DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
BAB 11 PEMBAHASAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:
C. Tujuan Makalah
PEMBAHASAN
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan asas sebagai “dasar”. Tetapi asas
dalam pengertian disini adalah bukan dasar tetapi “rukun”. Jadi, asas bimbingan dan
konseling berarti “rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai oleh seorang guru
pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau kegiatan bimbingan dan
konseling (Nasari, 2015)”. Setiap kegiatan selalu ada asas yang dijadikan pegangan
dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian pula dalam layanan/ kegiatan
bimbingan dan konseling, ada asas yang dijadikan pegangan dalam menjalankan
kegiatan itu.
1. Asas Kerahasiaan
Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik
(konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh
dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing/ konselor
berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga
kerahasiaan benar-benar terjamin (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22). Asas kerahasiaan ini
merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar
dilaksanakan, maka penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat
kepercayaan dari semua pihak, terutama penerima bimbingan yaitu konseli, sehingga
mereka mau memanfaatkan jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka
hilanglah kepercayaan konseli, akibatnya pelayanan bimbingan tidak mendapat tempat
di hati konseli dan para calon konseli. Mereka takut meminta bantuan sebab khawatir
masalah mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir itu terjadi, maka
tamatlah pelayanan bimbingan dan konseling ditangan konselor yang tidak dapat
dipercaya oleh konseli itu (Prayitno dan Amti, 2013: 115).
Seorang konselor berkewajiban untuk menjaga rahasia data tersebut, baik data
yang diperoleh dari hasil wawancara atau konseling, karena hubungan menolong dalam
bimbingan dan konseling hanya dapat berlangsung dengan baik jika data informasi
yang dipercayakan kepada konselor/ guru pembimbing dapat dijamin kerahasiaannya.
Dengan adanya asas kerahasiaan ini dapat menimbulkan rasa aman dalam diri konseli
(Nasari, 2015).
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka yang terjadi saat pelayanan
bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh konselor dan konseli baik itu isi
pembicaraan atau pun sikap konseli, kerahasiaanya perlu dihargai dan dijaga dengan
baik. Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu atau pun sesudah wawancara
atau konseling perlu disimpan dengan baik dan kerahasiaanya dijaga dengan cermat
oleh konselor. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kegiatan bimbingan dan
koseling, kadang-kadang konseli harus menyampaikan hal-hal yang sangat pribadi/
rahasia kepada konselor. Oleh karena itu konselor harus menjaga kerahasiaan data yang
diperoleh dari konselinya. Contoh: ada seorang konseli yang menceritakan kepada
konselor bahwa konseli itu memiliki penyakit HIV yang didapatnya sejak lama, maka
seorang konselor harus bisa menjaga kerahasian tersebut agar penyakit konseli itu tidak
di ketahui oleh orang banyak.
2. Asas Kesukarelaan
Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (konseli)
menjalani layanan/ kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing
(konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut (Yusuf
dan Nurihsan, 2014: 22). Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar
kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak konselor. Konseli diharapkan
secara sukarela dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa menyampaikan
masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk
berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor. Konselor hendaknya dapat
memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor
memberikan bantuan dengan ikhlas (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Telah dikemukakan bahwa bimbingan merupakan proses membantu individu.
Membantu disini mengandung arti bahwa bimbingan bukan merupakan suatu paksaan,
akan tetapi merupakan suatu binaan. Oleh karena itu, dalam kegiatan bimbingan dan
konseling diperlukan adanya kerjasama yang demokratis antara konselor/ guru
pembimbing dengan konselinya. Kerjasama akan terjalin bilamana konseli dapat
dengan suka rela menceritakan serta menjelaskan masalah yang dialaminya kepada
konselor (Nasari, 2015). Contoh: konseli sakit hati karena dikirim oleh wakasek
kesiswaan ke ruang BK, dalam hal ini konseli masih dalam keadaan terpaksa, dan
sebisa mungkin sebelum proses konseling konseli ini harus sukarela dulu mau di
konseling, tidak boleh terpaksa.
3. Asas Keterbukaan
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran
layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan
keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan
materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru
pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli).
Keterbukaan ini berkaitan dengan terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya
kesukarelaan pada diri peserta didik yang menjadi sasaran layanan/ kegiatan. Agar
peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing/ konselor terlebih dahulu harus bersikap
terbuka dan tidak berpura-pura (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Asas keterbukaan merupakan asas yang penting bagi konselor/ guru pembimbing,
karena hubungan tatap muka antara konselor dan konseli merupakan pertemuan batin.
Adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan kecenderungan pada konseli untuk
membuka dirinya, untuk membuka kedok hidupnya yang menjadi penghalang bagi
perkembangan psikisnya. Konselor yang sukses adalah konselor yang bisa
memudahkan konseli untuk membuka dirinya dan berusaha memahami lebih jauh
tentang dirinya sendiri. Truax dan Carkhuff (dalam Nasari, 2015) menyimpulkan
bahwa ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dan kemampuan konseli
membuka diri (self exploration). Keterbukaan ini bukan hanya sekadar bersedia
menerima saran-saran dari luar, lebih dari itu diharapkan masing-masing pihak yang
bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu
yang membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan
berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan
serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan konseli dapat dilaksanakan
(Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Keterusterangan dan kejujuran konseli akan terjadi jika konseli tidak lagi
mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan; maksudnya, konseli betul-betul
telah mempercayai konselornya lebih jauh, keterbukaan akan semakin berkembang
apabila konseli tahu bahwa konselornya terbuka. Keterbukaan di sini di tinjau dari dua
arah. Dari pihak konseli diharapkan mau membuka diri sehingga apa yang ada pada
dirinya dapat di ketahui oleh orang lain, dan keduanya mau membuka diri dalam arti
mau menerima saran-saran dan masukan lainya dari pihak luar. Dari pihak konselor,
keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan
konseli dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh
konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 116). Contoh : ada konseli yang memiliki sifat
tertutup, sebagai konselor kita harus dapat mengubah konseli untuk berbicara secara
terbuka dan tidak berpura-pura dalam menceritakan masalah pribadinya sendiri,
sehingga konseli dapat berbicara jujur dan merasa nyaman dalam menyampaikan
masalahnya.
4. Asas Kegiatan
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan
dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan bimbingan. Dalam
hal ini guru pembimbing/ konselor perlu mendorong dan memotivasi peserta didik
untuk aktif dalam setiap layanan/ kegiatan bimbingan dan konseling yang diberikan
kepadanya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Menurut Prayitno dan Amti (2013: 117) usaha bimbingan dan konseling tidak akan
memberikan buah yang berarti bila konseli tidak melakukan sendiri kegiatan dalam
mencapai tujuan bimbingan dan konseling, karena dalam proses pelayanan bimbingan
dan konseling terkadang konselor memberikan beberapa tugas dan kegiatan pada
konselinya. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan
sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras dari konseli sendiri. Konselor
hendaklah membangkitkan semangat konseli sehingga ia mampu dan mau
melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi
pokok pembicaraan dalam konseling.
Asas ini merujuk pada pola konseling “multidimensional” yang tidak hanya
mengandalkan transaksi verbal antara konseli dan konselor. Dalam
penyelenggaraannya, yaitu konseli aktif menjalani proses konseling dan aktif pula
melaksanakan/ menerapkan hasil-hasil konseling (Prayitno dan Amti 2013: 117).
Contoh: seorang konselor harus bisa membuat suatu program kegiatan seperti ospek
maupun MOS (siswa baru) agar konseli/ peserta didik dapat mengenali lingkungan
yang baru serta mampu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru.
5. Asas Kemandirian
Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling yaitu peserta
didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan
menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri
sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta
mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing (konselor) hendaknya mampu
mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi
berkembangnya kemandirian peserta didik (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Salah satu tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling adalah agar
konselor berusaha menghidupkan kemandirian di dalam diri konseli. Agar dapat
tumbuh sikap kemandirian tersebut, maka konselor harus memberikan respon yang
cermat terhadap konseli atas keluhan-keluhan yang diungkapkan. Individu yang
dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu
(Prayitno dan Amti, 2013: 117):
e. mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan kemampuan -
kemampuan yang dimiliki.
6. Asas Kekinian
Asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan konseling, yakni
permasalahan yang dihadapi peserta didik/ konseli dalam kondisi sekarang. Layanan
yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak
dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (konseli)
pada saat sekarang (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-
nunda pemberian bantuan. Jika di minta bantuan oleh konseli atau jelas terlihat
misalnya ada siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah segera
memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-nunda pemberian bantuan
dengan berbagai alasan. Konselor harus mendahulukan kepentingan konseli daripada
yang lain. Jika konselor benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak
memberikan bantuannya saat iu juga, maka dia harus dapat mempertanggungjawabkan
bahwa penundaan yang dilakukan itu justru untuk kepentingan konseli (Prayitno dan
Amti, 2013: 117). Contoh: misal konseli saat ini mengalami masalah kesulitan belajar,
ya masalah konseli sekaranglah yang dibahas (kesulitan belajar) bukan menyelesaikan
masalah konseli yang telah lampau.
7. Asas Kedinamisan
Asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/
konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton dan terus
berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya
dari waktu ke waktu (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23). Usaha bimbingan dan konseling
yang menghendaki terjadinya perubahan pada konselinya yang dibimbing. Contoh:
konseli yang mengalami masalah sering tidur saat pelajaran, setelah proses konseling,
konseli dapat berubah ke arah yang lebih baik (tidak lagi tidur di kelas).
8. Asas Keterpaduan
Asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling
menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk itu kerja sama antara guru pembimbing/
konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan
dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi dengan berbagai pihak yang
terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan
sebaik-baiknya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23). Contoh: seorang konselor melakuakan
kerjasama dengan seorang psikologi seks maupun dokter kandungan, dan mengundang
ke sekolah untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik di sekolah agar
konseli/peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih jelas tentang
seks, supaya mereka tidak terjerat dalam pergaulan bebas.
9. Asas Kenormatifan
Asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh bertentangan dengan
nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum, peraturan, adat
istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku. Bukanlah layanan
atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi
dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Bahkan
lebih jauh lagi, layanan/ kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat
meningkatkan kemampuan peserta didik (konseli) dalam memahami, menghayati dan
mengamalkan nilai dan norma tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Seluruh isi dan proses konseling harus sesuai dengan norma-norma yang
berlaku. Demikian pula prosedur, teknik dan peralatan (instrumen) yang dipakai tidak
menyimpang dari norma-norma yang berlaku (Tohirin, 2009: 93). Ditilik dari
permasalahan konseli, barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan konseling
yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya konseli mengalami masalah
melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan pelayanan bimbingan dan
konseling tingkah yang melanggar norma itu diarahkan kepada yang lebih bersesuaian
dengan norma (Prayitno dan Amti, 2013: 119). Tetapi harus diingat bahwa konselor
tidak boleh memaksakan nilai atau norma yang dianutnya itu kepada konselinya,
konselor dapat membicarakan secara terbuka dan terus terang segala sesuatu yang
menyangkut norma dan nilai-nilai itu, bagaimana berkembangnnya, bagaimana
penerimaan masyarakat, apa dan bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu
terus dianut dan lain sebagainya. Contoh: Jika dilingkungan konseli tidak melarang
berboncengan dengan lawan jenis, maka pelayanan bimbingan konseling tidak boleh
melarang hal itu.
10. Asas Keahlian
Asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana
bimbingan dan konseling hendaknya merupakan tenaga yang benar-benar ahli dalam
bimbingan dan konseling. keprofesionalan guru pembimbing/ konselor harus
terwujud, baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling (Yusuf
dan Nurihsan, 2014: 23). Contoh: konseling harus ditangani oleh guru BK/ konselor
(lulusan S1, pendidikan profesi konselor, S2, S3 bimbingan konseling), atau jika
tenaga konselor tidak dapat menyelesaikannya dapat dialihtangankan kepada yang
lebih ahli.
Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan asas keahlian secara teratur dan
sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan alat (instrumentasi bimbingan
dan konseling) yang memadai. Untuk itu para konselor perlu mendapat latihan
secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian
layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan profesional yang
diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli khusus dididik untuk pekerjaan itu. Asas
keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana
bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktik bimbingan dan
konseling perlu dipadukan. Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar
menguasai teori dan praktik konseling secara baik (Prayitno dan Amti, 2013: 119).
Menurut Prayitno dan Amti (2013, 120) asas ini menunjuk pada suasana umum
yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara konselor dan
konseli. Lebih-lebih di lingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan keperluannya
dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarso sung tolodo (di depan memberi
contoh (teladan yang baik)), ing madya mangun karso (di tengah memberi bimbingan)
dan tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan moral dan semangat)”.
Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan
pada waktu konseli mengalami masalah dan menghadap kepada konselor saja, namun
di luar hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan
adanya dan manfaatnya pelayanan bimbingan dan konseling itu.
Selain asas-asas tersebut terkait satu sama lain, segenap asas itu perlu
diselenggarakan secara terpadu dan tepat waktu, yang satu tidak perlu didahulukan
atau dikemudiankan dari yang lain. Begitu pentingnya asas-asas tersebut, sehinggga
dapat dikatakan bahwa asas-asas itu merupakan jiwa dan nafas dari seluruh proses
kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas itu tidak dijalankan
dengan baik penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling akan tersendat-
sendat atau bahkan berhenti sama sekali (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 24).
Kedua belas asas bimbingan dan konseling tersebut pada dasarnya menegaskan
bahwa para konselor merupakan para ahli yang memiliki kemampuan untuk
membimbing konselinya, baik secara ikhlas maupun profesional sehingga mereka
mampu meningkatkan taraf kehidupannya yang lebih baik, terutama berkaitan dengan
persoalan mentalitas konseli, baik dalam menghadapi lingkungannya maupun orang-
orang yang ada di sekelilingnya (Nasari, 2015).
BAB III
KESIMPULAN
1. Asas bimbingan dan konseling adalah rukun yang harus dipegang teguh dan dikuasai
oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam menjalankan pelayanan atau
kegiatan bimbingan dan konseling.
2. Asas kerahasiaan, yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan
keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau
keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
3. Asas kesukarelaan, yaitu asas yang menggambarkan proses bimbingan dan konseling
harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari pihak
konselor.
4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang
menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam
memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai
informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya.
5. Asas kegiatan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi
sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan
bimbingan.
6. Asas kemandirian, yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan
konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri.
7. Asas kekinian, yaitu asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan
dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/ konseli dalam kondisi
sekarang. Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh
menunda-nunda pemberian bantuan.
8. Asas kedinamisan, yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran
layanan (peserta didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak
monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap
perkembangannya dari waktu ke waktu.
9. Asas keterpaduan, yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiaan
bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak
lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu.
10. Asas kenormatifan, yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh
bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum,
peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
11. Asas keahlian, yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah professional.
12. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak
mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas
atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) dapat mengalihtangankan permasalahan
itu kepada pihak yang lebih ahli.
13. Asas Tutwuri Handayani, yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan
konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi
(memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan memberikan rangsangan
dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (konseli)
untuk maju.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno dan Amti, Erman. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tohirin. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi).
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling [Studi dan Karir]. Yogyakarta: ANDI.
Yusuf, Syamsu, dan Nurihsan, Juntika. 2014. Landasan Bimbingan dan Konselig.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.