Anda di halaman 1dari 29

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

UJI FARMAKOLOGI PADA ANALGESIK

Nama Anggota :

Soraya Yedija Hosyana (612210043)


Willy Ayuningtias (612210052)
Dewi Mashitoh (612210047)
Mimi Kurnia Tutonugi (612210061)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS ILMU DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MA CHUNG
2023

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................ii

DAFTAR TABEL............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang............................................................................................1


1.2. Tujuan Praktikum........................................................................................2
1.3. Manfaat Praktikum.................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Farmakologi Obat......................................................................................3


2.2. Hewan Uji............................................................................................9

BAB III METODE KERJA

3.1. Alat dan Bahan.............................................................................................13


3.2. Metode Kerja................................................................................................13
3.3. Perhitungan Dosis...................................................................................15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil...........................................................................................................19
4.2. Pembahasan........................................................................................21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan.................................................................................................22
5.2. Saran....................................................................................................22

Daftar Pustaka.................................................................................................... 23

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1. Mekanisme kerja Na-Diklofenak......................................................3


Gambar 2.1.2. Mekanisme kerja tramadol..............................................................4
Gambar 2.1.3. Mekanisme kerja paracetamol.........................................................5
Gambar 2.2. Mencit................................................................................................7

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.3. Jumlah geliat Mencit Selama 20 Menit...................................................13

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Patofisiologi nyeri, yaitu rangsangan nyeri diterima oleh nociceptor
(reseptor nyeri) pada kulit, bisa intensitas tinggi maupun rendah seperti
perenggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrosis
(cedera) akan merilis K+ dan protein intraseluler. Meningkatnya kadar K+
ekstraseluler akan mengakibatkan saraf dari nociceptor terangsang, sedangkan
protein pada beberapa keadaan akan memfiltrasi mikroorganisme sehingga
menyebabkan peradangan atau inflamasi. Hal Itu membuat mediator nyeri
melepaskan leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan memacu
nociceptor, akibatnya suatu rangsangan yang berbahaya dan tidak berbahaya
dapat menyebabkan nyeri (Khoeriya, 2019).
Selain itu, suatu cedera juga akan mengaktifkan faktor koagulasi
akibatnya bradikinin dan serotonin akan mendorong dan merangsang nociceptor.
Jika sudah terjadi koagulasi, maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan
akumulasi K+ yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin,
dan prostaglandin E2 memiliki efek pelebaran pada pembuluh darah dan juga
akan meningkatkan elastisitasnya. Hal ini menyebabkan pembengkakan lokal,
tekanan jaringan bertambah dan juga terjadi suatu rangsangan nociceptor. Pada
saat reseptor nyeri terangsang, maka akan melepaskan suatu ikatan peptida P
(SP) dan gen kalsitonin terkait dengan peptida (CGRP), yang akan memacu
proses inflamasi dan juga mengakibatkan pelebaran pembuluh darah dan
meningkatkan elastisitas pembuluh darah. Perangsangan nociceptor (reseptor
nyeri) inilah yang akan menyebabkan penderita merasakan nyeri (Khoeriya,
2019).
Obat analgesik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu golongan opioid dan
golongan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan
golongan NSAID bekerja di reseptor saraf perifer. Analgetik opioid merupakan
kelompok obat yang menekan fungsi saraf pusat secara selektif, memili daya
penghalang nyeri yang sangat kuat. Terdapat empat jenis reseptor opioid yang
terbukti terdapat pada SSP, yaitu mu (μ, subtipe μ1 dan μ2), kappa (κ), delta (δ),
sigma (σ). Mekanisme umum analgesik opioid adalah terikatnya opioid pada

1
reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel. Hal
tersebut mengakibatkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K +
ke dalam sel serta pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida
penghambat nyeri (Bangun, 2014).
Analgesik NSAID bekerja pada perifer dan tidak mempengaruhi sistem
susunan saraf pusat. Target aksi golongan ini adalah pada enzim
siklooksigenase (COX). Mekanisme kerja secara umumnya adalah bekerja
dengan mempengaruhi proses sintesis prostaglandin dengan menghambat
enzim COX atau pembentukan asam arakidonat sehingga sintesis prostaglandin
terpengaruhi sebagai mediator rasa nyeri dan inflamasi (Bangun, 2014).

2.1. Tujuan Praktikum


1. Mahasiswa mengetahui aktivitas obat analgetik.
2. Mahasiswa mengetahui perhitungan dosis obat untuk mencit.
3. Mahasiswa mengetahui konsep dalam metode rangsangan kimia.

3.1. Manfaat Praktikum


1. Meningkatkan pemahaman tentang aktivitas obat analgetik.
2. Meningkatkan pemahaman tentang perhitungan dosis obat untuk mencit.
3. Meningkatkan pemahaman tentang konsep dalam metode rangsangan kimia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. FARMAKOLOGI OBAT


2.1.1. Na Diklofenak

Gambar 2.1.1 : mekanisme kerja Na-Diklofenak

Diklofenak, atau diclofenac, adalah obat antiinflamasi nonsteroid,


dengan aktivitas antiinflamasi, analgesik, antipiretik, yang umumnya
digunakan untuk mengatasi gejala osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan
ankylosing spondylitis. Diklofenak juga dapat digunakan sebagai
analgesik untuk dismenorrhea atau nyeri setelah operasi (Brunton, 2021).
Natrium diklofenak mengikatkan diri dan berkelat pada kedua
isoform dari enzim siklooksigenase 1 (COX-1) dan 2 (COX-2). Hal ini
akan menghalangi konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin.
Inhibisi natrium diklofenak terhadap COX-2 akan meredakan rasa nyeri
dan inflamasi, dan inhibisi obat terhadap COX-1, dapat menimbulkan efek
buruk terhadap gastrointestinal. Natrium diklofenak dapat lebih aktif
terhadap COX-2, daripada beberapa obat lain golongan antiinflamasi
nonsteroid yang mengandung asam karboksilat (drugs, 2018).
Absorpsi :
Penyerapan natrium diklofenak adalah 100% setelah konsumsi
per oral, dan konsentrasi puncak obat tercapai dalam waktu 2 jam.
Makanan tidak memengaruhi proses absorpsi obat. Meski demikian,
makanan dapat memperlambat absorpsi obat, yaitu sekitar 1‒4,5 jam,
dan juga terjadi penurunan kadar puncak obat dalam plasma darah, yaitu

3
sekitar 30%. Obat sediaan lepas lambat dan salut selaput memerlukan
waktu sekitar 2‒5 jam untuk mencapai konsentrasi puncak (Drugs, 2018).
Distribusi
Sekitar lebih dari 99% obat natrium diklofenak ini terikat pada
protein serum, terutama albumin. Volume distribusi obat adalah 1,4 L/kg.
Distribusi obat yang masuk ke dalam cairan sinovial adalah dengan cara
berdifusi, dan dapat dideteksi dua jam setelah obat masuk ke dalam
tubuh. Namun, konsentrasi obat tersebut lebih rendah daripada
konsentrasinya dalam plasma darah (Drugs, 2018).
Metabolisme
Natrium diklofenak dimetabolisme di hepar menjadi beberapa
metabolit, dengan metabolit utamanya adalah 4-hydroxydiclofenac. Obat
dan metabolitnya akan menjalani proses glukuronidasi dan sulfasi,
kemudian disalurkan ke cairan empedu (Drugs, 2018).
Eliminasi
Waktu paruh terminal obat dalam bentuk tidak berubah adalah
sekitar 2 jam. Sekitar 65% dari dosis obat yang masuk ke dalam tubuh
diekskresikan ke urine dan sekitar 35% ke feses melalui sistem bilier
(Drugs, 2018).

4
2.1.2. Tramadol HCL

Gambar 2.1.2 : mekanisme kerja tramadol

Tramadol adalah obat analgesik golongan opioid yang digunakan


untuk meredakan nyeri derajat sedang sampai berat. Tramadol adalah
analog sintetik dari kodein yang bekerja pada reseptor opioid di otak.
Tramadol tersedia dalam bentuk extended release dan immediate
release. Sediaan extended release digunakan untuk mengatasi nyeri
dalam waktu yang lebih panjang, sedangkan sediaan immediate release
digunakan untuk mengatasi nyeri dalam kondisi akut (Dhesi, 2020).
Tramadol memiliki efek dual analgesik dimana bertindak secara
sinergis sebagai agonis opioid dan inhibitor reuptake serotonin dan
norepinerfin secara monoaminergik. Tramadol memiliki 2 pusat kiral dan
digunakan sebagai campuran rasemat Farmaka 246 Volume 17 Nomor 2
1 : 1 diastereomer enansiomer, R, R – enansiomer ([+] – Tramadol) yang
merupakan inhibitor reutake serotonin yang palin poten dan S, S –
enansiomer ([-] – Tramadol) yang paling kuat adalah norepinerfin dan
inhibitor reuptake serotonin, sehingga ketika mereka bekerja sama akan
meningkatkan aktivitas noradrenegik dan serotonergik untuk
menghasilakn efek analgesic system saraf pusat. (Subedi, et al., 2018).

5
Absorpsi
Tramadol mudah diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal (GI).
Setelah pemberian dosis tunggal secara oral, waktu konsentrasi plasma
maksimum (Tmax) terjadi sekitar 10-12 jam untuk bentuk extended
release dan 1,6-1,9 jam pada bentuk immediate release. Pemberian
tramadol secara oral dapat dilakukan dengan atau tanpa makanan
karena laju penyerapannya sama. [1,4] Bioavailabilitas tramadol sekitar
70-75% pada pemberian oral dan 100% pada pemberian injeksi
intramuskular (IM) (Mims, 2020).
Distribusi
Tramadol terdistribusi secara luas, melintasi plasenta, dan dapat
diekskresikan dalam ASI.[4] Volume distribusi tramadol, masing-masing
sebesar 2,6 dan 2,9 liter/kg pada subjek laki-laki dan perempuan dalam
dosis tramadol intravena 100 mg. Sekitar 20% berikatan dengan protein
plasma manusia (Mims, 2020).
Metabolisme
Tramadol dimetabolisme di hepar. Metabolisme tramadol
dimediasi oleh isoenzim CYP3A4, CYP2B6, CYP2D6, serta melalui
glukuronidasi atau sulfasi untuk membentuk metabolit aktif, O-
desmethyltramadol (M1) (Mims, 2020).
Eliminasi
Tramadol dieliminasi terutama melalui hepar dan ginjal. Sebesar
60% diekskresikan dalam urin dalam bentuk metabolit, 30% dalam
bentuk inaktif, dan sisanya tidak teridentifikasi. Waktu paruh eliminasi
rata-rata 6 jam (Mims, 2020).

6
2.1.3. Paracetamol

Gambar 2.1.3 : mekanisme kerja paracetamol

Parasetamol bekerja secara non selektif dengan menghambat


enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2). Pada cox-1 memiliki efek
cytoprotektif yaitu melindungi mukosa lambung, apabila dihambat akan
terjadi efek samping pada gastrointestinal. Sedangkan ketika cox-2
dihambat akan menyebabkan menurunnya 20 produksi prostaglandin.
Prostaglandin merupakan mediator nyeri, demam dan anti inflamasi.
Sehingga apabila parasetamol menghambat prostaglandin menyebabkan
menurunnya rasa nyeri. Sebagai Antipiretik, parasetamol bekerja dengan
menghambat cox-3 pada hipotalamus. Parasetamol memiliki sifat yang
lipofil sehingga mampu menembus Blood Brain Barrier, sehingga menjadi
first line pada antipiretik. Pada obat golongan ini tidak menimbulkan
ketergantungan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang
merugikan. Oleh karena itu parasetamol aman diminum 30 menit – 1 jam
setelah makan atau dalam keadaaan perut kosong untuk mengatasi efek
samping tersebut. Setiap obat yang menghambat siklooksigenase
memiliki kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Cemani, 2020) .
Absorbsi
absorbsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat
pemberian menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Absorbs kebanyakan obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi
secara difusi pasif, karena itu absorbsi mudah terjadi bila obat dalam
bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak.Parasetamol yang diberikan

7
secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar serum puncak
dalam waktu 30 – 120 menit. Adanya makanan dalam lambung akan
sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat
(Cemani, 2020).
Distribusi
Obat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Selain tergantung darialiran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh
sifat fisikokimianya. Distribusi obatdibedakan atas dua fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera
setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya
8 jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase dua jauh lebih
luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada
distribusi fase pertama misalnya 8 otot,visera, kulit, dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai kesetimbangan setelah waktu yang
lama.Parasetamol terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh
jaringan tubuh. Lebih kurang 25% parasetamol dalam darah terikat pada
protein plasma (Cemani, 2020).
Metabolisme
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di
hati. Metabolisme utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan
konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian
kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim sitokrom P450. Hanya
sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik
(racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI(N-asetil-p-benzo-kuinon
imina).Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal,
metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang
tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa
sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450(CYP) arau N-acetyl-p-
benzo-quinone-imine(NAPQI) bereaksi dengan sulfidril. Namun apabila
pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi,
konsentrasimetabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan
kerusakan hati. Pada dosisnormal bereaksi dengan sulfhidril pada
glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal (Cemani, 2020).
Eliminasi

8
Eliminasi sebagian besar obat dari tubuh terdiri dari dua proses
yaitu metabolisme (biotransfromasi) dan ekskresi. Seperti halnya
biotransformasi, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan
penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekresi dapat
terjadi tergantung pada sifat fisiokimia (bobot molekul, harga pKa,
kelarutan, dan tekanan uap). Parasetamol diekskresikan melalui urin
sebagai metabolitnya, yaitu asetaminofen glukoronoid, asetaminofen
sulfat, merkaptat dan bentuk yang tidak berubah(Cemani, 2020).

2.2. HEWAN UJI

Gambar 2.2 : mencit

Mencit banyak digunakan sebagai hewan laboratorium karena memiliki


kelebihan seperti siklus hidup relatif pendek, banyaknya jumlah anak per
kelahiran, mudah ditangani, memiliki karakteristik reproduksinya mirip dengan
hewan mamalia lain, struktur anatomi, fisiologi serta genetik yang mirip dengan
manusia. Penggunaan hewan mencit beragam umurnya, tergantung dari masing-
masing penelitian, mulai dari mencit umur 30 hari hingga umur 120 hari. Banyak
peneliti menggunakan mencit dengan bobot badan 20 g sampai dengan 40 g
berdasarkan bobot badannya (Herrmann dkk, 2019).
Peneliti haruslah mengikuti prinsip etika (3R) ketika hendak melakukan
penelitian menggunakan hewan, yaitu replacement, reduction, refinement (3R)
sebagai prinsip (Herrmann dkk, 2019).
1. Replacement atau menggantikan adalah upaya menghindari penggunaan
hewan di dalam penelitian.
2. Refinement atau perbaikan adalah upaya modifikasi dalam manajemen
pemeliharaan atau prosedur penelitian sehingga dapat meningkatkan

9
kesejahteraan hewan atau mengurangi rasa nyeri dan stres pada hewan
coba.
3. Reduction atau pengurangan adalah strategi penggunaan hewan dalam
jumlah minimal untuk menghasilkan data yang serupa yang diharapkan dari
penelitian (Herrmann dkk, 2019).
Kesejahteraan hewan laboratorium secara spesifik adalah suatu kondisi
hewan laboratorium yang dipelihara khusus untuk tujuan percobaan, memiliki
keadaan fisiologis dan psikologi yang sesuai untuk menunjang kualitas hidupnya
yang sesuai dengan 5F (Lima Kebebasan), yaitu :
1. Bebas dari rasa lapar dan haus
Kandungan kimiawi pada pakan yang diberikan pada tikus harus
mengandung asam amino esensial seperti arginin, isoleusin, leusin,
methionin, fenilalanin, treonin, tryptofan, dan valine dengan begitu kebutuhan
pakan tikus bisa terpenuhi. Selain pakan, air minum juga merupakan aspek
yang penting supaya hewan tidak dehidrasi dan mengalami stres. Hewan
harus memiliki akses ke air minum yang dapat diminum dan tidak tercemar
oleh kotoran atau jenis cemaran lainnya. Pemeliharaan, pemantauan berkala
untuk mengetahui pH dan kontaminasi mikrob atau kimia diperlukan untuk
memastikan bahwa kualitas air dalam kategori yang baik, terutama untuk
digunakan dalam studi yang komponen air normal di lokasi tersebut dapat
memengaruhi hasil penelitian (Upa dkk, 2017).
2. Bebas dari rasa tidak nyaman
Kandang hewan juga merupakan salah satu aspek yang dapat
memengaruhi kenyamanan mencit. Jenis material kandang yang banyak
digunakan yaitu bak plastik segi empat dengan penutup kawat ayam. Peneliti
yang menaruh kandang di luar ruangan memiliki tujuan supaya hewan
mendapatkan sumber cahaya alami dengan 12 jam terang dan 12 jam gelap.
Suhu normal suatu lingkungan untuk mencit berkisar 18-26oC, apabila suhu
lebih tinggi dari rentang normalnya maka dapat menyebabkan mencit
mengalami stres dan berpeluang lebih besar untuk terjadinya dehidrasi (Huet
dkk, 2013).
3. Bebas dari rasa nyeri, luka dan penyakit
Handling yang tidak dilakukan dengan benar dapat menimbulkan rasa
nyeri pada hewan mencit tersebut. Handling yang baik yaitu pada saat

10
mengambil mencit dari kandang, mencit diambil pada bagian ekornya
kemudian mencit ditaruh pada kawat ayam penutup kandang mencit. Ekor
mencit sedikit ditarik dan cubit kulit di bagian belakang kepala dengan jari
telunjuk, jari tengah dan ibu jari, sedangkan bagian ekor mencit dijepit
dengan jari kelingking dan jari manis. Handling yang kurang baik contohnya
yaitu posisi kelima jari mencubit bagian belakang kepala mencit tanpa
menjepit ekornya, sehingga posisi hewan seperti menggantung. Handling
seperti ini dapat menimbulkan rasa nyeri pada hewan atau membahayakan
operator dari ancaman tergigit mencit (Nelson, 2015).
4. Bebas dari rasa takut stress
Aklimatisasi adalah pemeliharaan hewan coba dengan tujuan
adaptasi terhadap lingkungan baru. Lama aklimatisasi yang dilakukan oleh
mahasiswa peneliti beragam dari 3-14 hari, namun sebagian besar peneliti
melakukan aklimatisasi selama tujuh hari. Lamanya aklimatisasi juga
mencegah terjadinya stres pada hewan di lingkungan yang baru. Masa
aklimatisasi, hewan melakukan penyesuaian dengan lingkungan sehingga
pada saat dilakukan pembedahan atau tindakan lainnya diharapkan hewan
sudah tidak lagi stres karena perpindahan dari kandang mereka sebelumnya
(Purwantono dkk, 2016).
5. Bebas mengepresikan perilaku normal
Mencit senang melakukan grooming atau merawat diri secara berkala
sepanjang hari pada tubuhnya sendiri atau tubuh temannya sebagai bentuk
ungkapan kasih sayang dan menunjukkan bahwa dirinya dominan. Mencit
juga senang berlarian mengejar mencit yang lainnya, peneliti dapat
menyediakan objek bermain untuk mencit berupa karton bekas tisu gulung
sebagai alternatif lain untuk mencit bermain. Mencit berdiri untuk
mendapatkan pandangan yang lebih jelas akan sesuatu yang menarik
perhatiannya dan mengibaskan ekor sebagai bentuk ekspresi kesal. Mencit
senang menggali dan memindahkan bedding ke sudut kandang seperti
sedang membuat sarang yang kemungkinan akan menjadi tempat istirahat
kesukaannya (Huet dkk, 2013).
Mencit merupakan hewan nokturnal yang memiliki penglihatan kurang
baik, dan mengandalkan kumisnya sebagai alat navigasi pada lingkungan
sekitar. Gigi mencit terus tumbuh menyebabkan mencit selalu mengasah dan

11
menjaga panjang giginya supaya tetap terjaga sehingga diperlukan barang-
barang yang aman untuk dikerat. Posisi telinga mencit juga jadi petunjuk
untuk suasana hatinya. Memanjangkan telinga ke atas atau ke depan
sebagai bentuk ekspresi penasaran. Telinga turun dan menunjuk ke
belakang, mencit menunjukkan postur defensif, terutama jika disertai dengan
bahasa tubuh yang kaku (Jirkof, 2014).

12
BAB III
METODE KERJA

3.1. Alat dan Bahan


Alat :
1. Spuit Injeksi (1,0 ml)
2. Jarum oral (ujung tumpul)
3. Beker glass
4. Stopwatch

Bahan :

1. Suspensi CMC-Na 0,5%


2. Suspensi Paracetamol di dalam CMC-Na 0,5%
3. Suspensi Tramadol di dalam CMC-Na 0,5%
4. Suspensi Na-diklofenak di dalam CMC-Na 0,5%
5. Larutan asam asetat 1%

3.2. Metode Kerja


1. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok (A, B, C, dan D) yang masing-masing
terdiri dari 5 ekor. Kelompok A merupakan kelompok kontrol, sedangkan B
(Obat Paracetamol), C (Obat Na diklofenak), dan D (obat tramadol)
merupakan kelompok uji.
2. Masing-masing mencit tiap kelompok di timbang, lalu kemudian di beri label.
3. Hitung dosis obat yang di perlukan.
4. Untuk kelompok uji, buatlah obat menjadi suspesi dengan menggunakan
CMC Na 0.5% pada masing-masing obat yang ingin di uji. Lalu berikan obat
secara oral sesuai dosis yang telah di dapatkan, kemudian di tunggu selama
30 menit.
5. Untuk kelompok control, buatlah suspesi CMC Na 0.5% sesuai dosis yang
telah di tentukan. Lalu berikan CMC Na secara oral, kemudian di tunggu
selama 30 menit.
6. Setelah 30 menit, di berikan larutan asam asetat 1% dengan volume 0.2 ml
melalui rute intraperitoneal.

13
7. Lakukan pengamatan geliat mencit (perut kejang dan kaki di Tarik ke
belakang)
8. Catat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit selama
20 menit.
9. Di lakukan perhitungan persen daya analgetik dengan persamaan.
10. Analisis data di lakukan dengan membandingkan rata-rata daya analgetik
antara kelompok lainnya menggunakan uji ANOVA (jika data distribusi
normal) atau uji Dunt Test (jika data tidak terdistribusi normal).

14
3.3. Perhitungan Dosis Obat
Paracetamol

a. Berat Mencit
1. Mencit 1 = 26,1 gr
2. Mencit 2 = 20 gr
3. Mencit 3 = 27,9 gr
4. Mencit 4 = 30,9 gr
5. Mencit 5 = 27,4 gr
b. Dosis obat yang didapatkan

C = D x BB(Mencit)/V
C = 500 mg/kg BB x 0,0341 kg / 0.5 ml 
C = 34,1 mg/ml
C = 34,1 mg x 25 ml
C = 852,5 mg (sediaan untuk 25 ml)    
C = 1.000/25 ml
C = 40 mg/ml
c. Dosis tiap Mencit
1. Mencit 1 = 0.33 ml
500 mg ×0,026 kg / BB
M 1= =0,33 ml
40
2. Mencit 2 = 0.25 ml
500 mg ×0,02 kg / BB
M 2= =0,25 ml
40
3. Mencit 3 = 0.35 ml
500 mg× 0,027 kg / BB
M 3= =0,35 ml
40
4. Mencit 4 = 0.39 ml
500 mg ×0,030 kg / BB
M 4= =0,39 ml
40
5. Mencit 5 = 0.32 ml
500 mg× 0,027 kg / BB
M 5= =0,34 ml
40

15
Na Diklofenak
a. Berat Mencit (Mencit besar ke Mencit kecil)
1. Mencit 1 = 22,8 gr
2. Mencit 2 = 27,6 gr
3. Mencit 3 = 20,4 gr
4. Mencit 4 = 21,7 gr
5. Mencit 5 = 23,1 gr
b. Dosis obat yang didapatkan
C = D x BB(Mencit) / V
C = 50 mg/kg BB x 0,0341 kg / 0.5 ml 
C = 3,41 mg/ml
C = 3,41 mg x 25 (sediaan untuk 25 ml)
C = 85,25 mg/ml
C = 100 mg / 25 mg (2 tablet)
C = 4 mg/ml
c. Dosis tiap Mencit
1. Mencit 1 = 0.29 ml
50 mg ×0,238 kg / BB
M 1= =2,975 ml
4
2. Mencit 2 = 0.34 ml
50 mg ×0,276 kg / BB
M 2= =3,45 ml
4
3. Mencit 3 = 0.25 ml
50 mg× 0,204 kg / BB
M 3= =2,55 ml
4
4. Mencit 4 = 0.27 ml
50 mg ×0,217 kg / BB
M 4= =2,712 ml
4
5. Mencit 5 = 0.2 ml
50 mg × 0,231kg / BB
M 5= =2,887 ml
4

16
Tramadol
a. Berat Mencit (Mencit besar ke Mencit kecil)
1. Mencit 1 = 25,4 gr
2. Mencit 2 = 23,2 gr
3. Mencit 3 = 18,9 gr
4. Mencit 4 = 26,3 gr
5. Mencit 5 = 33,4 gr
b. Dosis obat yang didapatkan
C = D x BB(Mencit) / V
C = 50 mg/kg BB x 0,0341 kg / 0.5 ml 
C = 3,41 mg / 1 ml
C = 85,25 mg / 25 ml (sediaan untuk 25 ml)
C = 100 mg/25 ml
C = 4 mg/ml
c. Dosis tiap Mencit
1. Mencit 1 = 0.31 ml
50 mg ×0,0254 kg / BB
M 1= =0,3175 ml
4
2. Mencit 2 = 0.29 ml
50 mg ×0,0232 kg / BB
M 2= =0,29 ml
4
3. Mencit 3 = 0.22 ml
50 mg× 0,0232kg / BB
M 3= =0,225 ml
4
4. Mencit 4 = 0.32 ml
50 mg ×0,0263 kg / BB
M 4= =0,32875 ml
4
5. Mencit 5 = 0.41 ml
50 mg× 0,0334 kg / BB
M 5= =0,4175 ml
4

17
Tabel 3.3. Jumlah geliat Mencit Selama 20 Menit
Mencit Kontrol Na Diklofenak Tramadol Parasetamol
1 26 7 32 14
2 6 - 30 11
3 4 8 22 8
4 0 15 22 24
5 44 6 73 21

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
> Kontrol=c(13, 3, 2, 0, 22)
> NaDiklofenak=c(7, 8, 15, 16)
> Tramadol=c(32,30, 22, 22, 73)
> Parasetamol=c(14, 11, 8, 24, 21)
> shapiro.test(Kontrol)

Shapiro-Wilk normality test

data: Kontrol
W = 0.8627, p-value = 0.2381

> shapiro.test(NaDiklofenak)

Shapiro-Wilk normality test

data: NaDiklofenak
W = 0.83106, p-value = 0.1706

> shapiro.test(Tramadol)

Shapiro-Wilk normality test

data: Tramadol
W = 0.72729, p-value = 0.01809

> shapiro.test(Parasetamol)

Shapiro-Wilk normality test

19
data: Parasetamol
W = 0.93955, p-value = 0.6627

> analgesik_1=c(Kontrol, NaDiklofenak, Tramadol, Parasetamol)


> analgesik_2=factor(rep(letters[1:4], c(5, 4, 5, 5), labels=c("Kontrol",
"NaDiklofenak", "Tramadol", "Parasetamol")))
> install.packages("dunn.test")
package ‘dunn.test’ successfully unpacked and MD5 sums checked

The downloaded binary packages are in


C:\Users\WINDOWS 11\AppData\Local\Temp\Rtmp4Ky9jd\
downloaded_packages
> library(dunn.test)
> dunn.test(analgesik_1, analgesik_2)
Kruskal-Wallis rank sum test

data: analgesik_1 and analgesik_2


Kruskal-Wallis chi-squared = 10.2834, df = 3, p-value = 0.02
Comparison of analgesik_1 by analgesik_2
(No adjustment)
Col Mean-|
Row Mean | kontrol Na-Diklofenak Tramadol
---------+---------------------------------------------------
b | -0.537615
| 0.2954
|
c | -3.041214 -2.329668
| 0.0012* 0.0099*
|
d | -1.210853 -0.603988 1.830360
| 0.1130 0.2729 0.0336

alpha = 0.05
Reject Ho if p <= alpha/2

20
4.2. Pembahasan
Pada percobaan kali ini, uji analgetik dengan metode proteksi dimana
diberikan dahulu obatnya baru diinduksi nyeri. Hewan uji yang digunakan
pada percobaan kali ini adalah mencit, karena induksi bahan kimia secara
intraperitoneal pada mencit akan menimbulkan iritasi pada perut dan
mengakibatkan efek geliat. Hasil dapat dilihat dibawah ini.
Dilakukan uji distribusi normal dengan shapiro test, hasilnya :
a. Data geliat mencit setelah diberi larutan kontrol tidak terdistribusi normal
(p-value = 0.2381)
b. Data geliat mencit setelah diberi larutan NaDiklofenak tidak terdistribusi
normal (p-value = 0.1706)
c. Data geliat mencit setelah diberi larutan Tramadol tidak terdistribusi
normal (p-value = 0.01809)
d. Data geliat mencit setelah diberi larutan Parasetamol terdistribusi normal
(p-value = 0.6627)
Setelah itu dilakukan uji lebih lanjut dengan dunn test, hasilnya :
a. Na-Diklofenak lebih poten dari kontrol (p-value = 0.2954)
b. Tramadol lebih poten dari kontrol (p-value = 0.0012)
c. Parasetamol lebih poten dari kontrol (p-value = 0.1130)
d. Tramadol lebih poten dari Na-Diklofenak (p-value = 0.0099)
e. Parasetamol lebih poten dari Na-Diklofenak (p-value = 0.2729)
f. Tramadol lebih poten dari parasetamol sama-sama poten (p-value =
0.0336)

Hal ini dapat disimpulkan bahwa obat yang paling efektif dalam
mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh rangsangan kimia adalah pertama
Tramadol, kedua Parasetamol, dan ketiga Na-Diklofenak. Hal ini sesuai
dengan literatur yang didapatkan, hanya saja perbedaan kumulatif dan daya
analgetik setiap obat yang terlalu sempit. Ada kemungkinan data yang
didapatkan kurang valid. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, antara
lain praktikan sulit membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa
nyeri dari obat atau karena tikus merasa kesakitan akibat penyuntikan
intraperitoneal pada perut tikus, faktor penyuntikan yang tertunda karena
tikus sempat menolak.

21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Natrium diklofenak dapat lebih aktif terhadap COX-2, daripada beberapa obat
lain golongan antiinflamasi nonsteroid yang mengandung asam karboksilat.
2. Tramadol memiliki efek dual analgesik dimana bertindak secara sinergis sebagai
agonis opioid dan inhibitor reuptake serotonin dan norepinerfin secara
monoaminergik.
3. Parasetamol bekerja secara non selektif dengan menghambat enzim
siklooksigenase (cox-1 dan cox-2).
5.2. Saran
Untuk mendapatkan hasil percobaan analgetik yang maksimal, praktikan
harus memiliki keahlian khusus dalam memberikan obat secara oral dengan
menggunakan sonde kepada mencit agar mencit tetap dalam kondisi yang tenang
dan tidak stress, karena faktor stress pada mencit dapat mempengaruhi hasil
percobaan analgetik ini. Praktikan juga harus berhati-hati dalam menangani hewan uji
pada saat memegang dan memberikan obat pada hewan uji tersebut agar bisa
mendapatkan hasil yang di inginkan.

22
DAFTAR ISI

Bangun, A.A. 2014. Analgetik. Semarang : Universitas Diponegoro.


Brunton, L.L., B.A. Chabner, and B.C. Knollmann, Goodman & Gilman's: The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 2021, McGraw-Hill: New York.
Cemani, itheng(2020), paracetamol dan toksisitasnya, bumi persada, jakarta
Drugs.com. Diclofenac. August 2018; Available from:
https://www.drugs.com/diclofenac.html.
Drugs.com. Diclofenac for Professional. August 2018; Available from:
https://www.drugs.com/pro/diclofenac.html.
Dhesi M, Maani CV. Tramadol. [Updated 2023 Mei 13]. In: StatPearls. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537060/
Herrmann K, 2019. Beyond the 3Rs: expanding the use of humanrelevant replacement
methods in biomedical research. Altex 36(3): 343-352.
Huet O, Ramsey D, Miljavec S, Jenney A, Aubron C, Aprico A, Sterfanovic N, Balkau B,
Head GA, de Haan JB, Chin-Dusting JPF. 2013. ensuring animal welfare while
meeting scientific aims using a murine pneumonia model of septic shock. Shock
39(6): 488-494.
Jirkof P. 2014. Burrowing and nest building behavior as indicators of well-being in mice.
Journal of Neuroscience Methods 234: 139-146.
Katzung, BG; A.J. Trevor; and S.B. Masters. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinis Kaplan
Edisi ke-10, Jilid 2. New York : McGraw-Hill Medical.
Khoeriya, Elan. 2019. Analgetik. Gresik : Universitas Muhammadiyah Gresik
MIMS. Tramadol. 2020.
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/tramadol/?type=brief&mtype=generic
Nelson N. 2015. Model homes for model organisms: Intersections of animal welfare and
behavioral neuroscience around the environment of the laboratory mouse. Bio
Societies 11(1): 46-66.
Purwantono P, Kusrini MD, Masy’ud B. 2016. Manajemen penangkaran empat jenis
kura-kura peliharaan dan konsumsi di Indonesia. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam 13(2): 119-135.

23
Subedi, M., S. B. & M. K., 2018. An Overview of tramadol and its usage in pain
management and future perspective. Biomedicine & Pharmacotherapy, Volume
111, pp. 443 - 451.
Upa FT, Saroyo S, Katili DY. 2017. Komposisi pakan tikus ekor putih (Maxomys
hellwandii) di kandang. Jurnal Ilmiah Sains 17(1): 7-12.
Tolistiawaty I. 2014. Gambaran kesehatan pada mencit (Mus musculus) di Instalasi
Hewan Coba. Jurnal Vektor Penyakit 8(1): 27-32.

24

Anda mungkin juga menyukai