroidisme.
2.3. Penanganan
2.3.1. Sebelum kehamilan
Bila wanita penderita hipertiroidisme merencanakan untuk hamil, maka langkah awal
yang amat penting untuk dilakukan adalah mengendalikan keadaan hipertlroidisme
sampai ke batas aman. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan obat antitiroid serta
komeling.
2.3.2. Saat kehamilan
Obat antitiroid merupakan terapi utama keadaan hipertiroidisme, khususnya yang
disebabkan oleh penyakit Grave·s. Propiltiourasil (PTU). metimazol, dan kubimazol
banyak digunakan untuk mengatasi masalah hipertiroidisme dalam kehamilan. Obat·obat
tersebut menghambat sintesis hormon tiroid melalui reduksi organifikasi iodin serta
menghambat ikatannya dengan molekul iodotironin. Obat lain yang dapat digunakan
adalah golongan beta bloker, iodida, maupun iodium radioaktif. Tlndakan pembedahan
hanya dilakukan bila ditemukan keada,tn yang resisten terhadap terapi medikamentosa.
maupun bila ditemukan efek samping terapi medlkamentosa yang berat.
2.3.3. Pascasalin
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. mengingat dasar dari penyakit Grave's
adalah proses autoimun. maka kadangkala ditemukan perburukan pada periode
pascclSalin. Untuk mengatasi keadaan ini, kadangkala dibutuhkan titrasi obat antitiroid
yang telah diberikan sebelumnya. Kadangkala dosis obat antitiroid yang dibutuhkan
menjadi lebih tinggi dibandingkan pada saat kehamilan.
REFERENSI
I. Major CA. Nagcotte MP. Thyroid Disease. In James OK. Steer PJ. Weiner CPo Gonik B ledsl. High Risk Pregnancy
Mrtnagement Options. 2"" edition. London:W'.B Saunders.2000.pp 709·' S.
2. Cunningham FG. lcveno KJ. Bloom n. Hauth Je, Gilstrap HI lC, Wenstfom I<'D. WlJlii'lms Obstetrics. 22"11 edition.
New York,McGraw·Hill Mt"diccll Publishing Olvision.2005.pp 1189.
The Endocrine Socictts Cfinic.11 Guidelines. Management of Thyroid Dysfunction during PregnClncy ilnd
Postputum: An Endocrine Society Clinic.ll Practice Guiacrines. AUgU5t, 2007
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir. SeringkaJi bayi yang sebeJumnya mengaJami gawat janin akan mengalaml asfi/(sia
sesudah persalinan. MasaJah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat atau
masCllah pada bayi selama atau sesudah persalinan.
KEADAAN IBU
--~
1;~~DAA~-~~L1 PUSAT
• Lilitan tdli pusat
I
l•
• Tali pusat pendek
142
PPDS I Oh>tW"d.;u,.G~2015
I<EADAAN BAYJ
• Sayl prematur (sebelum 37 minggu I<ehamilanl
• PersafinCln sulit (Jetak sungsang, bayi kembar,
distosia bahu, ekstraksi vakum, forsep)
• I<elainan kongenital
• Air ketuban bercampur mekonium (warna
kehijauan)
GAWAT JANIN j
APAKAH GAWAT Reaksijanin pada kondisi dimana terjadi ketidak-cukupan l
JANJN7 oksigen
Gawatjanin dapat diketahui dengan ;
I SAGAIMANA /menit I
MENGETAHUI GAWAT Serkurangnya gerakan Janin. (Janin normal bergerak lebih
JANIN7 dad lOX / hari/.
Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna
kehijauan Uika bayi keluar denqan presentasi kepalal.
Gunakan partograf untuk memantau persalinan.
SAGAlMANA
, Anjurkan ibu untuk sering berganti posisi selama
MENCEGAH . . . . I
persallnan, Jbu ham" yang berbanng terlentang dapat I'
GAWAT JANJN7 mengurangi aliran darah ke rahimnya.
SAGAIMANA
MENGIDENTIFJKASJ I' Periksa frekuensi bunyi jantung janin setiap 30 menit padal
Kala I dan setiap 15 menit sesudah pembukaan lengkap.
GAWAT JANIN I' Periksa ada / tidal<nya air ketuban bercampur mekonium 1
DALAM PERSAUNAN7 I (warna kehijauan) I
an asfiksia.
'Catatan:
Anjurkan ibu hamil in-partu berbaring ke sisi kiri untuk meningkatkan aliran oksigen ke
janinnya. Hal ini biasanya meningkatkan aliran darah maupun oksigen melalui plasenta
lalu kejanin. Si/a posisi miring ke kiri tidak membantu. coba posisiyang lain (miring ke
Bidan harus mampu melakukan penilaian untuk mengambil keputusan guna menentukan
tindakan resusitasi.
0
Apakah air ketubanjernih, tidak bercampur
lakukan penilaian usia kehamilan dan air ketuban sebelum bayi lahir. Segera setelah lahir,
sambil meletakkan & menyelimuti bayi di atas perut ibu atau dekat perineum, lakukiln
penilaian cepat usaha napas dan tonus otot. Penilaian ini menjadi dasar keputusan
apakah bayi perlu resusitasi.
Nilai Iskor) APGAR tidak digunakiln sebagai dasar keputusan untuk tindakan resusitasi
Penilaian harus dilakukan segera, sehingga keputusan resusitasi tidak didasarkan
penilaian APGAR; tetapi skor APGAR tetap dipakai untuk menilai kemajuan kondisi BBL
pada saat 1 menit dan 5 menit setclah kelahiran.
Sangat penting bagi ~ bayi baru lahir untuk dijaga agar tetap kering, bersih dan
Prinsip ini tetap dianut dalam penatalaksanaan resusitasi BBL dan terlebih lagi bayi
Bersihkanjalan napas bayi dengan cara mengusap mukanya dengan kain atau kasa yang
bersih dari darah dan lendir segera setelah kepala bayi lahir (masih di perineum ibu),
DApabiia BBL segera dapat bernapas secara spontan atau segera menangis, iangan
lakukan penglsapan secara rutin padajalan napasnya,
IJApabiia BBl tidal< bernapas atau bernapas megap-megap, maka penghisapan lendir
amat penting sebagai bagian mutlak darllangkilh ilwal resusitasi.
:JApabila terdapat air ketuban bercampur mekonium, begitu bayi laMir tidak bern apas
atau bcrnapas megap·megap, maka penghisapan lendir sangat penting dl/akukan
segera sebelum melakukan pemotongan tali pusat dan kemudian dilakukan
langkah awal
Posisi kepala bayi baru lahir juga amat penting untuk kelancaran jalan napas sehingga
dapat mcmbantu pernapasan bayL Pada pola persalinan normal, setelah lahir bayi
diletakkan di atas perut ibu yang telah dilapisi kain dan diusahakan agar letak kcpala
setengah tengadah Isedil<it ekstensi), Pengaturan posisi sangat penting pada resusitasi
BBL
• Rangsangan Taktil:
Mengeringkan tubuh bayi pada dasarnya adalah tindakan rangsangan. Untuk bayi yang
sehat, prosedur tcrsebut sudah cukup guna merangsang upaya napas. AI(an tctapi untuk
bilyi dengan Asfiksia, mungkin belum cukup sehingga perlu dilakuJ<an rangsangan tilktil
untuk merangsang pernapasan, Ada beberapa tindakan yang membahayakan bayi dan
perlu dihindari, misalnya menekuk lutut ke arah perut, menepuk bokong, meremas dan
mengangkat dada, dilatasi spingter ani, mengguyur air dingin dan hangat bergnntian.
• ASI
Penting sekali untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini dalam satujam setelah bayi lahir,
Bila bayi sudah bernapas normal, lakukan kontak ku/it bayi dan kulit ibu dengan cara
meletakkan bayi di dada ibu dalam posisi bayi tengkurap, kepa/a bayi menghadap dada
ibu, kepala bayi di tengah antara kedua payudara ibu sedikit dibawah puting, la/u selimuti
keduanya untuk menjaga kehangatan, /bu dianjurkan se/ama sekitar 1jam untuk
mengusap/membelai bayi dan memberikan dorongan untuk menyusu pi!da bayi, sambil
menunggu bayinya meraih puting susu secara m<1ndiri. Biasanya bayi berhasil menyusu
menit ke 30-60,
PPD:;IO~d=.G~"2015 145
40. SINDROMAASP/RASI MEKON/UM
1,8 percent of live births in developed countries. Risk factors for MAS include
staining on physical examination, They are frequently small for gestational age or
postmature, Many infants with MAS also have neurologic or respiratory depression
to overinflation. In patients with severe MAS, complications include air leaks (eg,
~ above and "Pulmonary air leal< in the newborn" and "Persistent pylmonary
and alternating diffuse patchy densities with areas of expansion. In patients who
http :lwww.uptodCllc.coml
Epidemi HIV terus mengalami peningkatan di seluruh dunia. Sejak kasus HIV
pertama kali dilaporkan pada tahun 1981, infeksi HIV terus berkembang dengan
sangat cepat. Hingga tahun 1999, WHO melaporkan terdapat 34,4 juta penderita
HIV di seluruh dunia, dimana 15,7 jutanya adalah perempuan, dan setiap tahunnya
2,3 juta perempuan yang terinfeksi HIV melahirkan bayi. Hal ini sangat
mengkhawatirkan, mengingat 70% infeksi HIV ini ditularkan melalui transmisi
heterosel(sual dan lebih darl 90% infeksi pada anak-anak terjadi akibat transmis;
secara vertikal dari ibu ke bayinya. Setiap tahunnya, hampir 600.000 anak-anak
tertular virus HIV dengan cara transmisi vertikal ini.
3. Patofisiologi
Hingga saat ini, cara penularan yang diketahui adalah melalui hubungan seksual,
darah, dan secara perinatal, yaitu transmisi dari ibu ke bayinya. Penularan infeksi
HIV pada perempuan di AS, 40% berasal dari hubungan heteroseksual, 27%
melalui narkoba suntikan, dan 1% ditularkan melalui transfusi darah.
Infeksi HIV / AIDS
Terdapat dua target utama HIV, yaitu sistem imun dan susunan saraf pusa!.
Molekul CD4 merupakan reseptor yang memiliki afinitas tinggi terhadap HIV.
Langkah awal dari infeksi ini ialah terikatnya selubung {envelope; glikoprotein
gp 120 pada molekul CD4 yang berperan sebagai reseptor primer untul( HIV.
Namun jika hanya terikat pada molekul CD4 saja tidak cukup untuk terjadinya
Infeksi H IV, oleh karena itu HIV harus terikat pada ko-reseptor lainnya agar bisa
masuk ke dalam sel. CXCR4 dan CCRS sebagai ko·reseptor berperan dalam proses
ini. Selanjutnya, HIV harus terikat pada reseptor primernya yaitu CD4 dan ko
reseptornya sebelum bersatu dengan membran sel dan melal(ukan internalisasi.
Setelah melakul<an internalisasi, genom dari virus tersebut akan mengalami proses
reverse transcription, yang merupakan awal pembentukan proviral DNA yang
selanjutnya akan terintegrasi pada genom host. Setelah proses ini, provirus akan
terkunci dalam kromosom selama jangka waktu bulanan hingga tahunan. Pada
masa terse but, infeksi dikategorikan sebagai fase laten. Setelah terjadi infeksi
kr~nik, strain CXCR4 (virus X41 timbul pada 50% individu yang terinfeksi. Strain X4
tidak hanya menginfeksi Iimfosit T, namun juga bereplikasi di sel T dan
menginduksi terbentuknya sinsitia. Terdapatnya strain virus X4 biasanya sebagai
faktor prediktor penurunan cepat CD4 dan mempercepat progresifitas HIV.
• Transmisi vertikal
• Tes menunjukkan hasi! yang belum pasti jika hasi! ELISA positif namun hasi!
Western blot menunjukkan adanya satu pita (single band). Ketidakpastian ini
mung kin menunjukkan proses serokonversi yang sedang berlarigsung. namun
lebih sering menunjukkan jumlah kasus non·HIV seperti autoantibodi dari
penyakit autoimun atau penyakit kolagen. atau reaktivitas silang dengan
alloantibodi pada kehamilan. transfusi darah. dan transplantasi organ.
Sensitivitas dan spesifisitas dari tes serologis ini cul<up tinggi. yaitu lebih dari
99%.
• HClsil tes positif palsu dapat disebabkCln oleh autoantibodi, penerima vaksin
HIV. kesalahan tei<nik pemeril<sa.
• HClsil tes negatif dapat diperoleh pada milsa jendela (window period!.
serokonvers;, dimana pada AIDS lanjut dapat terjadi penurunan kekebalan
tubuh yang tajam sehingga tubuh tidak mampu membentuk antibodi.
agammaglobulinemia. serta kesalilhan tel<nik pemeriksaan.
• Asuhan Antenatal
Dimulai saat usia kehamilan 14·34 minggu dan dilanjutkan selama hamil
.; Intrapartum
P1'lJ5 I OInt>tY"M..-vG~201S J 50
Rejimen : saat persalinan, ZDV intravena 2mg/kgBB sebagai dosis inisial
diberikan selama 1 jam, dilanjutkan dengan 1mg/kgBB/jam sampai
melahirl<an
.; Postpartum
Rejimen : ZDV oral diberikan pada bayi baru lahir (ZDV sirup
Catatan : dosis ZOV Intravena untuk bayl yang tidak toleransi dengan
6jam.
Penelitian meta analisis menunjukkan bahwil sel<sio sesarea elektif pada ibu
hamil dengan infeksi HIV yang mendapat terapi zidovudin dapat menurunkan
transmisi perinatal dari 7,3% menjadl 2%. ACOG merekomendasikan seksio
sesarea elektlf dilakukan pada kehamilan 38 minggu.
Pada seksio sesarea yang dilakukan sailt In partu dan atau saat I<etuban sudah
pecah, tidak menunjukkan angka penurunan transmisi yang bermakna.
Lamanya ketuban pecah meningkatkan risiko transmisi perinatal. Risiko
transmisl lebih besar lagi jika ketuban pecah lebih dari 4 jam. Penelitian meta
anal/sis yang dilakukan oleh International Perinatal HIV Group menunjukkan
bahwa setiap satu jam lamanya ketuban pecah. risiko penularan meningkat 2%.
Namun demikian, meskipun seksio sesarea bermanfaat dalam menurunkan
transmisi perinatal, perlu diingat bahwa seksio sesarea memiliki risiko untuk
terjadinya komplikasi post partum, baik pada ibu hamil yang terinfeksi HIV
maupun pada ibu hamil yang tidak terinfeksi HIV. Dengan adanya penurunan
fungsi imun pada penderita HIV, seksio sesarea akan meningkatkan morbiditas
pada ibu, terutama berhubungan dengan kejadian infeksi post partum. Oleh
karena itu, pada keadaan tertentu, seksio sesarea harus dipertimbangkiln
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada kondisi post partum pasien HIV adalah
pemberian antiretrovirus yang berkesinambungan, penggunaan alat
kontrasepsi, perawatan pada bayi yang baru dilahirkan, evaluasi status HIV
pada ibu dan bayinya. Monitoring C04, kadar RNA HIV dilakukan setiap 3-6
bulan untuk mengevaluasi perlunya pemberian antiretrcivirus lanjut dan
pencegahan infeksi oportunistik.
Pemberian antiretrovirus direkomendasikan untuk penderita sindrom HIV akut
akibat infeksi primer, dan yang mengalami serokonversi dalam waktu 6 bulan
serta semua penderita HIV yang bergejala. Pada penderita HIV yang
asimptomatis, antiretrovirus diberikan jika CD4 < 350 seljmm3 atau viral load >
55.000 kopijml.
Seringkali tcrjadi depresi dan emosi yang terganggu pasca persalinan. Dari
suatu penelitian diketahui bahwa 85% perempuan yang diketahui terinfeksi
HIV saat kehamilan menderita depresi dan mempunyai keinginan untuk bunuh
diri. Sedangkan ibu hamil yang diketahui menderlta HIV sebelum hamil, tidak
menunjukkan depresl berat. hanya berupa kekhawatiran tentang status HIV
bayinya. Oleh karena itu, dukungan penuh dari tim medis dan seluruh keluarga
sangatlah dibutuhkan.
Pemilihan alat kontrasepsi sudah harus didiskusikan saaf masih dirawat di
rumah sa kit. Kontrasepsi dengan alat pengaman kondom harus
direkomendasikan untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks.
Alat I(ontrasepsi hormonal dapat menimbulkan interaksi dengan obat
antiretrovirus. Kadar etinil estradiol dapat turun jika diberikan bersama dengan
ritonavir, nelfinavir, dan amprenavir. Hingga saat ini tidak ada data ten tang
adanya interal(si obat antiretrovirus dengan medroksiprogesteron atau
Norplant. AKOR dapat menjadi kontrasepsi pilihan bagi perempuan dengan
HIV positif yang belum menunjukkan gangguan fungsi imunitas yang berat.
Sterilisasi merupakan tindakan yang tepat bagi perempuan dengan HIV positif.
• Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif
Risil(o penularan HIV dari ibu ke bayinya sekitar 30%. Penularan ini dapat
terjadi saat janin masih dalam kandungan, In partu, partus, dan post partum.
Risil(o terbesar transmisi adalah pada saat in partu dan persalinan. Risiko
penularan saat menyusui cukup besar, yaitu 14-29%. Penelitian yang ada
menunjukkan bahwa 70-85% bayi terinfeksi saat intra partum dan post partum.
Pada bayi yang lahir dari ibu lilV positif, terdapat antibodi terhadap HIV kelas
Imunoglobulin G yang berasal dari darah ibu. Imunoglobulin ini dapat bertahan
selama 15 bulan. Oleh karena itu, pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
positif jika tes anti HIVnya positif, belum tentu bayi tersebut terinfeksi. Te~
harus 'diulang pada usia 18 bulan. Jika ingin diketahui cepat. apaka~ ~aYI
tersebut terinfeksi, dapat dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksl virus
dengan tes PCR (Polymerase Chain Reaction!. . . . .
Berdasarkan kriteria Pediatric Virology Committee of the AIDS Climcal rnal
Groups. bayi dinyatakan mengidap infeksi HIV dinl / In utero jika tes virol~gis
positif dalam waktu 48jam usia kehidupan.lnfeksi lambat/ intrapartum terJadi
jika tes viroiogis negatif saat 48 jam pertama usia kehidupan, namun tes
152
PPDS I O~vda.noG~20J5
lanjutan berikutnya yang dilakukan setelah usia minggu tanpa disusui,
Masa laktasi merupakan salah satu faktor risiko transmisi HIV secara vertikal.
Hal ini masih menjadi masalah utama di negara·negara miskin, dimana harga
susu formula tidrtk terjangkau. Sekitar 75% transmisi HIV melalui ASI terjadi
transmisi ini.
6. Komplikasi
Perempuan dengan HIV memiliki risiko komplikasi kehamilan lebih besar dibanding
perempuan hamil yang tidak terinfeksi HIV. Infeksi HIV berhubungan dengan
kejadian kehamilan ektopil<, abortus spontan (meningkat hingga 67%),
prematuritas, berat badan lahir rendah, neonatus kecil masa kehamilan. dan
stillbirth. Risiko lainnya adalah infeksi genital dan traktus urinarius. Selain itu, ibu
hamil yang menderita HIV memiliki risiko tinggi untuk terjadinya endometritis
pasca persaJinan. Mekanisme ini diduga terjadi aklbat adanya imunosupresi.
Penelitian meta anaJisis menunjukkan bahwa kehamilan tidak mempunyai efek
yang bermakna terhadap progresivitils infeksi HIV yilng dideritanya. Viral load
pada perempuan HIV positif tetap stabil selama kehamilan. Baik perempuan hamil
dengan HIV positit maupun perempuan dengan HIV posit it yang tidak hamil, tidak
menunjukkan perbedilan dalam hal risiko kematian, progresifitas penyakit menjadi
AIDS, maupun penurunan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm. Meskipun demikan,
kehamilan mungkin dapat mempercepat progresifitas infeksi HIV stildium lanjut.
Sila ibu menderita infeksi HIV bersamaan dengan infeksi VHC, maka kemungldnan
trilnsmisi pada bayinya akan lebih besar lagi, yaitu 5·36% dibanding ibu yang
hanya menderita infeksi VHC. Secara hipotesis, ibu yang terkena infeksi HIV akan
mengalami penurunan imunitas, sehingga viralloadVHC nya lebih tinggi, I<ondisi
Ini mempermudah terjadinya transmisl vertikal.
l<o·lnfeksl HIV·hepatitis C dapat mempercepat progresitltas menjadi AIDS, slrosls,
gagal hati, dan fibrosis hati ak/bat hepatitis C. Hingga saat in;' pengobatan yang
direkomendasikan adalah ribavirin dan pegylated interferon, Pemberian antivirus
Hepatitis C bukan merupakan I<ontraindikasi pada pasien dengan ko·infeksi HIV,
PRfNSfP DASAR
Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis, perubahan pSikologis
dan adaptasi dari seorang wanita yang pemah mengalaminya. Sebagian besar kaum -
Iwanita menganggap bahwa kehamilan adalah peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi.
sebagian lagi menganggap sebagai peristiwa khusus yang sangat menentukan kehidup
an selanjutnya.
Perubahan kondisi fisik dan emosional yang kompleks, memerlukan adaptasi terhadap
penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi. Konflik antara keinginan
prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosiokultural dan persoalan
dalam kehamilan itu sendiri, dapat merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, muiai
dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat gangguanjiwa yang berat.
Dukungan psikologik dan perhatian akan memberi dampak terhadap pola kehidupan
.sosial Ikeharmonisan: penghargaan, pengorbanan, I<asih sayang dan empatl) pada
wanita hamil dan dari aspek telmis, dapat mengurangi aspek sumber daya Itenaga ahi/,
Civa penyelesaian persalinan normal, akselerasi, kendali nyeri dan asuhan neonatal).
Masalah
Aspek psikologik dan pengaruhnya pola I<ehidupan I<eluarga dan tilhapan trimester.
Gangguan emosional dapat mengganggu I<esehatan ibu dan janin yang
dikandungnya.
Hambatan asuhan neonatal pascapersalinan.
Penanganan umum
Kehamilan sendiri merupakan risiko terhadap kesehatan ibu, apilbila diserta; dengan
gangguan psikologik diperlukan pendapat bidang keahlian yang sesuai.
Rawatjalan dan dukungan keluarga merupakan pendekatctn yang raslonal.
Gali faktor-faktor yang berkaitan dengan reaksi kejiwaan dar; seseorang, terutama
Penanganan khusus
Pseudosyesis
Wanita tidak hamil yang pereaya bahwa dirinya hamil, diikuti dengan munculnya
gejala dan tanda Idugaan) kehamilan.
Bedakan kondisi ini dengan gangguan afel<tif yang juga dapat menimbulkan
keyakinan adanya kehamilan (berkaitan dengan delusi) atau juga terhadap seorang
infertil yang ingin tetap dieintai suaminya.
Lakukan anamnesis terarah yang akurat Itermasuk latar belakang psikis), perasilan
fisik Ikhloasma/hiperpigmentasi, pelunakan dan keunguan pada s~rvjks, besaran
uterus) dan pemeril<saan tambahan luji kehamilan dan ultrasonografi)
Lakukan I<onseling bahwa I<ehamilan harus dipastikan Iperdarahan lucut dengan
kc,mbinasi estrogen-progesteronj, akan dilakukan upaya pemeriksaan dan pengobatan
untuk kehamilan dan dul<ungan psikososiaf. .
!leaksi Cemas
Gangguan ini ditandai dengan rasa eemas dan ketakutan yang berlebihan, sesekali
klinik yang ada, sangat tidak spesifik (twitching, tremor, berdebar-debar, kaku otot,
Timbul gejala-gejala somatik akibat hiperaktifitas otonom Ipalpitasi, sesak natas, rasa
• Tenangk;m dengan psikoterapi. Walau kadang-kadang upaya ini I<urang memberi ha
sil tetapi prosedur ini sebaiknya paling pertama dilakukan.
Hanya pada pasien dengan reaksi cemas berat, berik,1n diazepam 3 x 2 mg per hari.
Bila pasien tidak mmnpu untul< melakukan kegiatan sehari-hari atau kekurangan asu
pan kalorijgizi maka harus dilakukan rawat inap di rumah sakit.
Heaks; Panik
Ditandai dengan rasa takut dan gelisah yang hebat, terjadi dalam periode yang relatif
Pasien mengeluhkan nafas sesak atau rasa tereekik, telinga berdenging, jantung ber
dehar, mata kabur, rasa melayang, takut mati atau merasa tidak akan tertolong lagi.
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien gelisah dan ketakuran, muM pUCM, pilnailngan
PPDS I Ol»tWioaa.."C;~20lS 155
liar, pernafasan pendek dan cepat dan takhikarqi.
• Tenangkan secara verbal, sebelum psikoterapi atau medikamentosa. Sebaiknya pasien
dirawat untuk observasi terhadap reaksi panik ulangan dan pemberian terapi.
• Karena reaksi panik hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, cukup
diberik,1n dosis tunggal diazepam 5 mg IV.
Reaksi Obsesif-Kompulsif
Gambaran spesifik dari gangguan ini adalah selalu timbulnya perasaan, rangsangan
ataupun pikiran untuk melakukan sesuatu, tanpa objek yang jelas, diikuti dengan
perbuatan yang dilakukan secara berulang kali.
Pengulangan perbuatan terscbut dapat meneelakai dirinya, bayi yang dikandung atau
orang lain.
Adanya potensi gawitt darurat pada wanita hamil dengan reaksi obsesif·kompulsif
menjadl a/asan untu/< dirawat dl rumah saklt atau dalam pengawasan tim medis yang
mcmadai. Psikoterapi cukup membantu untuk mengembalikan wanita ini pada status
emosional yang normal.
Pala kasus yang berat, beri diazepam 5 mg IV dan observasi ketat.
Depresi Berat
• Depresi pada wanita hamil, ditandai oleh perasaan sedih, tidak bergairah, menyendiri,
penurunan berat badan, insomnia, kelemahan, rasa tidak dihargai dan pada kasus
yang berat, ada keinginan untuk mela/(ukan bunuh diri.
• Penelitian di RS Dr. Sutomo, Surabaya (1999) menunjukkan angka kejadian Depresi
Paseapersa/initn (Postpartum Blues} sebesar 15,2% (persa/inan fisiologis) dan 46,2%.
/persalinan pat%gis)
• Su/it untuk me/a/wkan komunikasi I<arena mereka eenderung menarlk dirl, tidak
mampu berkonsentrasi, kurang perhatian dan sullt untuk mengingat sesuatu.
• Gunakan anti depresan Amitryptyline 2 x 10 mg oral.
Terapi kejutan listrik (ECT) digunakan apabi/a psikofarmaka gaga./ dar reaksi depresi
membahayakan pasien.
Reaksi Mania
Reaksi mania ditandai dengan rasa gembira yang berlebihan (eforia), mudah terang
sang, hiperaktif, banyak berbicara Ilogere), mengganggu dan rasa percaya diri yang
berlebihan. Angka kcjadian reaksi mania adalah 0,5·1,5% dan jumlahnya akan
bertambah pada peri ode pascapersalinan.
• Reaksi mania da/am kehamilan merupakan masalah yang cukup rumit karena obat
lithium karbona!, dapat menimbulkan berbagai akibat yang merugikan pada janin
(Ebsteins abnormillity, struma, kelemahan tonus otot dan menurunnya kemampuan
mengisap pada bayi yang baru dilahirkanl.
Wanita hamil dengan reaksi mania, sebaiknya dirawat untuk menentukan dosis yang
Pasien'pasien yang terkontrol pada saat hamil, cenderung mengalami episode mania
Skizofrenia
Skizofrenia ditandai dengan gangguan proses berfikir, persepsi dan realita.- Pada
tingkat tertentu, dapat dUumpai halusinasi, waham kebesaran dan kejaran, gangguaa
bicara dan hi/angnya asosiasi dengan realita dan lingkungan sekitamya
Klorpromazine 12,5 mg atau haloperidol 0,5 mg, tidak berpengaruh terhadap janin
tetapi pada dosis anti psikotik Iklorpromazine 125·250 mg atau haloperidol 2 mgl
dengan pemberian multi dosis, dapat mempengaruhi kesehatanjanin.
• Obat ini diekskresi melalui ASI sehingga tidak dianjurkan untuk menyusui bayinya. Bi/a
psikofarmaka tidal< dapat digunakan, dapat digunakan terapi kejutan listrik IECT).
HaSiJ kehilangan
Dengan dukungan teknologi canggih sekalipun, abortus, eatat l(Ongenital, janin mati
Lakukan konseling dan minta pasangan tersebut untuk mcmutuskan apa yang terbaik
bagi merel<a Imenyimpan hasil konsepsi, menyaksikan caeat yang terjadi, mendeka
janin yang telah dilahirkan, meminta otopsi) agar proses adaptasi terhadap kehililngan
Perhatikan: kemarahan terhadap situasi yang terjadi, dapat dilampiaskan kepada staf
I
biofisik
Definisi
Amenorea primer adaJah kondisi beJum datangnya haid hingga usia 16 tahun, Amenorea
sekunder adalah kondisi berhentinya haid setelah mengalami siklus haid yang teratur,
Sementara itu seorang wanita yang mengalami haid tiap lebih dari 3S hari dinyatakan
.sebagai oligoiTIenorea,
Patof)slologl
Siklus haid akan berlangsung teratur apablJa ovarium menghasill<an estrogen dan
progesteron dari pengaruh hormon-hormon hipofisis IFSH, LH) dan hipotalamus {GnRHj,
Hormon estrogen yang dihasi/kan ovarium akan memicu proliferasi endometrium_ Apabila
terjadi ovulasi dan terbentuk corpus luteum, maka hormon progesteron yang dihasilkan,
akan mengubah lapisan endometrium menjadi kaya dengan I<elenjar dan pembuluh
darah. Apabila tidak terjadi kehamilan, maka corpus luteum akan melepaskan lapisan
endometrium fungsional dan dikeluarkan berupa darah haid_
Amenorea terjadi bila hipotalamus dan hipofisis tidak dapat menghasilkan cukup hormon
untuk memicu produksLestrogen maupun progesteron pada ovarium (amenorea sentral),
Amenorea Juga dapat disebabkan oleh ketldak·mampuan ovarium untuk menghasilkan
hormon (amenorea ovarium/ovarian failure) atau lapisan endometrium tidak memiliki
respon lagi terhadap hormon-hormon yang dihasi/kan dari ovarium (amenorea uteriner)
atau diakibatkan oleh I<arena kelainan pada saluran kelamin baik kelainan yang bersifat
kongenital atau didapat.
Epidemiologi
Oi Amerika Seril<at paling tidak dalam satu tahun didapatal<an 5% dari wanita yang haid
akan mengalaml gangguan amenorea sekunder, Sementara itu dari data internasional
tidak didapatkan bul<ti bahwa I<ejadi,m amenorea dipengaruhi oleh suku bangsa maupun
kelompol< etniknya.
Diagnosis
Riwayat penyakit : Awalnya akan ditandai dengan timbulnya haid yang tidak teratur,
Gejala amenorea dapat disebabkan oleh karena kehamilan, kelainan anatomik genitalia
interna, kelainan pada ovarium maupun kelainan sentral (hipofisis, hipotalamusj, Kelainan
fungsional pada sentral dapat disebabkan oleh karena gangguan metabolik atau stress
pSikogenik. Pada I<asus-I<asus amenorea primer perlu diperhatikan aspel<-aspek
pertumbuhan dan proses pubertasnya, Perkembangan seks sel<under seperti payudara
(thelarche), tanda-tanda adrenarche dan growth spurt perlu diperhatikan pada saat
melakukan pemeriksaan pada penderita amenorea primer.
Pemeriksaan fisik : Perlu dilakukan penilaian status kesehatan secara umum dan status
gizinya. Pengukuran tinggi dan berat badan serta menentukan indeks massa tubuh amat
penting, Cari tanda-tanda hiperandrogen serta resistensi insulin (misal acanthosis
nigricans). Car; tanda-tanda penyempitan /apang pandang untuk melihat adanya efek dari
penekanan nervus optikus akibat pertumbuhan tumor hipofisis, Lakukan pemeriksacln
payudara berupa tahapan perkembangannya sesuai dengan derajat dari Tanner, serta
ada tidaknya galaktorea. Cari tanda·tanda aktivitas androgen supra-renal dan ovarium
dengan melihat pertumbuhan rambut aksila dan pubis. Pada kasus·kasus tertentu perlu
untuk dilakukan pemeriksaan panggul untuk menentukan ada tidaknya kelainan
anatomik pada organ-orgcln genitalia interna,
Penanganan
Secara medis : jenisnya akan ditentukan oleh jenis kelainan yang menyebabkan amenorea
atau keinginan pasien. Secara pembedahan : umumnya ditujukan untuk mengkoreksi
secara langsung ke/alnan·kelafnan patologf yang terjadi pada organ·organ yang
bertanggungjawab untuk terjadlnya hafd.
Komplikasi
Hilangnya keteraturan haid banyak dihubungkan dengan kejadian patah tulang akibat
menurunnya densitas tulang. Waktu menarche yang lambat atau siklus haidnya lebih dari
32 hari juga dihubungkan dengan meningkatnya angka I<ejadian patah tulan~f pada
tahun·tahun berikutnya. Untuk itu seorang wanita muda yang mengalami insufisiensi
estrogen dan tidak memberikan respon yang adekuat dengan terapi perlu diberikan
terapi sulih harmon.
f'ERPlJSTAkAAN lQ:tlJ~~·,
PPDS'I OBSTeTRI &: GINE/(OLooI .'
FK IJNAIR. / RSU Dr. SOEToMO
.. ~
Definisi
PUD adalah suatu kejadian perdarahan uterus yang abnormal tanpa disertai adanya
kelainan patologi atau medis.
Patofisiologi
PUD dapat bersifat anovulatoir maupun ovulatoir. PUD anovulatoir umumnya terjadi pada
adanya kondisi unopposed estrogen akibat tidak terbentuknya corpus luteum sebagai
berlebihan sehingga tidak mampu lagi didukung oleh vaskularisasi lokal sehingga memicu
terjadinya peluruhan lapisan endometrium secara tidak beraturan. PUD ovulatoir memiliki
yang dihasilkan tidak berbeda dengan kondisi siklus haid yang normal. Terjadinya PUD
ovulatoir diduga oleh adanya defek pada sistem pengendali perdarahan pada saat haid,
Epldemiologl
Oi Amerika Serikat PUO adalah merupakan masalah yang sering ditemukan pada 5-10%
Diagnosis
banyak atau lama pada saat haid (menoragiaJ atau adanya perdarahan yang tidak teratur
di luar siklus haid. Tidak akan ditemukan adanya riwayat kelainan darah seperti kebiruan
pada kulit, perdarahan pada gusi, atau epistaksis. Hal-hal yang terkait dengan masalah
galaktorea. Jenis perdarahan yang dapcH rerjadi adalah estrogen breakthrough bleeding,
PUD juga perlu ditentul<an apakah terjadinya pada masa peri menarche, reproduksi atau
keluhan-keluhan klimakteril<.
adanya kelainan patologi pada rahim maupun jalan lahir. Selain itu perlu deteksi adanya
hipofisis-ovarium seperti, indeks massa tubuh, gangguan lapang pandang, kelenjar tiroid,
Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan darah periter lengkap, pap smear, sampling
endometrium, fungsi tiroid, liver dan hemostasis. Hormon prolaktin perlu diperiksa apabi/a
All topics are updated as new evidence becomes "vailable and our peer review process is complete,
Uterature review current thr_ough: Nov 2014, ) This topic last updated: Aug 15, 2014,
INTRODUCTION - Abnormal uterine bleeding IAUBlla term which refers to menstrual bleeding of
abnormal quantity, duration, or schedule) is a common gynecologic complaint, accounting for one
third at outpatient visits to gynecologists lll, AUB can bp. caused by it wide variety of local and
systemic diseases or related to medications (!isJ,u:tll(ZJ, The most common etiologies in
nonpregnant women are structural uterine pathology leg, fibroids, endometrial polyps,
adenomyosisl, anovulation, disorders of hemostasis, or neoplasia,
The initial approach to the evaluation of nonpregnant reproductive-age women with AUB will be
reviewed here, An overview of genital tract bleeding in women, terminology regarding AUB,
bleeding during pregnancy, and postmenopausal bleeding are discussed separately,
(See "Differential diagnosis of genital tract bleeding in women" and "Postmenopausal uterine
bleeding: and :9xt;'ryiew qLthe etiology and evaluation of vaginal bleeding in pregnant women",)
TERMINOLOGY - A revised terminology system for abnormal uterine bleeding IAUBlln nongravid
reproductive-age women was introduced in 2011 by the International Federation of Gynecology
and Obstetrics IF1GO) (1), This was the result of an International consensus process with the goal of
avoiding poorly defined or confusing terms used previously (eg, menorrhagia, menometrorrhagia,
oligomenorrhea), The classification system Is referred to by the acronym PAlM-COEIN Ipolyp,
adenomyosis, leiomyoma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction,
endometrial, iatrogenic, and not yet classifiedl Ifigure 1I,
In this topic, the term premenopausal women refers to women of reproductive-age and those in the
menopausal transition ([igure 2),
PREVALENCE AND ETIOLOGY - Abnormal uterine bleeding IAUB) is common, A United States
population-based survey of women ages 18 to SO years reported an annual prevalence rate of 53
per 1000 women [9:]. The importance of AUB relates to its major impact on women's quality of life,
productivity, and utilization of healthcare services [2J.
The differential diagnosis of AUB in a nonpregnant reproductive-age woman is listed here Itable
1 and ~) and discussed in more detail separately (see "Differential diagnosis of genital tract
bleeding in women"):
-Structural abnormalities - These abnormalities are common and a large proportion of them
may be asymptomatiC, Even when a lesion is noted, the clinician must determine whether it is
the cause ot the patient's symptoms:
• Uterine leiomyomas ISee "Epidemiology clinical manifestations diagnOSis and natural
history of uterine leiomyomas lfibroids)",)
• Endometrial polyps (See 'Endometrial polyps',)
• Adenomyosis ISee 'Uterine adenomyosis",)
• Other lesions - Cesarean scar defect. arteriovenous malformation
Is the uterus the source of the bleeding? - Wom~n with abnormal uterine bleeding IAUB) typically
present with a complaint of vaginal bleeding, There are many potential sources of genital tract
bleeding. and the actual site must be determined Itable I). Sites that are commonly mistaken for
uterine bleeding include the lower genital tract (vulva. vagina. or cervi~J. urinary tract. and
gastrointestinal tract. The following elements of the history and physical examination help to
exclude extrauterine sources of bleeding:
The average age of menarche is 12 years [Q]. For premenarchal girls, there is a range of causes of
vaginal bleeding, for example. hormonal issues, infection, foreign body, trauma, or malignancy.
(See"Evaluation of vaginal bleeding in children and adolescents" section on 'Vaginal bleeding
before normill menarChe'.)
The average age of menopause is 51 years [I). Menopause is defined as 12 months of amenorrhea
in the absence of other biological or physiological causes. This is typically preceded by several years
of Irregular uterine bleeding and menopausal symptoms (eg, hot flushes). In healthy women age 45
years and older, laboratory testing of serum follicle stimulating hormone is not required to make
the diagnosis. (See "Clinic~1 manifestations and diagnosis of menopause")
Women with AUB who have not had amenorrhea for 12 months should be considered
premenopausal for the purpose of evaluation, but should have endometrial sampling If risk factors
tor endometrial cancer are present (tab!e 3 and table 4). All postmenopausal bleeding is abnormal,
and requires evaluation for endometrial cancer. (See "Postmenopausal uterine
bleeding" and 'Endometrial sampling' below.)
Women who are pregnant are evaluated primarily for pregnancy-related causes of bleeding. but
the evaluation should include assessment for etiologies not related to pregnancy if appropriate.
ISee "Overview of the ~tiology and evaluation of vaginal bleeding in pregnant women-.]
The basic components of the evaluMion are shown in the algorithm lillgorithm I J. The table
provides information about how to choose additional testing and use the information from the
evaluation to make a diagnosis Itable 5J.
HISTORY - The relevant medical history in nonpregnant reproductive-age women with abnormal
uterine bleeding IAUB] includes the fOllowing:
General history
166
PP1JS! Oh>t>trvda."G~1qjv2015
irregular spotting or bleeding, followed by a gradual decrease in menstrual flow and
possible amenorrhea, (See "Management of unscheduled bleeding in women using
contraception".)
• Risk factors for endometrial cancer, The indications for endometrial sampling are
discussed below, (See 'Endometrial samplin~r below.)
-Other medital history; issues that help to determine the etiology of AUB include: ,
• Symptoms, risk factors (anticoagulant therapy, liver or renal disease), or a family history
of a bleeding disorder. The indications for coagulation testing Me discussed below,
(See 'Coagulation teUS'below.)
• Symptoms or family history of thyroid disease, (See 'Endoc~~ below
and "Pathogenesis Ilpjdemiology and clinjcal manifestations of celiac disease in'adults"
section on 'Nongastrointestinal manifestations'.)
• Celiac disease, (See "Pathogenesis. Ilpidemiology and clinical manifestations of celiac
diseasll in adults" sllction on 'Menstrual and reproductive issues',)
-Medications - Medications can cause AUB in a variety of ways: (1) anticoagulants mily result
in heavy or prolonged uterine bleeding; (2) a variety of medications Ciln cause
hyperprolactinemia Itilble 6), resulting in cligomenorrhea or amenorrhea,
-Were there prccipililting factors, such as trauma? Bleeding related to trauma suggests il
vaginal or cervical, rather than uterine, source of bleeding,
_Are there any associilted symptoms7 Lower abdominal pain, fever, and/or vaginal dischilrge
could indicate infection (pelvic inflammatory disease [PI OJ, endometritis), Dysmenorrhea,
dyspareunia or infertility suggest endometriosis and possible adenomyosis, Changes in
bladder or bowel function suggest extrauterine uterine bleeding or a mass effect from a
neoplasm, Galactorrhea, heat or cold intolerance, hirsutism, or hot flashes suggest an
endocrinologiC issue.
-Has there been a recent illness, stress, excessive exercise, or possible eating disorder? This
suggests hypothalamic dysfunction.
Menstrual history - AUB varies from normal menses in terms of frequency, regUlarity, volume, or
duration, The chari'lcteristics of normal menstrual bleeding are (table 7) [2.l.Q):
- Duration is 5 days
The clinician should determine the bleeding pattern by asking the patient the following questions:
-What WJS the first day of the last menstrual period and several previous menstrual periods?
-For how many days does bleeding continue? How many days of full bleeding and how many
PPDSIO~da..vG~2Ol5 167
'How heavy is the bleeding? The definition of normal menses is <80 mL of blood. Population·
based studies that employed precise assessment of menstrual blood loss found that women
with a loss per cycle of >80 mL were more likely to become anemic (11). However. volume of
blood is difficult to measure. In clinical practice. heavy menses are generally defined as
soaking a pad or tampon more than every two hours or as a volume of bleeding that
interferes with daily activities leg. wakes patient from sleep. stains clot!1ing or sheets).
Questions that help to characterize the volume of uterine bleeding are shown in the table
Itable 8).
'If bleeding is irregular. how many bleeding episodes have there been in the past 6 to 12
months? What is the average time from the first day of one bleeding episode to the next?
A woman may have strong concerns over changes in menstrual blood loss. however. patientself·
reports are inaccurate indicators of the quantity of blood lost at menses and pathologic
examination of the uterus often shows no abnormality [12·16J. This was illustrated by a population·
based study in which one-quarter of women with normal periods considered their blood loss
excessive. whereas 40 percent of those with excessive bleeding [>80 mLJ described their periods as
light or moderate [llJ.ln another study. only one-third of women who considered their periods
heavy had blood loss >80 mL [12J.
There are several typical bleeding patterns that correlate with particular etiologies of AUB.
including:
Heavy menstrual bleeding - Based upon current terminology. regUlar bleeding that is heavy or
prolonged [referred to as heavy menstrual bleeding) refers only to cyclic [ovulatory) menses. The
term heavy menstrual bleeding [HMBI was introduced as part of the PALM·COE/N Ipo/yp.
adenomyosis. leiomyoma. malignancy and hyperplasia. coagulopathy. ovulatory dysfunction.
endometrial. Iatrogenic. and not yet classifledl classification system for AUB [3.]. This replaces the
term menorrhagia. which was previously used to describe heavy or prolonged uterine bleeding.
Menorrhagia Is a less precise word because it does not differentiate between volume and duration
of bleeding or between cyclic and anovulatory bleeding. [See 'Terminology' above·1
'Uterine leiomyomas - HMB associated with uterin'! leiomyomas is most likely to occur with
submucosa/leiomyomas. but leiomyomas at other sites may also cause AUB.
(See "Epidemiology clinical manifestetions diagnosis and natural history of uterine
leiomyomas IfibroidsL.1
'Adenomyosis - This is often accompanied by dysmenorrhea or chronic pelvic pain.
(See "Uterine adenomyosis"·1
• Cesarean scar defect - Some two-thirds of women who have had one or (in particularl
multiple cesarean births may have a cesarean scar defect. and approximately one-third of
women with this condition experience cyclical. postmenstrual bleeding [.1]J.
• Bleeding disorder. (See 'Coagulation tests' below. I
• Endometrial hyperplasia or carcinoma or. rarely. uterine sarcoma may be associated with
HMB. but the typical bleeding pattern for these conditions is irregular or postmenopausal
eCongenital or acquired uterine arteriovenous malformation - This is a rare cause of HMB [.1.2:
fll, This lesion should be suspected when an invasive procedure for unexplained bleeding
seems to aggravate the problem, Acquired uterine arteriovenous malformations typically
occur after an intrauterine procedure,lSee "Differential diilgnosis of genital trilC! bleeding in
women" section on 'Arteriovenous malformation',j
eDisorders of local endometrial hemostasis - Alterations in prostaglandins may result in HMB.
ISee "Differential diagnosis of genitill tract bleeding in women" section on 'locill endometrial
hemostasis ~,j
Thyroid disease has traditionally been thought to be a common cause of HMB, However. the
available data suggest that it is an uncommon etiology of this bleeding pattern, As an example. one
stUdy reported that the prevalence of menstruill disturbances was similar ilmong 586 women with
hyperthyroidism ilnd I I I women with hypothyroidism compared with 105 healthy controls (11),
Rates of hypermenorrhea were comparable in women with thyroid disease compared with
con:.ols, but there were few women with this bleeding pattern (hyperthyroidism: 2 of 586 women;
hypothyroidism; 0 of 1 I I; and I of 105 controlsj. Another study found that menorrhagia was more
common in 171 women with hypothyroidism than in 214 healthy controls [7 versus I percentj. but
the proportion of women with this symptom was low [211, ISee "Clinical manifestations of
hypothyroidism" section on 'Reproductive abnormillities' and 'Endocrine tests' below,j,
Intermenstrual bleeding is often due to conditions of the cervix, including cervical cancer, cervical
polyps, cervicitis, or ectropion, These conditions are discussed separately, (See "Invasive cervical
cancer: Epidemiologv risl( factors clinical manifestations and diagnosis" section on 'Clinical
manifestations' and "Congenital cervical anomalies and benign cervical lesions" section on
:f.Q!.vru.: and "Congenital cervical anomalies and benign cervicallesioos' section on
'Cervicitis' and 'Congenital cervical anomalies and benign cervical lesions" section on 'Ectropion',)
Irregular bleeding associated with AUB-O is typically characterized by phases of no bleeding that
may last for two or more months and other phases with cither spotting or episodes of heavy
bleeding, Molimina are typically absent.
AUB'O should be suspected in women with an irregular bleeding pattern, particularly those at the
extremes of reproductive age (postmenarchal and in the menopausal transition), In addition,
polycystic oViHiiln syndrome and other endocrine disorders can cause AUB-O (thyrOid disease,
hyperprolactinemiaj, Causes of ovulatory dysfunction are shown in the table {,tj1Jil~,.J.lj,
The diagnOSis of ilnovuliltory bleeding is made primnrily by the bleeding pilttern, provided that
etiologies of intermenstruill bleeding have been excluded (sec Jnterm"m,lli!il'-bJJ~_~9Jna above),
Laboratory eVilluillion is not gener~lIy required to confirm anovulation, but is helpful in exclUding
thyroid disCilSC or hyperprolactinemiil, (Sec ~I;,ndocrine tests' below ilnd :'Evaluation of femille
infertility" section on 'Assessment of ovulatory function',)
If a patient has a bleeding pattern consistent with AUB-O, subsequent evaluMion is directed
toward identifying the cause, In addition, women with prOlonged amenorrhea due to anovulation
are exposed to unopposed estrogen and are at risk of endometrial hyperplasia or cancer, and
endometrial sampling mily be required Itilble 4), Ideally, the cause of ilnovulation can be identified
and treated so that normal cyclic menses can be re-establish ed, (See 'Endometrial sampling' below,)
-Potential sites of bleeding on the vulva. vagina. cervix. urethra. anus. or perineum
-Any abnormill findings illong the genital tract (cg, mass. laceriltion. ulceration, friable area.
vilginal or cervical dischilrgc. foreign body)
-Size and contour of the uterus - An enlarged uterus may be due to prcgnancy. uterine
leiomyomas. adenomyosis. or uterine malignancy. Limited uterine mObility should be noted. if
pre,ent; this finding suggests that pelvic adhesions or a pelvic mass is present. PelviC
adhesions may be due to prior infection. surgery, or endometriosis. and also may impact
surgical planning if surgical treatment is indicated. A boggy. globular. tender uterus is typical
of adenomyosis. Uterine tenderness is present in women with pelvic inflammatory disease
(P!D). but is not consistently found in those with chronic endometritis.
-Current uterine bleeding - The presence and volume of bleeding from the cervical os should
be noted. Blood or blood clots in the vaginal vault should be noted. PMients who present with
a complaint of heavy vaginal bleeding should be assessed for acute bleeding. Piltients who are
hemodynamically unstable or who have copious. ongoing blood flow from the uterus or other
genital tract site should be evaluated and manilged in iln urgent care filcility, (See Milnaging
~de of severe or prolonged uterine bleeding" section on 'Hemodynamically unstable
A general examination should be performed to look for signs of systemic iI/ness. such as fever.
ecchymoses. an enlarged thyroid gland, or evidence of hyperandrogenism (hirsutism. acne.
clitoromegaly. or male pattern baldingl. Acanthosis nigricans may be seen in women with
polycystic ovarian syndrome (PCeS). Galactorrhea (bilateral milky nipple discharge) suggests the
presence of hyperprolactinemia.
Initial tests - Most reproductive-age women with abnormal uterine bleeding rAUB] should be
evaluated initially with the following tests:
A urine hCG test may be performed as an initial test in a clinic or urgent care setting. since these
results are available quickly, Regardless of the reSUlt, a quantitative serum hCG should also be
performed:
elf the urine test is negative. but the clinician continues to suspect early pregnancy may be
present, serum hCG should be measured, A serum hCG assay can detect a pregnancy by one
week after conception. while a urine hCG test is able to detect most pregnancies within two
weeks after conception Itable 12] [26 27J .
• 1( the urine test is positive. scrial quantitative serum hCG testing is appropriate if ectopic
etiology clinical manifestations and diagnostic evaluation" and "Ectopit pregnancy: Clinical
Ilf the serum hCG is negative. the test should be repeated in one week if an early pregnancy
is suspected.
Gestational trophoblastic disease. Which in some cases presents weeks to years after a pregnancy.
is also associated with uterine bleeding and a positive pregnancy test. (See "Hydatidiform mole:
Epidemiology. clinical features and diagnosis".)
Complete blood count - Women with heavy or prolonged bleeding should be evaluated with a
hemoglobin and/or hematocrit for anemia. (See "Approach to the adult patient with anemia".)
In addition. a platelet count is helpful if a bleeding disorder is suspected. A white blood cell count is
helpful if an infection is suspected. Pelvic inflammatory disease WID) with endometritis is a
potential etiology of AUB, Acute endometritis following childbirth or an intrauterine procedure
may be associated with leukocytosis. but the white blood cell count is typically normal in chronic
endometritis.ISee "Clinical features and diagnosiS of pelvic inflammatory disease" section on
'Laboratory tem' and 'Endometritis unrelilted to pregnancy".)
Additional tests - Additional testing is selective and depends upon information obtained on
history and physical examination.
Endocrine tests - Tests of endocrine function are performed based upon the history and physical
examination findings:
17l
PPDS I OlW.tYVcJo.,n,G~Z015
-Thyroid function tests -II is not necessary to assess for thyroid disease in all women with
AUB. Thyroid disease appears to be associated mainly with oligomenorrhea or amenorrhei!, If
the menstrual history suggests ovulatory dysfunction, checking a tflyroid·stimulating
hormone (TSH) is appropriate. Some data suggest that heavy menstrual bleeding (HMB) is
associated with hypothyroidism in a small proportion of women, For women with HMB, a TSH
should be performed if no other etiOlogy has been identified,(See 'Irregular bleeding
(ovulatory dysfunction)' above and 'Hea\IY menstrual bleedim( above,)
-Prolactin level- A prolactin level should be measured in women who complain of
anovulatory bleeding, amenorrhea, or galactorrhea, or are taking medications that can cause
hyperprolactinemia (table 6). (See "Clinical manifestations and evaluation of
hYDerprOlactinemia-,)
-Androgen levelS - Serum androgens should be measured in women with AUB and signs of
ilndrogen excess, Hirsutism (excessive male-pattern facial and body hair) is far more common
than virilization (deepening of the voice, temporal balding, breast atrophy. changes toward a
male body habitus. and/or ciitoromegaly) [I!!J, Polycystic ovarian syndrome /PCOSJ is the
most common cause of hirsutilm and amenorrhea or anovulatory bleeding. However, clinicill
manifestations of hyperandrogenism may also be seen in women with congenital adrenal
hyperplasia. If virilization is present. a more severe androgen excess should be suspected and
the patient should be evaluated for an androgen-secreting tumor of the adrenal gland or
ovary (~I,(See "Oiagnosis of polycystic ovary syndrome in adults" section on 'Serum
androgens' and "Pathogenesis jlnd Ciluses of hirsutism",)
eFollicle stimulating hormone or luteinizing hormone - Follicle stimulating hormone (FSH)
and luteinizing hormone ILH) jlre released by the pituitary glilnd, If premature ov~rian
insufficiency is suspected, a serum FSH should be performed. FOf women with suspected
hypothalamic dysfunction (due to poor nutrition or intense exercise), il FSH and LH should be
performed, as well as anestrogen/progestin withdrawal test. (See "Clinical manifestations and
evaluation of spontaneous primary ovarian insufficiency Ipremature oVMiiln '"ilufel" section
on 'Diagnosis' and "Etiology, diagnOSis and treatment of secondary "menorrhea" section on
'Step 5: follow-up testing'.)
eEstrogen levels - Estrogen excess due to an estrogen-secreting oVilriiln tumor is a rare
etiology of AUB, but should be considered if an adnexal mass is present and if other etiologies
have been excluded (table 13). ISee "Sex cord-stromill tumors of the ovary: Granulosa-stromal
cell tumors".)
eAssessment of ovulatory function - Anovulation is typically diilgnosed based upon the
charilcteristic bleeding pattern; laboratory evaluation is not typicilily required, Laboratory
confirmation of anovulation may be useful in women with infertility. ISee "Evaluation of
female infertility" section on 'Assessment of ovulatory function'.,
Coagulation tests - Bleeding disorders arc common in reproductive-age women. Up to 15 to 24
percent of women presenting with menorrhilgia may hilve some type of bleeding diilthesis (eg, von
WiIJebrand disease. immune thrombocytopenia, or platelet function defect) [29·3 I J. In addition.
excessive bleeding may be caused by leukemia, liver or renal disease, anticoagulilnts, prescription
and nonprescription drugs that impact coagulation or platelet function, and chemotherapeutic
agents, ISec "6rul!.9"Ch to the adult piltifnt with a bleeding diilthesis" section on
Coagulation disorders typically present as heavy bleeding at menarche or in women in their later
reproductive years, For von Willebrand disease, decreasing estrogen levels during the menopausal
transition impact von Willebrand factor synthesis, Excessive bleeding related to medications or
systemic illness may present at any age, (See "Clinical presentation and diagnosis of von Willebrand
disease" section on Variations in WE leyelsin health and disease'.,
Women who are taking warfarin should have coagulation parameters assessed to see if the effect
is within the therapeutic window, In addition, patients should be asked about other prescription or
nonprescription medications that may impact coagulation or platelet function. (See "Approach to
The evaluation for patients with a suspected bleeding disorder is discussed separately,
(See "Approach to the adult patient with a bleeding diathesis" section on 'Laboratory testing'.)
Tests to exclude cervical bleeding - It is often difficult to differentiate cervical and uterine bleeding
based upon history and physical examination. If there is uncertainty about the source of the
bleeding, a basic evaluation for etiologies of cervical bleeding should be performed. (See 'Is the
-Cervical cancer screening - Cervical neoplasia can cause cervi",1 bleeding, which is often
mistaken for uterine bleeding. All women with AUB should be appropriately screened for
cervical cancer, according to current guidelines, (See "Screening for cervical cancer".J
.TesU for cervicitis - Genital tract infection with Neisseria gnnorrhoeae or Chlamydia
trachomatis may cause cervicitis and pre.lent with cervical bleeding. In addition, these are
common pathogens in PID, which is an etiology of AUB. Although less common than N.
gonorrhoeae and C. trachomatis as a cause of cervicitis, trichomonas and herpes simplex virus
infections can cause cervicitis and result in cervical bleeding. Testing for these infections
should be performed in women at high risk and in those with a finding on examination of a
friable cervix, purulent vaginal or cervical discharge, or pelvic tenderness [~J, (See ::Qiiikal
manifestations ~nd dicgnosjs of Neisseria gonorrhoeae infection in adults ang
adolescents" and "Acute cervicitis" and "Clinical manifestations and diagnosis of Chlamydia
trachoma tis infections".)
ENDOMETRIAL SAMPLING - After pregnancy has been excluded, endometrial sampling should be
performed in women with AUB and an increased risk of endometrial hyperplasia or cancer (table
J. andtable 4,.
Indications for endometrial sampling in women of reproductive"age with AUB vary by age group
(table 3J:
174
P!'DS I Oi»t«.'Yvda<vG"~d015
'Age 4S years to menopause -In women who are ovulatory, any AUB, including
intermenstrual bleeding. In any woman, bleeding that is frequent {interval between the onset
of bleeding episodes is <2! daysj, heavy, or prolonged (>5 days] (table 7] .
• Younger than 45 years -In reproductive-age women, the majority of cases of endometrial
neoplasia occur in the setting of ovulatory dysfunction due to estrogenic proliferation with
absent or inadequate progestational protection [35J. Endometrial sampling is indicated if AUB
is persistent, occurs in the setting of a history of unopposed estrogen exposure (obesity,
chronic anovulationj or failed medical management of the bleeding, or in women at high risk
of endometrial cancer leg, tamoxifen therapy, Lynch or Cowden syndrome].
Use of 45 years-old as the threshold for increased concern regarding endometrial neoplasia is
supported by evidence that the risk of endometrial hyperplasia and carcinoma is fairly low prior to
age 45 years and increases with advancing age; 19 percent of cases occur in women aged 45 to 54
years compared with 6 percent in those aged 35 to 44 years [36-38J. This age threshold is also
consistent with American College of Obstetricians and GyneCOlogists IACOG] guidelines [.2.l.S.I.
{See "Clilssification and diagnosis of endometrial hyperplasia" section on
'EpidemiotQgi and "Endometrial carcinoma: Epidemiology and risle factors" section on
·Epidemiology·.j
Among women <45 years-old, there is no standard definition of persistent AUB. For women with
ovulatory dysfunction. given that six months of unopposed estrogen therapy substantially
increases the risk of endometrial hyperplasia in menopausal women, it Is reasonable to consider six
months or more of AUB-O as "persistent" (39J. For other types of AUB, the clinician must use their
judgement regarding when abnormal bleeding is persistent.
Suspicion of endometritis is another indication for endometrial sampling. For women with AUB
during the postpartum or postabortal period, endometrial sampling may reveal retained products
of conception. (See "Postpartum endometritis" and "Endometritis unrelilted to
pregnancy" and "Retained products of conception".l
Endometrial sampling is typically performed as an office biopsy, but dilation and curettage or
hysteroscopically-directed biopsy may be performed if bleeding persists after il norm,ll endometrial
IMAGING AND HYSTEROSCOPY - The decision to proceed with pelvic imaging should be based
upon the clinician's judgement, depending on patient age, history and symptoms.
The choice to do imaging is guided by several factors;
Ilf the abdominal and/or bimanual pelvic examination findings include an enlarged or
globular uterus or adnexal mass, imaging is appropriate to evaluate for leiomyomas,
adenomyosis, and adnexal pathology.
'Imaging may be omitted, at least in the initial evaluation, if the bleeding is thought to be due
to a lesion observed on physical examination (endocervical polyp), anovulation, or infection
[llJ.
"f the pelvic examination is normal, imaging is also appropriate if symptoms persist despite
treatment.
Choice of modality - Pelvic ultrasound is the first"line imaging study in women with AUB.
Transvaginal examination should be performed, unless there is a reason to not perform the vaginal
study (eg, virginal patient). Transabdominal sonography should also be performed if transvaginal
imaging does not allow adequate assessment of the uterus or adnexa or if a large pelvic mass is
present.
Ultrasound is effective at chMacterizing uterine and adnexal lesions, As noted above, assessment of
endometrial thickness is not a useful test in premenopausal women. Ultrasound is less expensive
than magnetiC resonance Imaging (Mill I. which should be used for pelvic assessment only as a
follow.up imaging test and only when it will give information that is not avai/able on ultrasound.
Computed tomography is used to evaluate the pelvis for metastatic disease in some malignancies,
but has no role in routine pelvic assessment. (See "Evaluation of the endometrium For malignant or
premalignant disease" section on Premenopausal women'.)
If intracavitary pathology (lesions that protrude into the uterine cavity, ie, endometrial polyps,
submucosal myomas, intramural myomas with an intracavitary component) is suspected based
upon the initial ultrasound, the patient may be evaluated with either saline infusion
sonohysterogr~phy or hysteroscopy.
176
PPVS I Oi>latY"c/a.l.G~2015
We suggest SIS for most women for intracavitary evaluation. Both SIS and hysteroscopy are
effective tests for diagnosing endometrial polyps and submucosal leiomyoma [±i!j. while
ultrasound alone has limited sensitivity and specificity for the characterization of these lesions
filM). Compared with hysteroscopy. the miljor ildvantage of SIS is that it can assess the depth of
extension of leiomyomas into the myometrium or serosal surface ii.!l:mgU). Some fibroids ilppear to
be submucosal at hysteroscopy. but are actually intramural with a component that protrudes into
the uterine cilvity. This information and the ability to identify fibroids at other sites i~) can
help surgical planning. Some data also suggest that SIS is less painful than office hysteroscopy
[47.49J. SIS also is able to identify a~ymmetric or focal endometrial thickening. a potentially
important marker of endometrial neoplasia (image 31 [1.2].
Advantages of hysteroscopy are that office hysteroscopy may offer patients greater convenience.
particularly if it can be performed at the s~me visit as the initial evaluation. Operative hysteroscopy
is not typically available in an office setting and therefore is not part of the initial evaluation of
AUB.
Factors such as convenience. availability of equipment and !ri~ined penonnel. and cost of SIS and
hysteroscopy vary In different clinical settings. and these factors often influence the choice of
study.
INFORMATION FOR PATIENTS - UpToDate offers two types of patient education materials. "The
Basics' and "Beyond the Basics." The Basics patient education pieces are written in plain language.
at the 5'" to 6th grade reading level. and they answer the four or five key questions a patient might
have about a given condition. These articles are best for patients who want a general overview and
who prefer short. easy-to-read materials. Beyond the Basics patient education pieces are longer.
more sophisticated. and more detailed. These articles are written at the 10'" to Ii" grade reading
level and are best for patients who want in-depth information and are comfortable with some
medical jargon.
Here are the patient education articles that are relevant to this topic. We encourage you to print or
e·milil these topics to your patients. IYou ,an also locate patient education ,Hti,Ies on a variety of
subjects by searching on "patient info" and the keyword Is) of interest.)
eAbnormal uterine bleeding (AUB) is il common gyneCOlogic complaint. AUB can be caused
by a wide variety of local and systemic diseases or related to medicatiOns Itablu) [~J. The
most common etiologies are conditions associated with pregnancy. structural uterine
pathology (eg. fibroids. endometrial polyps. adenomyosis). anovulation. bleeding disorders. or
neoplasia./See 'Introq~ction' above and 'Prevalence and etiology' above.}
eThe initial approach to evaluation of nonpregnant reproductive-age women with AUB is to
confirm that the source of bleeding is the uterus. exclude pregnancy. and confirm that the
bleeding to guide management. A primary focus is to identify women who require evaluation
tAUB varies from normal menses in terms of frequency, regularity, volume, or duration (table
I), Typical abnormal bleeding patterns include: regular menses that are heavy or prolonged,
increased risk of endometrial hyperplasia or cancer, Indications for endometrial sampling vary
tBleeding disorders, particularly von Willebrand disease (VWD), are common in reproductive·
age women. A disorder should be suspected if heavy or prolonged menses began at menarche
or is associated with a family history of coagulopathy or other signs (If a bleeding diathesis
(eg, easy bruising or prolonged bleeding from mucosal surfaces). In addition, anticoagulants
may cause heavy or prolonged uterine bleeding. (See 'Coagulation tests' above.)
history' above.)
tAli women with AUB should have a complete history and physical examination, Information
should be obtained on the frequency, duration, and volume of AUB, as well as the presence of
associated symptoms and precipitating factors. (See 'History' above and 'Physical
examination' above.)
tMost reproductive·age women with AUB should be evaluated initially with the fOllowi.ng
hemoglobin and/or hematocrit. Additional tests may be performed to assess for particular
or an adnexal mass) is suspected based upon the history and physical examination; it is not
required in every woman with AUB. Pelvic ultrasound is the first-line study and is often used
alone, or may be combined with either saline infusion 5Onography or hysteroscopy to provide
information about lesions that protrude into the endometrial cavity (submucosalleiomyomas,
myometrialleiomyomas that protrude into the cavity. and endometrial polyps), (See 'Imaging
Oibagi dua:
Oismenore sekunder: Nyeri haid yang berhubungan dengan adanya kelainan patologi
panggul.
Dismenore primer:
endometrium meningkat pada fase sekresi dan meneapai puneaknya waktu haid. Dp.ngan lueut
progesteron, Jisosom mengeluarkan enzim Iitik, melepaskan fosfolipid yang i1kan mengal<tifl<an
prostaglandin. Pada pasien dismenore kadar prostaglandin lebih tinggi daripada non dismenore.
Prostaglandin yang tinggi menyebabl<an I<ontral<si uterus meningkat dengan amplitudo tinggi,
Kejadian.
GejaJa:
Nyeri terjadi beberapa saat sebelum atau saat mulai haid dan berlangsung selama 48 - 72 jam.
Nyeri menyerupai nyeri waktu melahirkan, nyeri supra simfisis, bisa disertai nyeri lumbo
sakral, pangkal paha depan. I<adang-kadang disertai mual, muntah, diare dan sinkope.
Rasa nyeri lebih hebat bila kanalis servikalis masih sempit dan I<alw I pada nullipara ).
Dismenore primer biasanya mulai beberapa bulan dan tahun awal sesudah menarl<e, saat ovulasi
sudah mulai teratur. Berkurang, menghilang setelah melahirl<an bayi aterm pervagina.
Pemeriksaan:
Tanda vital masih dalam batas normal. Nyeri perut bawah, tapi tidal< ada nyeri tekan / rebound.
Uterus agak nyeri, tapi tidak ada nyeri goyang hebat. Kedua adnel(sa normal.
Diagnosis:
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis yang eermat, pemeriksaan panggul normal. Pada gadis
pasea menarke, dengan anamnesis yang eermat, pemeriksaan panggul dapat dilewatkan karena
Penanganan:
Karena penyebab nyeri pada d;smenore primer adalah prostaglandin, obat anti sintesis
prostaglandin yaitu Non Steroid Anti Inflammatory Drug = NSAID merupakan pilihan utama bila
Hormon seks; kontrasepsi oral diberikan pada yang menginginkiln kontrasepsi atau progestin
Bila paslen tidak sembuh dengan regimen diatas, baru dipertimbangkan gOlongan narkotik,
PPDS I Olllctl1odo..vG~2015 , 79
Dismenore sekunder
Karena disebabkan adanya penyebab / penyakit lain, manifestasi klinikjuga beragam. Namun
masih sering melibatkan prostaglandin. Selain itu peningkatan kontraksi uterus yang
dismenore sekunder.
Yang sering ialah endometriosis, adenomiosis, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
GeJala.
Tergantung keJainan yang mendasarinya. Rasa tidak enak / nyeri sudah dapat terasa 1 - 2
minggu sebelum haid, dan dapat berlanjut beberapa hari setelah seJesai haid. 8iasanya pada
Diagnosis
Dengan anamnesis yang dan pemeriksaan ginekologi yang (ermat, dicari kelainan yang dapat
Penanganan.
NSAID
Hormon seks: kontrasepsi oral atau progestin. AI<DR dengan lapisan progestin (LNG IUS).
neurektomi presakraJ.
REFERENSI
• Berek J S. 2007: Berek & Novak's Gynecology fourteenth edition. Lippincott Williams & Wilkins, p 516· SZO
• Granot M £:1 al. 200 I. Pain perception i,n women with dysmenorrhea. Obstet.gync(ol. 98; 407 - 411,
• Proctor M. Farcuhar C, 2006; Diagnosis and milnilgaent 01 dysmenorrhea, BMJ 332; 1134 - 1 138.
· Speroff L. Fritz M A. 2005: elini,,1 Gynecologic Endocrinology And Infertility seventh edition. Lippinco" Williams & Wilkins p.53?·
540.
PendahlJluan
Istilah menopause diambil dari bahasa Yunani menos (bulan) dan pause
(penghentian), namun istilah itu sudah biasa dipergunakan untuk menggambarkan
climacteric (haid). yang sekali lagl diambil dari bahasa Yunani klimakter tanakkandung
kemih). Oefinisi kamus dari climacteric (haid) adalah periode kehidupan ketika fertilitas
dan aktivitas seksual menurun. Definisi itu bolehjadi akurat, tetapi tidak menggilmbarkiH1
perubahan-perubahiln mendasilf yang terjadi ketika ovari berhenti berfungsi.
Usia rata-rilta menopause tidak berubah selama berabad-abad, akan tetapi harapan
hidup sudah banyak meningkat. terutama di abad terakhir. Harapan hidup wanitapada
masa Romawi adalah 29 tahun dan, pada akhir abad ke-29 sekalipun, hanya 3D persen
wanita dapat bertahan hidup untuk mengalami gejala menopause. Hilfapan hidup di
kalangan wanita sekarilng hampir 80 tahun dan sudah diestimasi bahwa ada 10 juta
wanita pos-menopause di Inggris. Sebagian besar wanita akan mencapai menopause dan
akan menghabiskan waktu sepertiga hidupnya dalam keadaan ini. Karena itu. persoalan
metabolikjangka panjang terkait menopause ini menjadi semakin penting.
Patofisiologi
JumJah folikel primordial menurun bahl<an sebelum kelilhiran. dan mesJ<i
penurunan itu hanya dramatis sebelum menopause, masih ada jumlah signifikan yang
hadir padil permulaan menopause. Aktivitas pitultari-hipotillamik meningl<Clt dilfi sekitilr
10 tahun sebelum menopause. Ini ditunjuI<l<an dengan meningJ<atnya tingkat plasma dilri
luteinizing hormone tLH) dan. I<hususnya, fOllicle-stimulating hormone IFSH). Mendekati
menopause, anovulasi terjildi diln ketidakmemadaian luteal mcnjadi lebih sering. Ada
penurunan produl<si progesteron dan. bilamana oestrogen tidak menurun secepat itu. ini
dapa: mengakibatkan pendarahan uterin disfungsionetl detn hiperplasia endometria. Level
oestrogen menurun dramatis pada wetktu menopetuse dan menstrui'tse berhenti. Stromi't
ovetrian ma.sih memproduksi sejumlah keeil androstenedione dan testosterone. teti'tpi
oestrogen pos-menopause utama adalah estrone, yang diproduksi di lemi'tk periferal detri
androgen adrenal. Kekuretngan oestrogen itu/eth yang menimbulkan sebagietn besi'tr dari
simptom dan patologi pada menopetuse.
Simptom
Simptom yang khas dari menopi'tuse di antetranya etdi'tli'th cairan hangi'tt. i'tir
keringClt di metlam hari, setkit kepa/et. depresi. detn kekurangari l(onsentrasi serta energ;'
Simptom paling je/as adi'tlah cetiretn hangat. Ini sangat berbedet dari cairan. yang kl1as
terjetdi petda wajeth dan detda. (airan hangat, meskipun ia detpat mulai di kepala i'ttau
wi/ayah leher. melibettl<an seluruh tubuh dan seringketli diikuti dengan pengeluClran
keringett intens. kemudian menggigil. Biasa terjadi pening/<Cltetn suhu kulit 1·( fIb], detn
meskipun paret wanita sangat met/u, tidetk ada tetndet-tetndet yang jelas bethwi't mereka
punya cairan hanget!. (airan di'tn keringat hanya terji'tdi di'tli'tm 75 persen wanita detn
cenderung menjadi lebih pareth segera seteleth menopetuse bedi'th. I(eduet simptom
tersebut bietsetnyi't akan berlanjut /ebih detri setahun, detn 25 persen etketn berlanjut dengan
keringat hangat selametlebih dari 5 tahun.
Diagnosis jelas bi/et pasien mengetlami seta hun pos-menopetuse dan punyi't cairan
dan keringat hetngilt. tetetpi jika pi'tsien itu perimenopause, diagnosisnya bisa jadi jauh
Jebih sulit. khususnya jika satu-satunyet simptom yang diet etlami adetli'th d,epresi. Depresi
lebih umum da/am deketde sebelum menopause daripadet setelah itu. detn jikii pasien
mempunyeti sejareth depresi panjetng, simptom itu tak mungkin disebabkan oleh
kekurangan oestrosen. Betnyetk wanita membutuhkan oestrogen. dengan harapan bahwa
Penyakit Kardiovaskular
Penyakit jantung koroner (coronary heart disease-CHO) tidak umum di kalangan
wanita pra-menopause, khususnya kalau mereka tidal< merol<ok. Terjadi peningkatan
sangat cepat dalam hal risiko segera setelah menopause, dan penyakit kardiciiiaskular
sekarang merupakan sebab utama kematian di kalangan wanita pos menopause.
Meskipun insiden pos-menopause meningkat, jumlahnya tidak dapat mencapai insiden
pada laki-Iaki pada usia apa pun.
Mengapa wanita pos-menopause diberi perlindungan ini? Mekanismenya tidal<
jelas, akan tetapi profillipoprotein, dengan konsentrasi kolesterol lipoprotein I<epadatan
tinggi (high-density lipoprotein/HOL) yang lebih tinggi dan lipoprotein kepadatan-rendah
(low-density lipoprotein) yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-/aki, sebagian
bisa menjadijawabannya. Pada wanita pos-menopause, rasio HDL:LDL menjadijauh Jebih
dekat dengan rasio lald-/aki, tapi hal inl tidak menje/askan semua perbedaan, dan
oestrogen bClrangkali paling baik mempunyai efek lebih langsung pada din ding
pembu/uh.
Oestrogen oral ketil<a diberikan pada wanita pos·m~nopause menyebabl<an
peningkatan konsentrasi 1<oIesteroi HOL dan penurunan konsentrasi i<olesterol LOL, yang
sangat berguna. Oestrogen oral juga meningkatl<an level trig/iserida, yang dii<aitkan
dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuJar. Sudah ada sejum/ah besar
pene/itian unt;.!k mencoba menemu/<an obat dengan profil lipid ideal namun tidak ada
satu pun yang menyakin/<an. Sampai penelitian yang pasti dihasil/<an, ada baiknya kita
mengasumsil(an bahwa regimen yang mengandung oestrogen bisa mengurangi insiden
CHD pada wanita sehat, tetapi kita sulit untuk menentukan besarnya penurunan ini.
Pene/itian-penelitian observasi awal menunju/<kan bahwa para wanita yang
mengambil atau yang sudah mengambil HRT sudah mempunyai insiden CHD dan
morta/itas dcngan sel<itar 30 persen, tctapi hanya ada sebuah pene/itian acal< I(eeil [Ill,
Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS). Ini menunju/<i<an tidal< ada
manfaat CHO dari mengambil HRT di I<a/angan wanita yang memiliki CHD stabil tapi
peningkatan ri~ii<o yang signifikan darl kejadian tromboembolik. Penelitla" inl
mengeJutkan jlka dilihat darl semua buktl epldemlologl sebelumnya, tetapi penelltlan
epldemiologi dapat dikritik mengenal bias seJeksl yang mungkin dan, pada sisi lain, ada
sejumlah besar droup-out dalam HERS. Tetapi, gambaran baru-baru ini sudah berubah,
lantaran pubJikasi the US Women's Health Initiative fWHI/ Trial. yang sudah mendorong
terjadinya pcnilaian,ulang penggunaan HRT dalam jangka panjang. Ini merupakan
percobaan terbcsar yang pernah dilakukan di lapangan, dengan lebih dari J6.000 wanita
yang terdaftar. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah
penggunaan HRT pos·menopause itu melindungi para wanita terhadap penyakitjantung.
Wanita percobaan yang diacal( untuk menerima HRT gabungan kontinyu dalam bentuk
0,625 mg mendapati<an estrogen fPremarin di Inggris) dan 2,5 mg asetat medroksi
progesteron setiap hari atau plasebo. Setelah 5 tahun masa tindak·lanjul, wanita yang
Hasil darl percobaan ini memiliki dampak besar terhadap pola-pola HRT yang
dipergunakan di seluruh dunia Barat. Selain kel<urangan efel< perlindungan terhadap
penyakit Jantung. ada sedikit kabar dalam temuan tersebut. akan tetapi penelitian itu
tidak menekankan kembali catatan peringatan yang ditimbulkan oleh penelitian
penelitian yang lebih sedil(it dan lebih awal. Jelasnya, strategi-strategi alternatif tersebut
ada untuk perlindungan terhadap osteoporosis pos-menopause, termClsul< penggunaan
selective oestrogen receptor moculators (SERMSI atau bio fosfonat. I<ontrol terhadap
semua simptom perimenopause tanpa mengambil HRT itu lebih problematik dan
barangkali banyak wanita akan melanjutkan penggunaan HRT selama beberapa tahun
dalam usia empat-puluhan-tahun mereka. Akan tetapi tampaknya mung kin, penggunaan
jangka-panjang akan menurun seiring dengan waktu.
Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada para
wanita di Inggris, Massa tulang mencapai puncaknya pada wanita menjelang akhir dari
dekade ketiga mereka. Hal ini kemudian tetap relatif konstan sampai menopause. yang
sete/ah itu kehilangan akan terjadi sepanjang hayat. 70 persen wanita di atas usia 80
tahun akan mempunyai osteroporis yang dapat diukur. Sudah diestimasi bahwa ada 60.00
frilktur pin99u/, 50.000 fraktur Colles, dan 40.000 fraktur tu/ang punggung yang terlihat
Sistem Urogenital
Seeara embriologi, sistem alat kelamin wanita dan sistem uriner yang lebih rendah
berkembang makin del<at, yang berkembang dari sinus urogenital primilif.
Ketidaknyamanan vagina, dispareunia, dysuria, berbagai infeksi saluran bagian-bawah
yang mudah kambuh, dan ketidakterkontrolan kencing, semuanya menjadi lebih umum
setelah menopause. Uretra dan vagina memilild konsentrasi reseptor oestrogen tinggi dan
sekarang ada bukti penting untuk mendukung penggunaan estrogen dalam perlakuan
atas berbagai simptom urogenital. Kini bukti sudah ada bahwa estrogen membebaskan
simptom atrofik, menimbulkan peningl<atan lacto-bacilli dalam vagina, mencegah infel<si
sa luran kencing yang mudah kambuh lagi, dan bisa mengurangi I<etidakterkontrolan,
frekuensi, dan nokturia keneing. Oalam I<ombinasi dengan agonis alta adrenergik,
oestrogen meningkatkan ketidakterkon-trolan stress [II).
Penyakit Alzheimer
Prevalensi dementia barangkaJi setinggi 50 persen pada usia 85 tahun. Penyakit
Alzheimer berjumlah 5-65 persen kasus. Para wanita lebih umum untuk terjangkit
dibanding laki·lald, deng"n simptom progresif lebih dari satu dekadc sampai meninggal
ketrena pcnyakit yang mudah I<ambuh kembali.
Bcrbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko pcnyakit Alzheimer dapat
dikurangi oleh sepertiga wanita yang mengambil HRT. Oestrogen diketahui punya efek
yang bermanfaat terhadap fungsi otak, tetapi tidak ada penelitian aeak sedikit pun untuk
mendukung data observasi. Hanya saja, masih mung kin kita mengambiJ manfaat dari HRT,
tetapi semoga tidak lama setelah penelitian ini manfaat ini bisa dikuantifikasi.
Pengobatan
Oestrogen merupal<an obat yang efektif dalam menurangi sindroma menopause, hal ini
didukung oleh beberapa penilitian ReT (fb), Pada wanita yang tidak dilakukan
histerektomi progesterone sebagai tambahan harus diberikan paling tidak selama 10 hari
dalam tiap bulan. Pemberian tambahan progesteron ini bertujuan untuk mencegah
terjadlnya hlperplasia dan I<arsinoma endometrium. Terdapdtnya gejala withdrawal
bleeding, pada sebagian wanita menyebabkan ketidaknyamanan, sehingga regimen
estrogen dan progesteron harus diteruskan untuk megurangl' keluhan tersebut. Cara
pemberian HRT dapat secara oral. patches, implant, vaginal ring, gel, dan nasal spray. Cara
pemberian ini penting diketahui sebelum dilakukan HRT oleh karena jika pada saat dosis
inislal tidak efektif, dan kemudian diganti cara penberiannya dig,mti akan meningkatkan
simtom yang ada. Demikian juga jika obat tersebut efektif namun efek sampingnya tidak
disukai, maka cra pemberiannya diganti akan mengurangi efek tersebut.
Sediaan oral merupakan sediaan yang sering digunal<an dan sediaan oral ini memberikan
keuntungan yaitu fleksibel. mempunyai waktu paruh yang pendek, mudah
penggunaannya dan murah. Namun estrogen yang melewati hepar denga dosis tinggi
kan menlngkatkan risiko terjadinya batu empedu, dan risiko tersebut lebih meningkilt
pada keadaan trigliserid yang tinggi. Preparat sekuensil 28 hari yaitu pMuh pertama
dlberikan estrogen dan paruh kedua diberikan progesteron dapat membantu dalan
mengobati paslen-pasien yang mendekati menopouse, yang diberikan sebagai pengatur
siklus.. Komblni tersebut diberikan secara terus-menerus, dan pemberian progestron
setipa hari dapat menbantu wanita pada beberapa tahun setelah menopuse dan tidak
ingin timbul perdarahan vagina. Tidak ada bukti bahwa terdapat peningkatan risiko
karsinoma endometrium pada penggunanar. preparat sekuensial lebih dari 5 tahun (II).
Namun demlkain hrus dipeikirkan untuk mengubah dari prepiHat sekunsial I<e preparat
kombinasi pada penggunaan jangka panjang.
Preparat patches merupakan sediaan yang lebih disukai daripada pada sediailan oral
terutama pada wanita yang tidak menyukai tablet dan tidak mau ada efek samping. Iritasi
pada kulit merupakan penyebab yang sering diJepasnya matrik patch. Implan sangat
membantu pada pengguanan se/ama 6 bulan, dan dapat dikombinasikan dengan
testosteron pada wanita yang memiliki ke/uhan penurunan libido. Implan akan
melepaskan estrogen da/am waktu lebih dari 2 tahun, dan bi/a penggunaannya ter/a/u
sering akan menimbulkan keadaan supra tisiologik.
Banyak sekali penelitian yang menunjukkan HRT meningkatkan risiko terjadinya kanker
payudara. Analaisis terhadap 51 penelitian epidemiologis menunjukkan kumulatif risiko
kanker payudara pada wan ita yang menggunakan HRT mulai pada usia 50 tahun yaitu 2
kasus/IOOO wanita setelah 5 tahun, 6/1000 setelah 10 tahun dan 12/1000 setelah 15
tahun. Rislko tersebut akan menurun bila HRT dlhentikan, tidal< ada penambahan rlslko
setelah 5 tahun, HRT tidak meningkatkan risiko I(ematian, dan beberapa penelitian
menunjukkan HRT dihentikan akan mempengaruhi prognosis.
Trombosis vena
Trombosis vena merupakan perubahan hematologi sel(under akibat menopouse. Pada
tahun 1996 dan 1997 terdapat 5 penelitian epidemiologis yang menunjukkan bahawa
risiko terjadinya trombosis vena pada pengguna HRT sangat keei/' Risiko absolut per
tahun 2/10000 untuk trombosis vena, 0,6/10000 untuk emboli paru dan 2/1000000
untuk kematian. Penggunann 12 bulan pertama berhubungan dengan risiko tertinggi.
Walaupun angka kejadian trombosis vena kecil namun pada pasien denga riwayat
trombosis vena yang dalam harus diperhatikan
Penggunaan
HRT merupakan terapi yClng efektif untuk mengurClngi gejala menopouse dan
kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian akibat osteoporosis. Namun beberapa
penelitian menunjukkan 31 % wanita tidak melanjutkan HRT. Stelah 6 bulan 51% dan 75%
setelah 3 tahun. Alasan pengehentian HRT: 36% krena efek samping. 24% karena merasa
tidak efektif, 18% karena efek samping menjadi lebih buruk dibandingkan tanda
menopouse, 9% karena mersa sgejalanya sudah hiJang, 9% karena masalah perdarahan,
dan 18% karena takut terhadap risiko jangka panjang.
Efek estrogenik adalah: kram pada tungkai, sakit kepala, menjadi bengkak, nyeri pada
puting susu, dan mua!. Efek estrogenik ini dapat dikurangi dengan eara menggunakan
Jika obat-obat tersebut tidak efektif maka diagnosis perlu diuji kembalai dan penilianan
tipe HRT yang diberikan. Jika perdarahn yang menjadi masalah utama, progestogen
dapat diganti dan pada wan ita yang lebih tua, kombinasi dapat diteruskan atau biala ada
menggunakan tibolone
Alternatif pengobatan
Norethisteron 5 mg per hari efektif menhurangi tanda hot flusshes dan berkeringat,
namun berefek keeil pada tanda menopouse yang lain. Medroxyprogesteron asetat dan
megestrol asetat 40 mg per hari efektif dan dapat diberikan pada wanita yang memiliki
kontraindikasi relatif terhadap HRT. Propanolol dan klonidin bisa digunakan pada hot
flushes namun efeknya tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Sediaan estrogen
vagina dapat digunakan sebagai obat vaginitis atripikan namun pemberian yang
berlanjut dapat diabsorbsi sistemik
SERM efektif untuk pencegahan pengeroposan tulang dan mung kin terdapat keuntungan
kardiovaskuler dan dapat menurunkan angka kejadian kanker payudara. Tibolon efektif
untuk mengurangi tanda hot flushes dan berkeringat dan dapat mencegah osteoporosis.
Estrogen natural seperti fitoestrogen yang terdapat pada sereal, polong-polongan dan
sayuran. Wanita yang hidup dl daerah yang mengkonsumsi mal<anan tinggl fitoestrogen
kejadian tanda-atanda menopouse leblh rendah. Obat-obatan yang mengandung
fitoestrogen belum ada yang menunjukkan efel<tifitas pada penelitian. Namun demikian
obat-obatan yang mengan fitoestrogen sudah beredar luas, terutama di USA, namun
keefektifitasannya harus diuji.
REFERENSI
1. Paterson MEL. Menopause .md hormone replacement therapy. In Luestey OM, Baker PN, et <'II; Obstetrics and
Gynaecology. An evidcncc-ba.sed text for MRCOG. 2004, Arnold Publisher, London.
Definisi
Hirsutisisme dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan rambut terminal pada tubuh
seorang wanita dengan po/a dan urutan yang sarna seperti yang terjadi pada
perkembangan pria paska pubertas.
insidensi
Sejauh mana seorang wan ita akan melaporkan atau mengeluhkan Hirsutisisme
bergantung pada norma ku/tural maupun rasial. Perkiraan insidensi Hirsutisisme pada
wanita mud a, dengan memperhatikan norma rasial dan sosia/, sekitar 9 persen.
Hirsutisisme hendaknya tidak dikacaukan dengan hypertrichosis, yang menunjukkan
pertumbuhan rambut yang tidak bergantung androgen.
Patogenesis
Reseptor androgen papilla dermal berinteraksi dengan dihydrotestosterone, metabolit
aktif testosterone. Interaksi ini menghasilkan pertambahan ukuran rambut dan jenis
rambut yang dihasilkan eleh folikeJ. Hirsutisisme dikaitkan dengan pOlycystic ovarian
syndrome (PCeS), dengan sekitar 60-70 persen wanita dengan pces yang menga/ami
hirsute.
Ciri-ciri Klinis
Persepsi pasien tentang tingkat Hirsutisisme berbeda dengan yang diperiksa secara klinis.
Untuk mempertahankan konsistensi diagnostik dan memantau kensistensi terapi penting
di/akukan suatu sis tern pemeringkatan yang standar (grading). Yang menilai J I wi/ayah
tubuh dari skala J hingga 4 menurut tingkat pertumbuhan rambut terminal. Ni/ai tersebut
kemudian dUum/ah,
Penghilangan Rambut
Metode Fisik
Bleaching. Hydrogen peroxide dapat digunakan untuk penyamaran pilda rambut
faciill yang terpigmentasi. Namun demikian, kadang-kadang, hal ini mengarah pada
diskolorasi kulit.
Pencukuran. Tindakan ini tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan rambut. Efek
sampingnya meliputi iritasi dan pseudofol/iculitis.
Elektrolisis. Hal ini merupakan cara efektif untuk menghilangkan rambut secara
permanen. Meski demikian prosedurnya sangat bergantung pada operator. Demikiiln
pula, laser dapat digunakan untuk memproduksi cahaya monochromic. yang secara
khusus terserilp dalam kulit dan menghasilkan energi termal untuk menghasilkan
folikel rambut.
Pengarungan berat badan. Hirsutisisme lebih lazim pada wanita gemuk dengan peos
dibandingkan pada wanita kurus. Sehingga, kurangnya berat badi'm tubuh pada
wanita obesitas dapat mengakibatkan berkurimgnya rambut tubuh.
Metode Farmakologi
Pil kontrasepsi oral. l(ontrasepsi oral menekan aktivitas varian androgen dan
menambah sex hormone-binding globulin (SHBG) sehingga menurun/<an testosteron
bebas. Kontrascpsi oral yang mengandung norethisterone atau levonorgestrel
hendaknya dihindari, karena berpotensi memperburuk hirsutisisme. Pil kontrasepsi
dan anti-androgen cyproterone acetate' adalah /(ombinasi yang lebih efel<tif.
(Dianette')
Cyproterone acetate. Cyproterone acetate rnengurangi hirsutisisme dengan dua eara.
Sebagai antagonis reseptor ilndrogen kulit dan bersifat progestogenil< sehingga
mampu menghambat sekresi 'gonadotrophin yang berlanjut pada peningkatan
ovarian androgen. Etek tersebut diperoleh dari penggunaan kontrasepsi efektif
(biasanya pil kontrasepsi oral) seperti yang terlihat dari paparan harmon ini selama
trimester pertama I<ehamilan sehingga menyebabkan feminisasi fetus laki-/aki. Etek
samping potensialnya adalah hilangnya libido, berat badan turun, mudah lelah.
payudara menjadi lembek, rasa tidak en,,/( pada gastrointestinal. dan sakit kepala.
Spironolactone. Spironolactone merupakan antagonis aldosterone oral dengan sifat
cmti-androgenic. Dengan peningkatan metabolic clearance dan pengurangan aktivitas
S-alpha-reductase kutan. terjadi pengurangan terhadap bioavai/ability testosterone.
Hal ini terjadi dengan mengkomplekskan reseptor androgen intrasel, yang
membentuk reseptor biologis tidak aktif. Kilfena efek diuretik potassium-sparing.
tingkat potasium serum hendaknYil dipantau pada awal perawatan.
Flutamide. Flutamide merupakan anti androgen non-steroidal yang murni.
Hepatotoxicitas merupakan efek samping yang tidak sering tetapi serius, sehingga tes
fungsi lever hendaknya dilakukan selama beberapa Minggu pertama. Tes ini hanya
dilakukan pada kasus yang parah. di bawah pengawasan pusat tersier.
Finasteride. Ini merupakan inhibitor 5-alpha-reductase, yang merupakan akibat mode
aksi secara signifikan tetragenik (potensi feminisasi janin laki-Iakij. sehingga
REFERENSI
1. McVieigh Enda. H/nutisme and Virilism. In Lucsley DM, Bilker PN. et al; Obstetrics and Gynaccology, An evidence
based text for MRCOG. 2004. Arnold Publisher. London.
190
PPDS I Ob;tWir""""G~2015
48.INFERTILITAS
Penilaian awal
Penilaian awal infertilitas pada wanita harus meliputi
anamnesis dan pemeriksaan tisik yang lengkap (dapat dilihat dari tabel I). Tujuan dari
penilaian ini adalah untuk menilai adanya penyal<it sistemil<, kelainan genetik dan
kelainan endokrinologi. Riwayat penyakit l<eluClrga perlu ditanyakan untul< meneari
kemungkinan penyakit genetil< Imisalnya sindrom ovarium pOlikistik). Pemeriksaan fisik
meliputi indeks massa tubuh, distribusi lemak tubuh, payudaril, galaktorea, hirsutisme,
virilisasi, kelainan neurologi (gangguan penciuman dan lapang pandang) serta
pemeriksaan daerah pelvik. Pemeriksaan pelvil< harus memperhatikan kelainan yang ada
di daerah genitalia eksterna, vagina, serviks, uterus dan daerah rektovagina.
Tabel. 48.1. Penilaian awal infertili!.as pada wanita
~ttui,al h:';I\)I)" <Uh.1 Abncntl~j hair 1=-1'I,Iwlh. \\,tl~hl jt3:n, brr..,\;t
n'\icw u(,y~!ttll'i disdw~r.:. h~"P'JlfI)'i~id .;r h)'!:-f:1hyroid
JiY01pt(lr:"lS.hi.,:oC)' of Il;ilet.'I':~ nl~Uilu~ ur
cum.'I\II)'nlplom,.. curnm :nedi("lti rJ'(")!-I!... rHi
:wid ff1~dic"li\)M, '.U': ;1'\:l.t\o",. :t\!crt:i,'~
Sur,tirol! nitlr.'1'Y r ... 11I'11,hm :ut\l ~Ufl!~ry, C(;I\'PiI.: pCl"~r.Jnl!y.
ar~ir.d~lnm)· ()r I,)lh,'r p.!h-Io,' ~U!"'~17r)'
PPDSI Obmtn.~G~i015
191
Tabel 48.2. Penilaian awal infertilitas pada pria
Medical hisll.'J}' amI Ocrml h..ltll and mctile (unclion, oem:e oi
re\,it!w of syslem~ vlriliz,'uil)n. hislt)f1/ nf ~\:x\]nH\' tr~mn;i'l('c
disC:Jsc~, ICslicular' inr'c-~I!\'n,'i (~~~I\ ~ nIUmpS), .
genital Itlluma. ur undc;.:.nll~<1I<;lidc.
pl.lbtn:l[ development, hi.';'II.IIj' or C'.\p;i~ urI! h')
high temptlolturc5 (hoI bath~.consrnlt.:t:')1\
work site~) 0: rt\.-t'nr tt'\'C'!",currenl mC"cic:'11
problcnt~. \':u:cinatiC"ts. o:.Jltrgi\:i, ;tnd u~c of
certain rTt~ril)lion ;lnlihypcnen~j\'c! (k,
':ZlkiurT'! cnarmc1 b\('II.'kcr~l
S:.Jj~i~'J! h,~fl')~' Hiswry oC hcmid, Ic)li;.:ubJ'.llr '·:Jric.:-..~!~
surgery
S~\L.:.:1 hls[ory Previousl," talb;r;d,ll prtg:l.)n~·:, ;li)lory 0:'
C~)ntt'Jccption use Itno infcnj;il~' :n;i pn:violJ:'
rel:'iiun~h:t>, and t'l:;C ~ssh'(' u~c of illr.nO:1I!'
Sr..ci,li hi'w'ry (;..;~ of ill..:ohol. [OhilcCO. ~arfdnc, n:c.:re;JtjO:lJ~
JI1lt!~; cXJ)jhur~ ~I' ~hl!molh~rJP>" or r.\{!i:t~lon
~.lil~ily hisiOr)' of :\n~o!s{ry-col.c.eJ
gtl\':'o,,: di')easc5. eg, I.:i'iti;;
gt:nelil; djt..;JSC~ fioro~b. iid:1t cell di~~. TaY,Silchs dilC'ruiC.
.lr.u Ih"Jl.s"cnliJ; (amil)' r.i'10ry 01' moll.: -
infertiJI~Y
Sedangkan untuk penilaian awal infertilltas pada pria dapat dllihat pada tabel 2.
Pemeriksaan pada pria meliputi pertumbuhan rambut. kelainan payudara /ginekomastia
dan sekret), kelainan neurologi /anosmia dan gangguan lapang pandang) dan penilaian
genitalia el<sterna. Penilaian genitalia eksterna pada pria harus meliputi ul<uran dan lokasi
meatus urethra eksternus, testis bilateral dan varii<okel. Perlu pula ditanyakan riwayat
operasi (hernia, orchidopexy, atau torsio testis).
Saar penilaian awal ini merupakan hal yang paling penting karena itu setiap dokter
harus bertemu dan menerangkan dengan jelas pada pasangan suami istri yang ingin
berobat. Melalui pendekatan ini juga dapat diketahui frekuensi dan kualitas hubungan
seksual yang biasa dilakukan dan apakah selama melakukan hubungan seksual pasangan
tersebut memakai obat-obatan /pelumas) yang dapat bersifat toksik bagi sperma.
Keluhan infertilitas merupakan hal sensltlf yang serlngkall menyebabkan pasien
depresi, cemas, marah bahkan dapat menyebabkan perceraian. Walaupun penyebab
infertilitas hanya salah satu dilri pasangan suami istri saja, tetapi dokter harus
menekankan bahwa masalah ini merupakan masalah bersama antara suami dan istri.
Seringka/i penyebab infertilitas merupakan gabungan dari beberapa faktor dalam sistem
reproduksi karena itu penilaian infertilitas harus dilai<ukan secara menyeluruh dan cermat.
Penyebab inferti/it;Js
Penyebab ut<lma infertilitas adalah disfungsi sperma. gangguan ovulasi, dan
kerusakan tuba. Disfungsi sperma (motilitas, morfologi, sUNiva/ dan kemampuan
penetrasi terhadap lendir vagina dan serviks) sering menyebabkan infertilitas dengan
kasus azoospermia terjadi pada 2% kasus.
Wanita dengan gangguan ovulasi akan memiliki keluhan siklus menstruasi yang
tidak teratur, oligomenorea atau amenorea. Sebagian besar kasus oligomenorea dan 30%
kasus amenorea disebabkan oleh sind rom ovarium polikistik,
Uno:(pI3in~d inr.rtilit,' 25
Tc'ul ~xC09d$ I(I)'!', as t5~~ of ,)Jupb:tlJ."o lJ)Jr~ 1I\Jn "n~ ~u~ d (llbf~rtil~!
Pemeriksaan yang harus dilakukan pada kasus infertilitas adalah sebagai berikut:
1. Analisis sperma
Pemeriksaan semen merupakan pemeriksaan pertama yang harus diJakukan pada
pria. Bila hasiJ pemeriksaan menunjukkan jumlah sperma yang sedikil iltau tidak ada
maka pemeriksaan ini harus diulangi 2·3 bulan selanjutnya mengingat siklus
perkembangan sperma yang panjang dan dipengaruhi oleh banyak faklor, antara lain
8ila siklus menstruasi teratur dan infertilitas telah berlang.lUng > 2 tahun maka
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan hormon IFSH. LH. E2 dan progesteron).
Kadar FSH dan LH dianjurkan diperiksa antara hari ke-2 - 5 siklus menstruasi.
Pemeriksaan pentlng lain pada pasien dengan g,mgguan sil<ius adalah TSH dan
prolaktin. Jarang ditemui hiperprolaktinemia bila tidak ada keluhan amenorea.
Gangguan ovulasi pada > 25% wanita infertil ditanoai dengan amenorea,
oligomenorea atau siklus ireguler. Oligomenorea sering disebabkan oleh sindrom
ovarium polikistik dimana 8-10% diantaranya disertai dengan peningl<atan kadar
prolaktin. Diadnosis sindroma ovarium poli/dstik bi/a dijumpai 2 dari 3 tanda di bawah
ini:
Hiperandrogen klinis atau laboratoris (penilaian 17a-hidroksiprogf;!steron dan
dehidroepiandrosteronj
• Oligoovulasi
3. Kerusakan tuba
Setiap kasus infertilitas harus dilaku/<an pemeriksaan patensi kedua tuba fal/opi.
Kurang lebih 20% kasus infertilitas disebabl<an oleh faktor tuba. Bi/a dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik tidak ditemui kelainan pada tuba, disllrankan melakukan
pemeriksaan histerosClIpingografi (HSG). 8i/Cl hasilnya abnormal mal<a lanjutkan
dengan laparoskopi mengingat pada tindakan HSG mungkin terjadi spasme .kornu
yang menghambat patensi tuba. Oklusi tuba diperbaiki melalui tindakan laparoskopi
atau bedah mil<ro II<eberhasiian 15-35%). Infertilitas oleh faktor tuba dianjurkan untuk
mengikuti program invitro fertilization (/VF) (/<eberhasilan 25%). Bila dijumpal
hidrosalping, terlebih dulu IClkukan tindakCln SClIpingektomi menglngat kondisi ini
sangat mempengaruhi I<eberhasilan program IVF.
4. Endometriosis
Endometriosis dijumpai padCl 5-10% kasus infertilitas dengan kemungkinan kehamilan
setiap bulan bagi pasangan yang menderita endometriosis hanya berkisar 2-3%
dibandingkan dengan pasangan normal yang memiliki kemungkinan kehamilan
sampai 20%. Saat ini pengobatan surgikal endometriosis banyak dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan terapi terutama bila endometriosis berada pada stadium
sedang-berat yang sering menyebabkan perlengketan genitalia interna sehingga
dapat menimbulkan inferti/itas.
S. Unexplained infertility
Sebanyak 30% pasangan infertil memiliki hasil pemeriksaan yang normal pada fungsi
ovulasi, sperma dan patensi tuba sehinggil kilsus ini dimilsukkan ke dalilm 9010n 9",n
194
Pf'OS I O~j,dA<vG~,,2015
vnelfplifinea infertility. Salah satu faktor yang memegang kontribusi pada kasus ini
adillilh uliil ibu, terutama bila usia ibu > 37 tahun. Saat ini manajemen awal dari
unexplained infertilityadalah dengan melakukan inseminasi intra uterin sebanyak 3-6
siklus dengan kemungkinan kehClmilan sebesar 9,5% bila dilakukan induksi ovulasi
dengan klomifen sitrat dibandingkan dengan 3,3% bila tanpa induksi ovulasi. Si/a
terapi ini belum berhasil maka pilihan selanjutnya adalah dengan menggunakan
gonadotropin. Langkah-Iangkah pemeriksaan dan manajemen awal kasus infertilitas
dapat dilihat pada tabel4.
'"
PPDS I of>mt>i,a.w.G~~Z015
195
REFERENSI
I. Smith S, Pfeifer AM, Collins JA. Diagnosis and management of female infertility. JAMA. October I. 2003;290)131;1767·
1710
2. Frey KA, Patel KS. Initial evaluation and management of infertility by the primary c>re physician. Mayo Clin Proc.
2004;79/11);1439-1443
3. Cahill OJ, Wardle PG. Management of infertility. SMJ. 2002;325;28·32
4. Fertility assessment and treatment for people with fertility problem,. National Collaborating Centre for Women', and
Children's Heal~~. Cfinic~1 Guideline February 2004.
Metode Lendir Serviks atau iebih dikenal sebagai Metode Ovulasl Blillngs/ MOB
atau metode dua hari mukosa serviks dan Metode SimtomtermClI adCllah yang
paling efektlf. (ara yang kurang efektif misalnya Sistem Kalender Mau Pantang
Berkala dan Metode Suhu Basal yang sudah tidak diajarkan lagi oleh pengajar
KBA. Hal ini disebabkan oleh kegagalan yang cukup tinggi (>20%) dan waktu
pantang yang lebih lama. Lagi pula sudah ada cara lain yang lebih efektlf dan
masa pan tang yang lebih singkat. Di Indonesia. dengan surat dari BKI(BN PUSilt
kepada BKI(8N Provinsi dengan SK 6668/K.S.002/E2/90. tanggal 28 Desember
1990, Metode Ovulasi Billings (MOB) sudah diterima sebagili salah satu Metode
I(B (Mandlri).
2. Prinsip I(erja
Sanggama dihindarl pada masa subur yaitu pada fase sil<lus menstruasi di mana
kemungklnan terjadi /(onsepsijkehamilan.
teratur
metode lain.
Pasangan yang ingin pantang sanggama lebih dari seminggu pada setiap
siklus haid.
S. Teknil<
A. METOOE OVULASI BILLING
Peri/(sa lendir setiap kali ke be/akang dan sebelum tidur. keeuali ada
perasaan sangat basah waktu siang. Lendir mungldn berubah pildil harl
yang sama. Setiap malam sebe/um tidur, tentukan tingkilt yang paling subur
Pantang silnggama untuk paling sedikit satu siklus, sehingga dilpat dikenali
Hindari sanggama pada wilktu haid. Hari-hari ini tidak aman. pada sik/us
Pada hari kering setelah haid. aman untuk bersanggamil selang satu millam
Segera setelah ada lend;r jenis apapun atau perasilan basah muncul, hindari
Tandai hari terakhir dengan lendir jernih. liein dan mulur dengan tanda X.
Inl ada/ah hari puncak; Ini adalah hari ovulasi atau harl paling subur.
Setelah harl puncak, hindari sanggama untuk 3 hari berikut siang dan
malam. Had-hari ini dalah tidak aman IAturan Puncak). Mulai darl pagi harl
Pada siklus yang tidak teratur seperti pasca persalinan atau pra menopause
maka perlu memperhatil<an Pola Dasar Ketidaksuburan dimana ada waktu
1-2 hari subur yang menyelingl diantara hari-harl tidak subur. Bilil pOla dasar
ketidaksuburan ini sudah pulih kembali dan berlangsung minimal 3 hari
berturut·turut tanpa perubahan, maka sanggama bolel1 dilakukan (Aturan
Sabar Menunggu / Wait andSee Rule).
Pakai catatan suhu pada kartu tersebut untuk 10 hari pertama dari siklus
haid untuk menentukan suhu tertinggi dad suhu yang "normal, rendah"
(misalnya catatan suhu harian pada pola tertentu tempa suatu kondisi yang
/uar biasa). Abaikan setiap suhu tinggi yang disebabkan o/eh demam atau
gangguan lain.
Tarik garis padil 0,05 - 0,1 C di atils suhu tertinggi dilf; suhu 10 hilri
Masa tak subur mu/ai pada sore sete/ah hari ketiga berturut·turut suhu
C, PANTANG SANGGAMA
Pan tang sanggama mula; dad awa/ siklus haid sampai sore hari ketiga
berturut·turut setelah suhu berada di atas garis pelindung (cover line/. Masa
pantang pild-aAturan Perubahan Suhu lebih panjang dari pemakaian MOB.
D. METODE SIMTOMTERMAL
Setelah darah haid berhenti, dapat bersanggama pada malam hari pada hari
kering dengan berselang sehari se/ama masa tak subur. Ini ada/ah Aturan
Selang Hari /(ering (Aturan Awa/). Aturan yang sama dengan Metode Lendir
Serviks.
Masa subur mula; ketika ada perasaan basah atau muncu/nya lend;r, Ini
ada/ah Aturan Awal. Aturan yemg sama dengan Metode Lendir Serviks.
8erpantang bersanggama sampai masa subur berakhir,
Pantang bersanggama sampai Hari Puncak dan Aturan Perubahan Suhu
lelah tcrjadi,
Apabila aturan ini tidak mengidentifil<asi hari yang sama sebagai al<hir masa
subur, selalu ikuti aturan yang paling konservatif, yaitu aturan yang
mengidentifikasi masa subur yang paling panjang.
6. /(omp/ikasi
Tidak ada komplikasi akibat metode ini.
Pil
• Suntik
Implan (susuk)
Z. Prinsip Kerja
• Estrogen dapat mencegah kehamilan dengan cara :
.; Mencegah terjadinya ovulasi dengan jalan mencl<an pengeluaran
hormon dari hipofisis (FSH dan LH). Pada pil KB. l<ira-l<ira 98% cara
kerjanya adalah mencegah ovulasi
.; Menghambat implantasi
.; Mempercepat perjalanan ovum dari saluran telur ke rongga rahim
sehingga kemungkinan untuk terjadinya pembuahan diperkecil
.; Menyebabkan terjadinya luteolisis. yaitu proses degenerasi I(orpus
luteum sehingga kehamilan dapat dicegilh
.; Menghambat implantasi
3. Indikasi
4. Kontra Indikasi
Perhatian khusus pada :
.; Tromboemboli
.; Gangguan hati
.; Tumor ginekologik
.; Kehamilan
.; Diabetes
.( Hipertensi
.( Fibroma uterus
5, Teknik
Tergantungjenis kontrasepsi hormonal yilng digunakan.
6. Komplikasi
Efek samping kontrasepsi hormonal:
Kelebihan estrogen:
,f Mual-muntah
.( Edema
,f I<eputihan
.( Depresi
,f Libido berl<urang
.( Alme
.,/ Alopesia
Z. Prinsip KerJa
Menekan ovulasi
Mencegah implantasi
Menyusui eksklusif
5. Teknik
Waktu mulai menggunakan pil kombinasl :
• Setiap saat se/agi hitid, untuk meyakinkan bahwa tidal< ada I<ehamilan
Hari pertama sampai hari ke-7 siklus haid
Boleh menggunakan pada hari ke-8, tetapi perlu menggunakan metode
kontrasepsi yang lain (kondoml mulai hari ke-8 sampai hari ke-14 atau tidak
melakukan hubungan seksual sampai paket pi/ habi.>
Setelah melahirkan :
dengan pil kombinasi, pil dapat segera diberikan tanpa perlu menunggu haid.
6. Komplikasi
• Amenore
• Perdarahan pervClginClm / spotting
• MUClI, pusing. muntah
Efektivitas : sangat efektif (0,1 - 0,4 kehamilan per 100 perempuan) selamCl tahun
pertama penggunaan.
3. Indikasi
Yang boleh menggunakan suntikan kombinasi:
Usia reprodul(si
4. Kontra indikasi
5, Teknik
Suntikan kombinasi diberikan setiap bulan dengan suntikan intramuskular dalam.
Klien diminta datang setiap 4 minggu, Suntikan ulang dapat diberil<an 7 hari lebih
awal, dengan kemungkinan terjadl gangguan perdarahan, Dapat juga diber/kan
setelah 7 hari dari Jadwal yang telaM ditentukan, dengan memastlkan tldak ada
kehamilan. Tidak dibenarkan melakukan hubungan seksual selama 7 hari atau
menggunakan metode kontrasepsi lain untuk 7 hari saja,
Bila suntikan pertama diberil<an setelah hari ke·7 siklus haid, klien tidak boleh
Bila tidal< haid, suntillan pertama dapat diberil<an setiap saat, asalkan dapat
selama 7 hari atau menggunal<an metode kontrasepsi yang lain selama 7 hari.
Pada pasea persalinan b bulan, dimana masih menyusui serta belum haid,
Bila pasca persalinan > 6 bulan, menyusui, serta telah mendapat haid, maka
Pada pasca persalinan < 6 bulan dan menyusui, jangan diberi suntikan
kombinasi.
• Pada pasea persalinan 3 minggu dan tidak menyusui, suntikan kombinasi dapat
diberikan.
Pasea keguguran, sunti/<an kombinasi dapilt segera diberikan atau dalam waktu
7 harl.
Pada Illicn yang sedang menggunakan metode kontrasepsi hormonal yang laIn
dan ingin menggantinYil dengiln kontrasepsi hormonill komblnasl, milka
selamil penggunaan kontrasepsi sebelumnya dilakukan dengan benar, suntlkan
kombinasi dapat segera diberikiln tanpa perlu menunggu haid. Silil ragu·ragu,
lakukan tes kehamilan terlebih dilhulu.
Bila kontrasepsi sebelumnya juga kontrasepsi hormonal, dan klien intin
menggilntinya deng~n suntikan kombinasi, maka suntikan kombinasi tersebut
6. Komplikasi
• Amenore
Perdarahan pervaginam / spotting
.( Mengandung J 50 mg DMPA
./ Suntlkan intramuskular
2. Prlnsip Kerja
Mencegah ovulasi
Menjadikan selaput lendir rahlm tip is dan atroti sehingga mencegah implantasi
Mengentalkan lendir serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi
sperm a
Menghambat transportasi gamet oleh tuba
Usia reproduksi
Nullipara dan yang telah memilild anak
Menghcndaki metode kontrasepsi jangka panjang dengan efektivitas tinggi
Menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang sesuai
Setelah melahirkan dan tidak menyusui
Pasca keguguran
Irifampisin).
4. I<ontra indil<asi
Yi'tng tidak boleh menggunakan kontrasepsl suntikan progestin:
Hamil atau dicurlgal hamil Irlsiko caeat pada Janin 7 per 100.000 I<elahlranl
Perdarahan pervaglnam yimg belum dike~ahui penyebabnya
Tidak dapilt menerima terJadinya gangguan haid, terutama amenore
I<anl<er payudara atau riwayat I<anl<er payudara
5. Teknik
Waktu mulai menggunakan I<ontrasepsi suntikan progestin;
Sctiap 5""t selama siklus haid. untuk meyal<inkan bahwa tidak adi't kehi'tmilan
Mulili hari pertama sampai h"d l<e-7 sil<lu5 haid
DMPA dlbcril<iln setlap 3 bull"" dengan eara disuntik intramuskulM dillam dl
dilerah bol(ong. Apabila suntikan terlalu dangkal. penyerapan I<ontrasepsl
sumikan akan lambat dan tidal< bekerja segera dan kurang efel<tif. Sintil<an
diberikan sctiap 90 hari.
Noristerat untuk 3 injeksi berikutnya diberikiln setiap 8 minggu. Mulai dengan
injeksi kelimi't diberikan setiap 12 minggu.
Bersihkan I<ulit yang al<an disuntik dengan kapas alkohol yang dibasi'thi oleh
etil / isopropil al/<ohol 60·90%. Biarkan kulit kering sebelum disuntik. Setelah
kulit kering. baru disuntil<.
Kocok dengan baik, hindarl<an terjadinya gelembung-gelembung udara.
I<ontrasepsi suntikan tidak perlu didinginkan. Bila terdapat endapan putih pi'tda
dasar ampul, upayi'tkan menghilangkannya dengan mengh,lngatkannya.
6. I<omplikasi
Amenore
Perdarahiln pervaginam bercak/ spotting
Berat badan meningkat/ menurun
2. Prinsip Kerja
• Menekan sekresi gonadotropin dan sintesis steroid seks di ovarium (tidak begitu
kuat)
• Endometrium mengalami transformasi lebih awal sehingga implantasllebih
sulit.
• Mengentall<an lendir serviks sehingga menghambat penetrasi sperma
• Mengubah moti/itas tuba sehingga transportasi sperma te!.9anggu.
Efektlvltas ; 98,5%
3. Indikasi
• Usia reproduksi
• Telah memiliki anak atau yang belum memiliki anak
• Menginginkan suatu metode I<ontrasepsi yang sang at efektif selama periode
menyusui.
• Pasea persalinan dan tldak menyusul
• Pasca keguguran
• Perokek segala usia
• Mempunyai tekanan darah tinggi (selama < 180/110 mmHg) atau dengeln
masalah gangguan pembekuan darah
• Tidak belah menggunakan estrogen atau lebih sengan tidak meng9unakan
estrogen.
4. Kontra indikasi
Yang tidak boleh menggunakan minipi! :
Hamil atau diduga hamil
Perdarahan pervaginam yang belumjelas penyebabnya
Tidak dap<lt mcnerima terjadinya gang9uan haid
Menggunakan obat tuberkulosis (ritampisln) atau obat epilepsi (fenitoln dan
barbiturat)
• Mioma uteri
• Riwayat stroke
5. Teknik
6. Komplikasi
• Amenore
KONTMSEPSI PARURAI
B. Medik
o I'il kombinasi dosis tinggl (Microgynon 50, Ovrlll, Neogynon, Nordiol,
Eugynon)
Dosis: 2x2 tablet
Waktu pemberian: dalam waktu 3 hari pascasanggama, dosis kedua 12 jam
kemudian
o Pi! kombinasi dosis rendah IMicrogynon 30, Mikrodiol, Nordettel
Oosis: 2x4 tablet
Premarin: 10 mg/dosis
Progynova: 10 mg/dosis
o Mifepristone (RU·486)
Oosis: 1x600mg
Manfaat
Keterbatasan
Pil kombin~si hanya efektif jil(a digunal<an dalam 72 jam scsudah hubungan
seksuaJ tanpa perlindungan
Pi! kombinasi dapilt menyebabkan nausea, muntah, atau n}'eri payudClra
AKOR hanya efektlf jll<a dipas,mg dalam 7 hari sesudah hubungan seksual
Pemasangan AKOR memerlul<an tenaga terlatih dan sebail<nya tidal<
digunakan pada 1<lien yang terpapar dengan risil<o IMS
2. Prinsip Kerja
Prinsip kerja kontrasepsi dilrurat Silma dengan prinsip kerja kontrasepsi
hormonal.
3. Indikasi
5. Teknik
6. I<omplikasi
I. Mual, muntah. Jika muntah terjadi dalam 2 jam sesudah penggunaan pil
pertama atau kedua, dosls ulangan perlu dlberlka"
2. f'erdarahan/bereak; sekitar S% klien dengan kontrasepsl oral komblni'tsl
menga/aml bereal(·berea/<. Sekitar 50% mendapat haid pada waktunya
bahl<an lebih awal.
Norp/ant
Implanon
2. Prlnsip /<erja
• Mengentalkan lendir servll<s
Mengganggu proses pembentukan endometrium sehlngga sulit terjadl
imp/antasi
Menghambat transportasi sperrna
Menekan ovulasi
Usia reproduksi
PPDS I o~a-.G~"Z015 Z 11
• Tekan<ln d<lr<lh < 180/110 mmHg dengan masa/ah pembekuan darah <ltau
anemia bulan sabit /sickle cell/.
• Tidak boleh menggunakan kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen
• Sering lupa menggunakan pi/ kontrasepsi
• Mioma uteri
• Gangguan toler ansi glukosa
5. Teknik
Waktu mulai menggunal<an implan :
• Setiap saat selama siklus haid hari ke-2 sampai hari ke-7. Tidak diperlukan
kontrasepsi tambahan.
• Insersi dapat dilakukan setiap saat. Bi/a insersi setelah hari ke-7 siklus haid,
jangan melakukan hubungan seksual atau menggunakan metode kontrasepsi
lain untuk 7 haTi saja.
• Bila tidak haid, insersi dapat dilakukan setiap sitat dengan memastikan terlebih
dahulu tidak ada kehamilan. Jangan me/akukan hubungan seksual atau
gunkan metode kontrasepsilain untuk 7 hari saja
• Si/a menyusui antara 6 minggu sampal 6 bulan pasca persalinan, inser~i. dapat
di/akukan setlap saat. Sila menyusui penuh, tidak periu memakal metode
kontrasepsllaln.
• Si/a setelah 6 minggu pasca persalinan dan telah mendapat haid, insersi dapat
dilakukan setiap saat, tetapijangan meiakukan hubungan sei<suai selama 7 hari
atau menggunakan metode kontrasepsi lain untuk 7 hari saja.
• Pasca keguguran, impian dapat segera diinsersikan.
6. Komplikasi
• Amenore
• Perdarahiln bercilkj spotting
Ekspuisi
2. Prinsip Kerja
AKDR akan berada didalam uterus yang bekerja terutama mencegah terjadinya
pembuahan (fertilisasi) dengan mencegah bersatunya ovum dengan sperma.
mengurangijumlah sperma yang meletlui tuba fallopii dan menginill<tifkan sperma.
3. Indikasi
• Alat pencegilh kehilmilan (kontrasepsi)
Perokok
Pasca keguguran atau kegagalan I(ehamilan apabila tidal( terlihat adanya
infeksi
Sedang memakai antibiotika atau antikejang
Gemuk ataupun kurus
Sedang menyusui
Pendcrita diabetes
Malaria
Penyakit tiroid
Epilepsi
4. I<ontra indikasi
diagnosisnya)
Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau
abortus septlk
Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinal< rahlm yMg dilPilt
5. Teknik
Waktu AI{DR dipasang :
SeUap waktu selama sll<lus haid
Sesudah melahirl<an, dalam wal<tu 48 Jam pertClmCl pasea persalinan, 6·8
minggu, ataupun lebih sesudah melahiri<Cln
Segera sesudah induksi haid, pasca l<egugurCln spontan, iltau I<eguguran
buatan, dengan syarat tidak terdilpat bukti·bukti adanya infeksi.
6. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi :
Nyeri
Ekspulsi
Kehamilan
Komplikasi lain:
Infeksi pelvik
Kerugian:
• Tidak meneegah IMS termasuk HIV/AIDS
• Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang
sering berganti pasangan
• Penyakit Radang Panggul terjadl sesudah perempuan dengan IMS memakai
AKDR. PRP dapat memleu infertilitas.
Prosedur medis. termasuk pemeriksaan pelvil< diperlukan dalam
pemasangan AKDR. Seringkali perempuan takut selama pemasangim.
Sedikit nyeri dan pcrdarahan (spotting/ terjadi segera setelah pemasangan
AI<DR. Biasanya menghilang dalam 1·2 hari.
Klien tidak dapat melepas AKDR oleh dirinya sendiri. Petugas i<esehatan
terlatih yang ilarus melepaskan AKDR.
• Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui {sering terjadi apabila
AI(DR dipasang segera sesudah melahirkanJ
• Tldak mencegah terJadinya kehamilan ektopik karena fungsi AI(OR untul,
mencegah kehamllan normal
• Perempuan harus memerlksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu.
Untuk melakukan ini perempuan harus memasukkan jarinya ke dalam
vagina, sebaglan perempuan tidal< mau melai<ukan in/.
Laparoskopi
2. Prinsip Kerja
Mekilnisme i<erja : dengan mengoldusi tuba fallopii (mengikat dan mcmotong
atau memasang cinein), lehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum,
3. Indikasi
Yang dapat menjalani Tubcktomi :
Usia> 26 tahun
Paritas> Z
4. Kontra indikasi
Yang sebaiknya tidak menjalani tubektomi :
Hamil (sudah terdeteksi Mau dicurigaij
Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus dievaluasij
Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (hingga masalah itu disembuhkan
atau dikontroll
• Tidak boleh menjalani proses pembedahan
Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan
Belum memberikan persetujuan tertulis
5. TekniJ<
Kapan dilakukan :
Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional
klien tersebut tidak hamil
Hari ke-6 hingga 11e-13 dari siklus menstruasi /fase proliferasil
Pasca persalinan
Minilap : di dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau T2
minggu
laparoskopi: tidak tepat untuk klien-klien pasca persalinan
Pasca keguguran
Triwulan pertama : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bullti
infeksi pelvik (minilap atau laparoskopi)
Triwulan kedua : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti
infelui pelvik /minilap sajal
6. Komplikasi
Infcksi lul<a
DemClm pasca operasi />38 C)
lukCl pada kandung kemih. intestinal Uarang terjadij
Hematoma (subkutClnl
Emboli udClra yang diClkibatkan oleh laparoskopi /sangat jarang terjadil
Rasa sakit pada lokas; pembedahan
Perdarahan superfisial (tepi-tepi kulit atau subkutanj
DEFINISI:
Mioma uteri, dengan nama lain leiomioma, fibroid ataupun fibromioma, adalah suatu
tumor jinak dari otot p%s dinding uterus, miometrium.
Mioma uteri berdasarkan /okasi pertumbuhannya pada /apisan dinding uterus dibagi
m~~adi: . .. .
Sub mukosa, tumbuh langsung dibawah mukosa uterus lendometrium) kearah
kavum uteri.
Intramural adalah miom yang tumbuh membesar didalam lapisan miometrium itu
sendiri.
Subserosa adalah miom yang tumbuh langsung dibawah lapisan serosa uterus
(perimetrium) dan tumbuh sebagian besar kearah kavum abdomen.
Mioma uteri dapat dikenal juga menurut lokasi pertumbuhannya dibagian mana dari
uterus berdasarkan anatominya, misalnya diservik, ligamentum latum, atau miom
bertangka/ ( miom submukosa).
Mioma uteri sering kali terdapat dibeberapa tempat pada satu uterus (multiple), jarang
yang tunggal.
EPJOEMIOLOGJ.
Mioma uteri terdapat pada kurang lebih 20-40% wanita umur reproduksi. Mioma
didapatkan pada 1,4-8,6 % ibu hamil, dan mioma merupakan penyebab pada 2-3 %
PATOFISIOLOGJ.
Mioma uteri sampai saat ini belum diketahui sebabnya. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mioma uteri diawali dari satu sel neoplasia didalam otot polos miomctrium yang
terus tumbuh. Angka kejadiannya meningkat diantara saudara satu keluarga dengan
penderita. Miama uteri lebih banyak diJumpai pada wanita dengan obesltas.
Pertumbuhan miom dipengaruhi oleh steroid seks, estrogen progesterone dan beberapa
faktor perttumbuhan. Pada kehamilan miom akan bertambah besar, dan keluhannya akan
meningkat, tetapi pembesaran ini terutama hanya terJadi pada kehamilan trimester
pertama. rada beberapa miom terutama yang berukuran besar ada yang mengecll pada
akhir kehamilan. Pada masa kehamilan, miom jarang mengalami perubahan degenerasi.
DIAGNOSIS.
Sebagian besar miom tidak memberikan gejala klinik, selain adanya pembesaran uterus.
Diagnosis mioma pada umumnya sudah mengarah dari gejala klinik yang adil, dan
pemeriksaan ginekologi. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu untuk
menentukan jenis miom yang ada, submukosa, intramural, atau subserosa. Diagnosis
bandIng mloma uteri antara lain kehamilan, adenomiosis, massa ovarium dan neoplasia
colo~ectal.
PENATALAKSANAAN.
A. Konservatif/ekspektatif.
B. Medikamentosa.
C. Pembedahan.
A. Konservatif / EI<spektatif.
Pada wanita dengan mioma uteri yang besarnya Sama atau I<urang dari 12 minggu
uterus hamil dan tanpa gejala klinil< sebaiknya diambil tindakan ekpektatif saja.
B. Medikamentosa.
Mioma uteri mesllipun belum jelas penyebabnya tapi hampir semua sepakat bahwa
pertumbuhan mioma uteri ini sangat dipengaruhi steroid seks. Dasar Inllah yang
dipakai untuk memberikan obat ooatan yang dapat menellan steroid seilS terutama
estrogen, agar dapat menekan perdarahan, keluhan yang lain atau pertumbuhan
miom.
I. Pil kontrasepsi kombinasi, progestin, dan androgen Igestrinon, danilzolj padil
beberapa penelitian menunjukkan hasi! yang tidak memuaskan, dan saat ini tidak
dianjurkan lagi. Mifepristone pada pemakaian 3 bulan memang dapat menekan
reseptor estrogen dan progesterone dengan efek samping yang minimal tapi
pemberianjangf<a panjang belum terbukti.
2. Gonadotropin Releasing Hormon agonist rGnRHa), dapat pula mE:!nekan produksi
estrogen , pertumbuhan miom dan menghentikan perdarahan. Volume uterus
dapat ditekan sampai 40% dan volume miom sampai 35 %, demikian juga gejala
I<linik yang lain seperti keluhan penekanan, nyeri dan perdarahan juga membaik.
Tetapi bila pemberiannya dihentikan ukuran miom akan cepat kembali keukuran
semula atau lebih besar lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemberian
GnRHa ini hanyalah bersifat sementara, bermanfaat selama pemberian saja.
GnRHa diberikan pada miom hanya sementara , sebelum dilakukan pengobatan
yang sebenarnya dengan pembedahan.
Pada wanita pramenopause dengan miom karena alasan tertentu tidak mung kin
untuk dilakukan pembedahan, dapat diberiKan GnRHa dil/am jangKa waKru
C. Pembedahan.
Selain ukuran besarnya , Indikasi pembedahan untuk mioma uteri antara lain:
PPDSIO~v~G~20J5 220
I. Pembedahan yang ditunda sementara karena alasan tertentu misalnya untuk
memperbaiki anemianya.
2. Pembedahan lewat vagina, agar mlom yang besar mengecil terlebih dahulu.
3. Pembedahan dengan histeroskopi, agar endometrium tipis dan ukuran miom
lebih mengecil.
Pemberian GnRHa pra pembedahan dengan tujuan mengurangi jumlah
perdarahan, dan memudahkan pembedahan miom lewat abdomen ternyata
tidak terbukti.
Terdapat beberapa teknik baru yang bertujuan mengecilkan miom untuk menggantikan
miomektomi. Tujuan ini dapat dicapai dengan miolisis, koagulasi, ataupun emboli arteria
uterina, dengan teknik ini pelayanan darah kemiom dapat dihilangkan / dikurangi. Pada
wanita miom dengan keluhan utama jumlah darah haid yang berlebihan , dan karena
alasan tertentu tidak mungkin untuk dilakukan histerektomi, maka hal ini dapat diatasi
dengan melakukan ablasia endometrium. Tetapi teknik baru ini tidak dianjurkan untuk
kasus infertilitas.
PROGNOSIS.
Angka kehamllan pasea miomektoml balk dengan teknik histeroskopi, laparoskopl
maupun laparatomi mempunyai hasil yang kurang lebih Silma berkisar 40·50%, 75%
diantaranya terjadi dalam tahun pertama pasea miomektoml, Miomektomi dapclt
menurunkan I<eluhan sampai 80%. Pada kasus abortus beru/ang, miomektomi dapat
menekan abortus dari 41 % menjadi 19 %, tetapi penelitian ini didnggap I<urang adekwat
karena hanya penelitian retrospektif. Analisa life table selama 10 tahun mendapatkan
angka kekambuhan pasca miomektomi, sebesar 27 % terutama bila dila/wkan
pengambilan miom pada banyak tempat {multiple}.{ASRM 2006}
REFERENSI
ASRM, Myomas and reproductive function, Fe/til Steril. 2006, 86 SuppJ. 4. 5 194·199.
Hillard Paula J Adams. Benign Diseases of the Female Reproductive Tract: Symptoms and
Sign. In Berek Jonathan S. Novak's Gynecology. Ed. XIVth. Williams & Wilkins
Philadelphia 2007. P.431·504.
Perry (,Paul, Uterine Leiomyomas. In Howard Fred M, Pelvic pain Diagnosis &
Management. Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia 2000.p.151·154.
OEFINISI.
Adenomioma, adalah suatu nodul . be'rbatas jelas yang berisi ektopik endometrium
leiomioma, adenomioma tampak lebih gelap dengan konsistensi yang tidak ter/a/u keras.
Donnez et al. menggambarkan adanya nodul fibrotic adenomiosis, yang masuk /(eda/am
EPIDEMIOLOGI,
Angka I<ejadian adenomiosis mempunyai rtntang yang lebar, 5·70 % tergantung pada
80% adenomiosis dUumpai pada umur wanita 40·50 tahun, jarang terjadi pada umur
muda, hanya seldtar 17% terjadi pada umur dibawah 30 thun. Pada pasca menopause
adenomiosis akan menga/ami atrofi, sehingga hanYil dijumpai pada sekitar 10% pada
80·90% adenomiosis terjadi pada multipara, hanya sekitar 5% terjadi pada wanita dengan
intertilitas.
60·80% adenomiosis dijumpai bersama dengan I<eadaan patologi lain dari genitalia
PATOFISIOLOGI.
interface (EMI) mempunyai fungsi dan struktur yang aneh. Kelenjar endometrium
I<etidak beradaan lapisan submukosa ini menyebabl<an lapisan miometrium akan menjadi
lebih mudah/rawan untuk bisa ditembus oleh kelenjar dan stroma endometrium. Kelainan
pada daerah perbatasan ini memudahkan masuknya jClringan baik kelenjar maupun
karena secara langsung adanya faktor genetik, atau secara tidal< langsung, karena adanya
gangguan respon immune, keadaan hormonal misalnya pada kehamilan, atau karen a
adanya trauma yang merusak EMI, diil<uti oleh adanya real<si hiperplasia lapisan
endometrium basal dan penetrasi masuk kedalam miometrium. Teori ini didukung adanya
kenyataan bClhwCl adenomiosis sering dUumpai pada wanita multipara atau dengan
dan progesterone yang tinggi, atClu adanya gangguan respon immune lokal. Tetapi dari
hasil suatu peneJitian menunjukkan bahwa, seksio caesarea bukan merupakan faktor
resiko, terjadinya adenomiosis. Pada satu penelitian dari 485 kasus pasca seksio caesarea
berdasarkan kenyataan bahwa endometriosis hanya dijumpai pada 6·20 % dari wanita
adenomiosis.
A.Gejala l<linil<.
35 % adenomiosis tidak menimbulkan keluhan klinik (asimptomatik). 40·50 %
memberikan keiuhan menorrhagia. 20% metrorrhagia. dan 15·30 % nyeri haid. Meskipun
kebanyakan adenomiosis dijumpai pada multipara tetapi dapat pula ditemukan pada
pasangan dengan infertilitas dan pada abortus dini. Diagnosis adenomiosis dicurigai pada
wanita dengan pembesaran uterus yang merata. tidak lebih dari uterus 14 minggu
I<ehamilan. lunak, tumbuh pada dinding depan atau dlndlng belakang uterus lIebih sering
pada dinding belakang). dengan perdarahan uterus abnormal. dengan atau tanpa nyeri
panggul. nyerl haid. I'emerlksaan Inl menJadl lebih Jelas bila dllakui<an pada waktu
menjelang atClu saM haid. Secara klinls adenomlosls harus dib~dakan dengan leiomioma
murn; atau leiomioma kombinasi dengan adenomiosis.
Diagnosis adenomiosis sangat sulit ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik. i<arena
sangat tidak spesifik. Pada suatu penelitian menunjukkan bahwa diagnosis pra
pembedahan secara klinis. ternyata pasca histerektomi hanya 48% yang benar.
B.Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan serum cancer antigen 125 (CA·125). histerosalpingografi (HSG). dan trans
abdominal ultrasonografi untuk membantu menegakkan diagnosis adenomiosis tidak
banyak mempunyai arti.
Transvaginalsonografi (TVS),
TVS merupakan pemeriluaan penunjang awaJ yang mudah. murah, aman dan sangat
berar!I untuk membantu menegakkan diagnosis adenomiosis pra pembedahan,
Adenomlosls dengan TVS tampak adanya pembesaran uterus. yang aSimetri. tanpa
adanya leiomioma • gambaran ini menunjukkan adanya diffuse adenomyosis. Pada lapisan
miometrium tampal< daerah dengan echogenitas yang heterogen. terdapat daerah
hipoechoic dengan batas yang tidakjelas. kadang tampak adanya kista miometrum kecil.
kadangjuga tidak, Jenis lain dari adenomiosis. discrete adenomyomas pada TVS memberi
gambaran mirip leiomioma tetapi dengan batas yang tidak jelas. Pemeriksaan TVS untuk
membantu menegakkan diagnosis adenomiosis mempunyai sensitivitas 76-87%.dengan
spesifisitas 71-99%. Gambaran adenomiosis yang didapat dari TVS ini mirip sekali dengan
leiomioma. karsinoma endometrium. hipertrofi miometrium. atau kalsifikasi pembuluh
darah.
A.Medikamentosa.
Pada dasarnya semua obat yang lazim dipakai untuk endometriosis dapat juga dipakai
untuk adenomiosis, tetapi dengan hasil yang kurang memuaskan. Gonadotropin
releasing hormone agonist fGnRHaj dapat digunakan selama beberapa minggu sebelum
pembedahan I<onservatif, kemudian dilanjutkan dengan induksi ovulasi atau in vitro
fertilisasi, pada pasangan yang masih menginginkan mempunyai keturunan. Pada kasus
adenomiosis dengan keluhan utama perdarahan haid yang berlebihan dan nyeri haid,
dapat dicoba dengan pemasangan levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUSj, suatu
intrauterine device !lUDj yang mengandung hormone progestin, levonorgestrel (LNGj.
Pemberian preparat progestin secara lokal, mempunyai dampak yang kuat lol:al
diuterus/endometrium, tetapi mempunyai dampak sistemik yang sangat minimal, Pada
satu penelitian 23 kasus , dari 25 kasus adenomiosis dengan keluhan menorrhagia dan
nyeri haid, yang diberi LNG-IUS kelLlhannya membaik, tanpa tambahan pengobatan
yang lain.fFraser 2006j
B.Pembedahan.
Sebenarnya penatalaksanaan utama dari adenomiosis adalah histerektomi, baik dengan
total abdominal histerektomi, supra vaginal histerektomi, vaginal histerektomi atau
histerektomi dengan laparoskopi. Tetapi pada kasus yang masih ingin mempertahankan
uterusnya karena alasan masih menginginkan keturunan atau karena alasan lain, maka
perlu dipikirl<an untuk dilakukan pembedahan konservatif. pengangkiltan
adenomiosisnya saja. 8edah I<onservatif pada kasus adenomiosis ini dapat dikerjakan
dengan:
Laparatomi, reseksijpengangl<atan jaringan adenomiosis lebih sulit i<arena
adenomiosis tidal< mempunyai batas yangjelas seperti leiomioma. Malahan kadang
masuk sampai kedalam secara infiltrasi mendekati struktur yang sulit seperti
pembuluh darah besar dan sebagainya,
Ablasia endometrium dengan histeroskopi pada kasus adenomiosis dangkal
dengan keluhan utama perdarahan.
Eksisi adenomiosis dengan laparoskopi.
Elektrokoagulasi miometrium dengan laparoskopi untuk
menghentikan/mengurangi pelayanan peredaran darah kedalam jaringan
adeniosis.
Uterine artery embolization IUAEj memberil<an hasil yang baik pada kasus
leiomima, diharapkan memberikan hasil yang baik pula untuk adenomiosis, tetapi
hal ini masih memerlukan penelitian lebihjauh, terlebih dahulu.
PROGNOSIS.
Adenomiosis sebagian besar f80%j didapatkan pada multipara dengan umur 40-50 %
bila adenomiosis didapatkan pada wanita muda dan belum mempunyai keturunan, maka
masalahnya akan menjadi komplek dan sulit untuk dipecahkan, diperlukan pertimbangan
Carter James E. Adenomyosis. In HOWMd Fred M. Perry C p~u'. Carter JameJ E" EJ -Minilwi Ahmed M, Pelvic Pam Diagnosis
& Management. LIppincott William, & Wilkin,. Philadelphia 2000.p.B6·92.
Frase Ian S.• Tse Rose CY, and Goswami Anu. An Overview of adenomyosis and Its surgicill manilgemcnt. In Sutton
Christopher, Jones Kcvj~. Ad~mson G.Davld, Modern M~nagement 01 EndometrIosis. Ed.1 st, Tilylor & Frami$, LOndon
2006.p.l I 7·329.
Rapkin Andrea J.,Howe Candace N. Pelvic Pain and Dysmenorrhea. In Berek Jonathiln S. Berek & Novak's Gynecology. Ed.
XIV Ih lippincott Wmiam, &Wilkin' Philadelphia 2007.p.SOS·S40. .
PPDS I O&,totrv~G~20J5 ns
52. lESI PRA·KANKER SERVIKS
DEFINISI:
Lesl pra kanker serviks adalah seluruh lesl pada serviks yang memiliki potensi untuk
menjadi ganas (kankerl
GEJALA KLINIS
92% tanpa gejala klinis
KRITERIA DIAGNOSIS
Secara sitologl :
ASCUS adalah sel sl(Uamosa abnormal yang belum memenuhi I(riteria neoplasia
LGSIL adalah suatu kelainan abnormal sel skuamosa kriteria ringan yaitu inti sel
membesar > 4·6x inti normal, N/C rasio meningkat, kromatin kasar (hiperkromatin)
membran inti ireguler
HGSIL adalah suatu kelainan abnormal sel sl(Uamosa dengan kriteria displasia sedang
yaitu inti yang membesar lebih dari displasia ringan, N/C rasic menongkat. kromatin
kasar /hipcrkromatln) membran inti ireguler
AGC adalah suatu kelaianan abnormal sel glanduler dengan kriteria inti sel yang
membran, kromatin kasar (hiperl(romatin)
ASC·H adalah sci abnormal sl<uamosa yang besar inti belum memenuhi kriteria
displasia dengan kromatin kasiH (hiperkromatin)
Secara Histopatologi :
NIS 1 : kelainan lesi intra epithelial servi/(s yang terbatas pada sepertiga basal
NIS 2 : kelainan lesi intra epithelial serviks yang terbatas pada duapertiga basal
NIS 3 : kelainan lesi intra epithelial servil(s yang lebih dari duapertiga basal
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Kolposkopi
MANAJEMEN:
Lesi prakanker serviks (bagan terlampir )
Destruksi lokal(krioterapi, kauterisasi)
• Eksisi (LEEP, LLETZ, konisasi)
Tes pap
Pemeriksilan kolposkopi
EPIDEMIOLOGI
ANATOMI
Serviks merupakan bagian 1/3 bawah uterus, berbentuk silindris. menonjol ke arah vagina
depan atas dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternal. Kanker dapat
timbul dari permukaan vaginal (porsio) atau kana lis servika:is, Aliran limfe dari serviks pre
dan post ureteral dan ligamentum sakrouterina kearah kelenjar stasion pertama yaitu
parametrium. iliaka eksterna. presakral dan iliaka komunis. I<elenjar paraaorta merupakan
stasion kedua (2)
ANATOMI
MANIFESTASI KLINIS
pada lesi prekanl<cr 92% tidak mempunyai geja/a kalau ada hanya berupa rasa I<ering di
vagina. Umumnya gejala yang timbul berupa perdarahan pervaginam (kontak atau di luar
masa haid) dan cairan I<e/uar dari liang vagina. Kalau sudah lanjut dapat cairan yang
keluar berbau tidak sedap. nyeri (panggul, lumbosakral, gluteus) gangguan berkemih
(urinary frequency), nyeri di kandung kemih dan rectum. Ka/au sudah bermetastasis maka
akan timbul gejala seperti edema tungkai unilateral. nyeri statika dan grja/a obstruksi
ureter (I)
Pemeriksaan fisik dengan speculum vagina pada lesi prakanker tidak ditemukan ke/aianan
nyata atau hanya lesi berwarna putih dengan asam asetat. lesi invasive yang masih
terloka/osasi tcrlihat di serviks atau telah meluas ke forniks berwarna kemerahan, granular
atau eksofitik mudahberdarah tanpa atau dengan gambaan nekrotik disertai darah atau
cairan yang berbau. Pemeriksaan dalam me/alui vagina dapat meraba perluasan ke
forniks, sedang a pemeriksaan rectal dapat mengetahui besarnya uterus. perluasan ke
parametrium. rectum. KAlau penyakit sudah meluas ke luar panggul maka dapat
ditemukan gangguan sentral. pembesaran kelenjar getah bening. pembesaran hati. masa
di abdomen. pelvis, hidronefrosis atai efusi pleura atau tanda penyebaran ke tulang dU.
STADIUM PENYAKIT
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan kllnik oleh karena itu pemeriksaan
harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium klinik ini tidak akan berubah
biJa kemudian ada penemuan baru. Kalau ada keraguan dalam penentuan maka dipilih
stadium yang lebih rendah.
KLASIFIKASI
IAI Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan tidak
lebih dari 5,0 mm atau kurang ukuran secara horizontal
IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 dan tidak lebih dari 5,0 mm dengan
penyebaran 7,0, mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara J<linik dan terbatas di serviks atau secara
mikroskopik Je,i lebih besar dari IA 1
~ I:::
Les; terlihat secara Illinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0
em atau kurang
IVA Tumor menginvas; mukosa kandung kemih atau rectum dan/ atau
meluas ke luar panggul kecil/true pelvisj
IVB Metastasis jauh
HISTOlOGI
1. Tipe HistoJogik
I
Neoplasia intraepithelial serviks, Derajat III
I. Keratin
2. Non keratin
3. Verrukosa
Adenokarsinoma insitu
Karsinoma adenoskuamosa
--
Karsinoma adenoid I<istil<
Karsinoma undiferensiasi
- --
2. Derajat Histo/ogil<
··
Gx ~ Dcrajat tidak dapat ditemukcln
G1 ~ Diferensiasi baik
• G2 -7 Diferensiasi sedang
DIAGNOSIS DIFERENSIAl
Servisitis
KONSULTASI
KonsultClsi onl{ologi
PENATA LAKSANAAN
~--I-- :
IA2 Operasi
1. Histerei<tomi rCldikill atau modifikasi (tlpe 2 0 dan
limfadenektomi pelvis
2. Histerjtomi el{strafasial dan limfadenektomi pelvis bila
tidak ada invasi lir.1fo-vaskular (ILV)
3. J(onisasi luas atau trakhelektomi radikal dengCln
limfadenektomi ekstra peritoneal atau limfadenektomi
laparoskopi, kalau fertilitas masih diperlukan
Radioterapi (RT)
morbiditas
Operasi
!
I 1. /:iisterektomi radikal dan limfadenektomi pelvis, ± sampel i
kgb para aorta ~
2. Pada usia muda ovarium dClpat dikonservasi I
3. Terapi adjuvant kemoradiasi post operatif (dengan
cisplatin + 5 FU atau eisplatin saja) bila ada faktor resiko
kgb (+), parametrium (+), tepi sayatan (+)
Radioterapi:
, Radiasi eksternal dan brakhiterapi (dosis di titik A 80·85 Gy) I
IB2/IIA) 4 em I(emoradiasi
PPDS I O~da",G~2015
231
diperluas.
Operasi
• Histerektomi radikal, limfadenektomi pelvis
Neoadjuvant kemoterapi (mengandung cisplatin 3 seri diikuti
histerektomi radikan dan limfadenektomi pelvis
IIB,III,IVA Kemoradiasi
Metastasis jauh
PERAWATAN
Pra dan pascaterapi
LAMA PERAWATAN
Lama perawatan tergantung beberapa faktor antara lain faktor keadaan umum pasien,
faktor pili han pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, faktor
penyembuhan luka.
Pemulihan tergantung beberapa faktor antaa lain keadaan umum pasien, faktor pilihan
pengobatan, (aktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit in(eksi. (aktor penyembuhan
luka
PENYULlT
PemLilihan tergantung beberapa (aktor antara lain (aktor keadaan umum pasien. (aktor
pilihan pengobatan, (aktor stadium penyakit, (aktor adanya penyulit in(eksi. (aktor
penyembuhan luka
INFORMED CONSENT
Penjelasan tcntang stadium penyakit, reneana terapi, hasil pengobatan diln I<emungkimm
komplikasi pengobatan
OUTPUT
Hidup tanpa tumor, hidup dengan tumor, meninggal
PATOLOGI ANATOMI
Pemeriksaan histologi specimen pembedahan
INDIKATOR
Respon terapi, masa bebas tumor, survival dan I<ualitas hidup
PENGAMATAN LANJUT:
Jadwal pemeriksaan lanjut sebagai berikut: Pemeriksaan pertama dilakukan segera
setelah selesai radioterapi, kemudian 2 bul,m sesudah radioterapi. Padal<ilSUS dcngan
terapi pembedahan pengamatan lanjut pertama pada dua minggu pasea bedah.
Selanjutnya pengamatan dilakukan :
Pemeriksaan meliputi:
1. Anamnesis tkomplikasi radiasi, seperti sistitis, gejala·gejala residi(, sepert;
perdarahan, fluor albus, hematuri,. melena, kaki bengkak, nyeri daerah pinggang
dan lain·Iain).
MANiFESTASI KLINIS
Tidak ada gejala yang khas padil kanker oVilrium. Sering penderita datang bita sudah
merasa terdapat massa di abdomen. Bilil massa besar gejala yang adil adalah akibat
penekanan massa pada rong9a pelvis atau pun abdomen. SlIa sudah lanjut penderita
datang dengan gejala umum kanker: napsu makan menurun, malaise, lemah.
Tanda Klinis
Dapat ditemukan adanya massa tumor di pelvis pada saat pemeriksaan ginekologis: atau
massa di abdomen. Sila tumor tersebut padat, bentuknya ireguler dan terfiksir ke dinding
panggul, keganasan perlu dicurigai
KRITERIA DIAGNOSIS
I{lini/( + penunjang lIihilt pemeri/(saan penunjangj
Laparatomi
STADIUM PENYAKIT:
Stadium I
Pertumbuhan terbatas pada ovarium
Stadum la : pertumbuhan terbatas pada 1 ovarium; tida/( ada asites yang berisi sel ganas,
tidak ada pertumbuhan dan permukaan luar, kapsul utuh.
Stadium Ib : pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium; tidak ada asites yang berisi sel
ganas. Tidak ada tumor di permukaan luar; kapsul intak
Stadium Ie : tumor dengan stadium la atau Ib tetapi ada tumor dipermukaan iuar satu atau
kedua ovarium; atau dengan kapsul peeah; atau dengan asites berisi sel ganas atau
dengan bilasan peritoneum positif
Stadium II
Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul
Stadium I/a : perluasan dan atau metastasis ke uterus dan/ atau tuba
Stadium lib ; perluasan ke jilringan pelvis lainnya
Stadium III
Tumor mengenai satu atau kedua tumor dengan implan di peritoneum, di luar pelvis
dan/atau kgb retroperitoneal atau inguinal positif. Metastasis permukaan liver masuk
stadium III. Tumor terbatas dalam pelvis kecil, tetapi seears histologik terbukti meluas ke
usus besar atau omentum.
• Stadium lila: tumor terbatas di pelvis kecil dengan I<gb negatiF tetapi secara
histdogik dan dkonfirmasi secara rrjknoskopik adanya penumbuhan (seeding) ci
permukaan peritoneum abdominal
• Stadium !lIb: tumor mengenai satu atau I<edua ovarium dengan implan di
permukaan peritoneum dan terbukti secara mikroskopik, diameter tidak melebihi 2
em, dan kgb negatif
• Stadium IlIe: implan di abdomen dengan diameter > 2 em dan / atau kgb
retroperitoneal atau inguinal positif.
Stadium IV
Pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dcngan metastasis jauh. Bila efusi
pleura, dan hasil sitologinya positif dimasukkan dalam stadum IV. Begitu juga metastasis
ke parenkhim liver
DIAGNOSIS D1FERENSIAL
• Tumor ovariumjinak
• Tumor korpus uteri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG
Dengan pemeriksaan yang non invasif dan relatif murah dapat seeara tegas dibedakan
tumor kistik dengan tumor padat. Tumor dengan bagian pactat kemungkinan ganas
meningkat. Sebaliknya tumor kistlk tanpa ekointernal kemungkinan keganasan
menurun. Pemakalan USG transvaginal (transvaginal color flow doppler) dapat
meningkatkan ketajaman diagnosis karena mampu menjabarkan morfologi dengan
baik.
KONSULTASI
Konsultan Onkologi
Untuk BNO/IVI' dan Ba enema, bila memungkinkan diganti dengan pemeriksaan (t-Scan
abdominopelvik dan paling ideal adalah MRI. Pada kasus-kasus tertentu misalnya tidak
mungkin dilakukan operasi, maka dilakukan pungsijbiopsi.
Manajemen terapi yang dilakukan adalah laparotomi dengan potong beku. Dari hasil
potong beku ada beberapa kemungkinan hasil :
I. Tumorovariumjinak (benign)
Pada kasus yang masih memerlukan fungsi reproduksi, stadium IA atau Ie maka dilakukan
surgikal staging konservatif yaitu tindakan salpingoofarektomi unilateral, omentektomi,
limfadenektomi ipsilateral, sitologi, biopsi, appendiktomi, Bila fungsi reproduksi masih
diperlukan, tetapi stadium klinis IB atau lebih dari stadium II, maka dilakukan surgikal
staging radikal yaitu tindakan pembedahan meliputi histereiltomi totalis,
salpingoofarektomi bilateral, omentektomi, sitologi, biopsi dan appendiktomi. Bila fungsi
reproduksi sudah tidak dibutuhkan lagi, maka tindakan pembedahan adalah surgikal
staging radikal.
PERAWATAN
I'ra dan pasea terapi
PENYULIT
I'emulihan tergantung beberapa faktor antara lain factor keadaan umum pasien, faktor
pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, faktor
pcnyembuhan luka,
INFORMED CONSENT
I'enjelasan tentang stadium penyakit, reneana terapi, hasil pcngobiltan dan kemungkinan
komplikasi pengob3tan,
lAMA PERAWATAN
Lama perawatan tergantung beberapa factor antara lain faktor keadaan umum pasien,
faktor pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, faktor adanya penyulit infeksi, faktor
penyembuhan luka.
OUTPUT
Hidup tanpa tumor, hid up dengan tumor, meninggal
PATOLOGJ ANATOMI
INOIKATOR
PENGAMATAN LANJUT
JaduaJ pemeriksaan lanjut dilakukan tiap minggu bila masih dalam pengobatan
kemoterapi, dengan perhatian pada pemantauan efek samping obat. Pemeriksaan
petanda tumor dilakukan setiap bulan. S elanjutnya pengamatan dilakul<an seperti pada
kanker serviks.
EPIDEMIOlOGI
Insidensi mola hidatidosa diperkirakan antara 0,26'2, I setiap 1000 kehamilan dan 30 %
dari kasus ini dapat mengarah ke penyakit trofoblast ganas
MANIFESTASI KlINIS
Perdarahan pervaginam, pembesaran rahim setelah kehamilan mola hidatidosa
KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis PTG berdasnrl<an data I<linil< dengan atau tanpa histology. Adapun beberapa
I<riteris diagnostic:
Keadaan hCG meningl<at 2 minggu atau lebih
Kadar hCG menetap 3 minggu atau lebih
Kadar hCG di alas normal sampai 14 minggu setelah evaluasi
Uterus lebih besar dari normal dengan kadar hCG > normal
Perdarahan dari uterus dengan kadar hCG > normal
Dijumpai lesi metastasis dengan kadar hCG > normal
STADIUM KlINIK
Stadium klinik (FIGOI :
• Stadium I ~ tumor terbatas pada uterus
DIAGNOSIS DIFFERENSlAl
Kanker endometrium, hyperplasia endometrium
KONSULTASI
Konsultan Onkologi
TERAPI
Stadium I IFIGO), risiko rendah (WHO) dan !'TG non metastasis diterapi dengan satu
risiko Intermediat serta PTG metastasis dlterapi dengan kombinasl dua obat. Stadium
IV, risiko tinggi serta PTG metastasis rlslko tlnggl mendapat multi kemoradiasl (MAC.
EMO-CO, CHAMOCA).
PENYULfT
Perdarahan dari uterus yang tidak dapat berhenti
INFORMED CONSENT
Penjelasan tentang stadium penyakit. rencana terapi, hasil pengobatan dan kemungkinan
komplikasi pengobatan.
MASA PEMULIHAN
Tergantung dari kildar Beta hCG yang turun (kurang dari 10 IUjml) 2 kali berturut-tu
OUTPUT
I. Sembuh dengan kadar Beta hCG kurang dari J0 IUjml.
2. Progresif.
PATOLOGI ANATOMI
Pemeriksaan histologi spesimen pembedahan.
PENGAMATAN LANJUT:
Selama masih dalam pengamatan Ianjut pasca pengobatan maka jadual
pemeriksaan seperti pada mola hidatidosa. Pemeriksaan meliputi anamnesis [perdarahan,
gejala·geJala toksik khemoterapi dan lain·lain). pemeriksaan ginekologik. pemeriksaan
hCG serum. Si/a penderita tersebut masih dalam pengobatan dengan khemoterapi
pemerlksaan darah tepl di/akukan tiap mlnggu. rungsl ginJal. hepar. kadar elel<trolit darah,
LDH. setiap 4 minggu. Pemeriksaan radiologik [foto toraks). ultrasonografi. tiap 4 - 12
minggu tergantung dari ada/tidaknya metastasis.
PPDSIO~.u.,...,G~"2015 ,41
56. KANKER ENDOMETRIUM IKORPUS DAN SARKOMA)
MANIFESTASI KLiNIS :
Faktor risiko
Faktor predisposisi : obesitets, rangsangan estrogen terus menerus, menopause terlambett
f>52 tahun). nUlipara , siklus anovulasi, pengobatan tamoxifen, dan hiperplasia
endometrium. Faktor yang melindungi terhadap penyakit ini: piJ kontrasepsi, wanita
perokok terutama wanita gemuk dimana nikotin dianggetp mempunyai efek antiestrogen.
Gejala dan tanda •
SemblJan puluh persen kanker endometrium ditandai perdarahan uterus abnormal,
berupa metrorrhagia pada periode perimenopause maupun perdarahan pasca
menopause. DUumpai pula keluhan keputihan yang berlebihan.
KRITERIA DIAGNOSIS:
Diagnosis dibuett berdasarkan biopsi endometrium atau Dilatasi dan Kuretase. Kedua cara
ini mempunyai "false negative rate" 5-10%. Bila diagnosisnya meretgukan dapat diJakukan
kuretase bertingkat dengan bimbingan histerosl(opi. Diagnosis dipastikan dengetn hetsil
biopsi /0&1< endometrium bertingkat
STADIUM KLINIK
Pada tahun 1988 FIGO menetapkan kriteria stadium surgikal
Stadium' Diskripsi
Diagnosis dibuat berdasarkan biopsi endometrium atau Dj/atasi dan Kuretase. Kedua cara
ini mempunyal "false negative rate" 5-10%. Blla diagnosisnya meragukan dapat dilakukan
kuretase bertingkat dengan bimbingan histeroskopi. Diagnosis dipastikitn dengan hasil
biopsi / D&K endometrium bertingkat
KONSULTASI
Konsultan Onkologi
TERAPI
Operasi pada kanker endometrium
Pasien dengan kanker endometrium diobati dengan tindakan histerektomi saja atau
histerektomi dan radiasi pascabedah. Pada stadium dini,dengan diferensiasi baik cukup
dilakukan histerektomia totalis dan salpingoooforektomi bilateral.
Operasi dilakukan dengan insisi mediana, dilakukan bilasan peritoneum abdomen dan
pelvis, eksplorasi dan palpasi kemungklnan metastasis ke orgitn abdomen, termasuk
baglan atas abdomen, histerektomi total dan sitlpingo-ooforektomi bilateral, kemudian
uterus dibelah untuk melihat kedalaman invasi I<e miometrium ; bila tidal< jelits perlu
dilakukan frozen section. Kelenjar getah bening pelvis dan para·aorta dan omentektomi
partialis dilitkukan berdasarkan kriteria kelompok risiko tinggi
a. Infiltrasi ke miometrium lebih dari setengah ketebalan miometrium
b. Perluasan ke isthmus/serviks
c. Perluasan keluar uterus Itermasuk adneksa)
d. Tipe histologik; serosa, seljernih, skuamosa, atau diferensiasi buruk
e. Pembesaran kelenjar getah bening pelvis
f. Histologik derajat 3 adenokarsinoma
Kemoterapi
1. Kemoterapl . Diberlkan pada paslen dengan kanker endometrium resldif. Jenis
kemoterapi yang dipilih adalah Cisplatin dan Doxorubicin
2. Hormon. Tumor dengan reseptor estrogen atau reseptor progesteron positif
mempunyai res pons positif dengan pengobatan progestin:
a. Depo-Provera, 400 mgjlM/minggu
b. Tablet Provera 4 X 200 mgjhari
c. Megestrol asetat (Megace) 4 X 800 mgjoraljhari
PENGAMATAN LANJUT:
Pengamatan lanjut (follow-up) diiaksanakan 2 bulan sekali pada 2 tahun
pertama; selanjutnya 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Setelah 5 tahun. pemeriksaan
diiaksanakan 5 tahun sekali.
J>emeriksaan terutama ditujukan pada kelenjar getah benlng pelvis. Juga diper'hatikan
timbulnya massa dipelvis. perdarahan pervaginam. dan gangguan resplrasi
Pemeriksaan penanda tumor tldak ada yang spesifik, tetapl bJla CA-12S menlngkat.
pemeriksaan ini dapat diulang untuk pengamatan lanjut
Pemeriksaan radiologii< (termasuk CT-scan/MRI) diiakukan bila ada indikasi
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang sering adalilh rilsa giltill kurang lebih 39·7 J % I<eluhan lainnya analMa lain
rasa panas dan kadang rasa nyeri di vulva. Ditemukannya pertumbuhan ataupun luka
yang tidak sembuh dengan terapi antibiotika. Lesj tersebut mengeluarkan cairan berbau.
Selain itu secxara makroskopik lesi berpenampilan dapat berbentuk polip, pembengkakan.
perubahan wama, benjolan atau berbentuk massa sepserti jamur.
KRITERIA DIAGNOSIS
III
T3
IV
Tumor invasi ke mukosa vesika urinaria, mukosa
IVA I rektuum, mukosa uretra bagian proksimal atau ke i
; tulang I T4
I ~
I
Patologi kanker vulva dibagi dalam 5 sub katagori :
PPOSIOb;o:tl"ioda.vG~Z015 245
2. Tumor epitel ke/enjar
3. Sarkoma
4. Tumor primer lainnya
5. Tumor metastasis
DIAGNOSIS D/FFERENS/AL
• Tumor jinak di vulva
• Tumor metastasis
PEMER/KSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan foto thoraks (melihat kemungkinan metastasis paru). USG liver untuk melihat
kemungkinan metastasis ke liver. Sistoskopi bila mencurigai kemungkinan adanya
metastasis ke vesika urinaria
KONSULTASI
Konsultan onkologi
TATA LAKSANA
VIN (vulva intra epithelial neoplasiil), dllaklJkan eksisl ;
Kanker vulva stadium alnjut yang tidak memungldnkan dilakukan terapi pembedahan
maka terapi pilihannya adalah terapi dengan radiotherapy atau dengan kemoradiasi
PERAWATAN
Perawatan pra dan pasea bedah
PENYULIT
Perdarahan, infeksi, nekrosis dan metastasis serta stadium lanjut. Penyulit yang sering
terjadi adalah gangguan penyembuhan luka, penyulit lainnya adalah infeksi Isampai
OUTPUT
Respon klinik terapi radiasi
SurvivalS tahun. Tetapi secar umum kemampuan hidup (survival) 5 tahun mencapai lebih
dari 90% untuk stadium kurang dar; stadium I. Sedangkan untuk stadium /I survival 5
tahun dapat mencapai 80%, untuk selanJutnya stadium /II-IV mempunyai survival 5 tahun
kurang dari 50%
PATOLOGI ANATOMI
Pemeriksaan histologi spesimen pembedahan
INOlKATOR
Pemeriksaan hist%gi spesimen biopsi dan spesimen pembedahan
PENGAMATAN LANJUT:
Pemeriksaan kolposkopi
PERAWATAN
Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada penderita yang
sedang sekarat aatau dalam tase terminal akibat penyakit yang dideritanya dan sudah
tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif: Dalam' hal in'i disebabkan oleh keganasan
ginekologis. Perawtan ini mencakup penderita serta melibatkan keluarganya.
TUJUAN
Terapi paiiatit bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kanker pada
satadium terminal. Upayanya adalah dengan pencegahan, deteksi dini, mengatasi gejala
dan masalah psikososial
INDIKASI
Pedoman terapi paliatif sebaiknya digunnal<an untuk meningkatkan harapan hisup dan
anti kanker paliatif jika prognosis hidupnya tinggal J tahun aatau kurang.
Indikator yang potensial adalah pasien pada akahir tahun masashidupnya termasuk
SSP, sindrom vena cava superior, kaekesia, efusi ganas, gagal hati, gagal ginjal atau
kondisi lain yang berat. Kriteria skrining terakhir adalah permintaan khusu untuk terpai
paliatif.
KONTRA INDIKASI
PROSEOUR TINOAKAN
Perawatan untuk mencegah timbulnya gejala serta keluhan klinis dan langkah-Iangkah
untuk mangatasinya
I. Nutrisi
o Melakukan intervensi program pengaturan nutrisi yang adekuat untuk
mnegurangi gejala penyakit, meningkatkan kenyaman, mencegah atau
sebgai terapi malnutrisi
o Manajemen nutrisi yang diberikan merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan cara mengurangi gejala
hpoproteinemia dan mengurangi edema perifer sehingga dapat
memaksimalkan stamina.
o Mempertimbangkan: cara pemberian bila memungkinkan ,Idalah enteral
dan bila tidak adalah parenteral. Pemeberian deksametason atau
2. Terapi Oksigen
• Memberikan wawsana tentang pemanasatan oksigen secara efektif
• Memberikan petunjuk teknis perawatan peralatan oksigenasi
3. Pengobatan simptomatik
• Pendekatan terhadap keluhan nyeri ataupun kleuhan lainnya. berdasarkan
tahapan eva/uasi berkala pada pasien
• Terapi I ndividu : bias berupa terapi fisik atau psikologis, farmakologis
maupun non faramakologis ".
• Supervisi: pencatatan rencana terapi, riwayat terapi, perjalanan ppenyakit,
hasil evaluasi, dll
4. Rehabilitasi
• Membawa dan membimbing penderita untuk mencapai pemenuhan
kualitas hidp sampal ahirhayatnya
• Melakukan upaya integrasi dari kondisi fisik, psikis, social dan spiritual untuk
menuju kesatuan yang harmonis, sehinggan adaptasi terhadap Ilehidup[an
setelah mengalami sakit atau trauma dapat diperoleh
5. Psikoterapi
• Me/akukan penilaian terhadap kemungkinan terjadinya gangguan
psikososial
Melakuakn pendekatan utnuk mengurangi penderitaan dan mengangkat
harga diri sampai akhir kehidupan
• Mengiktiarkan kualitas hidup yang optimal dalam batas kondisi yang ada
• Depresi dan cemas adalah gangguan yang paling banyak dialalmi terutama
bila penderita gagal dalam pengobatan kuratif
6. Radioterapi
• Bertujuan utnuk mengatasi nyeri. Namun harus mempertimbangkan
potensi manfaat, efek samping radiasi, sampai dengan factor teknis seperti
transportasi. fasilitas radioterapi
7. Pembedahan
• Bertujuan untuk mengurangi nyeri dan menghilangkan gangguan fungsi
organ tubuh akibat desakan massa tumor atau metastasis.
• Prosedur pembedahan diesesuaikan dengan indi~:asi
8. Kempoterapi
• Bertujuan untuk memperkecil massa tumor dan untuk mengurangi nyeri.
terutama pasda tumor yang kemosensitif
• Perlu dlakukan kajian tentang efek posotof yang diperoleh dari berbagai
aspek untuk kepentingan penderita
9. Pengobatan a/ternatif
• Menempatkan pengobatan alternative sebagai upaya untuk meningkatkan
kualiats hidup penderita dan bukan untuk menyembuhkan penyakit
KOMPLIKASI
Tidak ada komplikasi dari perawatan paliatif
WE\'VENANG
Dokter spesialis obstetri ginel<ologi dan PPOS Obstetrik dan Ginel<ologL
ETIOLOGI
Nyerl kanker atau yang lebih dikenal dengan slndroma nyeri kanker dapat disebabkan
oleh beberapa faktor ialah :
1. Faktor jasmani
d. Akibat tumor
Nyeri akibat tumor terjadi pada 70% penderita kanker yang disertai rasa nyeri, dan
keadaan ini dapat diterangkan melalaui berbagai mekanisme-mckanisme keadaan
ialah:
Uiserasi jaringan
Dekubitus
1. Akibat pembedahan
a. Pasca bedah leher radil<al
b. Pasca mastektomi
c. Pasca torakotomi
d. Pasca nefrektomi
e. Pasca amputasi anggota geral<
2. Akibat kemoterapi
a. Neuropati peri fer
b. Pseudorematik steroid ipenghenyian steroid mendadak)
c. Nekrosis tulang aseptic
d. Nearalgia pasca infeksi herpes zooster
3. Akibat radiasi
a. Fibrosis pleksus 8ral<hialis
b. Fibrosis pleksus lumbosal<ral
c. Miolopati radiasi
d. Tumor sarCtt perifer akibat radiasi
Nyeri yang tidak langsung akibat tumor ataupun pengobatannya terjadi pada J 0%
penderita kanker yang disertai rasa nyeri dan dapat diterangkan melalui
2. Sakit kepala atau migren yang terjadi akibat ketegangan jaringan otot
3. Artritis
4. Nyeri akibat kelaianan kardiovaskuler
S. Neuropati
2. (emas (anxiety)
Nyeri yang terjdi akibat rasa cemas dapat diterangkan melalui keadaan-keadaan
berikut:
a, Takut pada rumah sakit, dokter dan perawat
b, Khawatir nasib keluarga
3. Oepresi
Nyeri yang terjadi akibat depresi dapat diterangkan mela/ui keadaan-keadaan
berikut (6,7):
TUJUAN
Menge/ola dan mengatasi nyeri /uka i<anker
/NOIKASJ
Nyeri akubat I<anker
KONTRA INDIKASI
Hipersensitif terhadap obat-obat yang diberikan
PROSEOUR TINOAKAN
Terapi farmakologis
a. Golongan analgesik non opiate
1. Asam asetif salisilat 4 X 500-650 mg dosis maksima/ 4000 mgL hari
2. Cholin magnesium trlalisifat 2 x 1000 -1250 mg, dosis maksimal 2-3 91 hari
3. Acetaminophen 500 - 1000 mg tiap 4 -6 jam sekali, dosis maksimal 4000
m9l hari
4. Antiinflamsi non steroid
• Ibuprofen: Oosis 200-400 mg, setiap 4-6jam p.o.
Oosis maksimal : 2400 mg sehari
• I{etoproven: Oosis 25 - 50 mg, setiap 6 - 8 jam p.o.
Oosis maksimal 300 mg sehari
c. Adjuvant Analgesik
• AntidepresClnt trisiklik missal amitriptilin, imipramin, desipramin. Dosis : 25·150 mg
per h<1ri, terbagi dalam tiga dosis atau satu dosis malam hari
• Antihistamin mis : hydroxyzine, dapat memperbesar efek analgesic opiilte
• Kafein : dapat meningkatkan efek analgesik dari asam asetil salisilat atau opiate
• Steroid: dexamethasone 4-16 mg atau prednisone 20 - 80 mg
Phenithiazine : mis methotrimeprazine, chlorpromazine dan prochlorphereazine
dapat mencegah rasa mual akibat opiate. Methotrimeprazine mempunyai efek
analgesic, kurang menimbulkan obstipasi, kurang mengadakan depresi
pernapasan. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati nyeri kanker p<1da
penderita yang mengalami toleransi terhadap opiate
• Antikonvulsan antara lain phenytoin, carbamazepine. clonazepan, sodium
valproate. Oosis carbamazepin dimulai deng,,," dosis 100 mh sehari. Ditingkatkan
pelan·pelan sampai 400-800 mg, terbagi atas 2-4 dosis sehari. Phenyntoin : 200-500
mg, terbagi atas 2 dosis sehari
Radioterapi
Pengobatan radiasi sangan bermanfaat sebagai analgesic apabila digunakan pada tumor
yang lokal regional. Pada umumnya etek analgesik radoterapi lebih baik jika diberikan
pad a awal nyeri , daripada nyeri yang telah berlanjut menjadi berat. Bifa perJu radioterapi
dapat diberikan sedini mungkin, yaitu pada saat pemeriksaan pertama. Efek analgesik
umumnya terjadi beberapa hari setelah pengobatan dimlai. Indikasl radioterapl adalah
metastasis tulang, penekanan epidural pada sumsum tulang belakang. metastasis ke hati
yang disertai rasa nyeri akibat ragangan kapsul, pendesakan saraf atau pleksus aldbat
pembesaran kelenjar retroperitoneal, sumbatan atau desakan tumor pada organ
beronggan dan metastasis jaringan lunak yang nyeri. Penderita dengan nyeri difus akibat
metastasi tUlang yang luas memerlukan teknik radiasi khusus.
Tindakan Anestesi
Bilamana tindakan Iwnservatif nyeri tetap tidak teratasi, dapat dipikirllan beberapa
tindakan:
Blok saraf
Pemberian opiate secara spinal
Tindakan 8edah
Pada nyeri kanker yang disebabakan oleh tumor dapat dipertimbangkan pembedahan
paliatif dengan tujuan :
I. Menghilangkan tumor
2. Mengurangi volume tumor
3. Menghambat pertumbuhan tumor
4. Meningkatkan efektivitas pengelolaan nyeri cara lain dengan obat maupun bukan
obat
254
m.1 I o~d.o.wG~2015
Psikoterapi dan Psikofarmaka
P<ld<l penderita kanker lanjut. faktor·faktor psikologis sangan mempengaruhi habtnya
nyeri. Putus asa dan perasaan cewmas saat menghadapi maut. meningkatkan beban
penderitaan dan nyeri. Harus diingat bahwa obat tidak dapat menggantikan empati
Contoh-xontoh penggunaan psikofarmaka :
Cerna! : Haloperidol. Diazepam, hipnotik seperti nitrasepam
Delirium : Haloperidol diberikan setiapjam sampai penderoita tenang.
Diazepam dlgunakan blla dlperlukl'ln sedative. Apablla t/dak men%ng di
Berikan klorpromasin
Depresi : Amitriptilin atau derivate sejenis
WEWENANG
Dokter spesialis obstetric dan ginek%gi dan PPDS obstetric dan ginek%gi
UNIT TERKAIT
Departemen Bedah ur%gi, departemen radi%gi divisi radioterapi, depilrtemen
Rehabio/itasi medic dan depart em en anestesi.
.Surgical candidates for pelvic organ prolapse /POP) repair are women with
symptomatic prolapse who decline or fail conservative therapy (eg, vaginal
pessaries). (See 'Candidates for surgical treatment'above.)
• There is no indication for repair of asymptomatic POP as an isolated procedure.
We also suggest NOT performing prolapse repair for most asymptomatic women
who are undergoing other pelvic floor procedures leg, stress urinary Incontinence
[SUI] surgery) (Grade 2Cj, Prolapse repair at the time of other pelvic surgery is a
reasonable option in women with risk factors for developing prolapse progression
(eg, concomitant hysterectomy, premenopausal status, obesity),
.Women who are elderly, unable to tolerate extensive surgery, and do not plan
future vaginal intercourse are candidates for obliterative POP surgery.
(See 'Reconstructive versus obliterative procedures'above,)
.For women undergoing apical prolapse repair, we suggest performing
concomitant hysterectomy rather than uterine preservation (Grade 281, A uterine
sparing procedure performed by a surgeon familiar with the necessary teChniques
is a reasonable alternative for women who strongly prefer to preserve their uterus
and are aware of the potential risk of recurrent prolapse Clnd the uncertainty
regarding obstetric outcomes, (See 'Concomitant hysterectomy' above.)
.For women who are undergoing an abdominal apical suspension procedure who
require repair of anterior and/or posterior vaginal wall prolapse (see 'Abdominal
route' above):
• For women with anterior vaginal wall prolapse, we suggest apical
suspension alone rather than combined with abdominal paravaginal repair
(Grade 2C),
• For most women with posterior vaginal wall prolapse, we suggest
extending the vaginal mesh from the apical suspension down the posterior
vaginal wall to the lower half of the vagina (Grade 2el. When symptoms are
bothersome and/or the prolapse of the posterior wall extends to or beyond
the hymen, we suggest performing a posterior colporrhaphy (Grade 2C).
route' above.)
.POP often coexists. with SUI. Some women with advanced POP remain continent
despite loss of anterior vaginal and bladder/urethral support. These women may
develop symptoms of SUI after surgical correction of the prolapse, [See 'Urinary
incontinence' above.)
-All women planning repair of apical prolapse should have a preoperative
evaluation for SUI with clinical or urodynamic urinary stress testing with and
without reduction of prolapse, However. preoperative prolapse reduction testing
does not accurately predict postoperative stress incontinence (approximately 40
percent of women with negative testing will develop postoperative SUI), This
testing may impact surgical decision making. particularly for women undergoing
transvaginal apical prolapse rE:pair. [See 'Urinary incontinence' above,)
.Women with symptomatic apical POP and no SUI symptoms may have occult SUI
and may benefit from a prophylactic continence procedure at the time of POP
repair, [See 'Urinary incontinence' above and "Pelvic organ prolapse and stress
urinarv incontinence in women: Combined surgical treatment" section on 'POP
with no symptoms of SUI',)
.Use of surgical mesh for transvaginal POP repaIr has potentially higher anatomic
success rates than repair without mesh. but also appears to result in similar
SUbjective success rates and a higher complication rate than traditional vaginal
surgery. (See 'Mesh augmentation' above,)
hrtp:llwww.uptod.ll{..comL
Masalah seksual dalam kehidupan rumah tangga seringkali mengalami hambatan atau
gangguan karena salah satu pihak (suami atau is~eriJ atau bahkan keduanya,
mengalami gangguan seksual atau disfungsi seksual.. Disfungsi seksual merupakan
suatu gangguan fungsi seksual yaitu suatu koridisidi mana fungsi seksual dalam tubuh
seseorang sudah mulai melemah. Gangguan ini bisa terjadi secara menyeluruh atau
sebagian saja.
Disfungsi seksual wanita dapat terjadi di semua usia, baik ketika seorang wanita masih
muda, maupun pada usia lanjut karena kondlsi fisik dan mental yang semakin
berkurang.
Jenis disfungsi seksual
Para dokter dan terapis seks biasanya membagi disfungsi seksual pada wanita menjadi
lima kategori, yaitu:
• Penurunan atau gangguan nafsu libido
Ditandai dengan rendahnya gairah sel<sual. Hal ini merupakanjenis yang paling
umum yang dialami oleh para wanita.
• Gangguan rangsangan seksuallArousal Problemsj.
Ada gairah seksual tetapi modalitasnya rendah dan kontinuitas rangsangan tidak
mampu dipertahanl<an selama kegiatan seksual berlangsung.
Gangguan orgasme
Stimulasi dan respons seksual memadai tetap; tidak pernah atau kurang
berakumulasi untuk menghasilkan orgasme
• Dispareunia / Gangguan rasa sakit seksual.
Rasa sakit saat dilakukan perangsangan area erogenil< atau kontak melalui vagina.
Vaginismus
Tidak seluruh masalah seksual yang dialami oleh kaum wanita eoeok dengan kategori
yang disebutkan di atas. Yang paling sering terjadi adalah 3 kategori pertama
berhubungan seks (hypo sexual desire disorder}. Namun, seorang perempuan masih
bisa melakukan hubungan seksual karena alat kelaminnya menerima seeara pasif. Hal
ini berbeda dengan pria. Jika tidak ada libido. alat kelaminnya tidak bisa berfungsi,
Gangguan libido dapat dik/asifikasikan menjadi dua. Primer dan sekunder. Disebut
gangguan primer karena penyebabnya terjadi sejak awal atau sebelum penderita
mengenal seks. Sebanyak 90 persen gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis.
2. Epidemiologi
Jumlah wanita yang mengalami ketidaknyamanan seksual lebih banyak dari pria,
dengan perbandingan 43 % wanita dan 31 % pria. Disfungsi seksual pada wanita
lebih sering terjadi setelah menopause akibat penurunan produksi hormon estrogen
3. Penyebab
Disfungsi seksuill disebilbkiln oleh berbilgai gangguan dan penyakit. Beberapa faktor
yang menyebabkan terJildinya disfungsl seksual pada wanita terkadang saling
berhubungan, sehingga memerlukan beberapa terapi yang dikombinasikan.
Faktor Fisik.
Penyakit fisik yang dapat menyebabkan disfungsi seksual adalah diabetes
mellitus. penyakit jantung, infeksi jamur, anemia, mCllnutrisi, penyakit kelamin,
penyakit otak dan sumsum tulang, tindakan operasi prostat pada pria, tumor
atClu kanker rahim pada wanita, menurunnya hormon (pClda pria maupun
wanital. prosedur pembedahan indung telur. penggunaan narkoba, obat
penenang, alkohol, dan rokok. .
Kondisi fisik lain yang juga dapat menyebabkan masalah seksual yaitu: arthritis,
gangguan sClluran kem/h, gClngguan usus besar, trClumCl dan operasi pelvis,
lelah, sakit kepala, gangguan syaraf sepertl multiple skerosis dan sindromCl rClsa
sakit yang tidal< diobati dengan benar. Beberapa obat-obatan termasuk
antidepresan, obat-obatan untuk tekanan darah tinggijrendah, antihlstamin
dan obat-obatan untuk kemoterapi dapilt menurunkan gairah seksual dan
pencapaian orgas me.
Faktor Psikososial
Penyakit psikis yang menyebabkan disfungsi seksual adalah psikosis,
schizofrenia, neurosis cemas, histerik, obsesif-kompulsif, depresif, fObia,
gangguan kepribadian atau psiko-seksual, serta retardasi mental dan gangguan
intelegensia.
Bagi wanita, faktor psikis yang bisa mempengaruhi gairah seksual, antara lain:
bermasalah dengan pasangan. kesulitan ekonomi, trClumCl (perkosaan, mitos,
dill·
Faktor psikologis yang dapat mengakibatl<an masalah seksual antara lain; rasa
cemas yang tidak teratasi, depresijstres, serta adanya dCln riwayat
penyimpangan seks. Kesulitan dalam memenuhi berbagai milcam kebutuhan
dCln perCln seperti tuntutan pekerjaan, urusan rumah tanggCl. sebClgCli ibu dan
sebagai ClnClk yang harus merawat orang tua yang sudah lanjut usia.
f'PPSIO~.u....G~2015 259
• Faktor Hormonal
Kekurangan estrogen saat menopause dapat mengubah aJat genital dan
respon seksual. Lubrikasi pun menjadi lebih lambat. Faktor ini menlmbulkan
dispilreuniil, yaitu rasa sakit pada waktu berhubungan intim dan pencapaian
orgasme yang lama.
4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya disfungsi seksual tergantung pada faktor penyebabnya.
5. Penatalaksanaan
Pada disfungsi seksual primer, kemungkinan untuk sembuh secara sempurna masih
sulit. Kalau kasusnya masih ringan, masih bisa diatasi. Tetapi kalau sudah berat sufit
disembuhkan lagi. Disfungsi seksual sekunder masih blsa disembuhkan, tergantung
penyebabnya. BHa penyebabnya adalah faktor fisik, rata·rata masih bisa diperbaiki,
Dua minggu biasanya sudah normal. BHa penyebabnya faktor psikologis,
tergantung apa penyebabnya. Pendekatan yang dilakukan adalah berbieara
dengan doktera ahli dan pakar seks, meneari penyebabnya dan menerima kondisi
apa adanya. Untuk mengatasinya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi
antarpasangan. Dianjurkan mengikuti I(onseling atau psil<oterapi. Jenis psikoterapi
/terapi tingkah laku) termasuk latihan tuntunan diri, sepertl sentuhan non-seksual
atau pijatan sensual tanpa berhubungan Intim sampai pada peningkatan
kenlkmatan/gairah seksual. Latihan-Iatihan ini dipusatkan pada rangsangan,
bukan pada eoitusnya. Bagi wanita, res pons seksual merupakan masalah yang
kompleks antara pikiran dan tubuh. Masalahnya, banyak perempuan atau
pasangan suami-istri yang tidak mau berkonsultasi karena malu.
Obat-obatan yang mempunyai efek samplng mungkin perlu diganti dengan obat
obatan yang lain. Perubahan fisik aklbat menopause, seperti vagina yang menjadi
lebih kering dan atrofi, dapat menggunakan terapi hormon atau gel pelumas.
Untuk menguatkan otot vagina ataL! meningkatkan rangsangan seksual, dapat
melakukan latihan Kegel. Usaha lainnya misalkan mencari posisi baru, latihan otot
relaksasi (kontraksi dan relaksasi otot pelvis), atau latihan otot vagina dengan alat
khusus.
Menurunnya kadar hormon pada wanita menopause merupakan salah satu faktor
PPVSIO~~<;~20IS 260
yang penyebab terjadinya disfungsi seksual pada wanita menopause. Berdasarkan
pemikiran tersebut maka dikembangkan terapi sulih hormon estrogen yang
ditujukan pada wanita menopause. Selain dapat mengurangi rasa panas pada
wajah, mencegah osteoporosis dan menurunkan resiko sakit jantung, sulih
estrogen juga dapat meningkatkan sensitivitas klitoris, meningkatkan libido dan
menurunkan rasa sakit yang timbul saat berhubungan seksua I.
• Sildenafil
Obat ini bel<erja dengcm menurunkan katabolisme cGMP yang merupakan second
messenger yang dimediasi oleh NO dalam proses relaksasi otot polos klitoris dan
vagina. Oapat digunakan secara tunggal atau i<omblnasi dengan kandungan lain
yang bekerJa pada pembuluh darah dan digunakan pada disfungsl seksual yang
terutama karena adanya gangguan pada rangsangan seksual. Keamanan dan
efektifitas dar! obClt ini untuk dlsfungsi pada wanita sampai saat ini masih terus
ditellti secara kllnis.
• L-Arganine
L-Arganine merupakan asam amino yang berfungsi sebagai prekursor
pembentukan NO yang memediasl relaksasi otot polos. Sampai saat ini belum ada
uji klinis dalam penggunaannya bagi wan ita, namun demikian dari uji awal yang
telah dilakukan mcnunjukkan hasil yang cukup menjclnjikan.
• Prostaglandin E 1
Saat ini penggunaan prostaglandin pada pria dengan menggunakannya secara
lokal dalam uretra yang mengalami penyerapcm melalui mul<osa, telah tersedia.
Walaupunn demilikian penggunaannya pada wanita dalam vagina sampal saat ini
masih dalam penelitian. Uji klinis masih perlu dilakukan untuk melihat efektifitas
penggunaan obat ini dalam mengatasi disfungsi seksual pada wanita.
• Phentolamine (Vasomax)
Penggunaan phentolamine dapat menyebabkan relaksasi otot palos dan saat ini
telah tersedia dalam bentuk oral (diminum). Obat ini telah diteJlti sebagai
pengobatan bagi pria yang mengalami disfungsi seksual. Penelltian awal yang
menggunakan obat ini pada wanita menopause menunjukan adanya perubahan
dala";' aliran darah pada vagina dan meningkatkan rangsangan secara subjektif
pada penggunaanya.
• Apomorphine
6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat disfungsi seksual, baik pada wanita maupun pria,
dapat mempengaruhi kehidupan fisik, psikis maupun sosial pasangan tersebut.
1. Definisi
lnfeksi menular seksual (IMSI adalah infeksi yang disebabkan berbagai jenis
mikroorganisme (virus, bakteri, protozoa, dan jamur) yang menimbulkan gejala
klinlk utamil di silluriln kemi" diln reproduksi (maupun sistemik) diln jiltilu jillur
Terdapat banyal< penyakit yang termasuk dalam kategori Infeksi Menular Seksual.
Komplikasi yang terjadi akibat IMS dan penyakit radang pang9ul menimbulkan
melalui luka pada alat genital dan mung kin juga disebabkan oleh vaginitis dan
servisitis.
Termasuk dalam kelompok IMS antara lain; kondiloma. bakterial vaginosis (BV),
2. Epidemiologi
Tidak ada angka pasti insidensnya. tetapi diduga meningkat sehubungan dengan
perilaku seks bebas dan pemakaian antibiotika yang salah.
Di Indonesia tidak dapat secara langsung terlihat peningkatan penderita IMS
karena laporan yang ada hanya dari pemerintah. sementara klien yang berobat
sendirl atau yang berobat ke dokter swasta tidak diketahui jumlahnya. Pada Maret
2002, di Indonesia terdapat HIV positir 2876 dan AIDS 689. Karena kasus IMS dan
pelayanan KB seringkali tersamarkan. maka penting bagi petugas untuk
menyeleksi ada tldaknya IMS pada klien KB. Pada klien yang diduga memiliki lebih
dari satu pasangan, dilakukan pengobatan IMS dan sekaligus dicari metode yang
tepat untuk pencegahan kehamilan.
3. Gejala klinis
Gejala klinis sangat bervariasi, dari gejala subklinis yang takjelas hingga gejala
klinis nyata. Gejala umum bisa berupa ;
Keputihan
Metrorhagia
Perdarahan pasca sanggama
Disuria
Demam
Mual·muntah
Sampai gejala yang berat berupa gejala penyakit radang panggul (PRP)
4. Diagnosis
Meningkatnya jumlah sel darah putih dari sekret vagina
Pada PRP ditemukan demam, peningkatan C reactive protein, LED dan
leukositosis
Kondi/oma amat mUQilh terlihm
Dibutuhkan cara diagnosis dan pengobatan yang praktis serta efisien untuk
mengatasi masaiah kesehatan reproduksi dan IMS dalam masyarakat.
5. Penatalaksanaan
I<onseling
Operasi
TRIKOMONIASIS
.( Berikan metronidazol 3x500 mg oral selama 5 hari
.( I'erhatikan bahwa pada beberapa pasien, obat ini akan menimbulkan
mual/muntah sehingga perlu diberikan dosis ulangan atau ganti pemberian
oral dengan supositoria
.( Warna urin akan menjadi sedikit gelap dan keruh, hal ini disebabkan
ekskresi metabolit melalui urin dan akan segera kembali normal setelah
pengobatan dihentikan.
KANDIDIASIS VAGINAill
v' Berikan nlstatln atilu ketokonazol 2x200 mg oral selama 5 hari. Bila paslen
tidak ingln pemberian per orill, berikiln melalui tablet vaginalnlstatin atau
klotrimazo! 500 mg dosis tunggal .
./ I'enggunaan ketokonazol dapat menyebabkan mUilljmuntah dan pusing
sehingga apabi/a terjadi muntah setelah obat diminum, merupakan indikasi
untuk memberik,m ter<lpi topikal /vaglnal supositoria)
./ Obati pasangannya dengan ketokonazol 2x200 mg oral selama 5 hari.
I lakukan konseling
GONOREA
v' I'ada masa kehamiian, berikan salah satu antibiotlka berikut ini :
Amplsllln 2 9 IV dosis awal. lanjutkan dengan 3x 1 9 oral selama 7
harl
Amplsllln + sulbaktam 2,25 9 oral dosls tung gal
Spektlnomlsln 2 9 1M dosls tung gal
Seftriakson 500 mg 1M dosis tunggal
SIFILIS
.( Treponema pallidum dapat menimbulkan kelainan diln melewati plasenta
.; Pada I<ehamilan kurang dari 16 minggu, sifilis dapat- menyebabkan kematian
janin (sifilis fetalis), pada kehamilan lanjut menyebilbkan kelahiran prematur
atau gangguan pertumbuhan intrauterin ataupun dapat mengakibatkan
caeat berat (pneumonia alba Virchow, sirosis hepatis, splenomegali,
pankreatitis I<ongenital, kelainan kulit, dan osteokondritis)
.( Lesl berupa ulkus sol/tcr, dengan dasar yang bersih, berbatas halus,
berbentul< bulat atau longitudinal dan tanpa nyeri tekan,
.( Terapi:
Benzatln penlsilin 4,8 juta unit 1M setlap minggu hlngga 4 kali
pember/an
Ooksisiklin 200 mg oral dos/s awal, dilanjutkan 2x 100 mg oral hingga
20 hari
Seftriakson 500 mg 1M selama 10 hari
.( Sebelum pemberian terapi pada bayi, setiap bayi dengan dugaan / terbukti
menderita sifilis kongenital, hendaknya dilakul<an pemeriksaan cairan
serebrospinalis dan uji serologik tiap bulan samp;,i negatif, Terapi :
Benzatin penisilin 300.000 IU/kgBB perminggu hingga 4 kali
pemberian
Seftriakson 50 mgjkgBB dosis tunggal per had hingga 10 hari
.( Terapkan prinsip pencegahan infeksl pada pl:rsalinan dan penggunailn
instrumen,
.( Lakukan konseling preventif, pengobatan tuntas dan aSUhiln mandiri.
.,I Pastikan pengobatan lengkap d"n kontrol terjadwal.
KONO/LOMA AKUM/NATA
lIMFOGRANUlOMA INGUINALE
6. J(omplikasi
A. Pada perempuan
• Radang panggul
• Infertilitas
• /{ehamilan ektopik
• Abortus
• Kanker serviks
• AIDS
• Hepatitis
B.Pada bayl baru lahlr
• Prematuritas
• Sitilis kongenital
Oftalmia neonatorum
Pneumonia klamidia
• Septikemia
• AIDS
Hepatitis
C. Pada pria
, Striktur uretra
• Infertilitas
• AIDS
• Hepatitis
ISR dlseb~bkan oleh sebaglan keell mikroorganlsme (bal<terl, virus, dan fungi) yang
dltularkan melalul hubungan seksual. Kebanyakan IMS dan ISR yang juga
mengaklbatkan penyakit slstemik ISR Igonore, sifilis) yang dapat diobati, dan dicegah.
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat menurunkan kemungkinan
terjadinya komplikasi serius, seperti terjadinya infertilitas pada perempuan dan laki·
laki.
2. Epidemiologi
3. Gejala
Seperti halnya infel<sl menular sel<sual, tergantung lokasl terinfeksinya saluran
reproduksi.
4. Diagnosis
ILihat diagnosis pilda infeksi menular seksual).
Diagnosis IMS di fa$lIitas I<esehatan berdasClrkan pendekatan sindrom dengan
identifiksasi gejilla yang spesifik iltau tanda-tanda adanya IMS serta penilaian
terjadinya risiko tertular. Beberapa klien perlu dirujuk I<e tingkat fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap.
5. Penatalaksanaan
6. Komplikasi
KompJikasi ISR yi'lng tldak diobatl dapat berupa:
~ Kehamllan ektoplk : Perempuan dengan rlwayat Penyaklt Radang Panggul (PRP)
mempunyal rlsiko 7-10 kall lebih banyak untuk mengalami kehamilan el<topik.
-+ Infertilitas
Bag ian ini membahas diagnosis, perawatan, dan follow-up PID. PID penting karena
memiliki akibatjangka panjang yang serius seperti nyeri pelvic, gangguan kehamilan dan
infertilitas. Keadaan ini merupakan akibat dari post-infection scarring yang biasanya
terkait dengan penyembuhan. Virulensi infeksi dan filktor immune inang Ihausl yang
sama·sama menentukan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Keildilan in; dapat berupa
tubal closure, extensive peritubal adhesions, intratubal adhesions, mucosal dan cilial
damage, yang semuanya ini mengakibatkan kehamilan ectopic dan infertilitas [termasuk
interferensi terhadap transpor ovum dan migrasl sperma/. Pada sebuah penelitian WHO
multlpusat yang besar yang melibatkan 8.000 pasangan di 2S negara, yang diteliti
infertilltasnya, sekitar 32 persen diagnosis merupakan infertilitas faktor tuba/pada wanita.
Insidensl
Insidensi PIO tidak diketahui, karena banyak kasus yang tidak diketahui sampai penelitian
tentang infertilitas ini dilakukan tidak terdap4lt catatan kasus PIO yang dimiliki secara
nasional terlepas dari catat.m terdiagnosis darl semua pengunjung klinik genitourinary
[GUM/IKe 60 return/.
Etiologi
Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachoma tis merupakan organisme paling penting,
meskipun Gardnerella vaginalis, anaerobes dan organisme lain seperti mycoplasmas
biasanya terdapat dalam vagina dapat juga diimplikasikan, Beberapa (aktor lain yang
terkait dengan PID meliputi:
Usia muda r<25 tahun)
Berganti-ganti pasangan seksual
Riwayat masa lalu STI (pada pasien atau pasanganl
Penghentian kehamilan
Pemasangan IUD pada 6 minggu terakhir
Hysterosalpingography
Prosedur fertiJisasi in· vitro
Endometritis postpartum
Bacterial v,7ginosis
Pasangan seks baru rdalam wal(tu 3 bulan sebelumnyal.
Diagnosis
Penyakit inflammatory pelvic dapat bersi'at symptomatic atau asymptomatic. Pada
pasien simtomatis, gejala klinis dan tanda-tanda kekurangan sensltivitas dan spesifitas.
Nilal prediktif diagnosis kllnis sebesar 65·90 persen dibandingkan dengan diagnosis
laparoskopis di pihak yang berpengalaman. Gejala yang menunjukkan PIO meliputi:
Tanda.tanda yang dikaitkan dengan PID biasanya bersifat non spesifik. Pyrexia bisa
muncuJ, tetapi tidak eksklusif. I(elembutan abdominal bawah dan adnexal pada
pemeriksaan bimanual maupun eksit1lsi keNiks I cervical motion tenderness) pada
PPDSlc)~"""'G~v2015 270
pemeriksaan bimanual merupakan indikasi inflamasi akut yang mempengaruhi pelvic
peritoneum. Meskipun demikian. hal ini tidak bersifat spesifik untuk PID. Beberapa kondisi
lain yang harus dipertimbangkan ketika memeriksa nyeri abdominal bawJh pada wanita
muda meliputi;
Kehamilan ectopic
• Appendicitis akut
Endometriosis
Komplikasl klsta ovarium (torsi atau rupture)
Konstipasi
Nyeri fungslonal (nyeri yang tidak diketahui asa/nya)
Pengelolaan
Ada kemungkinan penundaan perawatan akan meningkat/<an risiko berkembangnya
akibat pro Jangka panjang sepertl kehamllan ectopic, nyeri pelvic dan kemandulan.
I{arena Itu, dan kurangnya kriteria diagnosis definitif, disarankan agar dol<ter memlliki
suatu ambang rendah untuk perawatan secara empiris.
Penting pula bahwa wanita tidak dinyatakan dengan diagnosis keliru hanya I<arena
mereka tampak sepe~i masuk da/am kelompok risi/<o tinggi terkena PID. Harus dilakukan
upaya untuk menegaskan diagnosis yang benar terutama pada episode kambuhan nyeri
abdominal bawah. Da/am lingkup gynaecologi penting juga untul< tidak melUpClI(Cln
penelitian dan perClwCltan pada pasangan (pasangan·pasangan) seks. untui< mencegah
infeksi ulang.
Tlndakan Umum
DlsClrankan untuk IstirCthCtt pCtda penyaklt yang parah Iterutam" menjadl paSien rawat
inap untuk pengClmCltan pemeriksaan bahwa terjadi resolusi gejala maupun tanda
tanda) (11).
Tes kehamilan hendaknya dilakukan [IIJ.
Disarankan analgesia yang tepat [IIJ.
Terapi Parenteral sebagai pasien rawat inap disarankan bagi mereka yang mengalami
penyakit parah flf].
Pasien hendaknya menghindari hubungan seks sampai pasien dan pasangan·
pasangannya benar·benar terawat dan kontak seksnya terlacak [IIJ.
Perawatan Antibiotik
Perlu antibiotik spektrum luas yang akan mencakup gonorrhoea dan chlamydia. Kurang
bukti tentang penggunaan antib/otik maupun pencegahan komplikasi jangka pimjang
dan sediklt data tentang bentuk perawatan oral daripada bentuk perawatan parenteral.
Ada beberapa faklor penting yang dipertimbangkan I<etika memiliki suatu bentuk
perawatan:
• Sensitivitas antimil<roba (terutama gonorrhoea),
• Epidemi%gi infeksi /aka/ (untuk mengetahui tempat adanya prevalensi tinggi untuk
gonorrhoea),
• blaya,
• pREFERENSI pasien dan f,emungkinan kepatuhan,
• keparahan penyakit
272
W1)( r I1J""'1YuJ.a.",G~,v2015
disubstitusi) diikuti dengan clindamycin oral 450 mg empat kali sehari atau
doxycycline oral 100 mg dua kali sehari selama 14 hari. ditambah metronidazole oral
400mg dua kali sehari selama 14 hari.
Apabi/a bentuk pengobatan dl atas tidak tersedia. terapi 14 hi1ri untuk mencakup N.
gonorrhoeae (quin%nes, cephalosporins, penicillin - dengan mengingat kepekaan
seCilril lokal), C. trachomatis /tetracyc/ines. macro/ides) dan bakteria anaerobic
(metronidazole) hendilknya digunakan.
Follow-up
Semua pasien hendaknya di-follow-up tiga hari untul< melilkukan pemerii<saan
peningkiltiln milupun pengecua/ian perlunya perawatan parenterill atau surgicifl. Kajian
lebih lanjut pada masa 4 Minggu dlrekomendets;kan untul< memeriksif resolus; geja/a
milupun untul< membahas masalah Jangka panjang. Masa inl merupal<iln waktu yang
ideal untuk melakukan check up dengan memberi tahu pasien dan melakukan perawatan
dan pemberitahuiln pada pasangan.
REFERENSI
I. Mann M C.ln'oction and sexual h~alrh. In Luesley OM. Baker PN. er.1: Obstetrics and Gynaecology. An evidence
lor MJ1COG, 2004, Arnold Publisher, london.
bclsed text