Anda di halaman 1dari 27

Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI

beni Ahmad Saebani & Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Agama Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2009), 249.
PENDAHULUAN

Siswanto, Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), 55.


Kurikulum merupakan alat/ kunci dalam prosess pendidikan formal. Tidak mengherankan apabila
alat ini selalu dirombak atau ditinjau kembalii untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
zaman. Oleh sebab itu kurikulum juga harus selalu berkembang.

Istilah pengembangan menunjuk pada suatu kegiatan menghasilkan suatu alat atau cara baru, dimana
selama kegiatan tersebut penilaian dan penyempurnaan terhadap alat atau cara tersebut terus
dilakukan. Bila setelah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan akhirnya alat atau cara tersebut
dipandang cukup mantap untuk digunakan seterusnya, maka berakhirlah kegiatan pengembangan
tersebut. Kegiatan pengembangan kurikulum mencakup penyusunan kurikulum itu sendiri, pelaksanaan
di sekolah-sekolah yang disertai dengan penilaian intensif.

Di dalam makalah ini yang berhubungan dengan perkembangan kurikulum, maka peran guru di dalam
pengembangannya sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang akan dilaksanakan secara
kurikulum yang bersifat sentral maupun desentral, keduanya memerlukan penerapan dan
perkembangan dari peran guru tersebut. Begitu juga dengan perkembangan kurikulum PAI, maka dari
itu makalah ini akan membahas tentang peran guru terhadap perkembangan kurikulum yang akan
membuka wawasan kita dalam hal peranan guru dalam pengembangan kurikulum PAI.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengembangan Kurikulum

Centre for Educational Research and Innovation (CERI) coba mendefinisikannya sebagai berikut
curriculum development is the process of analiting and refining goals, aims and objektives, together with
the translation of these into the content of courses by formal or informal methods. (CERI, handbook on
curriculum development, P.12)

Pada pengembangan kurikulum ialah mengarahkan kurikulum ketujuan pendidikan yang diharapkan
karena adanya berbagai pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dalam, dengan
harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik. Oleh karena itu
pengembangan kurikulum hendaknya bersifat antisipatif, adaptif dan aplikatif.

Pada dasarnya pengembangan kurikulum adalah mengarahkan kurikulum sekarang ketujuan pendidikan
yang diharapkan karana adanya berbagai pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau
dari dalam sendiri dengan harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik.
B. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum

Guru memegang peranan yang cukup penting baik didalam perencanaan maupun pelaksanaan
kurikulum. Dia adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Sekalipun ia
tidak mencetuskan sendiri, konsep-konsep tentang kurikulum, guru merupakan penerjemah kurikulum
yang datang. Dialah yang mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya.
Karena guru juga merupakan barisan pengembangan kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang
selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan kurikulum, sebagai pelaksana kurikulum maka guru
pulalah yang menciptakan kegiatan belajar mengajar bagi murid-muridnya. Berkat keahlian
keterampilan dan kemampuan seninya dalam mengajar, guru mampu menciptakan situasi belajar yang
aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreatifitasnya anak.

Dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat
sentralisasi, desentralisasi, sentral desentral :

1. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum yang Bersifat Sentralisasi

dalam kurikulum yang bersifat guru tidak mempunyai peranan dan evaluasi kurikulum yang bersifat
makro, mereka lebih berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim khusus yang
terdiri atas para ahli. Penyusunan kurikulum mikro dijabarkan dari kurikulum makro. Guru menyusun
kurikulum dalam bidangnya untuk jangka waktu satu tahun, satu semester, beberapa minggu, atau
beberapa hari saja. Kurikulum untuk satu tahun, satu semester disebut juga program tahunan.
Sedangkan kurikulum untuk beberapa minggu, beberapa hari disebut satuan pelajaran. Program
tahunan, atupun satuan pelajaran memiliki komponen-komponen yang sama yaitu tujuan, bahan
pelajaran, metode dan media pembelajaran dan evaluasi hanya keluasan dan kedalamannya berbeda-
beda. Menjadi tugas gurulah menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat memilih dan menyusun
bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan minat dan tahap pengembangan anak memiliki metode
dan media mengajar yang bervariasi serta menyusun metode dan alat yang tepat. Suatu kurikulum yang
tersusun secara sistematis dan rinci akan sangat memudahkan guru dalam emplimentasinya. Walaupun
kurikulum sudah tersusun dengan berstruktur, tapi guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan
penyempurnaan dan penyesuaian-penyesuaian.

Implementasi kurikulum hampir seluruhnya bergantung pada kreatifitas, kecakapan, kesungguhan dan
ketekunan guru. Guru juga berkewajiban untuk menjelaskan kepada para siswanya tentang apa yang
akan dicapai dengan pengajarannya, membangkitkan motivasi belajar, menciptakan situasi kompetitif
dan kooperatif dan memberikan pengarahan juga bimbingan.

2. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum yang Bersifat Desentralisasi

kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah
atau daerah. Kurikulum ini diperuntukan bagi suatu sekolah ataupun lingkungan wilayah tertentu.
Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan oleh atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan
daerah serta kemampuan sekolah, atau sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum terutama
isinya sangat beragam, tiap sekolah atau wilayah mempunyai kurikulum sendiri tetapi kurikulum ini
cukup realistis. Bentuk kurikulum ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain :

pertama, kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat. Kedua,
kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah baik kemampuan profesional, finansial dan
manajerial. Ketiga, disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat memudahkan dalam
pelaksanaannya. Keempat, ada motivasi kepada sekolah (kepala sekolah, guru), untuk mengembangkan
diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam
kompetisi dalam pengembangan kurikulum.

Beberapa kelemahan kurikulum ini adalah 1) tidak adanya keseragaman untuk situasi yang
membutuhkan keseragaman demi persatuan dan kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat. 2) tidak
adanya standart penilaian yang sama sehingga sukar untuk diperbandingkannya keadaan dan kemajuan
suatu sekolah/ wilayah dengan sekolah/ wilayah lainnya. 3) adanya kesulitan bila terjadi perpindahan
siswa kesekolah/ wilayah lain. 4) sukar untuk mengadakan pegelolaan dan penilaian secara nasional.5)
belum semua sekolah/ daerah mempunyai kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum
sendiri.

3. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum yang Bersifat Sentral Desentral

Untuk mengatasi kelemahan kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara keduanya
dapat digunakan yaitu bentuk sentral desentral. dalam kurikulum yang yang dikelola secara sentralisasi
desentralisasi mempunyai batas-batas tertentu juga, peranan guru dalam dalam pengembangan
kurikulum lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara sentralisasi. Guru-guru turut
berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaraban kurikulum induk ke dalam program tahunan/
semester/ atau satuan pelajaran, tetapi juga di dalam menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk
sekolahnya. Guru-guru turut memberi andil dalm merumuskan dalam setiap komponen dan unsur dari
kurikulum. Dalam kegiatan yang seperti itu, mereka mempunyai perasaan turut memilki kurikulum dan
terdorong untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dirinya dalam pengembangan
kurikulum.

Karena guru-guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikut sertakan, mereka memahami dan
benar-benar menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kelas akan
lebih tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagi pengguna, tetapi perencana, pemikir,
penyusun, pengembang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.

C. Pengembangan Kurikulum PAI

Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam(PAI) dapat diartikan sebagai:


(1) kegiatan menghasilkan kurikulum PAI atau (2) proses yang mengkaitkan satu komponen dengan
yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik;dan/ atau(3) kegiatan penyusunan
(desain), pelaksanaaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI. Dalam realitas sejarahnya,
pengembangan kurikulum PAI tersebut ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma,
walaupun dalam beberapa hal-hal tersebut masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Hal ini dapat
dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingatan tentang
teks-teks dari ajaran-ajaran agtama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari
timur tengah, kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan
pembelajaran PAI: (2) perubahan dari cara berpikir tekstual, normative, dan absolutis kepada cara
berpikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-
nilai agama Islam: (3) perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiuran agama Islam daripada
pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut: dan(4)
perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam
memilih dan menyusun isi kurikulum PAI kearah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, tujuan PAI
dan cara-cara mencapainya.

D. Fungsi Kurikulum PAI

1. Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan;

a. sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang diinginkan atau dalan istilah KBK
disebut standar kopetensi PAI, meliputi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi lintas
kurikulum, kompetensi tamatan/lulusan, kompetensi bahan kajian PAI, kopmpetensi mata pelajaran PAI
( TK,SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA ), kompetensi mata pelajaran kelas (Kelas I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X,
XI, XII);

b. pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah.

2. Bagi sekolah/madrasah atau diatasnya;

Melakukan penyesuaian

Menghindari keterulangan sehingga boros waktu

Menjaga kesinambungan.

3. Bagi masyarakat;

Masyarakat sebagai pengguna lulusan (users), sehingga sekolah/madrasah harus mengetahui hal-hal
yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam konteks pengembangan PAI;

Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum PAI.
E. Proses Pengembangan Kurikulum

Dalam menyusun perencanaan ini kurikulum bisa berasal dari :

1. Visi yang dicanangkan

Visi adalah the statement of ideas or hopes, yakni pernyataan tentang cita-cita atau harapan-harapan
yang ingin dicapai oleh suatu nlembaga pendidikan dalam jangka panjang.

2. kebutuhan stakeholders, (siswa, masyarakat, pengguna lulusan), dan kebutuhan untuk studi
lanjutan.

3. Hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan iptek dan zaman.

4. Pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya.

5. Kecendrungan era globalisasi yang menuntut seseorang untyuk memiliki etos belajar sepanjang
hayat, melek sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi.

Kelima ide tersebut kemudian diramu sedemikian rupa untuk dikembangkan dalam program atau
kurikulum sebagai dokumen, yang antara lain berisin : informasi dan jenis dokumen yang dihasilkan ;
bentuk/format silsbus ; dan komponen-komponen kurikulum yang harusdikembangkan, apa yang
tertuang dalam dokumen tersebut kemudian dikembangkan dan disosialisasikan dalam proses
pelaksanaannya, yang dapat berupa pengembangan kurikulum dalam bentuk satuan acara
pembelajaran atau SAP, proeses pembelajaran di kelas atau di luar kelas, serta evaluasi pembelajaran,
sehingga diketahui tingkat efisiensi dan efektivitasnya, dari evaluasi ini akan diperoleh umpan balik (feed
back) untuk digunakan dalam penyempurnaan kurikum berikumnya, dengan demikian, proses
pengambangan kurikum munutut adanya evaluasi secara berkelanjutan mulai dari perencanaan,
implementasi hingga evaluasinya itu sendiri.

Karena itu, pengembangan kurikulum PAI perlu dilakukan secara terus menerus guna merespon
dan mengantisipikasi pengembangan dan tuntutan yang ada tanpa harus menunggu pergantian Menteri
Pendidikan Nasional atau Menteri Agama. Apabila saat ian masyarakat sudah memasuki era globalisasi,
baik dibidang iptek maupun sosial, politik, budaya dan etika. Hal ini akan berimplikasi pada banyaknya
masalahpendidikan yang harus segera diatasi, tanpa harus menunggu nunggu keputusan dari atas.

A. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI

Dalam konteks pendidikan Islam, Kamrani Buseri menekankan bahwa peranan pendidik adalah untuk
menumbuhkan nilai Illahiah terhadap peserta didik, nilai Illahiah berkaitan dengan konsep tentang
ketuhanan dan segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Nilai Illahiah berkaitan dengan nilai Imaniah,
Ubudiyah dan Mualamah, dalam hal ini pendidik mesti berusaha sekuat kemampuannya untuk
mengembangkan diri peserta didik terhadap nilai-nilai tersebut. Peranan pendidik dalam penumbuhan
nilai-nilai Illahiah akan lebih meningkat bila disertai dengan berbagai perubahan, penghayatan, dan
penerapan strategi dengan perkembangan jiwa peserta didik yang disesuaikan dengan jiwa peserta
didik.

PENUTUP

SIMPULAN

Dari semua yang telah dijabarkan, yakni tentang perkembangan kurikulum dari segi pembahasan fungsi
maupun beberapa sifat kurikulum yang berkaitan dengan perkembangannya. Kemudian dilihat dari
pentingnya peran guru dalam perkembangannya maka bisa dikatakan amat berpengaruh besar terhadap
proses pembelajaran.

Dalam kurikulum guru tidak mempunyai peranan dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro, mereka
lebih berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim khusus yang terdiri atas para
ahli. Penyusunan kurikulum mikro dijabarkan dari kurikulum makro. Kurikulum Desentralisasi disusun
oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini
diperuntukan bagi suatu sekolah ataupun lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum
semacam ini didasarkan oleh atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan
sekolah, atau sekolah-sekolah tersebut.

Untuk mengatasi kelemahan kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara keduanya
dapat digunakan yaitu bentuk sentral desentral.

Dalam pengembangan kurikulum PAI, peran guru atau pendidik adalah Dalam konteks pendidikan Islam,
menekankan bahwa peranan pendidik adalah untuk menumbuhkan nilai Illahiah terhadap peserta didik,
nilai Illahiah berkaitan dengan konsep tentang ketuhanan dan segala sesuatu bersumber dari Tuhan.
Nilai Illahiah berkaitan dengan nilai Imaniah, Ubudiyah dan Mualamah.

Note :

makalah ini dibuat ketika saya dan teman-teman masih kuliah dan berhasil presentasi makalah dengan
predikat A, makalah dibuat oleh :

1. Kaharuddin Eka Putra (saya Sendiri)

2. Muhammad Untung

3. Elina Butsiyanti

4. Khairunnisa
5. Ernawati

Dosen : Drs. H. Hamdan, M.Pd

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Hendyat Soetopo, 1993, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta : PT. :Bumi Aksara.

Prof. Drs. H. Dakir, 2004, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Prof. Dr.H. Muhaimin, M.A, 2005, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.

Prof. DR. Nana Syaodih Sukma Dinata, 2005, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung :
Remaja Rosdakarya Offset.

Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan adalah kurikulum.[2] Kurikulum[3] merupakan
salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan
pembelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah dan
dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa.
Tujuan dan pola kehidupan suatu negara banyak ditentukan oleh sistem kurikulum yang digunakannya,
mulai dari kurikulum Taman kanak-kanak sampai dengan kurikulum perguruan tinggi. Jika terjadi
perubahan sistem ketatanegaraan, maka dapat berakibat pada perubahan sistem pemerintahan dan
sistem pendidikan, bahkan terhadap sistem kurikulum yang berlaku.[4]

Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam di era globalisasi ini dapat dilakukan dengan dua
cara: Pertama, memperhatikan aspek pembinaan keagamaan (aqidah, ibadah, dan akhlak), penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi, wawasan kebangsaan, kemanusiaan dan globalisasi yang disesuaikan
dengan tingkat kejiwaan dan kecerdasan anak. Kedua, memperhatikan perkembangan sosial, budaya,
ekonomi, dan politik, serta faktor-faktor lainnya yang memengaruhi paradigma baru seluruh komponen
pendidikan, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, sarana
prasarana, pengelolaan dan sebagainya.[5]

Pengembangan kurikulum melibatkan banyak pihak, terutama guru yang bertugas di kelas.[6] Dengan
demikian, guru selalu dituntut untuk meningkatkan kemampuannya sesuai dengan perkembangan
kurikulum, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan masyarakat. Oleh
karena itu, penguasaan guru terhadap kurikulum merupakan suatu hal yang mutlak dan menjadi
kewajibannya.[7]

Guru merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Bagaimana idealnya suatu
kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu
tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan; dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum
sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan
kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak
dalam tatanan kelas.[8] Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana
semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk
perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup.[9] Untuk mengetahui peran
guru dalam pengembangan kurikulum di atas, maka dalam artikel ini difokuskan pada tiga persoalan
utama, yaitu pertama profesionalitas guru. Kedua, definisi pengembangan kurikulum. Ketiga, peran guru
dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam.

Profesionalitas Guru

Profesionalitas berasal dari kata profesi yang dapat diartikan sebagai jenis pekerjaan yang khas
atau suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan. Profesi dapat juga diartikan sebagai beberapa
keahlian atau ilmu pengetahuan yang digunakan dalam aplikasi untuk berhubungan dengan orang lain,
lembaga atau sebuah instansi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia profesi adalah bidang pekerjaan
yang dilandasi keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Sedangkan arti dari profesional adalah
seseorang yang memiliki seperangkat pengetahuan atau keahlian yang khas dari profesinya.[10]

Sedangkan istilah guru berbeda-beda dalam bahasa asing, antara lain: sensei (Jepang), teacher
(Inggris), der Lehrer (Jerman), ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu-addib (Arab). Istilah-istilah tersebut
secara umum dialamatkan pada orang yang mengajar dan mendidik.[11] Dengan demikian, orang-orang
yang profesinya mengajar disebut guru, baik guru di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru dijelaskan bahwa guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan menengah.[12]

Jadi guru yang profesional adalah guru yang memiliki keahlian, kemampuan, dan pengetahuan
yang khusus dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi
peserta didik sehingga tujuan dari pendidikan dapat tercapai. Guru yang profesional wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.

Sebagai guru profesional, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya perlu memperhatikan
beberapa prinsip profesi. Prinsip-prinsip profesi guru diatur dalam undang-undang No. 14 Tahun 2005
tentang guru dan dosen. Dalam Bab III, pasal 7, ayat 1 dikemukakan bahwa profesi guru dan profesi
dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut.

1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.

2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.

3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang yang sesuai dengan bidang tugas.

4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.

5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.

6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar


sepanjang hayat.

8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas keprofesionalan; dan

9. Memiliki organisasi profesi yang memiliki wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas keprofesionalan.[13]

Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat, bahwa peningkatan mutu pendidikan sebagaimana
tersebut di atas pada akhirnya bermuara kepada tersedianya tenaga pendidik yang bermutu.
Tersedianya dana yang besar, sarana prasarana yang lengkap, serta berbagai komponen pendidikan
lainnya yang serba baru, belum menjamin tercapainya tujuan peningkatan mutu pendidikan. Pernyataan
ini mengingatkan tentang pentingnya meningkatkan mutu pendidik sebagai upaya strategis dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan.

Pengembangan Kurikulum

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan pendidikan atau pengajaran dan hasil
pendidikan atau pengajaran yang harus dicapai oleh anak didik, kegiatan belajar mengajar,
pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum itu sendiri.[14] Sejalan dengan
perkembangan pendidikan, pengertian kurikulum tidak lagi diartikan dalam arti sempit atau terbatas
pada mata pelajaran saja, tetapi lebih luas dari itu, kurikulum bisa meliputi semua aktivitas yang
dilakukan di sekolah dalam rangka untuk mempengaruhi anak didik dalam belajar agar tujuan
pendidikan dapat tercapai. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan belajar mengajar, mengatur strategi
dalam proses belajar-mengajar, mengevaluasi program pengembangan pengajaran, dan lain sebagainya.
[15]

Menurut Nana Sudjana, kurikulum adalah sesuatu yang diinginkan atau yang dicita-citakan, untuk
anak didik. Artinya hasil belajar yang diinginkan yang diniati agar dimiliki anak didik. Semua keinginan
atau hasil-hasil belajar yang diharapkan disusun dan ditulis dalam bentuk program pendidikan yakni
kurikulum, yang bentuk wujudnya adalah buku kurikulum serta petunjuk-petunjuknya. Dalam buku
kurikulum tersebut terdapat hasil atau tujuan apa yang diinginkan, bahan mana yang harus diberikan,
dan pada tingkat atau kelas berapa bahan itu diberikan. Semua itu dituangkan dalam bentuk Garis-garis
Besar Program Pengajaran (GBPP).[16]

Dari definisi di atas, penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa kurikulum merupakan bagian dari
suatu sistem pengelolaan yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran yang
dijadikan pedoman atau panduan bagi guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, atau dengan
kata lain, kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan
pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar
norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga
kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.

Sedangkan pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana
kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai
komponen situasi belajar-mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum dan
spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan
kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum
ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar-mengajar.[17]

Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak pada guru.
Guru kurang ikut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan karena beberapa
hal. Pertama, keterbatasan waktu. Kedua, kekurangsesuaian pendapat, baik antara sesama guru
maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Ketiga, karena pengetahuan dan kemampuan guru
itu sendiri.

Hambatan lain datang dari masyarakat. Untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan dari
masyarakat baik dari segi pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem
pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Hambatan yang lain yang dihadapi oleh pengembang
kurikulum adalah masalah biaya. Untuk pengembang kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan
eksperimen baik metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak
sedikit.[18]

Peran Guru Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam


Kurikulum sebagai alat pedoman bagi guru dalam melaksanakan program pembelajaran dalam
rangka untuk mencapai tujuan pendidikan di mana guru itu mengajar. Guru sebagai pekerja profesional
dituntut untuk mampu merancang, melaksanakan dan mengevaluasi hasil usahanya sendiri dengan
sebaik-baiknya.[19] Guru adalah orang yang tahu persis situasi dan kondisi diterapkannya kurikulum
yang berlaku. Selain itu, guru bertanggung jawab atas terciptanya hasil belajar yang diinginkan.[20]
Dengan demikian, guru selalu dituntut untuk meningkatkan kemampuannya sesuai dengan
perkembangan kurikulum, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan
masyarakat. Oleh karena itu, penguasaan kurikulum bagi guru merupakan suatu hal yang mutlak dan
menjadi kewajibannya.[21]

Berikut ini adalah beberapa karakteristik dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam
menurut al-Syaibani sebagaimana yang dikutip oleh Siswanto adalah sebagai berikut:

1. Kurikulum pendidikan Islam harus menekankan pada mata pelajaran agama dan akhlak. Pendidikan
agama dan akhlak itu harus berpedoman pada al-Qur’a>n dan hadits sebagai sumber hukum utama
dalam Islam.

2. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan aspek pribadi siswa secara keseluruhan, yaitu
aspek jasmani, akal, dan rohani.

3. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat,
dunia dan akhirat, jasmani, akal, dan rohani manusia. Keseimbangan itu tentulah bersifat relatif karena
tidak bisa diukur secara objektif.

4. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan juga seni halus, seperti ukir, pahat, tulis-indah,
gambar, dan sejenisnya. Di samping itu, juga harus memperhatikan pendidikan jasmani, militer, teknik,
keterampilan, dan bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada anak didik sesuai dengan
bakat, minat, dan kebutuhan.

5. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat


di masyarakat karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman. Kurikulum dirancang sesuai
dengan kebudayaannya masing-masing.[22]

Di lihat dari segi pengelolaannya, menurut Nana Syaodih Sukmadinata, pengembangan kurikulum
dapat dibedakan, yaitu yang besifat sentralisasi, desentralisasi, dan sentral-desentral.

1. Peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi

Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi merupakan kurikulum yang disusun oleh tim
khusus di tingkat pusat yang terdiri atas para ahli. Dalam kurikulum ini, guru tidak mempunyai peranan
dalam perancangan, dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro, mereka lebih berperan dalam
kurikulum mikro. Penyusunan kurikulum mikro dijabarkan dari kurikulum makro. Guru dalam kurikulum
mikro ini, menyusun kurikulum untuk jangka waktu satu tahun, satu semester, satu catur wulan,
beberapa minggu ataupun beberapa hari (satuan pelajaran). Program tahunan, semesteran, catur
wulan, dan satuan pelajaran memiliki komponen-komponen yang sama yaitu tujuan, bahan pelajaran,
metode, media pembelajaran, dan evaluasi, hanya keluasan dan kedalamannya yang berbeda.[23]

Dengan demikian jelaslah bahwa yang menjadi tugas guru dalam pengembangan kurikulum yang
bersifat sentralisasi adalah untuk menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan
menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, dan tahap perkembangan
anak, memiliki metode dan media pembelajaran yang bervariasi, serta menyusun program dan alat
evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum yang tersusun secara sistematis dan rinci akan memudahkan guru
dalam mengimplementasikannya. Walaupun kurikulum sudah tersusun rapi, tetapi guru masih
mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan dan penyesuaian-penyesuaian.[24]

Pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan-
kelebihannya, yaitu mendukung terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, tercapainya standar
minimal penguasaan atau perkembangan anak, dan model pengembangan kurikulum seperti ini mudah
untuk dikelola, dimonitor dan dievaluasi, serta lebih hemat biaya, waktu, dan fasilitas. Sedangkan
kelemahannya, pertama, menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda keadaan dan tahap
perkembangan intelek, alam dan sosial budayanya sangat sulit sekali. Penyeragaman bisa menghambat
kreatifitas, dapat memperlambat kemajuan sekolah yang sudah mapan dan menyeret sekolah yang
masih terbelakang. Kedua, dalam penilaian hasil kurang objektif. Dalam kurikulum yang seragam,
penilaian sering dilakukan secara seragam pula. Yang dimaksud dengan seragam dalam penilaian yaitu
kesamaan di dalam segi yang dinilai, prosedur, dan alat penilaian serta standar penilaian. Ketiga,
memberikan gambaran hasil yang beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrim.
Bagi sekolah-sekolah yang kebetulan baik dapat menimbulkan sikap sombong, sedangkan bagi sekolah
yang hasilnya jelek akan mengakibatkan rasa rendah diri serta adanya cemohan dari berbagai pihak,
dalam situasi seperti ini bukan tidak mungkin akan terjadi pembocoran soal, ketidakjujuran dalam
penilaian, dan sebagainya.[25]

2. Peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi

Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah atau kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau
daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu.
Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah
serta kemampuan sekolah atau sekolah-sekolah tersebut.[26] Bentuk pengembangan kurikulum seperti
ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan-kelebihannya meliputi:

1) Kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat,

2) Kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah, baik kemampuan profesional, finansial
maupun manajerial,

3) Disusun oleh guru-guru sendiri yang memang mengerti kondisi dan perkembangan anak didik
sehingga mudah dalam implementasinya,
4) Memotivasi guru untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-
baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum.

Kelemahan-kelemahannya meliputi:

1) Tidak adanya keseragaman, untuk situasi yang membutuhkan keseragaman demi persatuan dan
kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat,

2) Tidak adanya standar penilaian yang sama, jadi sulit untuk dibandingkan dengan sekolah atau wilayah
lain,

3) Adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa ke sekolah atau ke wilayah lain,

4) Sulit untuk mengadakan pengelolaan dan penilaian secara nasional,

5) Tidak semua sekolah atau daerah memiliki kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum
sendiri.[27]

3. Peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentral-desentral

Pengembangan kurikulum ini bertujuan untuk mengatasi kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk
campuran antara keduanya bisa digunakan, yaitu bentuk sentral-desentral. Beberapa waktu yang
lampau di perguruan tinggi di Indonesia memakai model pengembangan kurikulum yang bersifat
desentralisasi. Tiap universitas, institut, atau akademi memiliki otonomi untuk menyusun dan
mengembangkan kurikulum sendiri, satu berbeda dengan yang lainnya. Dewasa ini kadar
desentralisasinya mulai berkurang, dengan adanya usaha-usaha ke arah penyeragaman. Untuk beberapa
perguruan tinggi sejenis dikembangkan kerangka kurikulum dan kelompok-kelompok mata kuliah
program inti yang seragam.

Dalam kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan juga yang sentral-desentral, peranan guru
dalam pengembangan kurikulum ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara
sentralisasi. Guru-guru juga turut berpartisipasi, bukan hanya menjabarkan kurikulum induk ke dalam
program tahunan, program semester, catur wulan maupun ke dalam satuan pelajaran, tetapi juga di
dalam menyusun kurikulum secara keseluruhan untuk sekolahnya. Guru-guru juga ikut andil dalam
merumuskan setiap komponen dan unsur dari kurikulum itu sendiri sehingga mereka mempunyai
perasaan turut memiliki kurikulun dan terdorong untuk mengembangkan kemampuan dan
pengetahuannya dalam pengembangan kurikulum. [28]

Karena itulah guru-guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikutsertakan, mereka akan memahami
dan betul-betul menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kelas akan
lebih tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi sebagai perencana,
pemikir, penyusun, pengembang, pelaksana, dan evaluator kurikulum.[29]

Sedangkan menurut Murray Printr sebagaimana yang dikutip oleh Wina Sanjaya, peran guru dalam
pengembangan kurikulum di dalam tatanan kelas adalah sebagai berikut:
1. Peran guru sebagai pelaksana (implementer) kurikulum

Sebagai implementer, guru berperan untuk menjalankan kurikulum yang sudah ada. Guru tidak
mempunyai ruang untuk menentukan isi kurikulum maupun target dari kurikulum itu sendiri. Dalam
melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum yang dirancang
secara terpusat oleh Garis-garis Besar Program Pengajaran. Dalam GBPP yang berbentuk matriks telah
ditentukan mulai dari tujuan yang harus dicapai, materi yang harus disampaikan, metode dan media
yang harus digunakan, dan sumber belajar serta bentuk evaluasi sampai kepada penentuan waktu kapan
materi pelajaran harus disampaikan semuanya telah ditentukan oleh pemerintah pusat sebagai
pemegang kebijakan.[30]

Dalam pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan berbagai ketentuan yang sudah ada. Oleh karena itu tingkat kreativitas dan inovasi guru
dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai
pembaharuan dalam pengembangan kurikulum. Mengajar bukan dianggapnya sebagai pekerjaan
profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.

2. Peran guru sebagai penyelaras (adapter) kurikulum.

Sebagai adapter, guru berperan sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik kebutuhan siswa dan
kebutuhan daerah. Dalam pengembangan ini guru diberikan kewenangan untuk menyesuaikan
kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Dalam kebijakan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) misalnya para perancang kurikulum hanya menetukan
standar isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, seperti apa implementasinya, kapan waktunya,
dan hal-hal teknis lainnya ditentukan seluruhnya oleh guru. oleh karena itu, peran guru sebagai adapter
lebih luas cakupannya dibandingkan dengan peran guru sebagai implementer.

3. Peran guru sebagai pengembang (developer) kurikulum

Sebagai developer, guru sebagai pengembang kurikulum mempunyai wewenang dalam mendesain
sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan diberikan
kepada siswa, tetapi juga dapat menentukan metode dan strategi apa yang akan dikembangkan serta
bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat
menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman
belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan peran ini dapat di lihat dalam pengembangan kurikulum
muatan lokal dalam sebagai bagian dari struktur KTSP. Pengembangan kurikulum muatan lokal
sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan karena kurikulum muatan lokal
antar sekolah berbeda-beda. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
sekolah.

4. Peran guru sebagai peneliti (researcher) kurikulum

Sebagai researcher, sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum. Peran ini
dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam
meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam peran sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab
untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji
efektivitas program, menguji strategi dan model pembelajaran, dan termasuk mengumpulkan data
tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang disarankan dalam
penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu metode penelitian yang berangkat
dari masalah yang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Dengan penelitian ini, guru dapat
memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah
wawasan keilmuwan guru, tetapi guru juga dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.[31]

Dari dua pendapat di atas, menurut penulis, secara substansi tidak ada perbedaan, seperti halnya peran
guru sebagai pelaksana kurikulum (implementer) seperti yang dikemukakan oleh Murray Printr itu sama
dengan peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi sebagaimana pendapat
Nana Syaodih Sukmadinata, di mana peran guru dalam pengembangan kurikulum hanya sebagai
pelakasana dari kurikulum yang telah disusun oleh tim khusus di tingkat pusat. Guru tidak mempunyai
ruang untuk menentukan isi kurikulum maupun target dari kurikulum itu sendiri. Begitu juga dengan
peran guru sebagai penyelaras (adapter) itu juga sama dengan peran guru dalam pengembangan
kurikulum yang bersifat desentralisasi, di mana dalam pengembangan ini guru diberikan wewenang
untuk menyusun dan menyesuaikan kurikulum yang sudah ada sesuai dengan karakteristik, kebutuhan,
dan perkembangan daerah serta kemampuan sekolah tersebut.

Sedangkan peran guru sebagai pengembang (developer) dan peran guru sebagai peneliti (researcher)
secara substansi itu juga sama dengan peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat
sentral-desentral, di mana peran guru dalam pengembangan kurikulum ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan yang dikelola secara sentralisasi maupun desentralisasi, guru bukan saja dapat
menentukan tujuan dan isi pelajaran dari siswa, tetapi juga dapat menentukan metode, dan strategi apa
yang akan dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya.

Dalam konteks pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam, merupakan tuntutan peran yang
harus diperankan oleh guru adalah untuk menumbuhkan nilai-nilai ilahiyah yang selaras dengan nilai-
nilai Islam terhadap mental peserta didik, nilai ilahiyah tersebut berkaitan dengan konsep tentang ke-
Tuhan-an dan segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Nilai ilahiyah berkaitan dengan nilai Imaniyah,
Ubudiyah dan Muamalah, dalam hal ini guru harus berusaha sekuat tenaga untuk mengembangkan diri
peserta didik terhadap nilai-nilai tersebut.

Peran guru dalam menumbuhkan nilai-nilai ilahiyah akan lebih meningkat apabila disertai dengan
berbagai perubahan, penghayatan, dan penerapan strategi dengan perkembangan jiwa peserta didik
yang disesuaikan dengan jiwa peserta didik. Dengan demikian, guru PAI haruslah melakukan berbagai
upaya dalam pengembangan kurikulum PAI dengan berbagai cara yang bersifat adoptif, adaptif, kreatif,
dan inovatif.

Penutup

Guru Profesional adalah guru yang memiliki keahlian, kemampuan, dan pengetahuan yang khusus
dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik
sehingga tujuan dari pendidikan dapat tercapai. Guru yang profesional wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.

Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan


rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian
berbagai komponen situasi belajar-mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum
dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur
pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis
pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar-mengajar

Peran guru dalam pengembangan kurikulum dapat dibedakan, yaitu yang besifat sentralisasi,
desentralisasi, dan sentral-desentral.

1. Tugas guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi adalah untuk menyusun dan
merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan, bakat, minat, dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media pembelajaran
yang bervariasi, serta menyusun program dan alat evaluasi yang tepat.

2. Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah atau kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah
atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu.
Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah
serta kemampuan sekolah atau sekolah-sekolah tersebut.

3. Dalam kurikulum yang bersifat sentral-desentral guru bukan hanya menjabarkan kurikulum induk ke
dalam program tahunan, program semester, catur wulan maupun ke dalam satuan pelajaran, tetapi juga
di dalam menyusun kurikulum secara keseluruhan untuk sekolahnya.

Peran guru dalam pengembangan kurikulum di dalam tatanan kelas adalah sebagai berikut:

1. Sebagai implementer, guru berperan untuk menjalankan kurikulum yang sudah ada. Guru tidak
mempunyai ruang untuk menentukan isi kurikulum maupun target dari kurikulum itu sendiri.

2. Sebagai adapter, guru berperan sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik kebutuhan siswa
dan kebutuhan daerah. Dalam pengembangan ini guru diberikan kewenangan untuk menyesuaikan
kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal.

3. Sebagai developer, guru sebagai pengembang kurikulum mempunyai wewenang dalam mendesain
sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan diberikan
kepada siswa, tetapi juga dapat menentukan metode dan strategi apa yang akan dikembangkan serta
bagaimana mengukur keberhasilannya.
4. Sebagai researcher, guru sebagai peneliti kurikulum. Dalam peran sebagai peneliti, guru memiliki
tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum.

Daftar Pustaka

Arif, Syaiful. 2009. Pengembangan Kurikulum. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press.

Arifin, Zainal. 2014. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Hendra Akhdiyat & Beni Ahmad Saebani. 2009. Ilmu Pendidikan Agama Islam. Bandung: CV. Pustaka
Setia.

Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Klien, M. Frances. 2010. Politik Pengambilan Keputusan Tentang Kurikulum, Terj. Fauzan Almanshur &
M. Djunaidi Ghony. Malang: UIN-Maliki Press.

Kosim, Mohammad. 2012. Pendidikan Guru Agama Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011.
Yogyakarta: Pustaka Nusantara.

Mudjiono & Dimyati. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Mudlofir, Ali. 2011. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Dan Bahan Ajar
Dalam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Mulyasa, E. 2015. Guru dalam Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nata, Abuddin. 2012. Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.

Sanjaya, Wina. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Siswanto. 2012. Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta: SUKA-Press.

Sudjana, Nana. 2013. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah. Bandung: Sinar Baru
Algensindo Offset.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2013. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sulhan, Najib. 2011. Karakter Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat. Surabaya: PT JePe Press Media
Utama.

[1]Penulis adalah mahasiswa Program Magister PAI Pascasarjana STAIN Pamekasan.

[2]Siswanto, Pendidikan Islam dalam Dialektika Perubahan (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), 55.

[3]Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin, yaitu curriculum, yang artinya a running course atau race
course, especially a chariot race course. Dalam bahasa Prancis, courier, artinya berlari (to run).
Kemudian istilah tersebut digunakan untuk sejumlah courses atau mata kuliah yang harus ditempuh
untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Lihat Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2011), 167.

[4]Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),
1.

[5]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 132-133.

[6]Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 52.

[7]Sholeh Hidayat, Pengembangan Kurikulum Baru (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 26.

[8]Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 28.

[9]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013), 150.

[10]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), 702.

[11]Mohammad Kosim, Pendidikan Guru Agama Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011
(Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012), 11.

[12]Najib Sulhan, Karakter Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat (Surabaya: PT JePe Press Media
Utama, 2011), 1-2.

[13]E. Mulyasa, Guru Dalam Implementasi Kurikulum 2013 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 67.

[14]Beni Ahmad Saebani & Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Agama Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2009), 249.

[15]Siswanto, Pendidikan, 55-56.


[16]Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah (Bandung: Sinar Baru
Algensindo Offset, 2013), 16.

[17]Hamalik, Dasar-Dasar, 183-184.

[18]Sukmadinata, Pengembangan, 160-161.

[19]Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Dan Bahan Ajar
Dalam Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 5.

[20]Dimyati & Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2013), 287.

[21]Hidayat, Pengembangan, 26.

[22]Siswanto, Pendidikan, 60.

[23]Sukmadinata, Pengembangan, 200.

[24]Saiful Arif, Pengembangan Kurikulum (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), 143-144.

[25]Sukmadinata, Pengembangan, 198-199. Lihat Juga M. Frances Klien, Politik Pengambilan Keputusan
tentang Kurikulum (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 305-306.

[26]Ibid, 201.

[27]Arif, Pengembangan, 146.

[28]Ibid, 147.

[29]Sukmadinata, Pengembangan, 202.

[30]Sanjaya, Kurikulum, 28.

[31]Ibid, 28-30.
PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengembangan Kurikulum PAI

Secara substantif, kurikulum adalah semua kegiatan dan pengalaman yang dikembangkan dan disusun
untuk mencapai tujuan pendidikan[1]. Isi kurikulum bukan hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan
atau kumpulan informasi, tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih dan dibutuhkan bagi
pengetahuan, baik bagi pengetahuan itu sendiri, siswa maupun lingkungannya[2]. Terdapat dua hal
yang harus diperhatikan ketika mengkaji isi kurikulum. Pertama adalah isi kurikulum yang didefinisikan
sebagai bahan atau materi pembelajaran. Bahan itu tidak hanya berisikan informasi faktual, tetapi juga
mencakup pengetahuan, keterampilan, konsep-konsep, sikap dan nilai. Kedua, dalam proses
pembelajaran, dua elemen kurikulum, yaitu isi dan metode, berinteraksi secara konstan. Isi
memberikan signifikansi jika ditransmisikan kepada siswa dalam beberapa hal dan cara. Itulah yang
disebut metode atau pengalaman belajar mengajar.

Hubungan antara isi dan metode sangat dekat, tetapi keduanya dipisahkan menjadi elemen-elemen
kurikulum, masing-masing dapat dinilai dengan kriteria berbeda. Baik isi maupun metode harus
signifikan sehingga hasil dari belajar efektif bisa diraih dengan baik[3] Persoalan isi atau bahan meliputi
berbagai hal, seperti (a) pentingnya mata pelajaran, secara tradisional, isi telah diseleksi dalam bentuk
mata pelajaran (b) pentingnya proses, saat diseleksi, isi mampu mempertimbangkan pentingnya mata
pelajaran dan bisa mencapai keseimbangan diantara keduanya, bahkan berbagai mata pelajaran
membentuk tidak hanya isi yang unik, tetapi juga cara-cara berpikir (c) bahan mengajar, pengembang
kurikulum memiliki sumber-sumber untuk bahan yang akan diseleksi dan telah mengalami beberapa
peningkatan yang cepat (d) kebutuhan penyeleksian secara rasional, mengaplikasikan kriteria yang
rasional dalam menentukan isi pengajaran kedalam suatu kurikulum merupakan sebuah kebutuhan (e)
keberadaan pengetahuan siswa,saat menyeleksi isi pengajaran, isi bagi siswa telah diketahui sebagai
pertumbuhan yang utama.

Dalam hal ini, setiap kriteria diaplikasikan kedalam semua isi yang diajarkan. Tidak terdapat kriteria
yang dapat berdiri sendiri dan kriteria-kriteria itu dimaksudkan sebagai petunjuk untuk menyeleksi isi
atau bahan kurikulum. Kriteria tersebut adalah (1) validitas, yaitu isi yang autentik, mutakhir dan
memuaskan dimasukkan, sedangkan yang tidak sesuai kriteria, dihilangkan (2) signifikansi, yaitu
fundamen mata pelajaran dan mencakup berbagai ragam tujuan (3) minat, berarti prinsip belajar dan
motivasi menganjurkan bahwa isi harus disesuaikan dengan minat siswa sehingga proses belajarpun
menjadi lebih produktif, jika tanpa minat, maka disana tidak akan terjadi proses belajar, maka guru
harus mampu memilih isi yang bisa mengakomodasi minat siswa (4) kemampuan belajar, maka isi yang
dipelajari harus dapat diadaptasi untuk dicocokkan dengan kemampuan siswa (5) konsistensi dengan
realitas sosial dan bisa memberikan orientasi yang paling berguna dunia di sekeliling siswa, relevan
dengan kenyataan sosial agar siswa lebih mampu memahami fenomena dunia atau perubahan yang
terjadi (6) manfaat, berarti isi yang paling berguna bagi siswa dalam menyelesaikan kondisi mereka
sekarang dan dimasa yang akan datang, harus diseleksi melalui mata pejaran disekolah, bermanfaat bagi
siswa, masyarakat ataupun dunia kerja[4] (7) keseimbangan antara keluasan dan kedalaman (8) sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai (9) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara umum, isi kurikulum itu dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu (a) logika, yaitu
pengetahuan tentang benar-salah dan berdasarkan prosedur keilmuan (b) etika, yaitu pengetahuan
tentang baik-buruk, nilai dan moral (c) estetika, yaitu pengetahuan tentang indah-jelek, yang ada nilai
seni.[5] Berdasarkan pengelompokan isi kurikulum tersebut, maka pengembangan isi kurikulum harus
disusun berdasarkan kandungan bahan kajian atau topik yang dapat dipelajari siswa dalam proses
pembelajaran dan berorientasi kepada standar komptensi lulusan, standar kompetensi mata pelajaran
dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Disamping prinsip-prinsip itu, pengembang kurikulum
hendaknya memperhatikan aspek-aspek yang ada dalam isi kurikulum, yaitu (1) teori, yaitu seperangkat
konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan (2) konsep, yaitu suatu abstrak
yang dibentuk oleh organisasi definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala yang perlu diamati (3)
generalisasi, yaitu kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari hasil analisis,
pendapat atau pembuktian dalam penelitian (4) prinsip, yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam
materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep (5) prosedur, yaitu serangkaian
langkah yang berurutan yang ada dalam materi pelajaran dan harus dilakukan oleh siswa (6) fakta, yaitu
sejumlah informasi khusus dalam materi yang dipandang mempunyai kedudukan penting (7) istilah,
yaitu kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus, yang diperkenalkan dalam materi (8) contoh,
yaitu ilustrasi, sesuatu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas, sehingga
uraian atau pendapat dapat lebih mudah dimengerti oleh pihak lain (9) definisi, yaitu penjelasan
tentang makna atau pengertian tentang suatu hal (10) preposisi, yaitu suatu pernyataan atau pendapat
yang tidak perlu diberi argumentasi. Dalam pengembangan isi kurikulum, terdapat beberapa faktor
yang perlu diperhatikan, yaitu ruang lingkup (scope), urutan (sequence), penempatan bahan (grade
placement) dan bentuk organisasi isi.

Pengembangan kurikulum ialah mengarahkan kurikulum ketujuan pendidikan yang diharapkan karena
adanya berbagai pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dalam, dengan harapan
agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik. Oleh karena itu pengembangan
kurikulum hendaknya bersifat antisipatif, adaptif dan aplikatif.

Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat diartikan sebagai : (1) kegiatan
menghasilkan kurikulum PAI atau (2) proses yang mengkaitkan satu komponen dengan yang lainnya
untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik;dan/ atau(3) kegiatan penyusunan (desain),
pelaksanaaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI. Dalam realitas sejarahnya, pengembangan
kurikulum PAI tersebut ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun dalam
beberapa hal-hal tersebut masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Hal ini dapat dicermati dari
fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari
ajaran-ajaran agtama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah,
kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran
PAI: (2) perubahan dari cara berpikir tekstual, normative, dan absolutis kepada cara berpikir historis,
empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam:
(3) perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiuran agama Islam daripada pendahulunya
kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut: dan(4) perubahan dari pola
pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan
menyusun isi kurikulum PAI kearah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, tujuan PAI dan cara-cara
mencapainya.[6]

B. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum PAI

Dengan mengacu kepada uraian Murray Print, sebagaimana dikutip Wina Sanjaya, dalam konteks
hubungan guru dan kurikulum, pengembangan kurikulum menjadi tugas penting yang harus
dilaksanakan oleh semua pengembang kurikulum, termasuk guru, di setiap tingkat pendidikan.
Setidaknya terdapat empat peran yang harus dilaksanakan oleh guru PAI dalam mengembangkan
kurikulum, yaitu sebagai implementer (pelaksana), sebagai developer (pengembang), sebagai adapter
(penyelaras) dan sebagai researcher (peneliti)[7].

Sebagai implementer kurikulum, guru diharapkan berperan untuk melaksanakan kurikulum yang telah
disusun, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP yang telah dirancang secara terpusat
dalam bentuk Garis‐Garis Besar Program Pengajaran atau GBPP. Kurikulum ini harus diaplikasikan oleh
guru dalam setiap proses pembelajaran di sekolah, khususnya di kelas. Dengan demikian, ruang peran
guru sebagai implementer kurikulum tidak sampai kepada penentuan isi dan target kurikulum, tetapi
hanya terbatas pada penentuan kegiatan‐kegiatan pembelajaran, mulai dari perencanaannya sampai
kepada pelaksanaannya.

Dalam peran ini, kedudukan guru adalah sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggung jawab dalam
mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada. Peran guru dalam posisi ini adalah melaksanakan
proses pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran, menerapkan model pembelajaran yang
sesuai dengan materi pelajaran dan lingkungan sekolah, memanfaatkan media pembelajaran yang
sesuai dengan materi dan kondisi sekolah, menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan,
mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi, metode dan teknik yang tepat), mengelola kelas
dengan baik dan sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia, merefleksikan pelaksanaan proses
pembelajaran yang dilakukan, berkonsultasi dengan kepala madrasah ataupengawas untuk mengatasi
kendala yang dihadapi dan membantu kesulitan siswa dalam proses belajar.

Proses implementasi kurikulum untuk semua mata pelajaran, khususnya PAI, selalu menggambarkan
keterkaitan proses dengan tujuan dan isi, kejelasan teori belajar, keterkaitan dengan sosial, budaya,
teknologi, ketersediaan fasilitas, alokasi waktu, fleksibilitas, peran guru dan siswa, peran evalusi dan
perlunya feedback.
Sebagai developer kurikulum, guru diberi kewenangan untuk mendesain kurikulum madrasah. Peran
pengembangan kurikulum ini terkait erat dengan karakteristik, visi dan misi sekolah atau madrasah serta
pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan peran ini dapat dilihat dalam pembuatan
dokumen kurikulum, pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP dan
muatan lokal atau mulok sebagai bagian dari struktur KTSP. Penyusunan dan pengembangan kurikulum
mulok sepenuhnya diserahkan kepada tiap‐tiap satuan pendidikan. Kurikulum ini dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan tiap‐tiap sekolah sesuai dengan character distingtif-nya. Mengingat setiap sekolah
memiliki kurikulum mulok tersendiri, maka ada kemungkinan terjadi perbedaan kurikulum mulok antar
sekolah atau madrasah.

Dalam kaitan posisi guru sebagai developer kurikulum, maka guru dituntut aktif, kreatif dan komitmen
tinggi dalam penyusunan dokumen kurikulum PAI, seperti mengikuti in house training tentang konsep
dasar dan pengembangan kurikulum, berperan aktif dalam tim perekayasa dan pengembang kurikulum
sesuai dengan kelompok mata pelajaran, berperan aktif dalam penyusunan standar isi dan standar
kompetensi lulusan atau SKL, berperan aktif dalam menyusun Standar Kompetensi atau SK dan
kompetensi dasar atau KD serta pemetaannya, mengembangkan silabus pembelajarandan menyusun
semua perangkat operasional yang mendukung RPP, seperti Lembar Kerja Siswa atau dan bahan ajar,
seperti modul pembelajaran.

Sebagai adapter kurikulum, guru memiliki kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum dengan
karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal, terutama kebutuhan siswa dan daerah. Dalam fase ini, tugas
pertama seorang guru adalah memahami dengan baik karakteristik sekolahnya, lalu mengakomodir
kebutuhan‐kebutuhan masyarakat dan daerahnya, baru membuat desain kurikulum sekolah sesuai
kebutuhan sekolah dan masyarakat lokal.Untuk memahami karakteristik dan kebutuhan masyarakat di
sekitar madrasah atau sekolah, dimulai dari mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan masyarakat
terhadap madrasah atau sekolah, kegiatan ini dilakukan untuk menelaah dan mendata berbagai
keadaan dan kebutuhan sekitar madrasah yang bersangkutan, data tersebut dapat diperoleh dari
berbagai pihak yang terkait di daerah sekitar madrasah yang bersangkutan, seperti masyarakat sekitar
madrasah, pemerintah daerah, instansi vertikal terkait, perguruan tinggi, dunia usaha dan potensi
daerah yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya dan kekayaan alam. Keadaan
daerah seperti telah disebutkan dapat diketahui antara lain dari (a) rencana pembangunan daerah
bersangkutan termasuk prioritas pembangunan daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang (b)
pengembangan ketenagakerjaan, termasuk jenis kemampuan dan keterampilan yang diperlukan (c)
aspirasi masyarakat mengenai pelestarian alam dan pengembangan daerahnya (d) menentukan fungsi
dan susunan atau komponen muatan yang sesaui dengan kebutuhan madrasah dan masyarakat
sekitar[8].

Berdasarkan kajian dari beberapa sumber seperti di atas, dapat diperoleh berbagai jenis kebutuhan.
Berbagai jenis kebutuhan ini dapat mencerminkan fungsi muatan kurikulum lembaga, antara lain untuk
(a) melestarikan dan mengembangkan kajian kitab kuning (b) meningkatan ’amaliyah salafiyah (c)
meningkatkan kemampuan berwirausaha (d) berdasarkan fungsi muatan dan kebutuhan lembaga
tersebut dapat ditentukan kajian kebutuhan lokal. Kegiatan ini pada dasarnya untuk mendata dan
mengkaji berbagai kemungkinan muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan kajian sesuai dengan
dengan keadaan dan kebutuhan madrasah. Penentuan bahan kajian kebutuhan lokal didasarkan pada
kriteria (a) kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa (b) kemampuan guru dan ketersediaan
tenaga pendidik yang diperlukan (c) ketersediaan sarana dan prasarana (d) tidak menimbulkan
kerawanan sosial dan keamanan (e) kelayakan berkaitan dengan pelaksanaan di madrasah (f)
menentukan mata pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan madrasah dan masyarakat (g)
mengembangkan SK, KD dan silabus.

Sebagai researcher kurikulum, guru memiliki peran sebagai peneliti kurikulum atau curriculum
researcher. Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung
jawab dalam meningkatkan kinerja sebagai guru. Dalam melaksanakan peran sebagai peneliti, guru
memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan
kurikulum, menguji efektivitas program, menguji strategi atau model pembelajaran dan lain
sebagainya, termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa dalam mencapai target
kurikulum. Metode yang digunakan oleh guru dalam meneliti kurikulum adalah penelitiantindakankelas
(PTK) dan lesson study.PTK adalah metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru
dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus
melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Dengan demikian, PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, akan tetapi secara terus menerus guru dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.
Sedangkan lesson study adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok guru yang
bekerja sama dengan orang lain, baik dosen, guru mata pelajaran yang samaatau guru satu tingkat kelas
yang sama atau guru lainya, dalammerancang kegiatan untuk meningkatkan mutu belajar siswa dari
pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru dari perencanaan pembelajaran yang dirancang
bersamaatausendiri, kemudian diobservasi oleh teman guru yang lain dan setelah itu mereka melakukan
refleksi bersama atas hasil pengamatan yang baru saja dilakukan.

Dunia pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan kurikulum. Hal ini bukan berarti
ganti menteri pendidikan ganti kurikulum, seperti pendapat sebagian guru, melainkan kurikulum harus
selalu berubah sesuai dengan tuntutan jaman.Sekolah dan komite sekolah mengembangkan KTSP dan
silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi, dibawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan setempat. Otonomi sekolah memotivasi guru untuk mengubah paradigma
sebagai curriculum user menjadi curriculum developer, sehingga guru mampu keluar dari kultur kerja
konvensional menjadi kultur kerja kontemporer yang dinamis dan guru mampu memainkan peran
sebagai agent of change dan guru mengajar siswa sesuai dengan jamannya.

Pada era globalisasi seperti ini, madrasah dengan melibatkan guru, harus melakukan reformasi dan
inovasi dalam proses belajar mengajar dan kurikulum secara terus menerus. Untuk dapat melakukan
reformasi dan inovasi pendidikan, diperlukan dukungan empirik yang dihasilkan melalui kegiatan
penelitian. Jika tidak, guru akan terisolasi dari pengetahuan dan informasi mutakhir. Tanpa ada
dukungan penelitian, proses pendidikan akan stagnan dan reformasi serta inovasi mustahil dapat
dilakukan. Hasil penelitian dapat membantu guru untuk mengambil keputusan yang tepat dan akurat
untuk kepentingan proses belajar mengajar dan pembenahan kurikulum. Jika keputusan tersebut
dibantu dengan hasil penelitian, proses belajar mengajar dan kurikulum dapat dicapai dengan optimal
dan efektif.

Pembelajaran yang efektif merupakan hal yang kompleks dan rumit untuk dapat dikonsepsikan dan
dibentuk paradigmanya secara tunggal dan universal[9]. Siswa adalah insan manusia yang unik. Mereka
tidak dapat diperlakukan seperti benda mati yang dapat dikendalikan semaunya oleh semua pihak.
Mereka memiliki minat, bakat, keinginan, motivasi dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Perbedaan ini membuat kesulitan dalam merumuskan proses belajar dan mengajar serta penyusunan
kurikulum yang ideal. Tanpa dukungan hasil penelitian, guru dapat terjebak pada paktik pembelajaran
dan perumusan kurikulum yang menyesatkan dan menjerumuskan siswa dan mematikan kreativitas
mereka. Tanpa dukungan penelitian, guru bisa jadi menggunakan cara pembelajaran dan mengajarkan
hal yang sama dari tahun ke tahun. Sementara itu, jaman siswa dibesarkan telah berubah amat cepat,
sehingga pada gilirannya akan berpengaruh pada sikap dan reaksi terhadap berbagai tuntutan jaman.
Disini peran vital guru PAI untuk selalu terus haus sebagai peneliti kurikulum yang mampu memahami
kondisi jaman.

Guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaraan kurikulum induk ke dalam program
tahunan, semester atau rencana pembelajaran, tetapi juga di dalam menyusun kurikulum yang
menyeluruh untuk sekolahnya. Guru-guru turut memberikan andil dalam merumuskan setiap
komponen dan unsur dari kurikulum. Dalam kegiatan yang seperti itu, mereka memiliki perasaan turut
memiliki kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dirinya dalam
pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikutsertakan,
mereka memahami dan benar-benar menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum
di dalam kelas akan lebih tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagi pengguna, tetapi
perencana, pemikir, penyusun, pengembang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.

Dalam konteks pengembangan kurikulum PAI, merupakan tuntutan peran yang harus dilaksanakan guru
adalah untuk menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyyah yang selaras dengan relegiusitas Islam terhadap mental
siswa. Nilai Ilahiyyah tersebut berkaitan dengan konsep tentang ke-Tuhanan dan segala sesuatu yang
bersumber dari Tuhan. Nilai Ilahiyyah berkaitan dengan nilai keimanan, ‘ubudiyyah dan mu’amalah,
dalam hal ini guru harus berusaha sekuat mungkin untuk mengembangkan diri siswa terhadap nilai-
nilai tersebut. Peran guru dalam penumbuhan nilai-nilai Ilahiyyah akan lebih meningkat jika disertai
dengan berbagai perubahan, penghayatan dan penerapan strategi dengan perkembangan jiwa guru
yang disesuaikan dengan jiwa siswa. Sehingga dipahami bersama bahwa guru PAI harus melakukan
berbagai upaya dalam pengembangan kurikulum PAI dengan berbagai cara yang bersifat adaptif,
adaptif, kreatif dan inovatif.[10]

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Secara umum, isi kurikulum dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu logika, etika dan
estetika. Isi kurikulum atau pengajaran tidak hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan atau
kumpulan informasi, tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih yang dibutuhkan bagi
pengetahuan baik bagi pengetahuanitu sendiri, maupun siswa dan lingkungannya. Sehingga dalam
pengembangan kurikulum harus mengandung bahan kajian atau topic yang dapat dipelajari siswa
dalam proses pembelajaran dan berorientasi kepada SKL, SK dan KD mata pelajaran yang telah
ditetapkan.

2. Pengembangan kurikulum menjadi tugas penting yang harus dilaksanakan oleh semua pengembang
kurikulum, termasuk guru, di setiap tingkat pendidikan. Terdapat empat peran yang harus dilaksanakan
guru PAI dalam mengembangkan kurikulum, yaitu sebagai implementer (pelaksana), sebagai
developer (pengembang), sebagai adapter (penyelaras) dan sebagai researcher (peneliti). Sehingga
dipahami bersama bahwa guru PAI harus melakukan berbagai upaya dalam pengembangan kurikulum
PAI dengan berbagai cara yang bersifat adaptif, adaptif, kreatif dan inovatif.

B. Saran

Kami menyadari bahwa manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Penyusun juga sadar bahwa
dalam makalah ini masih belum sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun tetap penyusun
harapkan. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam mempelajari ajaran
islam utamanya pendidikan islam dalam berbagai aliran pemikiran sebagai bekal dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. Komponen dan Organisasi Kurikulum. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011.

Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik.Yogyakarta : Ar Ruz Media, 2011.

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Prasada,
2005.

Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan KTSP. Jakarta : Kencana Prenada, 2009.

Sukmadinata, Nana Syaudih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1997.

Suyanto dan Djihad Hisyam. Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Jakarta Adicita Karya Nusa,
2000.
Tim MEDP. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan .Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2008.

[1] Zainal Arifin, Komponen dan Organisasi Kurikulum (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), h. 88.

[2] Nana Syaudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung : Remaja
Rosdakarya,

1997),h. 127.

[3] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Yogyakarta : Ar Ruz Media, 2011), h. 211-
212.

[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Prasada,
2005), h.

11-12

[5] ZainalArifin, Komponen dan Organisasi Kurikulum, h. 88.

[6] Nana Syaudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, h. 198

[7] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan KTSP (Jakarta: Kencana Prenada, 2009), h, 27.

[8] Tim MEDP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam,
2008), h, 20.

[9] Suyanto dan Djihad Hisyam, Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III (Jakarta: Adicita Karya
Nusa,

2000), h. 17.

[10] Nana Syaudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, h. 201

Anda mungkin juga menyukai