Anda di halaman 1dari 52

PENGARUH GRADASI BUTIRAN DASAR SUNGAI TERHADAP

KEDALAMAN GERUSAN LOKAL PADA HILIR GROUNDSILL PELIMPAH


DENGAN UJI PEMODELAN LABORATORIUM

TUGAS AKHIR

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik Program


Studi Teknik Sipil S1

oleh :

Reynard Benedict Septian `1702165

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sungai sebagai salah satu saluran air yang sangat bermanfaat untuk
menunjang berbagai kebutuhan hidup manusia, perlu mendapat perhatian oleh
para engineer teknik sipil agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Beberapa infrastruktur perlu dibangun di atas sungai agar memaksimalkan
manfaat sungai dan mempertahankan stabilitas sungai. Beberapa infrastruktur
juga dibangun di atas sungai sebagai penghubung antar wilayah dan daerah.

Bangunan pada sungai yang sering dijumpai di perkotaan maupun


pedesaan antara lain : bendung, check dam, bendungan, groundsill, jembatan
dan sebagainya. Namun realita yang terjadi di lapangan, banyak kondisi dari
bangunan tersebut yang mengalami kerusakan struktur. Adanya halangan pada
alur sungai akan menyebabkan perubahan pola aliran. dan menyebabkan
gerusan lokal di sekitar bangunan tersebut. Gerusan lokal pada struktur
bangunan air sangat berbahaya dan berdampak pada terganggunya stabilitas
struktur dari bangunan sehingga berpotensi terjadinya kerusakan struktur. Hal
ini diakibatkan adanya penurunan atau degradasi dasar sungai akibat tergerus
oleh aliran air. Degradasi dasar sungai juga dipengaruhi oleh kecepatan aliran
air yang berubah – ubah akibat perubahan debit sungai secara berkala
dikarenakan terjadinya perubahan curah hujan yang ekstrem pada suatu
daerah aliran sungai.

Beberapa kasus penurunan dasar sungai akibat gerusan pernah terjadi


di Indonesia seperti yang terjadi di sungai Progo Yogyakarta yang
menyebabkan dua jembatan yaitu kebonagung dan Srandakan I mengalami
kerusakan pada bagian pilarnya.

Jembatan Srandakan dibangun tahun 1925 dan telah mengalami


beberapa alih fungsi dan rehabilitasi namun struktur bawah jembatan (pilar
dan fondasi) tidak pernah berubah, tetap seperti aslinya. Akan tetapi, pada
tahun 2000, dua dari 58 pilar jembatan tersebut ambles sebesar 1,39 cm. Pilar
yang amblas ini dikarenakan degradasi dasar sungai yang tidak dapat
dihindari. Gerusan lokal air sungai yang terjadi di pilar jembatan secara
perlahan-lahan membuat area disekitar pilar terbentuk cekungan yang
berujung pada penurunan dasar sungai (Adminlendah, 2019). Sedangkan
permasalahan di Jembatan Kebonagung berawal pada 1997 saat groundsill
kebonagung mengalami kerusakan, jebol sepanjang 2 meter di sisi kiri.
Kerusakan groundsill disebabkan ketiadaan lantai hilir yang menyebabkan
groundsill tidak memiliki pelindung terhadap gerusan dasar sungai di hilirnya,
sehingga menyebabkan penurunan dasar sungai dan kerusakan pada pilar
Jembatan Kebonagung (Istiarto, 2011)

Fenomena penurunan dasar sungai akibat gerusan juga pernah terjadi


di sungai Brantas. Perum Jasa Tirta sebagai penganggungjawab pengelolaan
air sungai terpanjang di Jawa Timur ini menyebutkan bahwa, pada tahun
2004, penurunan penampang dasar sungai tercatat baru mencapai 3-4 meter.
Namun pada tahun 2006 turun hingga 8 meter dan pada tahun 2009 bertambah
hingga 12 meter (S. Destyan & HN. Chandra, 2011). Akibat adanya kejadian
ini puluhan bahkan ratusan konstruksi jembatan, plengseng dan tanggul pada
sungai brantas berpotensi mengalami kerusakan.

Mengingat dampak dari gerusan lokal pada bangunan di sungai yang


berbahaya karena berpengaruh pada stabilitas struktur bangunan air. Maka
diperlukan kajian tentang gerusan lokal (local scouring) di sekitar groundsill
pelimpah yang terdapat pada sungai. Untuk mempelajari lebih lanjut gerusan
lokal yang terjadi di hilir groundsill pelimpah pada saluran terbuka, dilakukan
beberapa percobaan dengan menggunakan peralatan dan fasilitas yang ada di
Laboratorium Hidraulika Teknik Sipil Universitas Pendidikan Indonesia.

1.2 Identifikasi Masalah


Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka
dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Adanya perubahan aliran pada sungai akibat terhalang bangunan


2. Debit aliran sungai selalu berubah akibat variasi curah hujan
3. Perubahan arah dan debit aliran menyebabkan gerusan lokal pada
bangunan
4. Gerusan lokal berpotensi menyebabkan kerusakan struktur pada
bangunan
5. Dasar sungai mengalami degradasi atau penurunan akibat penggerusan

1.3 Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini adalah :


1. Pola gerusan lokal yang diamati akibat adanya pengaruh variasi
gradasi buiran dasar sungai
2. Kedalaman gerusan lokal yang diamati akibat adanya pengaruh variasi
gradasi buiran dasar sungai
3. Gerusan lokal yang diamati pada hilir bangunan berdasarkan variasi
gradasi butiran dasar sungai

1.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah tersebut, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang muncul, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana pola gerusan lokal yang terjadi di hilir groundsill akibat


adanya variasi gradasi butiran ?
2. Berapa kedalaman gerusan lokal yang terjadi di hilir groundsill akibat
adanya variasi gradasi butiran ?
3. Bagaimana pengaruh variasi gradasi butiran dasar sungai terhadap
gerusan lokal di hilir groundsill pelimpah?

1.5 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pola gerusan lokal yang terjadi di hilir groundsill akibat


adanya variasi gradasi butiran.
2. Mengetahui kedalaman gerusan lokal yang terjadi di hilir groundsill
akibat adanya variasi gradasi butiran.
3. Mengetahui pengaruh variasi gradasi butiran dasar sungai terhadap
gerusan lokal di hilir groundsill pelimpah?
1.6 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
a) Menjadi referensi baru terkait parameter yang mempengaruhi pola
dan kedalaman gerusan lokal pada hilir groundsill
b) Memberikan informasi baru mengenai identifikasi permasalahan
gerusan pada sungai ditinjau dari parameter butiran dasarnya
2. Manfaat Praktis
a) Bagi akademisi, menambah referensi baru dalam penelitian terkait
gerusan lokal pada bangunan sungai seperti groundsill pelimpah
b) Bagi pemerintah, menjadi acuan pertimbangan baru dalam
konstruksi groundsill pelimpah pada sungai yang mengalami
masalah gerusan
1.7 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang, identifikasi masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI


Bab ini membahas mengenai teori dasar yang menjadi acuan dalam
penelitian ini. Diantaranya meliputi klasifikasi ukuran butiran
sedimen, gerusan pada sungai, groundsill, teori pemodelan
laboratorium hidraulika, penelitian yang relevan.

BAB III METODE PENELITIAN


Bab ini membahas secara umum mengenai data-data yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan penelitian serta dibahas mengenai tahapan
penelitian dan software apa yang digunakan dalam penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Bab ini membahas mengenai hasil penelitian berupa potensi gerusan
lokal pada hilir groundsill, pola, bentuk dan kedalaman gerusan lokal
yang terjadi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini membahas kesimpulan dari hasil analisis mengenai potensi
gerusan lokal pada hilir groundsill yang telah dilakukan serta memuat
saran-saran dari penelitian yang telah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ukuran Butiran Sedimen


Sedimen adalah suatu Kepingan atau potongan yang terbentuk oleh
proses fisik dan kimia dari batuan atau tanah. Bentuk dari material beraneka
ragam dan tidak terbatas dari mulai yang berbentuk bulat sampai berbentuk
tajam. Juga bervariasi dalam kerapatan dan komposisi materialnya dengan
kuarsa yang dominan dimana sedimen tersebut terbawa hanyut oleh aliran air
yang dapat dibedakan sebagai endapan dasar (bed load) dan muatan melayang
(suspended load). Muatan dasar bergerak dalam aliran sungai dengan cara
bergulir, meluncur dan meloncat-loncat di atas permukaan dasar sungai.
Sedangkan muatan melayang terdiri dari butirbutir halus yang ukuran lebih
kecil dari 0,1 mm dan senantiasa melayang didalam aliran air, lebih-lebih
butiran yang sangat halus walaupun air tidak mengalir, tetapi butiran tersebut
tetap tidak mengendap serta airnya tetap tidak keruh dan sedimen semacam ini
disebut muatan kikisan (wash load).
Ponce (1989) menyebutkan bahwa sedimen adalah produk disintegrasi
dan dekomposisi batuan. Disintegrasi mencakup seluruh proses dimana batuan
yang rusak/pecah menjadi butiran-butiran kecil tanpa perubahan substansi
kimiawi. Dekomposisi mengacu pada pemecahan komponen mineral batuan
oleh reaksi kimia. Dekomposisi mencakup proses karbonasi, hidrasi, oksidasi
dan solusi. Karakteristik butiran mineral dapat menggambarkan properti
sedimen, antara lain ukuran (size), bentuk (shape), berat volume (specific
weight), berat jenis (specipfic gravity) dan kecepatan jatuh/endap (fall
velocity) (Tatipata, 2015)
Penghasil sedimen terbesar adalah erosi permukaan lereng
pegunungan, erosi sungai (dasar dan tebing alur sungai). Pada saluran aliran
air mengikis material yang ada di tebing atau dasar saluran sedemikian banyak
butiran yang akan dapat mengangkutnya.(Tatipata, 2015)
Sedimentasi adalah peristiwa pengendapan material batuan yang telah
diangkut oleh tenaga air atau angin. Pada saat pengikisan terjadi, air
membawa batuan mengalir ke sungai, danau, dan akhirnya sampai di laut.
Pada saat kekuatan pengangkutannya berkurang atau habis, batuan
diendapkan di daerah aliran air (Anwas, 1994).
Shen (1971) mengemukakan bahwa partikel sedimen diangkut oleh
aliran air dengan salah satu atau kombinasi dari mekanisme pengangkutan
yang terdiri atas:
1. Penyerapan (surface creep), yaitu proses partikel sedimen bergerak
menggelinding atau menggeser di atas dasar sungai.
2. Saltasi, yaitu proses partikel sedimen bergerak dengan melompat-
lompat di atas dasar sungai dan ada kalanya berhenti kemudian
melompat lagi.
3. Suspensi, yaitu prosespartikel sedimen selama bergerak didukung
oleh fluida di sekitarnya sehingga tidak bersentuhan dengan dasar
sungai.
Menurut Mardjikoen (1971), banyaknya transpor sedimen (yang
dinyatakan dalam berat, massa, atau volume persatuan waktu) dapat
ditentukan dari perpindahan tempat netto dari bahan yang melalui suatu
penampang lintang selama periode waktu yang cukup.Faktor-faktor yang
menentukan transportasi sedimen adalah sifat-sifat aliran air, sifat-sifat
sedimen, dan pengaruh timbal baliknya
Sungai secara ilmiah memiliki karakteristik yang berkelok – kelok dan
mengandung bermacam – macam ukuran butiran sedimen di dasar badan
sungainya. Terdapat beberapa parameter untuk mengklasifikasikan butiran
sedimen namun ukuran butiran menjadi salah satu sifat sedimen yang paling
banyak digunakan dalam mempelajari teknik sedimen. Ukuran butir sedimen
sangat berpengaruh terhadap kemudahan dan kuantitas sedimen yang
ditranspor. Sedimen juga dapat diklasifikasi dari bentuk butirannya, namun
hal ini sangat sulit untuk dideteksi karena pada dasar sungai, material sedimen
sangat tidak teratur, dari yang berbentuk mendekati bulat sampai dengan
bentuk yang sangat pipih (Junaidi & Wigati, 2011).
Pengelompokkan jenis sedimen berdasarkan ukuran butirannya
ditunjukkan pada Tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Ukuran Butiran Sedimen

Sumber : Garde & Raju, 1985


Untuk mengetahui distribusi ukuran sedimen pada suatu sampel tanah
di dasar sungai diperlukan uji laboratorium yang disebut sieve analysis.
Menurut ASTM D-422 - 2007 percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui
distribusi ukuran butir tanah kasar. Tujuannya adalah mengklasifikasikan
tanah butir kasar berdasrkan kurva distribusi ukuran butir. Distribusi ukuran
butir yang berbeda mempengaruhi sifat rekayasa tanah. Analisis ukuran butir
memberikan distribusi ukuran butir, dan ini diperlukan dalam
mengklasifikasikan tanah. Namin keterbatasan pengujian ini adalah tidak
dapat mendeteksi bentuk butiran sedimen dan diasumsikan bentuk sedimen
yang digunakan adalah umumnya berbentuk bulat dan/atau runcing dimana
bentuk ini menentukan sifat mekanisnya.
Pengujian sieve analysis dilakuakn dengan beberapa peralatan dan
bahan yang diperlukan seperti :
a) Satu set ayakan dengan variasi diameter menyesuaikan kebutuhan
b) Stopwatch
c) Timbangan dengan ketelitian 0,01 gram
d) Sieve Shaker
e) Palu Karet

Gambar 2.1 Alat Sieveshaker

(Sumber : Geolabnemo.com)

Berdasarkan ASTM D – 422 2007 ada beberapa prosedur yang harus


dilakukan untuk menguji distribusi ukuran butiran suatu sampel tanah dasar
sungai, seperti :

a) Tahapan persiapan yaitu mempersiapkan sampel tanah yang akan


diuji. Contoh tanah yang akan diuji harus dikeringkan terlebih dahulu
(hingga kering udara) dan tidak berbongkah – bongkah. Dengan
menggunakan palu karet untuk menghancurkan bongkahan tanah.
Tanah harus kering dan jumlah tanah yang diuji kurang lebih 500 gr
b) Tahapan pengujian yaitu diawali dengan membersihkan ayakan lalu
menyusun ayakan menurut nomornya dengan urutan diameter
terbesar dari atas. Lalu ambil sampel tanah seberat 500 gram dan
masukkan ke dalam ayakan teratas dan kemudian ditutup. Kemudian
susunan ayakan dikocok dengan bantuan sieve shaker selama kurang
lebih 10 menit. Kemudian setelah selesai diamkan selama 3 menit
agar debu mengendap. Lalu masing – masing ayakan dengan contoh
tanah yang terttinggal ditimbang, diperoleh berat tanah tertahan,
c) Tahapan analisis, setelah mendapatkan berat tanah yang tertahan
masing – masing saringan, hitung jumlah berat tanah yang lolos
saringan tersebut secar kumulatif. Kemudian hitung presentase
jumlah berat tanah yang lolos saringan terhadap berat total tanah.
Kemudian dari hasil – hasil perhitungan tersebut digambarkan suatu
grafik dalam suatu susunan semi-log, yaitu dimana ukuran butir
sebagai absis dalam skala log dan % lebih halus sebagai ordinat
dengan skala linier. Pada Gambar 2.2 disajikan contoh grafik
distribusi ukuran butir sedimen.

Gambar 2.2 Contoh Grafik Distribusi Ukuran Butiran

Sumber : (Kusuma et al., 2013)

2.2 Gerusan Pada Sungai


Gerusan adalah fenomena alam yang disebabkan oleh aliran air yang
biasanya terjadi pada dasar sungai yang terdiri dari material alluvial namun
terkadang dapat juga terjadi pada dasar sungai yang keras. Pengalaman
menunjukkan bahwa gerusan dapat menyebabkan terkikisnya tanah di sekitar
fondasi dari sebuah bangunan pada aliran air. Gerusan biasanya terjadi
sebagai bagian dari perubahan morfologi dari sungai dan perubahan akibat
bangunan buatan manusia. ( Ariyanto, 2010)
2.2.1 Sifat Gerusan
Gerusan (scour) adalah penurunan dasar sungai yang disebabkan
tejadinya erosi di bawah elevasi permukaan alami atau datum yang
diasumsikan (Neil, 1973). Gerusan merupakan suatu proses alamiah yang
menyebabkan keadaan dasar sungai semakin dalam dikarenakan adanya
interaksi antara aliran dengan material dasar sungai.(Legono, 1990). Proses
gerusan dan endapan umumnya terjadi karena perubahan pola aliran terutama
pada sungai aluvial. Perubahan pola aliran terjadi karena adanya halangan
pada aliran sungai tersebut, berupa bangunan sungai seperti pilar jembatan,
abutmen, groundsill, bendung dan sebagainya. Bangunan semacam ini
dipandang dapat merubah geometri alur dan pola aliran yang selanjutnya
diikuti gerusan lokal disekitar bangunan (Legono,(1990) dalam sucipto,
(2004:33)).

Menurut Laursen (1952) dalam Sucipto (2004:34), sifat alami gerusan


mempunyai fenomena sebagai berikut:

1. Besar gerusan akan sama selisihnya antara jumlah material yang


di transpor keluar daerah gerusan dengan jumlah material yang di
transpor masuk ke dalam daerah gerusan.
2. Besar gerusan akan berkurang apabila penampang basah di daerah
gerusan bertambah (misal karena erosi)
3. Untuk kondisi aliran akan terjadi suatu keadaan gerusan yang
disebut gerusan batas.

2.2.2 Gerusan Lokal


Menurut Raudkivi dan Ettema (1983), gerusan dibedakan atas tiga
tipe, yaitu :

1. Gerusan umum (general scour), gerusan ini terjadi tidak berkaitan


sama sekali dengan ada atau tidaknya bangunan hidraulik.
Gerusan ini disebabkan oleh energi dari aliran air.
2. Gerusan terlokalisir (localized scour / constriction scour) di alur
sungai, terjadi karena penyempitan alur sungai, sehingga aliran
menjadi lebih terpusat.
3. Gerusan lokal (local scour) di sekitar bangunan, terjadi karena
pola aliran lokal di sekitar bangunan sungai.

Gerusan lokal (local scouring) menurut Yulistiyanto dkk (1998)


merupakan gerusan yang terjadi disekitar bangunan air seperti abutmen
jembatan atau pilar, groundsill, bendung dan sebagainya yang disebabkan
oleh pusaran air (vortex system) karena adanya gangguan pada pola aliran
akibat rintangan. Aliran yang mendekati struktur bangunan dan tekanan
stagnasi akan menurun dan menyebabkan aliran kebawah (down flow) yaitu
aliran dari kecepatan tinggi menjadi rendah. Kekuatan down flow akan
mencapai maksimum ketika berada tepat pada dasar saluran.

Penggerusan lokal (Garde dan Raju, 1977 dalam Rahmadani, 2014)


terjadi akibat adanya turbulensi air yang disebabkan terganggunya aliran, baik
besar maupun arahnya, sehingga menyebabkan banyutnya material-material
dasar atau tebing sungai. Turbulensi disebabkan oleh berubahnya kecepatan
terhadapt waktu, dan keduanya. Penggerusan lokal pada material dasar dapat
terjadi secara langsung oleh kecepatan aliran sedemikian rupa sehingga daya
tahan material terlampaui. Secara teoristik tegangan geser yang terjadi lebih
besar dari tegangan geser kritis dari butiran dasar

Gerusan lokal diklasifikasikan menjadi clear water scour dan live bed
scour (Miller. 2003). Bila tidak ada perpindahan sedimen pada bed menjauhi
struktur, fenomena ini disebut clear water scour. Pada kondisi ini, tegangan
geser aliran kurang dari yang dibutuhkan untuk perpindahan sedimen (kurang
dari tegangan geser kritis). Pada struktur, periode inisial dari erosi diikuti oleh
equilibrium (keseimbangan, terjadi pada saat perubahan aliran yang
disebabkan lubang gerusan mengurangi besarnya tegangan geser yaitu bila
sedimen tidak bisa lagi bergerak dan berpindah dari lubang gerusan).

Menurut penelitian (Wiyono et al., 2011), ada beberapa kriteria


kondisi yang menyebabkan sebuah bangunan air mengalami clear water
scour dan live bed scour diantaranya yaitu :

1. Clear Water Scour


Terjadi jika tegangan geser yang terjadi lebih besar daripada
tegangan geser kritis. Pergerakan sedimen hanya terjadi pada
sekitar bangunan. Ada dua macam :

a) Untuk ( )
U
U Cr
≤ 0,5

Gerusan lokal tidak terjadi dan proses transportasi


sedimen tidak terjadi.
Gambar 2.3 Distribusi kecepatan dan pergerakan sedimen pada
tikungan saluran

Sumber : (Webb, 2000)

b) Untuk 0,5 ≤ ( UU )≤ 1
Cr

Gerusan lokal terjadi menerus dan proses transportasi


sedimen tidak terjadi

2. Live-Bed Scour
Terjadi karena adanya perpindahan sedimen. yaitu jika :

( )
U
U Cr
≤1

Dimana,

U : kecepatan aliran rata–rata (m/detik)


Ucr : kecepatan aliran kritis (m/detik)
2.2.3 Proses Terjadinya Gerusan Lokal
Proses gerusan lokal dan gerusan terlokalisir dapat terjadi dalam dua
kondisi, yaitu suatu kondisi gerusan dengan air jernih (clear-water scour) dan
suatu kondisi gerusan dengan air tidak jernih (live-bed scour). Clear - water
scour terjadi apabila material dasar di hulu bangunan dalam keadaan diam
atau tidak ada gerakan material dasar, secara teoritik dinyatakan bahwa
tegangan geser dasar (τ0) lebih kecil atau sama dengan tegangan geser dasar
kritik (τc). Sedangkan live-bed scour yaitu suatu proses gerusan yang ditandai
dengan adanya angkutan sedimen dari material dasar, hal tersebut terjadi
ketika kondisi aliran pada saluran menyebabkan material dasar bergerak.
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa tegangan geser pada dasar saluran lebih
besar dibandingkan dengan tegangan dasar kritiknya. Kedalaman gerusan
dapat dikatakan mencapai keseimbangan jika jumlah material yang bergerak
dari lubang gerusan sama dengan material yang disuplai ke lubang gerusan
(Raudkivi dan Ettema, 1983).

Chabert dan Engeldiner (1956) dalam Breuser dan Raudkivi (1991:61)


menyatakan lubang gerusan yang terjadi pada alur sungai umumnya
merupakan korelasi antara kedalaman gerusan dengan kecepatan aliran
sehinga lubang gerusan tersebut merupakan fungsi waktu. Sedangkan
Breusers dan Raudkivi (1991:61) menyatakan bahwa kedalamn gerusan
maksimum merupakan fungsi kecepatan geser.

Menurut Breusers dan Raudkivi (1991), proses gerusan dimulai pada


saat partikel yang terbawa bergerak mengikuti pola aliran dari bagian hulu
kebagian hilir saluran. Pada kecepatan tinggi, partikel yang terbawa akan
semakin banyak dan lubang gerusan akan semakin besar baik ukuran maupun
kedalamanya. Kedalaman gerusan maksimum akan tercapai pada saat
kecepatan aliran mencapai kecepatan kritik. Berikut ini adalah hubungan
antara kedalaman gerusan terhadap waktu (gambar 1) dan hubungan antara
kedalaman gerusan dengan kecepatan geser (gambar 2).
Gambar 2.3. . Hubungan Kedalaman Gerusan dengan Waktu
Sumber : (Breusers dan Raudkivi, 1991)

Gambar 2.4 Hubungan Kedalaman Gerusan dengan Kecepatan


Geser
Sumber : (Breusers dan Raudkivi, 1991)

2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Gerusan Lokal


Variabel-variabel yang berpengaruh pada gerusan lokal, meliputi :

1. Kondisi fluida, yaitu : Kerapatan (ρ ), Kekentalan (v), Gravitasi


(g), Kecepatan (U), Kedalaman aliran (do)
2. Kondisi dasar sungai : Diameter butiran sedimen (Ds), Kerapatan
massa (ρs ), Distribusi butiran, Bentuk butiran
3. Faktor geometri bangunan air seperti bentuk, dimensi meliputi
panjang, tebal, sudut dan sebagainya

Penelitian (Syarvina, 2013) menyatakan kedalaman gerusan yang


terjadi disekitar bangunan air dan penyempitan air dipengaruhi beberapa
faktor yang antara lain adalah :

1. Kecepatan aliran pada alur sungai


Kedalaman gerusan lokal maksimum rata-rata di sekitar pilar
sangat tergantung pada nilai relatif kecepatan alur sungai
(perbandingan antara kecepatan rerata aliran dan kecepatan geser),
nilai diameter butiran (butiran seragam/ tidak seragam) dan lebar
pilar. Dengan demikian maka gerusan lokal maksimum rerata
tersebut merupakan gerusan lokal maksimum dalam kondisi
setimbang.
Menurut Chow (1989), kecepatan aliran rata-rata merupakan
perbandingan antar debit aliran yang melewati saluran (Q) dengan
luas tampang basah saluran ( A) seperti persamaan di bawah ini:

Q Q
V= =
A B.Y0

Dimana,

V = kecepatan aliran rata – rata, m/det


Y0 = kedalaman aliran
B = lebar saluran, m
Q = debit aliran l/det
A = luas tampang aliran, m2

2. Gradasi Butiran
Gradasi butiran dari sedimen transpor merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kedalaman gerusan pada kondisi air
bersih (clear water scour). Dari Gambar ... kedalaman gerusan
(ys/b) tak berdimensi sebagai fungsi dari karakteristik gradasi
sedimen material dasar (σ/d50). Dimana σ adalah standar deviasi
untuk ukuran butiran dan d50 adalah ukuran partikel butiran rerata.
Nilai kritikal dari σ/d50 untuk melindunginya hanya dapat dicapai
dengan bidang dasar, tetapi tidak dengan lubang gerusan dimana
kekuatan lokal pada butirannya tinggi yang disebabkan
meningkatnya pusaran air.
Gambar 2.5 Kedalaman gerusan setimbang di sekitar bangunan air
fungsi ukuran butir relative untuk kondisi aliran air bersih

(Sumber: Breusers dan Raudkivi, 1991 dalam Syarvina, 2013)

3. Ukuran Bangunan air dan butiran dasar sungai


Kedalaman gerusan maksimum pada media alir clear water
scour sangat dipengaruhi adanya ukuran butiran material dasar
relatif b/d50 pada sungai alami maupun buatan. Untuk sungai alami
umumnya koefisien ukuran butir relatif b/d50 pada kecepatan
relatif U/Uc = 0,90 pada kondisi clear water dan umumnya
kedalaman gerusan relatif ys/b tidak dipengaruhi oleh besarnya
butiran dasar sungai selama b/d50 > 25.
Ukuran bangunan mempengaruhi waktu yang diperlukan bagi
gerusan lokal pada kondisi clear-water sampai kedalaman terakhir,
tidak dengan jarak relatif (ys/b), jika pengaruh dari kedalaman
relatif (y0/b) dan butiran relatif (b/d50) pada kedalaman gerusan
ditiadakan, maka nilai aktual dari (ys/b) juga tergantung pada
peningkatan dari bed material. Pada kasus gerusan yang
mengangkut sedimen (live bed), waktu diberikan untuk mencapai
keseimbangan gerusan dan tergantung pada rasio dari tekanan
dasar ke tekanan kritikal.

4. Kecepatan Geser dan Tegangan Geser


Menurut Breuser & Raudkivi (1991), dimensi analisis untuk
menentukan beberapa parameter tak berdimensi dan ditetapkan
dalam bentuk diagram pergerakan awal (incipient motion).
Melalui grafik Shield, dengan mengetahui angka Reynold (R e )
butiran atau diameter butiran ( d ), maka pada nilai tegangan geser
kritis (τc) dapat diketahui. Bila tegangan geser dasar aliran berada
diatas nilai kritiknya maka butiran sedimen bergerak, atau dengan
kata lain:

τ0 < τc Butiran tidak bergerak


τ0 = τc Butiran dasar mulai akan bergerak
τ0 > τc Butiran dasar bergerak

Gambar 2.6. Grafik Shields

Sumber : ( Breusers dan Raudkivi: 1991)

Grafik Shield mendefinisikan gerak awal menjadi persamaan


berikut:
2
τc µc
θc = =
ρx gx d g x ∆ x d

dengan,

θc = koefisien shield
τc = tegangan geser kritik
ρs = berat jenis butiran
g = percepatan gravitasi
µc = kecepatan geser

ρs− ρw
∆= ρw

Nilai Kecepatan geser

µc = √( g∗R∗S 0)

Nilai Tegangan geser

τ0 = (µc2 * ρ)

5. Bilangan Froude

Menurut Chow (1989) bilangan Froude aliran (F) dapat


digunakan dalam menentukan bentuk aliran dan bentuk
konfigurasi dasar saluran. Persamaan yang digunakan sebagai
berikut :

V
F=
√(g∗Y 0)
dengan :

V = kecepatan aliran rata-rata, m/det


Y0 = kedalaman aliran, m
g = percepatan gravitasi, m/det2
F = bilangan Froude

Bilangan Froude untuk saluran terbuka dinyatakan sebagai


berikut :

a. F < 1 , aliran yang terjadi adalah aliran sub kritis


b. F = 1 , aliran yang terjadi adalah aliran kritis, dan
c. F > 1 , aliran yang terjadi adalah aliran super kritis

2.2.5 Perhitungan Kedalaman Gerusan Lokal


Sedangkan untuk menghitung kedalaman gerusan lokal yang terjadi
pada suatu bangunan air maka digunakan rumus metode Laursen dan Lacey.
Formula Local Scour pada bangunan (Wiyono et al., 2011) :
1. Laursen (1960)
Formula yang dihasilkan adalah :

Dengan,
La : panjang bangunan (meter)
ya : kedalaman aliran (meter)
ys : kedalaman maksimum gerusan (meter)
t1 : tegangan geser dasar salura (kgmeter.detik2)
tc : tegangan kritis untuk gerak awal sedimen (kg/meter.detik2)

Formula di atas hanya bisa diselesaikan dengan cara iterasi.


Selanjutnya, Richardson, et.al., (1991) menyederhanakan formula
di atas menjadi :

dimana:

ys : kedalaman maksimum gerusan (meter)


ya : kedalaman aliran (meter)
L’ : lebar bangunan (meter)

Formula Laursen yang telah dimodifikasi tersebut bisa


diselesaikan dengan cara yang lebih sederhana, yaitu:

2. Lacey (1989)

Persamaan metode Lacey sebagai berikut :


1 /3
Q
R = 0,47
f
Dimana:

R = kedalaman gerusan (m),


Q = debit outflow (m3/s),
f = faktor lumpur Lacey = 1,76 (Dm)0,5,
Dm = diameter rata-rata material.

Dikarenakan banyaknya variabel yang mempengaruhi kedalaman


gerusan lokal maka pada penelitian tugas akhir ini yang menjadi fokus kajian
adalah akibat gradasi butiran dasar sungai.

2.2.6 Perhitungan dan Pemodelan Gerusan pada software


iRIC Nays2DH merupakan Software yang dibuat oleh Dr. Yasuki
Shimizu (Hokkaido University) dan Hirhosi Takebayasi (Kyoto University).
Nasy2DH adalah model komputasi untuk mensimuasikan aliran memanjang
dua dimensi (2D), angkutan sedimen (sediment transport), perubahan
morfologi dari kedalaman dasar dan erosi di sungai. iRIC Nays2DH ini
merupakan gabungan dari Nays2D dan Morpho2D. (Anggara et al., 2020)

Nays2D dikembangkan oleh Dr. Yasuki Shimizu di Hokkaido


Unversity Jepang, adalah software 2D solver untuk menghitung aliran,
angkutan sedimen (sediment transport), kedalaman gerusan dan erosi tebing
sungai dan lainnya.

Morpho2D adalah metode penganalisa permasalahan perubahan dasar


sungai/saluran pada aliran unsteady (aliran tidak tetap) perhitungan dua
dimensi dalam arah horizontal. Program/metode perhitungan ini
dikembangkan oleh Hiroshi Takebayashi dari Kyoto University. Persamaan
yang mengatur/digunakan dalam metode tersebut telah ditulis sesuai dengan
batas sistem koordinat secara umum. Di tahun 2009, metode perhitungan ini
digunakan pada RIC-Nays Versi 1.0 yang merupakan program software yang
dikembangkan oleh RIC. Beberapa fungsi baru ditambahkan untuk
pengembangan dari versi sebelumnya yang kemudian menghasilkan program
iRIC Versi 2.0 pada Maret 2011.

IRIC Nays2DH 1.0 dapat menganalisa aliran tidak seragam dan


menghasilkan luaran berupa sebaran material dasar sungai secara horizontal.
Sebagai tambahan, generasi, proses perkembangan dan migrasi/perpindahan
pada ambang sungai dapat ditiru/dimodelkan. IRIC Nays2DH 1.0 biasanya
diaplikasikan/digunakan untuk simulasi sungai-sungai alami. Efek dari
vegetasi/tanaman pada perubahan dasar sungai dan proses transportasi
sedimen pada dasar sungai yang kasar (contoh: bebatuan) dapat disimulasikan
atau dimodelkan (Ali et al., 2017).

2.3 Bangunan Groundsill sebagai pengendali gerusan

2.3.1 Pengertian dan tipe - tipe Groundsill

Groundsill dan juga bendung adalah bangunan air yang dibangun


melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meninggikan elevasi muka air
untuk mendapatkan tinggi terjun. Hanya saja yang menyebabkan perbedaan
antara groundsill dan bendung adalah pada fungsi dan tujuan.

Groundsill merupakan suatu struktur ambang melintang yang


dibangun pada alur sungai yang bertujuan untuk mengurangi kecepatan arus
dan meningkatkan laju pengendapan di bagian hulu struktur. Hal ini dapat
menjaga agar elevasi lapisan endapan tidak mengalami penurunan, sehingga
struktur bangunan yang berada di bagian hulu sungai seperti jembatan tetap
dalam keadaan aman meskipun terjadi penambangan pasir pada sungai.
Sedangkan bendung berfungsi dan bertujuan sebagai peninggi muka
airsehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke daerah
yangmembutuhkan. (Dirjen Pengairan DPU, 1986).

Bangunan ini direncanakan berupa ambang atau lantai dan berfungsi


untuk mengendalikan ketinggian dan kemiringan dasar sungai, agar dapat
mengurangi atau menghentikan degradasi pada dasar sungai. Bangunan ini
juga dirancang untuk menjaga agar dasar sungai tidak turun terlalu berlebihan

Pemasangan ambang atau sekat diawal terjadinya loncatan air dapat


secara efektif. Foster dan Skrinde (Chow, 1959) mengembangkan grafik
hubungan antara bilangan Froude, panjang loncatan hidrolik, tinggi muka air
sebelum loncatan maupun tinggi sekat untuksekat ambang lebar seperti
gambar di bawah.
Gambar 2.7 Grafik Hubungan Analisis antara Fr dan c/hl untuk
sekat ambang lebar

Sumber : (Chow, 1985)

Groundsill memiliki beberapa tipe berdasarkan bentuk layout dan


puncak mercunya. Berdasarkan bentuk layout, groundsill memiliki beberapa
tipe seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.

Gambar 2.8 Tipe Layout Groundsill

Groundsill pelimpah haruslah direncanakan agar secara hidraulis dapat


berfungsi dengan baik antara lain denahnya ditempatkan sedemikian rupa agar
porosnya tegak arah arus sungai, khususnya arah arus banjir, denah tersebut
yaitu terdiri dari : Tipe (a) merupakan tipe tegak lurus dan paling umum
dibuat pada sungai untuk mencegah penurunan dasar sungai, tipe (b)
merupakan tipe diagonal namun jarang dibuat, tipe (c) dan (d) jarang
dibangun karena ambang menjadi lebih panjang dan limpasan terpusat di
tengah ambang selain itu biaya konstruksi juga lebih mahal.
Sedangkan berdasarkan tipe mercunya, groundsill dibagi menjadi dua
yaitu Ambang datar dan ambang pelimpah.

1. Ambang datar (bed gindle work) : Bangunan ini hampir tidak


mempunyai terjunan dan elevasi mercunya hampir sarna dengan
permukaan dasar sungai, dan berfungsi menjaga agar permukaan
dasar sungai tidak turnn lagi.

Gambar 2.9 Ambang Datar

2. Ambang pelimpah (head work) : Bangunan ini mempunyai


terjunan, hingga elevasi permukaan dasar sungai di sebelah hilimya
dan tujuannya adalah untuk lebih melandaikan kemiringan dasar
sungai.

Gambar 2.10 Ambang Pelimpah

2.3.2 Bagian-Bagian Groundsill pelimpah

Sebagai bentuk struktur bangunan, ambang dasar sungai mempunyai


beberapa bagian. Setiap bagian struktur memiliki fungsi. Beberapa
diantaranya meliputi, Main dam atau tubuh bendungan, Apron Hilir, Apron
Depan, Side Wall dan Rip Rap. Berikut penjelasannya :

1. Main dam : Bagian utama pada struktur bangunan ambang. Bagian


ini perlu melakukan perhitungan dengn sistem hidrolis saat
menentukan ketinggian mercu. Hal ini dilakukan agar perubahan
gradasi bentukan alur sungai di bagian dasar memiliki kestabilan dan
keamanan yang terjamin. Apabila desain mercu semakin meninggi
maka terjadi penurunan gaya tarikan pada aliran sungai. Apabila
dasar sungai memiliki ketinggian terlalu tinggi di hulu maka dapat
menyebabkan penggerusan di bagian hilir ambang. Lantai terjun
memiliki fungsi secara live dengan energi loncatan air sehingga
memiliki tingkat kelandaian khusus.

2. Apron Hilir : Bagian dari kolam olah yang memiliki panjang dan
ketinggian yang sudah ditentukan berdasarkan nilai ketinggian yang
diperoleh muka air hulu. Hal tersebut memiliki fungsi untuk menjaga
dasar sungai dari perputaran air secara melingkar yang terjatuh di
lantai terjunan.

3. Apron depan : Bagian ini terletak di bagian hulu dengan memiliki


fungsi untuk mengatasi bahaya pingping.

4. Side Wall : Bagian yang paling rentang terhadap bahaya pingping.


Cara mengatasinya dengan pemberian tirai. Namun, didarah bertanah
keras sangat sulit untuk dilakukan. Bangunan ini memiliki fungsi
untuk mengarahkan aliran sungai dan sangat rentang terhadap
gerusan air.

5. Rip rap : Bagian ini merupakan bagian tambahan di dalam struktur


bangunan ambang. Bagian ini memiliki fungsi pelindung dasar
sungai dari pengaruh perputaran aliran air. pembuatannya dapat
dilakukan dengan bronjongan batu-batuan. Lapisan ini lebih dikenal
dengan nama lantai konsolidasi.
Gambar 2.11 Bagian – bagian Groundsill pelimpah

2.3.3 Perencanaan Groundsill mercu pelimpah


Untuk menghindari terjadinya gerusan di sebelah hilir ambang, maka
diperlukan perencanaan konstruksi ambang yang sesuai dengan beberapa
kondisi baik kondisi alam maupun teknis. Karena jika ambang terlalu rendah
maka tidak akan berfungsi secara maksimal terlebih jika terjadi kasus banjir.
Data yang diperlukan dalam perencanaan groundsill adalah sebagai
berikut :
1. Debit maksimum tahunan dengan memakai data debit kala ulang 50
dan 100 tahun
2. Geologi teknik dan penyelidikan tanah yang berguna untuk
menghitung desain pondasi
3. Topografi, untuk mengetahui tata letak atau posisi groundsill
rencana, digunakan peta Bakosurtanal dengan skala 1 : 25.000. Selain
itu digunakan juga peta situasi atau kontur detail yang dapat diambil
dari berbagai sumber, seperti : DEMNAS, ASF, Earthexplorer, dan
global mapper
4. Data teknis yang diambil dari hasil survey dan pengamatan langsung
ke lapangan diantaranya denan dan potongan penampang sungai.
Setelah mendapat data yang dibutuhkan dalam perencanaan, maka
selanjutnya dilakukan proses perencanaan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Menganalisa hidrologi berdasarkan data curah hujan stasiun setempat
untuk mendapatkan data debit rancangan
2. Menentukan letak dan posisi groundsill rencana sesuai peta situasi.
Lalu tempatkan As groundsill untuk mengetahui lebar groundsill dan
kemiringan sungai
3. Merencanakan dimensi groundsill
4. Menganalisa stabilitas groundsill terhadap bahaya guling, geser dan
pondasi
5. Penggambaran secara detail groundsill yang telah direncanakan
untuk selanjutnya diimplementasikan di lapangan
Beberapa perhitungan dan formula yang digunakan dalam perencanaan
groundsill antara lain sebagai berikut (Tungga et al., 2018).
1. Perhitungan dimensi peluap
Debit desain dihitung berdasarkan dengan persamaan sebagai
berikut (PD T-12-2004.A, 2004, p.9) :
Q = 2/15. C. (2.g)1/2. (3. B1 + 2. B2). h3
Jika C = 0,6 dan M2 = 0,5
Maka, rumus menjadi :
Q = (0,71 h3 + 1,77 B1 ). H32/3
Q = Qp (1 + 𝛂 )
Dengan,
h3 = Tinggi air diatas pelimpah
Q = Debit desain
B1 = Lebar Pelimpah groundsill
Qp = Debit banjir
B1 = Lebar Pelimpah groundsill
𝛂 = Parameter aliran

2. Panjang Kolam Olak


Dalam perhitungan menentukan jarak bendung utama dan Sub
dam digunakan berdasarkan persamaan sebagai berikut (PD T-12-
2004.A, 2004, p.7) :

L = lw + X + b2


1
2.(H 1+ . h 3)
lw = V0 . 2
g

V0 = q0 / h3

X = β . hj
hj = h1 / 2 . { √ 1+8. Fr 12– 1}

h1 = q1/V1

V1 = √ 2. g .( H 1+h 3)

Fr1 = V1 / √ g .h 1

Dengan,

lw = jarak terjunan (m)


X = panjang loncatan air (m)
b2 = lebar mercu sub dam (m)
q0 = debit per meter pada peluap ( m3/det/m )
h3 = tinggi air diatas peluap bendung utama (m)
H1 = tinggi bendung utama dari lantai kolam olak (m)
β = koefisien besarnya (4,5-5,0 )
hj = tinggi dari permukaan lantai kolam olak (permukaan
batuan dasar ) sampai ke muka air diatas mercu
subdam.
h1 = tinggi air pada titik jatuh terjunan (m)
q1 = debit aliran per meter lebar pada titik jatuh terjunan
(m3/dt/m)
V1 = kecepatan jatuh pada terjunan (m/dt)
Fr1 = angka Froude aliran pada titik terjunan

3. Stabilitas terhadap geser


Berikut persamaan untuk menghitung stabilitas terhadap
pengaruh akibat geser pada groundsill (PD T-12-2004.A, 2004, p.12)
:

SFgeser = (f.PV)/PH

Dengan,

SF geser = faktor keamanan terhadap geser


PV = gaya vertikal total (t)
PH = gaya horisontal total (t)
f = koefisien geser

4. Stabilitas terhadap guling


Berikut persamaan untuk menghitung stabilitas terhadap
pengaruh akibat guling pada groundsill (PD T-12-2004.A, 2004,
pp.11-12) :
X = M/P
e = X – D/2

Pada umumnya besarnya X disyaratkan


D/3 < X < D.2/3
SF = ƩMV /Ʃ MH

Dengan:
X = jarak dari tumit bending tepi (hulu) sampau ke titik
tangkap resultan gaya (m)
E = jarak dari as sampai ke titik tangkap resultan gaya
(m)
MV = jumlah momen yang menahan (tm)
MH = jumlah momen yang menggulingkan (tm)
M = momen total (MV – MH ) (tm)
PV = gaya vertikal total (t)

5. Daya dukung tanah pondasi


Berikut persamaan untuk menghitung dimensi peluap pada
groundsill (PD T-12- 2004.A, 2004, p.12) :

σ1 = (PV /D ). (1+6.e / D)
σ2 = (PV /D ). (1-6.e / D)

Dengan:

σ1 = tegangan vertikal pada ujung hilir bendung (t/m2)


σ2 = tegangan vertikal pada ujung hulu bendung (t/m2)
PV = gaya vertikal total (t)
D = lebar dasar bendung utama (m)
E = eksentrisitas resultan gaya yang bekerja ( X- D/2) (m)
X = jarak ujung hulu sampai titik tangkap resultan gaya
(m)

2.5 Pemodelan Laboratorium


2.5.1 Teori Model
Model dapat merupakan tiruan dari suatu benda, sistem atau kejadian
yang sesungguhnya yang hanya berisi informasi- informasi yang dianggap
penting untuk dikaji. Model dari sebuah sistem adalah alat yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sistem tanpa harus melakukan
percobaan. Model dapat terbagi menjadi model fisik dan model matematik.
Model fisik ini meniru kejadian sebenarnya dengan skala yang lebih kecil.
Contoh model fisik dalam dunia teknik ialah model fisik pelimpah,
bendungan dan sebagainya. Model matematik menirukan sifat atau karakter
suatu feomena dengan persamaan matematik.

Gambar 2.12 Diagram Alir Pemodelan

Dalam dunia engineering kedua model ini masing-masing mempunyai


kelebihan dan kekurangan, adapun perbandingan kedua model tersebut dapat
dilihat dari Tabel 2.2

Tabel 2.2 Perbandingan Model Fisik dan Matematik

Model Fisik Model Matematik


Kerugian Keuntungan
 Memerlukan ruangan yang  Ruangan kecil, hanya perlu
besar komputer
 Parameter belum tentu mudah  Mudah menyesuaikan
diperoleh dan ditirukan karena parameter seperti tinggi
berbagai keterbatasan gelombang, dll
 Lama pembuatannya  Pembuatan relatif singkat
 Sulit mengamati dan  Mudah dikontrol dan diamati
mengontrol  Mudah dibuah dan direvisi
 Tidak mudah diubah/ revisi  Tidak membutuhkan tenaga
 Membutuhkan banyak tenaga banyak
kerja  Murah
 Mahal Kerugian
Keuntungan  Biasanya tidak real time
 Real time model  Kesalahan, kekurangan,
 Kesalahan, kekurangan,  kejanggalan kadang tidak
kejanggalan dapat segera dilihat terlihat
dan diperbaiki  Perlu persamaan pengatur
 Kondisi aliran yang paling  yang belum tentu ada belum
rumit dan sulit dapat tentu
dimodelkan  dapat diselesaikan
 Model lebih mudah dipahami  Model sulit dipahami tetapi
oleh awam  hasil simulasi dapat
ditampilkan
 untuk mempermudah
pemahaman

2.5.2 Pemodelan Aliran Melalui Saluran Terbuka


Saluran terbuka adalah saluran yang mengalirkan air dengan suatu
permukaan bebas. Pada semua titik di sepanjang saluran tekanan di
permukaan air adalah sama, yang biasanya berupa tekanan atmosfir.
Pengaliran melalui suatu pipa yang tidak penuh masih ada muka air bebas
termasuk aliran melalui saluran terbuka. Oleh karena aliran melalui saluran
terbuka harus mempunyai muka air bebas, maka aliran ini biasanya
berhubungan dengan zat cair dan umumnya adalah air.

Menurut Chow (1992:17) dalam Mukhammad (2007), Saluran yang


mengalirkan air dengan suatu permukaan bebas disebut saluran terbuka.
Menurut asalnya saluran dapat digolongkan menjadi saluran alam (natural)
dan saluran buatan (artificial). Saluran alam meliputi semua alur air yang
terdapat secara alamiah di bumi, mulai dari anak selokan kecil di pegunungan,
selokan kecil, sungai kecil dan sungai besar sampai ke muara sungai. Saluran
terbuka menurut Triatmodjo (1996:103) adalah saluran dimana air mengalir
dengan muka air bebas. Pada saluran terbuka, misalnya sungai (saluran alam),
variabel aliran sangat tidak teratur terhadap ruang dan waktu. Variabel
tersebut adalah tampang lintang saluran, kekasaran, kemiringan dasar,
belokan, debit aliran dan sebagainya.

Tipe aliran saluran terbuka menurut Triatmodjo (1996:104) dalam


Mukhammad (2007) adalah turbulen, karena kecepatan aliran dan kekasaran
dinding relatif besar. Aliran melalui saluran terbuka akan turbulen apabila
angka Reynolds Re > 1.000, dan laminer apabila Re < 500. Aliran melalui
saluran terbuka dianggap seragam (uniform) apabila berbagai variabel aliran
seperti kedalaman, tampang basah, kecepatan, dan debit pada setiap tampang
saluran terbuka adalah konstan. Aliran melalui saluran terbuka disebut tidak
seragam atau berubah (non uniform flow atau varied flow), apabila variabel
aliran seperti kedalaman, tampang basah, kecepatan di sepanjang saluran tidak
konstan. Apabila perubahan aliran terjadi pada jarak yang pendek maka
disebut aliran berubah cepat, sedang apabila terjadi pada jarak yang panjang
disebut aliran berubah tidak beraturan. Aliran disebut mantap apabila variabel
aliran di suatu titik seperti kedalaman dan kecepatan tidak berubah terhadap
waktu, dan apabila berubah terhadap waktu disebut aliran tidak mantap.
Selain itu aliran melalui saluran terbuka juga dapat dibedakan menjadi aliran
sub kritis (mengalir) jika Fr 1. Di antara kedua tipe tersebut aliran adalah
kritis (Fr =1). 9 Analisis aliran melalui saluran terbuka adalah lebih sulit
daripada aliran melalui pipa / saluran tertutup. Di dalam pipa tampang lintang
aliran adalah tetap yang tergantung pada dimensi pipa. Demikian juga
kekasaran dinding pipa adalah seragam di sepanjang pipa. Pada saluran
terbuka misalnya sungai, variabel aliran sangat tidak teratur baik terhadap
ruang maupun terhadap waktu. Variabel tersebut adalah tampang lintang
saluran, kekasaran, kemiringan dasar, belokan, debit aliran dan sebagainya.
Ketidak teraturan tersebut mengakibatkan analisis aliran sangat sulit untuk
diselesaikan secara analitis. Oleh karena itu analisis aliran melalui saluran
terbuka adalah lebih empiris dibanding dengan aliran melalui pipa.

Aliran melalui saluran terbuka adalah seragam (uniform) jika berbagai


variabel aliran seperti kedalaman, tampang basah, kecepatan dan debit pada
setiap tampang disepanjang saluran dalam keadaan konstan. Pada aliran
seragam garis energi, garis muka air dan dasar saluran dalam keadaan sejajar
sehingga kemiringan dari ketiga garis tersebut sama. Kedalaman air pada
aliran seragam disebut kedalaman normal ( Yn ). Untuk debit aliran dan luas
tampang lintang saluran tertentu kedalaman normal dalam keadaan konstan di
seluruh panjang saluran.

Aliran disebut tidak seragam atau berubah (non uniform flow atau
varied flow) jika variabel saluran seperti kedalaman, tampang basah,
kecepatan di sepanjang saluran tidak konstan. Apabila perubahan aliran terjadi
pada jarak yang pendek maka disebut aliran berubah cepat, sedang apabila
terjadi pada jarak yang panjang disebut aliran berubah beraturan. Di dalam
aliran tidak seragam garis tenaga tidak sejajar dengan garis muka air dan dasar
saluran. Kedalaman dan kecepatan aliran di sepanjang saluran tidak konstan,
pengaliran ini terjadi apabila tampang lintang sepanjang saluran tidak konstan,
seperti sungai.

Aliran disebut tetap (steady) apabila variabel aliran di suatu titik


seperti kedalaman dan kecepatan tidak berubah terhadap waktu, dan apabila
berubah terhadap waktu disebut aliran tidak tetap (unsteady). Selain itu aliran
melalui saluran terbuka juga dapat dibedakan menjadi aliran sub kritis dan
super kritis. Diantara kedua tipe aliran tersebut adalah aliran kritis. Aliran
disebut sub kritis apabila suatu gangguan (misalnya batu dilemparkan ke
dalam aliran sehingga menimbulkan gelombang) yang terjadi pada suatu titik
pada aliran dapat menjalar ke arah hulu. Aliran sub kritis dipengaruhi oleh
kondisi hilir, dengan kata lain keadaan di hilir akan mempengaruhi aliran di
sebelah hulu. Apabila kecepatan aliran cukup besar sehingga gangguan yang
terjadi tidak menjalar ke hulu maka aliran adalah super kritis.

Gambar 2.13. aliran seragam (a) dan berubah (b)

(Sumber : Hidraulika II Bambang Triatmojo, 2003)

2.6 Penelitian Sebelumnya yang Relevan


Untuk mendukung permasalahan terhadap bahasan, penulis berusaha
melacak berbagai literature dan penelitian terdahulu (prior research) yang
masih relevan terhadap masalah yang menjadi objek penelitian saat ini. Untuk
memenuhi kode etik dalam penelitian ilmiah maka sangat diperlukan
eksplorasi terhadap penelitian-penelitian yang relevan. Berikut pada Tabel 2.3
sumber penelitian terdahulu yang relevan.
Tabel 2.3 Penelitian Yang Relevan

No Nama Peneliti Instansi Jurnal Judul Penelitian Hasil Penelitian


1 Fuad Halim Teknik Sipil - Ilmiah Pengaruh Debit Terhadap Pola Dari hasil kajian eksperimen di laboratorium
Universitas Sam Media Gerusan Di Sekitar menunjukkan bahwa pola gerusan yang terjadi pada
Ratulangi Engineering Abutmen Jembatan (Uji Laboratorium Abudmen berbagai kedalaman aliran relatif sama
Dengan Skala Model Jembatan meskipun dengan lebar dan kedalaman gerusan yang
Megawati) berbeda.
2. Jazaul Ikhsan & Teknik Sipil – Ilmiah Pengaruh Bentuk Pilar Jembatan 1. Dari pengujian yang dilakukan, perubahan debit
Wahyudi Hidayat Universitas Semesta Terhadap Potensi Gerusan Lokal aliran (Q), sangat berpengaruh terhadap kedalaman
Muhammadiyah Teknika gerusan.
Jogjakarta 2. Semakin besar debit yang digunakan, maka
kedalaman gerusan yang terjadi juga akan semakin
besar pula
3. Nenny & Hamzah Teknik Sipil dan Ilmiah Pengaruh Kecepatan Aliran Terhadap Kedalaman gerusan mengalami pertambahan dengan
Al Imran Perencanaan – Semesta Gerusan Lokal Disekitar Pilar cepat pada menit-menit awal pengaliran dan perubahan
Universitas Teknika Heksagonal (Uji Model kedalaman gerusan semakin mengecil hingga mendekati
Muhammadiyah Laboratorium) keseimbangan, gerusan yang terbentuk antara tipe satu
Makassar dan tipe dua adalah sama dengan bentuk menyerupai
bentuk bulat telur dan memanjang ke arah hilir akibat
adanya erosi ke arah hilir oleh sistim pusaran telapak
kuda (horseshoe vortex) disekitar pilar dengan
kedalaman yang berbeda, tetapi pada tanah yang labil
gerusan akan terhenti.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini bersifat eksperimental-laboratoris. Penelitian dilakukan
dalam skala laboratorium dengan membuat benda uji yang menyesuaikan
dengan kondisi asli di lapangan namun dengan skala yang lebih kecil.
Penelitian ini bertujuan mengetahui seberapa besar pengaruh gradasi butiran
dasar sungai terhadap gerusan yang terjadi di sekitar hilir groundsill pelimpah.
Dalam penelitian ini aliran pada flume dianggap seragam (steady uniform
flow) dan dilakukan pada kondisi live bed scour. Material dasar yang dipakai
adalah pasir alami dengan gradasi relatif tidak seragam.

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan 3 variabel yaitu


variabel bebas, variabel terikat dan variabel antara. Variabel bebas adalah
sebuah variabel yang posisinya mampu berdiri sendiri tanpa terikat dengan
variabel lainnya. Berhubung mampu berdiri sendiri, keberadaan variabel ini
sangat penting pada penelitian atau proses pengkajian bidang-bidang tertentu.
Berbeda dengan varial bebas, variabel terikat tidak mampu berdiri sendiri dan
sangat mudah mendapatkan pengaruh dari variabel lainnya. Sedangkan
variabel antara adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan
antara variabel terikat dengan variabel bebas menjadi hubungan yang tidak
langsung dan tidak dapat diamati dan diukur. Variabel ini merupakan variabel
penyela antara variabel bebas dengan variabel terikat, sehingga variabel bebas
tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel terikat.

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Variabel Bebas

Variabel Bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah gradasi


butiran dasar sungai yang akan dimodelkan dengan flume. Berikut disajikan
matrikulasi variasi gradasi butiran yang akan diuji.

3.2.1 Variabel Terikat

Variabel terikat yang akan diamati dalam penelitian ini adalah


kedalaman dan pola gerusan lokal pada hilir ambang pelimpah

3.2.3 Variabel Antara


Variabel antara yang digunakan dalam penelitian ini adalah variasi
debit. Jumlah variasi debit yang menjadi pembeda dari setiap pengamatan
adalah sebanyak 4 debit

Berikut disajikan tabulasi matrikulasi hubungan antara setiap variabel


dalam penelitian ini.

Tabel 3.1 Matrikulasi Variabel Penelitian

PENGAMATA Gradasi
N Kecil Sedang Besar
Debit 1 Sampel 1 Sampel 5 Sampel 9
Debit 2 Sampel 2 Sampel 6 Sampel 10
Debit 3 Sampel 3 Sampel 7 Sampel 11
Debit 4 Sampel 4 Sampel 8 Sampel 12

3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidraulika Teknik Sipil yang
terletak di Fakultas Pendidikan dan Teknologi Kejuruan Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat.

3.3 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan dalam waktu 5 bulan terhitung dari bulan
April – Agustus 2021 dengan detail tahapan waktu yang dibutuhkan dalam
penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.1 berikut,.

Tabel 3.1 Timeline Penelitian

Bulan Kegiatan (2021)


N
Uraian Penelitian April Mei Juni Juli Agustus
o
1-30 1-15 16-31 1-20 21-30 1-15 16-31 1-30
1 Persiapan
2 Pembuatan Proposal Usulan Penelitian
2 Seminar I
3 Survey Alat, Bahan dan Laboratorium
4 Pengadaan Alat dan Bahan Laboratorium
5 Pembuatan Benda Uji
6 Pengujian Laboratorium
7 Analisis dan Pengolahan Data
8 Bimbingan/ Asistensi
9 Seminar II
10 Sidang Akhir

3.4 Alat dan Bahan Penelitian


3.4.1 Alat
Berikut alat yang dibutuhkan pada penelitian ini, antara lain :

1. Circulating Flume : Standard circulating flume adalah peralatan


utama yang digunakan pada penelitian ini. Alat ini merupakan satu
set model saluran terbuka dengan dinding tembus pandang yang
diletakan pada struktur rangka kaku. Dasar saluran ini dapat di
ubah kemiringannya dengan menggunakan jack hidraulik yang
dapat mengatur kemiringan dasar saluran tersebut secara akurat
sesuai dengan yang kita kehendaki. Terpasangnya rel pada bagian
atas saluran tersebut memungkinkan alat ukur kedalaman dan
tabung pilot dapat digeser-geser sepanjang saluran. Saluran ini
dilengkapi dengan keran tekanan udara dan pada titik-titik tertentu
terdapat lubang untuk pemasangan model bangunan air dan alat
pengukur debit. Alat ini memilki dimensi sebagai berikut.

Panjang : 12,24 m
Lebar Saluran : 30 cm
Tinggi Saluran : 48 cm
Dinding Saluran : fiber glass
Dasar Saluran : stainless steel
Gambar 3.1 Circulating Flume

2. Stopwatch : Digunakan untuk menentukan waktu pengukuran


kedalaman gerusan maksimum selama running aliran dilakukan.

Gambar 3.2 Stopwatch

3. Point Gauge : Berupa mistar ukur vertikal yang digunakan


untuk mengukur kedalaman aliran dan kedalaman gerusan yang
terjadi dan diletakkan di atas flume.
Gambar 3.3 Point Gauge

4. Grid : Alat yang digunakan untuk mengukur kontur dan


koordinat gerusan yang terjadi selama pengujian.

Gambar 3.4 Grid

5. Waterpass : Alat yang digunakan untuk memastikan permukaan


dasar sungai telah rata dan siap untuk dialirkan alir
Gambar 3.5 Waterpass

5. Timbangan Digital : Untuk mengukur berat sedimen dasar


sungai yang akan diuji agar memenuhi kualifikasi rencana
Gambar 3.5 Timbangan

6. Sieve Shaker : Alat ini digunakan untuk menguji kelayakan


serta mengkelompokkan variasi gradasi butiran dasar sungai yang
nantinya akan digunakan.
Gambar 3.6 Satu Set Sieve Shaker

7. Perkakas Bengkel (Gergaji, lem kayu, paku, dll) : Alat yang


nantinya digunakan untuk membuat model ambang atau
groundsill.
3.4.2 Bahan
Sedangkan untuk bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Air : Air yang digunakan dalam penelitian ini bersal dari


Laboratorium Hidraulika FPTK UPI. Parameter aliran air yang
ditetapkan adalah waktu dan debit aliran air. Waktu aliran air
dibuat sama sedangkan debit aliran air dibuat bervariasi sehingga
selama pecobaan berlangsung, pasir dalam keadaan bergerak
sehingga dicapai keadaan aliran dengan angkutan sedimen (live
bed scour).

2. Pasir alam yang sudah diuji gradasinya : Bahan yang digunakan


sebagai sedimen dasar adalah pasir alam yang berasal dari
laboratorium struktur dan material FPTK UPI dengan berbagai
gradasi butiran. Sieve Analysis pada pasir dilakukan di
Laboratorium Struktur dan Material FPTK UPI menggunakan alat
sieve shaker.

3. Kayu : Kayu yang digunakan berasal dari toko material di


daerah Universitas Pendidikan Indonesia. Material kayu ini
nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk konstruksi
groundsill pelimpah

3.6 Setting Pemodelan dan Prosedur Eksperimen


3.6.1 Setting Pemodelan
Gambar 3.7 Tampak Samping Alat Circulating Flume

Penjelasan :

Dalam alat yang bernama Circulating Flume, terdapat 4 bagian penting


untuk berjalannya sebuah penelitian ini. Diantaranya :

1. Zona masuk, yaitu zona dimana aliran masuk setelah melalui pipa
proses pembuangan aliran dari bak tampung pembuangan aliran.
2. Zona sedimen, untuk pemberian sedimen setinggi 10 cm pada alat
Circulating Flume. Zona ini terletak pada hilir ambang sampai
ujung saluran atau zona pengeluaran aliran
3. Zona Ambang, yaitu zona dimana terjadinya gerusan lokal pada
hilir ambang yang akan diukur kedalaman gerusan lokalnya yang
terjadi.
4. Zona pengeluaran aliran, dimana aliran keluar dan di tampung
sebelumnya di kolam penampungan yang kemudian di alirakan
kembali menuju zona pengalir.

Setting alat perlu dilakukan sebelum pengujian dilakukan. Adapun


setting alat yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu :

1. Masukan pasir sebagai bahan sedimen dasar pada saluran flume


sebelah hilir setebal 10 cm.
2. Letakkan ambang pelimpah yang sebelumnya telah dikontruksi
pada As 3 meter dari hulu aliran
3. Beri marking beberapa titik yang akan menjadi pusat uji
kedalaman gerusan lokal pada ambang pelimpah
4. Nyalakan pompa dengan menaikan tombol saklar yang terdapat
pada kotak saklar, kemudian tekan tombol hijau.
5. Atur besaran aliran yang akan mengalir dengan memutar valve
pada alat tersebut.
6. Selama running aliran, akan ada aliran air yang masuk dan
perhatikan kedalaman gerusan lokal yang terjadi pada hilir
ambang pelimpah hingga terjadi kedalaman maksimum
7. Lakukan hal yang sama pada pengujian berikutnya.

3.6.2 Prosedur Eksperimen


1. Pra-Eksperimen
Pemeriksaan kesiapan komponen alat sediment–recirculating
flume, seperti pompa bagian penggerak tilting dan instrumen
panel control. Peralatan flume perlu dikalibrasi, terutama untuk
pembacaan debit aliran. Kalibrasi dilakukan dengan mengalikan
hasil pengukuran kecepatan dengan luas tampang aliran. Data
yang kemudian didapat lalu dibandingkan dengan data kalibrasi
peralatan.

2. Persiapan Alat bantu pembacaan


Selain peralatan seperti di atas, diperlukan alat bantu pembacaan
pada flume untuk mempermudah pembacaan pada pelaksanaan
penelitian. Pemasangan tanda batas ketinggian pasir sebagai dasar
saluran, mistar ukur untuk memonitor ketinggian aliran, grid dan
milimeter blok untuk mengukur ketinggian gerusan, dan mika
transparan untuk menggambarkan dalam / pola gerusan (Ys) dari
samping. Penempatan ambang pelimpah dipasang pada tempat
yang telah ditentukan, as ambang berjarak 3 meter dari ujung
penyearah arus di bagian hulu.

3. Persiapan Bahan Sedimen Dasar


Material dasar yang telah siap dituangkan dalam flume dari ujung
batas balok kayu bagian hulu sampai batas balok kayu bagian
hilir, dengan ketebalan 10 cm. Tebal material dasar pasir 10 cm.
Besaran ini diambil dengan mempertimbangkan kedalaman
gerusan maksimum yang terjadi termasuk degradasi dasar saluran
karena aliran.

4. Persiapan Running
Setelah flume terisi pasir, diratakan dan dipadatkan (alami),
selanjutkan dilakukan perataan permukaan dengan ketebalan 10
cm agar diperoleh permukaan yang mendekati datar. Untuk itu
dilakukan beberapa langkah sebagai pendekatan datar.
a. Dengan panduan marking pada dinding kaca flume, elevasi
pasir diatur sehingga permukaan mendekati rata-rata.
b. Dengan bantuan kayu dan rol pada flume pasir diratakan.
Air dialirkan dengan debet kecil, untuk membasahi pasir
agar diperoleh kepadatan seragam. Selama pengaliran
tersebut berlangsung, pengatur elevasi air (Adjustable
overshoot weir) ditutup kemudian dibuka perlahan-lahan
sambil dilakukan perataan permukaan pasir. Permukaan
pasir yang telah teraliri tersebut diperbaiki kembali hingga
mendekati permukaan rata (10 cm). Permukan yang
mengalami cekungan / penurunan elevasi karena semakin
padat akibat air, ditambahkan pasir kembali. Setelah semua
rata pompa dimatikan, dilakukan penyempurnaan perataan
lagi dengan bantuan sifat permukaan air yang selalu datar.
c. Pengecekan tahap akhir yaitu dialiri air kembali dengan
debit relatif kecil, kemudian diperhatikan jalanya air. Jika air
yang datang bersamaan rata kiri kanan maka permukaan
saluran sudah rata.

5. Pelaksanaan Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Hamparkan pasir dengan ketebalan 10 cm di bagian hilir
aliran, kemudian ratakan,
2) Siapkan supply air dari keran air yang ada, isi bak
penampung air hingga penuh,
3) Running debit air dengan mengatur besaran debit sesuai
variasi yang ditentukan sebelumnya
4) Setiap debit yang di runn memerlukan waktu selama 25
menit dilakukan juga pengukuran kedalaman geruasan lokal
yang terjadi pada hilir ambang
8. Dokumentasi hasil running untuk tiap variasi aliran

6. Pengambilan Data
1. Data sebelum running
a) Pengukuran awal pada alat yang meliputi ; panjang,
lebar, dan tinggi
b) Kedalaman pemasangan pasir yang harus setebal 10 cm
2. Data saat running
a) Kedalaman gerusan lokal yang terjadi tiap satuan
waktu, diukur dengan mistar dan stopwatch
b) Penandaan koordinat gerusan lokal yang terjadi dengan
benang dan grid
c) Waktu running (t) menit, diukur dengan stopwatch
3. Data setelah di running
a) Kedalaman gerusan lokal maksimum yang terjadi di
seluruh titik
b) Kontur kedalaman gerusan lokal maksimum0 yang
terjadi
c) Dokumentasi

Teknik pengambilan data yang dilakukan dengan mengamati


gerusan yang terjadi per satuan waktu lalu menghitung waktu
yang dibutuhkan sampai dengan gerusan tersebut stabil atau
mencapai gerusan maksimum pada tiap gradasi butiran dasar yang
berebeda yang dilakukan sebanyak 4 pengamatan. Perbedaan 4
pengamatan terletak di variabel antaranya yaitu dengan debit yang
berbeda – beda. Data gerusan diambil dengan cara mencatat hasil
dari tiap pengujian yang dilakukan di Laboratorium Hidrolika.
Pengamatan ini dilakukan dalam tiga (3) jenis diameter butiran
dan 4 debit berbeda setiap pengamatan, namun dengan bentuk dan
tipe groundsill yang tetap.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan


analisa grafik hubungan antara kedalaman gerusan maksimum terhadap waktu
pada hilir ambang. Dengan mengetahui persamaan garis polinomial antara
kedua variabel, maka hubungan kedalaman gerusan maksimum dan waktu
serta kedalaman gerusan maksimum dengan debit aliran akan dapat
ditentukan.

Regresi polinomial dapat digunakan untuk membedakan variabel


dalam dua atau lebih komponen-komponennya. Salah satu komponen tersebut
hadir dalam bentuk trend, bila diwujudkan dalam bentuk perubahan sistematik
nilai rata-rata atau ekspektasi matematik suatu variabel di daerah penelitian.
Fungsi - fungsi polinomial dapat digunakan untuk menggambarkan suatu
trend. Suatu variasi kondisi geologi sepanjang suatu garis yang dinyatakan
sebagai sumbu-x, dapat dinyatakan sebagai suatu fungsi yang kontinyu f (x).
Pengembangan deret Taylor fungsi f (x ) pada suatu titik x = a, memenuhi : f
(x ) = c0 + c1(x-a) + c2(x-a)2+ … Dimana koefisien ci dapat dihitung.
Perubahan dari nilai awal sepanjang sumbu-x terhadap suatu titik dekat pusat
pada range nilai x, maka nilainya dapat ditentukan.

Sedangkan untuk menggambarkan visual dari pola gerusan yang


terjadi maka data kontur hasil pengukuran kemudian diolah menggunakan
software (program komputer) surfer untuk mendapatkan tampilan kontur
permukaan di hilir groundsill lalu didapat sketsa pola kedalaman gerusan
lokal yang terjadi..
3.7 Alur Penelitian
Tahapan dan alur dari penelitian ini disajikan dalam bagan berikut.

Mulai

Pengadaan Alat
dan Bahan

Persiapan Alat dan


Bahan

Alat Bahan

Kalibrasi Alat TIDAK Sieve Analysis Pasir


TIDAK

OK OK

Setting Alat Pembuatan Model Ambang

Running Aliran

Analisis Data

Selesai

Gambar 3.8 Diagram Alur Penelitian


DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. S., Hasan, M. M., & Haque, M. (2017). Two-Dimensional Simulation of
Flows in an Open Channel with Groin-Like Structures by iRIC Nays2DH.
Mathematical Problems in Engineering, 2017.
https://doi.org/10.1155/2017/1275498
Cintia Purba, E., Suryani, L., Nur, A., Mustofa, H., & Syafe’i, H. (2020). Analisis
Tingkat Bahaya Erosi Daerah Hulu dan Hilir menggunakan Pendekatan
Universal Soil Lost Equation (USLE) pada Sebagian Daerah Aliran Sungai
(DAS) Garang, Kota Semarang, Jawa Tengah. Geosains Dan Teknologi, 3.
Halim, F. (2014). Pengaruh Debit Terhadap Pola Gerusan Di Sekitar Abutmen
Jembatan (Uji Laboratorium Dengan Skala Model Jembatan Megawati). Jurnal
Ilmiah Media Engineering, 4(1), 96596.
Ikhsan, J., & Hidayat, W. (2006). Pengaruh bentuk pilar jembatan terhadap potensi
gerusan lokal. Ilmiah Semesta Teknika, 9(2), 124–132.
Imran, H. Al. (2014). Pengaruh Kecepatan Aliran Terhadap Gerusan Lokal Disekitar
Pilar Heksagonal. Jurnal Teknik Sipil, 7(14), 606–612.
Junaidi, & Wigati, R. (2011). Analisis Parameter Statistik Butiran Sedimen Dasar
Pada Sungai Alamiah (Studi Kasus Sungai Krasak Yogyakarta). Wahana
TEKNIK SIPIL, 16(2), 46–57.
Kunarso, A., Angga, T., & Syabana, A. (2018). Arahan Konservasi Tanah
Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi Di Sub Das Perapau, Sumatera Selatan.
Jurnal Penelitian Kehutanan Sumatrana, 1(2), 13–26.
Kusuma, R. I., MIna, E., & Irhamna, A. F. (2013). Stabilisasi Tanah Lempung
Menggunakan Fly Ash Terhadap Nilai CBR. Jurnal Fondasi, 2(2), 1–13.
Mustika, W., & Sarita, U. (2017). ANALISIS KESTABILAN DASAR SUNGAI
WANGGU BERDASARKAN NILAI PARAMETER SHIELD 1 Wayan Mustika, 2
Umran Sarita. 3(November).
Pamungkas, E. J. W. (2014). Analisis Gerusan Di Hilir Bendung Tipe USBR-IV.
Jurnal Teknik Sipil Dan Lingkungan, 2(3), 389–396.
Suganda, E., Yatmo, Y. A., & Atmodiwirjo, P. A. (2009). Pengelolaan Lingkungan
dan Kondisi Masyarakat Pada Wilayah Hilir Sungai. Makara Human Behavior
Studies in Asia, 13(2), 143. https://doi.org/10.7454/mssh.v13i2.255
Tatipata, W. H. (2015). Analisis Volume Sedimen yang Mengendap Setelah T-Tahun
Waduk Beroperasi (Studi Kasus: Waduk Cirata). Jurnal Teknik Sipil, 22(3),
235–242. https://doi.org/10.5614/jts.2015.22.3.7
Tungga, A. W., Asmaranto, R., & Suprijanto, H. (2018). PERENCANAAN
GROUNDSILL PADA SUNGAI TINGA-TINGA DESA TUKAD TINGA-
TINGA KECAMATAN GEROKGAK KABUPATEN BULELENG BALI.
Pengairan UB Student Journal, Civil Engineering.
Wiyono, A., Nugroho, J., Widyaningtias, W., & Zaidun, E. R. (2011). Perbandingan
Gerusan Lokal yang Terjadi di Sekitar Abutment Dinding Vertikal Tanpa Sayap
dan dengan Sayap pada Saluran Lurus, Tikungan 90°, dan 180° (Kajian
Laboratorium). Jurnal Teknik Sipil, 18(1), 41.
https://doi.org/10.5614/jts.2011.18.1.4
Ponce, V.M., 1989, Engineering Hydrology, Principles and Practice, Prentice-Hall
Inc., New Jersey.

Anwas, M, 1994, Bentuk Muka Bumi, http:// elcom.umy.ac. id/elschool


/muallimin_muhammadiyah /file. php/1/materi/Geografi /Bentuk%20 muka
%20bumi. Pdf, diakses pada tanggal 28 April 2021.

Garde, R.J., Raju, K.G.R., 1985, Mechanics of Sediment Transportation and Alluvial
Stream Problems, Second Edition, Wiley Eastern Limited, Roorkee, India.

ASTM D 422, 2007, Standard Test Method for Particle-Size Analysis of Soils.

Neill, C. R.. 1973. Guide to Bridge Hydraulics. Project Committee on Bridge


Hydraulics – Roads and Trnsportatioan Association of Canada, Canada

Raudkivi, A.J. and Ettema, R.. 1983. Clear-Water Scour at Cylindrical Piers, Journal
of Hydraulic Engineering, Vol 109, No. 3, Am. Soc. Civ. Engrs., pp. 338-350.

Adminlendah. 2019. “Sejarah Panjang Jembatan Srandakan”,


https://lendah.kulonprogokab.go.id/detil/371/sejarah-panjang-jembatan-
srandakan. Diakses pada 2 Mei 2021 pukul 12.54

Istiarto. 2011. “Jembatan Kebonagung, Sleman, Yogyakarta”,


https://istiarto.staff.ugm.ac.id/index.php/2011/05/jembatan-kebonagung-
sleman yogyakarta/. Diakses pada 2 Mei 2021 pukul 12.54

S. Destyan, HN. Chandra. 2011. “Efek Domino Penurunan Dasar Sungai Brantas”,
https://www.antaranews.com/berita/255679/efek-domino-penurunan-dasar-
sungai-brantas/. Diakses pada 2 Mei 2021 pukul 13.10
Kementerian Pekerjaan Umum. Desember 2004. PD T-12-2004.A : Perencanaan
teknis bendung pengendali dasar sungai. Kementerian Pekerjaan Umum,
Jakarta.

Webb, D.J., 2000, Bridge Scour: Application of Ground Penetrating Radar,


Proceedings of the First International Conference on the Application of
Geophysical Methodologies and NDT to Transportation Facilities and
Infrastructure, Federal Highway Commission and Missouri Department of
Transportation.

Laursen, E.M., 1960, Scour at Bridge Crossings, Journal Hydraulic Division, ASCE,
86: 39-54.

Richardson, E.V., Harrison, L.J., and Davis, S.R., 1991, Evaluating Scour at Bridges:
Hydraulic Engineering Circular No. 18, Publication No. FHWA-IP-90-017,
Office of Research and Development.

Froehlich, D.C., 1989, Local Scour at Bridge Abutments, San Francisco, California:
Proceedings, ASCE, National Hydraulics Conference, 922-927.

Ven Te Chow, 1992, Open Channel Hydraulics, Erlangga, Jakarta.

Alsa, Asmadi. (2004) Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hadi, Sutrisno. (1985) Metodologi Research Jilid 4. Yogyakarta: Yayasan Penerbit


Fakultas Psikologi UGM.

Latipun. (2002) Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press

Sukardi. (2011). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.


Jakarta: PT Bumi Aksara.

Anggara, Vickky & Arsyad, Muhammad & Putra, Mukhsan. (2020). The Spread of
Flow Patterns and Sedimentations in Estuary Area with Computational
Simulations.

Mananoma, Tiny and Legono, Djoko and Rahardjo, Adam (2003) FENOMENA


ALAMIAH EROSI DAN SEDIMENTASI SUNGAI PROGO
HILIR. FENOMENA ALAMIAH EROSI DAN SEDIMENTASI SUNGAI
PROGO HILIR. pp. 1-70.
AD. Sudiyono, Lutjito, P. Didik. (2014). MODEL PENGENDALIAN GERUSAN DI
SEKITAR ABUTMEN DENGAN PEMASANGAN GROUNDSILL DAN
ABUTMEN BERSAYAP. Laporan Penelitian Unggulan UNY 2014.

Juraidi dan Irwanto. (2018, 29 November). Erosi Sungai Idanogawo akibat


penambangan ancam pemukiman penduduk. Diakses pada 13 Mei 2021, dari :
https://www.antaranews.com/berita/772746/erosi-sungai-idanogawo-akibat-
penambangan-ancam-pemukiman-penduduk

Sulaeman, Dede dan Westhoff, Thomas. (2020, 13 Februari). Cara Mengurangi


Risiko Erosi Tanah di Indonesia. Diakses pada 13 Mei 2021, dari : https://wri-
indonesia.org/id/blog/cara-mengurangi-risiko-erosi-tanah-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai