Anda di halaman 1dari 140

DAFTAR ISI

Halaman
BENIGN POSITIONAL PAROXYSMAL VERTIGO 1
PENYAKIT MENIERE 3
NEURITIS VESTIBULARIS AKUT 5
OTOTOKSIK 6
SUDDEN HEARING LOSS 8
ATRESIA LIANG TELINGA 10
BELL'S PALSY 11
BENDA ASING LIANG TELINGA 12
FRAKTUR TEMPORAL 14
OTITIS EKSTERNA 16
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS 18
OTITIS MEDIA AKUT 22
RAMSAY HUNT SYNDROME 24
SERUMEN PROP 26
TRAUMA LIANG TELINGA 27
TRAUMA MEMBRAN TIMPANI 28
TULI AKIBAT BISING 29
RINITIS ALERGI 30
BENDA ASING HIDUNG 32
DISLOKASI DAN FRAKTUR SEPTUM 34
EPISTAKSIS 36
FRAKTUR HIDUNG 38
POLIP HIDUNG 39
RHINITIS MEDIKAMENTOSA 41
RINITIS ATROFI 42
RINOSINUSITIS 43
SEPTUM DEVIASI 46
FRAKTUR MAKSILLA 47
LABIOSKIZIS 49
PALATOSKISIS 50
NEOPLASMA TONSIL 51
KARSINOMA LARING 53
KARSINOMA NASOFARING 56
TUMOR JINAK PITA SUARA 59-
TUMOR LIDAH 60
TUMOR PAROTIS 62
AKALASIA 64
BENDA ASING TRAKEO-BRONKIAL 65
ESOFAGITIS KOROSIF 66
FISTULA TRAKEOBRONKOESOFAGUS 68
STENOSIS TRAKEOBRONKHIAL 69
VARISES ESOFAGUS 70
ABSES SUB MANDIBULA 71
FARINGITIS KRONIK 72
FARINGITIS 75
LARINGITIS AKUT 76
LARINGITIS KRONIS 78
LARINGOMALASIA 79
BENIGN POSITIONAL PAROXYSMAL VERTIGO

PENGERTIAN
Gangguan keseimbangan perifer yang ditandai dengan serangan vertigo dan nistagmus
yang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala akibat pengaruh gravitasi

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita BPPV adalah:
1. Vertigo yang timbul tiba-tiba akibat perubahan posisi
2. Mual dan muntah
3. Nistagmus

PEMERIKSAAN FISIK
1. Otoskopi
2. Nistagmus

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Tes Vestibular

DIAGNOSIS BANDING
1. Penyakit Meniere
2. Labirintitis
3. Neuritis Vestibular
4. Tumor VIII
5. Multiple Sklerosis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektronistagmografi
TERAPI
1. Melakukan perasat sesuai dengan kanal yang terlibat
Perasat unutk BPPV pada kanal posterior dan anterior:
a. Canalith Repositioning Treatment (CRT) atau Epiey's Manuevers.
b. Perasat Liberatory.
c. Perasat Brandt daroff.
Perasat untuk BPPV pada kanal horizontal:
a. Barbecue Manuevers
2. Obat-obat antiemetik, anti vertigo dan benzodiazepine (valium)
3. Bedah

EDUKASI
1. Mencegah perubahan posisi secara mendadak
2. Melakukan latihan perasat sesuai dengan kanal yang terkena dirumah secara teratur

PROGNOSIS
Sembuh atau dapat berulang

KEPUSTAKAAN
1.Agrawai Y, Minor LB, Carey JP. Peripheral Vestibular Disorders.Dalam: Bailey's
Head and Neck Surgery Otolaryngology. Volume 2. Fifth Edition. Philadelphia.
Lippincot Williams & Wilkins. 2014. Hal. 2701-15
2. Friedland DR, Minor LB. Meniere Disease, Vestibuler Neuritis, Beningn Paroxysmal
Positional Vertigo, Superior Semicircular Canal Dehiscence, and Vestibuler
Migraine.Dalam: Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC
Decker. Philadelphia. 2.009. Hal. 313-42
3. Santina CCD, Minor LB, Selters W. The Vestibuler System.Dalam: Essential
Otolaryngology: Head and Neck Surgery. Ninth Edition. Me Graw Hili Medical.
United States of America. 2008. Hal. 94-134
4. Halmagyi JO, Zee DS, Janssen I, Hain TC. Effectiveness of Particle Repositioning
Manuever. The Treatment of Benign Positional Vertigo; A systematic Review.
Physical Therapy J. 2010 663-78.
5. Bashiruddin J, Hadjar E. Vertigo Posisi Paroksimal Jinak. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Keseha Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 6. Balai penerbit
FKUI. Jakarta. 20 Hal.104-10.
PENYAKIT MENIERE

PENGERTIAN
Penyakit telinga dalam yang diduga disebabkan karena meningkatnya cairan endolimfe

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita meniere adalah :
1. Vertigo
2. Tinnitus
3. Tuli sensorineural
4. Perasaan penuh pada telinga
5. Mual dan muntah

PEMERIKSAAN FISIK
1. Otoskopi
2. Nistagmus, pada saat terjadi serangan
3. Pemeriksaan garpu tala; tes rinne (+), tes weber laterisasi ke telinga yang sehat.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik THT
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Tumor N VIII
2. Labirintitis
3. Multiple Sklerosis
4. Neuritis Vestibuler
5. Benign Positional Paroxysmal Vertigo (BPPV)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Audiometri
2. Tes gliserol
3. Tes kalori
4. Elektrokokleagrafi

TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Medikamentosa
- Vestibular sedative
- Vasodilator perifer
- Diuretik
2. Bedah

EDUKASI
Diet rendah garam dan tidak merokok

PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang tepat

KEPUSTAKAAN
1. Agrawal Y, Minor LB, Carey JP. Peripheral Vestibular Disorders.Dalam: Bailey's
Head and Neck Surgery Otolaryngology. Volume 2. Fifth Edition. Philadelphia.
Lippincot Williams & Wilkins. 2014. Hal. 2701-15
2. Bashiruddin J, Hadjar E. Penyakit Meniere. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 5. Balai penerbit FKUI.
Jakarta. 2007. Hal.81-84
3. Dhingra PL. Meniere's Disease.Dalam: Disease of Ear, Nose and Throat. Fifth
Edition. Elsevier. New Delhi. 2010. Hal. 111-16
4. Friedland DR, Minor LB. Meniere Disease, Vestibuler Neuritis, Beningn
Paroxysmal Positional Vertigo, Superior Semicircular Canal Dehiscence, and
Vestibuler Migraine. Dalam^Ballenger s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgerya. BC Decker. Philadelphia. 2009. Hal. 313-42
5. Santina CCD, Minor LB, Selters W. The Vestibuler System.Dalam: Essential
Otolaryngology. Head and Neck Surgery. Ninth Edition. Me Graw Hill Medical.
United States of America. 2008. Hal. 94-134
OTOTOKSIK

PENGERTIAN
Kerusakan pada struktur telinga dalam yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan
dan zat kimia yang menimbulkan reaksi toksik pada struktur koklea dan organ
vestibuler. Obat- obatan ototoksik (Antibiotikgolongan Aminoglikosida, Loop Diuretic,
Asam Salysilat,obat kemoterapi : Cisplatin dan Carboplatin).

ANAMNESIS
1. Adanya riwayat pemakaian obat-obatan ototoksik
2. Dijumpai gangguan pendengaran,dapat berupa penurunan ambang pendengaran
pada frekuensi tinggi
3. Dijumpai tinnitus
4. Dijumpai gangguan keseimbangan

PEMERIKSAAN FISIK
1. Terjadi gangguan pendengaran bilateral disertai tinnitus
2. Otoskop: menilai bentuk dan warna membrane timpani,dijumpai perforasi atau tidak
3. Pemeriksaan Rinne Test,Weber Test dan Schwabach menunjukkan SNHL
(Sensorineural/hearing loss)
4. Pemeriksaan Audiometri Nada Murni menunjukkan SNHL
5. Pemeriksaan Romberg Test: menilai ada tidaknyagangguan keseimbangan

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Inspeksi
3. Otoskopi
4. Rinne Test, Weber Test, Schwabach Test
5. Audiometri Nada Murni dan Timpanometri
6. Pada pasien yang tidak kooperatif dilakukan OAE atau ABR
7. Tes Keseimbangan : Romberg Test
DIAGNOSIS BANDING
1. Meniere's disease
2. Idiopatic sudden sensoryneural hearing loss

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto rontgen polos mastoid
2. CT Scan Temporal
3. OAE
4. ABR
5. Pemeriksaan fungsi ginjal

TERAPI
1. Pemberian Antioksidan, Vitamin E, Alpha Lipoicacid, dan Ginko Biloba
2. Penghentian obat - obatan yang bersifat ototoksik
3. Alat Bantu Dengar
4. Psikoterapi
5. Auditory Training
6. Pemasangan Implankoklea (Cochlear Implant)

EDUKASI
1. Menganjurkan pasien untuk jangan membeli obat, tanpa konsultasi kedokter
2. Pada pasien kemoterapi cisplatin dan carboplatin dianjurkan untuk menghindari
suasana bising sampai 6 bulan sesudah terapi selesai
3. Menganjurkan kepasien utuk sering mengkornsumsi buah- buahan dan sayuran yg
banyak mengandung antioksidan

PROGNOSIS
Pemakaian dalam jangka waktu lama dan dosis yg tinggi dapat menimbulkan gangguan
pendengaran yang bersifat permanen.
KEPUSTAKAAN
1. Brendan C. Stack Jr. in Bailey Byron J, Head &Neck Surgery-Otolaryngology,
fourth edition, volume one, Maxillary and periorbital fractures, Lippincot William-
Wilkins, Philadelphia, USA, 2006: 70: 975-993.
2. Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, volume two,
Nasal Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2001: 71A: 995-
1008.
3. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL
Indonesia, 2007.
SUDDEN HEARING LOSS

PENGERTIAN
Sensasi subjektif hilangnya pendengaran pada satu atau kedua telinga, umumnya
unilateral, berlangsung cepat dalam periode 72 jam atau kurang, dengan kehilangan
pendengaran lebih dari 30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi audiometri berturut-
turut

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita tuli mendadak adalah:
1. Onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung tiba-tiba,progresif cepat atau
lambat, fluktuatif, atau stabil)
2. Adanya persepsi subjektif pasien mengenai derajat ketulian, serta sifat ketulian
(unilateral atau bilateral)
3. Adanya sensasi penuh pada telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia, otorea,
nyeri kepala, keluhan neurologis, dan.keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma,
konsumsi obat- obat ototoksik, operasi dan penyakit sebelumnya, pekerjaan dan
pajanan terhadap kebisingart, serta faktor predisposisi lain yang penting

PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu normal
b. Hum testdan tes penala untuk membantu klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli
sensorineural

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik THT: Otoskopi, Hum Test, Tes penala
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksi/Inflamasi
2. Trauma
3. Tumor
4. Toxin
5. Vaskular
6. Idiopatik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Audiometri tutur (speech audiometry) dan audiometric impedans (timpanometri dan
pemeriksaan refleks akustik), terdapat penurunan pendengaran >30 dB sekurang-
kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometric
2. Auditory brainstem response(ABR)
3. MRI dan TomografiKomputer (CTScan)

TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Medikamentosa
Kortikosteroid Sistemik
- Prednison Oral 1mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60 mg/hari
selama 10-14 hari
- Metilprednisolon 48 mg
- Deksametason 10 mg
Pengobatan dengan desis maksimum selama 4 hari diikuti tappering off10 mg
setiap dua hari
2. Kortikosteroid Intratimpani
- Deksametason 10-24 mg/mL
- Metilprednisolon 30 mg/mL
3. Hiperbarik Oksigenasi

EDUKASI
Tuli mendadak merupakan suatu kegawatdaruratan yang harus segera ditangani.
Keluhan tuli mendadak dan tinnitus dapat sangan menggangu psikologis penderita. Jika
terlambat diatasi dapat berakibat tuli permanen
PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang cepat dan tepat. Prognosis tuli mendadak tergantung
pada beberapa faktor, yaitu usia, derajat gangguan pendengaran, metode pengobatan
yang digunakan, saat memulai pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular, dan faktor
predisposisi lainnya. Evaluasi perbaikan pendengaran pada tuli mendadak, terdiri atas
pemulihan total, pemulihan bermakna, pemulihan minimal, dan tidak ada pemulihan.

KEPUSTAKAAN
1. K.J. Lee, MD, FACS : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, Eighth
edition, McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York Chicago, 2003
2. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs
DM, et al. Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of the
American Academy ofOtolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head
Neck Surg. 2O12;146:S1.
3. 2. Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP, Gantz BJ, et al. Oral vs
intratympanic corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing
loss: A randomized trial. JAMA.2011;305(20):2071-9.
4. Bailey BJ, Johnson JT. Head and neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
5. Cummir.gs CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT,
et al. Cummings otolaryngology head and neck surgery. 4th Ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby; 2005.
6. Arslan N, Oguz H, Demirci M, Safak MA, Islam A, Kaytez SK, et al. Combined
intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic sudden sensorineural
hearing loss. Otol Neurotol.2011;32:393-7.
ATRESIA LIANG TELINGA

PENGERTIAN
Suatu kelainan yang jarang terjadi dengan karakteristik pembentukan jaringan fibrosis
pada liang telinga.

ANAMNESIS
1. Telinga terasa tersumbat
2. Riwayat trauma kepala
3. Riwayat perdarahan dari liang telinga
4. Riwayat luka robek pada daun telinga
5. Gangguan pendengaran

PEMERIKSAAN FISiK
1. Liang telinga buntu/atresia
2. Jaringan sikatrik bekas luka di konka aurikula

DIAGNOSIS BANDING
1. Stenosis liang telinga

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan pendengaran
2. Audiometri nada murni
3. CT-Scan temporal

TERAPI
1. Operasi kanaloplasti dengan pendekatan transkanal, pendekatan postaurikula
(endaural)

EDUKASI
1. Self cleaning liang telinga
2. Stimulus suara
PROGNOSIS
Rekurensi atresia liang telinga pasca operasi tergantung kepada penyakit dasarnya
dengan angka kegagalan dapat mencapai 10-20%.

KEPUSTAKAAN
1. Harcourt JP. Acquired atresia of the external ear. In: Gleesom M et al editors. Scott-
Brown Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 7nd ed. 2008. p. 3346-50
2. Kroon DF, Strasnick B. diseases of the auricle, external auditory canal, and
tympanic membrane. In: Glasscock 111 ME, Gulya AJ, editors. Glasscock-
Sambaugh, Surgery of the ear. 5th ed. Hamilton Ontario: BC. Decker Inc; 2003. p.
345-67
3. Jung T.M.K, Jinn T.H. diseases of the External Ear. In: snow Jr JB, Ballenger J,
editors. Ballenger's Otolaryngologi Head and Neck Surgery. 6th ed. Hamilton
Ontario: B. Decker Inc: 2003. p. 230-48
BELL'S PALSY

PENGERTIAN
Suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus
fasialis perifer.

ANAMNESIS
1. Paralisis fasial komplit
2. Otalgia
3. Rasa penuh pada telinga
4. Hiperakusis pada telinga
5. Migraine
6. Gangguan pengecapan
7. Mata kering

PEMERIKSAAN FISIK
1. Otot muka pada sisi yang sakit tidak dapat bergerak
2. Lipatan-lipatan didahi akan menghilang
3. Tampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat
4. Pemeriksaan nervus kranialis lainnya normal

DIAGNOSIS BANDING
1. Tumor
2. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt Syndrome)
3. Penyakit lyme
4. AIDS
5. Infeksi tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah
6. Guillen Barre Syndrome

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
2. Pemeriksaan radiologis dengan CT-Scan atau radiografi polos
3. MRI
4. Pemeriksaan elektromiografi (EMG)

TERAPI
1. Antibiotik anti viral: Acyclovir 5x400 mg peroral selama 7-10 hari
2. Prednisone 40-60 mg/hari/oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan
perlahan- lahan selama 7 hari

EDUKASI
Gunakan kaca mata untuk melindungi mata dari jejas dan mengurangi kekeringan

PROGNOSIS
Sekitar 80-90% penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan tanpa ada
kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih berisiko tinggi meninggalkan
gejala sisa yaitu sinkinesis, crocodile tears, kadang spasme hemifasial.

KEPUSTAKAAN
1. Ropper AH, Brown RH. Bell's Palsy Disease of The Cranial Nerve. Adams and
victor's Principles of Neurology, 8th ed. New York: McGraw Hill. 2005. p. 1181-84
2. Holland, J. Bell'Palsy. Brithis Medical Journal. 2008, vo! 1. p. 1204
BENDA ASING LIANG TELINGA

PENGERTIAN
Terdapatnya benda asing pada liang telingayang pada keadaan normal tidak dijumpai.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita benda asing liang telinga:
1. Benda asing reaktif (batere, concrete, iron slag): edema liang telinga luar dan dapat
dijumpai sekret bila terjadi infeksi sekunder.
2. Benda asing non reaktif (inert): tidak bereaksi dengan kulit liang telinga dan tanpa
menyebabkan gejala sampai terjadi infeksi.
3. Benda asing serangga: menyebabkan iritasi dan nyeri karena pergerakannya.

Macam-macam benda asing:


1. Benda Hidup:cacing, nyamuk, semut, lalat dan lainya
2. Benda Mati: organik dan non organik
3. Organik: kacang, daun dan lainnya
4. Non-Organik: batu, kancing, dan lainnya

PEMERIKSAAN FISIK
1. Edema liang telinga
2. Sekret pada liang telinga bila terjadi infeksi sekunder

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Inspeksi
2. Otoskopi

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS BANDING
1. Otitis eksterna difusa
2. Otitis eksterna sirkumskripta

TERAPI
1. Benda asing serangga harus dimatikan terlebih dahulu dengan menyemprotkan eter,
alkohol, minyak, air garam kedalam liang telinga dan kemudian diekstraksi dengan
menggunakan forcep
2. Benda asing organik yang kecil dapat diektraksi dengan pengait benda asing atau
forcep
3. Benda asing organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, oleh
karenanya benda asing higrosopis dihindari agar tidak terkena cairan
4. Benda asing anorganik yang terlihat dapat diekstraksi dengan pengait kecil dan bila
tidak terlihat cukup disemprot dengan cairan
5. Bila kasusnya sulit misalnya benda asing terdapat di ismus atau ressus anterior,
perlu dilakukan insisi endaural atau insisi post aurikuler (jangan menggunakan
alkohol bila terdapat perforasi sebab ototoksik)

EDUKASI
1. Jauhkan benda benda kecil dari jangkauan anak anak
2. Hindari pengorekan telinga dengan cotton but

KEPUSTAKAAN
1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat Disease,
Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994, p: 71-75
2. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery,
Elseiver Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
3. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok,
kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
4. David, William, Alexander, Outer Ear Infection to the External ear in
Otolaryngology head and Neck Surgery, Seventh Edition, The C>V> Mosby
Company, Missouri, 1988, P; 396-40
FRAKTUR TEMPORAL

PENGERTIAN
Fraktur tulang temporal adalah retak atau pecahnya tulang temporal sehingga tidak utuh
lagi.

ANAMNESIS
1. Gangguan pendengaran
2. Pusing
3. Otore
4. Rhinore
5. Kelemahan nervus fasialis
6. Diplopia
7. Riwayat trauma (+)

PEMERIKSAAN FISIK
1. Tampak darah keluar dari liang telinga
2. Pengurtipulan darah di belakang membran timpani
3. Memar pada kulit di belakang telinga

KRITERIA DIAGNOSIS
Fraktur tulang temporal dibagi menjadi 4 berdasarkan orientasi relatif terhadap sumbu
panjang tulang petrosa,
1. Fraktur longitudinal
2. Fraktur tranversal
3. Fraktur obiik
4. Fraktur campuran

DIAGNOSIS BANDING
1. Konduktif atau sensorineural
2. Vertigo Perifer atau sentral
3. Defisit saraf kranialis V intratemporal
4. Cedera Nervus fasialis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi: CT Scan tulang temporal, MRI
2. Tes pendengaran: audiogram
3. Tes saraf fasialis
4. Tes vestibular

TERAPI
1. Menstabilkan keadaan neurologis dan keadaan umum
2. Antibiotika
3. Operasi indikasi dari
a. Perforasi membran timpani
b. Parese fasialis
c. Kebocoran LCS

KOMPLIKASI
1. Penurunan pendengaran
2. kelumpuhan saraf wajah
3. Kebocoran cairan serebrospinal
4. Fraktur kanalis karotis
5. Vertigo

EDUKASI
1. Gunakan sabuk pengaman ketika berkendaraan
2. Gunakah helm ketika berkendaraan bermotor
3. Hindari mengendarai kendaraan dengan kecepatan
4. Untuk perjalanan yang dekat gunakan lah sepeda

PROGNOSIS
Bisa menyebabkan cacat sementara dan tetap, Jarang menyebabkan kematian
KEPUSTAKAAN
1. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Middle Ear and Temporal BoneTrauma. Head
&Neck Surgery - Otolaryngology, 4th ed. Lippincott Willia&Wilkins
Publisher;2006.p. 2057-2079
2. Lee KJ. Noninfectious Disorders of the Ear. In : Lee KJ, editor. Essential
Otolarngology Head & Neck Surgery, 8th ed. McGraw-Hill;2003.p.512-534.
3. Toner JG, Ker AG. Ear Trauma.In: Booth JB, editor. Otology, Scott-Browns's
Otolaryngology, 6th ed. Butterworth Heinemann;1997.p.3/7/1-3/7/13
OTITIS EKSTERNA

PENGERTIAN
Otitis eksterna adalah infeksi pada liang telinga luar, biasanya dikenal sebagai
"Swimmer's ear disease".

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita otitis eksterna difusa adalah :
1. Rasa gatal pada telinga
2. Rasa tidak nyaman pada telinga
3. Otalgia
4. Keluarnya cairan dari telinga
5. Pendengaran yang berkurang
6. Tinitus

PEMERIKSAAN FISIK
1. Rasa nyeripada tragusbila dilakukan manipulasi
2. Eritema dan edema pada Liang telinga luar
3. Cairan purulen
4. Eksema pada daun telinga
5. Infeksi glandula parotis

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Otomikroskopi
3. Pemeriksaan bakteriologi
4. Pemeriksaan laboratorium

DIAGNOSIS BANDING
1. Otomikosis
2. Otitis eksterna maligna
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Cek lab darah untuk menyingkirkan DM

TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Membersihkan liang telinga (aural toilet) secara berhati-hati.\
2. Penilaian terhadap sekret, edema dinding kanalis dan membran timpani, jika
memungkinkan dilakukan kultur dan tes sensitivitas.
3. Pemilihan pengobatan lokal.
4. Analgetik diperlukan untuk penanganan nyeri.

EDUKASI
1. Menganjurkan pasien untuk tidak mengorek-ngorek telinga
2. Menggunakan ear plug jika berenang
3. Menjaga kelembapan liang telinga
4. Keringkan telinga jika kemasukan air

PROGNOSIS
Pada pasien otitis eksterna memberikan hasil yang baik dalam 48 - 72 jam setelah
pemberian antibiotik.

KEPUSTAKAAN (

1. Wright D, Diseases of the external ear, In : Scott-Brown's Otolaryngology, 7


edition, Oxford Boston Johannesburg, Elsevier, 2008.
2. Rosenfeld RM, et al. "Acute Otitis Externa." Guideline Summary Otolaryngology
Head and Nec.k Surgery, 2006.
3. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR). "Estimated burden of acute otiti
externa-United States, JAMA, 2011
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

PENGERTIAN
Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis telinga tengah disertai perforasi
membran timpani dengan sekret yang dialami lebih dari 6-12 minggu secara terus
menerus atau hilang timbul. OMSK terdiri dari 2 tipe yaitu:
1. OMSK tanpa kolesteatoma
Proses peradangan terbatas pada mukosa dan tidak mengenai tulang. Perforasi
terletak sentral dan jarang menimbulkan komplikasi berbahaya. Pada OMSK ini
tidak terdapat kolesteatoma, terdiri dari fase tenang dan fase aktif.
2. OMSK dengan kolesteatoma
OMSK ini ditandai dengan perforasi yang letaknya marginal atau atik, Mengenai
tulang dan disertai dengan kolesteatoma, juga sering menimbulkan komplikasi yang
berbahaya

ANAMNESIS
Pasien datang dengan keluhan telinga berair dan riwayat otitis media berulang, perforasi
traumatik atau riwayat pemasangan ventilation tubes.Pasien juga mengeluhkan adanya
gangguan pendengaran. Keluhan demam, vertigo dan nyeri merupakan kecurigaan
terhadap komplikasi intratemporal dan intrakranial. Riwayat OMSK yang persisten
setelah pengobatan medikamentosa sebaiknya dicurigai adanya kolesteatoma.

Kuman penyebab
Kuman penyebab yang dapat ditemukan pada OMSK adalah kuman gram positif dan
negatif, serta kuman aerob dan anaerob. Kuman penyebab tersering adalah aerob
(Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, S.aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus
mirabilis, Klebsiella sp) atau anaerob (Bacteroides, Peptostreptococcus,
Proprionibacterium).
PEMERIKSAAN FISIK

Tanda- tanda yang dapat OMSK tanpa OMSK dengan


dijumpai pada OMSK Kolesteatoma kolesteatoma
Sekret Banyak, Mukoid, tidak Sedikit, purulent, berbau
berbau
Perforasi Sentral Atik atau marginal
Granulasi Jaranf dijumpai Sering dijumpai
Polip Pucat Merah
Kolesteatoma Tidak Dijumpai Dijumpai
Komplikasi Jarang Dijumpai Serimg Dijumpai
Audiogram Tuli konduktif ringan Tuli konduktif atau
sampai sedang campuran

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. PemeriksaanPenunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Otitis Eksterna
2. Tumor telinga

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Fotorontgen mastoid
2. Bakteriologisekret
3. Pemeriksaanaudiometri
4. CT scan temporal
5. Laboratorium: darahrutin, dll
TERAPI
OMSK tanpa kolesteatoma:
 Medikamentosa:
1. Menghindari aktivitas air
2. Cuci ilang telinga:
a. NaCI 0,9%.
b. Asam asetat 2%
c. Peroksida 3%
d. Antibiotik dan obat tetes telinga (dengan pertimbangan)
 Bedah:
Bila perforasi masih menetap setelah 3 bulan pengobatan medikamentosa dapat
dilakukan timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi

OMSK dengan kolesteatoma tanpa komplikasi


 Medikamentosa:
1. Menghindari aktivitas air.
2. Cuci liang telinga:
a. NaCI 0,9%
b. Asam asetat 2%
c. Peroksida 3%
3. Antibiotika:
a. Topikal: Ofloksasin
b. Sistemik: anti Pseudomonas sp. (golongan Quinolon dan Sefalosporin
generasi ketiga)
4. Tatalaksana multidisiplin :
a. Ilmu penyakit dalam atau anak
 Bedah:
1. Timpanoplasti dinding runtuh
2. Radikal mastoidektomi
3. Radikal mastoidektomi dengan modifikasi
OMSK dengan kolesteatoma disertai komplikasi
 Medikamentosa:
1. Menghindari aktivitas air
2. Cuci liang telinga:
a. NaCI 0,9%
b. Asam asetat 2%
c. Peroksida 3%
Antibiotik:
3. Topikal: Ofloksasin
Sistemik:
a. Ampisilin: 200-400 mg/Kg BB/hari, terbagi 4 dosis, IV
b. Kloramfenikol: 75-100 mg/Kg BB/hari, terbagi 4 dosis, IV
c. Metronidazol: 3 X 500 mg (dewasa), 3 X 250 mg (anak)
Tatalaksana multidisiplin:
4. Ilmu penyakit saraf (neurologi).
a. Ilmu bedah saraf.
b. Ilmu penyakit dalam atau anak
 Bedah:
a. Timpanoplasti dinding runtuh
b. Radikal mastoidektomi
c. Radikal mastoidektomi dengan modifikasi

KOMPLIKASI
Infratemporal:
1. Tuli konduktif, sensorineural, atau campur.
2. Labirinitis.
3. Paresis saraf fasialis.
4. Petrositis.
Intrakraniai :
1. Abses subperiosteal
2. Abses Bezold
3. Trombosis sinus lateral atau sinus sigmoid
4. Meningitis
5. Sereberitis
6. Abses epidura
7. Abses subdura
8. Abses serebrum
9. Abses serebellum

EDUKASI
Pasien disarankan untuk menjaga telinga tetap kering dan dianjurkan untuk tidak
berenang

PROGNOSIS
Sembuh atau dapat rekuren

KEPUSTAKAAN
1. Roland, PS (2013). Chronic suppurative otitis media. Retrieved from Medscape
website: http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview
2. World Health Organization (2004). Chronic suppurative otitis media. Switzerland:
World Health Organization.
3. Probst, R., Gerhard, G., & Ircr, H. (2005). Basic Otorhinolaryngology A Step By
Step Learning Guide. Stuttgart: Georg Thieme Verlag.
4. Gulya, A. (2010). Anatomy of the Temporal Bone and Skull Base. In M. E. Ill, & A.
J. Gulya, Glasscock-Shambaugh Surgery of The Ear, 6th Edition. Hamilton: BC
Decker Inc.
5. Dhingra, P. (2006). Diseases of Ear, Nose and Throat. India: Elsevier
OTITIS MEDIA AKUT

PENGERTIAN
Otitis media akut adalah peradangan akut pada telinga tengah kurang dari 6 minggu
yang disebabkan oleh infeksi seperti virus, bakteri dan jamur yang dapat memiliki
gejala otalgia, penurunan pendengaran dan demam, otorea yang terbagi atas empat
stadium yaitu hiperemis, eksudat, supuratif, resolusi.

ANAMNESIS
1. Stadium Oklusi
Otalgia dan berkurang pendengaran, tidak dijumpai demam
2. Stadium Presupurasi
Otalgia terutama waktu malam hari, tinitus dan pendengaran berkurang. Biasanya
anak mengalami demam tinggi dan gelisah
3. Stadium Supurasi
Otalgia bertambah hebat, pendengaran berkurang, anak mengalami demam tinggi,
muntah, dan terkadang kejang
4. Stadium Perforasi
Pasien mulai tenang, suhu badan turun
5. Stadium Resolusi
Sekret akan berkurang dan akhirnya kering

PEMERIKSAAN FlSIK
1. Stadium Oklusi
Sumbatan pada tuba menyebabkan absorbsi udara dan tekanan negatif intratimpani.
Sehingga tampak retraksi membrana timpani pada pemeriksaan otoskopi
2. Stadium Presupurasi
Pada stadium ini, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah
terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang seroda sehingga sukar terlihat
3. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial,
serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol (bulging). Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak
berkurang, maka terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul
tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis
ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lembek dan bewarna
kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur
4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi
kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar
mengalir ke liang telinga luar
5. Stadium Resolusi
Bila telah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila
daya tahan tubuh baik, virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi tanpa
pengobatan

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal sebagai berikut:
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah
3. Adanya tanda peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan adanya salah satu
di antara tanda berikut: kemerahan pada gendang telinga, nyeri telinga yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal

DIAGNOSIS BANDING
1. Otitis eksterna
2. Otitis media efusi
3. Mastoiditisakut

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Timpanometri untuk menilai mobilitas membran timpani dan fungsi telinga tengah
TERAPI
1. Antibiotik
Antibiotik lini pertama adalah amoksisilin dengan dosis 80-90 mg/kg/hari. Pada
pasien dengan penyakit berat dan bila mendapat infeksi (3-laktamase positif
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalisterapi dimulai dengan
amoksisilin-klavulanat dosis maksimal (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin dan 6,4
mg/kg/hari klavulanat dibagi 2 dosis)
2. Pembedahan Timpanosintesis
Merupakan pengambilan cairan dari telinga tengah dengan menggunakan jarum
untuk pemeriksaan mikrobiologi. Timpanosintesis harus dibatasi pada: anak yang
menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko tinggi dengan kemungkinan
OMA, anak di Unit Perawatan Intensif, membran timpani yang menggembung
Miringotomi
Insisi pada membran timpani yang bertujuan untuk ventilasi telinga tengah, drainase
cairan telinga tengah, untuk mengambil biakan. Dimana prosedur ini di lakukan
dibawah mikroskop, operasi dapat dengan anastesi lokal atau umum. Insisi dibuat
lurus melengkung sekitar 2 mm dari tepi membran timpani pada kuadran
anteroinferior atau posteroinferior dengan alat yang disebut Tympano Perforator

EDUKASI
1. Hindari faktor resiko
2. Jagakebersihantelinga

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosa baik dan dapat sembuh sempurna bila penanganan dengan
baik dan benar. Kesuksesan terapi tergantung kemampuan klinisi untuk mendiagnosa
dan memperhatikan faktor resiko pasien.

KEPUSTAKAAN
1. Shambaugh, G.E. (2010) 'Pathology and Clinical Course of Inflammatory Disease of
the middle Ear'. In: Shambaugh, G.E. & Glosscoc, M.E. (Eds.). Surgery of the Ear.
6th ed. Connecticut: Sander, pp. 425-26.
2. Conover (2013) Otitis Media, Emergency Medicine Grand Rounds. California, pp.
1-6.
3. Mafee, M.F. &Valvassori, G. E. (2009) 'Imaging of the Temporal Bone. In:
Ballenger, J. J. (Eds.). Ballenger's Otorhinolarygology Head and Neck Surgery. BC
decker inc., pp. 145-48.
4. Munilson, J.; Edward, Y.; & Yolazenia (2013) Penatalaksanaan Otitis Media Akut,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang, pp. 1- 8.
5. Gopen, Q. (2010) 'Pathology and Clinical Course of the Inflammatory Diseases of
the Middle Ear'. ImShambaugh, G.E. &Glosscoc, M.E. (Eds.). Surgery of the Ear.
6th ed. Connecticut: Sander.
RAMSAY HUNT SYNDROME

PENGERTIAN
Infeksi virus yang mengenai ganglion genikulatum dan disertai parese nervus fasialis
yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella Zoster, yang merupakan golongan dari
herpes virus.

ANAMNESIS
Gejala klinis adalah :
Pasien datang dengan gejala berupa nyeri pada telinga, rasa terbakar di sekitar telinga,
wajah, mulut, dapat juga mengenai lidah. Vertigo, mual dan muntah dapat terjadi,
disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinitus.

PEMERIKSAAN FISIK
Tampak vesikel pada liang telinga, konka dan daun telinga. Bintik-bintik merah juga
dapat terlihat pada kulit di belakang telinga, dinding lateral hidung, palatum molle dan
lidah bagian anterolateral. Vertigo, tuli sensorineural dan parese fasialis dapat terjadi.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Otoskopi
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Bell's Palsy
2. Otitis Eksterna

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan flouresensi antibodi dan kultur
2. MRI dan tomografi komputer (CTScan)
TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
Medikamentosa
Antivirus
Acyclovir adalah 5x800 mg/hari selama 7 sampai 10 hari, Valacyclovir 3x1000 mg/hari
selama 7 hari dan Famcyclovir 3x500 mg selama 7 hari. Dosis acyclovir intravena
adalah 10 mg/kggBB/8jam selama 7 hari.
Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengurangi nyeri akut, mengurangi vertigo, dan
mengurangi terjadinya neuralgia pasca herpes.
Anti inflamasi dan analgetik juga diberikan sebagai terapi simptomatis.
Antibiotik diberikan bila dicurigai adanya sekunder infeksi

PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang cepat dan tepat. Prognosis tergantung pada beberapa
faktor, yaitu metode pengobatan yang digunakan, saat memulai pengobatan.

EDUKASI
1. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan rnengkonsumsi vitamin.
2. Mengkonsumsi buah dan sayur serta berolahraga teratur.

KEPUSTAKAAN
1. Bloem C. Herpes Zoster Oticus.Departement of Emergency Medicine State
University of New York Downstate Medical Center, 2013. Available in
http://www.emidicine.com/emerg/topic250.htm
2. Rofii A, Syarifudin. Terapi Acyclovir pada Herpes Zoster Otikus. Dalam : Naskah
Ilmiah pertemuan Ilmiah Tahunan. Batu Malang, 1996. H: 286-292.
3. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of The Facial Nerve, In: Bailey BJ, Johnson
JT (ed). Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Vol. 2. Fourth Edition. Lipincott
Williams & Wilimns. Philadelphia. 2006. P : 2148-9
4. Dhaeng S, Siswanto, Agung IB. Satu Kasus Sindroma Ramsay Hunt. Dalam:
Kumpulan Naskah Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan. Batu Malang. 1996. H: 268-
273.
5. Austin DF. The Ear. In : Ballenger JJ (ed). Disease of the Nose, Throat and Ear. list
ed. Lea & Febiger. Philadelphia. 1971. P : 501-516
6. Dhingra PL.Anatomy of Ear, Facial Nerve and Its Disorder. In : Diseases of Ear,
Nose and Throat. 5th ed. Elsevier. New Delhi. 2010. P : 3-11,102.
7. Gulya AJ. Developmental anatomy of the Ear. In : Glasslock ME, Shambaugh GE
(ed). Surgery of the Ear. 4th ed. WB Saunders Company, Philadelphia. 1990. P : 5-
41.
8. Liston SL, Duvall AJ. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga.Dalam: Adams et
al. Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of OtolaryngologyfEd 6. Penerbit
Buku KedokteranEGC, 1997.H: 27-38.
9. Lee KJ. Facial Nerve Paralysis, Infection of the Ear. In: Essential Otolaryngology
Head & Neck Surgery. 9th ed. Me Graw Hill Companies Inc. New York. 2010. P:
198-223, 305.
SERUMEN PROP

PENGERTIAN
Serumen yang tidak berhasil dikeluarkan dan menyebabkan sumbatan pada kanalis
austikus eksternus.

ANAMNESIS
Gejala klinis serumen prop adalah :
1. Telinga terasa penuh.
2. Pendengaran berkurang
3. Nyeri pada liang telinga karena serumen yang keras dan menekan dinding telinga.

PEMERIKSAAN FISIK
Tampak sumbatan pada liang telinga berwarna putih sampai hitam kecoklatan menutupi
saluran liang telinga.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi.
2. Otoskopi.

DIAGNOSIS BANDING
1. Benda asing di liang telinga.
2. Keratosis obturans.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

TERAPI
Ekstraksi serumen
Cara-cara ekstraksi serumen yang menumpuk di liang telinga,antara lain :
1. Serumen yang lembek dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada aplikator
(pelilit)
2. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret
3. Serumen yang sangat keras (membatu) dilembekkan terlebih dahulu dengan
karbogliserin 10% atau H2O2 3 % 3-5 tetes 3 kali sehariselama 3-5 hari, setelah itu
dikeluarkan dengan pengait atau kuret.

PROGNOSIS
Prognosis pada serumen prop baik.

KEPUSTAKAAN
1. Wright D, Diseases of the external ear, In : Scott-Brown's Otolaryngology, 7th
edition, Oxford Boston Johannesburg, Elsevier, 2008
TRAUMA LIANG TELINGA

PENGERTIAN
Trauma pada liang telinga berupa laserasi yang disebabkan oleh benda tumpul,tusukan
dan trauma thermal.

ANAMNESIS
1. Riwayat trauma : tusukan benda tajam,tusukan benda tumpul,riwayat mengorek
telinga
2. Dijumpai nyeri
3. Telinga terasa penuh
4. Keluar darah dari liang telinga

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pada inspeksi: liang telinga dijumpai laserasi, liang telinga sempit
2. Otoskop dan otomikroskop : Dinding liang telinga tampak hiperemisjuserasi dan
darah

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Inspeksi
3. Otoskop atau Otomikroskop

DIAGNOSIS BANDING
1. Fraktur temporal
2. Hemotimpanum

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto rontgen temporal/foto polos mastoid
2. CT scan temporal
3. Pemeriksaan darah rutin dan masa pendarahan
TERAPI
1. Aural Toilet: Luka dibersihkan
2. Pemasangan Tampon Telinga
3. Pemberian Antibiotik

EDUKASI
1. Menganjurkan kepasien untuk hati- hati membersihkan telinga dan jangan sering
mengorek telinga
2. Bagi pekerja bengkel atau pabrik yang menggunakan mesin las,memakai alat
pelindung telinga

PROGNOSIS
Penanganan yang cepat akan mencegah dari komplikasi jaringan parut dan fistel pada
liang telinga

KEPUSTAKAAN
1. MD Schwaber,Mitchell K(2001).Trauma to Middle Ear Inner Ear and Temporal
Bone inBalanger's : Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery.London : BC Decker.p.93- 9
TULI AKIBAT BISING

PENGERTIAN
Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss / NIHL) adalah tuli
akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan
biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja

ANAMNESIS
Riwayat pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu
yang cukup lama, biasanya lebih dari 5 tahun.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pada pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke
telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek.

KRITERIA DIAGNOSTIK
1. Anamnese
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Audiologi

DIAGNOSIS BANDING
1. Sudden Deafness Hearing Loss

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekwensi
tinggi (umumnya 3000 - 6000 Hz) dan pada frekwensi 4000 Hz sering terdapat takik
(notch) yang patognomonik
2. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity Index),
ABLB (Alternate Binaural Loudness Balance) dan Speech Audiometry
menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitment)yang khas untuk tuli saraf
koklea
TERAPI
1. Pemakaian Alat Bantu Dengar
2. Latihan pendengaran (auditory training)

EDUKASI
1. Penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising
2. Dapat dipergunakan alat pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga (ear plugs),
tutup telinga (ear muffs) dan pelindung kepala (helmet)
3. Dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya

PROGNOSIS
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka
prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya
ketulian.

KEPUSTAKAAN
1. Dobie RA. Noise induced hearing loss. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and neck
surgery-otolaryngology, 2014
RINITIS ALERGI

PENGERTIAN
Rinitis alergi adalah suatu peradangan pada mukosa hidung setelah terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE, ditandai dengan gejala-gejala pada hidung yaitu rinore
(hidung beringus yang encer dan banyak), bersin-bersin, hidung tersumbat dan hidung
gatal. Gejala ini paling tidak terjadi selama dua hari berturut-turut atau lebih selama > 1
jam sehari.

ANAMNESIS
Gejala-gejala yang sering timbul pada rinitis alergi yaitu rinore (hidung beringus yang
encer dan banyak), bersin-bersin, hidung tersumbat dan hidung gatal. Gejala ini paling
tidak terjadi selama dua hari berturut-turut atau lebih selama > 1 jam sehari. Gejala
tersebut bersifat menahun dan hilang timbul terkait dengan paparan alergen. Gejala lain
adalah penciuman berkurang/menghilang, lendir di belakang hidung, batuk-batuk.
Frekuensi serangan berat/ringannya penyakit, lama sakit dan pengaruh terhadap kualitas
hidup, seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah, tidur dan aktifitas sehari-
hari. Gejala kemungkinan penyakit penyerta seperti sakit kepala, nyeri dahi/pipi, sesak
nafas, gatal-gatal pada kulit. Gejala memberat bila terpapar iritan non-spesifik seperti
asap, rokok, udara dingin, lembab, bau merangsang dan polutan. Apakah gejala
berhubungan dengan kegemaran/hobi penderita yang dapat memicu timbulnya gejala.
Riwayat pengobatan dan hasilnya serta kepatuhan berobat

PEMERIKSAAN FISIK
1. Rinoskopi anterior
Mukosa edema, basah, bewarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang
banyak. Bila gejala persisten, konka inferior tampak hipertrofi.
2. Nasoendoskopi
Mukosa edema, basah, bewarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang
banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
3. Pada anak dapat dijumpai tanda alergi seperti: Allergic shiner, allergic salute,
allergic crease atau fascies adenoid.
KRITERIA DIAGNOSIS
Klasifikasi Rinitis Alergi menurut ARIA-WHO
1. Berdasarkan lama penyakit:
 Intermiten: yaitu jika penderita mempunyai gejala selama kurang dari 4 hari
dalam 1 minggu, atau penyakitnya baru berlangsung selama 4 minggu.
 Persisten: bila penderita mempunyai gejala selama lebih dari 4 hari dalam 1
minggu dan penyakitnya sudah berlangsung selama lebih dari 4 minggu.
2. Berdasarkan beratnya penyakit:
 Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan sebagai berikut:Gangguan
tidur, gangguan aktivitas harian dan gangguan pekerjaan atau sekolah.
 Sedang-berat, jika gejala hidungnya mengakibatkan gangguan pada satu atau
lebih aktifitas sebagai berikut: Gangguan tidur, gangguan aktivitas harian dan
gangguan pekerjaan atau sekolah.

DIAGNOSIS BANDING
1. Rinitis infeksi (virus/bakteri atau jamur)
2. Rinitis akibat kerja
3. Rinitis medikamentosa
4. Rinitis vasomotor
5. Rinitis hormonal
6. Non-allergic Rhinitis Eosinophilic Syndrome(NARES)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah/laboratorium: Hitung jenis, jumlah eosinofil meningkat, IgE
serum total dan IgE serum spesifik meningkat.
2. Kerokan mukosa hidung: Eosinofil dominan.
3. Uji tusuk kulit/prick test dengan jarum tunggal atau multiple prick test. Dapat
dilanjutkan dengan uji kulit intra dermal pengenceran berganda.
4. Foto polos sinus paranasal (bila dicurigai ada komplikasi sinusitis, bila tidak ada
respon terhadap terapi atau direncanakan untuk tindakan operasi).
5. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindaklanjuti respon
terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung.
6. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test).

TERAPI
Guideline ARIA: Penatalaksanaan Rinitis Alergi

EDUKASI
Menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Meningkatkan ketaatan
berobat dan kewaspadaan terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah
gaya hidup seperti pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres

PROGNOSIS
Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat terapi untuk
alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan sebagian besar melakukan
pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan baik.

KEPUSTAKAAN
1. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma). ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) report 2010. Canada: World Health Organization; 2010.
2. Dilingra Pl. Allergic Rhinitis. In: Disease of Ear, Nose and Throat, 4th Edition.
Noida: Elsivier; 2009. p. 157-9.
3. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ editors.
Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th Ed. New York: BC
Decker; 2003. p. 708-39.
BENDA ASING HIDUNG

PENGERTIAN
Segala jenis substansi yang masuk kedalam rongga hidung baik hidup/organik maupun
benda mati/ anorganik

ANAMNESIS
1. Hidung tersumbat
2. Sekret dalam hidung
3. Rasa sakit/ tidak
4. Makin lama dirasa semakin tersumbat/ tidak
5. Waktu (sudah berapa lama)/ kapan mulai dirasakan

PEMERIKSAAN FISIK
1. Mirip sinusitis akut, sekret mukopurulen
2. Terjadi biasanya unilateral
3. Hidung berbau busuk
4. Obstruksi hidung oleh benda asing sering kali total pada sisi yang terkena

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesa
2. Inspeksi
3. Rhinoskopi anterior dan posterior
4. Nasoendoskopi

DIAGNOSIS BANDING
1. Sinusitis akut
2. Polip hidung
3. Atresia koana

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rotgen sinus paranasal
2. CT SCAN sinus paranasal

TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain :
1. Mengeluarkan benda asing dari dalan rongga hidung
2. Penilaian terhadap mukosa hidung dan bagian dalam rongga hidung yang lain
apakah tampak adanya destruksi atau laserasi yang terjadi akibat benda asing
(terutama yang bersifat korosif dan lintah)
3. Evaluasi perdarahan yang terjadi akibat benda asing maupun proses
pengambilannya
4. Pemilihan pengobatan antibiotik, analgetik, anti haermorrhagik dan antiinflamasi
baik lokal maupun sistemik untuk pasien apabila diperlukan

EDUKASI
1. Menganjurkan pasien untuk tidak memasukkan benda asing kedalam rongga hidung
2. Menganjurkan para orangtua untuk memperhatikan anaknya saat bermain atau
beraktifitas
3. Tidak membelikan anak mainan / benda yang memiliki potongan kecil yang mudah
dimasukkan ke rongga hidung

PROGNOSIS
Pasien akan memberikan hasil yang baikdalam 24-48 jam setelah benda asing
dikeluarkan.

KEPUSTAKAAN
1. Brendan C. Stack Jr. in Bailey Byron J, Head &Neck Surgery-Otolaryngology,
fourth edition, volume one, Maxillary and periorbital fractures, Lippincot William-
Wilkins, Philadelphia, USA, 2006: 70: 975-993.
2. Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, volume two,
Nasal Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2001: 71A: 995-
1008.
3. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL
Indonesia, 2007.
DISLOKASI DAN FRAKTUR SEPTUM

PENGERTIAN
Diskolasi dan fraktur septum adalah gangguan pertumbuhan yang tidak seimbang antara
kartilago dengan tulang septum, traumatik akibat fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur
septum atau akibat trauma saat lahir.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita diskolasi dan fraktur septum adalah :
1. Hidung tersumbat, biasanya unilateral dan dapat intermiten
2. Hiposmia atau anosmia
3. Sakit kepala dengan derajat yang bervariasi

PEMERIKSAAN FISIK
1. Obstruksi hidung
2. Selalu terjadi pada sisi yang deviasi, tetapi sisi sebelahnya juga sering terjadi
obstruksi disebabkan oleh hipertropi konka
3. Perubahan mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit menyebabkan efek
kering sehingga terjadi pembentukan krusta. Pengangkatan krusta dapat
menyebabkan ulserasi dan perdarahkan. Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan
berkurangnya resistensi terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi
oedem sebagai akibat fenomena Bernouili yang kemudian menambah derajat
obstruksi.
4. Hiposmia / anosmia yang disebabkan oleh obstruksi
5. Nyeri
Tekanan yang disebabkan oleh septum yang deviasi terhadap saraf sensoris
sekitarnya dapat menyebabkan nyeri.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Rinoskopi anterior
2. Pemeriksaan nasoendoskopi
DIAGNOSIS SANDING
1. Fraktur Os Nasal
2. Fraktur Maksilla

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan X-ray paranasal

TERAPI
Pada septum deviasi ringan yang tidak menyebabkan gejala, dilakukan observasi. Pada
septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi dilakukan pembedahan septoplasti.

EDUKASI
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini jika tidak dijumpai gejala klinis tidak
perlu di reposisi.

PROGNOSIS
Baik

KEPUSTAKAAN
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth edition,
Volume one, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p: 307- 334
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medicai Publishers, Inc., New
York, 1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition,
Me. Graw-Hill, 2003
4. Behrbohm H., Tardy M.E Jr, Essentials of Septorhinoplasty, Philosophy-
Approaches- Techniques, Thieme Medical Publishers, Inc., New York, 2004
EPISTAKSIS

PENGERTIAN
Perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan nasofaring

ANAMNESIS
1. Ditanyakan hidung sebelah kiri atau kanan atau keduanya
2. Apakah darah mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung
depan (anterior) bila pasien duduk tegak, spontan atau karena kecelakaan
3. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
4. Riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga dan
adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit hati, trauma
hidung, penggunaan obat-obatan.

PEMERIKSAAN FISIK
Setelah memastikan kondisi jalan nafas, pernafasan dan hemodinamik dalam keadaan
baik, harus dilakukan pemeriksaan fisik yang lengkap pada hidung dan nasofaring
dimana dijumpai perdarahan. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan topikal anastesi
dan vasokonstriktor. Dengan melakukan pemeriksaan langsung atau dengan
menggunakan nasofaringoskopi dapat dilihat lokasi perdarahan di anterior atau
posterior, luka, tumor dan lain - lain.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Pemeriksaan THT rutin
3. Pemeriksaan Nasoendoskopi
4. Pemeriksaan Radiologi .

DIAGNOSIS BANDING
1. Epistaksis ecTrauma/Infeksi/Benda asing/Tumor/Lingkungan/Idiopatik
2. Epistaksis ec Penyakit Sistemik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium seperti hematologi, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal,
EKG
2. Pemeriksaan nasoendoskopi
3. Pemeriksaan radiologi seperti foto sinus paranasal, nasofaring, CT scan dari
angiografi diperlukan untuk mencari faktor penyebab.

TERAPI
1. Medikamentosa dengan anti perdarahan dan antibiotik
2. Tampon anterior
3. Tampon Bellocq
4. Ligasi arteri karotis eksterna

EDUKASI
1. Epistaksis merupakan gejala bukan suatu penyakit karena itu perlu dicari faktor
penyebabnya untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai.
2. Bila keluar darah dalam jumlah banyak segera ke rumah sakit.

PROGNOSIS
90% kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien dengan hipertensi biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.

KEPUSTAKAAN
1. Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. Epistaksis. Suplemen Majalah Kedokteran
Nusantara. Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FK USU. Medan.Voi 39(3): 274-
8.
2. Willems PWA, Farb RI, Agid R. Endovascular treatment of epistaxis, AJNR. Oct
2009; 30: 1637-45
3. Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Noval Hospital Jacksonville,
Florida. JAFP. January 2005; 71: 305-311. Available at:
http//www.aafp.org/afp/20051015/305.html
4. Tami TA, Merrell JA.Epistaxis. In : Snow Jr J B and Wackym PA. Ballenger's.
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17. Centennial edition. Philadhelpia.
People's Medical Publishing House. 2009 : 551-5
5. Dhingra PL. Epistaxis. In: Disease of Ear, Nose and Throat. Fourth Edition.
Elsevier. India. 2007: pp. 166-70.
6. Wormald PJ. Epistaxis. In : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Vol. 2. 4th ed. Lippincott William & Wilkins.
Philadhelpia-USA. 2006 : 506-514
7. Vitek JJ. Idiophatic intractable epistaxis. Departement of radiology, university of
alabama. Birmingham. 1991;181:113-116
FRAKTUR HIDUNG

PENGERTIAN
Fraktur hidung adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang yang biasanya
disebabkan benturan keras.

KLASIFIKASI
Jenis fraktur hidung:
1. Tipe 1: Unilateral.
2. Tipe 2: Fraktur multiple dari piramid hidung
3. Tipe3: Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal.
4. Tipe4: Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah kaudalkranial.

ANAMNESIS
1. Riwayat trauma
2. Hidung tersumbat
3. Epistaksis

PEMERIKSAAN FISIK
1. Deformitas
2. Krepitasi
3. Septal hematom

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Nasoendoskopi
3. Pemeriksaan radiologi

DIAGNOSIS BANDING
1. Septum deviasi
2. Abses septum
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ro foto: Lateral (profil hidung), PA, Waters.

TERAPI
1. Luka terbuka di bersihkan, pinggir luka dan os nasal di periksa hati-hati. Fragmen
fraktur di posisikan kembali dan jaringan lunak di jahit atraumatik.
2. Reposisi fraktur sederhana sebaiknya dilakukan pada 24 jam pertama, atau paling
lambat dalam 48 jam karena fraktur mudah untuk direduksi. Tetapi bila terdapat
pembengkakan jaringan yang hebat, reposisi dapat dilakukandalam 10 hari.

EDUKASI
Menganjurkan pasien tidak menggosok gosok hidung, dan hindari benturan pada wajah.

PROGNOSIS
Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh tanpa
adanya kelainan kosmetik dan fungsional

KEPUSTAKAAN
1. Brendan C. Stack Jr. in Bailey Byron J, Head &Neck Surgery-Otolaryngology,
fourth edition, voiume one, Maxillary and periorbital fractures, Lippincot William-
Wilkins, Philadelphia, USA, 2006: 70: 975-993.
2. Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, voiume two,
Nasal Fractures, Lippincot William-Wiikins, Philadelphia, USA, 2001: 71A: 995-
1008.
3. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL
Indonesia, 2007.
POLIP HIDUNG

PENGERTIAN
Masa yang lunak, berwarna putih atau keabu - abuan yang terdapat di dalam rongga
hidung.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita polip hidung adalah :
1. Hidung tersumbat
2. Gangguan penciuman
3. Sekret dalam hidung
4. Makin lama makin tersumbat/tidak
5. Ada rasa sakit atau tidak
6. Waktu (sudah berapa lama)/kapan mulai dirasakan

PEMERIKSAAN FISIK
1. Massa di rongga hidung putih keabuan, tidak nyeri tekan
2. Sekret encer atau purulen
3. Mukosa hidung pucat
4. Konka inferior normal atau hipertropi

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik THT: Rinoskopi Anterior
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Inverted Papiloma
2. Karsinoma Sinonasal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan foto Waters
2. Pemeriksaan sitologi dan histopatologi
3. Pemeriksaan CT ScanHidung dan SPN

TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Medikamentosa
2. Steroid topikal
3. Polipektomi medikamentosa dengan (HDST) High Dose Short Term Oral Steroid
4. Prednison 1 mg/kgbb 10 hari
5. Metylprednisolon 64mg -> 10 mg dalam 10 hari
6. Deksametason 12mg -> 8mg -> 4mg dalam 10 hari
7. Bedah: polipektomi dengan atau tanpa bedah endoskopik sinus fungsional.

EDUKASI
Keluhan polip bisa berulang terutama jika disertai dengan alergi hidung.

PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang tepat.

KEPUSTAKAAN
1. Byron J Bailey : Head &Neck Surgery-Otolaryngology ,Lippicont William
&Wilkins A Wolter Kluwer CO.Philadhelpia 2001 p 305 - 306
2. KJ. Lee, MD, FACS : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, Eighth
edition, McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York Chicago, 2003 p
704 -705
3. Martin Burton : Hall and Colman's Diseases Of The Ear, Nose And Throat,
Fifteenth edition, Churchill Livingstone 2000 p 107 -109
4. David W. Kennedy, MD, FACS, FRCSI : Diseases Of The Sinuses Diagnosis And
Management, BC Decker Inc Hamilton London 2001 p 57 - 75
5. Niels Mygind and Torben Lildholdt : Nasal Poliposis, Munksgaard - Copenhagen,
January
6. John M Lore. Jr, MD, Jesus E. Medina, MD : An Atlas of Head & Neck Surgery,
Fourth edition, Elsivier Saunders 2005 p 285 - 287
RHINITIS MEDIKAMENTOSA

PENGERTIAN
Adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor yang
diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung)
dalam waktu lama dan berlebihan.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita Rhinitis Medikamentosa adalah :
1. Hidung tersumbat terus-menerus
2. Hidung berair terus-menerus
3. Riwayat pemakaian obat-obatan nasal dekongestan tetes/semprot dalam jangka
waktu yang lama

PEMERIKSAAN FISIK
1. Tampak edema/ hipertrofi konka
4. Sekret hidung berlebihan

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Rinoskopi Anterior

DIAGNOSIS BANDING
1. Drug-induced Rhinitis
2. Rhinitis Okupasional
3. Rhinitis Vasomotor
4. Rhinitis Hormonal

PERMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Foto Waters
2. Pemeriksaan Laboratorium
TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Hentikan Pemakaian obat-obat vasokonstriktor topikal hidung
2. Medikamentosa
- Steroid topikal selama 2 minggu
- Steroid oral dosis tinggi jangka pendek
- Dekongestan oral yang mengandung pseudoefedrin

EDUKASI
Hentikan pemakaian vasokonstriktor hidung topikal

PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang tepat

KEPUSTAKAAN
1. Byron J Bailey : Head &Neck Surgery-Otolaryngology-Ailergic and non allergic
rhinitis,Lippicont William & Wilkins A Wolter Kluwer CO.Phiiadhelpia 2001 p 351
- 363
2. K.J. Lee, MD, FACS : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery - The
Nose andParanasala Sinuses, Ninth edition, McGraw-Hill Medical Publishing
Division CO New York Chicago, 2008 p 383
3. Dhingra PL : Diseases Of The Ear, Nose And Throat, Vasomotor And Other Forms
Of Non-Allergic Rhinitis, Fourth Edition, 2006 p 160-1
4. Scott-Browns, Otolaryngology Head &.Neck Surgery - non allergic perennial
rhinitis, 2008 p1408-1413
RINITIS ATROFI

PENGERTIAN
Rinitis Atrofi adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif
pada mukosa dan tulang konka.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita rinitis atrofi adalah :
1. Napas berbau
2. Ingus kental yang berwarna hijau
3. Gangguan penghidu
4. Sakit kepala
5. Hidung merasa tersumbat

PEMERIKSAAN FISIK
1. Rongga hidung sangat lapang
2. Konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi
3. Sekret purulent
4. Krusta berwarna hijau

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan rinoskopi anterior
2. Pemeriksaan histopatoiogik
3. Pemeriksaan mikrobiologi

DIAGNOSIS BANDING
1. Sinusitis
2. Nasofaringitis kronis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan histopatoiogik yang berasal dari biopsi konka media
2. Pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman
3. CT-scan sinus paranasal

TERAPI
Pengobatan Konservatif :
1. Antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis
yang kuat
2. Untuk menghilangkan bau busuk dapat dipakai obat cuci hidung.
3. Vitamin A 3x50.000 unit
4. Preparat Fe selama 2 minggu pengobatan operatif

EDUKASI
Menganjurkan pasien untuk teratur mencuci hidung

PROGNOSIS
Pengobatan medis terbaik rhinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Dengan operasi
diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia
diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

KEPUSTAKAAN
1. Boies, L, Boies Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta, EGC, 1997.
2. Chan, T, Nonallergic Rhinitis, in: Bailey's Head & Neck Surgery Otolaryngology,
5th edition, Ph adhelpia, Lippincott Williams & Wilkins, 2014.
3. .a'daniR Infeksi Hidung, dalam: Teiinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, edisi
6, Jakarta, FK-V!, 2009.
RINOSINUSITIS

PENGERTIAN
Rinosinusitisadalahpenyakitinflamasimukosa yang melapisihidungdan sinus paranasal

ANAMNESIS
1. Riwayatrinorepurulen yang berlangsunglebihdari 7 hari
2. Sumbatan hidung
3. Nyeri/rasa tekanan pada wajah
4. Nyeri kepala
5. Demam
6. Nyeri periorbital
7. Nyeri gigi
8. Nyeri telinga

PEMERIKSAAN F'SIK
1. Rinoskopi anterior
2. Rinoskopi posterior tampakadanya secret purulen di nasofaring(post nasal drip).

KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria rinosinusitis akutdan kronikpada anakdan dewasa menurut International
Conference on Sinus Disease 1993 &2004 :
RinosinusitisAkut RinosinusitisKronis
No Kriteria
Dewasa Anak Dewasa Anak

Lama <12 minggu <12 minggu > 12 minggu > 12 minggu


1.
gejaladantanda
2. Jumlah episode <4 x/tahun <6 x/tahun >4 x/tahun >6 x/tahun
seranganakut,
masing-
masingberlangsung
minimal 10 hari
3. Reversibilitasmuko Dapatsembuhsempurnad Tidakdapatsembuhsempurnad
sa enganpengobatanmedika enganpengobatanmedikament
mentosa osa

DIAGNOSIS BANDING
1. Rinitisakut (common cold)
2. Neuralgia trigeminal
3. Rinovirus
4. Polip nasal
5. Infeksisalurannafasatas
6. Rinitisalergi
7. Polip nasal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Nasoendoskopi
2. Rinofaringolaringoskopi
3. PemeriksaanKemosensoriPenghidu (Sniffin Stick Test)
4. Pemeriksaanmenegakkanadanyagangguanpenghidu
5. Foto polosposisi Waters, Schedel PA danSchedel Lateral pada sinusitis akut yang
tidak respondenganterapimedikamentosaselama 7 hari.
6. Tomografi Komputer Sinus Paranasal
7. Pemeriksaantomografikomputer sinus merupakanstandarbakuemas diagnosis
rinosinusitisakutdengankomplikasidankronikkarenamampumenilai faktor risiko
yangberupavariasanatomi, atauperluasanpenyakitdalamhidungdan sinus
secarakeseluruhan. Umumnya, dikerjakansebagaipenunjang
diagnosiskronikyangtidakmembaikdenganpengobatanataupra-
operasisebagaipanduan operatorsaatmelakukanoperasi sinus.
8. Pemeriksaanmikrobiologikdantesresistensi (bilatidak ada
perbaikandenganterapiantibiotik yang diberikansebelumnya).
9. Pemeriksaanalergi (bilaadariwayat alergi)

TERAPI
1. Medikamentosa:
2. Antimikroba golonganpenilisinsebagaiterapilini
pertamasepertiamoksisilin,amoksisilin-klavulanat
3. Steroid topical dan atau dekongestan oral,
4. Mukolitik
5. Intranasal spray
6. Antihistamingenerasikedua
7. Operasi

EDUKASI
Mengontrolfaktor-faktorresikosepertiriwayatalergi, asma, polutan seperti rokok serta
reflukslaringofaringeal dan asupan nutrisi yang seimbang.
Pasien diedukasi pencegahan untuk rinosinusitis akut dentogen dengan menjaga oral
higiene. Pasien diabetes edukasi mengenai control gula darah.

PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40% akan sembuh secara spontan
tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bias mengalami relaps setelah
pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5%. Komplikasi dari penyakit
ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang kuat yang nantinya akan dapat
menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, absesotak, ataukomplikasi ekstra sinus
lainnya. Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan
yang dinimaka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk komplikasinya bisa berupa
selulitisorbita, trombosis sinus cavernous, perluasan ke intracranial (absesotak,
meningitis) danpembentukanmukokel.

KEPUSTAKAAN
1. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Rinosinusitis: current concept and management.
In: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, Pillsbury HC, Johnson JT, Tardy ME,
Jackler RK eds. Head and neck surgeryotolaryngology. 3rd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2001:p 345-57.
2. Marigunkusumo E, Nusjirwan R. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N eds.
Buku ajar ilmukesehatantelinga-hidung-tenggorokkepalaleher. Edisi ke-5. Jakarta:
Balaipenerbit FK Ul; 2002: p 120-4

SEPTUM DEVIASI
PENGERTIAN
Septum deviasi adalah suatu pembengkokan septum yang banyak terjadi dan pada
derajat tertentu dapat menimbulkan gangguan berupa obstruksi hidung.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita septum deviasi adalah:
1. Obstruksi hidung.
2. Perubahan mukosa.
3. Hiposmia/anosmia yang disebabkan oleh obstruksi.
4. Nyeri.

BENTUK-BENTUK
1. Deviasi bentuk C atau S.
2. Dislokasi.
3. Krista bentuk sudut (runcing : spina).

PEMERIKSAAN FISIK
1. Septum deviasi di bagian anterior atau posterior.
2. Deformitas hidung.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi.
2. Nasoendoskopi.
3. X ray Paranasal.

DIAGNOSIS BANDING
1. Fraktur os nasal.
2. Perforasi septum.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos paranasal.
2. CT-Scan Paranasal.

PENATALAKSANAAN
a. Pada septum deviasi ringan yang tidak menyebabkan gejala dilakukan observasi.
b. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi dilakukan pembedahan
septoplasti.

EDUKASI
1. Anjurkan pasien untuk tidak menggosok-gosok hidung.
2. Hindari trauma pada hidung.

PROGNOSIS
1. Pada pasien deviasi septum nasal akan baik bila cepat ditangani dengan tindakan
yang tepat dan belum adanya komplikasi.
2. Bila sudah terdapat kompi - asi maka harus diterapi, dan terapi dilakukan sesudah
rekonstruksi septum

KEPUSTAKAAN
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth edition,
Volume one, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p: 307- 334
2. Maran A.G, fund V.J, Clinical Rh nology, Thieme Medical Publishers, Inc., New
York, 1990, p: 5-15,82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology -ead & Neck Surgery, International edition, Me.
Graw-Hill, 2003
4. Behrbohm H., Tardy M.E Jr, Essent ? s of Septorhinoplasty, Phiiosophy-
Approaches- Techniques, Thieme Medical Pub shers, Inc., New York, 2004

FRAKTUR MAKSILA
DEFENISI
Fraktur maksila : Fraktur yang berhubungan dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga
tengah wajah.

Klasifikasi
Le Fort I ( Prosesus alveolaris): Fraktur maksila rendah yang memisahkan maksila
setinggi dasar hidung
Le Fort II ( Fraktur Piramidal): Fraktur pada palatum dan sepertiga tengah wajah yang
berakibat terpisahnya bagian sepertiga tengah wajah dari dasar kranium.
Le fort III (Craniofacial disjunction): Fraktur yang mengakibatkan pemisahan lengkap
kompleks zygomaticomaxillaris dari dasar kranium.

ANAMNESIS
1. Pembengkakan infra orbital
2. Hipestesi cabang N.V2
3. Maloklusi (Le Fort I - II)
4. Epistaksis (Le Fort II - III)
5. LCS leak (Le Fort III)
6. mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi dan arah benturan yang terjadi
7. cedera di bagian tubuh yang lain
8. riwayat perubahan status mental dan penuruna kesadaran
9. adanya defisiensi fungsional lainnya, misalnya berhubungan dengan jalan
nafas,penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran

PEMERIKSAAN FISIK
1. Secara inspeksi wajah tampak tidak simetris atau tidak proporsional
2. Inspeksi: kelainan lokal,luka, asimetri wajah, adakah gangguan fungsi mata,
gangguan oklusi, trismus, paresis fasialis dan sebagainya.
3. Edema jaringan lunak dan ekimosis
4. palpasi: daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infra orbital, hidung,
mandibula, sendi temporomandibular, palpasi bimanual (ekstra - intra oral).
5. LeFort I
- Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus dentalis, maksila dan palatum
- Maloklusi gigi
6. LeFort II
- Palatum bergeser ke belakan
- Maloklusi gigi
7. LeFort III
- Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks zigomatikomaksilaris komplikasi
intrakranial misalnya : kebocoran cairan serebrospinal melalui sel atap ethmoid
dan lamina cribiformis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos maupun CT Scan
2. Foto polos : posisi Waters, foto kepala lateral maupun servikal lateral.
3. CT Scan baik potongan aksial maupun Koronal.
4. Pemeriksaan untuk persiapan operasi:
Lab darah : Hb, Lekosit, Trombosit, CT, BT, bila perlu aPTT dan PT,
SGOT,SGPT, Ureum, Kreatinin, Natrium, Kalium.
Radiologik :FotoThoraks
Lain-lain : EKG bila perlu

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Penunjang
3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Radiologi: Foto Polos, CT Scan

DIAGNOSIS BANDING
- Fraktur multiple wajah
TERAPI
1. Perbaikan keadaan umum
2. Medikamentosa kausal
3. transfusi darah (bila periu)
4. Operatif : Repair (atau Reduksi) fraktur maksila

Dapat berupa :
 LeFort I :Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4-6 minggu
 LeFort II :Seperti LeFort I disertai fiksasi dari sutura zigomatikum atau rim orbita
 LeFort III :Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan intermaksilar,
suspensidarisuturazigomatikum dan pemasangan kawat dari rim orbita.
Dapat digunakan mini/mikroplate untuk mobilisasi segmen fraktur sebagai
pengganti kawat.Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi yang adekuat,
digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral atau
anterior.Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, traktur alveolar atau
maloklusi.

EDUKASI
1. Makan makanan yang lunak selama pengobatan
2. Bicara seperlunya saja .
3. Hindari kontak langsung trauma pada wajah

PROGNOSIS
Baik apabila ditangani dengancepat dan tepat

KEPUSTAKAAN
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth Brendan
C. Stack Jr. in Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, fourth
edition, volume one, Maxillary and periorbital fractures, Lippincot William-Wilkins,
Philadelphia, USA, 2006: 70: 975-993.
2. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Atlas of Head &
Neck Surgery-Otolaryngology, fourth edition, Lippincot William-Wilkins,
Philadelphia, USA, 1996, Section Tree, Plastic and Reconstructive Surgery,
204:540-546.
LABIOSKIZIS

PENGERTIAN
Labioskizisatau cleft lipatau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana terdapatnya
celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa takik kecil
pada bahagian bibir yang berwarna sampai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi
bibir memanjang dari bibir ke hidung

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita palatoskisis adalah :
1. Kesukaran dalam menghisap/makan.
2. Gangguan komunikasi verbal
3. Regurgitasi makanan
4. Bisa menyebabkan gangguan pernapasan.
5. Gangguan pendengaran
6. Infeksi telinga berulang
7. Distorsi pertumbuhan wajah

PEMERIKSAAN FISIK
1. Terdapat celah pada bibir
2. Distorsi hidung

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Nasalens
3. Naso endoskopi
4. Timpanometri untuk evaluasi otitis media efusi

DIAGNOSIS BANDING
1. Van der woude syndrome
2. Down syndrome
3. Velocardiofacial syndrome
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Foto rontgen
3. MRI

TERAPI
1. Terapi non bedah
2. Terapi bedah : labioplasti

EDUKASI
1. Rajin kontrol ulang setelah operasi
2. Berbicara seperlunya saja

PROGNOSIS
Pasien dengan pembedahan dan intervensi yang benar, anak dengan celah bibir bisa
berkembang dengan normal.

KEPUSTAKAAN
1. Bailey BJ, Johnson JT, Head &Neck Surgery - Otolaryngology, Fourth Edition,
Volume two, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p : 1356-1365
2. Arun KL, Randal N, Embriology of Head and Neck, in: Grabb & Smith's Plastic
Sugery, Sixth edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p : 179 -190
3. Lee .K.J, Kongenital Malformation in otolaryngology and Head and Neck Surgery,
Elseiver Science Publishers, 1989, p: 63-65

PALATOSKISIS

PENGERTIAN
Kelainan kongenital yang mengakibatkan masalah yang mutipel mulai dari gangguan
wicara, gangguan pendengaran, gangguan makan, gangguan perkembangan
maksilofasial dan gigi geligi.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita palatoskisis adalah :
1. Kesukaran dalam menghisap/makan.
2. Gangguan komunikasi verbal
3. Regurgitasi makanan
4. Bisa menyebabkan gangguan pernapasan.
5. Gangguan pendengaran
6. Infeksi telinga berulang
7. Distorsi pertumbuhan wajah

PEMERIKSAAN FISIK
1. Teraba ada celah atau terbukanya langit langit saat diperiksa dengan jari
2. Distorsi hidung

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Nasalens
3. Naso endoskopi
4. Timpanometri untuk evaluasi otitis media efusi

DIAGNOSIS BANDING
1. Van der woude syndrome
2. Down syndrome
3. Velocardiofacial syndrome

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Foto rontgen
3. MRI

TERAPI
1. Terapi non bedah
2. Terapi bedah:
Pembedahan pada palatoschisisbukanlah merupakan suatu kasus emergensi,
dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil
fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi
sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai
bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik.

PROGNOSIS
Pasien dengan pembedahan dan intervensi yang benar, anak dengan celah langit langit
bisa berkembang dengan normal.

KEPUSTAKAAN
1. Bailey BJ, Johnson JT, Head &Neck Surgery -- Otolaryngology, Fourth Edition,
Volume two, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p : 1356-1365
2. Arun KL, Randal N, Embriology of Head and Neck. In: Grabb & Smith's Plastic
Sugery, Sixth edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p : 179 -190
3. Lee K.J. Kongenital Malformation in otolaryngology and Head and Neck Surgery,
Elseiver Science Put ;-ers 1359 z 53-65.

NEOPLASMA TONSIL

PENGERTIAN
Merupakan keganasan pada jaringan tonsila palatina.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita Neoplasma Tonsil adalah:
1. Stadium awal biasanya asimptomatik
2. Nyeri tenggorok yang tidak sembuh-sembuh
3. Nyeri bertambah saat menelan
4. Nyeri dapat menyebar ke telinga (otalgia) akibat referred pain atau jika kanker
menekan saraf
5. Disfagia
6. Disartria
7. Pembesaran KGB yang keras dan terfiksir
8. Penurunan berat badan diakibatkan karena sulit menelan
9. Trismus, apabila infiltrasi mengenai M.Pterygoidei
10. Batuk dapat terjadi akibat kenaikan produksi lendir di tenggorok
11. Sindrom Jacod's (berhubungan dengan ekspresi muka, mata dan gerakan rahang)
12. Sindrom Villaret's (kesulitan menelan dan kesulitan gerakan lidah dan leher)

PEMERIKSAAN FISIK
1. Tampak tumor di daerah tonsil dengan permukaan yang tidak rata, kemerahan yang
kadang disertai perdarahan
2. Pada palpasi teraba tumor dengan konsistensi lunak sampai padat
3. Teraba pembesaran kelenjar getah bening leher

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. FNAB
4. Biopsi
DIAGNOSIS BANDING
1. Limfoma maligna (Limfoma Non-Hodgkin)
2. Melanoma
3. Sarkoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto thorax PA dan Lateral
2. Foto soft tissue leher *
3. USG Abdomen
4. CT Scan/ MRI
5. PET / Positron Emission Tomography Scan
6. Pemeriksaan laboratorium darah

TERAPI
1. Operasi
2. Kemoterapi
3. Radioterapi
4. Radiosensitisizer
5. Terapi Hipertermia
6. Pengobatan Lain (Vaksin, Antagonis reseptor growth faktor, inhibitor kinase
dependent siklin, virus onkolitik, dan lain lain)

EDUKASI
1. Menjelaskan rehabilitasi pasca operasi
2. Kemungkinan adanya komplikasi akibat tindakan operasi dan pemberian
radioterapi (antara lain: kerusakan gigi, saraf, infeksi luka, disfagia, disfungsi
tuba eustachius, malokluasi, disfungsi TMJ, mukositis, xerostomia, disfungsi
indra perasa, fibrosis)

PROGNOSIS
5 tahun survival pada neoplasma tonsil menurut stadium:
Stadium I : 67 %
Stadium II : 46 %
Stadium III : 31 %
Stadium IV : 32 %
KEPUSTAKAAN
1. National Cancer Institute. Oropharyngeal Cancer. 2006. Aviable from URL :
http://www.cancer.gov.
2. De. V, Bosman. F, Wagener. D. Orofaring. Dalam : Onkologi. 5th ed. 1996 : p.287-
90.
3. Jian. W, Yunyi. K, Hongfen. L, Yuexiang. X. Two cases of extranodal follicular
dendritic cell sarcoma, Chinese Medical Journal, 2003. Aviable from URL :
http://www.cmj.com.
4. BSiley. B, Johnson. J. Oropharyngeal Cancer. In : Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 4th ed. 2006 :
p.1673-88.
5. Arsyad. E, Iskandar. N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi ke 5. 1996 : hal. 140,175-6.
6. Kraus. D. Tongue Base and Tonsil Cancer, 2006. Aviable from URL :
http://www.canceranswers.com.
7. Mulyarjo, Soedjak. S, Wisnubroto, Harmadji. S, Hasanusi. R, Artono.
Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas THTrKL,.
Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan ill Ilmu Penyakit THT-KL,
Surabaya, 2002 : hal 86-91.
8. Steven. G, Castle. G. Tumors of Oropharynx, American Head &Neck Society 2006.
Aviable from URL: http://www.ahns.info.
9. Domanowski. G. Malignant Tumors of the Tonsil. 2007. Aviable from URL :
http://www.emedicine.com.
10. NCCN. Cancer of the Oropharynx, Practise Guidelines in Oncology. 2002.
11. Perez. CA, Brady. LW. Tonsillar Fossa and Faucial Arch. In : Principles and
Practise of Radiation Oncology. 3th ed. Lippincott-Raven. USA. 1998 : p.1003-30.
12. Garth. L, Larson. D, Shah. J. Principles of Surgical Management, Principles of
Radiation Oncology, Principles of Chemotherapy, Oropharynx. In : Essentials of
Head and Neck Oncology. Thieme. New York. 1998 : p. 11-46, 198-204.
13. Lore, Medina. Soft Tissue Sarcoma. In : An Atlas of Head and Neck Surgery. 4 th ed.
2006 : p.152-4.
14. Sung. T, Po. S, Ping. K, Lin. W, Chin. H, Ming. N. Complications of
Mandibulotomy : Midline versus Paramidline, Otolaryngology of Head and neck
Surgery, 2003. Aviable from URL : http://www.elsevier.com.
15. Holsinger. FC, Mcwhorter. AJ, Menard. M, Garcia. D, Laccourreve. O. Transoral
Lateral Oropharyngectomy for Squamous Cell Carcinoma of the Tonsillar Region,
Archives Otolaryngology Head Neck Surgery, 2005. Aviable from URL :
http://www.ncbi.nlm.nih.goy.

KARSINOMA LARING

PENGERTIAN
Karsinoma yang mengenai laring (supraglotik, glotik, subglotik)
ANAMNESIS
Gejala dini : suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu
pemeriksaan laring secara seksama.
Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan
menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau
esophagus.
Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).

PEMERIKSAAN FISIK
 Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (Ll) atau laringoskopi serat optik
(LSO) dapat diketahui tumor di laring.
 Pemeriksaan leher:
o Inspeksi: terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan tiroid,
o Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid atau
tirohioid, yangmerupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laryngeal. Infiltrasi
tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dank eras. Memeriksa
pembesaran kelenjar getah bening leher.

KRITERIA DIAGNOSIS
1) Anamnesis :
Gejala dini : suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu
pemeriksaan laring secara seksama.
Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif.
Kesulitan menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas
ke faring atau esophagus.
Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).
2) Pemeriksaan fisik :
 Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (Ll) atau laringoskopi serat optik
(LSO) dapat diketahui tumor di laring.
 Pemeriksaan leher:
o Inspeksi: terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan
tiroid,
o Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid
atautirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laryngeal.
Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dank eras.
Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening leher.
3) Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan radiologi:
 X-foto leher AP dan lateral (jaringan lunak)
 Tomogramlaring atau "CT-Scan"
Biopsi:
Biopsi laring melalui operasi mikrolaring.

PENENTUAN STADIUM
Tumor supraglotik
T1 : Tumor terbatas di supraglotik
T2 : Tumor keluar dari supraglotik, tanpa fiksasi
T3 : Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi dan/atau ekstensi tumor ke
poskrikoid, sinus piriformis atau daerah epiglottis.
T4 : Tumor sudah keluar laring, mengenai orofaring, jaringan lunak leher, atau merusak
tulang rawan tiroid.
Tumor glotik
T1 : Tumor terbatas di korda vokalis, gerakan normal
T2 : Tumor bereksternsi ke supraglotik/subglotik dengan gerakan normal, atau sedikit
terganggu
T3 : Tumor terbatas di laring dengan fiksasi korda vokalis
T4 : Tumor masif dengan kerusakan tulang rawan atau ekstensi keluar iaring
Tumor subglotik
T1 : Tumor terbatas di daerah subglotik
T2 : Mengenai korda vokalis dengan gerakan normal atau sedikit terganggu
T3 : Tumor terbatas pada laring, dengan fiksasi korda vokalis
T4 : Tumor masif dengan kerusakan pada tulang rawan atau ekstensi keluar laring
MO : Belum ada metastasis jauh
Ml : Metastasis jauh
Stadium 1 T1 NO MO
Stadium T2 NO MO
IJ.
Stadium T3 NO MO
III
Tl-3 N1 MO
Stadium
IV T4 NO MO
Tl-4 N2-3 MO
Tl-4 NO-3 MO
Tl-4 NO-3 Ml

DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis laring, Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laringoskopi optik
2. Aspirasi biopsi benjolan leher
3. Laboratorium : Daral lengkap, HST, KGD ad random, LFT, RFT, Elektrolit
4. FotothorakPA
5. EKG
6. CT scan Laring potongan axial dengan kontras IV
7. Biopsi laring (operasi mikrolaring)

TERAPI
1. Sesak nafas : Trakeostomi (Emergensi) atau trakeostomi dan mikrolaring (Elektif)
2. Stadium I: Radiasi, bila gagal dilanjutkan dengan Laringektomi total
3. Stadium II : Laringektomi total
4. Stadium III: Dengan atau tanpa N1 (Node): Laringektomi diikuti radiasi.
5. Stadium IV : raditerapi dan kemoterapi

EDUKASI
1. Berhenti merokok
2. Inform concent kegunaan, efek dan komplikasi operasi trakeostomi, mikrolaring dan
laringektomi.
3. Bila telah menjalani trakeostomi, supaya tetap menjaga kanul trakeostomi tidak
tersumbat dan memperhatikan kebersihan kanul trakeostomi,
4. Rutin kontrol dan menjalani kemoradioterapi sesuai jadwal.
5. Menjaga asupan gizi yang baik.

PROGNOSIS :

Supraglottic 5-year relative


Stage 1 59%
Stage II 59%
Stage ill 53%
Stage IV 34%

Glottic 5-year relative survival rates


Stage 1 90%
Stage II 74%
Stage III 56%
Stage IV 44%
Subglottic 5-year relative survival rates
Stage 1 65%
Stage II 56%
Stage III 47%
Stage IV 32%

KEPUSTAKAAN
1. Eibling DE. Surgery for Glottic Carcinoma. In : EN Myers, ed. Operative
Otolaryngology Head and Neck Surgery vol. 1. WB Saunders. Philadelphia. 1997,
pp. 416-42
2. Johnsen JT. Surgery for Supraglottic Cancer. In : EN Myers, ed. Operative
Otolaryngology Head and Neck Surgery vol. 1. WB Saunders. Philadelphia. 1997,
pp. 403-15.
3. Gopal HV, Frankenthaler R, Fried MP. Advanced cancer of the Larynx. In : BJ
Bailey, et al., eds. Head and Neck Surgery - Otolaryngology.Vol 2. 3rd Ed.
Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001, pp. 1505-22.
4. Mulyarjo. Berbagai masalah dalam pengelolaan kanker laring di Surabaya. Pidato
peresmian jabatan Guru Besar dalam Ilmu THT Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. 1998.
5. Beasley NJP, Cullane PJ. Cancer of the Larynx, Paranasal Sinuses, and Temporal
Bone. In : KJ Lee, ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th Ed.
McGraw-Hill, New York. 2003, pp. 596-606.
6. Concus AP. Malignant Laryngeal Lesions. In : AK Lalwani, ed. Current Diagnosis
& Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. International Edition.
McGraw- Hill, Boston, 2004. pp. 455-73.
7. Kaiser TN & Spector GJ. Tumor of the Larynx and Laryngopharynx. In : JJ
Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea &
Febiger. Philadelphia. 1991, pp. 682-746.

KARSINOMA NASOFARING

PENGERTIAN
Karsinoma Nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel
nasofaring.
Anamnesis
Gejala Klinis
1. Gejala telinga : kurang pendengaran sampai ketulian, tinnitus, otalgia, otitis media
efusi.
2. Gejala hidung : sekret atau lendir bercampur darah, hidung tersumbat serta
epistaksis.
3. Pembesaran kelenjar getah bening leher: bilateral atau unilateral.
4. Gejala neurologis : sakit kepala, proptosis, diplopia, strabismus, parestesi sampai
hipestesi pada separuh wajah atau timbul neuralgia separuh wajah.

PEMERIKSAAN FISIK
Untuk melihat lesi tumor pada nasofaring dengan lebih jelas dan untuk melihat lesi yang
tidak dapat diraba dipergunakan indirectnasopharyngoscopy atau flexible fiber opticatau
endoskopi kaku. Dengan endoskopi maka biopsi dapat dilakukan pada nasofaring untuk
menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan tidak langsung daerah nasofaring dapat dilakukan dengan cermin, tetapi
variasi anatomi nasofaring pada beberapa pasien akan mengakibatkan evaluasi yang
tidak adekuat pada daerah ini. Permukaan mukosa nasofaring yang tidak rata atau
menonjol, perlu dicurigai adanya tumor terutama bila relevan dengan gejala klinis.

KRITERIA DIAGNOSIS HISTOPATOLOGI DAN STADIUM


Klasifikasi histologi KNF yang diajukan oleh World Health Organization (WHO) pada
tahun 1991 mengklasifikasikan tumor menjadi 2 kelompok, yaitu :
a. Squamous Cell Carcinomadengan subtype Keratinizing Squamous Cell Carcinoma.
b. Non-Keratinizing Carcinoma yang dibagi atas Differentiated dan Undifferentiated.

KLASIFIKASI TNM MENURUT AJCC 2010


Tumor Primer (T)
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
TO Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavuin nasi
tanpa perluasan ke parafaring.
T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal.
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial,
hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal /ruang mastikator.

KGB Regional (N)


NX KGB regional tidak dapat dinilai.
NO Tidak ada metastase ke KGB regional.
N1 Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter teroesar 6 cm atau
kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah
bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2 Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau
kurang, di atas fossa supraklavikular.
N3 Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa
supraklavikular.
N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm.
N3b Meluas ke fossa supraklavikular.

Metastase Jauh (M)


MO Tanpa metastase jauh Ml Metastase jauh
Kelompok stadium :
Tis NO M0
T1 NO M0
T1 N1 M0
T2 NO M0
T2 N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 NO M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
T4 NO M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
setiap T N3 M0
setiap T setiap N Ml

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding bervariasi berdasarkan metode dan gambaran klinisnya. Beberapa
penyakit yang umum seperti Rhinosinusitis atau Polip Nasi dapat memberikan gejala
yang serupa dengan KNF. Karsinoma nasofaring didagnosa banding dengan
Angiofibroma Nasofaring.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Nasoendoskopi
2. Lab : Darah lengkap, HST, RFT, LFT, KGD Ad Random, Elektrolit
3. Biopsi aspirasi
4. Biopsi nasofaring
5. CT Scan Nasofaring potongan Axial dengan zat kontras IV
6. Foto Thorax
7. EKG
8. USG Liver ( Atas indikasi)

TERAPI
:
Stadium I Radioterapi
Stadium lI, lII Dan IV : Kombinasi Kemoterapi + Radioterapi

EDUKASI
Pasien dianjurkan untuk menjalani kemoradioterapi sesuai dengan jadwal dan rutin
kontrol ke Poli THT. Pasien juga diedukasi untuk tetap menjaga asupan gizi yang cukup
dan seimbang
PROGNOSIS
Prognosis KNF untuk 5-year disease-spesific survivaladalah 92% untuk stadium I, 87%
untuk stadium II, 79% untuk stadium III dan 65% untuk stadium IV.

KEPUSTAKAAN
1. Woo J K, Hasselt CA, Nasopharyngeal Carcinoma, in : Scott-Brown's
Otorhinolaryngologi, Head And Neck Surgery, 7th edition, volume 2, Great
Britain,2008 ; p.2445-70.
2. Wei W.l, Nasofaryngeal Cancer, in : Byron J.Bailey, Johnson J.T Head and Neck
Surgery- Otolaryngology, 4th Edition, 2006; p.1656-71.
3. Ondrey FG, Wright SK, Neoplasma of the Nasopharynx, in ; Ballanger's Manual of
Otorhinolaryngology Head and neck Surgery, Hamilton, Ontario, 2003;p.484-95.
4. Plant RL, Neoplasma of the Nasopharynx, In : Ballenger's Otorhinolaryngology
HHead And Neck Surgery, BC Decker Inc, Connecticut, 2009; p.1082-88
5. Shah J.P, Woden SL, Cancer Of The Nasopharynx, In : Atlas Clinical Oncologi
Cancer Head And Neck Surgery, 2001, p. 146-54.
6. Chan et al, Nasopharyngeal Carcinoma, in : Pathology and Genetics of Head and
neck Tumours, WHO Classification of Tumours, Lyon, 2005,p.81-97.
7. NCCN, Clinical Practice Guidelines in Oncology Head and Neck Cancer,
V.2.2010; p.33-5.
8. Vlantis AC, Hasselt CA, Anatomi oftheNasopharynx, in : Scott-Brown's
Otorhinolaryngologi, Head And Neck Surgery, 7th edition, volume 2, Great
Britain,2008 , p.2107-14.
9. Brennan B. 2006. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet Journal of Rare Disease 1
(23): 1- 5.

TUMOR JINAK PITA SUARA

PENGERTIAN
Massa pada pita suara yang bersifat jinak misalnya polip pita suara, nodul pita suara dan
jenis lainnya

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita tumor jinak pita suara adalah suara serak

PEMERIKSAAN FISIK
1. suara serak
2. Apabila massa besar akan timbul sesak nafas

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Laringoskopi indirek
3. Laringoskopi optik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksan Laboratorium darah
2. Biopsi

DIAGNOSA BANDING
keganasan laring.

TERAPI
Prinsip - prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan:
1. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pengangkatan tumor jinak pita suara
agar suara penderita dapat normal kembali
2. Pemilihan pengobatan simptomatik

EDUKASI
1. Penatalaksanaan awal adalah istirahat suara dan terapi bicara.
PROGNOSIS
Pada pasien tumor jinak pita suara prognosisnya baik apabila penatalaksanaannya baik
dan tepat.

KEPUSTAKAAN
1. Koufman JA, Bellafsky PC.Infectious and inflammatory diseases ofthe larynx. In:
Snow JB jr, Ballenger JJ eds. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery 16th ed. BC Decker inc 2003. P.1185-217
2. Ludlow CL, Mann EA. Neurogenic and functional disorders of the larynx. In: Snow
JB jr, Ballenger JJ eds. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery
16th ed. BC Decker inc 2003. P.1218-53
3. Lusk RP. Congenital anomalies of the larynx. In: Snow JB jr, Ballenger JJ eds.
Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed. BC Decker inc
2003: p. 1048-72

TUMOR LIDAH

PENGERTIAN
Tumor lidah merupakan tumor ganas tersering yang berlokasi di rongga mulut setelah
tumor ganas bibir, sekitar 20-50% dari semua tumor ganas rongga mulut. Karsinoma sel
skuamosa adalah keganasan yang paling umum di rongga mulut, tempat yang paling
sering adalah bibir bagian bawah, lidah, dan dasar mulut.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita tumor ganas lidah adalah:
1. Sulit dan nyeri menelan
2. Sulit mengunyah
3. Malodour pada mulut
4. Sulit membuka mulut
5. Sulit berbicara
6. Perdarahan
7. Pembengkakan pada leher
8. Nyeri alih pada telinga
9. Berat badan berkurang

PEMERIKSAAN FISIK
1. Lesi merah pada lidah
2. Lesi merah bercampur putih atau plak putih
3. Pertumbuhan mukosa dan ulserasi
4. Lesi ulseroprolKeratif dengan daerah yang sudah nekrotik
5. Fistula orokutaneus
6. Benjolan di leher

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium
4. Pemeriksaan radiologi
5. Pemeriksaan histopatologi
DIAGNOSIS BANDING
1. Granular ceil myoblastoma
2. Adenoid cystic carcinoma
3. Adenocarcinoma
4. Mucoepidermoid carcinoma
5. Rhabdomyosarcoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Cek lab darah

TERAPI
1. Pembedahan: glosektomi parsial, hemiglosektomi, glosektomi total
2. Radioterapi
3. Kemoterapi
4. Terapi kombinasi

EDUKASI
1. Menjaga kerbersihan mulut dengan baik
2. Tidak mengkcnsumsi alkohol
3. dan berobat secara rutin.

PROGNOSIS
Prognosa untuk karsinoma rongga mulut tergantung pada lokasi tumor primer dan
stadiumnya pada saat ditemukan. Semakin kecil ukuran tumor semakin baik
prognosisnya. Sebagaimana diketahui bahwa kanker stadium dini merespon dengan baik
apabila mendapat terapi eksisi lokal ataupun radioterapi. Lesi yang lebih besar tidak
merespon dengan baik jika diterapi dengan modalitas tunggal dan biasanya
menggunakan kombinasi terapi

KEPUSTAKAAN
1. Siddiqui IA dkk, Role ofToluidine Blue In Early Detection of Oral Cancer. Pak J
Med Sci. April- June 2006 Vol. 22 No. 2: 184-187.
2. Gluckman JL,Savoury LW. "Carcinoma of The Oral Cavity" . Paparela MM.
Otolaringology, 3rd ed. Philadelphia. W.B Saunders Company, 1991. p :2041-67.
3. Barnes L dkk. Pathology & Genetics Head and Neck Tumours. World Health
Organization Classification of Tumour.
4. Jameson MJ, Levine PA."Neoplasma of The ral Cavity". Bailey BJ. Head & Neck
Surgery- Otolaryngology. 4th ed. Lippincot Williams & Wilkins. Philadhelpia.
2006. p:1551-66.
5. Rana M,et al." Modern surgical management of tongue carcinoma - A clinical
retrospective research over a 12 years period." Head & Neck Oncology.
(2011)(3)(43): 1-34.
6. Shah JP dkk. Head and Neck Surgery and Oncology 3rd ed. London. Elsevier,
2003.173-233.
7. Kokemueller H,et al." The Hannover experience: Surgical treatment of tongue
cancer - A clinical retrospective evaluation over a 30 years period." Head & Neck
Oncology. (2011)(3)(27) : 1-9.

TUMOR PAROTIS

PENGERTIAN
Tumor parotis adalah tumor yang menyerang kelenjar liur parotis.Dari tiap 5 tumor
kelenjar liur,4 terlokalisasi di glandula parotis, 1 berasal dari kelenjar liur kecil atau
submandibularis dan 30 % adalah maligna.

ANAMNESIS
1. Adanya radiasi terdahulu pada daerah kepala-leher, operasi yang pernah dilakukan
pada kelenjar ludah dan penyakit tertentu yang dapat menimbulkan pembengkakan
kelenjar liur (diabetes,sirosis,hepatitis, alkoholisme).
2. Pemakaian obat-obat seperti opiat, antihipertensi, derivate fenotiazin, diazepam, dan
klordiazepoksid dapat menyebabkan pembengkakan, karena obat-obat ini
menurunkan fungsi kelenjar ludah.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Apakah ada pembengkakan abnormal, bagaimana keadaan kulit dan selaput lendir di
atasnya dan bagaimana keadaan fungsi nervus fasialis.
2. Adanya fiksasi ke jaringan sekitarnya.
3. Tampak adanya trismus.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan sitologik (biopsi jarum kecil).
2. Foto rontgen kepala dan leher.
3. CT-Scan dan MRI leher

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Palpasi
3. Pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Penyakit dengaz metastase ke kelenjar lymph
2. Reactive lymph nodes
3. HIV infection
4. Sarcoidosis
5. Masseteric hypertrophy
6. Prominent transverse cervical process of Cl
7. Chronic parotitis
8. Lymphangioma (paediatric)
9. Haemangioma.

TERAPI
1. Ekstirpasi
2. Pada tumor parotis ganas-Parotektomi total.
3. Adenolimforna (Tumor Warthin)-
4. Parotidektomi superfisial
5. Tumor maligna primer->Eksisi luas

PROGNOSIS
Prognosis pada tumor maligna sangat tergantung pada histologi, perluasan lokal dan
besarnya tumor dan jumlah metastasis kelenjar leher. Jika sebelum penanganan tumor
maligna telah ada kehilangan fungsi saraf, maka prognosisnya lebih buruk. Ketahanan
hidup 5 tahun kira-kira 5%, namun hal ini masih tetap tergantung kepada histologinya.

EDUKASI
1. Menjaga kebersihan mulut
2. Banyak minum untuk mencegah mulut kering
3. Tidak merokok

KEPUSTAKAAN
1. K.J.Lee. Essential Otolaryngology-Head &Neck surgery ed.8. Connecticut:
McGraw-Hill, 2003.
2. Adams LG, Boies RL, Paparella MM. Dalam: Buku Ajar Penyakit THT, Ed.6.
Jakarta • EGC 1997- 305-319.
3. Anil K, Lalwani. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck
Surgery. USA'.Mc Graw Hill,2004.

AKALASIA
PENGERTIAN
Akalasia adalah tidak mampunya bagian distal esofagus untuk relaksasi dan
berkurangnya peristaltik esofagus karena diduga terjadi inkoordinasi neuromuskuler

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita akalasia adalah :
1. Disfagia
2. Regurgitasi
3. Nyeri daerah substernal
4. Penurunan berat badan

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit
2. Terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan radiologik
2. Pemeriksaan esofagoskopi

DIAGNOSIS BANDING
1. Spasme esofageal difus
2. Penyakit gastroesofageal refluk

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan manometrik

TERAPI
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak
dapat dipulihkan kembali, terapi yang dapat dilakukan antara lain :
1. Diet tinggi kalori
2. Medikamentosa
3. Tindakan dilatasi
4. Psikoterapi
5. Operasi esofago-kardiomiotomi (operasi Heller).

EDUKASI
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan

PROGNOSIS
Terapi hanya bersifat paliatif

KEPUSTAKAAN
1. Adams G.L., Boies L.R, Higler P.A., Buku Ajar Penyakit THT. EGC. Jakarta. Hal
455.
2. Bailey BJ., Johnson JT. Esofageal Disorder, 755-70., 2006
3. Ballantyne J.C, Grove John, Edwards C.H., Downton David. In a Synopsis of
otolaryngology.

BENDA ASING TRAKEO-BRONKIAL


DEFINISI
Benda asing di dalam suatu organ adalah benda atau bahan yang pada keadaan normal
tidak terdapat di dalam organ tersebut.

ANAMNESIS
Gejala:
1. Batuk tiba-tiba (coughing).
2. Rasa tercekik (chocking).
3. Rasa tersumbat (gasping).
4. Menahan napas (gagging).
5. Mendehem.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Benda asing metal -> foto polos PA dan lateral
2. Benda asing densitas rendah -> foto teknik jaringan lunak
3. Benda asing radiolusen -> foto pada akhir inspirasi & ekspirasi
4. Fluoroskopi 2 sisi (biplane fluoroscopy)
5. Fluoroskopi video (video fluoroscopy)

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Laringoskopi
2. Bronkoskopi kaku/fleksibel

DIAGNOSIS BANDING
Acute pulmonary disease (seperti asthma )

TERAPI
Ekstraksi benda asing sesuai lokasi (Bronkoskopi)

KOMPLIKASI
1. Emfisema
2. Atelektasis
3. Pneumonia
4. Pembentukan abses
5. Sepsis
6. Perforasi/fistula

KEPUSTAKAAN
1. Lore JM, Medina JE. Diagnostic Endoscopy. The Trachea and Mediastinum. In: An
Atlas Of Head And Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005 p
188 1015
2. Jackson C, Jackson CL. Bronchi and Esophagus. In: Diseases of the Nose, Throat
and Ear Philadelphia. W.B. Saunders Company. 1959. p. 728-38

ESOFAGITIS KOROSIF
PENGERTIAN
Esofagitis korosif adalah peradangan esofagus yang disebabkan oleh luka bakar karena
bahan kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa kuat/alkali.

ANAMNESIS
Berdasarkan gejala klinis & perjalanan penyakit, esofagitis korosif dibagi 3 yaitu :
Fase akut, fase laten (intermediate), dan fase kronik (obstruktif)
Fase akut : Keadaan ini berlangsung 1-3 hari, gejala yang ditemukan ialah disfagi yang
hebat, odinofagi serta suhu badan yang meningkat
Fase laten : Berlangsung selama 2-6 minggu, pada fase ini keluhan pasien berkurang,
suhu badan menurun, pasien merasa telah sembuh, sudah dapat menelan
dengan baik akan tetapi prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan
membentuk jaringan akut (sikatrik)
Fase kronik: Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagi lagi olah karena telah terbentuk
jaringan parut, sehingga terjadi striktur.

PEMERIKSAAN FISIK
Berdasarkan beratnya luka bakar yang ditemukan:
Derajat 1: Tanpa gejala, tidak nyeri telan
Hasil pemeriksaan endoskopi: non ulserasi, eritema, dan edema mukosa esofagus

Derajat 2: Luka bakar pada rongga mulut atau sekitar rongga mulut atau keduanya dan
nyeri telan atau bahkan tidak bisa menelan.
Endoskopik: Eritema, eksudat dan ulserasi sampai ke muskularis

Derajat 3: Terdapat luka bakar yang berat ditandai dengan disfagia, nyeri retrosternal,
nyeri abdominal, kadang dijumpai tanda-tanda adanya obstruksi jalan nafas.
Endoskopik: Tampak kehitaman pada jaringan transmural, ulcerasi dalam sampai ke
jaringan periesofageal dan lumen mengalami oblitersi.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Laboratorium darah rutin dan elektrolit
2. Foto thorax posteroanterior dan lateral untuk mendeteksi adanya mediastinitis atau
aspirasi pneumonia
3. Esofagoskopi : Kurang lebih 3 x 24 jam setelah kejadian atau bila luka bakar di
bibir, mulut dan faring sudah tenang, harus dilakukan esofagoskopi dengan anestesi
umum, untuk menentukan apakah ada luka bakar di esofagus. Jika terdapat luka
bakar, esofagoskopi dihentikan, esofagoskopi tidak boleh diteruskan melalui daerah
luka bakar untuk menghindari terjadinya perforasi esofagus.

DIAGNOSIS BANDING
Akalasia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Esofagogram

TERAPI
1. Perbaikan keadaan umum
2. Menjaga keseimbangan elektrolit
3. Menjaga jalan nafas
4. Observasi

EDUKASI
1. Menjelaskan bagaimana cara penyimpanan dan pemakaian bahan yang mengandung
zat korosif dengan baik dan benar
2. Orang tua yang masih muda harus diberi kesadaran akan keselamatan bayi dengan
mencoba membersihkan rumah tanpa mengunakan zat kaustik atau menyimpan dan
menggunakannya sangat hati hati.
3. Sampah bahan kaustik atau kaleng/tempat bekas dikemas dalam tempat yang
tertutup dan aman bagi anak.

PROGNOSIS
Pada umumnya baik jika ditangani saat fase akut, pada fase yang kronik dapat terjadi
striktur esofagus.

KEPUSTAKAAN
1. Griffith Pearson.F, Joel D.C, Jean Deslauries,et.al : Trauma. Foreign Bodies.
Esophageal surgery, 2nd ed.577-615.2002
2. Schiratzki H: Removal of Foreign Body in The Esophagus. Archives of
Otolaryngology. Vol 102, Number 4. 238-240.1976
3. Ellen M.Friedman : Caustic Ingestion and Foreign Bodies in the Aerodigestive
Tract. Byron I.Bailey.Head and Neck Surgery Otolaryngology.2nd ed. Lippincot-
Raven.1998
4. Byron J Bailey,Karen H.Calhoun : Atlas of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology.2nd edition.834-835. J P Lippincot, Philadelphia, 2001

FISTULA TRAKEOBRONKOESOFAGUS
PENGERTIAN
Fistula trakeobronkoesofagus adalah suatu keadaan dimana terjadi suatu saluran yang
menghubungkan dinding esofagus dan trakea yang dapat disebabkan karena kelainan
kongenital, ulkus, atau trauma.

ANAMNESIS
1. Batuk dan tersedak saat minum
2. Riwayat penyakit: kongenital / didapat (infeksi, trauma iatrogenik, malignansi, dan
benda asing)

PEMERIKSAAN FISIK
1. Underweight / Malnutrisi
2. Tes makan / Minum : batuk
3. Auskultasi: Ronkhi / wheezing

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Klinis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
Stenosis trakeobronkial

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Esofagografi dengan kontras bismuth subkarbonat.
2. Foto thoraks
3. Foto leher lateral

TERAPI
1. Penanganan Konservatif
Bayi dengan fistula trakeobronkoesofagus harus dipertahankan agar tidak ada
makanan atau minuman masuk melalui mulut. Nutrisi masuk melalui cairan
intravena. Pasien harus dirawat dengan posisi setengah duduk (dengan sudut sekitar
30 hingga 60 derajat). Esofagus bagian atas harus selalu bersih dari sekresi dengan
cara suction rutin. Antibiotik diperlukan bila terdapat bukti aspirasi yang dapat
menyebabkan pneumonia.
2. Penanganan Bedah
Pasien harus segera dilakukan tindakan bedah untuk menangani atau memperbaiki
fistula trakeobronkoesofagus

EDUKASI
Pasien harus dirawat dengan posisi setengah duduk dengan sudut sekitar 30 hingga 60
derajat

PROGNOSIS
Prognosis untuk penyakit ini umumnya baik bila penanganannya tepat waktu

KEPUSTAKAAN
1. Jackson C, Jackson CL. Bronchoesophagology. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 1950; pp. 264-67
2. Jackson C, Jackson CL. Bronchi and Esophagus. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 1959;pp. 728-38.

STENOSIS TRAKEOBRONKHIAL
PENGERTIAN
Stenosis trakeobronkial adalah penyempitan lumen trakea yang banyak disebabkan oleh
trauma, baik trauma yang terjadi dari dalam seperti intubasi yang dialami cukup lama
dan trauma dari luar seperti pukulan, juga infeksi seperti amiloidosis, sarkoidosis, dan
polikondritis.

ANAMNESIS
1. Trauma
2. Infeksi
3. Intubasi yang dialami cukup lama

PEMERIKSAAN FISIK
Terdapat penyempitan lumen trakea sehingga mengganggu pernafasan

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Laringoskopi fleksibel

DIAGNOSIS BANDING
1. Benda asing jalan nafas
2. Asma bronkialis
3. Akut epiglotitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi
2. CT Scan Laring dengan kontras
3.
TERAPI
Operasi rekonstruksi untuk stenosis trakeobronkial primer
EDUKASI
Pasien harus dirawat dengan posisi setengah duduk dengan sudut sekitar 30 hingga 60
derajat.

PROGNOSIS
Prognosis stenosis trakeobronkial umumnya baik bila penanganan bedah nya tepat
waktu.

KEPUSTAKAAN
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, Fourth Edition,
Volume One, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p:307-334 **
2. Lee,K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition, Me.
Graw-Hill, 2003.

VARISES ESOFAGUS
PENGERTIAN
Melebar dan berkelok-keloknya pembuluh darah balik esofagus

FREKUENSI
Sering ditemukan pada penderita dengan kelainan kronis hati

ANAMNESIS
1. Pasien mengeluh muntah darah dan buang air besar kehitaman.
2. Bila terjadi dalam jangka lama dan dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan
kekurangan cairan tubuh dan dapat menimbulkan syok hipovolemik

FAKTOR RISIKO
Pasien dengan kelainan hati. Kelainan hati dapat menyebabkan peningkatan tekanan
porta. Usaha kompensasi tubuh untuk dekompresi tekanan sistem porta yang tinggi
dengan jalan pembentukan kolateral vena

ETIOLOGI
Penyebab hipertensi porta:
1. Intra hepatik: sirosis hepar, penyakit Wilson, skistosomiasis, dan keganasan
2. Ekstra hepatik: trombosis vena porta, atresia, dan stenosis kongenital

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Foto kontras barium.
2. Esofagoskopi rigid.
3. Esofagoskopi serat optik.

TERAPI
1. Atasi dan pengendalian perdarahan
2. Perbaiki keadaan hemodinamik pasien
3. Pemasangan balon Sengstaken Blakemore
4. Bila gagal dilakukan ligasi varises endoskopi
5. Skleroterapi varises endoskopi
6. Transjugular intrahepatic Portosystemic Stent Shunt (TIPSS)

KEPUSTAKAAN
1. Balienger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed.
Philadelphia. Lea & Febiger. 1993. Chapter 26. p. 424-34
2. Pedoman THT
3. Yang JY, Deutsch ES, Reilly JS. Bronchoesophagology. In: Snow Jr JB, Ballenger
JJ, editors. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 16th ed. Philadelpia.
Lea&Febiger. 2003.p. 1562-73
ABSES SUBMANDIBULA

PENGERTIAN
Abses yang terbentuk didalam ruang potensial submandibula

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita abses submandibula adalah:
1. Demam
2. Nyeri tenggorok yang hebat
3. Gangguan menelan
4. Gangguan pernafasan akibat pembengkakan
5. Sukar membuka mulut (trismus)
6. Didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pembengkakan di bawah dagu atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral
2. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Aspirasi abses
3. Tanda klinik.

DIAGNOSIS BANDING
1. Abses parafaring
2. Abses yang berhubungan dengan gigi molar atas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG:
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa abses sub
mandibula
2. Pemeriksaan laboratorium dengan dilakukan kultur pada pus.
TERAPI
Prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Tujuan pertama haruslah menjamin dan memelihara jalan nafas yang memadai.
2. Pada stadium infiltrasi dapat diberikan antibiotik dosis tinggi dan simptomatik
3. Aspirasi pada abses yang kecil atau pemasangan kateter untuk aspirasi berulang dari
abses yang lebih besar merupakan alternatif untuk insisi bedah dan drainase

EDUKASI
1. Menjaga kebersihan mulut
2. Menganjurkan kepada pasien bila ada gangguan pada gigi segera diterapi
3. Menghindari infeksi saluran nafas atas

PROGNOSIS:
Pada umumnya prognosis abses leher dalam baik apabila dapat didiagnosis secara dini.

KEPUSTAKAAN:
1. Bailey BJ. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Vol 1. 4th Ed. Lippincolt Williams & wilkins. Philadelphia.
2006:1183-97.
2. Dhingra PL. Head and Neck Space Infections. In: Diseases of Ear, Nose, and
Throat.4th Ed. New Delhi. 2007: 244-9.
3. Fachruddin Darnila. Abses Leher Dalarn. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Balai Penerbit FK UI
Jakarta.2007: 226-30.
FARINGITIS KRONIK

PENGERTIAN
Proses inflamasi kronik pada membran mukosa faring yang berlokasi di saluran nafas
atas, disebabkan oleh proses infeksi ataupun noninfeksi yang terus-menerus

ANAMNESIS
A. Faringitis kronik nonspesifik Pasien datang dengan keluhan:
1. Tenggorokan, kering, berlendir, gatal dan terasa tebal
2. Rasa mengganjal di tenggorokan
3. Batuk berdahak kronik
4. Timbul rasa sakit di tenggorokan jika terdapat hal-hal yang merangsang
(makanan pedas, asap, dll)
5. Terkadang suara bisa serak. Bau mulut

B. Faringitis kronik spesifik


B.l. Faringitis Tuberkulosis
Pasien datang dengan keluhan:
1. Nyeri hebat di tenggorokan bahkan sampai ke telinga
2. Tanda tanda TBC paru biasanya (+): demam, keringat malam, batuk (dapat
disertai darah), pembengkakan kelenjar di leher, penurunan berat badan, dll.
3. Pada keadaan berat, dijumpai sesak nafas

B.2. Faringitis Sifilis


Pasien datang dengan keluhan:
1. Sulit menelan
2. Nyeri menelan
3. Nyeri tenggorokan
4. Batuk kronik
5. Bau mulut
6. Pada keadaan berat, dijumpai sesak nafas
PEMERIKSAAN FISIK
A. Faringitis kronik nonspesifik
A.l. Faringitis hiperplastik
Perubahan mukosa dinding posterior faring yang tidak rata dan bergranulasi.
Mukosa menghasilkan sekret kental. Pembuluh darah di dinding faring mengalami
kongesti dan kemerahan. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan
lateral band hiperplasia atau menebal. Dinding faring posterior seringkah
mempunyai gambaran cobblestone (batu kerikil) karena hipertrofi limfoid
A.2. Faringitis atrofi
Sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi, tampak mukosa faring ditutupi oleh
lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering

B. Faringitis kronik spesifik


B.l. Faringitis Tuberkulosis
Terbentuk lesi tuberkel pada kedua sisi dan sering ditemukan pada posterior faring,
arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole, dan palatum durum.
Beberapa tuberkel berdekatan bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang
sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus

B.2. Faringitis.Sifilis (Faringitis Luetika)


Bergantung pada stadium klinisnya:
Stadium primer: terdapat bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan daerah
posterior faring. Bila infeksi terus menerus maka akan timbul ulkus
yang tidak nyeri
Stadium sekunder: terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah laring
Stadium tersier: terdapat guma terutama pada tonsil dan palatum. Jarang pada dinding
posterior faring, jika terdapat guma pada dinding posterior dapat
menyebar ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan
kematian
KRITERIA DIAGNOSIS
Berdasarkan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Faringitis kronik nonspesifik
2. Faringitis kronik spesifik B.l. Faringitis Tuberkulosis B.2. Faringitis Sifilis

DIAGNOSIS BANDING
1. Faringitis Difteri
2. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
3. Karsinoma faring
4. Lupus vulgaris faring
5. Aktinomikosis faring
6. Mononukleosis Infeksiosa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan darah, kultur sputum, hapusan mukosa
faring, serologik marker
2. Foto toraks untuk melihat proses spesifik (TB, dll)

TERAPI
1. Pemberian antibiotik adekuat sesuai hasil kultur mikroorganisme dan uji sensitivitas
(Faringitis Tuberkulosis -> obat anti TB, Faringitis Luetika ->
2. Penisilin
3. Pemberian tablet hisap atau obat kumur desinfektan
4. Pemberian steroid jangka pendek (short-term corticosteroid)
5. Pemberian analgesik
6. Pengangkatan sekuester (Faringitis Luetika)

EDUKASI
1. Istirahat yang cukup
2. Menghindari paparan iritan seperti debu, asap rokok
3. Konsumsi cairan yang banyak
4. Diet ringan yang bergizi
5. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol
6. Menjaga kebersihan gigi dan mulut
7. Menghindari asupan makanan yang pedas dan berminyak

PROGNOSIS
Prognosis baik, bergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, sanitasi, asupan
makanan, kebiasaan hidup sehat, dan ketekunan berobat

KEPUSTAKAAN
1. Centor, R.M., Allison, J J. and Cohen, S.J. 2007. Pharyngitis management: defining
the controversy. J Gen Intern Med; 22:127.
2. Centor, R.M. 2009. Expand the pharyngitis paradigm for adolescents and young
adults. Ann Intern Med; 151:812.
3. Wessels, M.R. 2011. Clinical practice: Streptococcal pharyngitis. N Engl J Med;
364:648.
4. Pichichero, M.E. 2000. Controversies in the treatment of streptococcal pharyngitis.
Am Fam Physician; 42:1567
5. Randolph, M.F., Gerber, M.A., DeMeo, K.K. and Wright, L. 2005. Effect of
antibiotic
6. therapy on the clinical course of streptococcal pharyngitis. J Pediatr; 106:870.
7. Gerber, M.A. and Tanz, R.R. 2001. New approaches to the treatment of group A
streptococcal pharyngitis. CurrOpin Pediatr; 13:51
8. Al-Abdulhadi, K., 2007, Common throat infections: a review, ORL-HNS
Department,
9. Zain and Al-Sabah Hospital, Kuwait, Bull Kuwait Inst Med Spec 2007;6:63-67
10. Bisno, A.L. 2001. Chronic pharyngitis. N. Engl. J. Med; 344:205-211
11. Wannamaker LW. Perplexity and precision in the diagnosis of streptococcal
pharyngitis. Am J Dis Child 1972;124:352-8
12. Linder JA, Chan JC, Bates DW. Evaluation and treatment of pharyngitis in primary
care practice: the difference between guidelines is largely academic. Arch Intern
Med 2006;166:1374-9.
FARINGITIS

PENGERTIAN
Proses infeksi pada mukosa dan submukosa dari faring. Jaringan yang berpengaruh
antara lain orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil. Penyebab faringitis antara lain
infeksi, kongenital, dan neoplasma

ANAMNESIS
Gejala klinis:
1. Sakit tenggorok
2. Sulit menelan
3. Demam
4. Rhinorea
5. Batuk

PEMERIKSAAN FISIK
1. Tampak lesi vaskuler yang mudah berdarah pada faring
2. Tampak ulserasi epitel atau ulkus pada tonsil yang tertutup suatu eksudat berwarna
kelabu
3. Tonsil hipertrofi
4. Infiltrat leukosit polimorphonuclear

KRITERIA DIAGNOSIS
swab kultur dari faring

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Immunoessay mempunyai kepekaan dan spesifitas yang baik
2. Kultur
3. Rapid test
4. Test serologik pada sifilis
TERAPI
1. Antibiotik
2. Pengobatan simtomatis
3. Antitoksin untuk difteri

EDUKASI
1. Memperbaiki gaya hidup
2. Mengatur makanan

PROGNOSIS
Baik

KEPUSTAKAAN
1. Alper C., Myers E N., Eibling, Decicion Making In Ear, Nose, and Throat
Disorders, Saunders Company, 152-153., 2001
2. Bailey BJ, Johnson JT. Pharyngitis, 601-613., 2006
3. Becker W, Nauman H H, Pfaltz R C, Ear, Nose, and Throat Diseases, Thieme 299-
LARINGITIS AKUT

DEFINISI
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang
berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus
influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus

ANAMNESIS
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang
kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara
yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam
pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjadi
parau bahkan, sampai tidak bersuara sama sekali (afoni)
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala common cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang
sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang
disertai dengan nyeri diseluruh tubuh.

PEMERIKSAAN FISIK
Tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah
pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau
paru

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan fisik, dan kuman
penyebab

DIAGNOSIS BANDING
1. Benda asing pada laring
2. Faringitis
3. Bronkiolitis
4. Bronkitis
5. Pneumonia

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laringoskopi Indirek
2. Laringoskopi Direk
3. Fiber Optic Laryngoscope
4. Radiologi
5. Laboratorium

TERAPI
1. Antibiotik terutama untuk Stafilokokus Aureus,Streptokokus pyogenes, dan difteri.
Buku panduan -> memakai amoksisilin dengan asam klavulanat atau ampisilin
dengan sulbaktam. Injeksi Penisilin Prokain selama 10 hari untuk kuman difteri
disertai pemberian serum anti difteri.
2. Terapi kortikosteroid terutama pada bayi dan anak dengan potensi terjadi sumbatan
jalan nafas atas.
3. Terapi simptomatis: analgesik, antipiretik, mukolitik
4. Humidifikasi dalam ruangan yang sejuk dan dingin.
5. Tindakan operasi trakeostomi dilakukan bila didapatkan obstruksi jalan nafas atas
yang gagal penanganan konservatif.

EDUKASI
1. Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan
kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara
2. minum banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat
pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan
3. batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering
4. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena berdehem akan
menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara, meningkatkan
pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi
lebih banyak lendir.

PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama
satu minggu.

KEPUSTAKAAN
1. Pedoman THT
2. Ballenger JJ. Disease of The Nose, Throat, Ear, Head and Neck, Philadelphia, Lea
& Febiger, 1993, chapter 26, pp. 424-34
LARINGITIS KRONIS

PENGERTIAN
Inflamasi pada membran mukosa laring yang terjadi lebih dari 3 minggu

ANAMNESIS
1. Suara parau yang menetap
2. Rasa tersangkut / seperti ada benda asing di tenggorokan
3. Sering berdehem akan tetapi dahak tidak keluar

PEMERIKSAAN FISIK
1. Mukosa laring menebal
2. Permukaan laring tidak rata
3. Hiperemis pada laring

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Kista pita suara
2. Stenosis subglotik
3. Sulkus vokalis
4. Laringitis ulseratif idiopatik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah
2. kultur sputum
3. hapusan mukosa laring untuk mengetahui penyebab laringitis kronis
TERAPI
1. Mengobati faktor predisposisi
2. Tidak banyak berbicara (Vocal Rest)

EDUKASI
1. Pasien mengistirahatkan suara
2. Dihindarkan menggunakan suara yang berlebihan untuk sementara waktu

PROGNOSIS
Tergantung dari penyebab laringitis kronis

KEPUSTAKAAN
1. Bambang Hermani. Dalam: Buku ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala & leher.
Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007: p. 237
2. Kenneth W. Altman, Jamie A. Koufman. Laryngopharyngeal and Laryngeal
Infections and Manifestation of Systemic Diseases. In: Ballenger JJ, Snow JB,
editors. Otorhinolaryngologi head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2009
LARINGOMALASIA

PENGERTIAN
Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur
supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas

ANAMNESIS
1. Riwayat stridor inspiratorik diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa
muncul pada minggu 4-6 awal.
2. Stridor berupa tipe inspiratorik dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya
membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret
nasal.
3. Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi
infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah
makan.
4. Tangisan bayi biasanya normal
5. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang
tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.
6. Bayi gembira dan tidak menderita.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Dapat terlihat takipneu ringan
2. Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
3. Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang
4. Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama
pemeriksaan
5. Stridor murni berupa inspiratorik. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus
sternalis

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Laringoskopi fleksibel
4. Radiologi.

DIAGNOSIS BANDING
Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada
anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan
intraluminal seperti laryngealweb dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema
dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi
2. Esofagogram

TERAPI
1. Konservatif
Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat
diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut,
sehingga akan memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika
terjadi hipoksernia berat pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen <90%), Tidak
ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini
2. Operatif
Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat.
Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan

PROGNOSIS
Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh
sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien,
gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada
beberapa kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada
keadaan seperti ini, biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa.
KEPUSTAKAAN
1. Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In: Ballenger JJ, SnowJB, editors. ;
yngologi head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003. p.1090-95
2. Bronkoskopi. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA editor. Buku ilmu kesehatn telinga -:
rok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007: p. 266.
LARINGOFARINGEAL REFLUX (LPR)

PENGERTIAN
Sebuah kondisi pada seseorang mengalami Gastroesofageal Reflux (GERD), ketika
asam lambung naik ke laringofaring

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita LPR adalah :
1. Suara serak
2. Batuk
3. Globus faring
4. Throat clearing
5. Disfagia
6. Nyeri Tenggorokan
7. Wheezing
8. Laringospasme
9. Halitosis

PEMERIKSAAN FISIK
1. Disfonia
2. Reflux Symptom Index (RSI)

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Laringoskopi Indirect, Laringoskopi Optik
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
Gastroesofageal Reflux (GERD)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiografi
2. Pemeriksaan Studi Monitor pH
3. Manometri Esofageal
4. Pengukuran Spektrofotometri
5. Biopsi Mukosa

TERAPI
1. PPI : Omeprazole, Esomeprazole, Lansoprazole
2. H2-receptor blocker: ranitidine, cimetidine
3. Prokinetic Agents: Tegaserod, Metoclopramide, Domperidone
4. Mucosal cytoprotectants: sucralfat

EDUKASI
1. Penurunan berat badan
2. Menghentikan kebiasaan merokok
3. Menghindari alkohol
4. Mengkonsumsi obat secara teratur

PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang tepat.

KEPUSTAKAAN
1. Laryngopharyngeal Reflux. CCENT [online] 2004.
http://www.ccent.com/webdocuments/LPR-CCENT document.pdf
2. Laryngopharyngeal Reflux.Cleveland Clinic [online] 2012
.http://my.clevelandclinic.org/disorders/larvngopharvngeal-reflux-Ipr/hic
laryngopharyngeal reflux Ipr.aspx.
SIALADENITIS

PENGERTIAN
Peradangan akut pada kelenjar ludah

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita sialadenitis adalah :
1. Demam
2. Kemerahan pada leher atas
3. Kemerahan pada sisi wajah samping
4. Memiliki kesulitan membuka mulut
5. Menderita penurunan rasa
6. Mulut kering
7. Rasa sakit pada wajah
8. Sakit mulut
9. Wajah yang bengkak

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pembengkakan dan rasa sakit, serta trismus ringan meliputi gumpalan lembut yang
nyeri di pipi atau di bawah dagu, terdapat pembuangan pus dari glandula ke bawah
mulut dan dalam kasus yang parah, demam, menggigil dan malaise (bentuk umum
rasa sakit)
2. Pada anamnesis riwayat pasien dehidrasi (operasi mayor/op. mulut, faring + laring,
gastrointestinal), terapi radiasi/brachytherapy, pemberian imunosupresi, kemoterapi,
atau sindrom sjogren, hygiene mulut jelek, perawatan rumah sakit yang tak higienis,
infeksi nosokomial), pasien sering berpuasa/tidak suka makan
3. Suhu badan meningkat

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Spatel lidah
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Sialodenitis.
2. Neoplasma parotis.

PERMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Foto konvensional tampak lateral.
2. Pemeriksaan CT Scan, USG dan MRI.

TERAPI
1. Masase lemah-lembut berulang, rehidrasi, kompres hangat, oral irigasi dengan
antiseptik
2. Antimikroba per-oral: tu. Untuk stafilokokus; ingat beta laktam bakteri; bakteri
anaerob dengan khoramfenikol
3. Sebaiknya antibiotika parenteral di poli kemudian dilanjutkan per oral, Buku
panduan -> memakai amoksisilin dengan asam klavulanat atau ampisilin dengan
sulbaktam
4. Terapi simptomatis: anti inflamasi dan analgesik/analgesik antipiretik, mukolitik.
Terapi operasi minor dan mayor: mayor tak dikerjakan sedang insisi (minor)
dilakukan

EDUKASI
Pantau penyakit bila terjadi perburukan (cth: abses)

PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang tepat.

KEPUSTAKAAN
1. JT Johnson, J Gluckman, AM Pou, eds. Head and neck surgery-otolaryngology, 3rd
edition, vol. 2. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2001.
2. BJ Bailey, et al., eds. Head and Neck Surgery - Otolaryngology.Vol 2. 3rd Ed.
Philadelphia. Lippincott Williams &. Wilkins. 2001
3. KJ Lee, ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8''' Ed. McGraw-Hill,
New York. 2003
4. AK Lalwani, ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head and
Neck Surgery. International Edition. McGraw-Hill, Boston, 2004.
5. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea &
Febiger. Philadelphia. 1991
6. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14' Ed. Lea &
Febiger. Philadelphia. 1999
SIALOLITIASIS

PENGERTIAN
Kejadian adanya batu yang letaknya bisa di duktus, hilum, atau jaringan
parenchymagland (gld).

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita sialolitiasis adalah :
1. Rasa sakit yang hebat pada saat makan
2. Memikirkan makanan
3. Pembengkakan kelenjar ludah (sangat peka bila di palpasi)
4. Mereda setelah makan

PEMERIKSAAN FISIK
1. Benjolan yang kumatan pada rahang bawah (kelenjar submandibularis) sedang
parotis dan pipi.
2. Benjolan difus, kenyal dan nyeri apabila di tekan.
3. Benjolan bertambah besar dan lebih sakit pada saat makan
4. Bila abses akan keluar pus pada muara duktus dan disertai rasa sakit baik spontan
maupun di tekan
5. Terkadang suhu badan meningkat

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Spatel lidah
3. Pemeriksaan Penunjang

DIAGNOSIS BANDING
1. Sialodenitis.
2. Neoplasma parotis.
PERMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Sialografi, USG.
2. pemeriksaan CT Scan / CT-Sialografi

TERAPI
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Antimikroba per-oral: tu. Untuk stafilokokus; ingat beta laktam bakteri; bakteri
anaerob dengan chloramfenikol bila ada infeksi akut
2. Sebaiknya antibiotika parenteral di poli kemudian dilanjutkan per oral, Buku
panduan -> memakai amoksisilin dengan asam klavulanat atau ampisilin dengan
sulbaktam
3. Terapi simptomatis: anti inflamasi dan analgesik/analgesik antipiretik, mukolitik
4. Terapi operasi mayor dan minor. Bila batu ada di duktus Wharton dapat di ambil
secara operasi mayor dengan neurolepsi atau GA, dan hal ini tergantung ada
tidaknya striktura distal dari letak batu atau letak batu, apakah di duktus, di hilum
atau di parenchyme gland atau dapat secara operasi minor dengan cara
sialolitektomi mengunakan CO2 laser atau secara sialolitotripsi mengunakan pulse
dye /oser atau dengan extracorporeal electromagnitic shock-wave lipthotripsy.
5. Bila batu di Hilum atau parenchyme parotis sebaiknya secara minor dengan alat
canggih atau operasi mayor pengambilan batu dibawah mikroskop

EDUKASI
Keluhan sialolitiasis bisa berulang

PROGNOSIS
Baik dengan penanganan yang tepat.

KEPUSTAKAAN
1. JT Johnson, J Gluckman, AM Pou, eds. Head and neck surgery-otolaryngology, 3rd
edition, vol. 2. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2001.
2. BJ Bailey, et al., eds. Head and Neck Surgery - Otolaryngology.Vol 2. 3rd Ed.
Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001
3. KJ Lee, ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th Ed. McGraw-Hill,
New York. 2003
4. AK Lalwani, ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head and
Neck Surgery. International Edition. McGraw-Hill, Boston, 2004.
5. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14<h Ed. Lea &
Febiger. Philadelphia. 1991
6. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea &
Febiger. Philadelphia. 1999
TONSILITIS

PENGERTIAN
Infeksi atau peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer.

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita tonsilitis adalah:
1. Riwayat sakit menelan yang berulang
2. Rasa tidak enak tenggorokan
3. Napas berbau oleh karena adanya pus dalam kripta
4. Suara sengau dan rasa tercekik saat tidur malam hari.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Tonsil dapat membesar bervariasi
2. Kripta melebar
3. Pilar anterior tampak lebih kemerahan dibanding dengan mukosa faring
4. Pembesaran kelenjar limfa submanu'ibula.

KRITERIA DIAGNOSIS
1. Inspeksi
2. Pemeriksaan mikrobiologi
3. Pemeriksaan histopatologi

DIAGNOSIS BANDING
1. Abses peritonsil
2. Tumor tonsil

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah : Hb, Hct, AL, AT, BT, CT, HbsAg
2. Foto rontgen dada, EKG, SGOT / SGPT untuk usia lebih dari 40 tahun
TERAPI
1. Medikamentosa, dengan memberikan antibiotik sesuai kuitur
2. Pembedahan (tonsilektomi)

EDUKASI
1. Menjaga kebersihan mulut
2. Menganjurkan kepada pasien untuk tidak merokok
3. Bila ada gangguan sakit menelan segera diterapi agar mengurangi infeksi.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis tonsilitis baik apabila dapat didiagnosis dan diterapi secara
cepat dan tepat.

KEPUSTAKAAN
1. Adams G. L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Highler B. A.
Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta. EGC. 1997 : 327-40.
2. Bailey B. J. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Fourth Edition. Texas. Lippincott Williams & Wilkins.
2006 :1183-97.
3. Rusmarjono, Soepardi E. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil. Dalam :
Soepardi E, Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL. Ed 5 Jakarta. Balai
Penerbit FKUI, 2001:183-4.
4. Ballenger J. J. Tonsil. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi 13. Jakarta. Binarupa Aksara. 1994 : 352-7.
TRAUMA LEHER

PENGERTIAN
Trauma leher adalah suatu benturan yang mengenai bagian leher (tenggorokan) sebagai
akibat terkena benda tumpul ataupun benda tajam

ANAMNESIS
Gejala klinis penderita trauma leher adalah:
1. Batuk
2. Hemoptisis
3. Suara serak
4. Disfagia
5. Odinofagia

PEMERIKSAAN FISIK
1. Timbulnya stridor
2. Emfisema subkutis
3. Kelainan pita suara seperti edema, hematoma, laserasi dan parese pita suara

KRITERIA DIAGNOSIS
1. inspeksi
2. Palpasi leher
3. Laringoskopi optik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Cek lab darah
2. Foto rontgen cervical
3. Esofagoskopi

TERAPI
prinsip - prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan:
1. Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran
nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru.
2. Pada trauma tertutup dilakukan eksplorasi paling lama 1 minggu setelah trauma.
3. Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas.
4. Pemberian antibiotik dan serum anti tetanus pada trauma terbuka.
5. Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi, dan
pemberian kortikosteroid pada keadaan mukosa laring yang edema, hematoma atau
laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.

EDUKASI
Pasien diminta untuk istirahat suara.

PROGNOSIS
Pada pasien trauma leher prognosisnya baik apabila penatalaksanaannya baik dan tepat.

KEPUSTAKAAN
1. Bailey BJ. Head and neck surgery-otolaryngology, third edition, Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia, 2001,717-821
2. Lore JM, Medina JE, An Atlas of Head and Neck Surgery, fourth edition, Elsevier
Inc, W.B Saunders, Philadelphia, 2005, 856.

Anda mungkin juga menyukai