Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK 4

BIMBINGAN DAN KONSELING


ASAS-ASAS BIMBINGAN DAN KONSELING

Nama Anggota Kelompok 4


1. Dori Afriandi 19086119
2. Fadlillah Huzhain 18076054
3. Neni Halida 21023136

Dosen Pembimbing : Dr. Hj. Neviarni S,M.S

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
 Latar Belakang
 Rumusan Masalah
 Tujuan

BAB 11 PEMBAHASAN

 Definisi Asas dan Bimbingan dan Konseling


 Asas-Asas Bimbingan dan Konseling

BAB 111 PENUTUP

 KESIMPULAN
 DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan yang


bertujuan untuk membantu seseorang menjadi manusia yang dewasa dan mandiri, yang
memahami dirinya sendiri secara utuh dengan kelebihan dan kekurangannya (Walgito,
2010: 9). Layanan bimbingan dan konseling diberikan oleh konselor/ guru
pembimbing. Guru pembimbing/ konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan
wewenang dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di
sekolah. Tugas guru pembimbing/konselor terkait dengan pengembangan diri siswa
yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian yang dimiliki
siswa. Dengan pemberian layanan bimbingan yang tepat dan kontinyu diharapkan siswa
mampu memahami kelebihan dan kekurangannya, mandiri dan mampu
mengoptimalkan potensi, bakat, dan minat yang dimiliki.

Guru pembimbing/ konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang


dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di sekolah, dalam
hal ini berarti bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan pelayanan yang
profesional, yang menguraikan pemahaman, penanganan dan penyikapan tentang
keadaan seseorang yang meliputi unsur kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Pekerjaan ini
sangat penting sekali dalam dunia pendidikan, agar tercipta keserasian atau
keharmonisan antara guru dengan siswa.

Sesuai dengan makna uraian tentang pemahaman, penanganan dan penyikapan


(yang meliputi unsur-unsur kognisi, afeksi dan psikomotorik) konselor terhadap kasus,
pekerjaan profesional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
menjamin efisien dan efektivitas proses dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah tersebut
didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan di satu segi (antara lain bahwa layanan harus
didasarkan atas data dan tingkat perkembangan konseli), dan tuntutan optimalisasi
proses penyelanggaraan layanan di segi lain, yaitu antara lain suasana konseling
ditandai oleh adanya kehangatan, pemahaman, penerimaan, kebebasan dan
keterbukaan, serta berbagai sumber daya yang perlu diaktifkan (Prayitno dan Amti,
2013: 115).

Keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling itu sendiri sangat ditentukan


oleh kaidah-kaidah yang berlaku atau dalam kata lain disebut “asas”. Asas-asas
bimbingan dan konseling adalah merupakan rukun yang harus dipegang teguh dan
dikuasai oleh seorang guru pembimbing/ konselor dalam menjalankan pelayanan atau
menurut Prayitno dan Amti (2013: 115) asas-asas bimbingan dan konseling merupakan
ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu. Asas-
asas tersebut adalah sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan
dan konseling. Apabila asas-asas itu tidak dijalankan dengan baik, maka
penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berlawanan dengan tujuan bimbingan
dan konseling, bahkan akan merugikan orang-orang yang terlibat di dalam pelayanan,
serta profesi bimbingan dan konseling itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan di atas, kami sebagai calon guru pembimbing/ konselor


merasa perlu memahami asas-asas bimbingan dan konseling untuk kemudian dapat
diaplikasikan di lapangan agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling yang
nantinya akan kami tempuh tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang
dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (konseli),
maka pemahaman dan penguasaan tentang asas-asas bimbingan dan konseling oleh
para konselor tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan asas bimbingan dan konseling?

2. Apa saja asas-asas bimbingan dan konseling?

C. Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui definisi dari asas bimbingan dan konseling.

2. Untuk memahami asas-asas bimbingan dan konseling.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Asas Bimbingan dan Konseling

Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan asas sebagai “dasar”. Tetapi asas
dalam pengertian disini adalah bukan dasar tetapi “rukun”. Jadi, asas bimbingan dan
konseling berarti “rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang guru
pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan
konseling (Nasari, 2015)”. Setiap kegiatan selalu ada asas yang dijadikan pegangan
dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian pula dalam layanan/ kegiatan
bimbingan dan konseling, ada asas yang dijadikan pegangan dalam menjalankan
kegiatan itu.

B. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling

1. Asas Kerahasiaan

Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik
(konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh
dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing/ konselor
berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga
kerahasiaan benar-benar terjamin (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22). Asas kerahasiaan ini
merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar
dilaksanakan, maka penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat
kepercayaan dari semua pihak, terutama penerima bimbingan yaitu konseli, sehingga
mereka mau memanfaatkan jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka
hilanglah kepercayaan konseli, akibatnya pelayanan bimbingan tidak mendapat tempat
di hati konseli dan para calon konseli. Mereka takut meminta bantuan sebab khawatir
masalah mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir itu terjadi, maka
tamatlah pelayanan bimbingan dan konseling ditangan konselor yang tidak dapat
dipercaya oleh konseli itu (Prayitno dan Amti, 2013: 115).

Seorang konselor berkewajiban untuk menjaga rahasia data tersebut, baik data
yang diperoleh dari hasil wawancara atau konseling, karena hubungan menolong dalam
bimbingan dan konseling hanya dapat berlangsung dengan baik jika data informasi
yang dipercayakan kepada konselor/ guru pembimbing dapat dijamin kerahasiaannya.
Dengan adanya asas kerahasiaan ini dapat menimbulkan rasa aman dalam diri konseli
(Nasari, 2015).

Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka yang terjadi saat pelayanan
bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh konselor dan konseli baik itu isi
pembicaraan atau pun sikap konseli, kerahasiaanya perlu dihargai dan dijaga dengan
baik. Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu atau pun sesudah wawancara
atau konseling perlu disimpan dengan baik dan kerahasiaanya dijaga dengan cermat
oleh konselor. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kegiatan bimbingan dan
koseling, kadang-kadang konseli harus menyampaikan hal-hal yang sangat pribadi/
rahasia kepada konselor. Oleh karena itu konselor harus menjaga kerahasiaan data yang
diperoleh dari konselinya. Contoh: ada seorang konseli yang menceritakan kepada
konselor bahwa konseli itu memiliki penyakit HIV yang didapatnya sejak lama, maka
seorang konselor harus bisa menjaga kerahasian tersebut agar penyakit konseli itu tidak
di ketahui oleh orang banyak.

2. Asas Kesukarelaan

Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (konseli)
menjalani layanan/ kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing
(konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut (Yusuf
dan Nurihsan, 2014: 22). Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar
kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak konselor. Konseli diharapkan
secara sukarela dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa menyampaikan
masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk
berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor. Konselor hendaknya dapat
memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor
memberikan bantuan dengan ikhlas (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Telah dikemukakan bahwa bimbingan merupakan proses membantu individu.
Membantu disini mengandung arti bahwa bimbingan bukan merupakan suatu paksaan,
akan tetapi merupakan suatu binaan. Oleh karena itu, dalam kegiatan bimbingan dan
konseling diperlukan adanya kerjasama yang demokratis antara konselor/ guru
pembimbing dengan konselinya. Kerjasama akan terjalin bilamana konseli dapat
dengan suka rela menceritakan serta menjelaskan masalah yang dialaminya kepada
konselor (Nasari, 2015). Contoh: konseli sakit hati karena dikirim oleh wakasek
kesiswaan ke ruang BK, dalam hal ini konseli masih dalam keadaan terpaksa, dan
sebisa mungkin sebelum proses konseling konseli ini harus sukarela dulu mau di
konseling, tidak boleh terpaksa.

3. Asas Keterbukaan

Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran
layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan
keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan
materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru
pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli).
Keterbukaan ini berkaitan dengan terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya
kesukarelaan pada diri peserta didik yang menjadi sasaran layanan/ kegiatan. Agar
peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing/ konselor terlebih dahulu harus bersikap
terbuka dan tidak berpura-pura (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).

Asas keterbukaan merupakan asas yang penting bagi konselor/ guru pembimbing,
karena hubungan tatap muka antara konselor dan konseli merupakan pertemuan batin.
Adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan kecenderungan pada konseli untuk
membuka dirinya, untuk membuka kedok hidupnya yang menjadi penghalang bagi
perkembangan psikisnya. Konselor yang sukses adalah konselor yang bisa
memudahkan konseli untuk membuka dirinya dan berusaha memahami lebih jauh
tentang dirinya sendiri. Truax dan Carkhuff (dalam Nasari, 2015) menyimpulkan
bahwa ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dan kemampuan konseli
membuka diri (self exploration). Keterbukaan ini bukan hanya sekadar bersedia
menerima saran-saran dari luar, lebih dari itu diharapkan masing-masing pihak yang
bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu
yang membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan
berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan
serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan konseli dapat dilaksanakan
(Prayitno dan Amti, 2013: 116).

Keterusterangan dan kejujuran konseli akan terjadi jika konseli tidak lagi
mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan; maksudnya, konseli betul-betul
telah mempercayai konselornya lebih jauh, keterbukaan akan semakin berkembang
apabila konseli tahu bahwa konselornya terbuka. Keterbukaan di sini di tinjau dari dua
arah. Dari pihak konseli diharapkan mau membuka diri sehingga apa yang ada pada
dirinya dapat di ketahui oleh orang lain, dan keduanya mau membuka diri dalam arti
mau menerima saran-saran dan masukan lainya dari pihak luar. Dari pihak konselor,
keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan
konseli dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh
konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 116). Contoh : ada konseli yang memiliki sifat
tertutup, sebagai konselor kita harus dapat mengubah konseli untuk berbicara secara
terbuka dan tidak berpura-pura dalam menceritakan masalah pribadinya sendiri,
sehingga konseli dapat berbicara jujur dan merasa nyaman dalam menyampaikan
masalahnya.

4. Asas Kegiatan

Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan
dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan bimbingan. Dalam
hal ini guru pembimbing/ konselor perlu mendorong dan memotivasi peserta didik
untuk aktif dalam setiap layanan/ kegiatan bimbingan dan konseling yang diberikan
kepadanya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).

Menurut Prayitno dan Amti (2013: 117) usaha bimbingan dan konseling tidak akan
memberikan buah yang berarti bila konseli tidak melakukan sendiri kegiatan dalam
mencapai tujuan bimbingan dan konseling, karena dalam proses pelayanan bimbingan
dan konseling terkadang konselor memberikan beberapa tugas dan kegiatan pada
konselinya. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan
sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras dari konseli sendiri. Konselor
hendaklah membangkitkan semangat konseli sehingga ia mampu dan mau
melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi
pokok pembicaraan dalam konseling.
Asas ini merujuk pada pola konseling “multidimensional” yang tidak hanya
mengandalkan transaksi verbal antara konseli dan konselor. Dalam
penyelenggaraannya, yaitu konseli aktif menjalani proses konseling dan aktif pula
melaksanakan/ menerapkan hasil-hasil konseling (Prayitno dan Amti 2013: 117).
Contoh: seorang konselor harus bisa membuat suatu program kegiatan seperti ospek
maupun MOS (siswa baru) agar konseli/ peserta didik dapat mengenali lingkungan
yang baru serta mampu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru.

5. Asas Kemandirian

Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling yaitu peserta
didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan
menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri
sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta
mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing (konselor) hendaknya mampu
mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi
berkembangnya kemandirian peserta didik (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).

Salah satu tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling adalah agar
konselor berusaha menghidupkan kemandirian di dalam diri konseli. Agar dapat
tumbuh sikap kemandirian tersebut, maka konselor harus memberikan respon yang
cermat terhadap konseli atas keluhan-keluhan yang diungkapkan. Individu yang
dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu
(Prayitno dan Amti, 2013: 117):

a. mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana mestinya;

b. menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis;

c. mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri;

d. mengarahkan diri sesui dengan keputusan itu;

e. mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan kemampuan -
kemampuan yang dimiliki.

Kemandirian dengan ciri-ciri umum di atas haruslah disesuikan dengan tingkat


perkembangan dan peranan konseli dalam kehidupan sehari-hari. Kemandiran sebagai
hasil konseling menjadi arah dari keseluruhan proses konseling, dan hal itu didasari
baik oleh konselor maupun konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 117). Contoh: ada
seorang konseli yang cacat fisik datang pada konselor dan menceritakan bahwa dia
tidak memiliki semangat untuk meneruskan hidupnya, sebagai konselor yang
profesional harus bisa menumbuhkan rasa semangat hidup dengan cara memberikan
pemahaman agar konseli tersebut mengenal dan menerima dirinya dan lingkungannya,
serta mampu mengambil sebuah keputusan agar konseli tersebut menjadi diri yang
mandiri .

6. Asas Kekinian

Asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan konseling, yakni
permasalahan yang dihadapi peserta didik/ konseli dalam kondisi sekarang. Layanan
yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak
dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (konseli)
pada saat sekarang (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).

Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-
nunda pemberian bantuan. Jika di minta bantuan oleh konseli atau jelas terlihat
misalnya ada siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah segera
memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-nunda pemberian bantuan
dengan berbagai alasan. Konselor harus mendahulukan kepentingan konseli daripada
yang lain. Jika konselor benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak
memberikan bantuannya saat iu juga, maka dia harus dapat mempertanggungjawabkan
bahwa penundaan yang dilakukan itu justru untuk kepentingan konseli (Prayitno dan
Amti, 2013: 117). Contoh: misal konseli saat ini mengalami masalah kesulitan belajar,
ya masalah konseli sekaranglah yang dibahas (kesulitan belajar) bukan menyelesaikan
masalah konseli yang telah lampau.

7. Asas Kedinamisan

Asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/
konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton dan terus
berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya
dari waktu ke waktu (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23). Usaha bimbingan dan konseling
yang menghendaki terjadinya perubahan pada konselinya yang dibimbing. Contoh:
konseli yang mengalami masalah sering tidur saat pelajaran, setelah proses konseling,
konseli dapat berubah ke arah yang lebih baik (tidak lagi tidur di kelas).

Keberhasilan usaha pelayanan BK ditandai dengan terjadinya perubahan sikap dan


tingkah laku konseli ke arah yang lebih baik. Demi mewujudkan terjadinya perubahan
sikap dan tingkah laku itu membutuhkan proses dan waktu tertentu sesuai dengan
kedalaman dan kerumitan masalah yang dihadapi konseli. Konselor dan konseli serta
pihak-pihak lain diminta untuk memberikan kerjasama sepenuhnya agar pelayanan BK
yang diberikan dapat dengan cepat menimbulkan perubahan dalam sikap dan tingkah
laku konseli. Perubahan itu tidaklah sekadar mengulang yang lama yang bersifat
menoton, melainkan perubahan yang selalu menuju kesuatu pembaruan, sesuatu yang
lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan konseli yang dikehendaki karena
asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan
menjadi ciri-ciri dari proses konseling dan hasil-hasilnya (Prayitno dan Amti, 2013:
118). Oleh karena itu, seorang konselor harus mampu mengikuti perkembangan zaman,
agar konselor dapat menyelesaikan permasalahan konseli yang semakin hari semakin
kompleks, misalnya masalah keluarga broken dan pergaulan bebas dikalangan pemuda.

8. Asas Keterpaduan

Asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling
menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk itu kerja sama antara guru pembimbing/
konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan
dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi dengan berbagai pihak yang
terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan
sebaik-baiknya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23). Contoh: seorang konselor melakuakan
kerjasama dengan seorang psikologi seks maupun dokter kandungan, dan mengundang
ke sekolah untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik di sekolah agar
konseli/peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih jelas tentang
seks, supaya mereka tidak terjerat dalam pergaulan bebas.

Individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang apabila keadaannya tidak


seimbang, tidak serasi, dan tidak terpadu justru akan menimbulkan masalah. Oleh sebab
itu, usaha bimbingan dan konseling hendaknya memadukan berbagai aspek kepribadian
konseli. Selain keterpaduan pada diri konseli, juga harus terpadu dalam isi dan proses
layanan yang diberikan. Tidak boleh aspek layanan yang satu tidak serasi apalagi
bertentangan dengan aspek layanan yang lainnnya (Prayitno dan Amti, 2013: 118).
Konselor harus mampu memadukan lingkungan, keluarga, pergaulan konseli dengan
masalah yang konseli hadapi. Aspek keterpaduan juga menuntut konselor memiliki
wawasan yang luas tentang perkembangan konseli dan aspek-aspek lingkungan konseli,
serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah konseli
(Tohirin, 2009: 92).

9. Asas Kenormatifan

Asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh bertentangan dengan
nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum, peraturan, adat
istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Bukanlah layanan
atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi
dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Bahkan
lebih jauh lagi, layanan/ kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat
meningkatkan kemampuan peserta didik (konseli) dalam memahami, menghayati dan
mengamalkan nilai dan norma tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).

Seluruh isi dan proses konseling harus sesuai dengan norma-norma yang
berlaku. Demikian pula prosedur, teknik dan peralatan (instrumen) yang dipakai tidak
menyimpang dari norma-norma yang berlaku (Tohirin, 2009: 93). Ditilik dari
permasalahan konseli, barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan konseling
yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya konseli mengalami masalah
melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan pelayanan bimbingan dan
konseling tingkah yang melanggar norma itu diarahkan kepada yang lebih bersesuaian
dengan norma (Prayitno dan Amti, 2013: 119). Tetapi harus diingat bahwa konselor
tidak boleh memaksakan nilai atau norma yang dianutnya itu kepada konselinya,
konselor dapat membicarakan secara terbuka dan terus terang segala sesuatu yang
menyangkut norma dan nilai-nilai itu, bagaimana berkembangnnya, bagaimana
penerimaan masyarakat, apa dan bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu
terus dianut dan lain sebagainya. Contoh: Jika dilingkungan konseli tidak melarang
berboncengan dengan lawan jenis, maka pelayanan bimbingan konseling tidak boleh
melarang hal itu.
10. Asas Keahlian

Asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana
bimbingan dan konseling hendaknya merupakan tenaga yang benar-benar ahli dalam
bimbingan dan konseling. keprofesionalan guru pembimbing/ konselor harus
terwujud, baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling (Yusuf
dan Nurihsan, 2014: 23). Contoh: konseling harus ditangani oleh guru BK/ konselor
(lulusan S1, pendidikan profesi konselor, S2, S3 bimbingan konseling), atau jika
tenaga konselor tidak dapat menyelesaikannya dapat dialihtangankan kepada yang
lebih ahli.

Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan asas keahlian secara teratur dan
sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan alat (instrumentasi bimbingan
dan konseling) yang memadai. Untuk itu para konselor perlu mendapat latihan
secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian
layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan profesional yang
diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli khusus dididik untuk pekerjaan itu. Asas
keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana
bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktik bimbingan dan
konseling perlu dipadukan. Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar
menguasai teori dan praktik konseling secara baik (Prayitno dan Amti, 2013: 119).

11. Asas Alih Tangan Kasus

Asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan


layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan
peserta didik (konseli) dapat mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang
lebih ahli. Guru pembimbing/ konselor dapat menerima alih tangan kasus dari orang
tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing/
konselor, dapat mengalihtangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik
yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah (Yusuf dan Nurihsan,
2014: 24). Contoh: seorang peserta didik/ konseli yang mengalami stres akibat tidak
lulus sekolah datang kepada konselor, dalam konteks ini seorang konselor tidak dapat
bertidak sendiri. Seorang konselor harus melakukan kerjasama dengna pihak yang
lebih kompeten dalam kasus ini seperti membawa konseli tersebut pada seorang
psikiater maupun dokter.

Jika konselor sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu


individu, namun individu yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang
diharakan, maka konselor dapat mengirim individu tersebut kepada petugas atau
badan yang lebih ahli. Di samping itu asas ini juga mengisyaratkan bahwa pelayanan
bimbingan konseling hanya menangani masalah-masalah individu sesuai dengan
kewenangan petugas yang bersangkutan, dan setiap masalah ditangani oleh ahli yang
berwenang untuk itu. Bimbingan dan konseling hanya memberikan kepada individu
yang pada dasarnya normal dan bekerja dengan kasus-kasus yang terbebas dari
masalah-masalah kriminal ataupun perdata (Prayitno dan Amti, 2013: 120).

12. Asas Tut Wuri Handayani

Asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara


keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi (memberikan rasa aman),
mengembangkan keteladaan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta
kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (konseli) untuk maju. Demikian
juga segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan
hendaknya disertai dan sekaligus dapat membangun suasana pengayoman,
keteladanan, dan dorongan seperti itu (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 24). Contoh:
seorang konselor harus menjadi guru teladan, dan menyenangkan agar peserta didik/
konseli tidak takut menceritakan masalahnya kepada konselor dan mampu
mengayomi paserta didik.

Menurut Prayitno dan Amti (2013, 120) asas ini menunjuk pada suasana umum
yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara konselor dan
konseli. Lebih-lebih di lingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan keperluannya
dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarso sung tolodo (di depan memberi
contoh (teladan yang baik)), ing madya mangun karso (di tengah memberi bimbingan)
dan tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan moral dan semangat)”.
Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan
pada waktu konseli mengalami masalah dan menghadap kepada konselor saja, namun
di luar hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan
adanya dan manfaatnya pelayanan bimbingan dan konseling itu.
Selain asas-asas tersebut terkait satu sama lain, segenap asas itu perlu
diselenggarakan secara terpadu dan tepat waktu, yang satu tidak perlu didahulukan
atau dikemudiankan dari yang lain. Begitu pentingnya asas-asas tersebut, sehinggga
dapat dikatakan bahwa asas-asas itu merupakan jiwa dan nafas dari seluruh proses
kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas itu tidak dijalankan
dengan baik penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling akan tersendat-
sendat atau bahkan berhenti sama sekali (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 24).

Kedua belas asas bimbingan dan konseling tersebut pada dasarnya menegaskan
bahwa para konselor merupakan para ahli yang memiliki kemampuan untuk
membimbing konselinya, baik secara ikhlas maupun profesional sehingga mereka
mampu meningkatkan taraf kehidupannya yang lebih baik, terutama berkaitan dengan
persoalan mentalitas konseli, baik dalam menghadapi lingkungannya maupun orang-
orang yang ada di sekelilingnya (Nasari, 2015).

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pada pembahasan bab 2, dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut:

1. Asas bimbingan dan konseling adalah rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai
oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau
kegiatan bimbingan dan konseling.

2. Asas kerahasiaan, yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan
keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau
keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.

3. Asas kesukarelaan, yaitu asas yang menggambarkan proses bimbingan dan konseling
harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak
konselor.

4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang
menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam
memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai
informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya.

5. Asas kegiatan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi
sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan
bimbingan.

6. Asas kemandirian, yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan
konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri.

7. Asas kekinian, yaitu asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan
dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/ konseli dalam kondisi
sekarang. Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh
menunda-nunda pemberian bantuan.

8. Asas kedinamisan, yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran
layanan (peserta didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak
monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap
perkembangannya dari waktu ke waktu.

9. Asas keterpaduan, yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiaan
bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak
lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu.

10. Asas kenormatifan, yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh
bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum,
peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.

11. Asas keahlian, yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah professional.

12. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak
mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas
atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) dapat mengalihtangankan permasalahan
itu kepada pihak yang lebih ahli.
13. Asas Tutwuri Handayani, yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan
konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi
(memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan memberikan rangsangan
dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (konseli)
untuk maju.

DAFTAR PUSTAKA

Nasari, Pareza. 2015. Asas-Asas Bimbingan Konseling. [Online]. Tersedia:


Http://parezanasari.blogspot.co.id/2015/01/makalah-asas-asas-bimbingan-
konseling.html, diakses pada 7 November 2015.

Prayitno dan Amti, Erman. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta.

Tohirin. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi).
Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling [Studi dan Karir]. Yogyakarta: ANDI.

Yusuf, Syamsu, dan Nurihsan, Juntika. 2014. Landasan Bimbingan dan Konselig.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai