Merancang
Laporan System Planning
Kabupaten Berau
BAB V
SISTEM JARINGAN IRIGASI
Dalam suatu jaringan irigasi dapat dibedakan menjadi empat unsure fungsional pokok
(Anonim/KP-01, 1986 : 8), yaitu :
a. Bangunan-bangunan utama dimana air diambil dari sumbernya, umumnya sungai atau
waduk.
b. Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak tersier.
c. Petak-petak tersier dengan system pembagian air dan system pembuangan kolektif. Air
irigasi dibagi-bagi dan dialirkan ke sawah-sawah dan kelebihan air ditampung di dalam
suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier.
d. Sistem pembuangan yang ada di luar daerah irigasi untuk membuang kelebihan air lebih
ke sungai atau ke saluran-saluran alamiah.
Berdasarkan cara pengaturan, pengukuran air dan kelengkapan fasilitas, jaringan irigasi dapat
dibedakan ke dalam tiga tingkatan (Anonim/KP-01, 1986 : 7), yaitu :
Biasanya jaringan irigasi sederhana mempunyai luasan yang tidak lebih dari 500 ha. Pada
jaringan irigasi sederhana tida ada pengukuran maupun pengaturan dalam pembagian
debit airnya, air lebih akan mengalir ke saluran pembuang alami. Persediaan air biasanya
berlimpah dan kemiringan berkisar antara sedang sampai curam. Oleh karena itu hampir-
hampir tidak diperlukan teknik yang sulit untuk pembagian air. Walaupun mudah
diorganisasi, jaringan irigasi sederhana memiliki kelemahan-kelemahan yang serius
seperti adanya pemborosan air karena pada umumnya jaringan ini terletak di daerah yang
tinggi sehingga air yang terbuang tidak selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih
subur.
Untuk jaringan irigasi skematis biasanya memiliki luasan wilayah mencapai 2000 ha.
Jaringan irigasi ini hampir sama dengan jaringan irigasi sederhana akan tetapi sudah
dipergunakan bendung lengkap dengan pengambilan dan bangunan pengukur di bagian
hilirnya. Sistem pembagian air biasanya serupa dengan jaringan sederhana, hanya saja
pengambilan dipakai untuk mengairi daerah yang lebih luas daripada daerah layanan
jaringan sederhana. Memiliki organisasi yang lebih rumit dan apabila bangunan tetapnya
berupa bangunan pengambilan dari sungai, maka diperlukan keterlibatan dari pemerintah.
Pada jaringan irigasi teknis tidak memiliki batasan dalam luasan wilayahnya. Salah satu
prinsip dalam perencanaan jaringan irigasi teknis adalah pemisahan antara jaringan irigasi
dan jaringan pembuang. Dalam hal ini saluran irigasi maupun pembuang tetap bekerja
sesuai dengan fungsinya. Saluran irigasi mengalirkan air irigasi ke sawah-sawah dan
saluran pembuang mengalirkan air lebih dari sawah-sawah ke saluran pembuang alamiah
yang kemudian akan membuangnya ke laut. Petak tersier menduduki fungsi sentral dari
jaringan irigasi teknis. Jaringan teknis memungkinkan dilakukannya pengukuran aliran,
pembagian air irigasi dan pembuangan air lebih efisien.
Perencanaan lay out jaringan irigasi meliputi pembagian petak tersier, nomenklatur, trase
saluran pembawa dan pembuang, bangunan air dan bangunan pelengkap lainnya sampai ke
sumber air / intake (pengambilan).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembagian petak tersier, diantaranya :
a. Luas petak tersier maksimum 80 ha.
b. Tata letak saluran : terpisah antara saluran irigasi dan drainase.
c. Pertimbangan penentuan batas petak :
1). Disesuaikan kondisi topografi dan batas alam.
2). Dalam satu daerah administrasi desa.
3). Diusahakan pada batas hak milik tanah.
Dasar pertimbangan dalam perencanaan lay out jaringan irigasi antara lain :
1. Memanfaatkan seoptimal mungkin areal potensi yang ada dengan memperhatikan potensi
debit pada sumber air.
Luas areal jaringan irigasi dibagi ke dalam blok-blok tersier dengan luas areal pada daerah
yang datar sedapat mungkin tidak lebih dari 150 ha, sedangkan pada daerah yang kemiringannya
terjal sedapat mungkin luas petak tidak lebih dari 80 ha.
Nama saluran dan bangunan-bangunannya (nomen klatur) disesuaikan dengan nama
kampung atau nama tempat di lokasi sekitarnya.
P = A + a + b + m.c + d + n.c + f + g + h + Z
Dimana :
P = Muka Air yang dibutuhkan di saluran sekunder
A = Elevasi sawah dengan elevasi yang menentukan
a = Lapisan air di sawah minimal 10 cm
b = kehilangan tinggi energi pada saluran kwarter sampai sawah 5 cm
c = Kehilangan tinggi energi di boc kwarter 5 cm/boks
d = Kehilangan air pada bangunan pembawa di saluran irigasi I x L
e = Kehilangan tinggi energi di boks bagi tersier 5 cm
f = kehilangan tinggi energi di gorong-gorong 5 cm
g = kehilangan tinggi energi di bangunan sadap tersier
h = variasi muka air = 0.18 h100 (sekitar 0.05 - 30.00 cm)
Z = Kehilangan tinggi energi di bangunan petak tersier lainnya.
m = Jumlah boks kuarter di trase tesebut
n = Jumlah boks tersier di bangunan tersebut.
= A xa
Dimana :
A = Luas bersih daerah irigasi di sebelah hilir ruas saluran tersebut ( ha )
Luas bersih daerah irigasi di hilir masing-masing ruas saluran dicantumkan pada kolom
k tak dan kebutuhan air yang diperlukan.
Dimana :
RWLu = Muka air yang di butuhkan di bangunan sadap hulu
RWLd = Muka air yang dibutuhkan di bangunan sadap hilir
Ho = Jumlah perkiraan kehilangan tinggi energi di bangunan di ruas
bangunan yang bersangkutan (tidak termasuk bangunan terjun)
d. Saluran Pembawa
Pada perencanaan bangunan pembawa yang berupa saluran berpenampang trapesium
dapat dibangun berupa saluran pasangan atau saluran tanpa pasangan (saluran tanah).
Dimensi saluran dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :
V = k . R2/3 . I0,50
Q = A.V
A = bh + mh2
P = b + 2h . ( 1+m2)0,5
R = A/P
Dimana :
Q = Debit Rencana ( m3/dt)
V = kecepatan aliran (m/det)
k = koefisien kekasaran Strickler (m1/3/det)
R = jari jari hidrolis (m)
I = kemiringan dasar saluran
m = kemiringan talud
Tabel 5-1
Harga-harga koefisien Strickler untuk saluran irigasi tanah
Debit rencana k
(m3/det) (m1/3/detik)
Q > 10 45.00
5 < Q < 10 42.50
1 < Q < 5 40.00
Q < 1 dan saluran tersier 35.00
atau sempit, saluran dengan debit rencana yang tinggi biasanya lebar dan
sempit.
Tabel 5-2
Kemiringan Saluran
Tinggi jagaan minimum yang dipakai pada saluran dengan berbagai variasi
debit diperlihatkan pada tabel berikut :
Tabel 5-3
Tinggi jagaan saluran tanpa pasangan
e. Saluran Pasangan
Saluran pasangan (lining) yang direncanakan dibangun dimaksudkan untuk :
Mencegah kehilangan air akibat rembesan
Mencegah gerusan dan erosi
Mengurangi biaya pemeliharaan
Pasangan batu dan beton sesuai dengan berbagai keperluan, kecuali untuk per-
baikan stabilitas tanggul, sedang pasangan tanah tanah hanya sesuai untuk
pengendalian rembesan dan perbaikan stabilitas tanggul. Tersedianya bahan di
tempat pelaksanaan konstruksi merupakan faktor yang sangat penting dalam
memilih jenis pasangan. Aliran yang masuk ke dalam retak pasangan dengan
kecepatan tinggi dapat mengeluarkan bahan-bahan pasangan tersebut.
Kecepatan maksimum dibatasi dan berat pasangan harus memadai untuk
mengimbangi gaya tekan ke atas.
Tabel 5-4
Tinggi jagaan untuk saluran pasangan
f. Saluran Pembuang
Jaringan pembuang direncanakan untuk mengalirkan kelebihan air secara gravitasi.
Saluran pembuang direncanakan di tempat-tempat rendah dan melalui daerah depresi.
Kemiringan alamiah tanah dalam trase ini menentukan kemiringan memanjang saluran
pembuang.
Bila kemiringan dasar terlalu curam dan kecepatan ijin telah terlampaui, maka perlu
ditempatkan bangunan pengatur berupa bangunan terjun. Kecepatan rencana diambil
sama atau lebih kecil sedikit dari kecepatam maksimum yang diijinkan, karena debit
rencana jarang terjadi dan kecepatan aliran pembuang akan lebih rendah di bawah
kondisi eksploitasi rerata.
Kemiringan dasar saluran pembuang akan mengecil di bagian hilir dan paramater
angkutan sedimen akan menurun di sebelah hilir. Bila saluran alam digunakan sebagai
pembuang maka sebaiknya tidak mengubah trase, karena saluran alam biasanya sudah
menyesuaiakan alirannya sendiri terhadap potongan melintang dan kemiringan.
Dimana :
V = kecepatan aliran (m/det)
k = koefisien kekasaran Strickler (m1/3/det)
R = jari jari hidrolis (m)
S = kemiringan dasar saluran
Vmaks = Vb. A B C
Dimana :
A = faktor koreksi untuk angka pori permukaan saluran
B = faktor koreksi untuk kedalaman
C = faktor koreksi untuk lengkung
Vab = kecepatan dasar ijin
a. Bangunan Bagi
Bila air irigasi dibagi dari saluran primer ke saluran sekunder, maka akan dibuat
bangunan bagi yang terdiri dari pintu-pintu sebagai pengukur dan pengatur muka air.
Salah satu dari pintu-pintu bagi berfungsi sebagai pengatur muka air dan pintu sadap
lainnya sebagai pengukur debit.
b. Bangunan Sadap
Bangunan sadap sekunder akan memberi air ke saluran tersier dan melayani lebih dari
satu petak tersier, dimana kapasitas bangunan sadap lebih dari atau sama dengan 0,25
m3/detik. Dengan menggunakan muka air rencana yang lebih rendah untuk bangunan
sadap, periode peninggian muka air berkurang. Muka air rencana yang lebih rendah
memberikan fleksibilitas dalam pembagian air irigasi.
Selama musim penghujan, maka ketersediaan air tidak menjadi masalah, air irigasi
lebih baik dieksplotasikan pada persediaan minimum (Q 70%) dari debit rencana. Untuk
pengaturan muka air digunakan bangunan pengatur berupa pintu sorong. Perhitungan
perencanaan hidrolis pintu sorong adalah sebagai berikut :
Q = K.u.a.b.(2.g.h)0.5
Dimana :
Q = debit (m3/det)
u = Koefisien debit
a = Bukaan pintu ( m )
b = Lebar pintu ( m )
g = percepatan gravitasi ( m/dt2 )
h = kedalaman air di depan pintu, m.
Agar pengelolaan air irigasi menjadi efektif, maka debit harus diukur dan diatur pada
hulu saluran sekunder, pada cabang saluran dan pada bangunan sadap tersier.
Untuk persamaan untuk alat ukur ambang lebar dengan bagian pengontrol segi empat
adalah :
Dimana :
Q = debit pengaliran (m3/dt)
Cd = koefisien debit
Cv = koefisien kecepatan awal
h1 = tinggi muka air di atas ambang (m)
H1 = tinggi energi hulu (m)
bc = lebar ambang (m)
g = percepatan gravitasi (9.81 m/dt2)
Tabel 5-5
Batas Moduler Minimum (H2/H1) pada alat ukur ambang lebar
Untuk menentukan dimensi hidrolis peredam energi di sebelah hilir bangunan terjun
miring pada bangunan ukur, harus terlebih dahulu diketahui tinggi muka air hulu
ambang (H1) dengan persamaan sebagai berikut :
H1 = v12/2g + h1
V1= Q / A
d. Bangunan Terjun
Bangunan terjun atau got miring diperlukan jika kemiringan permukaan tanah lebih
curam dari kemiringan masimum yang diijinkan. Bangunan ini mempunyai empat
bagian fungsional :
bagian hulu pengontrol, dimana aliran menjadi super kritis
bagian dimana air dialirkan ke elevasi lebih rendah
bagian tempat disebelah hilir tepat pada peredam energi
bagian peralihan saluran, memerlukan lindungan untuk mencegah erosi
e. Gorong-gorong
A = bxh
Dimana :
A = luas penampang (m2)
b = lebar dimensi (m)
h = tinggi (m)
A = r2
Kecepatan :
Dimana :
V = kecepatan aliran (m/det)
n = angka Manning
R = jari-jari hidrolis ( m )
I = kemiringan
Kapasitas debit :
Q = V x A
Dimana :
Q = debit aliran (m3/det)
A = luas penampang (m2)
V = kecepatan aliran (m/det)
Kecepatan aliran :
V1 = Kecepatan aliran pada hulu
V2 = Kecepatan aliran pada hilir
Dimana :
hfi = Kehilangan tinggi, m
1 = faktor perubahan bentuk pada in let segiempat = 0,50
2 = faktor perubahan bentuk pada in out let = 1
V1 = Kecepatan aliran pada hulu inlet
V2 = Kecepatan aliran pada hilir outlet
Q=axA
Dimana :
Q = Debit rencana (l/dt)
a = Kebutuhan air di saluran tersier, (lt/dt/ha)
A = Luas area yang diairi (Ha)
b. Kapasitas Rencana
Kapasitas bangunan sadap tersier didasarkan pada kebutuhan air rencana pintu tersier
(Qmaks lt/dt/ha), dan yang menentukan pada umumnya adalah kebutuhan air selama
penyiapan lahan. Kapasitas rencana saluran tersier dan kwarter didasarkan pada 100%
dari Qmaks.
1). Untuk saluran kuarter, debit rencana untuk irigasi terus-menerus adalah
kebutuhan rencana air di pintu tersier (lt/dt/ha) dikalikan dengan luas petak
kuarter. Debit rencana ini dipakai di sepanjang saluran.
2). Pada saluran tersier, debit rencana untuk irigasi terus-menerus bagi semua ruas
saluran tersier antara dua boks bagi adalah kebutuhan air irigasi rencana di pintu
tersier (lt/dt/ha) dikalikan dengan seluruh luas petak kuarter yang diairi.
Untuk menentukan muka air rencana saluran, harus tersedia data-data topografi dalam
jumlah yang memadai. Setelah layout pendahuluan selesai, trase saluran yang
diusulkan diukur. Elevasi sawah harus diukur 7,50 meter di luar as saluran irigasi atau
pembuang yang direncanakan yang direncanakan tiap interval 50 m dan pada lokasi-
lokasi khusus.
Elevasi muka air yang diperlukan di saluran primer/sekunder di hulu bangunan sadap
tersier dapat ditentukan dengan rumus :
P = A + a + b + n.c + d + m.e + f + g + H + z
Dimana :
P = Muka air yang dibutuhkan jaringan utama di hulu bangunan sadap tersier
A = Elevasi sawah yang menentukan di petak tersier
a = Kedalaman air di sawah (- 10 cm)
b = Kehilangan tinggi energi dari saluran kuarter sampai sawah (- 10 cm)
c = Kehilangan tinggi energi di boks bagi kuarter (5-15 cm/boks)
n = Jumlah boks bagi kuarter pada saluran yang direncana
d = Kehilangan energi selama pengaliran di saluran tersier dan kuarter (I x L cm)
e = Kehilangan tinggi energi di boks bagi tersier (- 10 cm/boks)
m = Jumlah boks tersier pada saluran yang direncana
f = Kehilangan tinggi energi di gorong-gorong (- 5 cm per gorong-gorong)
z = Kehilangan tinggi energi bangunan-bangunan tersier yang lain
g = Kehilangan tinggi energi di pintu Romijn (- 2/3 H)
H = Variasi tinggi muka air di jaringan utama di hulu bangunan sadap tersier (-0.18
h100)
Kriteria perencanaan untuk saluran pembawa tanpa pasangan disajikan seperti Tabel
5-6.
Tabel 5-6
Kriteria Saluran Pembawa Tanpa Pasangan
Bila gradien medan curam dan kecepatan menjadi terlalu tinggi, diperlukan satu atau
dua bangunan terjun, atau saluran tersier harus diberi pasangan (got miring). Setelah
debit rencana ditentukan, dimensi saluran dapat dihitung dengan rumus Strickler
sebagai berikut :
M
A w
mR m
1 h 1
Gambar 5-1
Gambar Saluran Pembawa Tanpa Pasangan
V = K x R2/3 x I1/2
R = A/P
A = h (b + m h)
P = b + 2 h ( m2 + 1 )0,5
Q = VxA
n = b/h
dimana :
Q = Debit saluran (m3/dt)
V = Kecapatan aliran (m/dt)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
R = Jari-jari hidrolis (m)
P = Keliling basah (m)
b = Lebar dasar saluran (m)
h = Tinggi air (m)
n = Kedalaman – lebar
I = Kemiringan dasar saluran
K = Koefisien kekasaran Strickler (m1/3/dt)
m = Kemiringan talud (horisontal/vertikal)
w = Tinggi jagaan (m)
a. Debit Rencana
Dimana :
Qd = Debit rencana (lt/dt)
Dm = Modulus pembuang (lt/dt/ha)
Dn
Dm =
( n x 8,64 )
n = Jumlah hari
D(n) = Drainase permukaan selama n hari (mm)
D(n) = R(n) + nx ( IR – Eto – P ) – S
IR = Pemberian air irigasi (mm)
ETo = Evapotranspirasi harian (mm)
P = Perkolasi harian (mm)
Dimensi saluran pembuang dapat dihitung dengan rumus Strickler Sebagai berikut :
Q = K x A x R2/3 x I½
Dimana :
Q = Debit rencana saluran pembuang (m3/dt)
K = Koefisien kekasaran Strickler (m1/3/dt)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
R = Jari-jari hidrolis (m)
I = Kemiringan dasar saluran
Lebar minimum dasar saluran untuk saluran pembuang kuarter sabaiknya diambil 0,30
m dan untuk saluran pembuang tersier 0,50 m. Dimensi pembuang dibuat sama di
seluruh panjang satu ruas saluran pembuang.
Jika saluran kuarter juga dipakai sebagai saluran pembuang, sebaiknya saluran itu
direncana dengan menggunakan kriteria saluran kuarter. Kriteria perencanaan untuk
saluran pembuang sebagai ditunjukkan pada Tabel 6-7.
Tabel 5-7
Kriteria Saluran pembuang
Saluran Saluran
Karakteristik Perencanaan Satuan Pembuang Pembuang
Tersier Kuarter
a. Boks Bagi
Boks bagi direncanakan dari pasangan batu kali, pengaturan debit ke tiap saluran
digunakan rumus ambang lebar sebagai berikut :
garis energi
H1 h1
h2
Gambar 5-2
Gambar Boks Bagi
Dimana :
Q = Debit rencana (m3/dt)
Cd = Koefisien debit = 0,85 (untuk harga 0,08 H1/L 0,33)
b = Lebar bukaan ambang (minimum bukaan = 0,20 m dan maksimum = 0,60 m)
h1 = Kedalaman air di hulu ambang (m)
L = Panjang ambang (m)
H1 = Tinggi energi di hulu ambang (m)
b. Bangunan Terjun
Dimana :
L = Panjang kolam olakan hilir (m)
C1 = 2,5 + 1,1 hc/Z + 0,7 (hc/Z)3
Z = Tinggi terjunan (m)
hc = Kedalaman kritis = (q2/g)1/3 (m)
q = Q/(0,8 x b1) (m3/dt.m)
Q = Debit rencana (m3/dt)
b1 = Lebar dasar saluran (m)
b2 = Lebar bukaan = 0,8 x b1 (m)
0,30
h1
Z1m
h2
a
0,60
L1 > 3 Z
Gambar 5-3
Gambar Bangunan Terjun
c. Gorong-Gorong
Mengingat dimensi saluran tersier relatif kecil, maka untuk merencanakan gorong-
gorong konstruksinya digunakan dimensi yang telah dibakukan di dalam Kriteria
Perencanaan (KP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pengairan tahun 1986.