PERENCANAAN
JARINGAN REKLAMASI RAWA
Setelah data hasil survei investigasi selesai dianalisa, hasilnya akan dapat digunakan untuk
perencanaan system jaringan reklamasi rawa. System planning merupakan salah satu
bagian keberlanjutan dalam SID (Survey, Investigation and Design), yang merupakan
proses perencanaan tata guna lahan dan kebutuhan infrastrukturnya. Sistem planning ini
merupakan bagian utama perencanaan pengembangan rawa, yang didalamnya
menjelaskan tentang hasil analisis hidrotopografi, analisis hidrologi, analisis tanah
pertanian, analisis agronomi, yang kemudian dirangkum dalam suatu rencana
pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan petani, beserta segenap sarana tata air,
jaringan transportasi berikut tata cara pengelolaan dan pemeliharaannya.
Bab ini membicarakan berbagai unsur penting dalam perencanaan system jaringan
reklamasi rawa. Bangunan dibagi-bagi menurut fungsinya dan akan dijelaskan juga
pemakaiannya. Rekomendasi/anjuran mengenai pemilihan tipe-tipe bangunan pengatur
diberikan dalam bab ini. Uraian fungsional umum mengenai unsur-unsur jaringan rawa
akan merupakan bimbingan bagi para perencana dalam menyiapkan perencanaan tata
letak dan jaringan rawa pasang surut. Perencanaan system jaringan untuk jaringan baru
maupun untuk peningkatan jaringan yang sudah ada meliputi :
5) Tata Letak dan Jenis Bangunan Pengendali Air Pada Saluran Lihat Bagian 4.8
Error: Reference source not found : Menyajikan gambaran luas mengenai aspek-aspek
disain dan konstruksi yang paling khas dilahan rawa.
Tabel Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -1 : Tipikal Aspek Untuk Disain Dan
Konstruksi di Lahan Rawa
Kondisi Fisik Pengaruh Terhadap Disain
Tanah Bagian bawah sangat lembut sampai lembut Fondasi jalan dan bangunan
Stabilitas talud saluran dan tanggul
Tidak ada pasir, koral dalam areal Pengangkutan pasir, koral dari tempat lain
meningkatkan biaya konstruksi
Karena areal-areal rawa kelihatan seluruhnya datar, maka sering terpikirkan bahwa lokasi
saluran yang tepat tidaklah penting. Hal ini sebagian benar. Sangat dianjurkan agar
mengikuti pola-pola drainase, sungai alam, areal rendah, dll. Menempatkan saluran-saluran
drainase melalui areal-areal yang paling rendah membantu mencegah kondisi tersumbat
pada areal-areal rendah ini dan akumulasi air drainase yang berkualitas buruk di areal-areal
yang lebih tinggi.
Perbedaan paling mendasar antara fungsi saluran pada jaringan Irigasi dan jaringan rawa
adalah pada fungsi saluran. Dalam pengembangan Irigasi yang direncanakan dan dibangun
terlebih dahulu adalah saluran supply (pembawa), mulai dari bangunan utama (bendung
atau bendungan), saluran primer, saluran sekunder dan akhirnya saluran tersier bahkan
kuarter. Pembangunan jaringan Rawa dimulai dari saluran primer, saluran sekunder dan
Jaringan saluran menduduki fungsi sentral dalam pengembangan jaringan rawa dan tata
letak lahan rawa pada dasarnya mengikuti tata letak dari jaringan saluran. Pengembangan
jaringan saluran pada daerah Rawa pasang surut dimaksudkan untuk mencapai beberapa
tujuan:
1) Tercapainya keseimbangan air antara evapotranspirasi, air hujan, air pasang yang
menggenangi lahan;
2) Tresedianya pasokan air yang mencukupi pada waktu pasang secara penggenangan
(infiltrasi);
3) Mengencerkan air bermutu jelek (air sulfat masam beracun) waktu pasang dan
membuangnya pada waktu air surut.
Tata letak rencana pemukiman pada dasarnya mengikuti tata letak dari jaringan saluran.
Tata letak sistem saluran, yang pada gilirannya sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisik
lahan, kondisi perbatasan hidrologi, dan jenis tataguna lahan yang diperkirakan. Sistem
reklamasi secara tradisional dikenal dengan istilah sistem handil, sedangkan yang
dikembangkan dengan lebih terencana dan kawasan yang lebih luas antara lain dengan
sistem anjir, sistem garpu, dan atau sistem sisir.
Untuk lahan rawa, baik pasang surut, prinsip maupun rawa-lebak yang penting dalam
setiap disain haruslah memanfaatkan fluktuasi muka air secara maksimum guna
menghindari terjadinya kondisi air yang tergenang, dan membiasakan unsur-unsur asam
dan racun keluar dari saluran bilamana memungkinkan. Berdasarkan bentuk dari sistem
jaringan tata air yang telah dikembangkan dalam reklamasi rawa pasang surut yang telah
diterapkan di Indonesia, terdapat empat sistem jaringan pengelolaan air yaitu sistem handil
(tradisionil), sistem anjir (semi teknis), sistem garpu, dan sistem sisir Gambar Perencanaan
Reklamasi Rawa
Saluran primer merupakan saluran yang paling pertama dibangun. Saluran ini
mengumpulkan beban drainase dari sejumlah saluran sekunder. Dalam jaringan Rawa
dengan sitem sisir terdapat lebih dari satu saluran primer yang masing-masing mengalirkan
air buangan langsung kesungai. Jika terdapat sungai utama yang cukup berdekatan, sistem
jaringan primer sistem sisr dapat dibuat sedemikian sehingga terdapat pemisahan antara
jaringan saluran supply dan drain, sehingga aliran bersifat 1 arah.
Dalam jaringan Rawa dengan system garpu terdapat tiga saluran primer yang ketiganya
kemudian mengalirkan air ke saluran primer pengumpul terhubung langsung kesungai. Jika
kondisi topografi memungkinkan, bentuk petak primer sehaiknya segi empat untuk
mempermudah pengaturan tata letak dan memungkinkan drainase dan supply air secara
efisien. Panjang saluran primer sebaiknya kurang dari 10000 m; meski terkadang panjang
saluran ini ada yang mencapai 15000 m.
Saluran sekunder merupakan kelompok saluran yang paling kedua dibangun. Saluran ini
mengumpulkan beban drainase dari sejumlah saluran tersier. Biasanya saluran sekunder
mengalirkan ke bangunan pengatur air sekunder yang terletak dekat pertemuan dengan
saluran primer. Jika kondisi topografi memungkinkan, bentuk petak sekunder sehaiknya
bujur sangkar atau segi empat untuk mempermudah pengaturan tata letak dan
memungkinkan drainase dan supply air secara efisien. Panjang saluran sekunder sebaiknya
kurang dari 2000 m; tetapi pada saluran sekunder yang terbuka dikedua ujungnya kadang-
kadang panjang saluran ini mencapai 3000 m s/d 4000 m.
Luas petak sekunder sangat bergantung pada jenis tanaman yang akan ditanam dan
jumlah petani dalam satu petak sekunder. Untuk Daerah rawa yang ditanami padi, luas
petak yang ideal antara 100-200 ha, sedang untuk kelapa sawit, luas petak yang ideal
antara 20-20 ha, kadang-kadang sampai 30 ha. Petak yang kelewat besar akan
mengakibatkan pembuangan air yang tidak efisien.
Saluran sekunder merupakan kelompok saluran ketiga yang dibangun. Saluran ini
mengumpulkan beban drainase dari lahan pertanian. Perencanaan dasar yang berkenaan
dengan unit lahan rawa adalah petak tersier. Jika kondisi topografi memungkinkan, bentuk
petak tersier sehaiknya bujur sangkar atau segi empat untuk mempermudah pengaturan
tata letak dan memungkinkan drainase dan supply air secara efisien. Panjang saluran
kuarter Iebih baik di bawah 500 m, tetapi prakteknya kadang-kadang sampai 800 m.
Luas petak tersier sangat bergantung pada jenis tanama yang akan ditanam dan jumlah
petani dalam satu petak tersier. Untuk Daerah rawa yang ditanami padi, luas petak yang
ideal antara 10-20 ha, sedang untuk kelapa sawit, luas petak yang ideal antara 20-20 ha,
kadang-kadang sampai 30 ha. Petak yang kelewat besar akan mengakibatkan pembuangan
air yang tidak efisien. Di petak tersier pengaturan air, eksploitasi dan pemeliharaan
menjadi tanggung jawab para petani (P3A/GP3A) yang bersangkutan, di bawah bimbingan
pemerintah.
Mengikuti persetujuan mengenai hasil analisa kesesuaian lahan rawa, langkah selanjutnya
adalah menyusun rancangan rencana untuk tataguna lahan mendatang dan garis besar
mengenai prasarana yang diperlukan Rencana tersebut harus berdasarkan pada :
Kesesuaian Lahan
Pola tanam yang sekarang dan kecenderungan mendatang yang diharapkan dapat
pada jaringan-jaringan yang sudah ada.
Keinginan Petani
Sebelum pekerjaan disain dimulai, harus sudah ada keputusan tentang mengenai tataguna
lahan yang direncakan sesuai dengan jenis model lahan pertanian yang harus dipenuhi
oleh daerah proyek (berbagai bagian dari daerah proyek), khususnya dikaitkan dengan
berbagai persyaratan drainase untuk tanaman padi, palawija dan tanaman keras.
Keputusan seperti itu harus didasari kesesuaian lahan, khususnya aspek-aspek pengelolaan
air, pertimbangan kebijaksanaan, aspirasi petani dan pengembangan yang diperkirakan
dimasa mendatang. Secara umum, diharapkan agar palawija, juga pada waktu musim
hujan akan memperoleh kepentingan dan disain tersebut harus mengantisipasi
perkembangan tersebut.
Kesepakatan yang luas mengenai tataguna lahan yang direncanakan adalah penting untuk
disain prasarana serta untuk merencanakan program perluasan, fasilitas pendukung dll.
Namun demikian, mengingat sulitnya meramalkan kecenderungan mendatang dalam
produksi pertanian, maka sangat dianjurkan agar menjaga prasarana fisik tetap sehingga
perubahan-perubahan mendatang terhadap tataguna lahan dapat disesuaikan dengan
mudah.
Pada Areal-Areal Baru, langkah pertama dalam perencanaan sistem adalah menetapkan
model pertanian yang sesuai untuk areal baru tersebut dan dikaitkan dengan
pengelolaan sistem. Secara hukum, pemilik lahan menurut program transmigrasi
memperoleh lahan seluas 2,25 ha, yang biasanya terbagi sebagai berikut :
b) Lahan usaha pertama seluas 1,0 ha untuk tanaman sawah (padi atau palawija)
c) Lahan usaha kedua seluas 1,0 ha untuk tanaman sawah atau tanaman keras, yang
akan dikembangkan pada tahap berikutnya.
Lahan usaha pertama dan kedua harus dekat dengan lahan rumah dan harus memiliki
akses langsung kesaluran tersier. Lahan usaha tersebut dapat berdampingan atau tidak
berdampingan satu sama lainnya. Model pertanian alternatif lain yang dapat
dipertimbangkan adalah pengembangan untuk usaha perkebunan atau tambak.
Tata letak petak lahan untuk areal permukiman di lahan rawa mempunyai persyaratan
sebagai berikut:
a) Drainase : lahan rumah dan lahan usaha semuanya harus memiliki akses yang mudah
dicapai oleh jaringan drainase. Pemukiman memerlukan lahan kering, drainase harus
mampu menurunkan air tanah minimal sedalam 50 cm dari permukaan lahan. Ini
biasanya memerlukan saluran-saluran tersier yang memotong areal-areal lahan usaha
sehingga masing-masing atau paling tidak setiap lahan usaha lainnya berbatasan
dengan saluran. Jarak saluran tersier selanjutnya menjadi dua kali atau empat kali
lebar lahan usaha. Biasanya, diterapkan jarak antara 200 m dan 400 m untuk saluran-
saluran tersier tersebut. Tata letak harus dibuat sedemikian rupa sehingga jalan aliran
air menjadi sedekat mungkin.
b) Fasilitas Umum : Lahan fasilitas umum berada dalam satu hamparan yang terdiri dari
perkantoran pemerintahan daerah paling tidak kelurahan, fasilitas olah raga minimal
sebesar lapangan sepak bola, fasilitas pasar dan daerah pertokoan, penjernihan air
minum, fasilitas peribadatan, penggilingan padi, fasilitas terminal kendaraan darat,
fasilitas jaringan listrik dan kantor PLN, fasilitas perbankkan, fasilitas keamanan,
jembatan penyebrangan saluran/ sungai, penyediaan BBM. Jarak jangkau dari fasilitas
umum ke lahan pekarangan penduduk tidak boleh terlalu jauh supaya memudahkan
pelayanan dari pemerintahan daerah dan penggunaan fasilitas pengadaan saprodi dan
pemasaran hasil pertanian..
c) Mudah dicapai : pada banyak jaringan, jalan masuk menuju jaringan adalah melalui
air. Pusat-pusat Permukiman penduduk di lahan rawa berada di pinggir saluran primer
atau saluran navigasi atau sungai alam dengan sistem drainase lahan pemukiman yang
mandiri tidak bersatu dengan sistem drainase lahan usaha budidaya tanaman pangan
yang memerlukan air tinggi. Angkutan internal biasanya melalui darat dan oleh karena
itu lahan rumah harus terletak dekat dengan seluruh jalan yang menghubungkan lahan
rumah dengan pusat desa. Jalan-jalan kecil akan menyediakan akses kelahan usaha
pertanian. Pemukiman di daerah rawa konvensional (dibuka penduduk) selalu terletak
di pinggir sungai dan pada tempat yang lebih tinggi. Pemukiman di daerah rawa yang
dibuka oleh pemerintah harus dekat dengan sarana transportasi air dan jalan darat,
selalu menghadap saluran primer atau saluran navigasi atau sungai alami, tersedia
sarana transportasi yang menuju fasilitas umum.
d) Jarak Perjalanan : lahan usaha pertanian harus berada dalam jarak perjalanan yang
mudah dijangkau dari lahan rumah. Lahan rumah juga harus berada pada jarak
perjalanan yang dekat dari pusat desa. Jarak dari fasilitas umum ke perumahan
penduduk < 5 km. Jarak tempuh dari pemukiman ke lahan usaha budidaya tidak terlalu
lama, atau sekitar 1.5 – 2 km
e) Garis Sempadan saluran dan jalan : harus cukup lebar untuk memungkinkan
perubahan-perubahan dimasa mendatang. Pada Awalnya, seringkali hanya dipasang
jaringan drainase minimum, yang dikemudian hari harus ditingkatkan dengan
pembuatan saluran-saluran tambahan. Sama halnya di kebanyakan areal, jalan masuk
mungkin akan bermanfaat dalam jangka panjang. Alinemen saluran dan jalan untuk
waktu mendatang harus sudah dimasukan dalam disain awal guna menghindari
masalah-masalah yang menyangkut kepemilikan lahan dikemudian hari.
dikelompokan menjadi satu. Lahan padi dapat mengaliri areal-areal tanaman keras,
namun areal-areal tanaman keras tidak dapat mengaliri lahan padi.
g) Batas Pembukaan Lahan : Biasanya lahan rumah dan lahan usaha pertama dibuka
oleh pemerintah dan selanjutnya membentuk blok-blok yang berdampingan.
h) Suplai air untuk keperluan rumah tangga : untuk suplai air keperluan rumah
tangga, lokasi lahan rumah yang dekat dengan saluran-saluran (primer atau sekunder)
sering lebih disukai.
Zona penyangga atau jalur hijau masing-masing lebar 100 m, 200 m dan 300 m harus
dipertahankan sepanjang sungai, sungai alam dan laut. Jalur hijau ini berguna untuk
mempertahankan keseimbangan lingkungan, untuk perkembangan biota darat, menahan
angin sehingga kelembaban bias dipertahankan evapotranspirasi akan rendah. Jalur hijau
di pantai untuk kehidupan biota air laut terutama tempat hidupnya udang, binatang laut
yang dipantai, menahan erosi dari ombak, dll. Jalur hijau pada jaringan-jaringan yang
sudah ada, dimana batasnya telah terganggu dan telah diusahakan, harus dianggap
sebagai bagian areal jaringan yang telah diusahakan. Bagi jaringan Daerah Rawa seperti
ini, diharuskan membuat jalur hijau walaupun lebar jalur hijau 100 m, 200 m dan 300 m
tidak terpenuhi.
d) Tipe tanah
Uraian mengenai berbagai parameter ini dan dasar perhitungan/evaluasi dijelaskan sebagai
berikut:
4.4.1 Hidro-Topografi
Hidrotopografi lahan menunjukkan keterkaitan antara elevasi muka lahan, muka air pasang
dan efek samping muka air pasang dalam sistem jaringan saluran antara sungai dan lahan
yang bersangkutan. Kategori hidrotopografi lahan dapat merupakan petunjuk sejauh mana
kemungkinan luapan air dapat menggenangi lahan, dan sebaliknya genangan yang ada
dapat didrainase.
Berdasarkan hidrotopografinya, wilayah lahan rawa pasang-surut (Zona I dan Zona II)
dikelompokkan atas empat kategori hidrotopografi lahan rawa pasang surut sebagai berikut
(lihat Gambar Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -4). Tabel Perencanaan Jaringan
Reklamasi Rawa -2 memperlihatkan focus utama pengelolaan air yang bagaimana yang
memungkinkan dalam berbagai kegiatan hidro-topografi.
1) Kategori A : Merupakan areal lahan rawa yang dapat terluapi air pasang, baik di
musim hujan maupun di musim kemarau. Lahan dapat diluapi oleh air pasang paling
sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari siklus pasang purnama, baik musim hujan maupun
musim kemarau. Permukaan lahan umumnya masih lebih rendah jika dibandingkan
elevasi air pasang tinggi rata-rata. Umumnya areal ini terletak di lahan cekungan atau
dekat dengan muara sungai. Lahan ini potensial untuk ditanami dua kali padi sawah
setahun, karena ada jaminan suplai air pada setiap musim.
2) Kategori B : Merupakan areal lahan rawa yang hanya dapat terluapi air pasang di
musim hujan. Permukaan lahan umumnya masih lebih tinggi dari elevasi air pasang
tinggi rata-rata di musim kemarau, namun masih lebih rendah jika dibandingkan elevasi
air pasang tinggi rata-rata di musim hujan. Lahan dapat diluapi oleh air pasang paling
sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari siklus pasang purnama hanya pada musim hujan
saja. Lahan ini potensial ditanami padi sawah di musim hujan, sedangkan di musim
kemarau ditanami palawija.
3) Kategori C : Merupakan lahan rawa yang tidak dapat terluapi oleh air pasang
sepanjang waktu (atau hanya kadang-kadang saja). Permukaan lahan umumnya relatif
lebih tinggi jika dibandingkan kategori A dan B, sehingga air pasang hanya
berpengaruh pada muka air tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm dari
permukaan lahan. Karena lahan tidak dapat terluapi air pasang secara reguler, akan
tetapi air pasang masih mempengaruhi muka air tanah. Elevasi lahan yang relatip
tinggi dapat mengakibatkan banyaknya kehilangan air lewat rembesan. Lahan ini cocok
untuk sawah tadah hujan/tegalan, dan ditanami padi tadah hujan atau palawija.
4) Kategori D : Merupakan lahan rawa yang cukup tinggi sehingga sama sekali tidak
dapat terjangkau oleh luapan air pasang (lebih menyerupai lahan kering). Permukaan
air tanah umumnya lebih dalam dari 50 cm dari permukaan lahan. Variasi kapasitas
drainase tergantung perbedaan antara muka tanah di lahan dan muka air di sungai
terdekat dengan lahan. Lahan cocok diusahakan untuk lahan kering/tegalan, ditanami
padi gogo/palawija dan tanaman keras.
Gambar Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -4 : Kategori Hidrotopografi Rawa Pasang Surut
Hidro- Perencanaan
Pola Tanam Penyelidikan
topografi Pengelolaan Air
A Padi (MH) Drainase air (MH) padi; Optimasi suplai pasang surut,
Padi (MK) Drainibilitas (MH) padi; saluran besar, jaringan saluran
Irigasi pasang surut (MK) padi; yang rapat, saluran ganda.
Perlindungan banjir (MH); Perlindungan banjir
Varietas lokal: sistem saluran
terbuka.
Padi HYV: bangunan pengatur
muka air di saluran
tersier/kuarter.
A (Salinitas Padi (MH) Drainase air (MH) padi; Optimasi suplai pasang surut,
pada musim Palawija (MK) Drainase air (MK) palawija ; saluran besar, jaringan saluran
kemarau), B Drainibilitas (MH) padi; yang rapat, saluran ganda.
Irigasi pasang surut (MK) padi; Jika diperlukan: perlindungan
Perlindungan banjir (MH); banjir
Varietas lokal: sistem saluran
terbuka.
Padi HYV: bangunan pengatur
muka air dan/atau kolam air,
pengatur salinitas air di saluran
tersier/kuarter.
Irigasi pasang menghendaki penggenangan lahan pada saat air pasang tinggi minimal 4 - 5
hari dalam putaran pasang tinggi/pasang rendah rata-rata 15 hari. Dengan penggenangan
yang lebih rendah, maka suplai air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan persyaratan
irigasi.
Apakah suatu areal dapat diirigasi pasang atau tidak, tergantung pada elevasi areal
tersebut dihubungkan dengan elevasi muka air pasang surut di sungai dan faktor
kelembaman tinggi muka air tinggi tersebut pada sistem saluran. Faktor kelembaman ini
sebaliknya tergantung atas dimensi saluran dan bangunan, serta kondisi ada tidaknya
penggenangan pasang surut antara sungai dan areal tersebut. Makin besar penggenangan
umumnya akan makin besar pula kerugian tinggi.
Potensi irigasi pasang (kelas hidrotopografi) hanya dapat ditentukan secara akurat dengan
menggunakan program komputer atas dasar perhitungan aliran tidak tetap, setelah
dimensi-dimensi saluran ditentukan. Indikasi paling awal dapat diperoleh sebagai berikut:
1) Tinggi muka air penentu di sungai adalah tinggi muka air tinggi harian dengan
kemungkinan terlampaui sebesar 30 % (yaitu tinggi muka air terlampaui 4 - 5 hari dari
putaran 15 hari. Tinggi muka air ini ditentukan berdasarkan analisis frekuensi tinggi
muka air tinggi harian selama musim tanam.
2) Kelembaman tinggi muka air tinggi dari sungai ke sawah diperkirakan secara kasar
sebagai berikut:
Jika tidak ada penggenangan antara sungai dengan areal bersangkutan, maka
faktor kelembaman adalah = 2 cm/km.
Jika ada penggenangan antara sungai dengan areal bersangkutan, maka faktor
kelembaman adalah = 5 cm/km.
3) Tambahan kerugian tinggi terjadi pada tempat dimana air harus melalui pintu-pintu
(sempit) gorong-gorong. Berbeda dengan aliran drainase, perubahan-perubahan pada
tinggi dasar saluran diperkirakan tidak akan mempengaruhi tinggi muka air tinggi
pasang surut.
4) Kelembaman total dikurangi dari tinggi muka air penentu di sungai, dan jika elevasi
lahan ternyata lebih rendah daripada tinggi muka air yang diperoleh, maka lahan
tersebut kemungkinan dapat diirigasi dengan air pasang.
Dalam rangka desain rinci, potensi irigasi pasang harus ditentukan untuk setiap/bagian unit
tersier atas dasar kerugian tinggi yang telah diperhitungkan dan elevasi lahan rata-rata
pada setiap (bagian) unit tersier tersebut. Selanjutnya areal-areal yang mempunyai
potensi irigasi pasang dapat digambarkan pada peta. Walaupun adanya proses
penurunan/subsidensi lahan diperkirakan dapat meningkatkan potensi irigasi pasang dalam
jangka panjang, namun dalam perencanaan keuntungan irigasi tersebut akan sulit
diwujudkan.
Potensi kedalaman drainase (drainibilitas) merupakan kemungkinan muka air tanah dapat
diturunkan pada elevasi tertentu di bawah permukaan tanah selama masa tanam, kecuali
jika hujan lebat. Batas kedalaman drainase minimum yang yang diperlukan untuk berbagai
jenis tataguna lahan adalah sebagai berikut :
Ditinjau dari kelas drainabilitasnya, maka lahan rawa pasang-surut dapat digolongkan atas
tiga kategori, yakni :
1) Drainabilitas dangkal (<30 cm) : Elevasi air tanah hanya dapat diturunkan < 30 cm di
bawah permukaan. Kondisi ini umumnya menjadi kendala untuk pengembangan
palawija atau tanaman keras, karena tanaman ini memerlukan aerasi pada zona
perakarannya; sedangkan untuk tanaman padi juga dapat menimbulkan gangguan
pertumbuhan.
2) Drainabilitas sedang (30-60 cm) : Elevasi air tanah dapat diturunkan 30-60 cm di
bawah permukaan. Umumnya cukup sesuai untuk pengembangan padi/palawija;
sedangkan untuk tanaman keras, penanamannya perlu dilakukan di atas gundukan
(puntukan).
3) Drainabilitas dalam (>60 cm) : Elevasi air tanah dapat diturunkan sampai >60 cm di
bawah permukaan lahan. Umumnya drainase tersebut tidak menjadi kendala untuk
berbagai jenis tanaman.
1) Dasar drainase adalah tinggi muka air pasang surut pada keluaran saluran utama di
sungai selama sebulan dengan tinggi muka air paling tinggi di musim hujan.
2) Curah hujan yang akan didrainase adalah curah hujan bulanan yang paling tinggi yang
terjadi satu kali dalam 5 tahun selama bulan paling basah dalam musim tanam,
diperkirakan akan terbagi rata selama bulan tersebut.
Berdasarkari hasil perhitungan aliran dapat ditentukan ketinggian muka air rata-rata pada
saluran tersier. Perkiraan awal dapat dilakukan dengan rumus aliran tetap (Manning),
dengan menggunakan tinggi muka air pasang surut rata-rata pada pintu saluran keluar
sebagai dasar drainase dan memperkirakan drainase tersebut akan berlangsung selama 12
jam per hari. Tipikal kerugian tinggi pada saluran-saluran yang akan diperkirakan adalah
sebagai berikut:
Kerugian tinggi pada bangunan pengendali air (jika ada) adalah kira-kira 10 cm. Pada
tempat dimana terjadi kenaikan pada dasar saluran (misalnya pada waktu transisi
saluran primer ke saluran sekunder atau saluran sekunder ke saluran tersier), kerugian
tinggi tambahan sebagai akibat pengaruh air bendungan harus dipertimbangkan, yakni
sekitar 5 cm sebagai kerugian tinggi minimum pada setiap transisi dalam sistem
saluran tersebut.
Dengan demikian tinggi muka air rata-rata yang ditemukan pada saluran tersier ditambah
10 cm lagi untuk kerugian tinggi pada aliran air tanah. Potensi drainase yang sekarang
diartikan sebagai kedalaman tinggi muka air tanah yang ditemukan dibawah permukaan
lahan. Potensi drainase di masa mendatang perlu mempertimbangkan terjadinya
penyusutan/subsidensi lahan.
Potensi kedalaman drainase untuk setiap unit tersier ditentukan berdasarkan elevasi lahan
rata-rata pada unit tersier tersebut. Jika terdapat unit tersier yang luas dan informasi yang
cukup akurat, maka unit tersier tersebut dapat dibagi lagi menjadi dua bagian atau lebih
dan kemampuan drainase untuk masing-masing bagian dapat ditentukan secara terpisah.
Pada areal-areal dimana batas drainabilitas tersebut tidak dapat dicapai, maka diperlukan
tindakan-tindakan khusus, seperti perubahan-perubahan dalam tata letak saluran, atau
pemasangan bangunan-bangunan drainase (pintu kelep) guna mencegah antar aliran pada
waktu air pasang tinggi dan/atau untuk mendrainase hanya pada waktu tinggi muka air
sangat rendah diluar bangunan. Pilihan terakhir ini akan mengurangi waktu drainase
sampai kurang dari 12 jam per hari, yang harus diimbangi dengan dimensi saluran yang
lebih luas untuk mendrainase jumlah air yang sama pada waktu yang lebih singkat.
Naik turunnya muka air laut ini memasuki muara sungai dan selanjutnya merambat kearah
menimbulkan intrusi air asin. Intrusi air asin mencapai jarak terjauh pada saat puncak
pasang tinggi, tepat sebelum air mulai mengalir ke luar lagi, dan mencapai jarak terdekat
pada saat surut terendah tepat sebelum air mulai mengalir masuk ke sungai. Karena air
asin sedikit lebih berat dari pada air tawar, maka air tawar akan berada dipermukaan
sedangkan air asin berada di bagian yang lebih dalam, sehingga disebut intrusi air asin
berlapis. Walaupun demikian, pada kebanyakan kasus, air asin dan air tawar akan
bercampur dengan baik dan disebut intrusi air asin campuran.
Adanya pengaruh intrusi air asin (salin) merupakan pembatas untuk pengusahaan
pertanian di daerah pasang-surut, terutama di musim kemarau. Pengaruh akibat salinitas
terhadap penurunan hasil pada tanaman umumnya terjadi berangsur/bertahap, tergantung
dari toleransi tanaman, tipe tanah, metoda irigasi, iklim, dan faktor ketergantungan waktu
(seperti lama suplai air, tingkat pertumbuhan). Batas toleransi salinitas pada musim hujan
relatif lebih tinggi, mengingat adanya pengaruh penetralan dari air hujan.
Nilai kritikal salinitas untuk tanaman padi adalah DHL = 5 mS/cm ini memperlihatkan
periode intrusi salin yang diperhitungkan dalam sistem tata saluran. Berdasarkan
sampainya pengaruh air pasang surut di musim hujan dan intrusi air asin atau payau di
musim kemarau, lahan rawa pasang surut dapat dibagi menjadi dua zona rawa sbb :
Rawa pasang-surut yang dipengaruhi pasang-surut air laut, khususnya pada sungai-
sungai utamanya, dimana terjadi intrusi air asin/payau di musim kemarau. Intrusi air
asin (dhl 5 ms/cm) di saluran utama berlangsung > 1 bulan. Bila lahan ini mendapat
intrusi atau pengaruh air laut lebih dari 4 bulan dalam setahun dan kandungan na
dalam larutan 8-15%, lahan ini disebut lahan salin.
Rawa Pasang-surut Air Tawar merupakan zona rawa yang dipengaruhi pasang-surut air
laut, khususnya pada sungai-sungai utamanya, dimana pengaruh pasang-surut terjadi
di musim hujan namun tidak pernah mengalami intrusi air asin/payau sepanjang tahun.
intrusi air asin (DHL 5 mS/cm) di saluran berlangsung 1 bulan.
Merupakan lahan yang tanahnya memiliki lapisan pirit atau sulfidik pada kedalaman
<50 cm dan semua tanah yang memiliki horison sulfurik, walau kedalaman lapisan
piritnya >50 cm. Kebanyakan tanah sulfat masam dilahan rawa pasang surut
mengandung bahan pirit, atau lapisan yang mengandung bahan sulfat masam yang
letaknya dibawah permukaan tanah.
Sepanjang kandungan bahan pirit ini terendam air, maka tidak akan membahayakan
tanaman, dalam kondisi seperti ini, tanahnya disebut tanah sulfat masam potensial.
Pada waktu lahannya direklamasi dan drainasenya berkembang baik, bahan pirit ini
mulai teroksidasi. Jika keberadaan tanah sulfat masam masih dianggap
membahayakan, maka strategi pengelolaan air dikawasan itu berbeda dengan cara-
cara yang normal . Umumnya, muka air disaluran dipertahankan tetap tinggi dan
penggelontoran harus lebih sering dilakukan
Tanah sulfat masam Potensial (PASS, potencial acid sulphate soil), merupakan lahan
yang lapisan atasnya 0-50 cm, mempunyai kadar pirit 2%, dan belum mengalami
proses oksidasi, dengan demikian hal ini memiliki resiko atau kendala kecil untuk
pengusahaan tanaman. Tanah sulfat masam (PASS, potencial acid sulphate soil)
berubah menjadi tanah sulfat masam aktual . Ini adalah masalah yang cukup kompleks
yang harus dihadapi petani , ditandai dengan rendahnya pH tanah, dan tingginya racun
Fe2+ dan Al3+. Keseriusan permasalahannya tergantung kepada seberapa dalam
kandungan sulfat masam tersebut berada.
Bilamana lebih dalam dari 1 meter dari muka tanah, keberadaan tanah sulfat masam
tersebut biasanya tidak membahayakan tanaman. Tanah bisa diperlakukan sebagai
tanah normal, tanah non sulfat asam . Bila kandungan sulfat masamnya (PASS) cukup
dangkal, maka bisa mengakibatkan tanahnya tidak cocok untuk digarap sebagai lahan
pertanian .
3) Lahan Gambut :
Tanah bergambut (peaty soil). Tanah dengan lapisan organik <50 cm atau dengan
kadar abu >25% berdasarkan berat disebut lahan bergambut (peaty soil).
Tanah gambut yaitu tanah dengan lapisan organik >50cm mulai dari dangkal/tipis
(50-100 cm), sedang (100-200 cm), dalam/tebal (200-300 cm), sampai dengan
sangat dalam/tebal (>300 cm) atau dengan kadar abu 25% berdasarkan berat
disebut lahan gambut (peat soil)
Semakin rendah kadar abunya semakin kurang kesuburan tanahnya. Bobot dari
gambut dapat mengakibatkan penurunan muka tanah pada tanah mineral di
bawahnya. Setelah reklamasi, lapisan tanah gambut perlahan-lahan akan menghilang
(pengeringan dan oksidasi) dan akhirnya tinggal tanah mineral yang lebih rendah
dengan drainasi yang buruk. Di banyak tempat, ketebalan gambut bertambah semakin
jauh dari pinggir sungai, dan di kubah gambut ketebalannya dapat mencapai beberapa
meter. Bilamana lapisan gambutnya tebal, maka proses subsiden hampir mustahil
dapat dihentikan, cepat atau lambat, penggunaan pompa untuk keperluan drainase
tidak bisa dihindarkan, sehingga budidaya pertaniannya tidak akan layak .
4) Tanah ”muck”
Tanah ”muck” adalah tanah mineral yang kaya dengan kandungan bahan organik.
Tanah ini dibedakan dari tanah gambut karena kandungan kadar abunya yang
berbeda. Kadar abu, adalah residu, dinyatakan dalam % berat terhadap tanah kering
aslinya, setelah tanah dipanaskan mencapai 600 oC .
Tanah dengan kadar abu diatas 25 % biasanya disebut sebagai tanah muck, tanah
dengan kadar abu yang lebih rendah dengan ketebalan lapisan organiknya 0.40 sampai
0.50 meter disebut sebagai tanah gambut. Tanah ”muck” seringkali mengandung
bahan pirit. Dalam kondisi tergenang, bahan organik melepaskan asam organiknya
yang pada gilirannya akan memperburuk kadar racun besi . Karena pertimbangan itu,
dari segi pengelolaan air, tanah ”muck” memunculkan masalah yang sama, dan
memerlukan perlakuan pengelolaan air yang serupa dengan tanah sulfat asam.
Dikawasan lahan reklamasi rawa pasang surut, biasanya ditemukan juga jenis tanah
tanah lahan kering atau merupakan peralihan dari lahan rawa ke lahan kering,
umumnya hanya didapati pada areal yang tidak luas. I Tanah mineral dengan nilai
kapasitas tukar kation (KTK) 5 me/100g, biasanya disertai kejenuhan aluminium yang
tinggi (kejenuhan Al >50%), merupakan formasi tua, dengan kapasitas tukar kation
(KTK). Kesuburannya berkisar rendah ke sangat rendah , sifat fisiknya tidak begitu
berbeda dengan tanah lahan kering pada umumnya. Dari segi pengelolaan airnya,
perlakuannya serupa dengan tanah lahan kering . Biasanya, tanah ini memiliki
permeabilitas rendah dan kapasitas menahan air yang buruk, sehingga tanah ini sangat
rentan terhadap kekeringan .
1) Sangat Sesuai (S1) : Lahan sesuai untuk penggunaan tertentu, dan tidak memiliki
faktor pembatas yang berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman.
2) Cukup Sesuai (S2) : Lahan cukup sesuai untuk penggunaan tertentu. Pembatas
yang ada dapat berpengaruh pada hasil tanaman, sehingga diperlukan tambahan
masukan rendah/sederhana.
3) Sesuai Marjinal (S3) : Lahan sesuai marjinal. Lahan mempunyai pembatas serius
yang berpengaruh terhadap hasil tanaman, sehingga diperlukan upaya perbaikan
dengan masukan rendah - tinggi.
4) Tidak Sesuai (N) : Lahan memiliki pembatas sangat berat. Lahan termasuk tak
sesuai untuk penggunaan tertentu dan upaya perbaikan memerlukan masukan
teknologi/investasi tinggi (saat ini tidak ekonomis).
Untuk daerah pasang-surut, terdapat lima alternatif penggunaan lahan yang relevan untuk
dievaluasi, sebagai berikut:
Padi sawah pasang surut
Palawija
Setelah ditetapkan satuan lahan (land-unit) dan kesesuaiannya, maka langkah selanjutnya
adalah merumuskan rencana penggunaan lahan dan pengembangan lokasi berdasarkan
Zona Pengelolaan Air (ZPA). Zona Pengelolaan Air (ZPA) ini merupakan satuan
penggunaan lahan yang dihubungkan dengan sistem pengelolaan air di daerah pasang-
surut. Dalam merumuskan rencana pengembangan berdasarkan ZPA tersebut perlu
didasarkan atas pertimbangan:
Kesesuaian lahan
Aspirasi/keinginan petani.
Oleh karena itu dalam penetapan rencana pengembangan tersebut perlu pembahasan dan
kesepakatan dengan petani sebagai pemanfaat (user) dan instansi terkait, khususnya pihak
Berdasarkan tipe penggunaan lahan yang ada dan karakteristik satuan lahan (land-unit)
dijumpai 8 (delapan) kategori ZPA di daerah pasang surut dengan pola pengelolaan air
yang spesifik. Pembagian kategori lebih lanjut masih dimungkinkan jika diperlukan.
Setiap ZPA meliputi batas kawasan yang dikendalikan menurut struktur kontrol tertentu
(biasanya berupa unit sekunder), sehingga dapat diterapkan pengelolaan air yang
sama/seragam dalam satu wilayah ZPA. Pada tahap ini juga dianalisis berbagai
permasalahan yang ada, baik bersifat teknis maupun non teknis, dan merumuskan cara
pemecahannya dalam rangka pengembangan
Gambar Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -11 : Daerah Pengelolaan Air VI:
Tanaman Perkebunan pada Pyritic/Non Pyritic Soil
Gambar Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -12 : Daerah Pengelolaan Air VII:
Padi Sawah pada Non Pyritic Soil
Tata letak sistem saluran sebagian mengikuti rencana pemukiman seperti diuraikan pada
Bagian 4.3, dan sebagian lagi mengikuti fungsi sistem yang pada gilirannya sangat
ditentukan oleh sifat-sifat fisik lahan, kondisi perbatasan hidrologi, dan jenis tata guna
lahan yang diperkirakan. Fungsi prasarana hidraulik tersebut meliputi:
b) Retensi air
c) Pengendalian salinitas
h) Irigasi pompa
j) Navigasi
Untuk tanaman palawija dan tanaman keras diperlukan jarak yang lebih rapat, yang
tergantung atas jenis tanah dan hidro-topografinya. Dikarenakan adanya perubahan-
perubahan besar dalam upaya tembus tanah dan elevasi lahan pada jarak yang pendek,
maka rumus matematika untuk memperhitungkan jarak saluran tidak begitu membantu.
Pengalaman membuktikan bahwa tipikal jarak saluran yang diperlukan adalah 25 m sampai
50 m.
Karena pengembangan pekerjaan lahan usaha tani adalah tanggung jawab para petani,
maka biasanya dipakai jarak saluran tersier yang sama sebagaimana untuk areal padi,
dengan asumsi bahwa petani sendiri akan mengintensifkan jaringan drainase. Sudah pasti
bahwa semakin dekat jarak saluran, maka kesempatan petani untuk memasang sistem
kuarter yang efektif menjadi semakin baik. Panjang saluran optimal tergantung atas luas
drainase, penampang melintang saluran dan apakah saluran tersebut ujungnya terbuka
atau tertutup. Saluran-saluran tersier kecil yang lebar dasarnya kurang dari 1,00 m dan
kedalaman 0,70 sampai 1,00 m harus tidak boleh lebih panjang 800 sampai 1000 m.
Saluran-saluran sekunder yang ujungnya tertutup sebaiknya tidak lebih panjang dari 1
(satu) sampai 2 (dua) km. Saluran-saluran yang ujungnya terbuka (yang kedua ujungnya
dihubungkan pada saluran yang lebih besar) pada umumnya harus dua kali panjang
saluran yang ujungnya tertutup.
Padi tumbuh sangat baik dengan lapisan air mantap pada lahan. Tingginya daya tembus
tanah bagian atas namun demikian, menjadikan sulit untuk mempertahankan lapisan air
tersebut. Selain tindakan-tindakan yang dilakukan petani sendiri, seperti penggalangan
lahan, dan pelumpuran tanah pada tempat yang memungkinkan, mempertahankan tinggi
muka air tinggi pada saluran tersier merupakan cara lain untuk memperkecil kerugian
perkulasi dari lahan-lahan tersebut. Tindakan ini memerlukan bangunan-bangunan
pengendali air, yang sebaiknya pada saluran-saluran tersier. Pada tempat dimana retensi
air adalah penting, saluran tersier dan saluran sekunder yang dalam harus dihindari.
Retensi air dengan mudah dapat mengakibatkan kondisi air tergenang dan kualitas air
yang merugikan, khususnya pada areal-areal yang memiliki tanah pirit atau tanah organik.
Mempertahankan tinggi muka air pada kedalaman tertentu di bawah permukaan (drainase
terkendali) dalam keadaan ini mungkin lebih baik dari pada retensi air maksimum.
Pada kebanyakan tanah pada lahan rawa pasang surut, oksidasi pirit dan bahan organik
membebaskan unsur asam dan unsur-unsur lain yang berbahaya bagi pertumbuhan
tanaman. Unsur-unsur ini harus, sebanyak mungkin, dibuang dari tanah. Jika tidak tersedia
irigasi pasang surut yang memungkinkan, dan sumber air irigasi lainnya juga tidak ada,
pencucian tersebut dapat dilakukan dengan air hujan yang mengalir menuju saluran-
saluran melalui tanah. Hal ini menghendaki tinggi muka air yang terkendali pada saluran-
saluran tersebut (cukup dalam untuk memungkinkan terjadinya aliran air tanah, namun
tidak terlalu dalam untuk menghindari terbukanya pirit) yang membutuhkan bangunan-
bangunan pengendali air dan jaringan saluran dangkal yang rapat. Pencucian zona akar
melalui drainase terkendali dapat berhasil mencegah kondisi racun untuk tanaman padi.
Aliran air tanah menyamping yang dipergunakan untuk mencuci tanah secara teori dapat
ditingkatkan dengan cara menciptakan beda tinggi hidraulik antara suplai terpisah dan
saluran drainase. Namun demikian secara praktek, mungkin sulit untuk mempertahankan
beda tinggi yang besar antara parit-parit yang berdekatan untuk periode yang panjang.
Selama periode terjadi curah hujan yang berlebihan, tinggi muka air tanah yang terdapat
diantara saluran-saluran dapat melampaui tinggi muka air pada kedua saluran, dan oleh
sebab itu mencegah infiltrasi. Masalah lainnya adalah bahwa lahan-lahan yang terdapat
disepanjang parit suplai dapat menderita kekurangan drainase, sedangkan kualitas air yang
tergenang dalam parit tersebut berkemungkinan akan menjadi buruk. Oleh karena itu,
desainer harus sangat berhati-hati apabila mendesain saluran suplai dan saluran drainase
yang terpisah untuk kepentingan pencucian tanah.
Air drainase yang asam dan terkena polusi yang memasuki saluran-saluran harus selalu
dibilas ke luar dan diganti dengan air yang berkualitas lebih baik. Tanpa bangunan-
bangunan pengendali pembilasan ini sering sulit untuk dicapai khususnya pada saluran
yang panjang. Karena tidak semua air akan mengalir keluar selama pasang rendah dan/
atau terdorong masuk kembali pada waktu pasang tinggi. Dengan pintu-pintu pengendali,
saluran tersebut dapat didrainase selama satu atau beberapa kali pasang rendah dengan
cara mencegah aliran masuk pada waktu pasang tinggi, dan mengisi saluran tersebut
kembali hanya setelah air yang terkena polusi dikeluarkan.
Pembilasan paling baik dilakukan dengan cara menciptakan aliran saluran satu arah, atau
sirkulasi air. Aliran satu arah berarti bahwa aliran air baik selama drainase maupun selama
pengisian saluran memiliki arah yang sama. Hal itu menghendaki saluran dihubungkan
dikedua ujungnya pada saluran susunan saluran lebih tinggi, sedangkan bangunan
pengendali diperlukan untuk mengatur aliran. Aliran satu arah dapat terjadi disemua
tingkatan saluran, lihat tipikal contoh saluran pada Gambar Perencanaan Jaringan
Reklamasi Rawa -14. Jika terdapat saluran yang ujungnya tertutup dimana aliran satu arah
tidak memungkinkan, maka pembilasan menghendaki operasi pintu secara hati-hati pada
pangkal saluran, untuk mengalirkan air selama satu atau beberapa kali pasang rendah
berturut-turut (tanpa aliran masuk pada waktu pasang tinggi) diikuti oleh pengisian
Gambar Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -14 : Tipikal Sistem Aliran Satu
Arah
Pada tempat dimana pembilasan saluran dan pencegahan kondisi air tergenang penting
dilakukan (ini terjadi hampir disetiap tempat), desain harus menghindari pembuatan
saluran yang tertutup. Pembilasan dapat berlangsung sangat baik pada saluran-saluran
yang mudah dimasuki air pasang. Itu berarti bahwa tinggi dasar saluran harus berada
antara tinggi muka air pasang surut rendah pada bagian luar dan tinggi muka air rata-rata.
Dengan tinggi dasar saluran yang lebih rendah, maka drainase seluruh bagian saluran
mungkin sulit dilakukan.
Pada areal-areal yang dapat diirigasi dengan air pasang surut (hidro-topografi A dan B,
biasanya hanya sebagian kecil jaringan) dianjurkan agar mendesain sistem saluran yang
dipergunakan untuk suplai air dengan irigasi pasang surut. Persyaratan-persyaratan suplai
air tersebut ditentukan dari penggunaan konsumtif tanaman (evaporasi referensi kali faktor
tanaman) dikurangi dengan curah hujan efektif dan mempertimbangkan nilai perkolasi
sebesar 8 mm/hari. Nilai perkolasi yang tinggi ini diperlukan dan disarankan oleh Lembaga
Penelitian Padi Internasional (IRRI), untuk mempertahankan zona akar agar bebas dari
unsur-unsur asam dan racun lainnya. Hal ini telah ditegaskan oleh penelitian yang
dilaksanakan di daerah Karang Agung Sumatera Selatan.
Perkiraan kasar pertama mengenai dimensi saluran yang dibutuhkan dapat diperoleh dari
hasil perhitungan aliran dalam keadaan mantap yang didasari atas kebutuhan air di atas,
waktu suplai yang tersedia, dan beda tinggi yang ada antara sungai dan sawah. Karena
suplai yang terbatas (biasanya tidak lebih dari beberapa jam pada hari-hari terjadi pasang
sangat tinggi), maka kapasitas saluran yang dibutuhkan akan menjadi beberapa kali lebih
besar daripada kebutuhan air tanaman maksimum. Diperlukan jaringan saluran-saluran
tersier besar yang rapat (jarak saluran tidak melebihi 100 sampai 200 m ). Estimasi
dimensi saluran yang lebih dapat dipercaya menghendaki keadaan yang tidak mantap,
yang diperhitungkan melalui komputer.
Namun demikian, keuntungan secara cepat diimbangi oleh kerugian tinggi pada saluran itu
sendiri.
Pada areal-areal dimana irigasi pasang surut tidak memungkinkan, namun air dapat
memasuki saluran-saluran tersier pada waktu pasang tinggi, aliran masuk dapat berguna
untuk mengisi permukaan air tanah yang turun pada waktu musim kemarau, dan untuk
mencegah drainase yang berlebihan dan terbukanya pirit. Pengamatan tinggi muka air
tanah di Telang-Saleh memperlihatkan penurunan 1 sampai 2 cm/hari pada periode-
periode tanpa curah hujan dan pengisian, dan selama periode kering yang panjang,
permukaan air tanah tersebut pada akhirnya turun sejauh tinggi muka pasang surut rata-
rata pada sistem saluran. Karena rendahnya daya tembus tanah lapisan bawah, dan
mungkin karena tahanan masuk pada dasar saluran dan lereng sisi, maka penurunan
tersebut mungkin dapat dikurangi.
Jumlah air yang dapat disuplai melalui infiltrasi tergantung atas banyak faktor tanah yang
belum diketahui dan hampir tidak dapat ditentukan jumlahnya. Namun demikian, jumlah
tersebut sepadan dengan kepadatan saluran (total panjang saluran per Ha). Untuk desain,
ini berarti bahwa jika infiltrasi harus ditingkatkan, maka diperlukan jaringan saluran tersier
dan kuarter yang rapat. Tinggi dasar saluran tersier harus berada di bawah tinggi muka air
tinggi pasang surut di sungai pada waktu musim kemarau. Saluran-saluran tersier yang
terlalu dalam, namun demikian beresiko drainase yang berlebihan dan terbukanya pirit.
Pada umumnya, saluran-saluran tersier yang dalamnya lebih daripada 1,25 m harus
dihindari. Mencegah drainase yang berlebihan juga penting dilakukan pada areal-areal
gambut, dimana jika tidak dapat dilaksanakan, mungkin akan terjadi pengeringan gambut.
Irigasi dengan menggunakan pompa biasanya terbatas untuk tanaman palawija dan
tanaman sayur-sayuran pada waktu musim kemarau. Areal-areal yang diirigasi biasanya
kecil dan walaupun areal-areal tersebut dapat bertambah luas pada tahun-tahun
mendatang, areal-areal yang luas tidak mungkin mendapatkan suplai air melalui irigasi
pompa. Oleh karena itu, untuk menentukan ukuran saluran, tidak perlu
mempertimbangkan persyaratan irigasi. Suatu pengecualian yang perlu diperhatikan adalah
tinggi dasar saluran. Jika irigasi pompa akan diterapkan, dasar saluran pada lokasi pompa
harus berada dibawah tinggi muka air pasang surut rata-rata pada saluran yang
Untuk kegiatan irigasi pompa, unit-unit pompa jinjing yang kecil, yang dapat memompa air
dari saluran tersier langsung ke sawah, sering merupakan pilihan yang terbaik. Dengan
cara ini, diperoleh keluesan maksimum, karena tidak dibutuhkan parit-parit irigasi yang
panjang (di atas ketinggian sawah) yang memerlukan pemeliharaan intensif, mudah bocor,
dan dapat menyulitkan drainase dan angkutan. Selain itu, jika ditinjau dari segi organisasi,
pompa yang dimiliki dan dioperasikan sendiri oleh masing-masing petani lebih disukai dari
pada unit-unit pompa yang lebih besar.
4.7.8 Navigasi
Jika air asin harus dicegah agar tidak memasuki saluran drainase, outlet saluran harus
ditempatkan di sebelah hulu zona intrusi salinitas di sungai, atau harus di pasang pintu
pengendali. Namun demikian, kecuali untuk areal-areal yang terletak langsung di
sepanjang pantai, instrusi air payau kedalam saluran pada umumnya terbatas hanya pada
waktu musim kemarau, dan jarang mempengaruhi kualitas air tanah. Oleh karena itu,
pemasangan pintu-pintu hanya untuk mengendalikan salinitas tidak selalu dibenarkan.
Dalam konsep pengembangan jaringan pasang surut secara bertahap, pada mulanya
sering direncanakan sistem saluran terbuka, tanpa mempergunakan bangunan pengendali
air. Bangunan-banguna pengendali air dan pengelolaan air yang telah disempurnakan
diperkenalkan pada tahap berikutnya. Kebutuhan akan bangunan dapat dipertimbangkan
apabila telah tersedia pengetahuan yang lebih tepat mengenai kondisi perbatasan hidrolik
(tinggi banjir, tinggi pasang surut, instrusi garam), dan apabila ketinggian lahan, sebagai
akibat penyusutan, dan kondisi tanah telah menjadi lebih stabil dari pada tahap awal.
Bangunan-bangunan pengatur muka air berfungsi mengatur muka air di jaringan rawa
sampai batas-batas yang diperlukan untuk dapat memberikan muka air tanah dilahan yang
konstan. Bangunan pengatur mempunyai potongan pengontrol aliran yang dapat disetel
atau tetap. Untuk bangunan-bangunan pengatur yang dapat disetel dianjurkan untuk
menggunakan pintu sorong, pintu klep, bangunan tabat atau lainnya.
Kebutuhan akan bangunan pengendali air terutama tergantung dengan fungsi sistem
saluran seperti yang telah diuraikan pada bagian 4.7. Kebutuhan akan bangunan harus
mempertimbangkan kembali secara hati-hati disetiap kesempatan. Disamping aspek-aspek
pengelolaan air, pertimbangan khusus harus diberikan pada persyaratan operasi bangunan
dikaitkan dengan tenaga kerja yang tersedia, dan pada biaya konstruksi dan Operasi dan
Pemeliharaan. Sama halnya dengan penentuan dimensi saluran, dimensi bangunan hidrolik
pada awalnya dapat ditetapkan dengan mempergunakan rumus aliran dalam keadaan
mantap untuk bangunan penghalang (weir). Dimensi-dimensi ini selanjutnya diperiksa dan
jika perlu disesuaikan melalui model komputer.
Bangunan pengendali air dilengkapi dengan daun pintu yang dipergunakan untuk memblok
aliran air sebagian atau seluruhnya dalam satu atau dua arah. Fungsi bangunan erat
kaitannya dengan fungsi saluran dan mencakup :
a) Pencegahan banjir
Untuk mencegah banjir, saluran harus ditutup dengan mempergunakan daun pintu
bangunan atau tanggul saluran yang ditinggikan. Semakin tinggi permukaan tanah
yang terdapat disekitar saluran, maka semakin sedikit bangunan (walaupun lebih
besar) yang dibutuhkan dan semakin pendek tanggul yang diperlukan.
Menutup saluran selama terjadi pasang tinggi mencegah masuknya air, yang jika tidak
dilakukan harus dikosongkan kembali selama pasang rendah, sebelum dapat dimulai
drainase yang ”sesungguhnya”. Namun demikian, pengaruh pintu untuk tujuan ini
sering agak kecil, namun dapat menjadi berarti pada areal-areal rendah yang memiliki
waktu drainase efektif yang terbatas. Untuk tujuan ini, bangunan dapat berada pada
setiap ketinggian dalam hirarki saluran.
c) Drainase terkendali
d) Pembilasan saluran
Dengan cara mengatur keluar masuknya aliran air, air yang terkena polusi dapat
berhasil dikosongkan dari saluran.
e) Retensi air
Menjaga agar pintu tetap tertutup selama periode curah hujan rendah dapat
membantu mempertahankan tinggi muka air tinggi pada saluran dan sawah-
sawah.Bangunan untuk tujuan ini sangat baik ditempatkan ditingkat tersier untuk
menyesuaikan tinggi muka air tersebut dengan perbedaan topografi.
f) Supai air
Dengan cara membuka pintu hanya pada waktu tinggi muka air pada bagian luar lebih
tinggi daripada tinggi muka air pada bagian dalam, suplai air netto kesaluran dapat
dicapai.
Pada waktu transisi saluran dengan tinggi dasar yang berbeda, diperkirakan terjadi
kecepatan aliran air yang tinggi yang dapat mengancam stabilitas dasar dan lereng sisi
saluran. Bangunan yang dilengkapi dengan bangunan terjun yang dibangun ditempat
itu dan bagian-bagian pelindung masuk dan keluarnya air dapat mencegah kerusakan
semacam itu.
Menutup pintu pada waktu pasang tinggi dapat mencegah air asin masuk kedalam
saluran.
Lokasi yang terbaik dari bangunan-bangunan pengendali air tergantung dengan fungsi
bangunan tersebut. Bangunan yang dipergunakan untuk mencegah agar banjir atau air
asin tidak memasuki areal pada prinsipnya sangat baik ditempatkan pada tingkat primer
yang paling tinggi yang menghendaki hanya sedikit bangunan (walaupun besar) dan
tanggul pengaman banjir hanya disepanjang sungai. Namun demikian, dapat bertentangan
denganpersyaratan navigasi. Bangunan-bangunan untuk pengendalian air internal
(drainase, retensi air, suplai) pada prinsipnya sangat baik ditempatkan pada tingkat tersier
yang terendah atau bahkan pada tingkat kuarter. Kendatipun hal ini menghendaki
sejumlah besar bangunan, pengelolaan air dapat disesuaikan dengan cara yang lebih baik
dengan kondisi-kondisi khusus di areal yang bersangkutan.
Jika bangunan diperlukan baik untuk pengendalian air internal maupun untuk pengaman
banjir dan salinitas, bangunan tersebut pada umumnya dapat dikombinasikan kedalam satu
bangunan, yang ditempatkan pada tingkat tersier (diperlukan banyak bangunan kecil
dilengkapi dengan tanggul banjir disepanjang seluruh saluran primer dan sekunder) atau
pada tingkat yang lebih tinggi (diperlukan sedikit bangunan dan tanggul, namun
pengendalian internal menjadi kurang efektip. Sebagai alternatip, disarankan agar
membangun bangunan-bangunan di kedua tingkat pada sistem saluran, yaitu pada tingkat
tersier untuk pengendalian air internal dan di tingkat yang lebih tinggi untuk mencegah
agar banjir air asin tidak masuk. Bangunan-bangunan yang terdapat pada saluran primer
atau sekunder juga akan memungkinkan pengendalian air yang lebih baik pada saluran
primer / saluran sekunder tersebut, yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya guna
bangunan pengendali air tersier.
Pertimbangan penting lainnya yang perlu diingat adalah jalan masuk menuju bangunan
tersebut. Bahkan pintu kelep otomatis pun perlu diperiksa setiap harinya untuk mengetahui
apakah pintu tersebut beroperasi sebagaimana mestinya. Pada areal-areal yang berada
diluar pemukiman, pemeriksaan harian semacam itu tidak mungkin dilakukan, dan dalam
keadaan demikian, bangunan harus dipindahkan ke tempat lain atau tidak dibangun sama
sekali. Sebaliknya, jika akan ditugaskan seorang penjaga pintu yang permanen, rumah
penjaga pintu bangunan tersebut harus dibangun dekat bangunan.
Kebanyakan bangunan pengendali air ditempatkan pada pangkal saluran yang bercabang,
dengan ketinggian bandul sama dengan ketinggian dasar saluran. namun demikian, tinggi
saluran induk sering lebih rendah dan erosi dasar saluran akan terjadi pada bagian pangkal
saluran yang bercabang tersebut. Bila dikombinasikan dengan beda tinggi yang diciptakan
oleh bangunan (tertutup), hal ini akan membahayakan stabilitas bangunan, dan oleh
karena itu bangunan harus ditempatkan pada jarak yang cukup jauh dari saluran induk
(sedikitnya 20 kali perbedaan tinggi dasar dari dua saluran tersebut) . Sebagai alternatif,
dapat dipertimbangkan untuk menempatkan bangunan terjun pada tinggi dasar kedalam
bangunan tersebut, walaupun hal ini akan menaikan biaya konstruksi. Pengaman dasar dan
lereng sisi bangunan juga diperlukan, dan harus meluas lebih jauh disisi hilir daripada disisi
hulu bangunan.
Pintu bangunan yang dianggap paling sesuai untuk bangunan pengendali air di jaringan-
jaringan rawa adalah pintu sekat, pintu ulir dan pintu kelep. Keuntungan dan kerugian dari
berbagai jenis pintu bangunan tersebut diuraikan dibawah ini dan disimpulkan dalam
Tabel Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -6.
Pemilihan pintu bangunan tersebut harus didasari dengan pertimbangan sebagai berikut :
Kemudahan Pemeliharaan
Biaya Konstruksi.
a) Pintu Sekat
Pintu sekat adalah bangunan yang paling murah dan mudah dibuat. Pintu tersebut
mudah dipelihara dan khususnya berguna untuk menahan tinggi muka air minimum
pada saluran (drainase terkendali). Pengoperasian bangunan pintu sekat pada saluran-
saluran tersier kecil relatif mudah, dan menjadi sulit pada saluran-saluran yang lebih
besar : memasang dan membuka balok sekat mengharuskan seseorang harus turun
kedalam saluran, dan mungkin memerlukan lebih dari satu orang. Kerugian lainnya
adalah balok sekat tersebut cenderung hilang, dan sering tidak terpasang rapat
sehingga mengakibatkan kebocoran. Kebocoran tersebut dapat diatasi dengan cara
menambahkan kepingan karet pada balok sekat. Yang pasti, pintu sekat merupakan
pilihan yang baik untuk saluran-saluran tersier kecil, namun untuk saluran-saluran
tersier yang lebih besar dan saluran-saluran sekunder pintu sekat menjadi terlalu sulit
untuk dioperasikan.
b) Pintu Ulir
Pintu ulir mudah dioperasikan (jika dibangun sebagaimana mestinya) dan disamping itu
pelumasan alat angkatnya memerlukan sedikit pemeliharaan. Karena pintu ulir
biasanya merupakan pintu untuk aliran air bagian bawah, pintu ulir sangat baik
dioperasikan dengan cara terbuka penuh atau tertutup penuh, dan oleh karena itu
merupakan pilihan terbaik untuk operasi darurat, misalnya pada tempat-tempat dimana
saluran kadang-kadang harus ditutup untuk menjaga agar banjir yang tinggi atau air
asin tetap berada diluar saluran. Mempertahankan tinggi air minum sulit dilakukan dan
hanya pengalaman yang dapat membantu untuk memutuskan pintu yang mana yang
harus dibuka agar dapat mempertahankan tinggi muka air tertentu pada saluran
sebelah hulu. Sebagai alternatif, dapat dipertimbangkan pintu ulir yang dilengkapi
dengan pintu aliran atas sebagai ganti pintu aliran bawah, namun konstruksi dan
pemeliharaannya lebih rumit dan pintu lebih mudah rusak.
Pintu kelep yang membuka dan menutup secara otomatis berfungsi hanya untuk
mengeluarkan air (pintu kelep drainase) atau hanya untuk memasukan air (pintu kelep
suplai) . Engsel biasanya terletak diatas kelep, yang berada diatas air (sering agresip),
dan bebas dari sediment atau kotoran. Pada prinsipnya, keuntungan pintu kelep adalah
bahwa pintu kelep tersebut tidak perlu dioperasikan, dan karena itu merupakan pilihan
terbaik untuk dipergunakan pada tempat dimana diperlukan operasi pintu yang sering
(harian) dan pada lokasi-lokasi dimana operator pintu tidak diperlukan. Dalam
prakteknya, namun demikian, pintu kelep betul-betul harus diperhatikan secara teratur
dan rumput air serta puing-puing harus dibersihkan, karena walaupun puing tersebut
jumlahnya sedikit, namun dapat mudah tersangkut dan mengakibatkan tidak fungsinya
pintu kelep tersebut. Pemasangan saringan sampah perlu dipertimbangkan, walaupun
tidak selalu bisa memecahkan persoalan, lihat juga bagian 3.5.4. Menahan muka air
saluran (minimum) pada suatu ketinggian tertentu tidak mungkin dilakukan, kerugian
tinggi yang terjadi diatas pintu adalah agak tinggi (10 sampai 20 cm) , dan
mengangkat kelep-kelep yang berat untuk memungkinkan agar aliran air berbalik
sering tidak praktis untuk dilaksanakan. Untuk memungsikan pintu kelep sebagaimana
mestinya ; yaitu bebas dari kebocoran, memerlukan standard konstruksi yang tinggi
yang tidak selalu tersedia pada proyek-proyek rawa yang terpencil. Karena itulah
penggunaan pintu kelep tidak selalu dianjurkan.
d) Kombinasi pintu
Mengkombinasikan dua atau seluruh dari tiga jenis pintu kedalam satu bangunan akan
menambah keuntungan dan sangat meningkatkan fleksibilitas operasi, sementara biaya
konstruksi hampir tidak akan lebih tinggi daripada biaya konstruksi untuk satu
bangunan yang hanya dilengkapi dengan satu jenis bangunan. Mengkombinasikan
pintu sekat dengan pintu kelep memungkinkan drainase otomatis yang terkendali, dan
mungkin merupakan suatu bangunan yang ideal untuk saluran-saluran tersier kecil.
Setelah fungsi, jenis dan lokasi bangunan ditetapkan, disain bangunan tersebut dapat
dimulai. Aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam disain bangunan pengendali
air adalah :
Ukuran bangunan
Keputusan penting yang selanjutnya harus diambil adalah mengenai pemilihan bahan
bangunan, metoda fondasi.
a) Bahan bangunan
Keputusan penting yang harus diambil adalah mengenai pemilihan bahan bangunan :
kayu, beton atau ferrosemen. Beberapa keuntungan dan kerugian mengenai bahan-
bahan bangunan ini diuraikan dalam Tabel Perencanaan Jaringan Reklamasi Rawa -7.
Perhatian khusus harus diberikan pada daya tahan bahan bangunan bila dipergunakan
dalam lingkungan agresip (asam,asin). Kayu, beton dan unsur baja memerlukan
tindakan pengamanan khusus.
Pada prinsipnya, bangunan juga dapat dibuat dari baja atau alumunium, namun
ketersediaan bahan tersebut merupakan masalah dan sampai sekarang ini belum ada
pengalaman yang menyangkut penggunaan bahan tersebut pada jaringan-jaringan
rawa. Parameter disain dan kriteria untuk berbagai jenis bahan bangunan disajikan
dalam Bab 5. Rembesan air merupakan suatu ancaman yang permanen terhadap
stabilitas bangunan, dan oleh karena itu memerlukan penggunaan tiang pancang
vertikal. Tiang-tiang pancang vertikal ini juga berfungsi sebagai fondasi.
Metode fondasi lainnya adalah dengan mempergunakan rakit atau lampatan yang
diletakan langsung diatas tanah, dengan syarat bahan tanah organik atau tanah liat
sangat lembut dibuang atau diganti dengan tanah yang lebih baik. Karena tiang
pancang sering dibutuhkan, maka hubungan antara rakit dan tiang pancang perlu
diperhatikan secara khusus guna mencegah agar tiang pancang tersebut tidak
mengambil alih fungsi rakit.
b) Metode Fondasi
Tanah lapisan bahwa yang lembut sampai sangat lembut yang terdapat pada lahan
rawa pasang surut perlu diperhatikan secara khusus bila akan dipergunakan untuk
fondasi bangunan. Fondasi tiang sering diperlukan, dengan tiang yang dirancang atas
gesekan, tiang gelam dapat dipergunakan jika tiang-tiang tersebut terendam secara
permanen. Untuk mengatasi terbatasnya panjang tiang gelam yang tersedia, maka
dipergunakan sejumlah tiang dengan jarak yang rapat.
c) Tinggi Bandul
Walaupun lebih banyak dari desain saluran, disain bangunan harus mempertimbangkan
penyusutan lahan serta perubahan tata guna lahan yang mungkin terjadi dikemudian
hari. Jika tinggi bandul dirancang atas dasar tinggi lahan yang sudah ada, drainase
akan lebih cepat menjadi tidak cukup setelah terjadi penyusutan lahan. Sama halnya
jika bandul dirancang untuk lahan padi yang memerlukan kedalaman drainase yang
relatif dangkal, dan setelah beberapa waktu, akan lebih disukai perubahan ketanaman
lahan kering atau tanaman keras yang menghendaki kedalaman drainase yang lebih
dalam. Meletakkan bandul lebih rendah daripada yang sangat dibutuhkan sekarang
tidak banyak menambah biaya bangunan, namun merendahkan bandul setelah
konstruksi hampir tidak mungkin dilakukan.
e) Saringan Sampah
Saringan sampah, yang khususnya penting untuk pintu kelep, harus melindungi pintu
bangunan dari puing-puing yang mengapung dalam saluran. Saringan sampah harus
dirancang terbuat dari batang besi vertikal sehingga petugas dapat dengan mudah
mengeluarkan puing-puing tersebut dengan mempergunakan alat pengait, sambil
berdiri diatas rak saringan sampah tersebut. Masalah yang terjadi pada saluran-saluran
dimana terdapat puing dalam jumlah besar adalah bahwa puing-puing kotoran tersebut
berakumulasi pada bagian depan rak saringan sampah sehingga menghalangi aliran
air. Mengeluarkan puing-puing tersebut dari saluran dan meletakannya ditempat lain
adalah sulit dilakukan, dan akan lebih efisien jika puing-puing kotoran tersebut
dibiarkan mengalir keluar jaringan mengikuti aliran air. Hal ini memerlukan saringan
sampah yang mudah diangkat.
f) Papan Duga
Bangunan pengendali air pada saluran primer dan sekunder harus dilengkapi dengan
dua buah papan duga, yaitu satu papan duga pada bagian hulu dan satu buah lagi
pada bagian hilir pintu bangunan, yang dipergunakan untuk memeriksa tinggi muka air
dan memudahkan operasi pintu. Papan duga tersebut harus memiliki elevasi nol yang
sama. Pada bangunan tersier, satu buah papan duga mungkin sudah cukup, yang
diletakan pada sisi hulu (sisi dimana tinggi muka air dikendalikan oleh pintu bangunan).
Elevasi nol dari semua papan duga harus dinyatakan dalam Ketinggian Referensi
Proyek (PRL) sehingga tinggi muka air tersebut dapat dibandingkan satu sama lain dan
dengan elevasi lahn pada areal yang dikendalikan oleh saluran. Untuk memudahkan
pasangan kembali papan duga tersebut setelah diganggu, titik tetap pada beton setiap
bangunan harus ditandai sebagai bench mark. dengan elevasi dalam PRL yang dicat
berdampingan dengan elevasi tersebut.
Jalan utama yang ditempatkan sepanjang saluran primer, selain berfungsi sebagai jalan
inspeksi juga sebagai pengubung berbagai lokasi permukiman. Dengan semakin
berkembangnya daerah rawa, transportasi darat akhirnya akan lebih utama dibanding
transportasi air. Jalan jalan inspeksi sekunder diperlukan untuk inspeksi, eksploitasi dan
pemeliharaan jaringan sekunder. Masyarakat boleh menggunakan jalan-jalan inspeksi ini
untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Apabila saluran dibangun sejajar dengan jalan
umum di dekatnya, maka tidak diperlukan jalan inspeksi di sepanjang ruas saluran
tersebut. Biasanya jalan inspeksi terletak di sepanjang sisi saluran rawa pasang surut.
Jembatan dibangun untuk saling menghubungkan jalan-jalan inspeksi di seberang saluran
rawa atau untuk menghubungkan jalan inspeksi dengan jalan umum.
Pagar, rel pengaman dan sebagainya, guna memberikan pengamanan sewaktu terjadi
keadaan-keadaan gawat;
Tempat-tempat cuci, tempat mandi ternak dan sebagainya, untuk memberikan sarana
untuk mencapai air di saluran tanpa merusak lereng;
Pengaman banjir diperlukan untuk melindungi daerah rawa terhadap banjir yang berasal
dari sungai atau saluran pembuang yang besar. Tanggul-tanggul diperlukan untuk
melindungi daerah rawa terhadap banjir yang berasal dari sungai atau saluran pembuang
yang besar. Pada umumnya tanggul diperlukan di sepanjang sungai di sebelah hulu pintu
sekunder atau di sepanjang saluran primer. Fasilitas-fasilitas eksploitasi diperlukan untuk
eksploitasi jaringan rawa secara efektif dan aman. fasilitas-fasilitas tersebut meliputi antara
lain : kantor-kantor di lapangan, bengkel, perumahan untuk staf rawa , jaringan
kamunikasi, patok hektometer, papan eksploitasi, papan duga, dan sebagainya. Pengaman
banjir yang diperlukan untuk lahan rawa tergantung dengan jenis banjir:
Berlangsungnya banjir pasang surut terbatas sampai beberapa jam per hari. Jika
kedalaman banjir tersebut tidak melebihi 2 atau 3 desimeter, galangan sawah yang dibuat
petani akan memberikan proteksi yang cukup. dengan banjir yang lebih dalam, diperlukan
tanggul yang rendah yang tingginya tergantung dengan tinggi muka air maksimum, tinggi
bebas yang diperlukan dan penyusutan tanah yang diperkirakan. Setiap saluran yang
memotong tanggul harus ditutup dengan bangunan yang memiliki pengaman yang sama
seperti tanggul guna mencegah tinggi banjir yang berlebihan, atau tanggul harus diperluas
sepanjang saluran yang bercabang.
Dibagian hulu zona pasang surut, terjadi banjir yang berlangsung lama di musim hujan.
Tanggul yang diperlukan untuk areal-areal pertanian biasanya berdasarkan atas kriteria 1
kali banjir dalam waktu 20 tahun yang harus ditetapkan berdasarkan hasil studi hidrologi
sungai, dengan mempertimbangkan perkiraan pengembangan mendatang pada areal
tangkapan serta pengaruh dari tanggul itu sendiri. Tanggul yang diperlukan biasanaya
lebih tinggi dari pada di zona pasang surut.
Banjir ini menyangkut limpasan permukaan dari areal gambut dan mengalir melalui
tempat-tempat yang dangkal atau sungai alam. Dikarenakan topografi yang datar dan tidak
tersedianya data topografi dari areal-areal yang terdapat di luar jaringan, maka areal-areal
tangkapan dan aliran puncak yang diharapkan hanya dapat diperkirakan. Pengukuran-
pengukuran yang dilaksanakan pada sungai alam atau sungai-sungai kecil selama survei
hidrologi, namun demikian, dapat memberikan indikasi tentang susunan besaran aliran.
Areal-areal hutan bergambut jarang menimbulkan banjir mendadak yang berarti karena
tanah gambut berfungsi sebagai bunga karang yang sangat besar yang menyerap dan
secara berangsur-angsur melenyapkan curah hujan yang berlebihan.
penampung tersebut akan mengalirkan limpasan air ke sungai yang terdekat atau kesalah
satu saluran utama yang ada pada jaringan. Pilihan yang terakhir ini menghendaki saluran
tersebut diperluas, dan tanggul saluran tersebut mungkin harus ditinggalkan.
Penutupan dan pengelakan sungai alam sering terbukti sulit untuk dilakukan. Sungai-
sungai alam adalah jalan drainase yang terbentuk secara alami yang melintasi areal-areal
rendah baik yang berada di luar maupun di dalam jaringan. Walaupun sungai alam
tersebut berhasil ditutup, namun areal-areal tersebut cenderung tetap berawa-rawa. Oleh
karena itu, sungai alam ini lebih baik dibiarkan dalam keadaan semula, paling tidak selama
tahun-tahun pertama penempatan dimana kondisi tanah/ air belum stabil dan sifat sungai
alam tersebut belum diketahui (luas dan kedalaman banjir di musim hujan). Jika saluran
harus memotong sungai alam, mungkin diperlukan pintu inlet pada tanggul guna
memproteksi tanggul saluran tersebut. Dalam segala hal, desain harus mempertimbangkan
penyusutan lahan dan penurunan tanah galian yang mungkin terjadi dikemudian hari yang
menghendaki agar tanggul diberikan kelebihan tinggi yang cukup..
Untuk menjaga agar panjang tanggul yang diperlukan tetap pendek, maka tanggul
pengaman banjir sangat baik diletakkan disepanjang batas jaringan bagian luar. Pada
tempat dimana saluran-saluran primer harus melintasi tanggul, diperlukan bangunan-
bangunan pintu, atau jika hal ini tidak memungkinkan, misalnya dikarenakan fungsi
navigasi saluran tersebut, maka tanggul banjir tersebut harus diperluas disepanjang
saluran-saluran primer, dan disepanjang saluran-saluran lainnya yang berhubungan
terbuka dengan sungai.
Lokasi yang terbaik untuk tanggul pengaman banjir dan bangunan harus dipertimbangkan
secara hati-hati pada setiap situasi. Disamping biaya yang meningkat, kerugian-kerugian
lain akibat memperluas tanggul pengaman banjir disepanjang saluran sekunder dan tersier
adalah Hilangnya lahan pertanian dan Perusakan aliran drainase dari lahan rumah dan
lahan usaha (mungkin perlu dipasang gorong-gorong kecil berpintu).