Disusun Oleh :
Didin Junaedi
Afif
Zakaria Akhmad 212223137
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asas-Asas
Layanan Bimbingan Konseling” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang Asas-Asas Layanan Bimbingan Konseling
bagi para pembaca juga penulis.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Definisi Asas-Asas Bimbingan Konseling....................................................3
B. Asas-Asas Layanan Bimbingan Konseling...................................................3
BAB III..................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................12
A. Kesimpulan.................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan yang
bertujuan untuk membantu seseorang menjadi manusia yang dewasa dan mandiri, yang
memahami dirinya sendiri secara utuh dengan kelebihan dan kekurangannya (Walgito,
2010: 9). Layanan bimbingan dan konseling diberikan oleh konselor/ guru pembimbing.
Guru pembimbing/ konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di sekolah. Tugas guru
pembimbing/konselor terkait dengan pengembangan diri siswa yang sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian yang dimiliki siswa. Dengan
pemberian layanan bimbingan yang tepat dan kontinyu diharapkan siswa mampu
memahami kelebihan dan kekurangannya, mandiri dan mampu mengoptimalkan potensi,
bakat, dan minat yang dimiliki.
Guru pembimbing/ konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di sekolah, dalam hal ini
berarti bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan pelayanan yang profesional, yang
menguraikan pemahaman, penanganan dan penyikapan tentang keadaan seseorang yang
meliputi unsur kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Pekerjaan ini sangat penting sekali
dalam dunia pendidikan, agar tercipta keserasian atau keharmonisan antara guru dengan
siswa.
Sesuai dengan makna uraian tentang pemahaman, penanganan dan penyikapan
(yang meliputi unsur-unsur kognisi, afeksi dan psikomotorik) konselor terhadap kasus,
pekerjaan profesional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
menjamin efisien dan efektivitas proses dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah tersebut
didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan di satu segi (antara lain bahwa layanan harus
didasarkan atas data dan tingkat perkembangan konseli), dan tuntutan optimalisasi proses
penyelanggaraan layanan di segi lain, yaitu antara lain suasana konseling ditandai oleh
adanya kehangatan, pemahaman, penerimaan, kebebasan dan keterbukaan, serta berbagai
sumber daya yang perlu diaktifkan (Prayitno dan Amti, 2013: 115).
Keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling itu sendiri sangat ditentukan
oleh kaidah-kaidah yang berlaku atau dalam kata lain disebut “asas”. Asas-asas
bimbingan dan konseling adalah merupakan rukun yang harus dipegang teguh dan
1
dikuasai oleh seorang guru pembimbing/ konselor dalam menjalankan pelayanan atau
menurut Prayitno dan Amti (2013: 115) asas-asas bimbingan dan konseling merupakan
ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu. Asas-
asas tersebut adalah sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan
dan konseling. Apabila asas-asas itu tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan
bimbingan dan konseling akan berlawanan dengan tujuan bimbingan dan konseling,
bahkan akan merugikan orang-orang yang terlibat di dalam pelayanan, serta profesi
bimbingan dan konseling itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, kami sebagai calon guru pembimbing/ konselor
merasa perlu memahami asas-asas bimbingan dan konseling untuk kemudian dapat
diaplikasikan di lapangan agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling yang
nantinya akan kami tempuh tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang
dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (konseli),
maka pemahaman dan penguasaan tentang asas-asas bimbingan dan konseling oleh para
konselor tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan asas bimbingan dan konseling?
2. Apa saja asas-asas bimbingan dan konseling?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui definisi dari asas bimbingan dan konseling.
2. Untuk memahami asas-asas bimbingan dan konseling.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Asas Kesukarelaan
Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik
(konseli) menjalani layanan/ kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini
guru pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan
kesukarelaan tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22). Proses bimbingan dan
konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli
maupun dari pihak konselor. Konseli diharapkan secara sukarela dan rela tanpa
ragu-ragu ataupun merasa terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya
serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan
masalahnya itu kepada konselor. Konselor hendaknya dapat memberikan
bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor memberikan
bantuan dengan ikhlas (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
Telah dikemukakan bahwa bimbingan merupakan proses membantu
individu. Membantu disini mengandung arti bahwa bimbingan bukan merupakan
suatu paksaan, akan tetapi merupakan suatu binaan. Oleh karena itu, dalam
kegiatan bimbingan dan konseling diperlukan adanya kerjasama yang
demokratis antara konselor/ guru pembimbing dengan konselinya. Kerjasama
4
akan terjalin bilamana konseli dapat dengan suka rela menceritakan serta
menjelaskan masalah yang dialaminya kepada konselor (Nasari, 2015). Contoh:
konseli sakit hati karena dikirim oleh wakasek kesiswaan ke ruang BK, dalam
hal ini konseli masih dalam keadaan terpaksa, dan sebisa mungkin sebelum
proses konseling konseli ini harus sukarela dulu mau di konseling, tidak boleh
terpaksa.
3. Asas Keterbukaan
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran
layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam
memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima
berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan
dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan
keterbukaan peserta didik (konseli). Keterbukaan ini berkaitan dengan
terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri peserta
didik yang menjadi sasaran layanan/ kegiatan. Agar peserta didik dapat terbuka,
guru pembimbing/ konselor terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak
berpura-pura (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Asas keterbukaan merupakan asas yang penting bagi konselor/ guru
pembimbing, karena hubungan tatap muka antara konselor dan konseli
merupakan pertemuan batin. Adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan
kecenderungan pada konseli untuk membuka dirinya, untuk membuka kedok
hidupnya yang menjadi penghalang bagi perkembangan psikisnya. Konselor
yang sukses adalah konselor yang bisa memudahkan konseli untuk membuka
dirinya dan berusaha memahami lebih jauh tentang dirinya sendiri. Truax dan
Carkhuff (dalam Nasari, 2015) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang erat
antara keterbukaan konselor dan kemampuan konseli membuka diri (self
exploration). Keterbukaan ini bukan hanya sekadar bersedia menerima saran-
saran dari luar, lebih dari itu diharapkan masing-masing pihak yang
bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah.
Individu yang membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur
mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri sehingga dengan
keterbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan
konseli dapat dilaksanakan (Prayitno dan Amti, 2013: 116).
5
Keterusterangan dan kejujuran konseli akan terjadi jika konseli tidak lagi
mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan; maksudnya, konseli betul-
betul telah mempercayai konselornya lebih jauh, keterbukaan akan semakin
berkembang apabila konseli tahu bahwa konselornya terbuka. Keterbukaan di
sini di tinjau dari dua arah. Dari pihak konseli diharapkan mau membuka diri
sehingga apa yang ada pada dirinya dapat di ketahui oleh orang lain, dan
keduanya mau membuka diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan
lainya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan
kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan konseli dan
mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki oleh
konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 116). Contoh : ada konseli yang memiliki
sifat tertutup, sebagai konselor kita harus dapat mengubah konseli untuk
berbicara secara terbuka dan tidak berpura-pura dalam menceritakan masalah
pribadinya sendiri, sehingga konseli dapat berbicara jujur dan merasa nyaman
dalam menyampaikan masalahnya.
4. Asas Kegiatan
Asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran
layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/ kegiatan
bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing/ konselor perlu mendorong dan
memotivasi peserta didik untuk aktif dalam setiap layanan/ kegiatan bimbingan
dan konseling yang diberikan kepadanya (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Menurut Prayitno dan Amti (2013: 117) usaha bimbingan dan konseling
tidak akan memberikan buah yang berarti bila konseli tidak melakukan sendiri
kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling, karena dalam proses
pelayanan bimbingan dan konseling terkadang konselor memberikan beberapa
tugas dan kegiatan pada konselinya. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak
akan tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja keras dari
konseli sendiri. Konselor hendaklah membangkitkan semangat konseli sehingga
ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian
masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam konseling.
Asas ini merujuk pada pola konseling “multidimensional” yang tidak
hanya mengandalkan transaksi verbal antara konseli dan konselor. Dalam
penyelenggaraannya, yaitu konseli aktif menjalani proses konseling dan aktif
6
pula melaksanakan/ menerapkan hasil-hasil konseling (Prayitno dan Amti 2013:
117). Contoh: seorang konselor harus bisa membuat suatu program kegiatan
seperti ospek maupun MOS (siswa baru) agar konseli/ peserta didik dapat
mengenali lingkungan yang baru serta mampu untuk menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan yang baru.
5. Asas Kemandirian
Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling
yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri
mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil
keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing
(konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan
konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian peserta
didik (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 22).
Salah satu tujuan pemberian layanan bimbingan dan konseling adalah agar
konselor berusaha menghidupkan kemandirian di dalam diri konseli. Agar dapat
tumbuh sikap kemandirian tersebut, maka konselor harus memberikan respon
yang cermat terhadap konseli atas keluhan-keluhan yang diungkapkan. Individu
yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok
mampu (Prayitno dan Amti, 2013: 117):
a. mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana mestinya;
b. menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis;
c. mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri;
d. mengarahkan diri sesui dengan keputusan itu;
e. mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan
kemampuan - kemampuan yang dimiliki.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum di atas haruslah disesuikan dengan
tingkat perkembangan dan peranan konseli dalam kehidupan sehari-hari.
Kemandiran sebagai hasil konseling menjadi arah dari keseluruhan proses
konseling, dan hal itu didasari baik oleh konselor maupun konseli (Prayitno dan
Amti, 2013: 117). Contoh: ada seorang konseli yang cacat fisik datang pada
konselor dan menceritakan bahwa dia tidak memiliki semangat untuk
7
meneruskan hidupnya, sebagai konselor yang profesional harus bisa
menumbuhkan rasa semangat hidup dengan cara memberikan pemahaman agar
konseli tersebut mengenal dan menerima dirinya dan lingkungannya, serta
mampu mengambil sebuah keputusan agar konseli tersebut menjadi diri yang
mandiri .
6. Asas Kekinian
Asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan
konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/ konseli dalam
kondisi sekarang. Layanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi
masa lampau pun” dilihat dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang
ada dan diperbuat peserta didik (konseli) pada saat sekarang (Yusuf dan
Nurihsan, 2014: 23).
Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh
menunda-nunda pemberian bantuan. Jika di minta bantuan oleh konseli atau
jelas terlihat misalnya ada siswa yang mengalami masalah, maka konselor
hendaklah segera memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-
nunda pemberian bantuan dengan berbagai alasan. Konselor harus
mendahulukan kepentingan konseli daripada yang lain. Jika konselor benar-
benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak memberikan bantuannya saat iu
juga, maka dia harus dapat mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang
dilakukan itu justru untuk kepentingan konseli (Prayitno dan Amti, 2013: 117).
Contoh: misal konseli saat ini mengalami masalah kesulitan belajar, ya masalah
konseli sekaranglah yang dibahas (kesulitan belajar) bukan menyelesaikan
masalah konseli yang telah lampau.
7. Asas Kedinamisan
Asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta
didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton dan
terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap
perkembangannya dari waktu ke waktu (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23). Usaha
bimbingan dan konseling yang menghendaki terjadinya perubahan pada
konselinya yang dibimbing. Contoh: konseli yang mengalami masalah sering
tidur saat pelajaran, setelah proses konseling, konseli dapat berubah ke arah yang
8
lebih baik (tidak lagi tidur di kelas).
Keberhasilan usaha pelayanan BK ditandai dengan terjadinya perubahan
sikap dan tingkah laku konseli ke arah yang lebih baik. Demi mewujudkan
terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku itu membutuhkan proses dan waktu
tertentu sesuai dengan kedalaman dan kerumitan masalah yang dihadapi konseli.
Konselor dan konseli serta pihak-pihak lain diminta untuk memberikan
kerjasama sepenuhnya agar pelayanan BK yang diberikan dapat dengan cepat
menimbulkan perubahan dalam sikap dan tingkah laku konseli. Perubahan itu
tidaklah sekadar mengulang yang lama yang bersifat menoton, melainkan
perubahan yang selalu menuju kesuatu pembaruan, sesuatu yang lebih maju,
dinamis sesuai dengan arah perkembangan konseli yang dikehendaki karena asas
kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan
menjadi ciri-ciri dari proses konseling dan hasil-hasilnya (Prayitno dan Amti,
2013: 118). Oleh karena itu, seorang konselor harus mampu mengikuti
perkembangan zaman, agar konselor dapat menyelesaikan permasalahan konseli
yang semakin hari semakin kompleks, misalnya masalah keluarga broken dan
pergaulan bebas dikalangan pemuda.
8. Asas Keterpaduan
Asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain,
saling menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk itu kerja sama antara guru
pembimbing/ konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan
pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi
dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi
amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya (Yusuf dan Nurihsan,
2014: 23). Contoh: seorang konselor melakuakan kerjasama dengan seorang
psikologi seks maupun dokter kandungan, dan mengundang ke sekolah untuk
memberikan pemahaman kepada peserta didik di sekolah agar konseli/peserta
didik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih jelas tentang seks,
supaya mereka tidak terjerat dalam pergaulan bebas.
Individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang apabila keadaannya
tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak terpadu justru akan menimbulkan
masalah. Oleh sebab itu, usaha bimbingan dan konseling hendaknya memadukan
9
berbagai aspek kepribadian konseli. Selain keterpaduan pada diri konseli, juga
harus terpadu dalam isi dan proses layanan yang diberikan. Tidak boleh aspek
layanan yang satu tidak serasi apalagi bertentangan dengan aspek layanan yang
lainnnya (Prayitno dan Amti, 2013: 118). Konselor harus mampu memadukan
lingkungan, keluarga, pergaulan konseli dengan masalah yang konseli hadapi.
Aspek keterpaduan juga menuntut konselor memiliki wawasan yang luas tentang
perkembangan konseli dan aspek-aspek lingkungan konseli, serta berbagai
sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah konseli (Tohirin, 2009:
92).
9. Asas Kenormatifan
Asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh
bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama,
hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku. Bukanlah layanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat
dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai
dan norma yang dimaksudkan itu. Bahkan lebih jauh lagi, layanan/ kegiatan
bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta
didik (konseli) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai dan
norma tersebut (Yusuf dan Nurihsan, 2014: 23).
Seluruh isi dan proses konseling harus sesuai dengan norma-norma yang
berlaku. Demikian pula prosedur, teknik dan peralatan (instrumen) yang dipakai
tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku (Tohirin, 2009: 93). Ditilik
dari permasalahan konseli, barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan
konseling yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya konseli mengalami
masalah melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan pelayanan
bimbingan dan konseling tingkah yang melanggar norma itu diarahkan kepada
yang lebih bersesuaian dengan norma (Prayitno dan Amti, 2013: 119). Tetapi
harus diingat bahwa konselor tidak boleh memaksakan nilai atau norma yang
dianutnya itu kepada konselinya, konselor dapat membicarakan secara terbuka
dan terus terang segala sesuatu yang menyangkut norma dan nilai-nilai itu,
bagaimana berkembangnnya, bagaimana penerimaan masyarakat, apa dan
bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu terus dianut dan lain
10
sebagainya. Contoh: Jika dilingkungan konseli tidak melarang berboncengan
dengan lawan jenis, maka pelayanan bimbingan konseling tidak boleh melarang
hal itu.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan bab 2, dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut:
1. Asas bimbingan dan konseling adalah rukun yang harus dipegang teguh
dan dikuasai oleh seorang guru pembimbing atau konselor dalam menjalankan
pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling.
2. Asas kerahasiaan, yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan
keterangan peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau
keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
3. Asas kesukarelaan, yaitu asas yang menggambarkan proses bimbingan dan konseling
harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak konseli maupun dari
pihak konselor.
4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang
menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam
memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai
informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya.
5. Asas kegiatan, yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang
menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan layanan/
kegiatan bimbingan.
6. Asas kemandirian, yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan
konseling yaitu peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan
dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri.
7. Asas kekinian, yaitu asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan
dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/ konseli dalam
kondisi sekarang. Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak
boleh menunda-nunda pemberian bantuan.
8. Asas kedinamisan, yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran
layanan (peserta didik/ konseli) yang sama hendaknya selalu bergerak maju, tidak
monoton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan
tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
14
9. Asas keterpaduan, yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiaan
bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak
lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu.
10. Asas kenormatifan, yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling didasarkan pada nilai dan norma yang ada, tidak boleh
bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum,
peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
11. Asas keahlian, yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah professional.
12. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak
mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas
atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) dapat mengalihtangankan
permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli.
13. Asas Tutwuri Handayani, yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan
dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi
(memberikan rasa aman), mengembangkan keteladaan, dan memberikan rangsangan
dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (konseli)
untuk maju.
15
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno dan Amti, Erman. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tohirin. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi).
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling [Studi dan Karir]. Yogyakarta: ANDI.
Yusuf, Syamsu, dan Nurihsan, Juntika. 2014. Landasan Bimbingan dan Konselig.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
16